Oleh :
Di China, Selama masa pandemi yang dimulai pada bulan Januari 2020,
mobilitas warga terbilang mempunyai perubahan yang signifikan. Meski
bersepeda sudah menjadi moda populer di China, ternyata bersepeda
juga mengalami kenaikan penggunaan yang terbilang mencolok. Hasil
survei ITDP China menemukan bahwa banyak warga yang beralih moda
ke bersepeda. Di Beijing sendiri, sistem bike share mengalami kenaikan
penggunaan hingga 150%. Operator bike-share juga melaporkan ada
kenaikan panjang perjalanan lebih dari 3km dalam satu kali trip, yang
sangat berbeda sebelum Covid-19. Di mana biasanya jarak di atas 3km
diakomodir oleh mobil atau transportasi publik. Selain sepeda, survei ITDP
juga menemukan penurunan pengguna Metro dari sebelumnya mode
share berada di angka 26% menjadi 14%. Bus juga mengalami penurunan
mode share dari 17% menjadi 10%. Banyak pengguna yang dilaporkan
beralih dari metro ke bus karena mereka tidak ingin merasa terperangkap
di bawah tanah atau ruang terbatas dan merasa mempunyai lebih banyak
opsi untuk menerapkan physical distancing di dalam bus. China sangat
diuntungkan dengan sistem bus yang terintegrasi dengan metro dan bike
sharing sehingga pengguna bisa lebih leluasa memilih moda transportasi
mereka. (sumber: ITDP China)
Penyandang Disabilitas
Perempuan
Tidak hanya kaum marjinal kota yang kesulitan, tetapi juga pengusaha,
pebisnis, dan wirausahawan yang kebanyakan berada di kelas menengah
kota ikut kesulitan. Bisnis apa yang masih lancar sekarang selain
telekomunikasi, makanan kemasan, farmasi dan kesehatan, serta
turunannya? Sudah cukup ratusan liputan yang dimuat di berbagai media
mengenai sepinya konsumsi masyarakat. Para pengusaha kini pusing
tujuh keliling menghindari rugi. Tak lupa, pegawai swasta yang kini harap-
harap cemas perusahaannya tetap bertahan digempur cobaan.
Bayangkan, kota kini tak lagi berdenyut. Banyak unggahan di media yang
menunjukkan abnormalitas kegiatan kota. Kota kini menjadi sepi seolah
mati suri. Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta tak lagi ramai pekerja kelas
menengah ibu kota yang berangkat pukul enam dan pulang setelah
petang. Jalan Malioboro di Yogyakarta tak lagi ramai pengunjung,
wisatawan, apalagi turis asing yang biasanya memenuhi trotoar di akhir
pekan. Mati surinya kota terjadi karena kita semua sadar untuk mengambil
tanggung jawab berdiam diri di rumah dan tidak berkumpul di keramaian
demi menghindari penularan pandemi COVID-19.
Jika dilihat lebih dalam, dampak dari COVID-19 lebih terasa di kota
dibandingkan di desa. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskannya.
Namun, kita harus mengupas “kota” lebih dalam terlebih dahulu.
Apa itu kota? Kita selalu membayangkan kota adalah tempat yang sibuk,
hiruk pikuk kendaraan berjibaku dengan polusi udara, gedung-gedung
tinggi, dan karakter-karakter kekotaan yang lainnya. Namun, jika kita
menarik benang merah dari semua hal yang terlintas dalam benak kita
ketika mendengar kata kota, kita akan mendapatkan sebuah definisi yang
mungkin akan berbeda-beda tiap kota. Ada berbagai silang pendapat
antar pakar mengenai definisi kota.
Sebagian besar orang lebih suka tinggal di kota dan perkotaan (daerah
yang memiliki sifat kekotaan). Worldometers mencatat 55% dari penduduk
Indonesia tinggal di kota pada tahun 2019. Hal tersebut terjadi karena kota
menyediakan pemenuhan kebutuhan manusia yang tak terbatas
jumlahnya dengan lebih mudah, aksesibel, dan relatif murah. Seiring
dengan alasan tersebut, penduduk kota mengonsumsi dan memproduksi
kebutuhan satu sama lain. Kota membuka peluang penduduknya untuk
berkembang pesat. Kota menyediakan fasilitas lebih baik daripada desa.
Mulai dari bank, fasilitas kesehatan, transportasi, hingga pusat
perbelanjaan di kota pasti lebih baik. Buktinya kita bisa menabung di bank
yang lebih variatif di kota, kita bisa memilih mau naik apa ke tempat kerja,
bahkan kita bisa membeli bahan makanan yang lebih baik kualitasnya dan
lebih banyak variasinya di kota daripada di desa. Kota menciptakan efek
berganda untuk penduduknya. Satu sama lain, penduduk kota saling
membutuhkan dan saling menyokong. Kota seolah jaring laba-laba yang
besar. Ketika satu rapuh, yang lain ikut rapuh. Ketika satu jatuh, semua
ikut jatuh. Lambat laun, jaring itu akan runtuh.
Sifat saling membutuhkan itulah yang membuat efek domino pandemi
terasa sangat nyata di kota. Gambaran besarnya, orang-orang yang biasa
keluar rumah untuk mencari nafkah dari pagi hingga sore kini tak lagi
keluar rumah. Jasa transportasi mulai goyah tak ada lagi penumpang
yang ingin melakukan mobilisasi. Begitu pun dengan bisnis lain seperti
mall, taman bermain, tempat hiburan, bahkan kebun binatang. Belum lagi
industri kuliner yang kini hanya ditopang jasa antar makanan daring
melalui aplikasi. Industri tak luput dari perlambatan. Mungkin industri
farmasi dan sekitarnya hari-hari ini sedang menggenjot produksi. Namun,
industri manufaktur, otomotif, konstruksi, elektronik kini kelimpungan
karena orang-orang menahan konsumsinya di tengah ketidakpastian ini.
Merefleksikan Kota
Kembali pada kisah Jakarta yang sepi, tidak seperti biasanya, kita dapat
melihat megahnya Jakarta sebenarnya menyimpan keringat pekerja
kantoran SCBD dan sekitarnya yang tidak jarang harus berangkat pagi
pulang pagi. Sejatinya, pekerja SCBD beserta seluruh jutaan warga
Jakarta mengagregat peran wilayah Jakarta sebagai pusat perdagangan
dan perkantoran berskala nasional. Ketika kedua sektor tersebut lumpuh,
lumpuhlah Jakarta secara sistemik tanpa pandang bulu melibas seluruh
sektor. Begitu pun dengan kisah Yogyakarta yang kehilangan identitas
keramaiannya. Yogyakarta dibentuk oleh dua sektor, pendidikan dan
pariwisata. Ketika universitas dan sekolah menerapkan pembelajaran
jarak jauh, ketika wisatawan enggan bertamasya, Yogyakarta tak lagi
berdenyut.
Olivia, Grace. 2019. IMF proyeksi resesi ekonomi global pada 2020.
Diambil dari
https://internasional.kontan.co.id/news/imf-proyeksi-resesi-ekonomi-
global-pada-2020
https://www.nytimes.com/2020/03/14/nyregion/coronavirus-nyc-bike-
commute.html
https://www.itdp.org/2020/03/26/post-pandemic-chinese-cities-gradually-
reopen-transport-networks/