Anda di halaman 1dari 12

TUGAS DASAR-DASAR REKAYASA TRANSPORTASI

Kondisi Transportasi berhubungan dengan COVID-19


Dengan masalah Ekonomi, Sosial dan Budaya
“Di susun untuk memennuhi tugas Dasar-Dasar Rekayasa Transportasi”
Dosen Pengampu : Ir. Zilhardi Idris

Oleh :

Wildan Fakih Albasyra D100181287

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
Beberapa bulan terakhir bumi digoncang pandemi. Warga bumi, tak lagi
tenggelam dalam hiruk pikuk mengurus kepentingannya. Mereka kini
fokus menjaga diri dari pandemi. Tak jauh berbeda, masyarakat Indonesia
juga merasakan bombardir COVID-19 yang menggempur sekitar dua
minggu terakhir. Kampanye penjarakan sosial, yang kini direvisi oleh
WHO menjadi penjarakan fisik, terus digaungkan. Sekolah dan universitas
satu per satu dikosongkan dan diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh
(PJJ). Efek domino dari penjarakan sosial terasa sangat hebat
menggempur berbagai sektor kehidupan.

Tidak hanya infrastruktur kesehatan, pandemi ini juga menggempur


kegiatan, aktivitas, dan perekonomian dunia. Dilansir dari laman Kontan,
IMF dalam konferensi darurat bersama pemangku kebijakan negara G-20,
Senin (23/3), menyatakan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi pada
tahun ini diprediksi negatif (Grace Olivia, 2019). Pandemi tidak hanya
membatasi sektor publik dan keuangan dunia, tetapi juga membatasi
kehidupan pribadi. Kegiatan-kegiatan kebudayaan, festival, pawai,
perlombaan, hingga konser musik yang sudah disiapkan jauh-jauh hari
harus mengalah demi mencegah penyebaran. Tak sedikit pula cerita
mengenai pesta pernikahan yang sudah matang persiapannya terpaksa
diundur. Kita semua merasakan dampak dari wabah COVID-19 ini. Tua,
muda, miskin, kaya, jelata, penguasa, tak ada yang luput dari horornya
pandemi. Semua orang diminta untuk mengambil tanggung jawab yang
sama untuk mencegah penyebaran pandemi dengan menerapkan slogan-
slogan seperti #DiRumahAja atau #WorkFromHome yang kini ramai
membanjiri kanal-kanal media sosial kita.

Penting untuk menghindari atau mengurangi perjalanan yang tidak perlu,


untuk memperkecil kemungkinan penyebaran virus di saat pandemi. Juga,
untuk memastikan transportasi publik hanya digunakan untuk mereka
yang masih harus beraktifitas di luar rumah. Pemerintah kota dan operator
transportasi publik kemudian, menerapkan beragam kebijakan khusus.
Sesuai dengan anjuran dari World Health Organization (WHO) untuk
menjaga jarak antar individu agar tidak berada di dalam jangkauan
penyebaran virus, para penyedia layanan transportasi telah melakukan
beberapa aksi untuk memastikan setiap penumpang tetap berada dalam
jarak yang dianjurkan demi tetap memenuhi kebutuhan transportasi para
pekerja esensial.

Dalam kondisi pandemi COVID-19, sangat disarankan untuk terus


menjaga jarak setidaknya 2 meter antar individu dan tidak bepergian
apabila tidak berkepentingan. Berjalan kaki & bersepeda menjadi opsi
aman yang diterapkan baik pemerintah maupun warga kota selama
pandemi ini berlangsung. Sejak tanggal 16 Maret, Walikota Bogota telah
membuka 22km jalur sepeda tambahan dengan mengubah satu jalur
mobil menjadi jalur sepeda dua arah untuk menjaga mobilitas dalam kota
pada kondisi pandemi. Jalur sepeda tambahan itu kemudian diperpanjang
hingga mencapai 76 kilometer. Sampai hari ini Bogota memiliki 500
kilometer jalur sepeda permanen dan 117 km jalur sepeda tambahan.

Di China, Selama masa pandemi yang dimulai pada bulan Januari 2020,
mobilitas warga terbilang mempunyai perubahan yang signifikan. Meski
bersepeda sudah menjadi moda populer di China, ternyata bersepeda
juga mengalami kenaikan penggunaan yang terbilang mencolok. Hasil
survei ITDP China menemukan bahwa banyak warga yang beralih moda
ke bersepeda. Di Beijing sendiri, sistem bike share mengalami kenaikan
penggunaan hingga 150%. Operator bike-share juga melaporkan ada
kenaikan panjang perjalanan lebih dari 3km dalam satu kali trip, yang
sangat berbeda sebelum Covid-19. Di mana biasanya jarak di atas 3km
diakomodir oleh mobil atau transportasi publik. Selain sepeda, survei ITDP
juga menemukan penurunan pengguna Metro dari sebelumnya mode
share berada di angka 26% menjadi 14%. Bus juga mengalami penurunan
mode share dari 17% menjadi 10%. Banyak pengguna yang dilaporkan
beralih dari metro ke bus karena mereka tidak ingin merasa terperangkap
di bawah tanah atau ruang terbatas dan merasa mempunyai lebih banyak
opsi untuk menerapkan physical distancing di dalam bus. China sangat
diuntungkan dengan sistem bus yang terintegrasi dengan metro dan bike
sharing sehingga pengguna bisa lebih leluasa memilih moda transportasi
mereka. (sumber: ITDP China)

Sedangkan warga kota New York, mengalihkan pilihan modanya ke


sepeda, sejak wabah Covid-19 merebak. Dilaporkan New York Times, Citi
Bike, program bike-sharing kota New York mengalami lonjakan
pemakaian hingga 67% di awal Maret 2020. Tercatat, ada 517.768
perjalan dalam periode tanggal 1-11 Maret 2020. Banyaknya warga yang
beralih ke sepeda juga terlihat dari padatnya jembatan East River yang
menghubungan Manhattan dengan Brooklyn dan Queens. Ada 21.300
penyeberangan sepeda dalam satu hari pada 9 Maret lalu. Jumlah ini naik
hingga 52% dibanding angka penyeberangan dari tanggal yang sama
tahun lalu. Dan di saat bersamaan, jumlah penumpang kereta bawah
tanah dan kereta komuter mengalami penuruan yang sangat drastis.

Peningkatan kualitas dan performa transportasi perkotaan berkelanjutan


yang tepat guna dan efektif sangatlah penting dalam menghadapi
pandemi. Berikut ini adalah kebijakan yang diambil oleh penyedia layanan
transportasi di Jakarta dan Semarang untuk meningkatkan kualitas dan
performa mereka selama pandemik Covid-19. Sesuai dengan
rekomendasi dari World Health Organization (WHO) bagi negara-negara
anggota untuk menyediakan akses universal ke sarana kebersihan tangan
sebelum dan sesudah penggunaan transportasi publik. Para penyedia
layanan transportasi umum tidak hanya menyediakan sarana cuci tangan
dan/atau hand sanitizer, armada yang digunakan juga disinfektasi secara
berkala. Langkah ini ditempuh untuk mencegah penyebaran virus dari
permukaan ke tangan dan sebaliknya. Dalam upaya mencegah transmisi
COVID-19, TransJakarta dan LRT Jakarta akan menghentikan sementara
seluruh transaksi tunai termasuk top up kartu elektronik dan pembelian
kartu baru. Kendati demikian, transaksi top up kartu elektronik tetap dapat
dilakukan melalui minimarket, ATM, dan juga aplikasi m-banking bagi para
pemilik handphone dengan fitur NFC. MRT Jakarta juga ikut meluncurkan
aplikasi MRT Jakarta yang memungkinkan para penumpang untuk
melakukan pembayaran dengan QR code. Alat pembayarn baru yang
dapat diunduh melalui Google Playstore dan App store diharapkan dapat
meminimalisir interaksi penumpang dengan petugas dan juga mesin
pembayaran. Dalam pandemi, opsi micromobility dapat menjadi
penyelamat bagi mereka yang tidak memiliki opsi mobilisasi. Tidak hanya
itu, layanan micromobility juga menjadi salah satu kunci dalam resiliensi
kota yang menyediakan opsi transportasi berkelanjutan untuk semua.
Beradaptasi dengan kebutuhan selama pandemi di Jakarta, MIGO,
layanan sewa harian sepeda elektronik telah memberikan opsi layanan
baru yaitu pengantaran ke rumah dan sewa mingguan. Dengan biaya 200
Ribu Rupiah, penyewa sudah dapat menggunakan sepeda elektronik yang
diantar langsung ke rumah selama satu minggu penuh. Tidak hanya itu,
pihak MIGO juga akan mendisinfektasi sepeda elektronik setelah sampai
di rumah penyewa. Selain sepeda elektronik, layanan penyewaan skuter
listrik, GrabWheels juga memberi opsi peminjaman mingguan dan bulanan
dengan pengantaran skuter listrik yang sudah disinfektasi langsung ke
rumah penyewa.

Selama masa pandemik, kelompok rentan; perempuan, perempuan


dengan anak, anak-anak, disabilitas dan lansia menjadi kelompok yang
paling mudah terpapar Covid-19. Hal ini kembali menegaskan
diperlukannya kebijakan yang mengutamakan inklusifitas di segala bidang
termasuk mobilitas. Pandemi COVID-19 tidak mendiskriminasi siapapun,
sesuatu yang berkebalikan dengan realita yang ada di masyarakat.
Kelompok rentan pun terancam didera kerentanan ganda di masa
pandemi ini. Keterbatasan akses dan kebutuhan khusus yang mereka
miliki pun menempatkan mereka pada kelompok orang-orang yang lebih
rentan terpapar virus.

Penyandang Disabilitas

Pencegahan penyebaran virus COVID-19 merupakan sesuatu yang sulit


dilakukan oleh beberapa penyandang disabilitas yang mobilitasnya masih
bergantung pada pendamping dan hanya dapat melakukan kontak melalui
sentuhan dan rabaan terhadap suatu benda. Pola kebutuhan yang
berbeda pun membuat para penyandang disabilitas tidak dapat mengikuti
pola isolasi diri yang dianjurkan oleh pemerintah untuk umum. Dalam
situasi pandemi, mobilitas penyandang disabilitas yang bergantung
dengan transportasi umum dapat terancam. Penyebaran informasi
mengenai pembatasan layanan transportasi publik yang tidak inklusif juga
dapat menambah kesulitan para penyandang disabilitas yang mungkin
tidak terpapar oleh informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan layanan transportasi publik.

Pedoman dari Kementerian Sosial mengenai kebijakan dan langkah yang


bisa diambil terkait dengan penyandang disabilitas dalam pandemi
COVID-19 dapat diakses di sini.

Orang Lanjut Usia

Kondisi layanan transportasi publik di Jakarta dan Semarang saat ini


masih belum memungkinkan para orang lanjut usia (lansia) untuk dapat
bepergian secara mandiri, kendati besar kemungkinan bahwa para lansia
tidak memiliki opsi kendaraan selain kendaraan umum. Para lansia yang
membutuhkan pendamping dalam perjalanan sehari-harinya akan
menghadapi kesulitan dengan keberadaan kebijakan social distancing dan
fasilitas yang tidak inklusif.

Perempuan

Dalam krisis pandemi COVID-19, perempuan dapat terkena dampak


sosial, ekonomi, dan kesehatan yang lebih berat. Sektor medis dan
pelayanan garis depan didominasi oleh perempuan yang tidak
mendapatkan privilese bekerja dari rumah dalam masa krisis. Besar
kemungkinan bahwa para perempuan pekerja tersebut merupakan
pengguna transportasi umum. Para perempuan tersebut tidak hanya
memiliki ketakutan akan kemungkinan terpapar oleh virus COVID-19,
tetapi juga rasa tidak aman yang muncul dari kemungkinan pelecehan
seksual dan kejahatan lainnya. Kebijakan pembatasan aktivitas di luar
rumah dapat menambah beban kerja berlapis terhadap perempuan dalam
keluarga. Beberapa tetap harus pergi ke tempat kerja, membeli barang
kebutuhan pokok dan menjalani peran sebagai guru di rumah. Kerja
domestik yang tertumpuk pada perempuan dapat menyebabkan kelelahan
fisik dan psikis perempuan sehingga mereka semakin rentan terinfeksi
COVID-19. Rekomendasi mengenai aksi dan kebijakan yang
mengedepankan perlindungan terhadap perempuan di masa pandemi
COVID-19 dapat dirujuk dari rilisan Komnas Perempuan, UN Women, dan
UNFPA.

Silang Sengkarut Kota Menghadapi Pandemi

Slogan Work From Home menuai pro dan kontra di masyarakat.


Kontroversi ini terjadi lantaran slogan tersebut tidak bisa diterapkan oleh
semua orang karena pada realitanya, ada kaum marjinal kota yang
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Mereka hidup from day to
day. Jika hari ini kaum rentan kota tidak keluar rumah untuk mencari
nafkah, menahan lapar adalah satu-satunya pilihan. Apalagi dua minggu
atau dua bulan diminta untuk tidak bekerja. Lupakan masker, lupakan
hand sanitizer, nasi pun mereka harus berjuang untuk mendapatkannya.
Kaum marjinal kota tidak boleh hanya menjadi dampak kolateral atau
sampingan dari bahaya sistemik perekonomian yang melambat.
Pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk melindungi kaum
rentan kota.

Tidak hanya kaum marjinal kota yang kesulitan, tetapi juga pengusaha,
pebisnis, dan wirausahawan yang kebanyakan berada di kelas menengah
kota ikut kesulitan. Bisnis apa yang masih lancar sekarang selain
telekomunikasi, makanan kemasan, farmasi dan kesehatan, serta
turunannya? Sudah cukup ratusan liputan yang dimuat di berbagai media
mengenai sepinya konsumsi masyarakat. Para pengusaha kini pusing
tujuh keliling menghindari rugi. Tak lupa, pegawai swasta yang kini harap-
harap cemas perusahaannya tetap bertahan digempur cobaan.
Bayangkan, kota kini tak lagi berdenyut. Banyak unggahan di media yang
menunjukkan abnormalitas kegiatan kota. Kota kini menjadi sepi seolah
mati suri. Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta tak lagi ramai pekerja kelas
menengah ibu kota yang berangkat pukul enam dan pulang setelah
petang. Jalan Malioboro di Yogyakarta tak lagi ramai pengunjung,
wisatawan, apalagi turis asing yang biasanya memenuhi trotoar di akhir
pekan. Mati surinya kota terjadi karena kita semua sadar untuk mengambil
tanggung jawab berdiam diri di rumah dan tidak berkumpul di keramaian
demi menghindari penularan pandemi COVID-19.

Jika dilihat lebih dalam, dampak dari COVID-19 lebih terasa di kota
dibandingkan di desa. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskannya.
Namun, kita harus mengupas “kota” lebih dalam terlebih dahulu.

Menarik Benang Merah Kota

Apa itu kota? Kita selalu membayangkan kota adalah tempat yang sibuk,
hiruk pikuk kendaraan berjibaku dengan polusi udara, gedung-gedung
tinggi, dan karakter-karakter kekotaan yang lainnya. Namun, jika kita
menarik benang merah dari semua hal yang terlintas dalam benak kita
ketika mendengar kata kota, kita akan mendapatkan sebuah definisi yang
mungkin akan berbeda-beda tiap kota. Ada berbagai silang pendapat
antar pakar mengenai definisi kota.

Sosiolog Amerika, Louis Wirth (1938) dalam jurnal American Journal of


Sociology menulis tentang Urbanism as a Way of Life yang menyatakan
bahwa kota adalah permukiman dengan kepadatan penduduk yang relatif
besar, memiliki wilayah yang terbatas dan umumnya bersifat non-agraris.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyepakati bahwa tidak ada
pengertian yang diakui secara internasional untuk mendefinisikan kota.
PBB mengakui ada tiga pendekatan untuk mendefinisikan kota.
Pendekatan pertama adalah mendefinisikan kota sebagai ‘city proper’
yang merujuk pada ukuran terkecil untuk menganalisis kota hanya
berdasarkan batas administratif (UN, 2002). Pendekatan kedua adalah
‘Urban Agglomeration’, yaitu seluruh area yang berbatasan dengan area
padat, sepadat kota, tanpa melihat batas administrasi (UN, 2002).
Pendekatan ketiga adalah ‘Metropolitan Area’ yang mendefinisikan kota
berdasarkan kedekatan dan ketergantungan area sekitar kota secara
sosial ekonomi, biasa dikaitkan dengan konurbasi (UN, 2002). Ir. Sutami,
Menteri Pekerjaan Umum zaman Presiden Soekarno, menyatakan kota
adalah ‘KOLDIP’ singkatan dari koleksi, distribusi, dan produksi (Sutami,
1976). Kini, Indonesia mendefinisikan kota sebagai daerah di mana
kegiatan utama non-agraris dilakukan dan di mana fungsi regional
disediakan sebagai tempat untuk layanan pemerintah, layanan sosial dan
kegiatan ekonomi sesuai dengan UU nomor 22 tahun 1999 mengenai
Otonomi Daerah. Secara pribadi, saya lebih suka mengartikan kota
sebagai aglomerasi penduduk akibat kegiatan ekonomi non-primer yang
melayani daerah lainnya.

Sebagian besar orang lebih suka tinggal di kota dan perkotaan (daerah
yang memiliki sifat kekotaan). Worldometers mencatat 55% dari penduduk
Indonesia tinggal di kota pada tahun 2019. Hal tersebut terjadi karena kota
menyediakan pemenuhan kebutuhan manusia yang tak terbatas
jumlahnya dengan lebih mudah, aksesibel, dan relatif murah. Seiring
dengan alasan tersebut, penduduk kota mengonsumsi dan memproduksi
kebutuhan satu sama lain. Kota membuka peluang penduduknya untuk
berkembang pesat. Kota menyediakan fasilitas lebih baik daripada desa.
Mulai dari bank, fasilitas kesehatan, transportasi, hingga pusat
perbelanjaan di kota pasti lebih baik. Buktinya kita bisa menabung di bank
yang lebih variatif di kota, kita bisa memilih mau naik apa ke tempat kerja,
bahkan kita bisa membeli bahan makanan yang lebih baik kualitasnya dan
lebih banyak variasinya di kota daripada di desa. Kota menciptakan efek
berganda untuk penduduknya. Satu sama lain, penduduk kota saling
membutuhkan dan saling menyokong. Kota seolah jaring laba-laba yang
besar. Ketika satu rapuh, yang lain ikut rapuh. Ketika satu jatuh, semua
ikut jatuh. Lambat laun, jaring itu akan runtuh.
Sifat saling membutuhkan itulah yang membuat efek domino pandemi
terasa sangat nyata di kota. Gambaran besarnya, orang-orang yang biasa
keluar rumah untuk mencari nafkah dari pagi hingga sore kini tak lagi
keluar rumah. Jasa transportasi mulai goyah tak ada lagi penumpang
yang ingin melakukan mobilisasi. Begitu pun dengan bisnis lain seperti
mall, taman bermain, tempat hiburan, bahkan kebun binatang. Belum lagi
industri kuliner yang kini hanya ditopang jasa antar makanan daring
melalui aplikasi. Industri tak luput dari perlambatan. Mungkin industri
farmasi dan sekitarnya hari-hari ini sedang menggenjot produksi. Namun,
industri manufaktur, otomotif, konstruksi, elektronik kini kelimpungan
karena orang-orang menahan konsumsinya di tengah ketidakpastian ini.

Merefleksikan Kota

Dari renungan di atas, kita akhirnya dapat merefleksikan makna yang


sesungguhnya dalam sunyinya kota. Hakikat dari denyut jantung kota
yang seolah tidak pernah berhenti. Kini, ketika kota-kota yang kita tinggali,
kita singgahi, berhenti denyutnya, kita dapat melihat banyak hal yang
sebelumnya tak pernah kita lihat.

Setiap kota memiliki karakternya masing-masing. Setiap kota punya


sumber pendapatan mayoritas yang berbeda-beda. Dalam teori analisis
kota, kita dapat melihat sektor basis kota. Sektor perekonomian apa yang
memutar roda ekonomi kota kita. Kota-kota yang tak lagi berdenyut,
penduduknya tinggal di rumah, ekonomi mulai terguncang, menjadi
momen yang hampir tidak pernah terjadi dalam generasi kita. Momen ini
menjadi sarana tersendiri untuk kita merefleksikan kembali apa yang kita
cari di kota yang kita tinggali. Momen ini membuka tabir hiruk pikuk kota
dan memperlihatkan kerentanan apa yang sesungguhnya ada di balik
kota-kota kita.

Kembali pada kisah Jakarta yang sepi, tidak seperti biasanya, kita dapat
melihat megahnya Jakarta sebenarnya menyimpan keringat pekerja
kantoran SCBD dan sekitarnya yang tidak jarang harus berangkat pagi
pulang pagi. Sejatinya, pekerja SCBD beserta seluruh jutaan warga
Jakarta mengagregat peran wilayah Jakarta sebagai pusat perdagangan
dan perkantoran berskala nasional. Ketika kedua sektor tersebut lumpuh,
lumpuhlah Jakarta secara sistemik tanpa pandang bulu melibas seluruh
sektor. Begitu pun dengan kisah Yogyakarta yang kehilangan identitas
keramaiannya. Yogyakarta dibentuk oleh dua sektor, pendidikan dan
pariwisata. Ketika universitas dan sekolah menerapkan pembelajaran
jarak jauh, ketika wisatawan enggan bertamasya, Yogyakarta tak lagi
berdenyut.

Rupanya benar pepatah yang mengatakan bahwa kesunyian adalah


ruang yang tepat untuk melihat jati diri. Kini, setiap kota, menampakkan
jati diri yang sesungguhnya dalam sunyinya kota. Saya mencapai
kesimpulan bahwa pandemi COVID-19 ini melumpuhkan kita dan bahwa
kota bukanlah kota, tanpa kita di dalamnya. Tetap di rumah, sama-sama
jaga kota agar tetap hidup dengan kita yang tangguh!
Referensi

Olivia, Grace. 2019. IMF proyeksi resesi ekonomi global pada 2020.
Diambil dari

https://internasional.kontan.co.id/news/imf-proyeksi-resesi-ekonomi-
global-pada-2020

United Nations. Dept. of Economic and Social Affairs. 2002. Demographic


Yearbook, 2000. New York: UN, p.23.

Wirth, L., 1938. Urbanism as a Way of Life. American Journal of


Sociology, 44(1), pp.1–24.

https://www.nytimes.com/2020/03/14/nyregion/coronavirus-nyc-bike-
commute.html

https://www.itdp.org/2020/03/26/post-pandemic-chinese-cities-gradually-
reopen-transport-networks/

Anda mungkin juga menyukai