Biosintesisantibiotik
Biosintesisantibiotik
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
BAB II ANTIBIOTIK ...........................................................................................................
2
2.1 Definisi Antibiotik .................................................................................................. 2
2.2 Sejarah Penemuan Antibiotik ................................................................................. 2
2.3 Jenis dan Klasifikasi Antibiotik .............................................................................. 4
2.4 Mekanisme Aksi Antibiotik.................................................................................. 10
BAB III BIOSINTESIS ANTIBIOTIK ...............................................................................
12
3.1 Reaksi-Reaksi Penting dalam Biosintesis Antibiotik ........................................... 12
3.2 Teknik Identifikasi Biosintesis ............................................................................. 14
3.3 Biosintesis Beberapa Jenis Antibiotik .................................................................. 17
3.3.1 -laktam......................................................................................................... 18
3.3.2 Aminoglikosida ............................................................................................. 21
3.3.3 Makrolida ...................................................................................................... 23
3.3.4 Tetrasiklin...................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 27
i
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Metabolisme merupakan peristiwa yang sangat penting dalam suatu bentuk kehidupan.
Pembentukan molekul-molekul dan energi yang dihasilkan selama metabolisme akan
menunjang pertumbuhan sehingga organisme tersebut tetap hidup. Selain itu, metabolisme
juga menjaga agar organisme dapat mempertahankan strukturnya, dapat bereproduksi, dan
beradaptasi dengan perubahan kondisi sekitar. Metabolisme juga menjadi penentu
terjadinya siklus unsur-unsur penting di alam dengan adanya peristiwa degradasi maupun
sintesis sehingga dapat dikatakan bahwa organisme yang satu dapat menunjang
keberlangsungan hidup organisme lainnya.
Pengetahuan tentang metabolisme telah mengantarkan kita kepada tingkat
pemahaman mendalam hingga proses-proses yang berkaitan. Suatu jaring-jaring yang
kompleks dari reaksi-reaksi oleh enzim-enzim dapat dibentuk dan dipelajari di masa
sekarang. Mulai dari pengikatan CO2 untuk fotosintesis, penguraian glukosa untuk
menghasilkan energi, hingga pembentukan makromolekul seperti protein, asam nukleat,
dan karbohidrat. Jaring-jaring yang rumit dan vital tersebut merupakan rangkaian dari
proses yang disebut metabolisme primer. Sedangkan metabolisme sekunder dapat
dinyatakan sebagai percabangan proses metabolisme primer untuk menghasilkan senyawa
yang disebut sebagai metabolit sekunder.
Metabolit sekunder dibentuk dari lintasan yang khusus dari metabolit primer,
mempunyai sebaran yang terbatas, tetapi memiliki keragaman struktur kimia yang tinggi.
Pembentukannya oleh enzim tertentu yang dikodekan oleh material genetik spesifik
menunjukkan bahwa metabolit sekunder merupakan karakteristik untuk spesies atau genus
tertentu. Metabolit sekunder tidak bersifat esensial bagi sel yang menghasilkannya, akan
tetapi penting bagi organisme secara keseluruhan.
Antibiotik merupakan salah satu produk metabolit sekunder yang bernilai tinggi.
Penggunaannya yang cukup penting dalam bidang medikal mendorong sintesisnya dalam
skala industri menjadi prospek yang cukup menjanjikan. Untuk mensintesisnya dalam
industri diperlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang metabolisme di dalam organisme
penghasilnya. Barulah setelah memahami proses biosintesisnya, dapat dilakukan
modifikasi untuk menghasilkannya secara skala besar.
1
BAB II
ANTIBIOTIK
Kata antibiotik berasal dari bahasa Yunani, anti yang berarti “melawan” dan bios yang
berarti “hidup”. Menurut Waksman (1947), antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh
mikroorganisme tertentu untuk menginhibisi pertumbuhan bahkan membunuh
mikroorganisme lain di dalam larutan. Dengan kata lain, antibiotik adalah agen
antimikroba yang dihasilkan secara mikrobial. Oleh karena itu, antibiotik sering disebut
juga produk antimikrobial alami. Mikroorganisme yang menghasilkan antibiotik untuk
membunuh mikroorganisme lain di sekitarnya memperoleh keuntungan dalam hal
mendapatkan sumber makanan di lingkungan alami.
Antibiotik merupakan produk metabolit sekunder, yang dihasilkan umumnya pada
saat laju pertumbuhan rendah atau setelah pertumbuhan berhenti, tidak esensial untuk
pertumbuhan mikroorganisme penghasilnya di dalam kultur murni, dan memiliki struktur
yang tidak umum dijumpai dalam produk metabolit primer. Salah satu hal menarik untuk
diperhatikan adalah bahwa metabolit sekunder dibiosintesis terutama dari banyak
metabolit-metabolit primer: asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat, dan zat antara
lainnya.
Dewasa ini istilah “antibiotik” tidak hanya ditujukan kepada zat yang dihasilkan
oleh mikroorganisme, tetapi juga zat sintetik yang dihasilkan di laboratorium atau industri
yang memiliki sifat antimikroba. Antibiotik semisintetik merujuk pada antibiotik alami
yang telah dimodifikasi dalam laboratorium untuk meningkatkan kekuatan antimikrobanya.
Bukti keberhasilan penggunaan kemoterapi yang paling awal berasal dari Peru kuno, di
mana bangsa Indian menggunakan kulit kayu pohon kina untuk mengobati malaria.
Penemuaan p-rosanilin yang memiliki efek antitripanosomal dan arsfenamin yang efektif
melawan sifilis, oleh Paul Ehrlich di Jerman mengawali masa kemoterapi modern. Ehrlich
kemudian mengemukakan postulatnya yang menyatakan bahwa ada senyawa kimia yang
bersifat racun/toksik selektif terhadap parasit tetapi tidak berbahaya bagi manusia. Ide ini
kemudian dinamakan konsep “magic bullet” atau peluru ajaib.
Pada tahun 1929, Fleming mengamati bahwa pertumbuhan sejenis fungi, yang
kemudian diidentifikasi sebagai Penicillium notatum, pada cawan yang ditanami
staphylococci mencegah pertumbuhan bakteri tersebut. Pada media cair, fungi ini
menghasilkan senyawa, yang kemudian dinamakan penisilin, yang dapat menghambat
bakteri kokus dan bakteri kelompok difteri, tetapi tidak untuk bakteri batang gram negatif.
Fleming sendiri tidak mengemukakan lebih jauh tentang penggunaan substansi yang
diperolehnya sebagai zat antibakterial. Penemuan ini tidak mendapat perhatian yang lebih
jauh hingga pada tahun 1939, Florey dan Chain kembali mengisolasi penisilin.
Demonstrasi yang mereka lakukan membuktikan kemampuan penisilin untuk melawan
berbagai jenis bakteri gram positif dan bakteri tertentu lainnya yang terdapat dalam tubuh
animalia. Penemuan ini mendapat perhatian dunia pada saat itu, dan secara besar-besaran
diproduksi untuk mengatasi kebutuhan obat infeksi akibat luka dari Perang Dunia II.
Pada tahun 1944, Waksman mengisolasi streptomisin dan sesudah itu menemukan
agen seperti kloramfenikol, tetrasiklin, dan eritromisin dalam sampel tanah. Sejak tahun
1960-an, pengembangan proses fermentasi dan kemajuan kimia farmasi memungkinkan
sintesis berbagai agen kemoterapi baru dengan modifikasi molekular senyawa yang sudah
ada. Progres pengembangan agen antibakterial cukup cepat, akan tetapi pengembangan
agen antifungal dan antivirus yang efektif dan nontoksik berlangsung lambat. Amfoterisin
B, yang diisolasi tahun 1950-an, masih menjadi agen antifungal yang efektif, meskipun
agen yang lebih baru seperti fluconazole telah digunakan secara luas. Analog nukleosida
seperti acyclovir terbukti efektif sebagai agen antivirus.
Berbagai jenis antibiotik telah dikenal sejak dikemukakannya konsep aktivitas antibiotik
itu sendiri. Tabel 2.1 menyajikan sejarah perkembangan dan pengenalan kelas-kelas baru
antibiotik (Conly J., 2005). Perkembangan antibiotik bisa dikatakan semakin melambat.
Hal ini disebabkan karena penemuan hingga pengenalan kepada publik jenis antibiotik
baru memerlukan waktu yang lama, prosedur yang lebih ketat, dan yang terpenting dapat
memberikan manfaat bagi manusia di bidang farmasi. Jenis-jenis senyawa antibiotik yang
terkenal dan bermanfaat bagi manusia beserta mikroorganisme penghasilnya dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Senyawa antibiotik, mikroorganisme penghasil, dan aktivitas biologisnya
Senyawa Mikroorganisme Aktivitas Biologis
Bakteri gram positif, konsentrasi tinggi
Aktinomisin S. antibioticus
untuk gram negatif, racun bagi animalia
Apergillin A. niger Gram positif dan negatif, nontoksik
Basitrasin B. subtilis Bakteri gram positif
Klorelin Chlorella sp. Bakteri gram positif dan negatif
Aktif melawan fungi dan bakteri lebih
Eumisin B. subtilis
tinggi
Fumigasin A. fumigatus Bakteri gram positif, toksisitas terbatas
Trichoderma,
Berbagai jenis bakteri fan fungi, toksik
Gliotoksin Gliocladium, A.
bagi animalia
fumigatus
Gramisidin B. brevis Litik bagi bakteri gram positif
P. puberculum, P.
Asam penisilat Bakteri gram positif dan gram negatif
cyclopium
P. notatum, P. Bakteri gram positif, aktif in vivo,
Penisilin
chrysogenum toksisitas rendah
Proaktinomisin N. gardneri Bakteri gram positif, toksik
Piosianin Ps. aeruginosa Bakteri gram positif, toksisitas terbatas
Aktif melawan B. mycoides dan lebih aktif
Streptomisin S. griseus lagi melawan Ps. aeruginosa, beberapa
bakteri gram negatif, toksisitas rendah.
Sefalosporin A. chrysogenum Bakteri gram positif dan gram negatif
Tirosidin B. brevis Litik untuk gram positif dan gram negatif
Viridin T. viridis Sangat fungistatik
2. Aminoglikosida
Kelompok ini merupakan antibiotik yang mengandung amino gula yang dihubungkan
dengan ikatan glikosidik, sehingga dinamakan aminoglikosida. Beberapa jenis
antibiotik yang tergolong aminoglikosida yaitu streptomisin (dihasilkan oleh
Streptomyces griseus), kanamisin (Gambar 2.2a), neomisin, gentamisin, tobramisin,
netilmisin, spektinomisin, dan amikasin. Streptomisin merupakan antibiotik pertama
yang efektif dalam pengobatan tuberculosis. Antibiotik aminoglikosida tidak digunakan
secara luas, di mana hanya mencakup 3% dari total semua antibiotik dihasilkan dan
digunakan di dunia.
3. Makrolida
Antibiotik makrolida memiliki cincin lakton yang berikatan dengan gula. Variasi cincin
lakton dan gula menghasilkan berbagai macam senyawa antibiotik jenis ini. Meskipun
ukuran cincin antibiotik makrolida bervariasi antara 6 sampai 30, kebanyakan antibiotik
makrolida yang digunakan memiliki ukuran cincin 14 atau 16. Eritromisin, jenis
antibiotik makrolida yang paling banyak digunakan, memiliki ukuran cincin 14
(Gambar 2.2b). Secara keseluruhan, antibiotik makrolida mencakup 11% dari total
produksi dan penggunaan antibiotik dunia.
4. Tetrasiklin
Antibiotik tetrasiklin memiliki struktur yang terdiri dari cincin naftacena. Substitusi
gugus dasar cincin naftacena dapat terjadi secara alami dan menghasilkan analog
tetrasiklim yang baru. Antibiotik tetrasiklin merupakan antibiotik dengan penggunaan
yang cukup luas setelah antibiotik -laktam. Struktur molekul tetrasiklin dapat dilihat
pada Gambar 2.3.
5. Streptogramin
Merupakan jenis antibiotik yang umumnya dihasilkan oleh mikroorganisme genus
Streptomyces. Streptogramin dibedakan atas dua jenis yaitu streptogramin A dan
streptogramin B. Dalam mekanisme kerjanya, kedua jenis streptogramin bersinergi
untuk menginhibisi pertumbuhan bakteri. Streptogramin A terdiri dari cincin tidak jenuh
bermember 23 dengan ikatan lakton dan peptida, sementara streptogramin B merupakan
depsipeptida (lactone-cyclized peptides).
Salah satu contoh antibiotik streptomisin adalah pristinamisin, yang merupakan
gabungan dari pristinamisin IA (sebuah makrolakton peptida yang termasuk
streptogramin B) dan pristinamisin IIA (sebuah makrolakton poliunsaturated yang
termasuk streptogramin A). Struktur molekul pristinamisin dapat dilihat pada Gambar
2.4.
Gambar 2.4. Struktur molekul Pristinamisin IIA dan Pristinamisin IA
(sumber: www.wikipatents.com)
6. Daptomisin
Daptomisin (C72H101N17O26) merupakan antibiotik yang mengandung siklik lipopeptida.
Umumnya dihasilkan oleh genus Streptomyces. Daptomisin digunakan untuk mengobati
infeksi bakteri gram positif seperti staphylokokus dan streptokokus yang bersifat
patogen. Cara kerjanya dengan mengikat secara spesifik pada membran sitoplasma
bakteri, membentuk pori, dan mengakibatkan depolarisasi membran. Akibat
depolarisasi, bakteri tidak dapat menghasilkan makromolekul seperti asam nukleat dan
protein, dan akhirnya mati. Struktur molekul daptomisin dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Selain kelima kelas antibiotik yang telah disebutkan di atas, terdapat juga beberapa kelas
antibiotik lainnya, di antaranya platensimisin (menghambat biosintesis lipid bakteri),
streptogramin (contohnya pristinamisin), dan glikopeptida (contohnya vancomisin).
2.4 Mekanisme Aksi Antibiotik
Gambar 2.7. Perbedaan mekanisme aksi antibiotik pada bakteri gram positif dan negatif
(sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
BIOSINTESIS ANTIBIOTIK
2. Metilasi
Metilasi merupakan reaksi penambahan gugus metil (-CH3) pada substrat ataupun
substitusi suatu atom atau gugus pada substrat dengan gugus metil. Metilasi
merupakan reaksi yang sering dijumpai dalam biosintesis metabolit sekunder.
Metilasi-C, -O, dan –N dalam biosintesis metabolit sekunder umumnya melibatkan
substitusi nukleofilik pada kelompok S-metil dari S-adenosilmetionin.
Contoh dalam biosintesis antibiotik adalah metilasi triptofan dalam
pembentukan asam kuinaldat dengan transfer gugus metil metionin. Senyawa ini
kemudian akan bereaksi lebih lanjut membentuk antibiotik thiostrepton.
3. Asilasi
Asilasi atau disebut juga alkanolasi, merupakan reaksi penambahan gugus asil (-RO)
kepada suatu senyawa. Senyawa penyumbang gugus asil yang umumnya digunakan
adalah asil halida, campuran anhidrida, dan disikloheksilcarbodiimida.
Sintesis asam 7-[1-(1H)-tetrazolilasetamido]sefalosporanat dilakukan melalui
rangkaian N-asilasi diikuti pelepasan nukleofilik oleh gugus asetoksi merupakan salah
satu contoh reaksi asilasi dalam biosintesis antibiotik. Reaksi ini dimulai dari asilasi 7-
ACA (asam aminosefalosporanat) dengan tetrazolilasetil klorida, dan substituen aseton
digantikan oleh 2-mercapto-5-metil-1,3,4-thiadiazole. Sefalosporin yang dihasilkan
bernama sefazolin.
Terdapat dua masalah dalam mempelajari metabolisme sekunder termasuk antibiotik yaitu
mengidentifikasi sumber dalam metabolisme primer yang merupakan asal dari
pembentukan metabolit sekunder dan mengidentifikasi mekanisme atau cara bagaimana
suatu zat antara terbentuk. Lintasan biosintetis metabolit primer umumnya jauh lebih
kompleks dibanding metabolisme sekunder. Struktur suatu metabolit primer tidak selalu
menghasilkan suatu kunci langsung atas proses biosintesisnya. Sebaliknya, struktur suatu
metabolit sekunder sering memungkinkan adanya spekulasi yang cukup akurat tentang asal
bahkan mekanisme pembentukannya. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa banyak
metabolit sekunder yang terbentuk dari satu atau dua unit sederhana yang berulang.
Adanya spekulasi yang cukup akurat tentang biosintesis antibiotik sebagai bagian
dari metabolit sekunder, menghasilkan landasan yang baik untuk percobaan-percobaan
guna menyelidiki asal-usul dan mekanisme pembentukannya. Percobaan tersebut
dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik. Teknik yang dominan mencakup
pemanfaatan suatu prekursor pada suatu organisme tertentu, dan pengamatan atas
antibiotik yang dihasilkan untuk dilihat apakah senyawa yang diberikan itu dimanfaatkan
dalam pembentukan metabolit yang bersangkutan. Salah satu cara mengamati prekursor
apakah yang terkonsumsi atau tidak adalah dengan memberi label pada prekursornya.
Terdapat berbagai macam label yang digunakan, di antaranya label isotop radioaktif,
14 3 13 15 18 2
misalnya C dan H (tritium) dan label isotop stabil, misalnya C, N, O, H
(deuterium).
Eksperimen dengan enzim-enzim yang dimurnikan yang terlibat dalam biosintesis,
atau bahkan eksperimen dengan preparat enzim yang tidak murni sekalipun dapat
memberikan pengertian yang penting mengenai suatu jalur.
1. Pelabelan isotop
Studi biosintesis antibiotik (metabolit sekunder) dengan metode pelabelan isotop dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembuatan prekursor yang mengandung isotop.
b. Pemberian prekursor yang telah dilabeli dengan isotop pada posisi yang spesifik untuk
organisme penghasil antibiotik.
c. Isolasi antibiotik yang dihasilkan setelah jangka waktu tertentu.
d. Penentuan apakah senyawa antibiotik yang dihasilkan mengandung isotop yang
sebelumnya terdapat pada prekursor.
Untuk mendeteksi isotop yang terkandung pada senyawa antibiotik tersebut dapat
menggunakan scintillilation counter untuk isotop radioaktif dan spektrometri massa
ataupun spektroskopi NMR untuk isotop stabil.
Setelah memasukkan senyawa yang dilabeli secara isotop, dapat ditentukan
senyawa mana yang bergabung dengan prekursor berlabel, ataupun porsi dari prekursor
berlabel dan sejauh mana penggabungan (inkorporasi), yang dinyatakan dengan laju
inkorporasi. Laju inkorporasi dapat ditentukan dari aktivitas radioaktif yang satuannya
10
berupa becquerel (1 Bq = 1 disintegrasi/s) atau curie (1 Ci = 3,7*10 disintegrasi/s) atau
dari pertambahan konsentrasi isotop alami, dinyatakan dalam atom % excess, pada
prekursor dan produk. Laju inkorporasi spesifik dan absolut dapat dihitung dan biasanya
dinyatakan sebagai persentase:
a. Laju inkorporasi spesifik, dinyatakan dalam persamaan:
Gambar 3.2. Kiri: Struktur 6-APA (atas) dan 7-ACA (bawah); Kanan: Struktur (A)
penisilin dan (B) sefalosporin
(sumber: www.springerimages.com dan ajprenal.physiology.org)
Jalur biosintesis penisilin dan sefalosporin memiliki kesamaan hingga pada
pembentukan isopenisilin N. Kedua biosintesis tersebut bermula dari kondensasi tiga
asam amino, yaitu asam aminoadipic, sistein, dan valin. Reaksi ini berlangsung
dengan adanya enzim ACV sintetase membentuk tripeptida -( -
aminoadipil)sisteinilvalin, yang kemudian diubah menjadi bentuk siklik isopenisilin N
dengan bantuan enzim isopenisilin N sintetase. Jalur reaksi hingga terbentuknya
isopenisilin N dapat dilihat pada Gambar 3.3.
3.3.2 Aminoglikosida
1. Streptomisin
Streptomisin merupakan antibiotik aminosiklitol-aminoglikosida yang dihasilkan
oleh Streptomyces griseus. Streptomisin terdiri dari amonisiklitol (streptidin), 6-
deoksiheksosa (streptosa), dan N-metilglukosamin, yang dihasilkan dalam jalur
biosintetis terpisah. Ketiga bagian tersebut merupakan turunan dari glukosa.
Streptidin disintesis melalui myo-inositol, yang kemudian dioksidasi pada C-1
dan mengalami transaminasi untuk memdapatkan scyllo-inosamin. Setelah
fosforilasi, senyawa tersebut kemudian ditransaminasi oleh arginin. Prosedur
yang sama berulang pada C-3. Streptosa diperoleh dari glukosa lewat lintasan
dTDP-glukosa. Jalur biosintesis yang pasti untuk N-metilglukosamin masih
belum diketahui. Lintasan biosintesis streptomisin dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Lintasan biosintesis streptomisin
(sumber: Kyoto Encyclopedia of Genes and Genomes)
2. Ribostamisin
Ribostamisin merupakan antibiotik aminoglikosida yang dihasilkan oleh
Streptomyces ribosidificus. Ribostamisin terdiri dari tiga subunit: DOS
(deoksistreptamin), neosamin C, dan ribosa. Lintasan biosintesis ribostamisin
dapat dilihat pada Gambar 3.7. Keterangan gambar: 1. D-glukosa; 2. Glukosa-6-
fosfat; 3. 2-deoksi-scyllo-inosose; 4. 2-deoksi-scyllo-inosamin; 5. 2-deoksi-3-
amino-scyllo-inosose; 6. 2-deoksistreptamin; 7. 2-amino-2-deoksi-D-glukosa; 8.
Neamin; 9. Ribostamisin. Dalam biosintesis ribostamisin, DOS terglikosilasi
untuk menghasilkan paromamin yang diubah menjadi neamin melalui
dehidrogenasi yang diikuti aminasi, dan kemudian ribosilasi akhir dari neamin
membentuk ribostamisin.
3.3.3 Makrolida
1. Erithromisin
Ertihromisin A merupakan antibiotik makrolida yang bercirikan cincin
mengandung 12, 14, atau 16 atom. Erithromisin A pertama kali diisolasi dari
Saccharopolyspora erythraea. Biosintesis erithromisin dapat dibagi atas dua fasa.
Fasa pertama yaitu poliketida sintase (PKS) mengkatalisis kondensasi sekuen
dari satu unit propionil KoA dan enam unit metilmalonil KoA untuk
menghasilkan 6-deoksierithronolida B, sebuah intermediat bebas enzim. Fasa
kedua (Gambar 3.8), 6-deoksierithronolida B mengalami hidroksilasi pada C-6
menghasilkan erithronolida B dengan enzim C-6 erithronolida hidroksilase (i).
Gugus mikarosa kemudian terikat pada gugus hidroksil C-3 erithronolida B
dengan enzim TDP-mikarosa glikosiltransferase (ii), menghasilkan 3-O-
mikarosil-erithronolida B. Amino gula desosamin kemudian ditambahkan pada
gugus hidroksil C-5 dengan enzim TDP-desosamin glikosiltransferase (iii),
menghasilkan intermediat erithromisin D. Hidroksilasi C-12 dengan enzim C-12
hidroksilase (iv) akan menghasilkan erithromisin C, sedangkan O-metilasi pada
gugus hidroksil C-3 dengan enzim O-metiltransferase (v) akan menghasilkan
erithromisin B. Erithromisin A kemudian dihasilkan baik dari erithromisin C
melalui O-metilasi ataupun dari erithromisin B melalui hidroksilasi C-12.
3.3.4 Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan salah satu jenis antibiotik yang paling awal ditemukan, di mana
klortetrasiklin ditemukan pada tahun 1948. Produk alami tetrasiklin dihasilkan oleh
berbagai spesies aktinomicetes; Streptomyces aureofaciens menghasilkan baik
klortetrasiklin dan tetrasiklin, Streptomyces rimosus menghasilkan oksitetrasiklin, dan
daktilosiklin dihasilkan oleh Dactylosporangium sp. dan Actinomadura brunnea.
Bisintesis tetrasiklin bermula dari karboksilasi asetil-KoA membentuk malonil-KoA
dengan enzim asetil-KoA karboksilase. Malonil-KoA kemudian bereaksi dengan 2-
oksosuksinamat menghasilkan malonamoil-KoA. 2-oksosuksinamat merupakan hasil
dari transaminasi asparagin dengan enzim asam okso-asparagin transaminase.
Malonamoil-KoA kemudian dikonversi lebih lanjut menjadi 4-hidroksi-6-
metilpretetramida melalui 6-metilpretetramida. Senyawa inilah yang akan diubah
menjadi 4-dedimethylamino-4-okso-anhidrotetrasiklin, yang merupakan intermediat
dalam menghasilkan klorotetrasiklin dan tetrasiklin. Reaksi selanjutnya dapat dilihat
pada Gambar 3.10.
Conly J, Johnston B. Where are All the New Antibiotics? The New Antibiotic Paradox.
Med. Microbiol. 2005 May.16 (3): 159-160.
Flickinger, M.C. dan Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess Technology:
Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley & Sons, Inc. New York,
United States of America. (hal: 2348-2364)
Flynn, Edwin H. 1972. Cephalosporins and Penicillins. New York: Academic Press. (hal:
370-430)
Herbert, Richard B. 1988. Biosintesis Metabolit Sekunder (Terjemahan). London:
Chapman and Hall. (hal: 192-228)
Luckner, Martin. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals.
Berlin: Springer-Verlag. (hal: 115-478)
th
Madigan et al. 2009. Brock Biology of Microorganisms. 12 Edition. San Francisco:
Pearson Benjamin Cummings. (hal: 791-808)
Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A
Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December 2007,
88-98.
th
Neu, Harold C. dan Gootz, Thomas C. (1996). Medical Microbiology. 4 Edition.
Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston. (Chapter 11
Antimicrobial Chemotherapy)
Staunton, James dan Wilkinson, Barrie. (1997). Biosynthesis of Erythromycin and
Rapamycin. Journal of Chem. Rev. 1997, 97, 2611-2629.
Subba, Bimala. (2006). Biosynthesis of Ribostamycin and Neomycin: Expression,
Inactivation, and Characterization. Disertasi Doktoral. Korea: Sun Moon
University.
nd
Waksman, Selman A. (1947). Microbial Antagonisms and Antibiotic Substances. 2
Edition. New York: The Commonwealth Fund. (hal: 170-300)