Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ANNISA ANILDA S.

NIM : A031171008
RMK METODOLOGI PENELITIAN AKUNTANSI
SEMIOTIKA
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda
tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dalam
dunia ini, ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Kata “semiotika” itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau same yang berarti
“penafsir tanda”. Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika,
retorika, dan poetika. “tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang
menunjukkan pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant)
dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda
dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system bahasa
yang bersangkutan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi simiotika disusun dalam tiga poros.
Poros horizontal mengkaji tiga jenis penyelidikan semiotika (murni,deskriptif, dan
terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik, semantic,
dan pragmatik); dan poros yang menyajikan tiga kategori sarana informasi (signals,
signs, dan symbols).
POKOK DAN TOKOH SEMIOTIKA
1. Charles Sanders Peirce
Menurut Teori Semiotika Charles Sander Peirce, semiotika didasarkan pada
logika, karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran
menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda ini menurut Peirce
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada
apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dalam teori semiotika ini fungsi dan kegunaan
dari suatu tanda itulah yang menjadi pusat perhatian. Tanda sebagai suatu alat
komunikasi merupakan hal yang teramat penting dalam berbagai kondisi serta dapat
dimanfaatkan dalam berbagai aspek komunikasi.
Klasifikasi Tanda Menurut Peirce
Peirce menghendaki agar teori semiotikanya ini menjadi rujukan umum atas
kajian berbagai tanda-tanda. Oleh karenanya ia memerlukan kajian lebih mendalam
mengenai hal tersebut. Terutama mengenai seberapa luas jangkauan dari teorinya ini.
untuk itu ia membaginya dalam beberaoa klasifikasi.
a. Berdasarkan Ground, yakni berkaitan dengan sesuatu yang membuat suatu tanda
dapat berfungsi. Dalam hal ini Peirce mengklasifikasikan Ground kedalam tiga hal
yakni : Qualisigny, aitu kualitas dari suatu tanda. Misalnya kualitas kata-kiata yang
digunakan dalam menyertai tanda tersebut seperti kata-kata yang keras, kasar
ataupun lembut. Sinsign, adalah eksistensi dan aktualitas atas suatu benda atau
peristiwa terhadap suatu tanda. Misalkan kata banjir dalam kalimat “terjadi bencana
banjir” adalah suatu peristiwa yang meneranggkan bahwa banjir diakibatkan oleh
adanya hujan. Legisign, adalah norma yang terkandung dalam suatu tanda. Hal ini
berkaitan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalkan tanda dilarang
merokok menunjukan bahwa kita dilarang merokok pada lingkungan dimana tanda
itu berada.
b. Berdasarkan Objeknya Ikon, adalah tanda yang menyerupai bentuk objek aslinya
aslinya. Contoh yang paling sederhana dan banyak kita jumpai namun tidak kita
sadari adalah peta. Indeks, adalah tanda yang berkaitan dengan hal yang bersifat
kausal, atau sebab akibat. Tanda tersebut berarti akibat dari suatu pesan. Contoh
yang umum misalkan asap sebagai tanda dari api. Simbol, adalah tanda yang
berkaitan dengan penandanya dan juga petandanya. Bahwa sesuatu disimbolkan
melalui tanda yang disepakati oleh para penandanya sebagai acuan umum. Misalkan
saja lampu merah yang berarti berhenti, semua orang tahu dan sepakat bahwa lampu
merah menandakan berhenti.
c. Berdasarkan Interpretant Rheme, adalah tanda yang memungkinkan ditafsirkan
dalam pemaknaan yang berbeda-beda. Misalnya saja orang yang matanya merah,
maka bisa jadi dia sedangmengantuk, atau mungkin sakit mata, iritasi, bisa pula ia
baru bangun tidur atau bahkan bisa jadi dia sedang mabuk. Dicent sign atau dicisign,
adalah tanda yang sesuai dengan fakta dan kenyataanya. Misalnya, saja disuatu jalan
kampung banyak terdapat anak-anak maka di jalan tersebut dipasang rambu lalu
lintas hati-hati banyak anak-anak. Argument, adalah tanda yang berisi alasan tentang
sesuatu hal. Misalnya tanda larangan merokok di SPBU, hal tersebut dikarenakan
SPBU merupakan tempat yang mudah terbakar.
2. Roland Barthes
Sebagai sebuah metode penelitian kualitatif, semiologi dapat diaplikasikan ke
dalam berbagai konteks komunikasi oleh para peneliti, seperti misalnya kajian media.
Roland Barthes adalah salah satu ahli semiotika yang menunjukkan sebuah doktrin
semiotika baru yang memungkinkan para peneliti untuk menganalisa sistem tanda guna
membuktikan bagaimana komunikasi nonverbal terbuka terhadap interpretasi melalui
makna tambahan atau connotative (Bouzida, 2014).
Roland Barthes menyatakan bahwa semiologi adalah tujuan untuk mengambil
berbagai sistem tanda seperti substansi dan batasan, gambar-gambar, berbagai macam
gesture, berbagai suara music, serta berbagai obyek, yang menyatu dalam system of
significance.
Menurut Roland Barthes, semiotika memiliki beberapa konsep inti, yaitu :
a. Signification.
Menurut Barthes, signification dapat dipahami sebagai sebuah proses yang
berupa tindakan, yang mengikat signifier dan signified, dan yang menghasilkan sebuah
tanda. Dalam proses tersebut, dua bagian dari sebuah tanda tergantung satu sama lain
dalam arti bahwa signified diungkapkan melalui signifier, dan signifier diungkapkan
dengan signified. Misalnya, kata “kucing”. Ketika kita mengintegrasikan signifier
“kucing” dengan signified “hewan berkaki empat yang mengeong”, maka bahasa tanda
“kucing” pun muncul.
b. Denotation dan Connotation.
Denotation adalah order of signification yang pertama. Pada tingkatan ini
terdapat sebuah tanda yang terdiri atas sebuah signifier dan sebuah signified. Dalam
artian, denotation merupakan apa yang kita pikirkan sebagai sebuah literal, bersifat
tetap, dan memiliki makna kamus sebuah kata yang secara ideal telah disepakati secara
universal. Sedangkan, connotation adalah order of signification yang kedua yang berisi
perubahan makna kata secara asosiatif. Menurut Barthes, hal ini hanya berlaku pada
tataran teoritis. Pada tataran praktis, membatasi makna ke dalam sebuah denotative akan
sangat sulit karena tanda selalu meninggalkan jejak makna dari konteks sebelumnya.
c. Metalanguage atau Myth.
Menurut Barthes, mitos adalah signification dalam tingkatan connotation. Jika
sebuah tanda diadopsi secara berulang dalam dimensi syntagmatic maka bagian adopsi
akan terlihat lebih sesuai dibandingkan dengan penerapan lainnya dalam paradigmatic.
Kemudian connotation tanda menjadi dinaturalisasi dan dinormalisasi. Naturalisasi
mitos adalah sebuah bentukan budaya.
3. M.A.K Halliday
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial.
Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia
yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks
sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai
salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian,
dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday
mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi
pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk
menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan Wacana
(field of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana (mode of
discourse).
 Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk mengetahui
apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di
lapangan.
 Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk mengetahui orang-
orang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain); sifat
orangorang itu, kedudukan dan peranan mereka.
 Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui
bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa)
menggunakangaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat
(orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut
memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan
motif).
Aplikasi Semiotik Komunikasi
Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas kajian
(A Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati sementara,
sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu itu sendiri. Eco,
mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu:
1. Ranah Budaya
2. Ranah Alam
3. Ranah epistimologis
Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas. Bidang ini
biasa berupa bidang komunikatif yang tampak lebih ‘alamiah’ dan spontan pada system
budaya yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada bidang komunikasi tidak
terbatas. Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari pemberitaan media
massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, sastra sampai
kepada musik. Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun
beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika
dalam domain komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa,
seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia
berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media
cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara
matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti
tambahan dari istilah yang digunakan.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola
dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media.
Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara
efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini
sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.
Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson,
1994) antara lain:
 Kekuasaan Ekonomi : dilembagakan dalam industri dan perdagangan
 Kekuasaan Politik : dilembagakan dalam aparatur Negara
 Kekuasaan Koersif : dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter
2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang
terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk
dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
 Penanda dan petanda
 Gambar, indeks, symbol
 Fenomena sosiologi
 Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
 Desain dari iklan
 Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan
yang dikandungnya yaitu:
 Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan
 Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
 Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
 Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
 Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang
universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi
setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang
penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan
dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal
bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau
sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto,
ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :
 Langkah Pertama : Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan
objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
 Langkah Kedua : Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –
konsep pada tanda nonverbal.
 Langkah Ketiga: Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi
terhadap objek yang ditelitinya.
 Langkah Keempat : Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika
yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model
tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas
penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika. Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film
digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu.
Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya
sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya
dengan proyektor dan layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis
dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk
simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur
utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz
dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda
(signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda
yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda
sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

Anda mungkin juga menyukai