Anda di halaman 1dari 23

Vol. 16, No.

2, Juli 2017

Pusat Studi Wanita


UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Vol. 16, No. 2, Juli 2017 E-ISSN: 2503-4596
ISSN: 1412-3460

Managing Editor:
Witriani

Editor in Chief:
Marhumah

Editorial Board:
Siti Ruhaini Dzuhayatin (UIN Sunan Kalijaga)
Euis Nurlaelawati (UIN Sunan Kalijaga)
Masnun Tahir (UIN Mataram)
Siti Syamsiyatun (UIN Sunan Kalijaga)

Editors:
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Alimatul Qibtiyah
Fatma Amilia
Zusiana Elly Triantini
Muh. Isnanto

TERAKREDITASI:
Nomor: 2/E/KPT/2015, Tanggal 1 Desember 2015

Alamat Penerbit/ Redaksi: Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 Telp./ Fax. 0274-550779
Email: pswsuka@yahoo.co.id
Website: psw.uin-suka.ac.id

Musãwa Jurnal Studi dan Islam diterbitkan pertama kali Maret 2002 oleh PSW UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta bekerjasama dengan Royal Danish Embassy Jakarta. Mulai tahun 2008 terbit dua kali dalam setahun,
bekerjasama dengan The Asia Foundation (TAF), yaitu bulan Januari dan Juli.
Redaksi menerima tulisan dengan tema Gender, Islam, dan HAM berupa hasil penelitian yang belum pernah
dipublikasikan atau diterbitkan di media lain. Naskah diketik dengan ukuran kertas A4, spasi 1,5, menggunakan
font Times New Roman/ Times New Arabic, ukuran 12 point, dan disimpan dalam Rich Text Format. Artikel
ditulis dalam 5.000 – 10.000 kata sesuai dengan gaya selingkung Musawa yang dapat dilihat di halaman belakang.
Naskah dikirimkan melalui Open Journal System (OJS) Musawa melalui alamat : http://ejournal.uin-suka.
ac.id/musawa. Editor berhak melakukan penilaian tentang kelayakan suatu artikel baik dari segi isi, informasi,
maupun penulisan.
Daftar Isi

SENSITIVITAS GENDER DAN POLA KOMUNIKASI MAHASISWA/I


UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Alimatul Qibtiyah............................................................................................................................. 153

RELIGIOUS FREEDOM FOR MINORITY MUSLIM GROUP BASED ON GENDER


IN INDONESIA
Rr. Siti Kurnia Widiastuti................................................................................................................. 169

ANALISIS GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN PERAJIN BATIK


GUMELEM DALAM PELESTARIAN WARISAN BUDAYADAN PEMENUHAN
EKONOMI KELUARGA
Riris Ardhanariswari, Sofa Marwah................................................................................................ 188

PENGARUH PEMAHAMAN DAN SENSITIVITAS GENDER TERHADAP


CIVIC DISPOSITION PADA PESERTA DIDIK MADRASAH ALIYAH DI
KABUPATEN BANTUL
Nurokhmah, Sunarso,....................................................................................................................... 200

PEREMPUAN MENGGUGAT (Kajian atas QS. al-Mujadilah [58]: 1-6)


Waryono .......................................................................................................................................... 214

KONSTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN MUSLIM DI PESANTREN (Studi di


Pesantren Raudlatul Muta’allimin Cilendek Cibeureum Kota Tasikmalaya)
Isti’anah........................................................................................................................................... 225

TUNGGU TUBANG : MARGINALISASI PEREMPUAN SEMENDE


Zainal Arifin & Maskota Delfi & Sidarta Pujiraharjo..................................................................... 235

IBU RUMAH TANGGA MELAWAN TELEVISI: STUDI LITERASI MEDIA TELEVISI


BAGI IBU RUMAH TANGGA DI TEGALREJO YOGYAKARTA
Yanti Dwi Astuti, Akhmad Rifai, Khoiro Ummatin .......................................................................... 248

v
TUNGGU TUBANG : MARGINALISASI PEREMPUAN SEMENDE

Zainal Arifin & Maskota Delfi & Sidarta Pujiraharjo1


Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Andalas
email : arifinzed@gmail.com

Abstrak
Semende ataupun komunitas Semendo adalah sebuah kelompok etnik yang tinggal di daerah
pegunungan Sumatra Selatan. Sebuah aspek penting dari kultur kehidupan mereka adalah tunggu
tubang. Menurut tradisi, kekayaan keluarga yang terdiri dari rumah keluarga dan lahan pertanian,
akan diserahkan kepada anak perempuan tertua dalam setiap generasi. Artikel ini bertujuan untuk
menjelaskan tradisi tunggu tubang sebagai identitas yang unik yang membedakan komunitas Semende
dengan komunitas lain. Disamping untuk menjaga keberlangsungan komunitas, tunggu tubang juga
sebagai alat legitimasi untuk kontrol kekuasaan gender oleh laki-laki di masyarakat. Tunggu Tubang
sebagai alat legitimasi laki-laki terbukti dari penempatan perempuan “atas nama adat” tampaknya
memiliki kekuatan. Maka, komunitas Semende dikenal menggunakan sistem matrilineal. Bagaimanapun,
tunggu tubang menguatkan posisi laki-laki yang memposisikan dirinya sebagai meraje, yang “atas
bama adat” juga dianggap berhak untukk mengontrol (seringkali sewenang-wenang) keberlanjutan
tunggu tubang.

Kata kunci: tunggu tubang, meraje, kekuatan, marginalisasi, politik gender

Abstract
The Semende or also known as Semendo communities are a distinctive ethnic group residing in the
mountainous areas of South Sumatra Province. An important aspect of their cultural life is known
as tunggu tubang. According to tradition the family’s property, which consist of family house and
agricultural fields, are passed on to the eldest daughter in each generation. This article attempts to
explain the position of tunggu tubang as a unique identity differentiator of the Semende communities in
contrast with other communities. Besides a means to protect the community’s survival, tunggu tubang
has developed at the same time as a tool of legitimacy of political gender power control by males
in the community. Tunggu tubang as a tool of legitimacy of men is evident from the placement of
women “in the name of custom” seem to have power, so the community is often legitimized Semende as
matrilineal. However, tunggu tubang is strengthening the position of the man who positioned himself
as meraje that “in the name of custom” is also considered to be entitled to control (often arbitrarily)
tunggu tubang sustainability.

Keywords : tunggu tubang, meraje, power, marginalization, political gender

1
Staf pengajar di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang.

236
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

Pengantar perti ke Bengkulu, Lampung, Jambi dan ke be­


Semende (atau dalam beberapa literatur di­ berapa daerah lain di propinsi Sumatera Se­latan.
sebut juga Semendo) adalah salah satu suku Di wilayah migran, komunitas Semende ini
bangsa yang ada di Kabupaten Muara Enim, Pro­ cenderung mengelompok dengan tetap memper­
pinsi Sumatera Selatan. Berangkat dari asal usul tahankan adat istiadatnya, khususnya adat tunggu
masyarakatnya, Semende ini berke­mungkinan ber­ tubang. Sebagai adat, maka tunggu tubang ber­
asal dari sebaran salah satu kelompok dari Basemah makna sebagai aturan adat berkaitan dengan pola
yang ada di Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera pewarisan, dimana harta warisan orangtua akan
Selatan2 , yang dalam perkembangan kemudian diserahkan kepada anak perempuan tertua dalam
juga akhirnya mendapat pengaruh dari Kesultanan keluarga intinya untuk. Di sisi lain, tunggu tubang
Palembang.3 Hal ini bisa dibaca dari mitos asal juga bisa dimakna sebagai perempuan tertua
usul komunitas Semende itu sendiri, yang sering yang menerima harta warisan dari orangtuannya
menyebut akan keberadaan tiga tokoh penting tersebut. Oleh sebab itu, perempuan tertua yang me­
yang selama ini diyakini sebagai puyang (nenek nerima warisan orangtuanya ini kemudian sering
moyang) mereka.4 Pengaruh budaya Basemah juga disebut dengan perempuan tunggu tubang.
sebagai etnis yang telah mempunyai peradaban Adapun harta yang diwariskan orangtua tersebut
tinggi di daerah pedalaman Sumatera Selatan, dan berupa rumah tempat tinggal dan sebidang sawah,
bahkan terkadang juga sebidang ladang.
pengaruh Kesultanan Palembang sebagai pusat
Pola pewarisan tunggu tubang ini membuat
peradaban baru yang berpemerintahan, membuat
laki-laki Semende cenderung tidak memiliki harta
budaya Semende memiliki ciri khas yang tidak
di kampung halamannya, kecuali apabila orang­
terlepas dari dua kekuatan budaya ini. Apabila
tuanya memiliki banyak harta dan bersikap arif
peradaban Basemah lebih mempengaruhi sistem
untuk membagi harta lainnya kepada semua anak-
adat dan nilai-nilai budaya kehidupan, maka per­
anaknya termasuk kepada anak laki-lakinya.
adaban Palembang (kesultanan) membawa pe­
Akibat­nya, banyak laki-laki Semende akhirnya
ngaruh pada sistem pemerintahan (marga).
me­milih untuk mencari penghidupan lain di luar
Semende termasuk komunitas yang juga
kampung halaman dengan harapan juga dapat
banyak bermigrasi ke wilayah disekitarnya se­
memiliki rumah dan lahan untuk diolah. Karena
keahlian utama orang Semende ada dibidang per­
2
Iskandar, Kedudukan Anak Tunggu Tubang dalam Pewarisan
Masyarakat Adat Suku Semendo di Kota Palembang (Tesis Master tanian (khususnya ladang), maka arah migrasi
Kenoktariatan), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2003), 53-54. cenderung ke wilayah yang memiliki lahan yang
3
Disadur dari: Buku Panduan Deklarasi Paguyuban Jurai
Semende Nusantara dan Pemberian Gelar Kehormatan Adat masih mencukupi untuk diolah sebagai ladang
Semende, yang diadakan pada tanggal 21 februari 2008 di desa Pulau atau sawah. Inilah yang menyebabkan mengapa
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim.
4
Tiga tokoh nenek moyang (puyang) tersebut adalah : (1) wilayah baru komunitas migran Semende cen­
Puyang Lebi yang dianggap sebagai tokoh lokal yang berperan derung berada di wilayah hutan, bahkan juga
penting dalam membuka wilayah Semende itu sendiri. (2) Puyang
Awak yang berasal dari Basemah yang berperan penting dalam
banyak ditemui di wilayah hutan yang belum me­
membangun adat Semende. (3) Puyang Rene dari Kesultanan mi­liki akses transportasi yang memadai.5
Palembang yang berperan penting dalam membangun sistem Di wilayah baru, ada kecenderungan ko­
pemerintahan (marga) pada komunitas Semende. Lihat dalam
Zainal Arifin, “Kebudayaan dan Warisan Tak Benda Masyarakat munitas Semende ini masih tetap memper­tahankan
di Propinsi Sumatera Selatan”, Disampaikan dalam Acara Rapat
Teknis Pelestarian Nilai Budaya Dalam Rangka Penetapan 5
Zainal Arifin, Talang : Sistem Klasifikasi dan Pola Adaptasi
Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Propinsi Sumatera Barat, Suku Bangsa Ogan dalam Proses Pembentukan dan Penataan
Bengkulu dan Sumatera Selatan Tahun 2015. Diadakan oleh Pemukiman Baru (Tesis Magister Antropologi), (Yogyakarta:
Kemendikbud, pada Tanggal 14-16 Juni 2015 di Padang, hlm. 2 Universitas Gajah Mada, 1998), 156.

237
Musãwa, Vol. 16, No. 2 Juli 2017

adat istiadat yang mereka miliki di kampung politik etnik di komunitas Semende. Pemberian
halaman (khususnya tunggu tubang), sehingga di peran kepada perempuan dalam tunggu tubang
wilayah baru ini, ada kecenderungan komunitas tersebut tidak berimplikasi pada kekuasaan yang
migran Semende ini dianggap sebagai komunitas disandang oleh kaum perempuan, akan tetapi
tersendiri yang berbeda dengan komunitas lain­ justru terjadi penguatan kekuasaan bagi kaum
nya. Hal ini misalnya bisa dilihat dari pengakuan laki-lakinya (meraje).
akan keberadaan mereka di Propinsi Bengkulu,
Propinsi Lampung, Propinsi Jambi dan di beberapa Tunggu Tubang : Adat Semende
wilayah kabupaten lainnya di Propinsi Sumatera Tubang adalah sebutan untuk sebatang
Selatan. Penguatan komunitas Semende di wi­ bambu (dua atau tiga ruas) yang digantung secara
layah migran ini, akhirnya di beberapa wilayah me­manjang di atas perapian tungku dapur, yang
tertentu menciptakan istilah tersendiri yaitu berfungsi sebagai tempat penyimpanan bumbu
Semende Lembak. Sebutan Semende Lembak ini dapur. Posisinya yang digantung di atas perapian,
adalah sebutan untuk membedakannya dengan bertujuan agar bumbu dapur yang disimpan ter­
komunitas asli di Kabupaten Muara Enim, yang sebut tidak cepat rusak dan terhindar dari binatang-
sering disebut sebagai Semende Darat.6 Ini me­nun­ binatang tertentu, seperti semut, kucing atau tikus.
jukkan bahwa tunggu tubang tidak se­kedar aturan Pada konteks sekarang, tubang juga bisa berbentuk
adat yang terkait dengan pola pe­ warisan yang wadah yang terbuat dari pelastik, yang diletakkan
mereka miliki, tetapi tunggu tubang mengandung di atas pelapon yang sengaja dibuat diatas tungku
makna tersediri sehingga perlu mereka pertahan­ dapur tersebut. Tunggu tubang dengan demikian
kan tidak saja di kampung halaman, tetapi juga bermakna sebagai perilaku menunggui tubang
sampai ke wilayah baru. tersebut, yang biasanya dilekatkan kepada pe­
Gambaran kondisi di atas, mengisyaratkan rem­puan yang banyak menghabiskan waktu di
bahwa keberlangsungan tunggu tubang di masya­ dapur baik untuk memasak atau karena aktivitas
rakat Semende tidak sekedar sebagai bentuk iden­ tertentu.7
titas yang perlu mereka pertahankan. Akan tetapi Tunggu tubang sebenarnya sebutan yang
di balik itu semua terselip kepentingan bagi mengacu pada seorang anak perempuan tertua
kelompok laki-laki (meraje) untuk tetap memper­ dalam sebuah keluarga yang ditugasi menjaga
tahankan dan menguatkan kekuasaan mereka. dan me­melihara harta pusaka yang dimiliki oleh
Artikel ini sendiri berusaha untuk menunjukkan ke­luarga tersebut, meliputi rumah dan lahan per­
bahwa perempuan yang diposisikan sebagai tanian yang ada. Untuk itu, maka perempuan
tunggu tubang tidaklah memiliki kekuasaan se­ tertua yang menjadi tunggu tubang ini diserahi
bagai­mana yang terlihat. Dengan kata lain, pem­ jabatan dan kekuasaan penuh oleh anggota ke­
berian hak kepada perempuan (tunggu tubang) luarga dan kerabatnya untuk menguasai dan
untuk menguasai dan memanfaatkan harta warisan memanfaatkan harta warisan keluargannya ter­
orang­tua tersebut hanyalah bentuk terselubung dari sebut.8 Oleh sebab itu, sebagai warisan, maka
6
Sebutan Semende Lembak ini sering dilekatkan misalnya 7
Zainal Arifin, Paradoks Matrilineal : Pola Kekuasaan dan
pada komunitas migran Semende yang ada di kabupaten OKU Penguasaan Sumberdaya (Kasus Minangkabau dan Semende)
Propinsi Sumatera Selatan dan di Kabupaten Bengkulu Selatan, (Jakarta : Hibah Penelitian Kompetensi DIKTI2015b, 2015), 8.
Propinsi Bengkulu. Lihat dalam Elita Guspitawaty, Penyimpangan 8
Pola pewarisan kepada anak perempuan dalam adat tunggu
Sistem Pewarisan yang Terjadi pada Masyarakat Hukum Adat tubang ini, oleh beberapa peneliti akhirnya sering mencurigai
Semendo Pulau Beringin Kabupaten OKU, Propinsi Sumatera bahwa Semende adalah penganut sistem matrilineal sebagaimana
Selatan (Tesis Magister Kenoktariatan), (Semarang: Universitas halnya Minangkabau. Lihat dalam Robbi Setiawan, Status Dan
Diponegoro, 2002), 62. Peranan Tunggu tubang Serta Perubahannya Pada Masyarakat

238
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

rumah dan lahan pertanian ini tidak boleh dijual, hingga seorang tunggu tubang terkadang juga
karena sebagai harta warisan maka ia juga akan harus menggarap sawah atau ladang lain yang
dan harus diwariskan kepada anak perempuan­ harus ia sediakan sendiri.
nya di kemudian hari. Khusus untuk rumah, maka Secara adat, seseorang yang diberi hak se­
sebagai warisan dari orangtua, ia juga berfungsi bagai tunggu tubang adalah anak perempuan
bagi anggota kerabat tunggu tubang untuk pulang, tertua dalam keluarga tersebut, yang sudah me­
berkumpul dan mengadakan kegiatan-ke­ giatan nikah. Posisi sebagai anak tertua, diasumsikan
tertentu seperti perkawinan, kematian atau acara karena ia dianggap lebih dewasa sehingga di­
adat lainnya. Kepulangan kerabat ke rumah tunggu harap­kan mampu mengayomi seluruh anggota
tubang, dengan demikian juga harus dijamu dan keluarga menggantikan orangtuanya. Posisinya
dilayani oleh perempuan yang men­ jadi tunggu se­bagai perempuan, yang diasumsikan “lemah”
tubang. Ini yang menyebabkan mengapa seorang dan “tidak mampu” mencari penghidupan sen­diri,
tunggu tubang juga diberi hak pengua­saan ter­ sehingga akan sangat “tergantung” pada suami­nya.
hadap sebidang sawah warisan orang­tuanya, di­ Oleh sebab itu, posisi sebagai tungggu tubang ini
samping rumah sebagai tempat tinggal itu sendiri. akhirnya tidak saja dilekatkan pada perem­ puan
Ini menunjukkan bahwa, disamping diberi tersebut, tetapi juga pada laki-laki (suaminya).
kepercayaan untuk menguasai dan memanfaatkan Apabila anak perempuan tertua ini merasa tidak
rumah dan sebidang sawah warisan orangtuanya, sanggup memikul tanggung jawab sebagai tunggu
maka seseorang perempuan yang menjadi tunggu tubang (dengan alasan tertentu), maka beban
tubang, juga berkewajiban untuk menyediakan tunggu tubang akhirnya akan dilimpahkan kepada
sebuah kebutuhan yang dilakukan anggota kerabat adik dari perempuan tertua tersebut.
selama di rumah tunggu tubang. Disamping itu, Secara adat, “harus ada” seorang perempuan
seorang tunggu tubang juga berkewajiban untuk dalam keluarga tersebut yang diposisikan sebagai
memelihara dan merawat semua orang yang tunggu tubang, sehingga idealnya tidak ada anak
tinggal bersama dirinya di rumah tunggu tubang, perempuan dalam keluarga tersebut yang me­
seperti orangtua yang saudara-saudaranya yang nyatakan dirinya tidak sanggup menanggung
belum kawin. Bahkan seorang tunggu tubang beban tersebut. Namun apabila semua perempuan
juga berkewajiban mengayomi saudaranya yang dalam keluarga tersebut tidak ada yang merasa
belum kawin sampai bisa mandiri. Oleh sebab itu, sanggup memegang posisi tersebut, maka melalui
ada kecenderungan, sebidang sawah yang diwaris­ musyawarah keluarga akan diputuskan apakah
kan orangtua tersebut tidak mencukupi untuk posisi tunggu tubang diserahkan pada anak laki-
melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, se­ laki dalam keluarga tersebut, atau justru harta
warisan tersebut akan dijual saja.9 Berbeda apa­
Semende Desa Muara Tenang Kecamatan Semende Darat Tengah
Kabupaten Muara Enim (Skripsi Jurusan Sosiologi), (Palembang: bila dalam keluarga tersebut tidak ada perem­
Universitas Sriwijaya, 2013), 12. Lihat juga Iskandar, Kedudukan puan yang akan memegang posisi sebagai tunggu
Anak Tunggu Tubang dalam Pewarisan Masyarakat Adat Suku
Semendo di Kota Palembang (Tesis Master Kenoktariatan),
tubang, maka posisi tunggu tubang ini akan di­
(Semarang: Universitas Diponegoro, 2003), 67-68. Lihat juga berikan kepada anak laki-laki tertua dalam ke­
dalam Elita Guspitawaty, Penyimpangan Sistem Pewarisan yang
Terjadi pada Masyarakat Hukum Adat Semendo Pulau Beringin 9
Pada kondisi dimana rumah dan sawah tersebut adalah
Kabupaten OKU, Propinsi Sumatera Selatan (Tesis Magister warisan turun temurun dari keluarga sebelumnya, maka sangat
Kenoktariatan), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), 101- memungkinkan, posisi tunggu tubang akan dikembalikan ke
102. Lihat juga David S Moyer, “South Sumatra in the Indonesia saudara-saudara orangtua yang mewarisan tunggu tubang tersebut.
Field of Anthropological Study” in J.P.B. de Josselin de Jong Tetapi dalam kasus Semende, justru harta warisan tersebut lebih
(eds), Unity in Diversity, (Dordrecht-Holland: Foris Publication, banyak diperjualbelikan daripada kembali diwariskan ke generasi
1984), 88-99. diatasnya.

239
Musãwa, Vol. 16, No. 2 Juli 2017

luarga ter­ sebut. Karena posisi tunggu tubang pada generasi di atas jenang meraje atau saudara-
ideal­nya dilekatkan pada anak perempuan, maka saudara laki-laki dari puyang nya tunggu tubang
laki-laki ini harus “memasukkan” istrinya menjadi (MoMoMoBr) akan disebut sebagai payung
bagian dalam keluarga tersebut, yang dalam istilah meraje, yang fungsinya sebagai kelompok pe­
Semende disebut ngangkit (membangkitkan kem­ lindung dan nasehatnya sangat dihormati ketika
bali). kelompok meraje dan jenang meraje ingin meng­
Untuk mengontrol agar tanggung jawab se­ ambil keputusan akhir. Sedangkan laki-laki pada
orang tunggu tubang tetap berjalan secara baik generasi di atas payung meraje atau sau­ dara-
dan tidak menyimpang dari adat, maka seluruh saudara laki-laki dari buyut nya tunggu tubang
laki-laki yang memiliki hubungan darah dengan (MoMoMoMoBr) akan disebut sebagai lebu
ibunya tunggu tubang, mulai dari generasi sau­dara meraje, yang fungsinya sebagai kelom­pok peng­
laki-laki ibunya tunggu tubang (MoBr) sampai ke ambil keputusan akhir apabila kelom­pok meraje,
generasi buyutnya tunggu tubang (MoMoMo­ jenang meraje dan payung meraje tidak mampu
Mo­MoBr). Posisi meraje pada setiap generasi ini meng­ambil keputusan akhir. Sedangkan kelom­
memiliki fungsi dan peran masing-masing, yang pok meraje yang paling tinggi (bisanya sudah me­
semuanya mengarah pada upaya mengontrol ninggal semua) atau saudara laki-laki buyutnya
dan mengendalikan, bahkan “menghakimi” peran buyut tunggu tubang (MoMoMo­Mo­MoBr) akan
yang dimainkan tunggu tubang itu sendiri. Ke­ disebut entah-entah yang akan dikenang jasanya
cuali saudara laki-laki tunggu tubang sendiri (Br) karena tetap menjaga melestarikan keberadaan
yang sering disebut dengan istilah lautan, di­mana adat tunggu tubang tersebut.
dirinya belum memiliki kekuasaan penuh ter­ha­
Gambar 1 : Tunggu Tubang dalam Sistem
dap tunggu tubang, dan posisinya baru sebatas
Kekerabatan Semende
calon meraje. Kelompok meraje dari berbagai
ting­katan ini, tidak saja berfungsi dalam mem­
bimbing tunggu tubang agar menjalankan fungsi­
nya secara baik, tetapi juga berfungsi sebagai
orang yang “menghakimi” tunggu tubang apabila
mela­kukan kesalahan.
Peran laki-laki sebagai meraje mulai terlihat
pada generasi diatasnya atau generasi saudara laki-
laki ibunya tunggu tubang (MoBr). Pada generasi
ini, laki-laki meraje harus memainkan peran se­
bagai kelompok yang memerintah, mengatur,
mengontrol bahkan mengadili perempuan tunggu
tubang dan semua anggota kerabat dari tunggu 

tubang tersebut (anak belai) apabila melakukan Keberadaan tunggu tubang di masyarakat
kesalahan. Laki-laki pada generasi di atas meraje Semende ini lah, yang kemudian oleh sering di­
atau saudara-saudara laki-laki dari neneknya jadikan argumentasi bahwa komunitas Semende
tunggu tubang (MoMoBr) akan disebut sebagai ini adalah penganut matrilineal. Di sisi lain,
jenang meraje, yang fungsinya sebagai kelompok identitas ke-matrilineal-an ini pun, juga tersebut
pemberi pertimbangan bagi kelompok meraje ke­ sering dikait-kaitkan dengan ke-matrilineal-an
tika mengambil keputusan. Sementara laki-laki Minangkabau, dengan cara melegitimasi mitos

240
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

bahwa salah satu nenek moyang mereka berasal perempuan ibu inilah, kemudian ditarik kembali
dari Minangkabau (puyang awak). Legitimasi akan ke bawah yaitu ke anak perempuan saudara pe­
identitas matrilineal masyarakat Semende ini rempuan ibunya tersebut (MoSiDa).11
bahkan juga dilegitimasi oleh beberapa penelitian Disamping itu, posisi perempuan sebagai
Semende sebelumnya.10 tunggu tubang juga tidak berdiri sendiri, karena
Tunggu tubang sebagai legitimasi akan sistem suami dari perempuan tunggu tubang juga akan
matrilineal masyarakat Semende ini, terkait dengan diposisikan sebagai satu kesatuan dari adat tunggu
penguatan pola adat yang mereka miliki, bahwa tubang tersebut. Ini menunjukkan bahwa posisi
harta peninggalan orangtua dalam bentuk material suami (laki-laki) dalam komunitas Semende bukan­
(rumah dan sawah) diwariskan kepada anak pe­ lah orang luar yang diposisikan sebagai marginal
rempuan tertua. Sistem tunggu tubang ini terus man (sumendo) sebagaimana yang terjadi di ma­
dijaga dan dikuatkan dalam masyarakat, sehingga syarakat Minangkabau. Laki-laki (suami) dalam
menjadi identitas utama yang sering dilekatkan adat Semende adalah bahagian penting yang akan
dengan masyarakat Semende. Pola pewarisan ikut menjaga harta warisan tunggu tubang ter­
dalam adat tunggu tubang yang diserahkan pada sebut, sehingga seorang perempuan yang belum
anak perempuan ini, kemudian memunculkan bersuami belum bisa menjadi tunggu tubang se­
kesan bahwa komunitas Semende akhirnya di­ belum ia memiliki suami.
lihat sebagai penganut sistem matrilineal. Apa­ Ini menunjukkan bahwa sistem tunggu tubang
bila matrilineal lebih dilihat sebagai bentuk pe­ tidak bisa dijadikan argumentasi yang kuat untuk
warisan kekerabatan, maka pewarisan harta pada mengatakan masyarakatnya adalah peng­ anut
prinsipnya hanyalah salah satu bentuk turunan matrilineal. Disisi lain, dalam setiap ranji ranji
dan sistem kekerabatan itu sendiri. Oleh sebab yang disusun dan dimiliki oleh setiap keluarga,
itu argumentasi yang mengatakan bahwa tunggu posisi anak perempuan cenderung “di­ hilang­
tubang adalah bukti bahwa komunitas Semende kan” dalam ranji tersebut, dan terganti­kan oleh
adalah penganut matrilineal, tentu saja sangat anak laki-laki dari perempuan tersebut (MoSo).
lemah dan tanpa dukungan data yang kuat. Dengan kata lain, hilangnya anak perempuan
Pada masyarakat Semende, posisi anak laki- tidak mengubah posisi dan susunan kekerabatan
laki tidak saja penting sebagai penerus keturunan, masya­rakatnya, sebaliknya hilangnya anak laki-
tetapi juga penting sebagai penjaga adat agar tetap laki cenderung juga tidak merusak susunan ke­ke­
lestari. Ini bisa dilihat dari posisi laki-laki yang rabatan masyarakatnya, karena (biasanya) akan
“memungkinkan” untuk menjadi tunggu tubang diganti “sementara” oleh perempuan untuk ke­
apabila saudara perempuan nya tidak ada lagi mudian diturunkan kembali ke anak laki-laki.
yang bisa dan mau menjadi tunggu tubang. Ini
cen­derung berbeda dengan masyarakat matrili­ Tunggu Tubang : Marginalisasi Perempuan
neal lainnya (seperti Minangkabau), dimana harta Semende
waris­an juga diberikan pada anak perempuan. Akan Mengikuti pemikiran Moyer12, Komuniatas
tetapi apabila tidak ditemukan lagi perempuan Semende termasuk komunitas yang suka berke­
yang akan mewarisi harta tersebut, maka pososi
11
Zainal Arifin, Politik Identitas Laki-Laki Minangkabau :
anak perempuan ini akan ditarik ke atas yaitu ke
Kasus Lembaga Adat Laki-Laki di Minangkabau (Jakarta: Hibah
saudara perempuan ibunya (MoSi). Dari saudara Penelitian Stranas Dikti, 2013), 40.
12
David S Moyer, “South Sumatra in the Indonesia Field of
10
Lihat misalnya Moyer (1984), Guspitawaty (2002), Anthropological Study” in J.P.B. de Josselin de Jong (eds). Unity
Iskandar (2003), dan Setiawan (2013) in Diversity (Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1984), 89.

241
Musãwa, Vol. 16, No. 2 Juli 2017

lana (bermigrasi). Pola migrasi ini biasanya di­ dalam keluarga tersebut. Tetapi pengambilalihan
kaitkan dengan upaya untuk memperbaiki hidup itu juga sering dilakukan dengan cara “mengutak-
yang lebih baik, dengan mengandalkan ke­ahlian atik” kesalahan yang dilakukan oleh seorang
mereka sebagai peladang. Proses migrasi ini bahkan tunggu tubang. Tuduhan akan kesalahan tersebut
diperkirakan telah lama dilakukan, yaitu sejak biasanya dikaitkan dengan peran yang “atas nama
tahun 1650, dan proses migrasi besar-besaran ke adat” harus dimainkan oleh seorang perempuan
arah selatan justru terjadi sejak tahun 1876.13 Hal tunggu tubang.
ini lah yang membuat banyak laki-laki Semende Salah satu peran yang dimainkan oleh se­
akhirnya berada di luar wilayah suku bangsanya orang perempuan tunggu tubang tersebut misal­nya
yang ada di Kabupaten Muara Enim. adalah keharusan membiayai seluruh ke­butuhan
Pola migrasi yang dilakukan laki-laki ini tidak upacara adat yang ingin (dan akan) dilakukan oleh
terlepas dari terjadinya penguatan adat tunggu seluruh anggota keluarganya. Pada beberapa kasus,
tubang di komunitas asalnya, dimana laki-laki ini sering dijadikan alasan bagi saudara laki-laki
relatif tidak memiliki kesempatan untuk mengua­ nya untuk tidak ikut serta mem­biayai upacara adat
sai harta warisan yang dimiliki orangtuannya. tersebut, dengan alasan tunggu tubang sudah diberi
Namun di sisi lain, justru di wilayah baru, ke­ harta warisan yang kegunaannya justru untuk
lompok laki-laki migran Semende ini cenderung mem­biayai setiap upacara yang dilakukan. Akan
juga akan tetap melestarikan adat tunggu tubang tetapi keterbatasan produksi dari lahan (harta)
tersebut. Ini menunjukkan bahwa adat tunggu yang diwarisan tersebut, sering tidak mencukupi
tubang bukan lah sebuah aturan yang mengekang untuk membiayai setiap upacara adat yang akan
yang memaksa laki-laki untuk migrasi dan keluar dilakukan. Berangkat dari ini maka perempuan
dari kampung halamannya. Perlu dicurigai bahwa tunggu tubang sering sekali menggunakan harta
adat tunggu tubang sebenarnya memiliki makna pribadinya untuk mengatasi persoalan tersebut.
tersediri bagi komunitasnya, khususnya bagi ke­ Hal ini lah yang kemudian sering menjadi alasan
lompok laki-laki Semende itu sendiri. bagi perempuan tunggu tubang untuk meminta
Kecurigaan ini bukan tidak beralasan, se­ tambahan biaya kepada saudara laki-lakinya.15
bagaimana yang dilaporan Guspitawaty14, di­ Kondisi ini menunjukkan bahwa adat tunggu
mana ada kecenderungan mulai menguatnya tubang bukan berarti tidak memunculkan per­
nilai-nilai kekuasaan laki-laki dalam penguasaan soalan tersendiri dalam komunitas nya, apalagi
harta warisan ini, yang ditunjukkan dalam bentuk mereka hidup ditengah kepungan komunitas lain
“peng­ ambilalihan” penguasaan dari perempuan yang menganut sistem patrilineal. Komunitas lain
ke laki-laki sebagai pemilik dan penguasa dalam yang ada di sekitar Semende yang secara tegas
tumbu tubang tersebut. Pengambilalihan tersebut menerapkan prinsip patrilineal, sebenarnya juga
tidak saja dilakukan dengan cara melegitimasi dikenal prinsip dimana perempuan tertua cen­
bahwa laki-laki juga dibolehkan untuk menjadi derung menjadi wakil dan pewaris harta orang­
tunggu tubang apabila tidak ada lagi perempuan tuanya. Akan tetapi harta yang diwariskan lebih
banyak dalam bentuk rumah, sementara harta
13
Arwin Rio Saputro & Bintang Wirawan, “Persepsi Masya­ dalam bentuk lahan, cenderung akan dibagi dengan
rakat Semende Terhadap Pembagian Harta Warisan dengan Sistem
Tunggu tubang,” Jurnal Sosiologi, Vol. 15 No. 1 (2013), 52.
saudara laki-lakinya dengan menggunakan prinsip
14
Elita Guspitawaty, Penyimpangan Sistem Pewarisan yang
Terjadi pada Masyarakat Hukum Adat Semendo Pulau Beringin 15
Zainal Arifin, Paradoks Matrilineal: Pola Kekuasaan dan
Kabupaten OKU, Propinsi Sumatera Selatan (Tesis Magister Penguasaan Sumberdaya (Kasus Minangkabau dan Semende)
Kenoktariatan), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), 106. (Jakarta: Hibah Penelitian Kompetensi DIKTI2015b, 2015), 62.

242
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

Islam. Oleh sebab itu, masyarakat lain di sekitar dipertahankan sebagai identitas komunalnya,
Semende ini, tidak menegaskan bahwa pola pe­ namun di sisi lain, Islam juga harus dikuatkan
warisan tersebut sebagai pola tunggu tubang se­ sebagai bentuk pengakuan bahwa mereka adalah
bagai­mana yang diberlakukan di masyarakat komunitas yang religius. Hal inilah yang menurut
Semende tersebut. Praditama,17 akhirnya menyebabkan mulai muncul
Disisi lain, terjadinya penguatan nilai-nilai dan terjadinya penyimpangan pola kekuasaan dan
Islam (patrilineal) di komunitas Semende ini penguasaan harta warisan dari perempuan ke laki-
juga ikut mempengaruhi keberlangsungan adat laki di dalam komunitas Semende tersebut.
tunggu tubang. Penguatan Islam yang lebih ber­
nuansa patrilineal ini, sering dijadikan legiti­masi Gambar 2 : Pola Hubungan Kekuasaan Tunggu
Tubang dan Jenang/Meraje
oleh sekelompok masyarakatnya yang me­ngata­kan
bahwa adat tunggu tubang bukan sebuah keharus­
an adat, tetapi lebih sebagai bentuk penghargaan
WXQJJXWXEDQJ
terhadap perempuan yang mereka anggap “lemah
-HQDQJPHUDMH
dan perlu dilindungi”. Argumen­ tasi ini sering DWXUDQDGDW
sekali diwacanakan dalam masyarakatnya, ter­ DWXUDQDJDPD
utama ketika muncul persoalan terkait dengan peran SRODNHNXDVDDQ
yang harus dimainkan oleh perempuan (tunggu NHNHUDEDWDQ

tubang) dengan saudara laki-laki. Bahkan dalam


beberapa kasus, terjadi pembalikan peran yang
seharusnya dimainkan oleh perempuan (tunggu
tubang) justru dialihkan ke laki-laki, dengan alas­ Asumsi di atas bukanlah hal yang salah,
an sesuai dengan hukum Islam, dimana laki-laki di­
mana penguatan sistem patrilineal dan nilai-
lah yang harus jadi pemimpin.16 nilai Islam telah ikut mempengaruhi terjadinya
Penguatan nilai-nilai Islam di komunitas penyimpangan dalam adat tunggu tubang di
Semende ini, tidak saja semakin menegaskan ko­munitas Semende. Tetapi hasil penelitian di
akan kekuasaan laki-laki di tengah masyara­kat­ lapangan juga menunjukkan bahwa proses peng­
nya, te­tapi di sisi lain juga ikut mempengaruhi alihan penguasaan dari perempuan ke laki-laki
keberadaan dan keberlangsungan adat tunggu dalam adat tunggu tubang tersebut, bukan hanya
tubang itu sendiri. Keberadaan adat yang cen­ terjadi sekarang saja, tetapi jauh sebelumnya hal
derung “berpihak” pada posisi perempuan, se­ ini sudah sering terjadi.18 Akan tetapi, “penyim­
makin terkikis akan keinginan komunitasnya pangan” tersebut tidak dianggap sebagai bentuk
untuk menguatkan nilai-nilai Islam yang “ber­ pelanggaran adat, tetapi justru dianggap sebagai
pihak” pada posisi laki-laki. Akibatnya melahir­ bagian dari mekanisme agar harta warisan ter­
kan dualisme praktik sosial di tengah masyarakat, sebut tetap bertahan dan dipertahankan. Hal ini
dimana adat yang cenderung berpihak pada perem­ biasanya dikaitkan dengan ketidakmampuan
puan dihadapkan dengan nilai-nilai Islam yang
cenderung berpihak pada laki-laki. Di satu sisi 17
M Rendy Praditama,“Sikap Masyarakat Terhadap Adat
Tunggu tubang di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende
adat (tunggu tubang) adalah warisan yang harus Sarat Laut, Kabupaten Muara Enim,” Jurnal Kultur Demokrasi,
Vol 1 No. 5 (2013), 4.
16
Zainal Arifin, Paradoks Matrilineal: Pola Kekuasaan dan 18
Zainal Arifin, Paradoks Matrilineal: Pola Kekuasaan dan
Penguasaan Sumberdaya (Kasus Minangkabau dan Semende) Penguasaan Sumberdaya (Kasus Minangkabau dan Semende)
(Jakarta: Hibah Penelitian Kompetensi DIKTI2015b, 2015), 68. (Jakarta: Hibah Penelitian Kompetensi DIKTI2015b, 2015), 44.

243
Musãwa, Vol. 16, No. 2 Juli 2017

perempuan (tunggu tubang) dalam memanfaatkan tersebut memang terjadi dalam komunitas
dan melindungi harta warisan tersebut sebagai Semende. Keberadaan meraje dalam adat Semende
milik keluarga luasnya. Pada beberapa kasus, dianggap sebagai penting, dan cenderung dilihat
keberadaan suami tunggu tubang --- yang secara dan diposisikan sebagai “penjaga adat” agar tetap
adat juga dianggap sebagai bagian dari sistem lestari. Akan tetapi keberadaan meraje dalam
tunggu tubang tersebut --- sering dicurigai dan komunitas Semende ini tidak bisa dipisahkan
dituduh sebagai aktor yang ingin mengambil dengan keberadaan perempuan sebagai tunggu
alih dan memanfaatkan harta tersebut untuk ke­ tubang. Dengan kata lain, meraje (kekuasaan laki-
pentingan diri dan keluarganya saja. Kondisi ini laki) ada karena ada tunggu tubang (penguasaan
lah yang kemudian sering menjadi alasan bagi harta oleh perempuan), dan tunggu tubang lestari
meraje untuk mengalihkan peran dan tanggung karena ada meraje.
jawab sebagai tunggu tubang tersebut kepada Pada etnis Basemah (yang dipercaya sebagai
sau­dara laki-laki tunggu tubang tersebut. daerah asal orang Semende)19 juga dikenal ada­nya
Hal ini juga bisa dibaca dari ketentuan adat konsep meraje, tetapi tidak dikenal ada­nya konsep
yang menyatakan bahwa perempuan tertua dalam tunggu tubang. Dalam konsep Basemah, kelompok
keluarga inti tersebut tidak selalu “harus” me­ anak laki-laki akan disebut sebagai meraje, yang
nerima tanggung jawab dirinya sebagai tunggu berfungsi mengayomi dan melindungi seluruh
tubang. Seseorang (perempuan tertua) punya hak anggota kerabatnya. Semen­tara anak perempuan
untuk menolak, sehingga tanggung jawab sebagai akan disebut sebagai anak belai, yang berfungsi
tunggu tubang bisa saja dilimpahkan kepada adik- sebagai pengasuh bagi orangtua dan seluruh
adik perempuanya yang lain. Bahkan sangat me­ anggota keluarga yang belum mandiri.20 Anak belai
mungkinkan apabila tidak ada perempuan yang dalam menjalankan fungsinya sebagai pengasuh,
mau dan sanggup memikul tanggung jawab ter­ tentu saja memerlukan perlindungan dikalangan
sebut, maka fungsi tunggu tubang justru akan saudara laki-lakinya, serta memerlukan harta se­
dilimpahkan ke anak laki-laki tertua, atau anak bagai basis pengasuhan. Akan tetapi di Basemah,
laki-laki lainnya dalam keluarga tersebut. Secara keberadaan harta ini tidak secara tegas diberikan
adat, pola pelimpahan peran tunggu tubang ke kepada anak perempuan tertua. Berbeda dengan
anak laki-laki ini sebenarnya tidak dibenar­kan, komunitas Semende, dimana melalui adat tunggu
selama anak perempuan masih ada dalam ke­ tubang, pewarisan harta ini dipertegas kepada anak
luarga tersebut. Seorang laki-laki, hanya diberi perempuan tertua.21 Posisi laki-laki sebagai meraje
peran sebagai pengawal dan pelindung sau­dara juga dipertegas tidak saja sebagai pelindung adat
perempuan yang menjadi tunggu tubang dalam dan harta yang diwariskan kepada tunggu tubang,
keluarga tersebut, tetapi tidak berhak meng­ tetapi juga sebagai “lembaga pengadilan” bagi
ganti­kan saudara perempuannya menjadi tunggu tunggu tubang apabila melakukan kesalahan.
tubang. 19
Arwin Rio Saputro & Bintang Wirawan, “Persepsi Masya­
Ini menunjukkan bahwa persoalan peng­ rakat Semende Terhadap Pembagian Harta Warisan dengan Sistem
Tunggu Tubang,” 51-62.
ambilalihan fungsi tunggu tubang dari perempuan 20
Basemah Blogspot. (2007, 20. 06). Sekilas Sejarah Basemah.
ke laki-laki belum bisa menjadi argumen yang Diakses melalui http://besemah.blogspot.com/2007/06/sekilas-
sejarah-besemah.html
kuat untuk mengatakan sebagai sebuah “penyim­ 21
Ketiadaan konsep tunggu tubang dikalangan orang Basemah
pangan”. Tetapi terjadinya penegasan dan pe­ ini membuat orang Basemah terlihat lebih tegas sebagai komunitas
nguatan peran dan fungsi laki-laki dalam meng­ yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, sedangkan orang
Semende melalui adat tunggu tubang ini akhirnya cendrung
atur dan mengendalikan harta tunggu tubang mengakui diri mereka sebagai penganut matrilinineal.

244
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

Keberadaan adat tunggu tubang di komunitas sekelompok laki-laki (meraje). Dualitas aturan
Semende ini, bukan berarti tidak memunculkan adat yang dimunculkan dalam kasus Semende
penolakan di tengah komunitas nya. Hal ini di­se­ ini, tentu saja bersifat samar dan tidak boleh di­
babkan karena seorang perempuan tunggu tubang, ungkap dan ditunjukkan secara tegas. Dengan kata
walaupun diberi hak untuk memegang, meng­olah lain, melalui adat tunggu tubang, secara diam-
dan memanfaatkan harta warisan yang diberikan diam (tersamar) terjadi penguatan kekua­saan dan
kepadanya. Tetapi “atas nama adat” ia juga harus penguasaan oleh laki-laki (meraje) ter­­hadap
mengeluarkan semua biaya dan kemampuannya pe­rempuan (anak belai). Kelompok perem­
untuk menghidupi dan membiayai seluruh adik- pu­an (anak belai) secara tidak sadar telah di­­
adiknya sampai bisa mandiri (menikah) dan me­ margi­­nalisasi dan dibuai oleh pengakuan bahwa
melihara serta menyantuni orangtua mereka. Apa­ mereka memiliki kekuasaan dan penguasaan akan
bila seorang tunggu tubang melalaikan kewajib­an sumber­daya yang ada. Sebaliknya, kelompok laki-
ini, maka “hukuman” akan diberikan oleh meraje laki (meraje) secara tersamar menguatkan ke­kua­
kepada dirinya. Ini menunjukkan bahwa se­orang saan dan penguasaannya akan sumberdaya yang
perempuan yang diposisikan sebagai tunggu ada tersebut.
tubang tidaklah memegang kekuasaan secara
penuh, tetapi dikendalikan dan diatur oleh kelom­ Simpulan
pok laki-laki (meraje). Keberadaan dan penguatan pola pewarisan
Pada masyarakat Semende, seorang tunggu melalui adat tunggu tubang di komunitas Semende
tubang sebenarnya hanya memegang dan meng­ ini, telah menjadikan komunitas ini menjadi salah
olah harta warisan orangtuanya, tetapi tidak me­ satu etnis yang khas dan berbeda dengan komu­
miliki kekuasaan untuk “menguasai” harta warisan nitas lain di sekitarnya. Pada satu sisi, adat tunggu
tersebut sepenuhnya. Kekuasaan yang sebenarnya tubang ini telah membuat laki-laki “terpaksa”
ada di tangan laki-laki (meraje), karena ia lah yang harus mencari penghidupan lain di luar wilayah
memiliki kekuasaan untuk “menghakimi” tunggu adatnya. Namun di sisi lain, adat tunggu tubang
tubang apabila tidak menggunakan harta warisan ini juga menjadi media bagi kelompok laki-
sebagaimana yang diharuskan. Bahkan seorang laki (meraje) untuk menguatkan kekuasannya.
meraje punya kekuasaan untuk “menghakimi” Dengan kata lain, melalui adat tunggu tubang ini,
seluruh anggota kerabatnya apabila melakukan perem­puan “terkesan” memiliki kekuasaan atas
kesalahan. Dengan kata lain, tunggu tubang ter­ sumberdaya yang ada. Namun secara empirik,
kesan menjadi penguasa terhadap harta warisan adat tunggu tubang adalah media bagi laki-laki
orangtuanya, tetapi sebenarnya hanyalah seba­gai (meraje) dalam menguatkan kekuasaannya. “Atas
orang yang dimintai (oleh meraje) untuk meng­ nama adat” kelompok laki-laki (meraje) secara
olah harta tersebut agar bisa dimanfaatkan secara tersamar telah menguatkan kekuasaan dan pengua­
bersama. saannya terhadap perempuan (tunggu tubang), dan
Kasus tunggu tubang di komunitas Semende kelompok perempuan (tunggu tubang) secara
ini menunjukkan bahwa secara normatif, seorang tidak sadar telah dimarginalisasi dan dibuai oleh
perempuan (tunggu tubang) dilegitimasi sebagai pe­nga­kuan bahwa mereka memiliki kekuasaan dan
pemilik kekuasaan dan diberi hak atas penguasaan penguasaan akan sumberdaya tersebut.
sumberdaya tertentu. Namun secara empirik, “atas Kasus tunggu tubang di Semende ini menun­
nama adat” sebenarnya menguatkan kekuasaan jukkan bahwa ketika sebuah komunitas mencoba

245
Musãwa, Vol. 16, No. 2 Juli 2017

menguatkan posisi perempuan, maka akan selalu kekuasaan untuk menguasai harta warisan itu sen­
muncul dualitas adat dalam penempatan posisi diri.23
tersebut. Dualitas tersebut disebabkan karena pada
banyak komunitas, sumberdaya adalah sumber DAFTAR PUSTAKA
kekuasaan, sehingga menguasai sumber­daya ber­ Arifin, Zainal. Paradoks Matrilineal : Pola Ke­
arti memiliki kekuasaan.22 Akan tetapi di ko­ kuasaan dan Penguasaan Sumberdaya
munitas Semende, pola kekuasaan dan pengua­ (Kasus Minangkabau dan Semende). Jakarta:
saan ini akhirnya terlihat ambigu (mendua), karena Hibah Penelitian Kompetensi DIKTI, 2015.
penguasaan sumberdaya oleh kaum perempuan Arifin, Zainal. Politik Identitas Laki-Laki Minang­
(tunggu tubang) bukan lah berarti mereka (tunggu kabau : Kasus Lembaga Adat Laki-Laki di
tubang) memiliki kekuasaan. Walaupun secara Minangkabau. Jakarta : Hibah Penelitian
adat, tunggu tubang dianggap sebagai bentuk pem­­ Stranas Dikti, 2013.
berian kekuasaan kepada perempuan untuk me­ Arifin, Zainal. Talang : Sistem Klasifikasi dan Pola
nguasai sumberdaya (harta warisan) yang ada. Adaptasi Suku Bangsa Ogan dalam Proses
Akan tetapi “atas nama adat” pula, kelompok Pembentukan dan Penataan Pemukiman Baru
laki-laki Semende (meraje) juga merasa perlu (Tesis Magister Antropologi). Universitas
untuk mengendalikan dan mengontrol bagaimana Gadjah Mada, Yogakarta, 1998.
seharusnya perempuan memainkan perannya se­ Guspitawaty, Elita. Penyimpangan Sistem Pe­
bagai tunggu tubang, sehingga pemberian ke­ warisan yang Terjadi pada Masyarakat
kua­saan ini sering dilegitimasi, hanyalah sebagai Hukum Adat Semendo Pulau Beringin Kabu­
bentuk perlindungan dan pengayoman terhadap paten OKU, Propinsi Sumatera Selatan
kaum perempuan itu sendiri. (Tesis Magister Kenoktariatan). Universitas
Dengan kata lain, adat tunggu tubang bukan­ Diponegoro, Semarang, 2002.
lah bentuk kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh Iskandar. Kedudukan Anak Tunggu tubang dalam
perempuan (tunggu tubang) Semende, walau­ Pewarisan Masyarakat Adat Suku Semendo
pun adat tunggu tubang memberi hak pada pe­ di Kota Palembang (Tesis Magister Kenok­
rempuan (tunggu tubang) untuk menguasai sum­ tariatan). Universitas Diponegoro, Semarang,
berdaya yang ada. Tunggu tubang tidak lebih 2003.
se­bagai bentuk gerakan politik laki-laki Semende Mattison, Siobhán M. (2011). “Evolutionary
(meraje) untuk tetap menguatkan kekua­ saannya Contributions to Solving the Matrilineal
melalui perempuan (tunggu tubang) sebagai media Puzzle”. Human Nature: An Interdisciplinary
politiknya. “Ketidak relaan” laki-laki menyerahkan Biosocial Perspective, 22 (1-2) (2011): 64-88.
kekuasaan nya ini bahkan ditunjukkan melalui hak Moyer, David S. “South Sumatra in the Indonesia
mereka (meraje) untuk menentukan dan meng­ Field of Anthropological Study” in J.P.B.
hakimi kesalahan kelompok perempuan (tunggu de Josselin de Jong (eds). Unity in Diversity.
tubang) itu sendiri. Penguatan kekuasaan ini di­
anggap penting karena tunggu tubang dianggap 23
Di komunitas Semende, penguatan posisi perempuan ini
bisa “membahayakan”, karena terjadi pelemahan ditandai dengan menguatnya pandangan bahwa mereka adalah
penganut matrilineal seperti halnya Minangkabau, sehingga
posisi laki-laki yang dianggap tidak lagi memiliki muncul legitimasi bahwa laki-laki memang harus merantau karena
tidak memiliki hak atas harta warisan yang ada. Pandangan seperti
22
Siobhán M Mattison,“Evolutionary Contributions to Solving ini oleh sebahagian anggota komunitas nya dilegitimasi melalui
the Matrilineal Puzzle,” Human Nature: An Interdisciplinary mitos yang menganggap salah seorang nenek moyang mereka
Biosocial Perspective, 22(1-2) (2011), 64. (puyang awak) memang berasal dari Minangkabau (Arifin, 2015).

246
Zainal Arifin, Maskota Delfi, Sidarta Pujiraharjo ‑ Tunggu Tubang: Marginalisasi Perempuan Semende

Dordrecht-Holland. Foris Publication (1984): Laporan


88-99. Arifin, Zainal. “Kebudayaan dan Warisan Tak
Praditama, M.R. “Sikap Masyarakat Terhadap Benda Masyarakat di Propinsi Sumatera
Adat Tunggu tubang di Desa Pulau Panggung Selatan”, Disampaikan dalam Acara Rapat
Kecamatan Semende Sarat Laut, Kabupaten Teknis Pelestarian Nilai Budaya Dalam
Muara Enim”. Jurnal Kultur Demokrasi, Vol. Rangka Penetapan Warisan Budaya Tak
1 No. 5 (2013): 4. Benda (WBTB) Propinsi Sumatera Barat,
Saputro, A. R & Wirawan, Bintang. (2013). Per­ Bengkulu dan Sumatera Selatan Tahun 2015.
sepsi Masyarakat Semende Terhadap Pem­ Diadakan oleh Kemendikbud, pada Tanggal
bagian Harta Warisan dengan Sistem Tunggu 14-16 Juni 2015 di Padang.
tubang Jurnal Sosiologi, Vol. 15 No. 1 (2013):
51-62. Webstite
Setiawan, Robbi. Status Dan Peranan Tunggu Basemah Blogspot. Sekilas Sejarah Basemah.
tubang Serta Perubahannya Pada Masya­ Diakses pada 6 Juli melalui http://besemah.
rakat Semende Desa Muara Tenang Keca­ blogspot.com/2007/06/sekilas-sejarah-
matan Semende Darat Tengah Kabupaten besemah.html
Muara Enim (Skripsi Jurusan Sosiologi).
Universitas Sriwijaya, Palembang, 2013.

247
STANDAR PENULISAN ARTIKEL MUSAWA

NO BAGIAN STANDAR PENULISAN


1) Ditulis dengan huruf kapital.
1. Judul
2) Dicetak tebal (bold).
1) Nama penulis dicetak tebal (bold), tidak dengan huruf besar.
2) Dilengkapi dengan identitas penulis (nama instansi dan email penulis)
Contoh :
2. Penulis
Inayah Rohmaniyah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
rochmaniyah@yahoo.com
Penulisan Sub Judul ataupun sub-sub judul tidak menggunakan abjad ataupun
angka.
Contoh:
3. Heading Pendahuluan
Sejarah Pondok Pesantren...
Lokasi Geografis
(dst).
1) Bagian Abstrak tidak masuk dalam sistematika A, B, C, dst.
2) Tulisan Abstrak (Indonesia) atau Abstract (Inggris) atau (Arab) di­
4. Abstrak cetak tebal (bold), tidak dengan huruf besar.
3) Panjang abstrak (satu bahasa) tidak boleh lebih dari 1 halaman jurnal (maksimal
250 kata)
1) Teks diketik 1,5 spasi, 5.000 – 10.000 kata, dengan ukuran kertas A4.
2) Kutipan langsung yang lebih dari 3 baris diketik 1 spasi.
5. Body Teks
3) Istilah asing (selain bahasa artikel) dicetak miring (italic).
4) Penulisan transliterasi sesui dengan pedoman transliterasi jurnal Musãwa.
1) Penulisan: Pengarang, Judul (Kota: Penerbit, tahun), hlm.
Contoh: Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’udi
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988), 750.
2) Semua judul buku, dan nama media massa dicetak miring (italic).
3) Judul artikel ditulis dengan tanda kutip (“judul artikel”) dan tidak miring.
6. Footnote 4) Tidak menggunakan Ibid, Op. Cit dan Loc. Cit.
5) Pengulangan referensi (footnote) ditulis dengan cara: Satu kata dari nama
penulis, 1-3 kata judul, nomor halaman. Contoh:
Lapidus, Sejarah sosial, 170.
6) Setelah nomor halaman diberi tanda titik.
7) Diketik 1 spasi.

262
1) Setiap artikel harus ada bibliografi dan diletakkan secara terpisah dari halaman
body-teks.
2) Kata DAFTAR PUSTAKA (Indonesia), REFERENCES (Inggris), atau
7. Bibliografi (Arab) ditulis dengan hurur besar dan cetak tebal (bold).
3) Contoh penulisan: Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron
A.M., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988.
4) Diurutkan sesuai dengan urutan alfabet.

263
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tulisan berbahasa Inggris pada Jurnal Musãwa ini
adalah literasi model L.C. (Library of Congress). Untuk tulisan berbahasa Indonesia, memakai model
L.C. dengan beberapa modifikasi.

A. Transliterasi Model L.C.

‫ = ح‬h} ‫=ج‬j ‫ = ث‬th ‫=ت‬t ‫=ب‬b ‫=ا‬-


‫=س‬s
‫=ز‬z ‫=ر‬r ‫ = ذ‬dh ‫=د‬d ‫ = خ‬kh

‫’=ع‬
‫ = ظ‬z} ‫ = ط‬t} ‫ = ض‬d} ‫ = ص‬s} ‫ = ش‬sh

‫=م‬m
‫=ل‬l ‫=ك‬k ‫=ق‬q ‫=ف‬f ‫ = غ‬gh

‫=ي‬y ‫‘=ء‬ ‫ = ھـ‬h ‫=و‬w ‫=ن‬n

Pendek a = ̀ i = ̨----- u = ‘
Panjang ā = ˏ ū = ‫ ﻱﺇ‬ ī = ‫ﻮﺃ‬
Diftong ay = ‫ ﻱﺇ‬ aw = ‫ﻮﺃ‬

Panjang dengan tashdid : iyy = ‫ ; ﻱﺇ‬uww = ‫ﻮﺃ‬


Ta’marbūtah ditransliterasikan dengan “h” seperti ahliyyah = atau tanpa “h”, seperti kulliya =
; dengan “t” dalam sebuah frasa (constract phrase), misalnya surat al-Ma’idah sebagaimana bacaan­
nya dan dicetak miring. Contoh, dhālika-lkitābu la rayba fih bukan dhālika al-kitāb la rayb fih, yā
ayyuhannās bukan yā ayyuha al-nās, dan seterusnya.

B. Modifikasi (Untuk tulisan Berbahasa Indonesia)


1. Nama orang ditulis biasa dan diindonesiakan tanpa transliterasi. Contoh: As-Syafi’i bukan al-
Syāfi’i, dicetak biasa, bukan italic.
2. Nama kota sama dengan no. 1. Contoh, Madinah bukan Madīnah; Miṣra menjadi Mesir, Qāhirah
menjadi Kairo, Baghdād menjadi Baghdad, dan lain-lain.
3. Istilah asing yang belum masuk ke dalam Bahasa Indonesia, ditulis seperti aslinya dan dicetak
miring (italic), bukan garis bawah (underline). Contoh: ...al-qawā’id al-fiqhiyyah; Isyrāqiyyah;
‘urwah al-wusqā, dan lain sebagainya. Sedangkan istilah asing yang sudah populer dan masuk ke
dalam Bahasa Indonesia, ditulis biasa, tanpa transliterasi. Contoh: Al-Qur’an bukan Al-Qur’ān;
Al-Hadis bukan al-Hadīth; Iluminatif bukan illuminatif, perenial bukan perennial, dll.
4. Judul buku ditulis seperti aslinya dan dicetak miring. Huruf pertama pada awal kata dari judul buku
tersebut menggunakan huruf kapital, kecuali al- yang ada di tengah. Contoh: Ihyā ‘Ulūm al-Dīn.

264

Anda mungkin juga menyukai