NPM : 1914201310083
CLASS BILINGUAL 19
AIK 3
Pengertian Muhammadiyah bisa ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu pengertian Muhammadiyah
dari segi bahasa dan pengertian Muhammadiyah dari segi Istilah.
Pada zamanya ada bentuk dakwah yang sangat diminati masyarakat yaitu yang
dibawakan oleh Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di
Indonesia. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati,
dan Sunan Kalijaga.Kesembilan "wali" yang dalam bahasa Arab artinya "penolong" ini
merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya
terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan,kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di
bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak
dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai
memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha.Namun mereka melakukan perubahan sosial secara
halus dan bijaksana.Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat
namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang
mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang
lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh
nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau
gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang
menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan
wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan
wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur
moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Sucimisalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya
diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang
menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima
mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang
menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Kelebihan intelektual yang mereka miliki sebagai kelompok yang datang dari peradaban yang
lebih maju mereka abdikan untuk membangun masyarakat Indonesia pada saat itu.Sarana lain
yang mereka lakukan dalam dakwah mereka adalah dengan membentuk keluarga-keluarga
Islam dengan jalan menikahi penduduk pribumi serta putri para raja.Selanjutnya mereka
berhasil mengislamkan keluarga kerajaan serta mengangkat harkat hidup mereka dari segi
intelektual maupun ekonomi.Para penyebar agama Islam yang kebanyakan merupakan
pedagang memiliki bargaining position yang kuat serta disegani oleh masyarakat.Selain itu
akhlak mereka juga mampu mengambil simpati masyarakat.
Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak
dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan
lainnya,namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya.Secara cerdas Walisongo
menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah
penyebaran Islam dilakukan.Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi
perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari
ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana
untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama
Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah
budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah.
Pelajaran lainnya adalah bagaimana misi keagamaan yang diemban para wali disertai dengan
kerja-kerja sosial sehingga menghasilkan sebuah kerja relijius yang lebih membumi dan
mampu diterima dengan basis penerimaan yang kuat.Upaya mereka dengan membangun
pusat-pusat pendidikan dan penggerak ekonomi merupakan buktinya.
Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama
diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam
melaksanakan pembangunan.Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi
positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong
semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap
sesama.Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah
membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan
dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.
Berdirinya Muhammadiyah di Alabio ini cukup menarik mengingat Alabio di Hulu Sungai
bukanlah ‘pusat’ baik Kesultanan Banjar maupun pemerintahan Kolonial. Baru setelah
berdiri di Alabio, Muhammadiyah kemudian menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931),
Martapura dan Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).
Pertanyaannya, mengapa Muhammadiyah justru muncul pertama kali di Alabio, bukan
Banjarmasin (pusat ‘perkotaan’ zaman Kolonial) atau Martapura (pusat pemerintahan
Kerajaan Banjar)? Bisa jadi ada dua penjelasan di sini.
Pertama, Alabio merepresentasikan lahirnya kelas menengah muslim yang lepas dari
pertarungan ‘Kesultanan’ dan ‘pemerintah Kolonial Belanda’. Kesultanan merepresentasikan
kekuasaan ‘tradisional’ elite-elite lama, sementara pemerintah Kolonial Belanda
menampilkan modernitas yang ‘sekuler’.
Kemunculan Muhammadiyah di Alabio, dari sudut pandang ini, bisa dilihat sebagai respons
kelas menengah muslim yang, di satu sisi, menolak cara beragama lama yang ditampilkan
oleh ulama-ulama Kesultanan, namun di sisi lain juga tampil dengan kesalihannya serta
menolak modernisasi pihak kolonial.
Kedua, soal pertukaran pengetahuan dan informasi. Alabio punya kultur dagang yang sangat
kuat serta tradisi untuk merantau. Salah satu faktor pendorong kemunculan Muhammadiyah
adalah sisi ini. Tradisi dagang memungkinkan adanya penyerapan ide-ide baru, termasuk
salah satunya ide pembaharuan pemikiran Islam dari Yogyakarta.
Muhammadiyah di Kalsel dipelopori oleh H Jaferi dan H Usman Amin. H Jaferi adalah
‘intelektual’ Banjar, pernah belajar di Tanah Suci, dan kemudian mulai berkenalan dengan
gerakan pembaharuan Islam setelah sering berdiskusi dengan H Usman Amin, ‘diaspora’
Banjar yang membangun usaha toko buku di Surabaya.
Dalam Muhammadiyah ada 3 gerakan yaitu salah satunya Tajdid, merupakan gerakan
pokok pada Muhammadiyah, saya akan membeberkan apa itu Tajdid.
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan. Dari segi istilah, tajdid memiliki arti
pemurnian, peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Dalam
arti “pemurnian”, tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang
berdasarkan dan bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah As Shahihah. Dalam arti
“peningkatan”, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdid
dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap
berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Untuk melaksanakan tajdid diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Jadi gerakan tajdid adalah suatu gerakan untuk menjaga dan memelihara matan
ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebelum mengenal faktor subyektif dan objektif berdirinya Muhammadiyah kita harus
mengetahui siapa yang mendirikan, dimana dan kapan berdiri Muhammadiyah. Jadi
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada 18 November 1912.
Ada faktor subyektif dan objektif yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah yaitu :
A. Faktor subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan
faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman
KHA. Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan
mengkaji kandungan isinya. Sikap KHA. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka
melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat
82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan
mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti
ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 :
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung ".
Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah
perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya
berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah
masyarakat kita.
B. Faktor Obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya
Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-
faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia,
dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor
penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Faktor obyektif yang bersifat internal
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah
sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi
yang siap mengemban misi selaku ”Khalifah Allah di atas bumi”
Faktor obyektif yang bersifat eksternal
a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
b. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia
c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.
Jadi Muhammadiyah berdiri tidak lain dan tidak bukan pasti ada maksud dan
tujuannya terbentuk yaitu sebagai berikut :
A. Menegakkan, Yang mempunyai makna membuat dan mengupayakan agar Islam
dapat tegak, tidak condong bahkan roboh.
B.Menjunjung tinggi,berarti menempatkan Agama Islam di atas segalanya,
mengindahkan, serta menghormati dan melaksanakannya.
C. Agama Islam, ialah agama Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala ) yang diwahyukan
kepada para Rasul-Nya sejak zaman Nabi Adam,Nuh,Ibrahim,Musa,Isa, hingga
Nabi Kita Muhmmad saw (shallallahu alaihi wasallam) sebagai hidayah dan
rahmatan lil alamin kepada manusia sepanjang zaman yang menjamin kesejahteraan
hakiki duniawi maupun ukhrawi.
D.Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, berarti masyarakat yang mempunyai
kualitas yang baik, yaitu kualitas yang dibina oleh ajaran Islam, masyarakat yang
berprikemanusiaan dan masyarakat yang mengabdi kepada Allah SWT “baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur.”
Ada banyak sekali amal usaha yang dilakukan Muhammadiyah khususnya di Banjarmasin
yaitu dibidang pendidikan meliputi :
a. Pendidikan Umum
Sekolah Dasar 10 buah, Sekolah Menengah Pertama 5 buah, Sekolah Menengah Atas 2
buah, Sekolah Menengah Kejuruan 3 buah
Pendidikan Keagamaan meliputi: Madrasah Ibtidaiyah 2 buah Madrasah Tsanawiyah 3
buah Madrasah Aliyah 1 buah, dan Pondok Pesantren 1 buah.
b. Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarkat
Lembaga kesehatan yang di miliki oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah kota
Banjarmasin meliputi : Rumah Sakit 1 buah, Balai Pengobatan 3 buah, Panti Asuhan 3
buah
c. Sarana Ibadah
Sarana Ibadah yang dimiliki Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Banjarmasin
meliputi : Masjid 21 buah, Mushalla 52 buah,
d. Ekonomi
Bidang Ekonomi Pimpinan Muhammadiyah Kota Banjarmasin memiliki BMT/BTM 2
buah, Koperasi 2 buah.