Anda di halaman 1dari 173

MODUL SKILLS LAB

3.6
Bismillah dulu yuk, pasti bisa! 😊

Daftar Isi
1. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan kepala dan leher
2. Anamnesis dan pemeriksaan perubahan refleks fisiologis dan patologis
3. Anamnesis dan pemeriksaan meningeal sign dan iritasi pada radiks vertebrae
4. Anamnesis dan pemeriksaan fisik gangguan saraf kranialis
5. Anamnesis dan pemeriksaan fisik gangguan keseimbangan dan koordinasi
6. Konseling Imunisasi
7. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan THT
8. Anamnesis dan pemeriksaan mata
9. Anamnesis dan pemeriksaan segmen anterior
10. Anamnesis dan pemeriksaan UKK
11. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan tulang, otot, dan kekuatan motoric
12. Pembalutan, pembidaian dan transportasi
13. Pengambilan darah dan injeksi IC, AC, IM, IV

I. PEMERIKSAAN FISIK KEPALA DAN LEHER

Tujuan Pembelajaran :
1. Mahasiswa dapat melakukan anamnesis secara singkat khususnya pada pasien yang
mempunyai keluhan yang terkait dengan kelainan pada bagian kepala dan leher
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik kepala dan leher secara benar dan teknik
yang legeartis
3. Mahasiswa mampu melakukan intrepretasi hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan

DASAR TEORI

I. ANAMNESIS
Seperti prosedur pemeriksaan klinis pada umumnya, anamnesis menggunakan Sacred Seven dan
Fundamental Four. Pertanyaan pada Foundamenal Four yaitu menggali :

1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Riwayat penyakit sekarang (RPS) meliputi keluhan utama dan anamensis lanjutan. Keluhan
utama adalah keluhan yang membuat pasien datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mencari
pertolongan. Setelah menanyakan keluhan utama dilanjutkan dengan anamnesis untuk
menanyakan 7 hal (Sacred Seven), yaitu :
a. Lokasi
b. Onset/awitan dan kronologis
c. Kuantitas keluhan
d. Faktor-faktor yang memperberat keluhan
e. Faktor-faktor yang memperingan keluhan
f. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama

2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Menanyakan kepada pasien apakah pernah sakit serupa sebelumnya. Mencari penyakit yang
relevan dengan penyakit sekarang dan riwayat penyakit kronik.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


Menanyakan untuk mencari adakah penyakit yang sekarang diderita berkaitan dengan riwayat
sakit pada keluarga, baik itu yang bersifat diturunkan maupun ditularkan.
4. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Menanyakan status sosial pasien seperti pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kebiasaan pasien,
aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan.
Contoh keluhan pada kepala leher adalah terdapat benjolan pada leher. Bila menemui pasien
yang datang dengan keluhan tersebut, pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut :

- Onset
- Lokasi
- benjolan bertambah besar/ tidak
- terasa nyeri /tidak
- gejala penyerta
- RPD
- RPK
- Riwayat Sosial ekonomi
- Faktor resiko

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik kepala dan leher secara umum dimulai dari menilai :
A. Pemeriksaan Kesadaran
(hanya dilakukan review karena sudah/akan dibahas secara detail dalam modul lain)
Pemeriksaan kesadaran dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu penilaian secara kuantitatif (Glasgow
Coma Scale) dan kualitatif. Tujuan pemeriksaan ini adalah menilai fungsi otak.

B. Kepala dan rambut :


a. Ukuran dan kesimetrisan kepala : ditentukan dengan menyesuaikan ukuran kepala dengan
usia untuk menyingkirkan kemungkinan hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan penutupan sutura,
perkembangan otak, tulang.
b. Distribusi rambut : gangguan pada endokrin dapat menyebabkan kebotakan, hirsutisme,
virilisasi
c. Ciri-ciri rambut : apakah kasar? halus? berwarna? mudah dicabut?
C. Wajah
Pada pemeriksaan ini dapat dilihat apakah pucat, sianosis atau ikterik, asimetri maupun kelainan
lain pada wajah. Pucat kemungkinan adanya insufisiensi aorta atau anemia, sianosis mungkin
terjadi pada pasien dengan cacat jantung bawaan dan ikterik mungkin dapat disebabkan oleh
hepatitis atau tumor pankreas. Warna kemerahan pada wajah seperti kupu-kupu terdapat pada
pasien lupus (Systemic Lupus Erythematosus). Penampilan wajah sering merupakan tanda
patognomonis suatu penyakit tertentu, misalnya facies leonina yang terjadi pada pasien
kusta/lepra (Morbus Hansen). Wajah mongoloid terdapat pada pasien Down Syndrome. Penyakit
Parkinson sangat khas ditandai adanya wajah tanpa ekspresi/ wajah topeng. Adanya asimetri
wajah menunjukkan kemungkinan adanya kelumpuhan pada syaraf kranial nervus fasialis (N.
VII) pada pasien stroke atau Bells palsy (wajah tertarik pada sisi sehat). Asimetri pada wajah
dapat mengarahkan adanya kelainan pada kelenjar parotis akibat parotitis ataupun tumor pada
parotis.

D. Mata
a. Pertumbuhan rambut alis mata dan bulu mata
b. Pemeriksaan posisi dan kesejajaran mata dengan cara pasien diminta
melihat pada suatu obyek kemudian mata pasien diminta mengikuti
pergerakan obyek
c. Pemeriksaan konjungtiva dengan cara membuka palpebra inferior.
d. Pemeriksaan sklera dengan cara membuka palpebra superior.
e. Pemeriksaan pupil dilakukan dengan memberikan cahaya pada pupil mata
dari samping ke tengah, pupil normal akan mengalami miosis (menyempit) bila terkena cahaya.
f. Menilai ada tidaknya eksoftalmus dengan cara :
1. Inspeksi : pemeriksa dan penderita duduk/berdiri berhadapan.
Amati batas kornea dan sklera bagian atas kedua mata, apakah tampak atau tertutup
sebagian oleh palpebra superior. Bila tidak tertutup oleh palpebra superior maka terjadi
penonjolan bola mata ke luar (eksoftalmus).
2. Pengukuran penonjolan bola mata :
● Pemeriksa berdiri di samping penderita
● Dengan penggaris, ukur titik dari canthus lateral sampai bagian terdepan dari bola
mata. Bila >16mm, maka mata penderita mengalami eksoftalmus.
E. Hidung
Pemeriksaan hidung meliputi :
a. Inspeksi
1. Inspeksi hidung bagian luar dengan cara memperhatikan permukaan hidung, ada atau tidak
asimetri, deformitas atau inflamasi.
2. Inspeksi hidung bagian dalam dengan spekulum
●Perhatikan mukosa yang menutup septum dan konka, warna dan
pembengkakan. Adakah mukosa edema dan kemerahan (rinitis oleh virus),
adakah oedema dan pucat (rinitis alergik), polip, dan ulkus.
●Posisi dan integritas septum nasi. Adakah deviasi atau perforasi septum nasi

b. Palpasi
1. Pemeriksaan palpasi hidung untuk menilai adanya fraktur os nasalis
2. Palpasi sinus maksilaris dan frontalis adakah keluhan nyeri tekan

F. Telinga
Pemeriksaan telinga meliputi :
a. Inspeksi aurikula : bentuk, ukuran, simetris/asimetris, tanda radang
b. Inspeksi kanalis aurikularis : adakah serumen prop, tanda radang, benda asing (corpus alienum)
c. Palpasi : adakah nyeri, tragus pain, mastoid pain, dan tumor.

G. Mulut
Pemeriksaan mulut meliputi :
a. Bibir
Memperhatikan warna bibir (adakah sianosis atau pucat), kelembaban, oedema, ulserasi atau
pecah-pecah.
b. Mukosa oral
●Meminta pasien untuk membuka mulut.
●Inspeksi mukosa oral menggunakan tongue spatel dan dengan pencahayaan yang baik
●Menilai warna mukosa, pigmentasi, ulserasi dan nodul.
c. Gusi dan gigi
Menilai adakah inflamasi, oedema, perdarahan, retraksi atau perubahan warna gusi, gigi tanggal
atau hilang.
d. Langit-langit mulut atau palatum
Menilai warna dan bentuk langit-langit mulut, adakah torus palatinus.
e. Lidah
Menilai lidah dan dasar mulut, termasuk warna dan papilla, adakah glositis, paralisis saraf kranial
ke-12.
f. Faring
Mintalah pasien untuk membuka mulut, dengan bantuan tongue spatel lidah kita tekan pada
bagian tengah, mintalah pasien mengucapkan ”aaa”. Perhatikan warna atau eksudat, simetri dari
langit-langit lunak. Adakah faringitis, paralisis saraf kranial ke-10.
g. Tonsil
Dinilai ada pembesaran tonsil apa tidak

H. Pemeriksaan Leher
Pemeriksaan leher terdiri atas pemeriksaan regio colli, trachea, kelenjar tiroid, dan
kelenjar limfonodi.

a. Regio Colli
Pemeriksaan regio colli secara umum meliputi :
1. Inspeksi
Inspeksi pada leher bertujuan untuk melihat adanya asimetri, denyutan abnormal, tumor,
keterbatasan gerakan dalam range of motion (ROM) maupun pembesaran kelenjar limfe dan
tiroid.
2. Palpasi
Pemeriksaan palpasi leher dilakukan pada tulang hioid, tulang rawan tiroid, kelenjar
tiroid, muskulus sternokleidomastoideus, pembuluh karotis dan kelenjar limfe.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi (bilateral) bersamaan.

b. Pemeriksaan trakea
1. Inspeksi : diamati kesimetrisan trakea, adakah deviasi trakea dari posisi midline
2. Palpasi : rasakan adanya deviasi trakea dengan menempatkan jari sepanjang trakea dan rasakan
ada tidak ruangan di antara trakea dengan otot sternomastoid. Kemudian dibandingkan dengan
kontralateralnya. Normalnya ruangan tersebut simetris.

Gambar palpasi trakea (Bates, 1995)

c. Pemeriksaan kelenjar limfe


Pemeriksaan kelenjar limfe meliputi :
1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk menilai ada tidak pembesaran atau tanda peradangan pada kelenjar
limfe atau tidak.
2. Palpasi kelenjar limfe
Bertujuan untuk menilai adanya benjolan, bentuk, ukuran, jumlah, mobile/imobile, konsistensi,
nyeri, tanda-tanda peradangan
Lokasi kelenjar limfe yang diperiksa sebagai berikut :
1. Preauricular : in front of the ear
2. Posterior auricular : superficial to the mastoid process
3. Occipital : at the base of the skull posteriorly
4. Tonsillar : at the angle of the mandible
5. Submandibular : midway between the angle and the tip of the mandible. These nodes
are usually smaller and smoother than the lobulated submandibular gland against which
they lie.
6. Submental : in the midline a few centimeters behind the tip of the mandible
7. Superficial cervical : superficial to the sternomastoid
8. Posterior cervical : along the anterior edge of the trapezius
9. Deep cervical chain : deep to the sternomastoid and often inaccessible to examination.
Hook your thumb and fingers around either side of the sternomastoid muscle to find
them.
10. Supraclavicular : deep in the angle formed by the clavicle and the sternomastoid

Lokasi Kelenjar Limfe (Bates, 1995)


.
Cara palpasi kelenjar limfe (Bates, 1995)

d. Pemeriksaan kelenjar tiroid


Persiapan : Penderita duduk di kursi dalam ruangan dengan penerangan yang cukup.
1. Inspeksi : perhatikan anterior triangle leher terutama leher bagian bawah.
Penderita diminta menelan, adakah massa yang tampak ikut bergerak saat menelan. Apabila
penderita gemuk atau berleher pendek, maka kepala penderita ditengadahkan dan disangga
oleh tangan pemeriksa pada bagian occiput.

2. Palpasi : Penderita duduk rileks di kursi, dan pemeriksa berdiri di belakang penderita. Penderita
diminta untuk sedikit menundukkan dagunya dan merilekskan otot-otot lehernya.
Palpasi kelenjar tiroid dari belakang :
a) Letakkan tangan pemeriksa pada leher dari belakang penderita.
b) Gerakkan tangan pemeriksa ke atas-bawah, medial dan lateral.
c) Raba isthmus dari kelenjar tiroid, isthmus merupakan bagian anterior dari tracheal rings.
d) Raba lower poles dari lateral lobes.
e) Raba upper poles dari lateral lobes.
f) Selama pemeriksaan, penderita harus tetap rileks, dan penderita diminta menelan untuk
memeriksa perlekatan massa dengan trakea. Bila teraba massa yang ikut bergerak dengan trakea
saat menelan, maka massa tersebut menempel pada trakea.

Palpasi kelenjar tiroid dari depan :


a) Pemeriksa dan penderita duduk berhadapan.
b) Letakkan ibu jari pemeriksa pada trakea dan tekan trakea ke arah lateral, sedangkan jari-
jari tangan pemeriksa yang lain meraba thyroid lateral lobe yang terletak di belakang otot
sternocleidomastodeus secara bidigital pada kedua sisi otot sternocleidomastodeus.
c) Penderita diminta untuk menelan, raba apakah massa ikut bergerak dengan trakea saat
menelan atau tidak.
I. Pemeriksaan ekstremitas
1. Inspeksi : eritema palmaris, hiperhidrosis
2. Pemeriksaan tremor halus, jika tidak yakin adanya tremor halus dapat menggunakan kertas
Sumber :

Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking, electronic version, 115-208
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER
Nama :
NIM :

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
A. PERSIAPAN

1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri


2 Menginformasikan tujuan dan prosedur ringkas pemeriksaan fisik
3 Memberi kesempatan bertanya dan mempersiapkan diri
4 Menjaga privasi dan memastikan kenyamanan pasien
5 Mencuci tangan
B. PELAKSANAAN
Pemeriksaan kepala
6 Inspeksi : ukuran dan kesimetrisan kepala, distribusi rambut, ciri-ciri rambut
7 Palpasi: kulit kepala, rambut
8 Pemeriksaan wajah
Pemeriksaan mata
Inspeksi mata secara umum : kesimetrisan mata, pertumbuhan alis dan bulu
9
mata, konjungtiva, sklera
10 Periksa refleks cahaya langsung dan konsensual (2 mata)
11 Periksa gerakan otot ekstrinsik bola mata
12 Menilai ada/tidaknya eksoftalmus
Pemeriksaan hidung
13 Inspeksi hidung bagian luar
Inspeksi hidung bagian dalam menggunakan spekulum hidung (disebutkan
14
saja)
15 Palpasi hidung untuk menilai ada fraktur atau tidak
16 Palpasi sinus maksilaris & frontalis adakah keluhan nyeri tekan
Pemeriksaan telinga
17 Inspeksi dan palpasi aurikula, tragus & antitragus
Melakukan pemeriksaan kanalis aurikularis dengan otoskop (disebutkan
18
saja)
Pemeriksaan mulut
Inspeksi seluruh penyusun rongga mulut dan orofaring (menggunakan
19
spatula lidah & senter)
Evaluasi posisi palatum mole dan uvula dengan mengucapkan
20
"AAAAAAAAA" (simetris/tidak)
Pemeriksaan leher
Inspeksi regio colli : kulit, asimetri, posisi trakea, pembesaran kelenjar limfe,
21
kelenjar tiroid
22 Palpasi posisi trakea
23 Palpasi kelenjar limfe
24 Palpasi kelenjar tiroid dari belakang saat istirahat dan saat menelan
Pemeriksaan ekstremitas
Inspeksi pada ekstremitas untuk menilai ada tidak eritema palmar dan
25
hiperhidrosis
Pemeriksaan tremor halus, jika tidak yakin adanya tremor halus dapat
26
menggunakan kertas.
27 Membereskan peralatan
28 Mencuci tangan
29 Dokumentasi dan interpretasi hasil pemeriksaan

KETERANGAN:
Nilai 2 : Dilakukan dengan:
- Teknik lege artis DAN
- Berurutan (kepala dan wajah diselesaikan dahulu, baru periksa leher) DAN
- Penggunaan alat bantu yang tepat DAN
- Menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian organ apa
yang diamati
Nilai 1 : Dilakukan dengan:
- Teknik yang tidak lege artis ATAU
- Tidak berurutan (loncat-loncat, misal: kepala 🡺 leher 🡺wajah 🡺leher) ATAU
- Penggunaan alat bantu tidak tepat ATAU
- Tidak menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian organ
apa yang diamati
Nilai 0 : Tidak dilakukan
II. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS

A. Tujuan Pembelajaran

Pada akhir sesi, mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan definisi pemeriksaan refleks fisiologis.
2. Menjelaskan Indikasi pemeriksaan refleks fisiologis.
3. Melakukan prosedur pemeriksaan refleks fisiologis dengan baik dan benar.
4. Menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan refleks fisiologis
5. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan refleks fisiologis.

B. Tinjauan Pustaka

Gerakan refleks adalah gerakan cepat yang


tidak disadari, sebagai jawaban terhadap suatu rangsang. Refleks fisiologis merupakan muscle stretch
reflexes sebagai jawaban atas perangsangan tendo, periosteum, tulang, sendi, fasia, aponeurosis, kulit,
dan semua impuls perseptif termasuk panca indera dimana respon tersebut muncul pada orang
normal. Gerakan yang bersifat reflektorik ini merupakan suatu usaha tubuh untuk menyesuaikan diri
Pemeriksaan refleks merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan
terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan, kelemahan, kelumpuhan,
kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung, dan
gangguan fungsi otonom. Suatu refleks dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas, dan
respon gerak meningkat dari keadaan normal. Adapun kriteria penilaian hasil pemeriksaan refleks
fisiologis adalah sebagai berikut :
0 : absent
1 : minimal tetapi ada
2 : normal
3 : meningkat
4 : meningkat dengan clonus

Pada pemeriksaan refleks, rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung. Tingkat
kerasnya rangsangan tidak boleh melebihi batas, sehingga justru dapat melukai pasien. Sifat reaksi
setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga otot yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan
relaksasi atau sedikit kontraksi. Pemeriksaan dimulai dari satu sisi dan dibandingkan dengan sisi
kontralateralnya.
Gambar 1. Cara memegang palu refleks

C. Alat dan Bahan

Palu refleks terbuat dari karet

D. Prosedur Tindakan Pelaksanaan

- Penentuan lokasi pengetukan yaitu


- Anggota gerak yang akan diketuk harus dalam keadaan rileks
- Cara memegang palu refleks memakai ibu jari, telunjuk dan jari tengah
(Gambar 1)
- Dibandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetris

REFLEKS FISIOLOGIS DI EKSTREMITAS ATAS :


1. Refleks bisep :
a) Pasien duduk santai
b) Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan di atas
lengan pemeriksa
c) Ibu jari pemeriksa diletakkan diatas tendo bisep, lalu pukullah ibu jari tadi dengan palu refleks
d) Respon : fleksi ringan di siku.
2. Refleks trisep
a) Pasien duduk rileks
b) lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa
c) Pukullah tendo trisep melalui fossa olecrani
d) Respon : ekstensi lengan bawah di siku.

3. Refleks brakhioradialis :
a) Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
b) Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu refleks
c) Respon : muncul gerakan menyentak pada lengan

4. Refleks periosteum radialis :


a) Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit di pronasikan
b) Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c) Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan

5. Refleks periosteum ulnaris :


a) Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan antara supinasi dan pronasi
b) Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.
c) Respon : pronasi tangan.

REFLEKS FISIOLOGIS DINDING PERUT


Refleks dinding perut:
a) Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul palu refleks dengan arah dari samping ke
garis tengah
b) Respon : kontraksi dinding perut

REFLEKS FISIOLOGIS EKSTREMITAS BAWAH :


1. Refleks patella :
a) Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b) Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat
c) Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d) Ketuk tendo patela dengan palu refleks menggunakan tangan yang lain.
e) Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah.

2. Refleks Achilles
a) Penderita berbaring terlentang
b) Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki lainnya
c) Satu tangan pemeriksa mendorong telapak kaki yang akan diperiksa ke arah dorsal, sedangkan
tangan yang lain mengetuk tendo achilles
d) Respon : plantarfleksi kaki

Gambar 2. Pemeriksaan refleks Achilles

E. Daftar Pustaka

1. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalan Neurologi. 4th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1999;
429-40.
2. Laboratorium Ketrampilan Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Skills Lab pendidikan ketrampilan keperawatan program
B semester I. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. 2002; 28-38.
3. Neurologie examination Available at :
http://medinfo.ufl.edu/year1/bes/clist/neuro.html.Accessed 19th May, 2005

PENILAIAN KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS


Nama :
NIM :
No. Aspek Yang Dinilai nilai
0 1 2
1. Beri salam pada pasien dan memperkenalkan diri
2. Menjelaskan pada pasien pemeriksaan yang akan dilakukan dan
meminta persetujuan
3. Pemeriksaan bisep:
a. Pasien duduk santai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit
pronasi, lengan diletakkan diatas lengan pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan di atas tendo bisep, lalu
pukullah ibu jari tadi dengan palu refleks.
d. Respon : fleksi ringan disiku
4. Pemeriksaan Refleks Trisep :
a. Pasien duduk rileks
b. Lengan pasien diletakkan diatas lengan pemeriksa
c. Pukullah tendo trisep melalui fossa olecrani
d. Respon : ekstensi lengan bawah di siku
5. Pemeriksaan Refleks brachioradialis:
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu
refleks
c. Respon : muncul gerakan menyentak pada tangan
6. Pemeriksaan Refleks ulnaris :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sikap tangan antara
supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris
c. Respon : pronasi tangan
7. Pemeriksaan Refleks radialis :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan
sedikit di pronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c. Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan
8. Pemeriksaan Refleks patella:
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang
tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu refleks menggunakan tangan
yang lain
e. Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep,
ekstensi tungkai bawah.
9. Pemeriksaan Refleks Achilles :
a. Penderita berbaring terlentang
b. Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki
lainnya
c. Satu tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki yang akan
diperiksa, sedangkan tangan yang lain mengetuk tendo achilles
d. Respon : plantarfleksi kaki
10. Pemeriksaan Refleks dinding perut:
a. Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul palu refleks
dengan arah dari samping ke garis tengah
b.Respon : kontraksi dinding perut
11 Menjelaskan pemeriksaan telah selesai dan membereskan alat
Total Nilai

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS

TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mah


asis
wa
mampu melakukan pemeriksaan refleks patologis.
2. Mahasiswa mampu melakukan interpretasi hasil pemeriksaan refleks patologis

TINJAUAN PUSTAKA

Gerak refleks timbul akibat adanya rangsang, berupa gerakan cepat yang tidak disadari. Ada
3 komponen yang berperan dalam gerak refleks yaitu jaras aferen, busur sentral, dan jaras eferen.
Ketiganya membentuk lengkung refleks (arcus reflex).
Perubahan salah satu atau lebih pada komponen lengkung refleks akan mengakibatkan
perubahan dalam kualitas maupun kuantitas dari refleks. Integritas dari lengkung refleks akan
terganggu jika terdapat malfungsi dari organ reseptor, nervus sensorik, ganglion radiks posterior,
gray matter medula spinal, radiks anterior, motor end plate, atau organ efektor.

Ada beberapa prinsip umum mengenai refleks patologis:


1. Lesi upper motor neuron (UMN) cenderung akan mengakibatkan peningkatan refleks,
kecuali :
a. stadium akut
b. refleks abdominal / dinding perut dan refleks kremaster akan menurun baik lesi UMN atau
lower motor neuron (LMN)
2. Refleks tidak akan dipengaruhi pada lesi CNS yang mengenai sistem sensorik, cerebelar, atau
ganglia basalis
3. Setelah stadium akut umumnya lesi cereblar lebih cepat menimbulkan refleks yang
meningkat dari pada lesi sppinal.
4. Adanya asimetri refleks bila disertai tanda-tanda lain berupa defisit motorik dan sensorik
pada satu sisi, maka pada satu sisi yang mengalami defisit motorik atau sensorik tersebut adalah
abnormal /patologi
5. Refleks kornea tidak dipengaruhi oleh lesi UMN
6. Interpretasi pemeriksaan refleks patologis dinyatakan dengan notasi positif (+) atau negatif
(-).

CARA PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS:

1. Refleks Hoffmann-Tromner
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemudian ujung jari tangan pemeriksa yang
lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita,
yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari.
Refleks positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan jika unilateral
indikasi untuk adanya suatu lesi UMN .

2. Grasping refleks
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa di antara ibu jari dan telunjuk
penderita. Maka timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika refleks
ini ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat
pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area
korteks premotorik.

3. Refleks palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral.
Refleks patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.

4. Refleks snouting / menyusu


Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris, maka akan menimbulkan refleks
menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.

5. Refleks Glabella
Ketukkan tangan pemeriksa ke daerah glabella pasien. Hasil positif jika pasien berkedip
beberapa kali.

6. Refleks Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral menuju
medial (arah ibu jari kaki), orang normal akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki, abduksi
jempol kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki
akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi
masih ada.
7. Refleks Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua
jari telunjuk dan tengah, jika positif maka akan timbul refleks seperti babinski

8. Refleks Gordon
Lakukan dengan memencet otot gastrocnemius . jika positif maka akan timbul refleks seperti
babinski
9. Refleks Schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul refleks seperti
babinski

10. Refleks Chaddock


Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke
depan. Jika positif maka akan timbul refleks seperti babinski

11. Refleks Rossolimo


Ketukan pada bagian terdepan plantar akan menimbulkan fleksi jari kaki

12. Refleks Mendel-Bechtrerew


Ketukan pada kulit dorsum pedis yang menutupi os kuboid akan menimbulkan fleksi jari kaki

Gambar 3. Cara pemeriksaan refleks Mendel Bechterew

Gambar 4. Cara pemeriksaan refleks Rossolimo


PENILAIAN KETRAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS

Nama :
NIM:

No Aspek yang dinilai Skor


0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan meminta persetujuan
2 Mempersiapkan alat
3 Melakukan pemeriksaan Refleks Hoffmann-Tromner
4 Melakukan pemeriksaan Grasping refleks
5 Melakukan pemeriksaan Refleks Palmomental
6 Melakukan pemeriksaan Refleks snouting / menyusu
7 Melakukan pemeriksaan Refleks Glabella
8 Melakukan pemeriksaan Refleks Babinski
9 Melakukan pemeriksaan Refleks Oppenheim
10 Melakukan pemeriksaan Refleks Gordon
11 Melakukan pemeriksaan Refleks Schaefer
12 Melakukan pemeriksaan Refleks Chaddock
13 Melakukan pemeriksaan Refleks Rossolimo
14 Melakukan pemeriksaan Refleks Mendel-Bechterew
15 Cuci tangan, merapikan alat dan dokumentasi
TOTAL NILAI
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (…….) x 100 %


30

Purwokerto, ……………2019
Evaluator

…………………………………
III. PEMERIKSAAAN MENGINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI
RADIX PADA DAERAH VERTEBRALIS
TUJUAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu :

1. Melakukan pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan tanda iritasi radix pada daerah
vertebralis
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan neurologis pada kasus
low back pain.

TINJAUAN PUSTAKA

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput
otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superfisial. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak.

Tanda-tanda perangsangan selaput otak:

1. Kaku kuduk
Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan tangan kiri dibawah kepala
pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal kepala ke
anterior, sampai dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat menyentuh dada.

2. Brudzinski’s sign
a. Neck sign
Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil positif bila gerakan
fleksi pasif tersebut disusul dengan gerakan fleksi reflektoris di sendi lutut dan panggul kedua
tungkai.
b. Leg sign
Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul (salah satu tungkainya
dapat diangkat pada sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Hasil positif
jika tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi panggul

c. Cheek sign
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zigomatikum akan disusul gerakan fleksi
reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan

d. Symphisis sign
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi reflektoris pada
kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan tes ini adalah kandung kemih
kosong dan tidak ada fraktur pada os.coxae

3. Kernig’ sign
Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha penderita tegak
lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita diluruskan di sendi lutut. Gerakan ini
akan mendapat tahanan dan sekaligus membangkitkan nyeri pada otot biseps femoris. Hasil positif
apabila ekstensi lutut tidak mencapai 135° oleh karena nyeri dan spasme otot paha sedangkan
tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris.

Cervical syndrome adalah sindrome atau keadaan yang ditimbulkan oleh adanya iritasi atau
kompresi pada radiks saraf servikal ditandai dengan adanya rasa nyeri pada leher yang dijalarkan
ke bahu dan lengan sesuai dengan radiks yang terganggu. Rasa nyeri yang dijalarkan tersebut
disebut nyeri radikuler artinya bahwa rasa nyeri tersebut berpangkal pada tempat perangsangan
dan menjalar ke daerah persarafan radiks yang terkena. Daerah ini sesuai dengan kawasan suatu
dermatom. Untuk mengetahui adanya nyeri di tengkuk yang mungkin bersifat radikuler dapat
dikerjakan tes-tes sebagai berikut:

4. Tes Kompresi Lhermitte


Pada pasien yang duduk dilakukan kompresi pada kepalanya dalam berbagai posisi : miring kanan,
miring kiri, tengadah dan menunduk. Hasil tes dinyatakan positif bila pada penekanan tersebut
dirasakan adanya nyeri yang dijalarkan.
5. Tes Valsava
Pada pasien yang duduk, penderita disuruh mengejan dengan epiglottis menutup (penderita disuruh
menahan napas). Hasil tes positif bila timbul rasa nyeri yang ditimbulkan.

6. Tes Naffziger
Kedua vena jugularis ditekan dan penderita diuruh mengejan. Dengan ini tekanan intrakranial
ditingkatkan yang akan diteruskan ke sepanjang rongga arakhnoidal medula spinalis. Jika terdapat
proses desak ruang di kanalis vertebralis maka radiks yang terbentang atau teregang mendapat
perangsangan pada saat tes dikerjakan. Oleh karena itu akan timbul rasa nyeri yang dijalarkan
melintasi kawasan dermatomnya.

Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup sering muncul di
pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai hal. Sebab terbanyak kasus low
back pain meliputi trauma muskuloskeletal, penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP),
dan stenosis spinalis. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan,
infeksi tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan diagnosis
pada kasus LBP memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan langkah awal yang sangat menentukan ketepatan penegakan diagnosis pada pasien
LBP.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan
diagnosis LBP antara lain :

1. inspeksi tulang belakang : mengamati ada/tidaknya ketidaknormalan kurvatura vertebrae.

2. observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat berjalan

3. Observasi posisi duduk pasien

4. palpasi / perkusi vertebra

5. range of motion

Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes yang
dapat membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah.

1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit diletakkan diatas
lutut tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian dilakukan penekanan pada lutut
yang difleksikan tersebut. Hasil positif apabila nyeri pada sendi panggul yang terkena
penyakit

2. Tes Kontra Patrick


Penderita terlentang, tungkai yang sakit dilipat, endorotasi dan adduksi kemudian dilakukan
penekanan pada lutut tungkai tersebut sejenak. Hasil positif apabila nyeri pada sendi
sacroiliaka

3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai maka tangan
si pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang pada tumit pasien, sedangkan
tangan lain pemeriksa memegang serta menekan pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai
dalam keadaan lurus di sendi panggul menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila
salah satu radiks yang menyususn nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan
dan sebagainya karena HNP atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque membangkitkan
nyeri yang berpangkal pada radiks yang terkena dan menjalar sepanjang perjalanan perifer
ischiadikus

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing, S.M. dr. DR. Prof.


Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI. 2008
2. Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999
ALAT DAN BAHAN

1.Bed Periksa

2.Lampu/penerangan yang cukup


PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI RADIX PADA
DAERAH VERTEBRALIS

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Kaku kuduk
5 Pastikan tidak ada cedera servikal
6 Letakkan tangan kiri dibawah kepala pasien
7 Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke
kiri
8 Memfleksikan maksimal kepala ke anterior,
sampai dagu menyentuh dada
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
Brudzinski’s Sign
Neck Sign
10 Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu
menyentuh sternum
11 Melaporkan hasil pemeriksaan
Leg Sign
12 Mengangkat salah satu tungkai dalam sikap lurus
pada sendi lutut dan kemudian ditekukkan pada
sendi panggul
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Cheek Sign
14 Menekan pipi kedua sisi tepat di bawah
os.zigomatikum
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Symphisis Sign
16 Pastikan kandung kemih kosong dan tidak ada
fraktur pada os.coxae
17 Menekan pada simfisis pubis
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Kernig’s Sign
19 Memfleksikan sendi panggul 90°
20 Mengekstensikan sendi lutut
21 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI

Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali

1 =dilakukan tapi kurang sempurna

2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Pemeriksaan Tanda Iritasi Radix Pada Daerah Vertebralis

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Tes Patrick
5 Meletakkan maleolus eksterna tungkai yang sakit
pada lutut tungkai lainnya
6 Melakukan penekanan pada lutut yang difleksikan
7 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kontrapatrick
8 Mengendorotasikan & mengaduksikan tungkai
yang sakit
9 Menekan sejenak sendi lutut tungkai yang sakit
10 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Laseque
11 Mengangkat tungkai pasien dalam keadaan lurus
dengan cara tangan kanan pemeriksa memegang
tumit pasien
12 Memfiksasi lutut pasien dengan tangan kiri
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Naffziger
14 Menekan kedua vena jugularis dan penderita
disuruh mengejan
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Valsava
16 Meminta penderita posisi duduk
17 Meminta pasien untuk mengejan sewaktu pasien
menahan napas
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kompresi Lhermitte
19 Melakukan kompresi pada kepala penderita dalam
berbagai posisi miring kanan, miring kiri,
tengadah, menunduk
20 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI
Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali

1 =dilakukan tapi kurang sempurna

2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (…….) x 100 %

40

IV. PEMERIKSAAN FISIK GANGGUAN SARAF CRANIALIS

LEARNING OUTCOME

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan saraf kranialis.

TINJAUAN PUSTAKA

Saraf
kranialis dibagi menjadi 12 jenis, yaitu :

1. Saraf I (N. Olfaktorius)


Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan apakah
penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul.

Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya bersifat
aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi, vanili, dan
sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa hidung (alkohol, amonia) tidak
dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan yang
diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal
dibandingkan dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal dahulu.
Cara Pemeriksaan :

 Kedua mata ditutup


 Lubang hidung ditutup salah satu
 Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara, mahasiswa melihat
lubang hidung pasien dengan senter
 Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka
dan penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi bahan
tersebut.

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :

 Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena) akan
menimbulkan positif palsu.
 Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
 Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus frontalis,
meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan juga bisa hilang
pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis basalis (sifilis,
tuberkulosa).
 Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan organik,
pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga yang merangsang N V
(seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap dapat
menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap tidak membau apa-apa maka
kemungkinan kelainan psycis.

2. Saraf II (N. Opticus)


Pemeriksaan meliputi :
2.1. Penglihatan sentral

Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan retina digunakan PIN HOLE
(apabila penglihatan menjadi lebih jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi).
Lebih tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan
dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana secara normal
dapat dilihat pada jarak 300 m

2.2. Penglihatan Perifer

diperiksa dengan :

a. Tes Konfrontasi.
 Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata pemeriksa sisi lain.
 Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai denganlapang pandang pasien.
 Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang pasien dari 8 arah.
 Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut. Bandingkan lapang pandang
pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
 Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal
b. Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes konfrontasi.

2.3.Melihat warna

Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk mengetahui adanya polineuropati pada N
II.

2.4.Pemeriksaan Fundus Occuli

Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah
pada papilla N II terdapat :

1. Stuwing papil atau protusio N II


Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla tersebut mencembung atau menonjol oleh
karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan disekitarnya tampak pembuluh darah
yang berkelok-kelok dan adanya bendungan.

2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema tetapi papilla tidak menyembung
dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.

Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :

 Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.


 Warnanya
 Pembuluh darah
 Keadaan Retina

3. Saraf III (N. Oculo-Motorius)


Pemeriksaan meliputi :

1. Retraksi kelopak mata atas, dilakukan dengan inspeksi


pada kelopak mata atas
Bisa didapatkan pada keadaan :

 Hidrosefalus (tanda matahari terbit)


 Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii
 Hipertiroidisme
Cara pemeriksaan :

2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong
iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang/ ke
atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai
sebagai ptosis.

Penyebab Ptosis adalah:

 False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata


(chalazion).
 Disfungsi simpatis (sindroma horner).
 Kelumpuhan N. III
 Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
 Miopati (miastenia gravis).
Cara pemeriksaan :

Inspeksi :

 Melihat apakah kelopak mata atas memotong iris pada titik yang sama secara bilateral atau
tidak.
 Melihat apakah pasien mendongakkan kepala ke atas untuk melihat objek yang berada di
depan pasien
 Melihat apakah pasien cenderung mengangkat alis untuk melihat objek yang berada di depan
Palpasi (untuk menilai ptosis karena kelumpuhan M.levator palpebrae akibat kelumpuhan N III):

 Meminta pasien memejamkan mata, kemudian disuruh membukanya


 Saat pasien membuka mata, lakukan fiksasi dengan cara memegang palpebra superior serta
dengan menekan alis mata dengan tangan yang lain
3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :

 Bentuk dan ukuran pupil.


Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada kemungkinan bekas operasi mata. Pada
sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-
kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil disebut Meiosis, yang biasanya terdapat pada
Sindroma Horner, pupil Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan pupil
yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/ paralisa m. sphincter dan
kelainan psikis yaitu histeris

 Perbandingan pupil kanan dengan kiri


Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara pupil kanan
dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada
penderita tidak sadar maka harus dibedakanapakah anisokor akibat lesi non
neurologis(kelainan iris, penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf
perifer N. III, herniasi tentorium.

 Refleks pupil
Terdiri atas :
- Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita disuruh melihat
jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya
dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung
mengenai mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka ada
kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N. Oculomotorius)

- Reflek akomodasi

Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti gerak benda
tersebut dimana benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata
penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.

Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek
cahayanya negatif namun reflek akomodasi positif.

- Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi pada mata yang lain.
Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar kertas.
Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain akan kontriksi juga.

4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan


VI)
Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV dan VI. Dimana N
III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala mata keatas), m. rectus superior, m.
rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi
m. rectus lateralis.

N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot sphincter pupil.
Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita disuruh mengikuti suatu benda
kedelapan jurusan.

Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila pada
1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang atau tidak
bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese otot bagian dalam
(otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah satu gangguan
maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar
dan dalam disebut opthalmoplegic totalis

Cara pemeriksaan : meminta penderita untuk menggerakkan bola mata ke berbagai arah
(superior, inferior, medial, temporal, superolateral, superomedial, inferiomedial dan
inferolateral)

5. Sikap Bola Mata


Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat. Kelainan –kelaian yang tampak
diantaranya adalah :

- Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses mekanis


retroorbital, dan celah mata tampak lebih besar.
- Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara subyektif
ditanyakan apakah ada diplopia. Pemeriksaan subyektif ini penting karena kadang-kadang
strabismus yang ringan tak kelihatan pada pemeriksaan obyektif. Perhatikan apakah terdapat
kontraksi/tarikan yang berlebihan dari otot antagonisnya.
- Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini tidak
hanya memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola mata sja, tetapi sekaligus melihat adanya
kelainan dalam keseimbangan atau N VIII.
Cara pemeriksaan : penderita diminta melirik ke satu arah selama 5 atau 6 detik.

Interpretasi hasil : terdapat gerakan bola mata spontan selama jangka waktu tersebut

- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan istirahat
menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh kesadaran, dengan sumbu kedua mata
tetap sejajar secara terus-menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang otak,
bisa lesi destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/ epilepsi fokal &
perdarahan)

4. Saraf V (N. Trigeminus)


Pemeriksaan meliputi :

1. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :

- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis


- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
- bagian dagu, keluar dari foramen mentale.
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri

2. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira-kira didaerah otot
maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau
ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras

3. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, posisi penderita dalam keadaan tidur terlentang,
posisi pemeriksa dari atas pasien. Kemudian dari arah lain limbus (tepi) kornea disentuhkan
dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan menutup.

5. Saraf VII (N. Facialis)


A. Dalam keadaan diam, perhatikan
:
- asimetri muka (lipatan nasolabial)
- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus
sardonicus, tremor, dsb)
B. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian
pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-
masing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot
platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk
mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada stadium dini.
C. Sensorik khusus (pengecapan
2/3 depan lidah)
Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang mempunyai rasa :

1. manis, dipakai gula


2. pahit, dipakai kinine
3. asin, dipakai garam
4. asam, dipakai cuka
Paling sedikit menggunakan 3 macam. Sebelumnya lidah pasien dibersihkan/dilap terlebih dahulu
untuk mengurangi air liur. Penderita tidak boleh menutup mulut dan mengatakan perasaannya
dengan menggunakan kode-kode yang telah disetujui bersama antara pemeriksa dan penderita.
Penderita diminta membuka mulut dan lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan
lidah. Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang normal. Biasanya
menggunakan gula, garam, klorampenicol

6. Saraf VIII (N. Acusticus)


Pemeriksaan pendengaran

1. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit, sampai tak mendengar
lagi, dibandingkan kanan dan kiri.

2. Gesekan jari

3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih keras,
kanan/ kiri.

4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar lagi
dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik daripada
tulang.
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus deafness atau tranmission
deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup matanya untuk
menghindari kebohongan.

7. Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)


Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga mulut atau 1/3 belakang
lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.

a. Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara itu pemeriksa
melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N XII).

b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik


Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan dengan kiri.
Refleks ini mungkin menghilang pada pasien lanjut usia.

c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

8. Saraf XI (N. Accesssorius)


Hanya mempunyai komponen motorik.

Pemeriksaan :

a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan


fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan/
mendorong sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi)
b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu
penderita kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu
terangkat (sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa berada dibelakang penderita)

9. Saraf XII (N. Hypoglossus)


Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan
pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah)
Pemeriksaan :

a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII)
bisa menimbulkan positif palsu.

b. Menggerakkan lidah kelateral


Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan kiri.

c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor dan atropi papil
positip

d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Penderita disuruh mengikuti kalimat yang diucapkan oleh
pemeriksa, yaitu: “ular melingkar-lingkar di atas pagar”. Bila terdapat parese maka didapatkan
dysarthria.

DAFTAR PUSTAKA

7. Juwono
T, Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek, Jakarta, EGC, 1996
8. http://endeavor.med.nyu.edu/neurosurgery/cranials.html
9. Lumbantobing, Neurologi Klinik “Pemeriksaan Fisik dan
Mental”, Jakarta, FKUI, 2008
10. Wirawan, Pemeriksaan Neurologi, Semarang, Senat Mahasiswa
Universitas Diponegoro

KETRAMPILAN PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL

Nama :

NIM :
No Aspek Yang Dinilai Nilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan
2. Menyiapkan penderita dan meminta
kerjasama penderita dalam pelaksanaan
Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan N. I
3. Kedua mata pasien ditutup
4. Lubang hidung pasien ditutup salah satu
5. Melihat kedua lubang hidung pasien
dengan menggunakan senter, apakah ada
gangguan pengaliran udara
6. Satu persatu bahan didekatkan pada lubang
hidung yang terbuka
7. Meminta pasien menarik napas panjang,
kemudian mengidentifikasi bahan tersebut
Melakukan pemeriksaan N III
8. Melakukan pemeriksaan retraksi
Melakukan pemeriksaan ptosis
9. Inspeksi palpebra superior
10. Meminta pasien menutup mata, kemudian
membukanya
11. Memfiksasi ringan palpebra superior dan
alis mata
Melakukan pemeriksaan pupil
12. Melihat ukuran pupil : isokor/anisokhor
13. Melihat bentuk dan diameter pupil
14. Meminta penderita menutup salah satu
mata. Mengarahkan senter dari samping
untuk menilai reflex cahaya
15. Melakukan pemeriksaan pada mata
kontralateral
Melakukan pemeriksaan gerakan bola
mata N.III, N. IV, N VI
16 Memfiksasi kepala pasien lurus ke depan
17 Meminta penderita menggerakkan bola
mata ke berbagai arah
18 Melakukan pemeriksaan sikap bola mata
19 Melakukan pemeriksaan N. V sensibilitas
20 Melakukan pemeriksaan N.V motorik
21 Melakukan pemeriksaan N.V reflek
22 Melakukan pemeriksaan N. VII atas
perintah pemeriksa
23 Melakukan pemeriksaan N. VII sensorik
khusus
24 Melakukan pemeriksaan N. IX-X gerakan
palatum
25 Melakukan pemeriksaan N. IX-X reflek
muntah dan sensorik
26 Melakukan pemeriksaan N. XI m.
Sternocleidomastoid
27 Melakukan pemeriksaan N. XI M.
Trapezius
28 Melakukan pemeriksaan N. XII
TOTAL NILAI
Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali

1 =dilakukan tapi kurang sempurna


2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (…….) x 100 %

56

V. PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN & KOORDINASI

LEARNING OBJECTIVE

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi

TINJAUAN PUSTAKA

Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik dan sinergik
dalam melakukan gerakan. Pusat koordinasi adalah cerebellum. Gangguan koordinasi dibagi
menjadi:

A. Gangguan equlibratory coordination (mempertahankan keseimbangan, khususnya pada


posisi berdiri), diperiksa dengan:
1. Tes Romberg
Penderita diminta berdiri dengan kedua tumit saling merapat. Pertama kali dengan
mata terbuka kemudian penderita diminta menutup matanya. Pemeriksa menjaga jangan
sampai penderita jatuh tanpa menyentuh penderita. Hasil positif didapatkan apabila
penderita jatuh pada satu sisi.
2. Tes tandem walking
Penderita diminta berjalan pada satu garis lurus di atas lantai, dengan cara
menempatkan satu tumit langsung di depan ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan
mata terbuka atau tertutup. (Gambar 1)

Gambar 1
3. Tes Fukuda
Penderita diminta untuk berdiri dengan kedua tangan direntangkan ke depan.
Selanjutnya penderita diminta untuk menutup mata dan kedua kaki berjalan di tempat
sebanyak 50x hitungan. Hasil positif apabila terdapat deviasi ke satu sisi lebih dari 30
derajat atau berpindah tepat lebih dari satu meter.
B. Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak,
terutama gerakan halus), diperiksa dengan:
1. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi
abduksi dan ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan
kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
2. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien
diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari
pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan. (Gambar 2)

Gambar 2
3. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta
untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah
bidang horizontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan
cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
4. Disdiadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan
supinasi dengan posisi siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan
mata terbuka atau mata tertutup. (Gambar 3). Disdiadokokinesis pada lidah dapat
dikerjakan dengan meminta penderita menjulurkan dan menarik lidah atau menggerakkan
ke sisi kanan dan kiri secepat mungkin.
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk
pinggiran meja/paha dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal
tangan dengan cepat atau dengan tepukan cepat
jari-jari tangan ke jempol. (Gambar 4)

Gambar 3

Gambar 4
5. Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral,
kemudian diteruskan dengan mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar
5) Variasi dari test ini adalah toe-finger test, yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari
penderita dengan jari-jari kakinya atau dengan cara membuat lingkaran di udara dengan
kakinya. (Gambar 6)

Gambar 5

Gambar 6

6. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah,
siku difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan
bawah tersebut dan penderita diminta menahannya, kemudian dengan mendadak
pemeriksa melepaskan tarikan tersebut tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka
dan badan pemeriksa supaya tidak terpukul oleh lengan penderita sendiri bila ada lesi
cerebellum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Duss P, Diagnosis Topik Neurologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kepokteran EGC; 1996.
2. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC; 1987.
3. Laboratorium Ketrampilan Medik FK UGM. Skills Lab Semester 2 Tahun kademik 1998-
1999. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. 1999
4. Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999
5. Weiner H dan Levitt L. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2001
Penilaian Keterampilan Keseimbangan dan Koordinasi
Nama :

NIM :
Nilai
No Aspek yang dinilai bobot
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri 1
2 Melakukan anamnesis seperlunya 1
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan 1
Meminta penderita untuk berdiri dengan kedua tumit saling
4 1
merapat
Meminta penderita melakukan hal tersebut pada mata terbuka
5 1
kemudian mata tertutup.
6 Melaporkan hasil pemeriksaan. 1
Meminta penderita berjalan pada satu garis lurus di lantai,
7 dengan menempatkan satu tumit langsung di depan ujung jari 1
kaki yang berlawanan.
Meminta penderita melakukan hal tersebut pada mata terbuka
8 1
dan mata tertutup.
9 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita untuk berdiri dengan tangan direntangkan
10 1
kedepan
Meinta penderita untuk menutup mata dan setelah itu
11 meminta penderita untuk berjalan di tempat sebanyak 50x 1
hitungan
12 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita menyentuh ujung hidungnya dengan ujung
13 jari telunjuknya dengan gerakan abduksi dan ekstensi lengan 1
secara komplit.
Meminta penderita melakukan mula-mula dengan perlahan
14 1
kemudian cepat.
Meminta penderita melakukan hal tersebut dengan mata
15 1
terbuka dan mata tertutup.
16 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita menyentuh ujung hidungnya dengan ujung

17 jari telunjuknya dengan gerakan abduksi dan ekstensi lengan 1


secara komplit kemudian menyentuh ujung jari pemeriksa dan
kembali menyentuh ujung hidungnya
Meminta penderita melakukan mula-mula dengan perlahan
18 1
kemudian cepat.
Meminta penderita melakukan hal tersebut dengan mata
19 1
terbuka dan mata tertutup.
Mengubah-ubah jari pemeriksa baik dalam jarak maupun
20 1
bidang gerakan
21 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita mengabduksikan lengan pada bidang

22 horizontal dan diminta untuk menggerakkan kedua ujung jari 1


telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah bidang
horizontal tersebut.
Meminta penderita melakukan mula-mula dengan perlahan
23 1
kemudian cepat.
Meminta penderita melakukan hal tersebut dengan mata
24 1
terbuka dan mata tertutup.
25 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya
26 1
bergantian pronasi dan supinasi dengan posisi siku diam.
Meminta penderita melakukan gerakan tersebut secepat
27 1
mungkin.
Meminta penderita melakukan hal tersebut dengan mata
28 1
terbuka dan mata tertutup.
29 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita untuk menggerakkan tumit kakinya ke
30 lutut kontralateral, kemudian diteruskan dengan mendorong 1
tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya.
31 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan
32 supinasi lengan bawah, siku difiksasi/diletakkan pada meja 1
periksa/alas lain.
Menarik lengan bawah penderita dan penderita diminta
33 1
menahannya
34 Dengan mendadak melepaskan tarikan tersebut 1
Sebelumnya lengan lain harus menjaga muka dan badan
35 1
pemeriksa supaya tidak terpukul oleh lengan penderita sendiri
36 Melaporkan hasil pemeriksaan 1

Keterangan:
1 : tidak dilakukan sama sekali
2 : dilakukan tetapi tidak sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna
VI. KONSELING IMUNISASI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat melakkan konseling imunisasi dengan baik.
2. Mahasiswa dapat menyelesaikan masalah pasien atau mencari alternatif pemecahan
masalah pasien terkait dengan imunisasi.

B. ALAT DAN BAHAN


1. Alat: -
2. Bahan: -

C. KONSELING
1. DEFINISI 
Konseling adalah terjemahan dan kata counseling, mempunyai makna sebagai
hubungan timbal balik antara dua orang individu, dimana yang seorang (konselor)
berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri
dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan
datang (Natawijaya, 1987).

Dibawah ini terdapat beberapa definisi konseling menurut beberapa ahli.

a.  Menurut David Capuzzi dan Mark D. Stauffer dalam buku Foundations of


Addictions Counseling, tahun 2008.
Counseling is the profession of counseling has been describe as on in wich
counselors interact with clients to assist them in learning about them selves, their
families, and their styles of interacting with others at home, at work and in their
communities for the purpose of discovering in the most meaningful way to view
themselves and those they interact vate practice, and a variety of support the prapiol
social/ cultural, technological and economic changes that are accrediting in the
twenty-first century.

b. Menurut John Mcleod, dalam buku Counselling Skill, adalah sebagai berikut:
Counseling, is an activity which takes place when someone who is troubled
invites and allow another person to enter into a particutular kind of relationship with
them.
c. Menurut Surya (1988), pengertian konseling adalah seluruh upaya bantuan yang
diberikan konselor kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan
kepercayaan diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah
lakunya pada masa yang akan datang. Dalam pembentukan konsep kepribadian yang
sewajarnya mengenai : dirinya sendiri, orang lain, pendapat orang lain tentang dirinya,
tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan kepercayaan diri.

d. Menurut Sukardi (2000), setelah menyarikan dari berbagai pendapat


tentang pengertian konseling menyimpulkan bahwa konseling merupakan suatu upaya
bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka
antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi),
yang dilakukan dalam suasana keahilan dan yang didasari atas norma-norma yang
berlaku, agar klien memperoleh konsep din dan kepercayaan diri sendiri dalam
memperhaiki tingkah lakunya pada saat kini dan mungkin pada masa yang akan
datang.

e. Prayitno (2004), mendefinisikan konseling adalah bantuan yang diberikan oleh


konselor kepada klien dalam rangka pengentasan masalah klien. Dalam suasana tatap
muka yang dilaksanakan interaksi langsung antara konselor dengan klien. Pembahasan
masalah tersebut bersifat mendalam menyentuh hal-hal penting tentang klien (bahkan
sangat penting yang boleh jadi menyangkut rahasia pribadi klien), bersifat meluas
meliputi berbagai segi yang menyangkut permasalahan klien, namun juga bersifat
spesifik mengarah pengentasan masalah klien.

Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan, pengertian


konseling adalah bantuan secara professional yang diberikan oleh konselor kepada
klien secara tatap muka empat mata yang dilaksanakan melalui interaksi secara
langsung dalam rangka memperoleh pemahaman diri yang lebih balk, kemampuan
mengontrol diri, dan mengarahkan din untuk dimanfaatkan olehnya dalam rangka
pemecahan masalah dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.
Pembahasan masalah yang dimaksud bersifat mendalam yang menyangkut hal-hal
penting tentang kilen, bersifat luas meliputi berbagai segi permasalahan klien, serta
bersifat spesifik mengarah pada pengentasan masalah klien yang urgen.

Dalam sebuah proses konseling yang adekuat, berperan dua pihak yang saling
terkait, yaitu seorang konselor dan seorang klien yang menjalin hubungan
profesionalisme.
a. Konselor: Konselor adalah seorang ahil dalam bidang konseling, yang memiliki
kewenangan dan mandat secara profesional untuk melaksanakan pemberian layanan
konseling. Dalam proses konseling, konselor yang aktif mengembangkan proses
konseling melalui pendekatan, teknik dan asas-asas konseling terhadap kilen. Dalam
proses konseling, selain media pembicaraan verbal, konselor juga dapat
menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media pembelajaran
lainnya, serta media pengembangan tingkah laku. Semua itu diupayakan konselor
dengan cara-cara yang cermat dan tepat, demi terentaskannya masalah yang dihadapi
klien.
b. Kilen: Klien adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau setidak-
tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada orang lain.
Klien menanggung semacam beban, uneg-uneg, atau mengalami suatu kekurangan
yang ingin diisi; atau ada suatu yang ingin dan/atau perlu dikembangkan pada dirinya.
Semuanya agar dia mendapatkan suasana pikiran dan/atau perasaan yang Iebih
ringan, memperoleh nilai tambah, hidup lebih berarti, dan hal-hal positif lain nya
selama menjalani hidup seharian dalam rangka kehidupan dirinya secara menyeluruh.

2. TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus:
a. Tujuan umum: Tujuan layanan konseling adalah terentaskannya masalah yang
dialami klien. Upaya pengentasan masalah klien ini dapat berupa mengurangi
intensitasnya atas masalah tersebut, mengurangi intensitas hambatan dan/atau
kerugian yang disebabkan masalah tersebut, dan menghilangkan atau meniadakan
masalah yang dimaksud. Dengan layanan konseling ini beban klien diringankan,
kemampuan klien ditingkatkan dan potensi klien dikembangkan.
b. Tujuan khusus: Klien memahami seluk-beluk masalah yang dialami secara
mendalam dan komprehensif, serta positif dan dinamis. Pemahaman yang dimaksud
mengarah kepada dikembangkannya persepsi dan sikap serta kegiatan demi
terentaskannya secara spesifik masalah yang dihadapi klien. Pengembangan dan
pemeliharaan potensi klien dan berbagai unsur positif yang ada pada dirinya
merupakan latar belakang pemahaman dan pengentasan masalah kilen.
Pengembangan dan pemeliharaan potensi dan unsur-unsur positif yang ada pada diri
klien, diperkuat oleh terentaskannya masalah, dan berkembangnya masalah yang lain.
3. FUNGSI KONSELING
a. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan yang membantu klien agar memiliki
pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan,
dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, klien diharapkan mampu
mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan secara dinamis dankonstruktif.
b. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk
senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya
untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh klien. Melalui fungsi ini, konselor
memberikan bimbingan kepada klien tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan
atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan
adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah
yang perlu diinformasikan kepada klien dalam rangka mencegah terjadinya tingkah
laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok,
penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
c. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih proaktif dari
fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan klien. Konselor
merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya membantu klien mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah layanan
informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home
room, dan karyawisata.
d. Fungsi Perbaikan (Penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif.
Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada yang telah
mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
e. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu klien memilih kegiatan
ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau
jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya
di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
f. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala
Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program
pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan
klien. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai klien,
pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan siswa secara
tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode
dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan
kemampuan dan kecepatan klien.
g. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu klien agar dapat
menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif

4. TEKNIK KONSELING
Teknik-teknik dalam konseling merupakan langkah awal yang harus di pahami oleh
para konselor. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa teknik dalam konseling yang  yang
lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar
konseling.
a. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen
kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Hal ini dimaksudkan untuk mengenal klien
beserta gejala-gejala yang nampak, sehingga klien bisa mandiri.
Perilaku attending yang baik dapat :
● Meningkatkan harga diri klien.
● Menciptakan suasana yang aman
● Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik
● Kepala  : melakukan anggukan jika setuju
● Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
● Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien
agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
● Tangan   : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan
tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
● Mendengarkan    : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai,
diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
● Kepala : kaku
● Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien
sedang bicara, mata melotot
● Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh,
duduk kurang akrab dan berpaling.
● Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi
kesempatan klien berfikir dan berbicara.
● Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
b. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien,
merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati
dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil
terbentuk empati.
 Terdapat dua macam empati, yaitu :
1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan,
pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan
terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda”.”Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti
keinginan Anda”.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap
perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan
menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan
konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi
hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk
penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan
apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
c. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan,
pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
● Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan
perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
● Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat
klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal
klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”
● Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-
pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
d. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien.
Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup
diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini
memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
● Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang
tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang
dimaksudkan ….”
● Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat
klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda
tentang sekolah sambil bekerja”.
● Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali
pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman
yang Anda lalui. Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman
tersebut dan pengaruhnya terhadap kesehatan Anda”
e. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi
atau inti ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien,
mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan
kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap
konselor.
Tujuan paraphrasing adalah :
1. untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan
berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien;
2. mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ;
3. memberi arah wawancara konseling; dan
4. pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien                :”itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya.
Saya tidak tahu mengapa demikian
Konselor         :”Tampaknya anda masih ragu.”
f. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara
mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik
pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak
menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan
menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya,
lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan?
g. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam
hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan
kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk :
1. mengumpulkan informasi;
2. menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan
3. menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog
Klien              :” Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar
kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan.
Konselor         :”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ?
Klien              : “Empat.
Konselor         : “Sekarang berapa ?
Klien               : “Sebelas.
h. Dorongan minimal (Minimal Encouragement
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang
singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan
ungkapan : oh.., ya.., lalu.., terus.., dan.Tujuan dorongan minimal agar klien terus
berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini
diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan
pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat
konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog
Klien               : “Saya putus asa… dan saya nyaris…” (klien menghentikan
pembicaraan)
Konselor         : “ya…
Klien               : “nekad bunuh diri
Konselor         : “lalu…
i. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan
merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk
memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman
dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien               :”Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian
membantu orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena
adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor         : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi
semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda.
Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan
manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang
harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang
tergolong akan meninggalkan SMA”.
j. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya
menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien               : ”Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi
menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor         : ”Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan
kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
k.  Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah
pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk:
1. memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-
hal yang telah dibicarakan;
2. menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap;
3. meningkatkan kualitas diskusi;
4. mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar
semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita
diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja
sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi,
yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi,
dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda
masuki.”

D. IMUNISASI
1. DEFINISI

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan


seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Untuk memberi
kekebalan tersebut maka imunisasi dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin adalah
antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah
menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.
Pemberian imunisasi terkadang dapat menimbulkan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI. Hal tersebut berupa kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas,
reaksi sensitifitas, efek farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi
suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.

2. TUJUAN IMUNISASI
a. Tujuan umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
b. Tujuan khusus
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi
lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/kelurahan pada
tahun 2014.
2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per
1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3. Global eradikasi polio pada tahun 2018.
4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit rubella
2020.
5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah medis
(safety injection practise and waste disposal management).
3. MACAM IMUNISASI
a. IMUNISASI DASAR
Jadwal imunisasi nasional (DEPKES 2015) bagi bayi yang lahir di rumah
Umur Jenis vaksin
0-7 hari HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1/HIB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2/HIB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB 3/HIB 3, Polio 4, IPV
9 bulan Campak

1. Imunisasi wajib diberikan kepada setiap bayi dan balita di Indonesia.


2. Terdiri dari Hepatitis B, BCG, DPT, HIB, Polio dan campak.
3. Diberikan sejak lahir sampai usia 11 bulan.

b. IMUNISASI LANJUTAN PADA USIA BATITA


Umur Jenis vaksin
18 bulan DPT/HB/HIB
24 bulan Campak

c. IMUNISASI LANJUTAN PADA USIA SEKOLAH


Umur Jenis vaksin
Kelas 1 SD DT/Campak
Kelas 2 SD Td
Kelas 3 SD Td

d. IMUNISASI LANJUTAN TETANUS TOXOID

Keterangan:
1. TT1 berisi DPT-HB-Hib diberikan usia 2,3,4 bulan
2. TT2 berisi DPT-HB-Hib diberikan usia 18 bulan (memberikan imunitas
selama 3 tahun)
3. TT3 berisi DT diberikan usia 5 tahun (memberikan imunitas selama 5 tahun)
4. TT4 berisi Td diberikan usia 7 tahun (memberikan perlindungan selama 10
tahun)
5. TT4 berisi Td diberikan usia 10 tahun (memberikan perlindungan selama 25
tahun)
HEPATITIS B
1. Merupakan vaksin rekombinan (rekayasa genetik) dari sel ragi yang menghasilkan
antigen HBsAg.
2. Diberikan kepada bayi baru lahir (HB 0), umur 2, 3 dan 4 bulan bersama DPT dan
HIB.
3. Pemberian secara intra muscular di musculus vastus lateralis regio 1/3 medial, dosis
0,5 ml.
4. KIPI : demam, nyeri, syok anafilaktik (jarang).

BCG
1. Singkatan dari Bacillus Calmette Guerin.
2. Komponen aktif berisi Mycobacterium bovis yang dilemahkan (attenuated).
3. Diberikan sebelum usia 3 bulan dosis 0,05 ml di regio musculus deltoid kanan
secara intracutan tanpa proses asepsis terlebih dahulu.
4. Penyajian harus dicampurkan antara antigen dan pelarutnya, sediaan tersebut
bertahan 3 jam setelah pelarutan.
5. KIPI : jika timbul limfadenitis regional di aksila kanan, tidak perlu diobati. Jika
timbul abses mengganggu bisa dipungsi
6. Reaksi Vaksin BCG
a. 1 bulan setelah injeksi timbul bintik eritem.
b. 1 minggu kemudian berubah menjadi papula.
c. 1 minggu kemudian menjadi pustula.
d. 1 minggu kemudian pustula pecah.
e. 1 minggu selanjutnya timbul sikatriks.
DPT
1. Komponen vaksin terdiri dari Difteri (toksin Corynebacterium diphteriae
dilemahkan), Pertusis (Bordetella pertussis dimatikan), dan Tetanus (toksin
Clostridium tetani yang dilemahkan).
2. Pemberian secara intramuscular di regio musculus vastus lateralis 1/3 medial,
dosis 0,5 ml.
3. KIPI : demam (sering), nyeri, abses steril (jarang).
4. Jadwal Imunisasi DPT
a. Imunisasi dasar : umur 2, 3 dan 4 bulan.
b. Ulangan umur 18 bulan (DPT), dan 5 tahun (DT), anak usia lebih dari 7 tahun
diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada
usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
c. Kemasan vaksin DPT mulai tahun 2014 dijadikan satu bersama HIB dan
Hepatitis B, disebut sebagai vaksin pentavalen.

HIB
1. Komponen aktif berisi polisakarida dinding sel Haemophillus influenza B yang
dikonjugasikan dengan toksoid Tetanus untuk memperkuat respons imun.
2. Pemberian secara intramuscular di musculus vastus lateralis regio 1/3 medial dosis
0,5 ml.
3. Jadwal pemberian sesuai vaksin DPT, yaitu pada usia 2, 3 dan 4 bulan (pentavalen)
dan ulangan pada umur 15-18 bulan.
4. Tujuan : untuk mencegah penyakit meningitis akibat infeksi bakteri Haemophillus
influenza B.
5. KIPI : demam dan nyeri di tempat suntikan, akan tetapi kejadian jarang.
POLIO
1. Ada dua jenis vaksin polio:
a. Vaksin berisi virus poliomyelitis dimatikan (Salk), pemberian secara injeksi
intramuscular, dosis 0,5 ml.
b. Vaksin berisi virus poliomyelitis hidup tapi dilemahkan (Sabin), pemberian
secara per oral, dosis 2 tetes.
2. Jadwal pemberian : saat lahir (polio 0), selanjutnya bersamaan pemberian
vaksin DPT usia 2, 3, dan 4 bulan, serta ulangan pada usia 18 bulan.
3. KIPI polio oral : AFP (Acute Flaccide Paralysis), demam, mual, muntah dan
diare (jarang).
4. KIPI polio injeksi : demam dan nyeri pada tempat suntikan (jarang).

CAMPAK
1. Berisi virus morbili yang dilemahkan.
2. Cara pembuatan menggunakan media embryo ayam, sehingga berpotensi reaksi
alergi pada individu yang sesuai.
3. Cara pemberian secara injeksi subcutan, pada regio musculus vastus lateralis 1/3
medial.
4. Jadwal pemberian saat usia 9 bulan.
5. KIPI Imunisasi Campak
a. Demam yang terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, nyeri pada tempat suntikan,
syok anafilaktik.
b. Imunisasi ulangan dilaksanakan pada usia 18 bulan, 6-7 tahun di sekolah
dasar.
E. REFERENSI
Umar, Drs. H. M.dan Drs. Sartono, Bimbingan dan Penyuluhan, CV Pustaka Setia, Bandung
2001
Nurhayati, Dr. Nur, M.Si, Bimbingan Konseling dan Psikoterapi Inovatif, Pustaka pelajar,
yogyakarta 2001

Wulansari R, 2013, Kuliah Konseling CHEM I, FK UNSOED

Woro D, 2010, Kuliah Konseling CHEM I, FK UNSOED

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013


TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI
Kuliah imunisasi dr. M. Mukhson, SpA

FORM PENILAIAN
SKILL KONSELING IMUNISASI
Nama : ...............................................
NIM : ...............................................
NILAI
No ASPEK YANG DINILAI
0 1 2

1 Mengucapkan salam dengan menyapa nama pasien serta


memperkenalkan diri
2 Menanyakan tujuan kedatangan klien
Ketrampilan menyampaikan informasi tentang imunisasi
3 Definisi imunisasi
4 Tujuan imunisasi
5 Macam imunisasi
6 Cara pemberian imunisasi
7 KIPI
8 Jadwal pemberian imunisasi
9 Memberi kesempatan klien untuk bertanya
(menggunakan pertanyaan terbuka)
10 Mengklarifikasi problem utama
11 Memberikan alternatif pemecahan masalah dengan detil
keuntungan, kerugian dan dampak
12 Mendengar aktif dengan tetap menjaga kontak mata,
menggunakan bahasa tubuh dan memberikan respon
yang tepat
13 Menarik kesimpulan dari isi pembicaraan dan menutup
pembicaraan
NILAI TOTAL
Keterangan: Berilah tanda √ pada kolom yang sesuai

0 = tidak dilakukan

1 = dilakukan tapi tidak sempurna/kadang-kadang dilakukan

2 = dilakukan dengan sempurna/selalu dilakukan

Nilai akhir = Nilai total x 100 = ............ x 100 = .............

26 26

Purwokerto, .................................
Penguji

VII. PEMERIKSAAN THT ( Hidung Tenggorok )

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit Hidung Tenggorok,
diperlukan kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ
tersebut.

Hidung

Hidung memiliki fungsi yang penting sebagai jalan nafas, pengatur kondisi udara, penyaring
udara, indra penghidu, resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. Keluhan
utama penyakit atau kelainan hidung dapat berupa sumbatan hidung, secret hidung dan tenggorok,
bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan hidung dan gangguan penghidu.
Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang (hiposmia),
disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan pada hidung.

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, sering dijumpai dengan tanda dan gejala
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala. Rasa nyeri dapat bertambah bila
menundukkan kepala dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sinusitis yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksilaris, kemudian sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis
sfenoidalis.

Tenggorok

Tenggorok dibagi menjadi faring dan laring. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:

1. Nasofaring
2. Orofaring
 Dinding posterior faring
 Fossa tonsil
 Tonsil
3. Laringofaring (Hipofaring)
Sedangkan fungsi faring terutama untuk respirasi, proses menelan, resonansi suara dan
artikulasi. Keluhan di daerah faring umumnya berupa nyeri tenggorok (odinofagi), rasa penuh
dahak di tenggorok, rasa ada sumbatan dan sulit menelan (disfagi). Kelainan yang sering
dijumpai pada faring yaitu tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis dan karsinoma nasofaring.

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas
segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Laring berfungsi
untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk
proteksi ialah mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup
aditus laring dan rima glottis secara bersamaan. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing
yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.

Suara parau merupakan gejala penyakit yang khas untuk kelainan tenggorok khususnya laring
terkait dengan fungsi fonasi dari laring. Sedangkan lainnya dapat berupa batuk, disfagi, dan rasa
ada sesuatu di tenggorok. Kelainan yang sering dijumpai pada laring yaitu laryngitis, paralisa
otot laring dan tumor laring.

B. ALAT DAN BAHAN

1. Lampu Kepala
2. Spatel lidah
3. Spekulum hidung
4. Kaca laring
5. Sumber cahaya khusus unttuk pemeriksaan Sinus (transiluminasi)

C. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN

1. Memakai lampu kepala


Lampu kepala ditengah-tengah antara kedua mata kanan-kiri 20 – 25 cm (“sekilan”
tangan) di depan objek. Fokus jatuh tepat pada organ/bagian yang ingin diperiksa.

2. Duduk berhadapan dengan penderita


Kedua kaki penderita rapat, demikian juga kaki pemeriksa : kaki-kaki pemeriksa sejajar
dengan kaki-kaki penderita. Kaki kanan pemeriksa bersebelahan dengan kaki kanan
penderita, begitu juga sebaliknya. Jangan menjepit kaki penderita diantara kaki
pemeriksa

 Inspeksi muka
Lihat muka penderita dari depan, kalau dipandang perlu juga dari samping kanan dan
kiri. Perhatikan bentuk muka dan hidung.

 Palpasi sinus para nasal


Pegang kepala penderita dengan kedua tangan di kanan dan kiri kepala penderita; ibu
jari di depan, jari-jari lain di belakang kepala. Tekan dengan ibu jari kanan dan kiri.
Bandingkan nyeri tekan kanan dengan kiri

3. Memangku penderita (anak kecil)


Anak dipangku, tangan kiri memegang/menahan kepala (dagu) anak; tangan kanan
memegang kedua tangan anak. Kedua kaki anak dijepit kaki pemangku. Teknik ini untuk
melihat bagian depan dan bagian samping kanan. Untuk melihat bagian samping kiri,
tangan kanan memegang dahi (sebaliknya).

4. Memeriksa faring
Tangan kanan memegang spatel, tangan kiri memegang/menahan tengkuk/belakang
kepala penderita. Spatel diletakkan untuk menahan lidah (jangan menekan keras).
Memeriksa : cavum oris dan gigi, orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang
faring. Perhatikan warna, bengkak, tumor, gerakan.

5. Memeriksa hidung
Pemeriksaan Hidung Luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Kelainan-
kelainan yang mungkin didapat adalah

 Kelainan kongenital seperti agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior.
 Radang, misal selulitis, infeksi spesifik
 Kelainan bentuk, misal saddle nose, hidung betet (hump).
 Kelainan akibat trauma
 Tumor
Rinoskopi Anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai
spekulum hidung. Tangan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas/depan) dan
jari telunjuk (dibawah/belakang) pada engsel speculum. Jari tengah diletakan dekat
hidung, sebelah kanan untuk fiksasi. Jari manis dan kelingking membuka dan menutup
spekulum. Speculum dimasukkan tertutup ke dalam vestibulum nasi setelah masuk baru
dibuka. Tangan kanan bebas : dapat membantu memegang alat-alat pinset dan kait dsb,
menahan kepala dari belakang/tengkuk atau mengatur sikap kepala. Melebarkan nares
anterior dengan meregangkan ala nasi. Melihat jelas dengan menyisihkan rambut hidung.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior :

 Mukosa. Dalam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna
merah, pada alergi pucat atau kebiruan (livid)
 Septum. Normalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat deviasi,
krista, spina, perforasi, hematoma, abses, dll.
 Konka. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi
 Sekret. Bila ditemukan sekret perhatikan jumlah, sfat dan lokalisasinya
 Massa.
6. Pemeriksaan Sinus Maksillaris dan sinus Frontalis
a. Memalpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di daerah alis ke
arah atas tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu jari.
b. Memalpasi sinus Maksilaris dengan menekan tulang sinus Maksilaris di daerah pipi
dengan menggunakan ibua jari.
c. Pemeriksaan transilluminasi:
1. Membuat ruangan menjadi gelap gulita.
2. Meletakkan sumber cahaya di bawah alis dekat hidung (cantus medialis),
dan menutupi cahayanya dengan tangan yang lain.
3. Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi.
4. Meletakkan sumber cahaya pada bawah mata dengan arah ke bawah
5. Meminta penderita untuk membuka mulut
6. Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum.

E. DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Ed.3.1998. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

2. DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.

3. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
Penilaian Keterampilan Pemeriksaan Hidung-Tenggorok
Nama :
Nim :

Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
PERSIAPAN
1 Memperkenalkan diri dan menyapa pasien
2 Menyiapkan peralatan yang diperlukan : lampu kepala, spatula,kaca laring,
spekulum hidung, transiluminator.
3 Menjelaskan prosedur pemeriksaan dan meminta persetujuan kepada pasien
4 Melakukan cuci tangan 6 steps WHO
5 Mengatur posisi pemeriksa dan penderita (kaki kanan pemeriksa bersilangan
kaki kanan penderita atau sebaliknya)
6 Memasang lampu kepala dengan benar
7 Mengarahkan sumber cahaya ke daerah pemeriksaan
PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS
8 Melakukan inspeksi hidung bagian luar. Dilihat apakah ada kelainan
kongenital, deformitas, deviasi, massa, radang
9 Melakukan palpasi hidung bagian luar (menggunakan dua jari telunjuk, raba
dari atas ke bawah). Dinilai apakah nyeri tekan, krepitasi os nasale.
10 Melakukan rinoskopi anterior (memasukan spekulum hidung dengan lembut,
saat masuk posisi tertutup & saat mengeluarkan posisi terbuka)
11 Melakukan palpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di
daerah alis ke arah atas tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu
jari.
12 Melakukan palpasi sinus maksilaris dengan menekan tulang sinus maksilaris
di daerah pipi dengan menggunakan ibu jari.
13 Mematikan lampu ruangan, menutup gorden
14 Melakukan transiluminasi sinus frontalis. Meletakkan sumber cahaya di
bawah alis dekat hidung (cantus medialis), dan menutupi cahayanya dengan
tangan yang lain.
15 Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi
16 Melakukan transiluminasi sinus maxillaris. Meletakkan sumber cahaya pada
bawah mata dengan arah ke bawah. Meminta penderita untuk membuka
mulut.
17 Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum
PEMERIKSAAN CAVUM ORIS DAN OROFARING
18 Melakukan inspeksi daerah bibir
19 Melakukan inspeksi mukosa bukal dan gigi geligi dengan bantuan spatula
lidah & kaca larings
20 Melakukan pemeriksaan orofaring (meminta penderita membuka mulut tanpa
menjulurkan lidah)
21 Menekan bagian lidah yang cembung dengan spatula lidah di linea mediana.
22 Menilai kondisi orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang faring.
Perhatikan warna, bengkak, tumor, gerakan.
23 Membereskan peralatan, masukan dalam cairan klorin, lalu mencuci tangan
24 Mencatat hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada pasien
JUMLAH
0 = tidak dilakukan

1 = dilakukan tetapi kurang sempurna

2 = dilakukan dengan sempurna


Penilaian Keterampilan Pemeriksaan THT
Nama :
NIM :

No Aspek yang dinilai SKOR


0 1 2
1 Menyapa dan memperlakukan pasien dengan ramah
dan sopan
2 Menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan dan meminta persetujuan pasien
3 Menggunakan sumber cahaya (lampu kepala)
4 Mengarahkan cahaya/ sinar ke daerah pemeriksaan
5 Mengatur posisi pemeriksa dan penderita (kaki
kanan pemeriksa bertemu kaki kanan penderita atau
sebaliknya)
6 Melakukan inspeksi daun telinga dan jaringan
sekitarnya (regio pre dan retro aurikuler)
7 Melakukan palpasi pada tragus dan daerah
retroaurikuler
8 Melakukan inspeksi liang telinga dengan mengatur
posisi aurikula (dewasa: ditarik ke belakang atas;
anak: ditarik ke belakang bawah)
9 Menggunakan otoskop (untuk memeriksa telinga
kanan penderita, otoskop dipegang tangan kanan
begitu sebaliknya)
10 Memasukan spekulum otoskop dengan lembut ke
dalam liang telinga
11 Tangan yang memegang otoskop bersandar pada
kepala penderita; tangan yang tidak memegang
mengatur posisi aurikula
12 Mengarahkan spekulum otoskop ke arah anterior,
kemudian menilai membran tympani (cone of light
membran tympani)
13 Melakukan pemeriksaan garpu tala Rinne
a. Garputala digetarkan
b. Meletakkkan tangkai garputala di
proc.mastoideus pasien, hingga pasien tidak
mendengar suara lagi
c. Mendekatkan tangkai garputala di depan
liang telinga pasien kira-kira 2,5 cm
d. Interpretasi hasil (+) atau ( - )
e. -CHL
-SNHL

-Normal
14 Melakukan pemeriksaan garpu tala Weber
a. Garputala digetarkan
b. Meletakkan tangkai garputala pada
vertex/glabella/tengah incisivus pasien
c. Meminta pasien untuk membandingkan
suara garputala terdengar lebih keras pada salah
satu telinga atau sama keras
d. Interpretasi terdapat lateralisasi atau tidak
e. –CHL
-SNHL

-Normal
15 Melakukan pemeriksaan garpu tala Schwabach
a. Garputala digetarkan
b. Meletakkan garputala pada proc.
Mastoideus pasien, hingga pasien tidak
mendengar suara lagi
c. Meletakkan garputala pada proc.
Mastoideus pemeriksa
d. Interpretasi apakah sama dengan pemeriksa,
memanjang, atau memendek
e. Melakukan sebaliknya (meletakkan
garputala pada proc.Mastoideus pemeriksa)
f.–CHL
-SNHL

-Normal
16 Kesimpulan dari ketiga pemeriksaan garputala

- CHL
- SNHL
- Normal
17 Melaporkan/ menulis hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI

VIII. PEMERIKSAAN FISIK MATA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah
menyelesaikan modul pemeriksaan fisik mata, mahasiswa diharapkan mampu :

1. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan (visus)


2. Melakukan pemeriksaan lapang pandang
3. Melakukan oftalmoskopi
4. Melakukan pemeriksaan buta warna
5. Melakukan pemeriksaan papan placido (astigmatisma)
6. Melakukan pemeriksaan sistem lakrimalis
7. Melakukan pemeriksaan tonometri
8. Mel

B. TINJAUAN PUSTAKA
akukan

pemeriksaan otot penggerak bola mata

Sistem Visual

Cahaya masuk melalui media refrakta (berurutan dari kornea, COA, lensa dan corpus
vitreum). Alat penangkap rangsang cahaya ialah sel batang dan kerucut yang terletak di retina.
Impuls kemudian dihantarkan melalui serabut saraf yang membentuk nervus optikus. Sebagian dari
serabut ini, yaitu serabut yang menghantarkan rangsang yang datang dari bagian medial retina
menyimpang ke sisi lainnya di khiasma optic. Dari khiasma, serabut melanjutkan diri dengan
membentuk traktus optic ke korpus genikulatum lateral, dan setelah bersinaps disini, rangsang
diteruskan melalui traktus genikulokalkarina ke korteks optic. Daerah berakhirnya serabut ini di
korteks disebut korteks striatum (area 17) yang merupakan pusat persepsi cahaya.

Disekitar area 17, terdapat daerah yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area 18
dan 19. Area 18 yang disebut juga area parastriatum atau parareseptif, menerima dan
menginterpretasi impuls dari area 17. Area 19 yaitu korteks peristriatum atau perireseptif,
mempunyai hubungan dengan area 17 dan 18 dan dengan bagian-bagian lain dari korteks. Ia
berfungsi untuk pengenalan dan persepsi visual kompleks, asosiasi visual, revisualisasi, diskriminasi
ukuran dan bentuk, orientasi ruangan serta peenglihatan warna.

Serabut yang mengurus refleks optic pupil setelah melalui khiasma optic dan traktus optic
menyimpang di anterior korpus genikulatum lateral, dan menuju serta bersinaps di nucleus pretektalis
di batang otak (setinggi kolikuli superior). Disini ia bersinaps dengan neuron berikutnya yang
mengirim serabut ke nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini
rangsang kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius (N.III) ke sfingter pupil.

Serabut yang mengurusi refleks somatovisual, yaitu refleks pergerakan bola mata dan kepala
sebagai jawaban terhadap rangsang visual, menuju kolikulus superior dan kemudian melalui fasikulus
medial longitudinal menuju nucleus nervus okulomotorius dan melalui traktus tektospinalis untuk
kemudian menginervasi otot-otot skelet. Selain itu kita juga mengenal traktus kortikotektal internus
yang datang dari area 18 dan 19 di korteks oksipital melalui radiasi optic dan menuju ke kolikulus
superior. Traktus ini juga ikut mengatur refleks dengan jalan berhubungan dengan otot-otot
penggerak bola mata dan struktur lainnya.

Keluhan yang berhubungan dengan sistem visual berupa ketajaman penglihatan berkurang,
lapang pandang berkurang, ada bercak di dalam lapang pandang yang tidak dapat dilihat (skotoma).
Selain itu, fotofobi, yaitu mata mudah silau, takut akan cahaya, yang dapat dijumpai pada penderita
meningitis.

Sistem non visual

Sistem non visual terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva dan otot-otot
penggerak bola mata. Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra
merupakan alat penutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata dari trauma sinar dan
pengeringan bola mata. Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan
mata yang dapat menyebabkan keratitis et lagoftalmus.

Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian yaitu, sistem produksi atau glandula lakrimal yang
terletak di temporoanterosuperior rongga orbita dan sistem ekskresi yang terdiri atas pungtum
lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Film air mata sangat berguna
untuk kesehatan mata. Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya
dilakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis,
maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal.

Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea.

Gerak bola mata yang normal ialah gerak terkonjugasi, yaitu gerak bola mata kiri dan kanan
selau bersama-sama, dengan sumbu mata yang sejajar. Disamping itu mata juga melakukan
konvergensi yaitu sumbu mata saling berdekatan dan menyilang pada objek fiksasi. Otot-otot
penggerak bola mata melakukan fungsi ganda tergantung letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi
otot.

Terdapat enam otot penggerak bola mata, yaitu :

1. m. Oblikus inferior
Dipersarafi N.III, bekerja menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi

2. m. Oblikus superior
Dipersarafi N.IV, berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi terutama bila mata melihat ke
nasal, abduksi dan insiklorotasi.

3. m. Rektus inferior

Dipersarafi oleh N.III, berfungsi menggerakkan bola mata depresi, eksiklorotasi dan aduksi.

4. m. Rektus lateral
Dipersarafi oleh N.VI, dengan fungsi abduksi bola mata.

5. m. Rektus medius
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi untuk aduksi bola mata

6. m. Rektus superior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi pada elevasi, aduksi dan insiklorotasi bola mata.

C. ALAT DAN BAHAN

1. Optotype snellen
2. Oftalmoskop
3. Tonometer
4. Loupe dengan slitlamp
5. Kampimeter
6. Fluorescein
7. Ishihara book
8. Papan placido
9. Senter
10. Kasa dan kapas

D. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN

I. Inspeksi

Pemeriksa duduk berhadapan dengan pasien.

Perhatikan :

 Posisi kedua mata (simetris atau tidak)


 Apakah mata sembab
 Bagaimana keadaan sekitar orbita
 Perhatikan alis mata : apakah bagian lateral menipis/rontok
 Perhatikan apakah kelopak mata dapat menutup dan membuka dengan sempurna
 Perhatikan konjungtiva palpebra. (membuka mata, menarik palpebra inferior, menekan
canthus medialis.) Perhatikan :
1. Adakah ikterus
2. Bagaimanakah warna ikterus , kuning kejinggaan atau kehijauan
3. Apakah pucat (anemia)
4. Apakah kebiruan (sianosis)
5. Adakah pigmentasi lain
6. Adakah petechie bercak perdarahan atau/white centered spot.
7. Apakah ada obstruksi ductus nasolacrimalis.
Pemeriksa duduk di lateral pasien, perhatikan :

 Adakah exopthalmos (Dengan penggaris, dibandingkan kanan dan kiri. normal sampai 16 mm
dan pasti patologis apabila > 20 mm.)
 Simetriskah exopthalmus ini
II. Pemeriksaan visus

1. Penderita dan pemeriksa berhadapan.


2. Penderita duduk pada jarak 6 m dari Optotype Snellen, mata yang satu ditutup.
3. Penderita dipersilahkan untuk membaca huruf/gambar yang terdapat pada Optotype, dari yang
paling besar sampai pada huruf/gambar yang dapat terlihat oleh mata normal.
4. Apabila penderita tak dapat melihat gambar yang terdapat pada Optotype, maka kita
mempergunakan jari kita.
5. Penderita diminta untuk menghitung jari pemeriksa, pada jarak 1 m, 2 m, sampai dengan 6 m.
6. Dalam hal demikian maka visus dari penderita dinyatakan dalam per-60
7. Apabila penderita tak dapat menghitung jari, maka dipergunakan lambaian tangan pemeriksa
pada jarak 1m sampai 6 m
8. Dalam hal ini, maka visus penderita dinyatakan dalam per 300.
9. Apabila lambaian tangan tak terlihat oleh penderita, maka kita periksa visusnya dengan
cahaya (sinar baterai).
10. Untuk ini maka visus dinyatakan dalam per tak terhingga.
III. Pemeriksaan Obligue Illuminasi.

1. Penderita duduk di kursi dalam kamar gelap


2. Pemeriksa berdiri di depan penderita.
3. Dengan condensing lens, pemeriksa mengarahkan sinar yang datang dari lampu pijar kearah
mata penderita.
4. Pemeriksa memakai loupe, memperhatikan :
 Conjunctiva, selera, cornea, COA, iris, lensa, pupil
 adakah Tyndall effect.

IV. Fundus refleks :

1. Mata penderita ditetesi dulu dengan midriatikum dan dibiarkan selama 5 menit didalam kamar
gelap.
2. Pemeriksa dan penderita didalam kamar gelap di samping meja dan lampu pijar pada jarak
kurang lebih 50 cm.
3. Sinar yang datang dari lampu dipantulan oleh cermin datar atau cekung, masuk ke pupil
penderita.
4. Pemeriksa menilai kejernihan : cornea, COA, lensa dan corpus vitreum (media -refrakta ).
Apabila media refrakta jernih, maka dari jauh saja pemeriksa dapat melihat refleksi fundus yang
berwarna merah jingga cemerlang.

V. Pemeriksaan funduscopi :

1. Penderita duduk dalam kamar gelap.


2. Pemeriksa dengan Oftalmoskop berdiri disamping penderita
3. Bila kita akan memeriksa fundus secara ideal maka sebaiknya pupil dilebarkan dulu.
4. Bila mata kanan yang penderita akan diperiksa, maka pemeriksa memegang opthalmoscope
dengan tangan kanan dan melihat fundus mata dengan mata kanan pula.
5. Pemeriksa memperhatikan :
 papila N II : adakah papil oedema, papil atrofi
 macula lutea
 pembuluh darah retina

VI. Pemeriksaan Lapangan Pandang.

A. Metode konfrontasi
1. Pemeriksa dan penderita saling berhadapan.
2. Satu mata penderita yang akan diperiksa memandang lurus kedepan (kearah mata
pemeriksa).
3. Mata yang lain ditutup
4. Bila yang akan diperiksa mata kanan, maka mata kanan pemeriksa juga dipejamkan.
5. Tangan pemeriksa direntangkan, salah satu tangan pemeriksa atau kedua tangan
pemeriksa digerak-gerakkan dan penderita diminta untuk menunjuk ke arah tangan yang
bergerak (dari belakang penderita).
B. Metode Kampimeter
1. Dalam ruang, penderita duduk menghadap kampimeter.
2. Pemeriksa berdiri disamping penderita.
3. Mata penderita yang tak diperiksa ditutup.
4. Mata yang diperiksa berada pada posisi lurus dengan titik tengah kampimeter. Pandangan
lurus ke depan (titik tengah kampimeter).
5. Pemeriksa menggerakkan obyek dari perifer menuju ketitik tengah kampimeter.
6. Bila penderita telah melihat obyek tersebut, maka pemeriksa memberi tanda pada
kampimeter.
7. Demikian dilakukan sampai 360 derajat sehingga dapat digambarkan lapangan
pandang dari mata yang diperiksa.

VII. Pemeriksaan tonometri :

A. Pemeriksaan secara kasar (metode digital)

1. Penderita diminta untuk melirik kebawah.


2. Kedua jari telunjuk kita gunakan untuk pemeriksaan fluktuasi pada bola mata
penderita
B. Menggunakan Tonometer dari Schiotz.
1. Persiapan : Mata penderita terlebih dulu ditetesi dengan larutan anestesi lokal.
2. Tonometer didesinfeksi dengan dicuci alkohol atau dibakar dengan api spiritus.
Penderita tidur telentang, mata yang akan diperiksa melihat lurus keatas tanpa berkedip.
3. Tonometer diletakkan dengan perlahan-lahan dan hati-hati diatas cornea penderita.
4. Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum tonometer.
5. Kemudian pemeriksa melihat pada tabel, dimana terdapat daftar tekanan bola mata.
VIII. Pemeriksaan keseimbangan otot

1. Penderita berhadap-hadapan dengan pemeriksa.


2. Corneal refleks : pada orang normal refleksi cahaya pada kornea sama tinggi pada kedua
mata.
3. Cover test : pada orang normal tak akan ada gerak dari mata, sedang pada penderita
strabisnius akan ada gerak dari mata kearah posisi primer.
4. Tes konvergensi : dengan meminta penderita untuk mengikuti ujung vulpen yang kita bawa
kearah ujung hidung, normal terlihat kedua kornea bergerak ke nasal dan pupil menyempit
(aksi N. III).
5. Gerak-gerak bola mata menuju ke temporal, nasal, kiri atas, kiri bawah, kanan atas dan
kanan bawah menunjukkan aksi dari N. III, N.IV dan N. VI.

IX. Pemeriksaan sistem lakrimalis.

A. Menggunakan larutan Fluorescein 3 %

1. Penderita duduk di kursi, pemeriksa disamping penderita


2. Mata yang diperiksa ditetesi dengan larutan Fluorescein 3 %.
3. Lubang hidung yang sesuai dengan mata tersebut ditutup dengan kapas putih yang basah.
4. Penderita diminta untuk bersin atau sisi. Bila sistem lakrimalis lancar, maka akan terlihat
kapas menjadi berwarna hijau.
B. Menggunakan larutan garam fisiologis
1. Penderita dipersiapkan dulu dengan obat anestesi lokal (Pantocain 0,5%), ditunggu 1-2
menit.
2. Kita ambil larutan garam fisiologis kedalam spuit, lalu dengan jarum tumpul kita
masukkan larutan garam tadi kedalam canalis lacrimalis.
3. Bila lancar, berarti tak ada sumbatan pada sistema lacrimalis.

X. Pemeriksaan dengan Fluorescein untuk Cornea

1. Mata yang diperiksa ditetesi dengan larutan Fluorescein 3%


2. Penderita diminta untuk berkedip-kedip sebentar.
3. Kemudian mata tersebut dicuci dengan boorwater sampai bersih.
4. Dengan Oblique Illumination dilihat apakah ada warna hijau yang
tertinggal pada kornea.
5. Bila ada defek epitel kornea, maka akan terlihat warna hijau menempel
pada kornea.

XI. Pemeriksaan sensibilitas kornea ( N.V )

Di bagian mata biasanya tes ini dilakukan bila kita curiga adanya Keratitis Herpetika, dimana
sensibilitas korneanya menurun.

1. Penderita dan pemeriksa saling berhadapan


2. Penderita diminta untuk melihat jauh
3. Pemeriksa memegang kapas yang dipilih ujungnya dan menyentuh
kornea (yang jernih).
4. Perhatikan apakah penderita mengedipkan mata atau mengeluarkan air
mata.
5. Bila demikian berarti sensibilitas kornea baik.

XII. Tes Buta Warna


Dengan menggunakan buku ishihara, lakukan tes buta warna dengan cara meminta penderita
membaca dan menyebutkan angka yang tampak pada setiap halaman buku. Hasil bacaan
penderita dikonfirmasikan dengan jawaban yang tersedia untuk menentukan diagnosis.

E. DAFTAR PUSTAKA

1. DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.


2. Ilyas S.1999.Ilmu Penyakit Mata.Balai Penerbit FKUI.Jakarta
3. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Penilaian Keterampilan Pemeriksaan Fisik Mata

Nama :
NIM :

Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1. Menyapa pasien dengan ramah
2. Menjelaskan dan meminta persetujuan
kepada pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan
3. Inspeksi orbita dan daerah sekitarnya
4. Melakukan pemeriksaan visus
menggunakan optotype snellen
5. Melakukan pemeriksaan lapangan pandang
menggunakan tes konfrontasi
6. Melakukan pemeriksaan papan placido
7. Melakukan pemeriksaan tonometri digital
Pemeriksaan oftalmoskopi
8. Melakukan pemeriksaan fundus reflek
9. Melakukan pemeriksaan funduskopi
10. Melakukan pemeriksan otot penggerak
bola mata
11. Melakukan pemeriksaan tes buta warna
TOTAL NILAI
IX. PEMERIKSAAN SEGEMEN
ANTERIOR MATA
a. Anamnesis

Pertama sebelum melakukan anamensis, yang perlu ditanyakan adalah identitas pasien secara
lengkap, yaitu meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, status pernikahan, agama
dan ras. Seperti prosedur pemeriksaan klinis pada umumnya, anamnesis menggunakan
Fundamental Four dan Sacred Seven.
Pertanyaan pada Foundamenal Four yaitu menggali :
1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Riwayat penyakit sekarang (RPS) meliputi keluhan utama dan anamensis lanjutan.
Keluhan utama adalah keluhan yang membuat pasien datang ke tempat pelayanan
kesehatan untuk mencari pertolongan. Setelah menanyakan keluhan utama dilanjutkan
dengan anamnesis untuk menanyakan 7 hal (Sacred Seven), yaitu :
a. Lokasi
b. Onset/awitan dan kronologis
c. Kuantitas keluhan
d. Faktor-faktor yang memperberat keluhan
e. Faktor-faktor yang memperingan keluhan
f. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama

2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Menanyakan kepada pasien apakah pernah sakit serupa sebelumnya. Mencari penyakit
yang relevan dengan penyakit sekarang dan riwayat penyakit kronik.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


Menanyakan untuk mencari adakah penyakit yang sekarang diderita berkaitan dengan
riwayat sakit pada keluarga, baik itu yang bersifat diturunkan maupun ditularkan.

4. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Menanyakan status sosial pasien seperti pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kebiasaan
pasien, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan.

b. Pemeriksaan segmen anterior


Alat dan bahan: Senter
11. Rima Orbita
Melakukan palpasi pada rima orbita, dinilai apakah ada krepitasi atau tidak.

12. Supercilia
Melakukan inspeksi pada supercilia (alis mata), dinilai apakah ada madarosis atau tidak.

13. Palpebrae
- Meminta pasien untuk menutup mata, dinilai apakah ada lagoftalmus atau tidak.
- Meminta pasien untuk membuka mata, dinilai apakah ada blefaroptosis atau tidak.

14. Cilia
Melakukan inspeksi pada cilia, dinilai apakah ada madarosis, trikiasis, distikiasis

15. Margo Palpebra


- Meminta pasien untuk membuka kedua mata.
- Melakukan inspeksi pada margo palpebra, dinilai apakah ada entropion, ektropion

16. Hirschberg Test


 Sentolop disinarkan setinggi mata pasien, sebagai sinar fiksasi
 Sentolop terletak 30 cm dari pasien
 Refleks sinar pada mata fiksasi diletakkan di tengah pupil
 Dilihat letak refleks sinar pada kornea mata yang lain
- Normal : refleks kornea di tengah pupil
- Bola mata yang berdeviasi bila :
- 5-6⁰ : Refleks cahaya pada mata lebih dekat pertengahan pupil
- 12-15⁰ : Refleks cahaya pada mata pada tepi pupil
- 25⁰ : Refleks cahaya pada mata antara pinggir pupil dan limbus
- 45-60⁰ : Refleks cahaya pada mata pada pinggir limbus
17. Pemeriksaan Gerak Bola Mata
o Untuk memeriksa fungsi gerak otot penggerak mata
o Dilihat kemampuan pergerakan otot pada posisi yang dibuat untuk mendapatkan nilai
kemampuan pergerakkan otot, dengan meminta pasien mengikuti gerakan jari
o Duduk saling berhadapan antara pemeriksaan dan yang diperiksa
o Meminta pasien untuk melihat ke jari tangan pemeriksa dan mengikuti arah gerakan
jari tangan pemeriksa sesuai 8 arah mata angin dan selalu kembali ke tengah.
o Menilai apakah ada kelainan pada gerak bola mata.

18. Konjungtiva Bulbi


- Melakukan inspeksi pada konjungtiva bulbi apakah ada injeksi konjungtiva, injeksi
silier, jaringan fibrovaskuler, benda asing

19. Konjungtiva Palpebrae Inferior


- pemeriksa berada di depan yang diperiksa
- Meminta pasien untuk melirik ke atas.
- Pemeriksa menarik palpebrae inferior ke bawah.
- Melakukan inspeksi pada konjungtiva palpebrae inferior, dinilai apakah ada sekret,
anemis , massa, papil , folikel , benda asing.

20. Konjungtiva Palpebrae Superior


- Untuk memeriksa konjungtiva palpebrae superior, pemeriksa harus melakukan eversi
(pembalikan) pada palpebrae superior.
- senter di depan pasien + ophthalmic loupe
- pasien melirik ke bawah, pemeriksa di depan
- letakkan jari telunjuk pada sulcus palpebra superior
- letakkan ibu jari pada orifisium kel meibom
- geser palpebra superior dengan jari telunjuk ke inferior
- eversi palpebra superior sehingga konjungtiva palpebra superior dan konjungtiva
forniks superior terpapar
- Melakukan inspeksi menggunakan senter pada konjungtiva palpebre superior, dinilai
apakah ada papil , folikel , massa atau benda asing

21. Sklera
Melakukan inspeksi menggunakan senter pada sklera, dinilai apakah ada ikterik

22. Kornea
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan (sudut 0ᵒ),
inspeksi dan nilai ada infiltrat atau tidak.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari sudut 45ᵒ, inspeksi
dan nilai ada keratik presipitat atau tidak.
- Pemeriksa meminta pasien untuk sedikit menunduk dan mata tetap terbuka lebar,
kemudian pemeriksa berada di samping pasien dan mengarahkan senter dari samping
(sudut 90ᵒ), inspeksi dan nilai apakah ada keratoconus , keratoglobus.

23. Bilik Mata Depan


- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada didepan pasien,
- senter diarahkan dari samping mata pasien (sudut 90ᵒ) , inspeksi dan nilai jika iris
tersinari semua maka interpretasi kedalaman bilik mata depan : dalam,
- namun jika iris tidak tersinari semua maka interpretasi kedalaman bilik mata depan :
dangkal.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari sudut 45ᵒ ke arah
nasal, inspeksi dan nilai ada tyndall effect
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan (sudut 0ᵒ),
inspeksi dan nilai apakah ada hipopion, hifema

24. Iris
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan, inspeksi dan
nilai bagaimana warna iris, kripte, nodul, sinekhia

25. Pupil
- Untuk melihat refleks miosis pupil akibat suatu penyinaran pada mata, baik reaksi
penyinaran langsung pada mata yang bersangkutan atau refleks tidak langsung pada
mata yang lainnya
- Menggunakan pen light
- Mata pasien fiksasi pada jarak tertentu
- Berikan objek yang bisa di lihat dan dikenali ( Gambar atau benda )
- Sumber cahaya haruslah terang dan mudah di manipulasi
- Observasi general pupil : bentuk, ukuran, lokasi, warna iris, kelainan bawaan , dan
kelainan lain.
- Rangsangan cahaya diberikan 2-5 detik.
- Refleks pupil langsung ( Unconsensual) :
Respon pupil langsung di nilai ketika diberikan cahaya yang terang , pupil akan
miosis ( mengecil ). Dilakukan pada masing-masing mata
Pada refleks langsung (+) atau normal berarti terdapat visus dan motorik saraf III
berfungsi baik
- Refleks pupil tidak langsung ( consensual ) :
Dinilai bila cahaya diberikan pada salah satu mata , diusahakan sinar tidal masuk
pada mata yang lain,
Dilihat keadaan pupil mata yang tidak disinari apakah terjadi miosis (mengecil) pada
saat penyinaran mata sebelahnya
26. Lensa
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan (0ᵒ), inspeksi
dan nilai apakah lensa jernih atau terdapat kekeruhan.
- Tes bayangan iris
o Untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa
o Menggunakan Lampu sentolop, loupe
o Sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45⁰ dengan dataran iris
o Dengan loupe dilihat bayanagn iris pada lensa yang keruh
o Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil
berarti lensa belum keruh seluruhnya ( belum sampai ke depan), ini terjadi pada
katarak imatur, keadaan ini disebut shadow test (+)
o Bila bayangan iris pada lensa terlihat kecil dan letaknya dkat terhadap pupil
berarti lensa sudah keruh seluruhnya (sampai kapsul anterior lensa), ini terjadi
pada katarak matur, keadaan ini disebut shadow test (-)

DAFTAR PUSTAKA

Leibowitz HM., JacobsDH., 2000. The Red Eye. N.Engl.J. Med. 3;343(5):345-51
Cronau,H., Reddy R.K.,Mauger, T.,, 2010. Diagnosis And Management Of Red
EyeIn Primary Care, American Family Physician, 81(2): 137-14.
X. PEMERIKSAAN UKK

I. DEFINISI

Buku panduan ketrampilan klinis pengkajian sistem integument merupakan panduan


secara terstruktur dan sistematis bagi mahasiswa FK Unsoed mengenai ketrampilan klinis
dalam sistem integument.

II. CAPAIAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mempelajari panduan ini, diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan
ketrampilan klinis dalam sistem integument sehingga dapat menegakkan diagnosis
kelainan sistem integument dengan benar secara terstruktur dan sistematis.

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Adapun capaian pembelajaran khusus meliputi :
1. Mahasiswa mampu melakukan anamnesis pada kelainan kulit dengan lengkap
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik status dermatologis dengan lengkap
3. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik khusus/pelengkap pada kelainan-
kelainan kulit tertentu dengan lengkap.
4. Mahasiswa mampu mengusulkan pemeriksaan penunjang dalam sistem integument
yang dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis pada kelainan kulit dengan
lengkap.
5. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan penunjang dasar dalam sistem
integument dengan benar.

IV. MATERI
A. ANAMNESIS (HISTORY TAKING)
Anamnesis merupakan upaya penggalian informasi terkait dengan keluhan yang
dialami oleh pasien yang dapat dilakukan secara langsung pada pasien
(autoanamnesis) atau dengan orang lain yang mengerti riwayat kesehatan pasien
(alloanamnesis). Pada sistem integument, sebelum melakukan anamnesis, kita juga
perlu melihat sekilas lokasi dan konfigurasi lesi, untuk membantu mempersempit
diagnosis banding yang akan kita gali informasinya.
Pada sistem integument (berdasarkan SKDI 2012), daftar masalah / keluhan yang
sering disampaikan oleh pasien di antaranya :
 Kulit gatal
 Kulit nyeri
 Kulit mati rasa
 Kulit berubah warna (menjadi putih, merah, hitam atau kuning)
 Kulit kering
 Kulit berminyak
 Kulit menebal
 Kulit menipis
 Kulit bersisik
 Kulit lecet, luka, tukak
 Kulit bernanah
 Kulit melepuh
 Ruam kulit
 Benjolan kulit
 Luka gores, tusuk, sayat
 Luka bakar
 Kuku nyeri
 Kuku berubah warna atau bentuk
 Ketombe
 Rambut rontok
 Kebotakan

Anamnesis yang baik dan lengkap berdasarkan Sacred Seven and Fundamental Four.
Fundamental Four meliputi riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial ekonomi.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Merupakan keluhan utama yang dijabarkan dalam sacred seven yang meliputi onset
penyakit, lokasi lesi, kronologi perjalanan penyakit, kualitas, kuantitas penyakit,
faktor-faktor yang memperberat/memperingan penyakit dan gejala penyerta keluhan
utama.
Dalam anamnesis RPS sebaiknya juga ditanyakan hal-hal yang terkait diagnosis
banding, untuk membantu mempermudah menyingkirkan diagnosis-diagnosis
banding yang kurang sesuai.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Merupakan jabaran episode penyakit, apakah penyakit ini merupakan yang pertama
kali atau ulangan/kambuhan. Bila merupakan episode ulang frekeuensi kekambuhan
juga perlu ditanyakan, demikian pula pengobatan yang selama ini didapatkan oleh
pasien.

Selain jabaran episode penyakit, pada RPD juga perlu kita gali informasi penyakit-
penyakit sistemik lainnya yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya kelainan
kulit yang dialami. Penyakit-penyakit sistemik seperti kelainan endokrin, vascular,
ginjal, hepar, alergi-imunologi, kelainan jaringan ikat sering kali bermanifestasi ke
kulit. Perlu dicatat pula obat-obatan yang dikonsumsi karena sering kali obat-obatan
dalam sistem integument memiliki pengaruh metabolism obat-obatan yang lain bila
digunakan secara bersama-sama.

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


Merupakan jabaran kaitan penyakit yang diderita oleh pasien dengan anggota
keluarga yang lain. Banyak kelainan kulit yang bersifat genetik dan menular,
sehingga harus selalu ditanyakan ada tidaknya keterkaitan kelainan kulit dengan
anggota keluarga. Fungsinya terkait dengan edukasi yang akan kita berikan kepada
pasien dan keluarganya, tentang jenis penyakit baik menurun/menular dan bagaimana
cara penanganan dan pencegahan penularannya.

Riwayat Sosial Ekonomi (RSE)


Merupakan jabaran kondisi sosial dan ekonomi individu terkait dengan penyakit yang
diderita. Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi/menjadi faktor predisposisi
terjadinya suatu penyakit, juga terkait dalam pemerian obat dan edukasi.
Adapun yang termasuk dalam RSE terutama dalam sistem integument meliputi :
pendidikan, pekerjaan, hygiene dan sanitasi pribadi maupun lingkungan, kebiasaan,
gaya hidup dll.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada sistem integument umumnya meliputi inspeksi dan palpasi,
sedangkan organ yang diperiksan meliputi kulit, rambut dan kuku.

a. Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dijabarkan dalam status dermotologis yang meliputi : lokasi,
morfologi kelainan kulit (UKK/efloresensi), konfigurasi dan distribusi.

INSPEKSI

Lokasi lesi (predileksi)


Lokasi lesi berfungsi membantu pemeriksa dalam mempersempit diagnosis
banding, di mana penyakit kulit biasanya mempunyai lokasi-lokasi yang khas.

Morfologi (Ujud Kelainan Kulit / Efloresensi)


Merupakan gambaran lesi kulit akibat berubahan warna maupun struktur kulit.
UKK dibagi menjadi 2, yaitu UKK primer dan sekunder.

UKK Primer
Merupakan gambaran kelainan yang muncul pada kulit yang sebeumnya normal
Macam-macam UKK primer :

1. Makula : bercak pada kulit berbatas tegas berupa perubahan warna


semata, tanpa penonjolan atau cekungan.
Macam-macam macula :
 Eritema : warna kemerahan akibat vasodilatasi pembuluh darah
 Purpura : warna kemerahan akibat ekstravasasi sel-sel darah ke
jaringan
 Hiperpigmentasi : warna kecoklatan/ kehitaman akibat timbunan
melanin
 Hipopigmentasi : warna kulit menjadi putih / lebih terang
dibandingkan dengan kulit sekitar akibat rusaknya melanin /
melanosit yang mati.
 Vivid : warna kebiruan akibat timbunan hemosiderin

Cara membedakan eritema dan purpura dengan cara melakukan Tes


Diaskopi, dengaen meletakkan object glass di atas lesi kemudian ditekan.
Bila kemerahan menghilang maka merupakan eritema, bila menetap
merupakan purpura.
2. Papul : penonjolan padat di atas permukaan kulit, sikumskrip, diameter
kecil dari 1cm, disebabkan adanya deposit metabolik dermis atau
hiperplasia lokalisata epidermis maupun dermis.

3. Plak : papul datar, peninggian kulit yang porsi luas permukaan lebih besar
daripada tingginya, ukurannya lebih dari 1 cm.

4. Urtika : penonjolan yang disebabkan edema setempat yang timbul


mendadak dan hilang perlahan-
lahan.
5. Nodus : tonjolan berupa massa padat yang sirkumskrip, terletak di kutan
atau subkutan, dapat menonjol.
Nodulus : nodus yang kecil dari 1 cm.

6. Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.
7. Vesikel : gelembung berisi cairan serum, memiliki atap dan dasar,
diameter kurang dari 1 cm.
8. Bula : vesikel yang berukuran lebih dari 1cm

9. Pustul : vesikel/bula yang berisi nanah, bila nanah mengendap dibagian


bawah vesikel disebut hipopion.

10. Kanalikuli : terowongan dalam epidermis. Biasa terjadi pada creeping


eruption dan scabies.
UKK Sekunder
1. Skuama : sisik berupa lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.

2. Krusta : kerak, keropeng, yang menunjukan cairan tubuh yang mongering

3. Erosi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak


melampaui stratum basal/sebeaetas stratum spinosum, ditandai dengan
keluarnya serum. Biasanya disebabkan oleh vesikel/bula yang pecah.

4. Ekskoriasi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan melewati


stratum basal (sampai ke stratum papilare), ditandai dengan keluarnya
darah selain serum.
5. Ulkus : tukak, borok disebabkan hilangnya jaringan lebih dalam dari
ekskoriasi, memiliki tepi, dinding, dasar, dan isi.

6. Fisura : retakan kulit yang sempit dan dalam.

7. Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas.


8. Skar : formasi jaringan ikat fibrosa sebagai hasil proses penyembuhan
luka.

Konfigurasi Lesi
Konfigurasi lesi merupakan susunan bentuk lesi, terdiri dari :

1. Anular : lesi tersusun


membentuk seperti cincin/rantai

2. Numular (discoid) : lesi bundar


seperti koin
3. Lesi target : lesi tersusun seperti
sasaran tembak “dart board”

4. Verukosus : berdungkul-dungkul
seperti bunga kol

5. Herpetiformis : bergerombol

6. Linear : lesi tersusun seperti


garis lurus
7. Korimbiformis : susunan lesi
induk dikelilingi oleh lesi satelit
“hand and chicken pattern”

8. Gutata : lesi tersusun kecil-kecil


seperti tetesan lilin

9. Milier : lesi kecil-kecil


berukuran 1-2mm sebesar kepala
jarum pentul

10. Lentikuler : lesi berukuran


sebesar biji jagung

Distribusi Lesi
Merupakan deskripsi sebaran lesi, terdiri dari :
1. Universal : meliputi area seluruh
tubuh

Contoh : Alopesia universalis

2. Generalisata : terebar hampir


seluruh tubuh (lesi >80% BSA)

Contoh : Nekrolisis epidermal toksik dengan


luas epidermolisis > 80% BSA

3. Soliter : lesi tunggal

Contoh : Karsinoma Sel Basal


4. Dermatomal : lesi tersebar
mengikuti pola persarafan kulit
(dermatom) tertentu

Contoh: Herpes Zoster

5. Diskret : lesi satu dengan yang


lain saling berjauhan (tersebar)

Contoh : Moluskum kontagiosum

6. Unilateral : lesi tersebar pada


satu sisi tubuh

Contoh : nevus unius lateris

7. Bilateral : lesi tersebar pada sisi


kanan dan kiri, simetris
Contoh : Dermatitis atopik

8. Folikuler : lesi tersebar di


seputar folikel rambut

Ontoh : folikulitis

PALPASI

Dalam melakukan pemeriksaan kulit, palpasi harus selalu dilakukan bersama-sama. Adapun
tujuan palpasi :
• Untuk merasakan tekstur dan konsistensi lesi (halus/kasar, batas tegas/tdk, fluktuasi,
kedalaman lesi, mobilitas)
• Untuk merasakan adanya perubahan suhu, nyeri tekan
• Untuk meyakinkan pasien jika kita tidak takut dengan penyakit kulitnya.
b. Pemeriksaan Rambut
Pemeriksaan rambut juga meliputi inspeksi dan palpasi.

Inspeksi Rambut
Pada inspeksi rambut dilihat :
1. Warna rambut
2. Distribusi rambut : rambut tebal merata/rambut menipis/alopesia
3. Tekstur rambut : kering/kasar/kusam, diameter rambut tebal/tipis
4. Lain-lain : kutu, dll

Palpasi Pemeriksaan Rambut


1. Pull test : melakukan tarikan ringan pada sekelompok kecil rambut, terutama di
sekitar lesi alopesia. Rambut rontok bila dengan tarikan ringan tercabut hingga akar.
Rambut patah bila rambut tertarik tidak sampai akar.
2. Palpasi area alopesi untuk menentukan ada tidaknya sinus pada alopesia
3. Pemeriksaan kelenjar limfe regional.
c. Pemeriksaan Kuku
Pemeriksaan kuku meliputi :

INSPEKSI
1. Bentuk kuku : normal / anonikia /
2. Warna kuku
3. Kelengkungan kuku
4. Keterlibatan daerah seputar kuku

PALPASI

1. Permukaan kuku : rata / pitting nail / koilonikia


2. Adhesi kuku : normal tidak mudah dicabut / onikodistrofi /onikolisis
3. Ketebalan kuku

PEMERIKSAAN FISIK TAMBAHAN

Pada beberapa penyakit, dibutuhkan pemeriksaan fisik tambahan untuk memperkuat


diagnosis, seperti psoriasis, scabies, kusta dan penyakit kulit berlepuh autoimun.

1. PSORIASIS
Selain dengan gambaran UKK-nya yang berupa papul plak eritematosa berbatas tegas
dengan skuama tebal berlapis, psoriasis juga mempunyai gambaran klinis khas lainnya,
yaitu :
a. Fenomena Koebner. Fenomena ini merupakan gambaran lesi serupa dengan lesi di
tempat lain pada daerah bekas trauma.
Fenomena Koebner merupakan pemeriksaan fisik, namun dalam kenyataannya kita
tidak dapat melakukan provokasi trauma, sehingga fenomena ini biasanya didapatkan
melalui anamnesis atau pada saat mendeskripsikan UKK, bila ada gambaran lesi
psoriasis yang linear, biasanya merupakan fenomena Koebner.
Fenomena Koebner bukan merupakan tanda patognomonik psoriasis karena dapat
terjadi pada moluskum kontagiosum, veruka vulgaris dan liken planus.

b. Tanda Auspitz. Tanda ini kita dapatkan dengan cara mengelupas skuama selapis demi
selapis pada lesi yang cukup tebal, sehingga akan tampak bitnik-bintik perdarahan
yang semakin banyak. Hal ini menunjukkan terjadinya papilomatosis pada dermis
penderita psoriasis. Tanda Auspitz merupakan tanda patognomonik psoriasis.

c. Fenomena Tetesan Lilin (Candle Sign)


Pada lesi dengan skuama yang tebal, kita melakukan goresan dengan menggunakan
benda dengan ujung tajam, akan kita dapatkan skuama keperakan dan kadang ada
skuama yang berminyak (candle grease sign)

2. SKABIES
Salah satu tanda cardinal scabies adalah adanya kanalikuli, hanya saja kanalikuli pada
scabies sulit ditemukan karena kanalikuli yang terbentuk kebanyakan mengarah ke dalam
(sumur), jarang serpiginosa seperti pada creeping eruption. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan fisik tambahan untuk mencari kanalikuli yaitu dengan Burrow Ink Test
dengan cara mengoleskan lesi yang kita curigai terdapat kanalikuli dengan menggunakan
tinta cina/metilen blue dan didiamkan selama 20 – 30 menit, kemudian dibersihkan
dengan kapas alkohol. Hasil positif bila terdapat retensi tinta yang tidak dapat dihapus.

3. MORBUS HANSEN (LEPRA)


Pada MH, selain kita mendsekripsikan UKK-nya, kita juga harus mencari tandan cardinal
yang lain seperti anastesi, anhidrosis, alopesia dan pembesaran saraf tepi.
Pemeriksaan fisik tambahan yang harus dilakukan pada pasien MH yaitu :
a. Tes Sensibilitas
Tes sensibilitas yang dilakukan pada pasien MH ada 3, yaitu sensibilitas raba, nyeri
dan suhu. Pemeriksaan sensibilitas harus dilakukan dengan kedua mata pasien
tertutup, pemeriksaan dilakukan 3 kali pada setiap lokasi. Penderita dinyatakan
memiliki sensasi jika dapat merasakan ketiga stimuli.

Lokasi pemeriksaan meliputi daerah wajah, lengan dan kaki


 Daerah wajah meliputi daerah inervasi N. trigeminus
 Lengan meliputi daerah inervasi N. medianus dan N. ulnaris
 Kaki meliputi daerah inervasi N. tibialis posterior

Tes sensibilitas yang dilakukan :

 Raba Halus : dengan menggunakan ujung kapas yang dipilin, kita mengoleskan
kapas pada lesi akromia dan dibandingkan degan kulit sekitarnya.
 Nyeri : dengan menggunakan tusuk gigi kayu yang mempunyai ujung tajam dan
tumpul (terstandar), kita tusukkan pada lesi akromia dan dibandingkan dengan
kulit sekitarnya.
 Suhu : dengan menggunakan tabung reaksi berisi air panas (40oC) dan air dingin
(20oC) disentuhkan pada lesi akromia dan dibandingan dengan kulit sekitarnya.
 Pemeriksaan tidak terbatas pada lesi kulit, tapi juga harus dilakukan pada kedua
telapak tangan dan kaki.

b. Tes Tinta Gunawan


Tes tinta ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya anhidrosis pada lesi yang kita
curigai MH. Goreskan pensil tinta melalui lesi akromia dan kulit yang normal,
kemudian disinari dengan lampu pijar + 15 – 30 menit. Pada kulit yang normal bila
terbentuk keringat maka tinta akan luntur, sedangkan pada lesi yang anhidrosis tinta
akan menetap.

c. Pemeriksaan Pembesaran Saraf Tepi


Pembesaran saraf yang selalu diperiksa pada pasien kusta di antaranya :
 N. Auricularis magnus
Nervus ini paling mudah dilihat bila mengalami pembesaran karena posisinya
melintas m. strenocleidomastoideus. Lakukan pemeriksaan juga pada sisi
kontralateralnya.
1. Pasien di minta menoleh maksimal ke kiri sehingga M.
Sternocleidomastoideus berkontraksi dan N. Auricularis Magnus dekstra akan
terdorong ke superfisial. Bila terjadi pembesaran, n. auricularis magnus akan
tampak menonjol.
2. Dilakukan perabaan dengan 3 jari pada 1/3 atas M. Sternocleidomastoideus,
dicari bentukan seperti kabel yang menyilang M. Sternocleidomastoideus,
3. Terdapat struktur lain yaitu : V. Jugularis yang teraba lebih lunak dan ada
pulsasi,sedangkan saraf teraba seperti kabel
4. Lakukan pemeriksaan yang sama pada N. Auricularis magnus sinistra.

Kesimpulan :
o Terdapat penebalan /pembesaran n.auricularis magnus D/S
o Apakah nyeri atau tidak pada saraf

 N. Ulnaris
Pasien diminta menggulung lengan baju hingga di atas siku.
1. Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa, agar
otot rileks sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon / seperti berjabat
tangan.
2. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambal
meraba saraf ulnaris dalam sulkus n. ulnaris (lekukan di antara tonjolan
olecranon dan epicondilus medialis.
3. Membedakan saraf dengan tendon dengan cara meraba kea rah proksimal.
Tendon jika kita raba proksimalnya otot, sedangkan saraf akan teraba seperti
kabel.
4. Dengan tekanan ringan diraba n. ulnaris dan telusuri ke atas sambal melihat
ekspresi penderita apakh tampak kesakitan/tidak.
5. Prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral.

Kesimpulan :

 Apakah ada pembesaran n. ulnaris D/S


 Apakah ada nyeri / tidak pada saraf
 Neuritis/tidak

 N. Peroneus / Poplitea lateralis


1. Pasien diminta duduk di meja pemeriksaan dengan posisi kaki menggantung
(sebaiknya celana digulung ke atas hingga diatas lutut)
2. Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki
kiri penderita dan tangan kiri memeriksan kaki kanan penderita secara
bersama-sama.
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada fossa poplitea.
Tentukan caput fibulae (tonjolan lateral fossa poplitea), setelah menemukan
tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah medial.
4. Dengan tekanan ringan saraf tersebut diraba, dan lihat ekspresi penderita.

Kesimpulan :

o Apakah ada penebalan/pembesaran n. peroneus D/S


o Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

CARA PEMERIKSAAN KULIT YANG BAIK

1. Informed consent
2. Menjaga privacy pasien dengan menutup pintu, jendela dan tirai
3. Menenangkan pasien dan memposisikan area yang akan diperiksa. Namun idealnya
pemeriksaan kulit dilakukan dengan pasien membuka seluruh pakaiannya.
4. Menyalakan lampu pemeriksaan
5. Mencuci tangan
6. Mengenakan sarung tangan non-steril.
7. Melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan palpasi dengan menggunakan kaca pembesar.
8. Mendeskripsikan status dermatologi dengan lengkap dan benar meliputi :
i. Lokasi/predileksi lesi
ii. Morfologi kelainan kulit / UKK – UKK Primer dan sekunder, konfigurasi
iii. Distribusi lesi.
9. Pemeriksaan fisik tambahan untuk penyakit-penyakit tertentu harus dilakukan.
10. Setelah selesai, melepas sarung tangan, mencuci tangan dan mematikan lampu
pemeriksaan dan mempersilahkan pasien mengenakan pakaian dan kembali ke meja
anamnesis.
V. REFERENSI
1. Goldsmith IA et. al. 2015. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine , 8 th ed.
McGraw Hill. New York.
2. Owen, BM, Stratford CJ. 1995. Leprosy Review. Assessment of the methods
available for testing sensation in leprosy patients in a rural setting.
3. Trozack DJ, et.al. 2006. Dermatology skill for primary care. Humana Press. Ney
Jersey.
PENILAIAN ANAMNESIS
Nama Mahasiswa :
NIM. :

Skor
No Poin Penilaian
0 1 2 3
1. Salam perkenalan dan dapat
menanyakan identitas pasien (nama,
umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, suku, alamat tempat tinggal
tetap)
2. Dapat menanyakan keluhan utama pasien
(mahasiswa harus melihat lesi terlebih
dahulu sebelum memulai anamnesis)
3. Dapat menggali informasi keluhan utama
dalam Sacred 7 meliputi : onset, lokasi,
kronologi, kualitas, kuantitias, faktor yang
memperberat/memperingan, gejala
penyerta
4. Dapat menggali informasi riwayat
penyakit dahulu yang terdiri dari :
 Penyakit baru pertama kali/kambuhan
 Riwayat pengobatan penyakit kulit
sebelumnya
 Riwayat penyakit sistemik dan alergi
 Riwayat pengobatan penyakit sistemik
dan alergi
5. Dapat menggali informasi dari riwayat
penyakit keluarga yang terdiri dari :
 Ada/tidaknya penyakit yang sama
dalam keluarga
 Ada/tidaknya riwayat alergi dalam
keluarga
6. Dapat menggali informasi riwayat sosial
ekonomi terkait dengan faktor
predisposisi timbulnya penyakit.
 Tingkat pendidikan
 Pekerjaan
 Higiene dan sanitasi pribadi
 Higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggal
 Pola dan gaya hidup

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


18

Purwokert..............................2015

Instruktur,

(..................................................)

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna
PENILAIAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN
Nama Mahasiswa :
NIM. :

Skor
No Poin Penilaian
0 1 2 3
1. Melakukan informed consent
2. Menjaga privacy pasien dengan menutup
pintu, jendela dan tirai
3. Menenangkan pasien dan memposisikan
area yang akan diperiksa. Namun idealnya
pemeriksaan kulit dilakukan dengan
pasien membuka seluruh pakaiannya.
(Pasien boleh dalam posisi duduk /
berdiri)
4. Menyalakan lampu pemeriksaan
5. Mencuci tangan
6. Mengenakan sarung tangan non-steril.
7. Melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan
palpasi dengan menggunakan kaca
pembesar.
8. Mendeskripsikan status dermatologi
dengan lengkap dan benar meliputi :
 Lokasi/predileksi lesi
 Morfologi kelainan kulit / UKK –
UKK Primer dan sekunder,
konfigurasi
 Distribusi lesi
9. Dapat melakukan pemeriksaan fisik
tambahan yang diperlukan untuk
memperkuat diagnosis (pada penyakit-
penyakit tertentu)
10. Setelah selesai, melepas sarung tangan,
mencuci tangan dan mematikan lampu
pemeriksaan dan mempersilahkan pasien
mengenakan pakaian dan kembali ke meja
anamnesis.
11. Dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan
dengan benar / mampu menegakkan
diagnosis dengan benar

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


33

Purwokert..................................2019
Instruktur,

(..........................................)
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna
XI. PEMERIKSAAN MOTORIK

LEARNING OUTCOME

Mahasiswa mampu mempersiapkan pasien dalam melakukan pemeriksaan motorik


Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan massa otot , tonus otot dan kekuatan otot
secara baik dan benar

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem motorik adalah sistem yang bertanggung jawab terhadap kerja kelompok-kelompok otot,
yaitu inisiasi gerakan volunter dan terampil. Serabut-serabut motorik bersama sama input yang
berasal dari sistem-sistem yang terlibat dalam kontrol gerakan yang meliputi sistem ekstrapiramidal,
vestibular, serebellar, dan proprioceptive afferent semuanya bergabung didalam badan-badan sel
neuron pada cornu anterior medulla spinalis. Dari sel cornu anterior impuls dibawa ke otot.
Evaluasi sistem motorik dibagi menjadi :
- massa otot
- tonus otot
- kekuatan otot

Massa otot
- Pemeriksaan diawali dengan inspeksi baik proksimal dan distal tiap daerah yang diperiksa
saat posisi pasien duduk maupun berbaring
- Bandingkan kesimetrisan kontur massa otot dengan sisi lainnya
- Amati apakah ada penurunan massa otot ( hipotrofi ), hipertrofi atau atrofi ( otot yang
mengecil ), hal ini tampak dari berkurangnya massa dan penampakan otot yang kendur
Tonus otot
Tonus otot adalah kontraksi otot yang selalu dipertahankan keberadaanya oleh otot itu sendiri atau
dapat di definisikan sebagai sedikit ketegangan residual pada otot yang rileks secara volunter.
Pemeriksaan tonus otot :
- Mintalah pasien untuk berbaring telentang pada meja pemeriksaan dan rileks
- Pada pemeriksaan anggota gerak atas : tangan pemeriksa memegang siku pasien untuk
menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi siku berulangkali
secara perlahan kemudian secara cepat.
- Pada pemeriksaan anggota gerak bawah : tangan pemeriksa memegang tungkai bawah pasien
untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi lutut
berulangkali secara perlahan kemudian secara cepat
- Pemeriksaan clonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan 90 pada lutut dan
pergelangan kaki. Secara cepat dorsofleksikan pergelangan kaki
- Tonus yang meningkat (hipertonus) dirasakan dengan tingkat kesulitan / ada hambatan dalam
gerakan fleksi-ekstensi pada sendi yang diperiksa
- Tonus yang menurun ( hipotonus ) tidak terasa ada hambatan dalam gerakan fleksi-ekstensi
pada sendi yang diperiksa, atau mudah dikenali dengan tanda ekstremitas terasa terkulai
- Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya

Kekuatan otot
Prosedur pemeriksaan :
1. Jelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien
2. Prinsip pada pemeriksaan kekuatan otot : pemeriksa dan pasien harus bekerjasama jika ingin
mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat
3. Lingkungan selama pelaksanaan tes harus tenang dan suhu ruangan harus dibuat senyaman
mungkin (tidak terlalu panas/terlalu dingin)
4. Periksalah apakah terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi/ kontraktur, spastisitas atau
nyeri yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan
5. Pemeriksaan dilakukan secara berurutan mulai posisi duduk,supine,side lying, kemudian
prone
6. Posisikan pasien dengan hati-hati dan upayakan melakukan tes secara berurutan sehingga
perubahan posisi selama pemeriksaan dapat seminimal mungkin
7. Lakukan pemeriksaan mulai dari posisi melawan gravitasi, jika pasien tidak mampu, ubah
keposisi anti-gravitasi, jika pasien mampu melakukan, lanjutkan dengan memberikan
tahanan, tahanan diberikan pada pertengahan gerakan
8. Pada saat pemeriksaan, fiksasi dilakukan di bagian proksimal dari otot yang akan dinilai

Catatlah untuk tiap kelompok otot:


1. Penampakan otot (wasted, highly developed, normal)
2. Rasakan adanya tonus otot (flaccid, clonic, normal)
3. Periksa kekuatan kelompok otot

0 (zero) Tidak ada kontraksi otot sama sekali baik pada inspeksi maupun palpasi
1( trace) Otot tidak mampu bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh dalam bidang
horizontal, hanya terlihat gerakan otot minimal / teraba kontraksi oleh pemeriksa
2 (poor) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh tetapi tidak dapat
melawan gravitasi, atau hanya dapat bergerak dalam bidang horizontal
3 (fair) Kemampuan otot bergerak bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan
gravitasi namun tidak dapat melawan tahanan yang ringan sekalipun
4 (good) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
serta dapat melawan tahanan yang ringan sampai sedang
5 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
(normal) serta dapat melawan tahanan maksimal

Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi 3+, atau 5-.

PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS ATAS

EKSTREMITAS OTOT PERSARAFA PEMERIKSAAN GAMBAR


ATAS N
Deltoid anterior Axilaris, - Bahu fleksi 90
C5,C6
Pektoralis C5-T1
-Pemeriksa
mayor
memberikan
tahanan pada
Fleksi Bahu lengan kearah
Biceps brachii Musculocutane
ekstensi, dengan
us, C5,C6
lokasi tahanan pada
Coracobrachiali Musculocutane distal humerus
s us C5-7

Deltoid Axilaris, - Bahu ekstensi 45


posterior C5,C6 dengan siku
ekstensi

Latissimus dorsi Thoracodorsali


-Pemeriksa
s C6-8
memberikan
Ekstensi Bahu tahanan pada
lengan kearah
Teres Mayor Subscapularis
fleksi, dengan
bawah, C5,C6
lokasi tahanan pada
distal humerus

-Bahu diposisikan
90 dari posisi
Deltoid Axilaris, abduksi
C5,C6
-Pemeriksa
Abduksi Bahu memberikan
tahanan kearah
Supraspinatus Suprascapulari
adduksi, dengan
s, C5,C6
lokasi tahanan pada
distal humerus
-Pasien pada posisi
Pektoralis Pectoralis supine, dengan
Mayor medial/lateral, bahu diposisikan
C5, T1 120 dari posisi
Adduksi Bahu abduksi dan siku
Latissimus dorsi Thoracodorsali
fleksi
s, C6-8
Teres Mayor Subscapularis -Pemeriksa
bawah, C5,C6 memberikan
tahanan pada
lengan kearah
abduksi

Subscapularis -Pasien pada posisi


Subscapularis atas/bawah,C5, prone , dengan
C6 bahu abduksi 90
dengan rotasi
internal penuh dan
Pectoralis
siku fleksi 90
Pectoralis medial/lateral
Rotasi Internal
Mayor C5-T1
-Pemeriksa
memberikan

Latissimus dorsi Thoracodorsali tahanan pada

s, C6-8 lengan kearah


rotasi eksternal,
dengan lokasi
Deltoid Anterior Axillaris, tahanan pada distal
C5,C6 lengan bawah

Teres Mayor Subscapularis


bawah, C5,C6
-Pasien pada posisi
prone dan bahu
Infraspinatus Suprascapulari abduksi 90 dengan
s rotasi eksternal
penuh dan siku
Rotasi Eksternal fleksi 90
Teres minor, Axillaris
deltoid posterior ,C5,C6
-Pemeriksa
memberikan
tahanan pada
lengan kearah
rotasi internal,
dengan lokasi
tahanan pada distal
lengan bawah
-Siku diposisikan
90 fleksi
Biceps brachii -Pasien melakukan
fleksi siku dan
pemeriksa memberi
Musculocutane tahanan kearah
us, C5,C6 ekstensi pada
Brachialis
daerah distal

Fleksi siku -Otot biceps adalah


otot primer fleksi
Brachioradialis Radialis,
siku dengan posisi
C5,C6
lengan supinasi
penuh
-Otot brachialis
adalah otot primer
fleksi siku dengan
posisi lengan
pronasi

-Otot
brachioradialis
adalah otot primer
fleksi siku dengan
posisi lengan ibu
jari ke atas
-Siku pada posisi
fleksi untuk
mencegah
stabilisasi dan
menemukan
Ekstensi siku Triceps Radialis, kelemahan dari otot
C6,C7
-Pemeriksa
memberi tahanan
pada arah fleksi
lengan pasien
ketika pasien
melakukan ekstensi
siku
-Lengan pada
posisi pronasi
Pronator Anterior -Pemeriksa
quadratus Interoseus memberikan
cabang tahanan supinasi
medianus pada distal lengan
Pronasi siku
-Pronator teres
dapat diperiksa
Pronator teres Medianus ,
ketika posisi siku
C6,C7
90

-Siku ekstensi
dengan posisi
Supinasi siku Supinator Radialis , lengan supinasi
C5,C6 penuh posisi ini
menghambat
asistensi dari
Biceps brachii Musculocutane
biceps
us, C5,C6
- Pemeriksa
memberikan
tahanan dengan
melakukan pronasi
pada lengan daerah
distal
-Pergelangan
tangan diposisikan
fleksi penuh dan
jari-jari ekstensi

-Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
Fleksor carpi Medianus ekstensi
radialis ,C6,C8 pergelangan tangan
pada daerah
midpalmar

-Fleksor carpi
Fleksi pergelangan radialis dapat
tangan diperiksa dengan
posisi pergelangan
Fleksor carpi Ulnaris, C6,C8
tangan deviasi
ulnaris
radial dan fleksi
penuh. Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelangan tangan
dan melakukan
deviasi ulnar

- Fleksor carpi
ulnaris dapat
diperiksa dengan
posisi pergelangan
tangan deviasi
ulnar dan fleksi
penuh. Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelanagn tangan
dan deviasi radial

-Pergelangan tangan
ekstensi penuh pada
posisi netral
Ekstensor carpi Radialis ,
radialis longus C6,C7 -Pemeriksa
memberikan tahanan
dengan melakukan
Ekstensi fleksi pergelangan
pergelangan tangan pasien pada
tangan daerah dorsum
Ekstensor carpi Radialis ,
tangan
radialis brevis C6,C7

-Untuk memeriksa
ekstensor carpi
radialis longus
pergelangan tangan
pasien diposisikan
deviasi radial dan
Ekstensor carpi Radialis
ekstensi penuh
ulnaris ,C7,C8
-Pemeriksa
melakukan fleksi
dan deviasi ulnar
pergelangan tangan

-Untuk memeriksa
ekstensor carpi
ulnaris pergelangan
tangan pada posisi
deviasi ulnar dan
ekstensi penuh.
Pemeriksa
melakukan fleksi
dan deviasi radial
pergelangan tangan
pasien sebagai
tahanan
- Periksalah tangan
Fleksor digitorum pasien, cari atrofi
profundus otot intrinsik, thenar,
hipothenar.
Fleksor digitorum
Medianus, - Periksalah
superfisial
C8 genggaman pasien
Fleksi jari-jari dengan meminta
Fleksor pollicis
penderita
longus
menggenggam jari
pemeriksa sekuatnya
Medianus, dan tidak melepas
Instrinsik Ulnaris genggaman saat
(hipotenar.interosse C8,T1 pemeriksa mencoba
i,tenar,lumbricalis) menarik jarinya.
Normal pemeriksa
tidak dapat menarik
jari dari genggaman
pasien. Bandingkan
dengan sisi kontra
lateral

- Periksalah
Opponen policis Medianus, kekuatan oposisi
C8,T1 ibujari dengan
meminta pasien
Fleksor policis Medianus,
menyentuhkan ujung
brevis Ulnaris,
Oposisi Ibu jari ibujari dengan jari
C8,T1
jelunjuknya sendiri
dan melawan
tahanan
Abduktor policis Medianus,
pemeriksa.bandingka
brevis C8,T1
n dengan sisi kontra
lateral.

- Periksalah otot
intrinsik tangan
sekali lagi, dengan
meminta pasien
Abduksi jari Abduktor digiti Ulnaris, abduksi pada semua
minimi T1 jari dan melawan
tahanan pemeriksa.
Normal pasien dapat
menahan tekanan
pemeriksa.
PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS BAWAH

EKSTREMIT OTOT PERSARAFAN PEMERIKSAAN GAMBAR


AS BAWAH
Iliacus Femoral, L2-4 -Posisi pasien dapat
Psoas Pleksus lumbal,
duduk /supine
L1-4
Tensor fascia lata Superior gluteal,
-Supine : pasien
L4-5 S1
Pectineus Femoral/Obturator memfleksikan
L2-3-4 panggul, pemeriksa
Fleksi panggul Abduktor magnus berusaha melakukan
dan brevis, bagian ekstensi panggul,
anterior abductor tahanan diberikan
magnus pada anterior paha

-Duduk : panggul
pada posisi fleksi saat
pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul
-Pasien pada posisi
prone, dilakukan
ekstensi panggul
dengan lutut dalam
Ekstensi Gluteus maksimus L5,S1-2 keadaan fleksi 90
Panggul
-Pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul, tahanan
diberikan pada
posterior paha
-Abduksi panggul
dapat diperiksa dalam
posisi berbaring
miring/duduk

-Pasien posisi
berbaring miring
Abduksi Gluteus medius L4-5,S1 dengan abduksi
panggul panggul, Pemeriksa
berusaha melakukan
adduksi panggul,
tahanan pada distal
lateral paha

-Posisi duduk
:panggul keadaan
abduksi, pemeriksa
melakukan adduksi
panggul,tahanan
pada distal lateral
paha

-Pasien berbaring
miring, kaki pasien
Adduktor brevis Obturator, L2-4 dalam posisi abduksi,
pasien diminta
melakukan adduksi
kaki sisi bawah

-Pemeriksa berusaha
Adduktor longus,
melakukan abduksi
adductor magnus Obturator, L3-4
Adduksi kaki sisi bawah
bagian anterior
panggul dengan memberikan
tahanan pada medial
paha bagian distal
-Pemeriksaan dapat
Pectineus Femoral juga dilakukan
/obturator, L2-3 dengan posisi pasien
duduk, dengan
panggul adduksi,
pemeriksa berusaha
melakukan abduksi
panggul, tahanan
diberikan pada medial
paha bagian distal.

Gluteus superior, -Pasien duduk dengan


Tensor fascialata L4-5,S1 lutut fleksi 90,dan
panggul rotasi
Femoralis
internal
Pectineus obturatorius, L2-3
Rotasi internal
panggul -Pemeriksa
menggunakan satu
Gluteus minimus, Gluteus superior,
tangan untuk
bagian anterior L-5,S1
membuat kaki dalam
posisi rotasi internal
dengan memberikan
tahanan lateral dari
atas lutut, sambil
stabilisasi lutut
dengan tangan
lainnya.
-Pasien duduk dengan
Piriformis S1-2 lutut fleksi 90, dan
panggul rotasi
eksternal
Gluteus maximum Gluteus inferior,
L5,S1-2
-Pemeriksa
Rotasi menggunakan satu
eksternal Gemellus tangan untuk
panggul superior/obturator L5,S1-2 melakukan rotasi
internus internal kaki dengan
memberikan tahanan
medial dari bawah
Gemellus inferior L4-5, S1
lutut, sambil
/quadratusfemoris
stabilisasi lutut
dengan tangan
lainnya.
-Lutut pasien fleksi
Semitendinosus 90 dengan posisi
L5,S1 tengkurap
Semimembranosus
Fleksi lutut
-Pemeriksa
melakukan ekstensi
Biceps femoris L5,S1-2
kaki pada permukaan
posterior tibial

-Lutut fleksi 30


dengan posisi pasien
duduk / berbaring.
Usahakan
menghindari ekstensi
Ekstensi lutut Quadriceps femoris Femoralis, L2-4 lutut penuh karena
pasien dapat
melakukan stabilisasi
lutut, sehingga
kelemahan ringan
diketahui.

-Pemeriksa berusaha
melakukan fleksi
kaki, dengan
memberikan tekanan
pada permukaan
anterior tibia.
-Pergelangan kaki
ditempatkan dalam
posisi dorso fleksi
-Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
Tibialis anterior fleksi pergelangan
Ekstensor digitorum kaki,dengan
Dorsofleksi longus Peroneus memberikan tahanan
pergelangan Ekstensor halluces profundus L4-5, dari dorsum kaki
kaki longus S1
-Untuk memeriksa
tibialis anterior, posisi
pergelangan kaki
inversi dan
dorsofleksi penuh.
Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
fleksi dan eversi kaki

-Untuk memeriksa
ekstensor digitorum
longus, pergelangan
kaki pada posisi
eversi dan dorsofleksi
penuh. Pemeriksa
berusaha melakukan
plantarfleksi dan
inversi pergelangan
kaki
-Posisikan
pergelangan kaki
pada plantar fleksi

-Pemeriksa
melakukan dorsifleksi
kaki, dengan
Plantarfleksi Gastrocnemius Tibialis, S1-2 memberikan tekanan
pergelangan Soleus pada permukaan
kaki plantar kaki

- Untuk menguji
gastrocnemius, lutut
dalam posisi ekstensi

-Untuk menguji
soleus, lutut dalam
posisi fleksi

-Tes fungsional lain


seperti berjalan jinjit
dapat memperlihatkan
kelemahan yang tidak
tampak saat
pemeriksaan
Mintalah pasien
ekstensi ibu jari kaki
melawan tahanan
Ekstensi ibu Ekstensor hallucis L5 pemeriksa.
jari kaki longus

PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN:

Ekstremitas Dekstra Sinistra


Superior:
Inspeksi: (wasted, highly (wasted, highly
developed, normal) developed, normal)
Palpasi (flaccid, clonic, (flaccid, clonic,
tonus: spastik normal) spastik normal)
Kekuatan : ………/………./…… ………/………/……
Cantumkan otot spesifik yang mengalami kelainan:

Ekstremitas Dekstra Sinistra


Inferior:
Inspeksi: (wasted, highly (wasted, highly
developed, normal) developed, normal)
Palpasi (flaccid, clonic, (flaccid, clonic,
tonus: spastik normal) spastik normal)
Kekuatan : ………/………./…… ………/………/……
Cantumkan otot spesifik yang mengalami kelainan:

CHECKLIST PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK


Nama :
NIM :
NO KETERANGAN SCORE
0 1 2
1 Memberi salam dan menyapa dengan sopan
2 Inform consent pemeriksaan
Pemeriksaan Massa otot
3 Meminta pasien untuk berbaring di meja pemeriksaan
4 Melakukan inspeksi pada semua otot
5 Memeriksa perubahan massa otot ( normal,hipertrofi,hipotrofi,atrofi ),
amati kesimetrisannya. ( diukur menggunakan meteran )
Pemeriksaan tonus otot
6 Meminta pasien untuk rileks
7 Pemeriksaan anggota gerak atas : tangan pemeriksa memegang siku
pasien untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-
ekstensi ) pada sendi siku berulangkali secara perlahan kemudian secara
cepat
8 Pemeriksaan anggota gerak bawah : tangan pemeriksa memegang
tungkai bawah pasien untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif
(fleksi-ekstensi ) pada sendi lutut berulangkali secara perlahan kemudian
secara cepat
9 Pemeriksaan clonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan
90 pada lutut dan pergelangan kaki. Secara cepat dorsofleksikan
pergelangan kaki
10 Pemeriksaan dilakukan pada anggota gerak kanan dan kiri
Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas superior
11 Periksalah fleksi dan ekstensi bahu
12 Periksalah abduksi dan adduksi bahu
13 Periksalah rotasi internal dan rotasi eksternal bahu
14 Periksalah fleksi dan ekstensi siku
15 Periksalah pronasi dan supinasi siku
16 Periksalah fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

17 Periksalah fleksi jari-jari tangan

18 Periksalah oposisi ibu jari


19 Periksalah abduksi jari-jari
Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah
20 Periksalah fleksi dan ekstensi panggul

21 Periksalah abduksi dan adduksi panggul

22 Periksalah rotasi internal dan eksternal panggul

23 Periksalah fleksi dan ekstensi lutut

24 Periksalah dorsofleksi pergelangan kaki

25 Periksalah plantar fleksi pergelangan kaki

26 Periksalah ekstensi ibu jari kaki

27 Mempersilahkan pasien duduk kembali

Total

KET:
0 : bila tidak dikerjakan
1 : bila dikerjakan, tetapi tidak sempurna
2 : bila dikerjakan dengan sempurna
Nilai: total score x 100
54

XII. PEMBALUTAN, PEMBIDAIN DAN TRANSPORTASI

Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat melakukan pembalutan luka.

2. Mahasiswa dapat melakukan fiksasi/ imobilisasi pada cidera skeletal.

TINJAUAN PUSTAKA

Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh dokter dan
pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut merujuk pada aplikasi secara luas maupun
secara sempit pembalutan untuk tujuan terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak
diterapkan dengan benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan
pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik intravaskuler, jika membalut bertujuan untuk
mengurangi pembentukan oedema tanpa meningkatkan tahanan vaskuler yang dapat merusak aliran
darah.

Tujuan:

Menahan bagian tubuh supaya tidak bergeser dari tempatnya


Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka
Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian itu tidak bergeser
Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi
Melindungi atau mempertahankan dressing lain pada tempatnya
Macam:

Mitella adalah pembalut berbentuk segitiga


Dasi adalah mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi
Pita adalah pembalut gulung
Plester adalah pembalut berperekat
Pembalut yang spesifik
Kassa steril

Mitella:

Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai
ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm
Pembalut ini dipergunakan pada bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung
bagian anggota badan yang cedera
Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul,
telapak kaki, dan untuk menggantung lengan.

Dasi:

Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga agar beberapa lapis
dan berbentukseperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan lebamya antara 5-10cm.
Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain),
rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.

Pita ( Gulung ):

Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan elastis.
Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah menyerap air, darah dan
tidak mudah bergeser ( Kendor).
Macam-macam pembalut dan penggunaannya :
Lebar 2,5 cm - Biasa untuk jari-jari

Lebar 5cm - Biasa untuk leher dan pergelangan tangan

Lebar 7,5 cm - Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki

Lebar 10 cm - Biasa untuk paha dan sendi pinggul

Lebar >10-15cm - Biasa untuk dada, perut, dan punggung


Plester:

Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang terkilir, untuk
merekatkan pada kelainan patah tulang.
Khusus untuk penutup luka, biasa dilengkapi dengan obat anti septik

Pembalut yang spesifik

1. Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup luka dan steril,
baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada
badan.

2. Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman. Biasa
dipergunakan pada luka-luka kecil

Kasa Steril

Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil yang sudah
diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik).
Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut.

Prosedur pembalutan

.Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab .1

a. Bagian dari tubuh yang mana ?

b. Apakah ada luka terbuka atau tidak ?

c. Bagaimana luas luka tersebut ?

d. Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ?

2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan ! dapat salah satu atau kombinanasi

3. Sebelum dibalut jika luka terbuka periu diberi desinfektan atau dibalut den< pembalut yang
mengandung desinfektan atau dislokasi periu direposisi

4. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan :


Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang perlu difiksasi
Sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain
Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok penderita
Tidak mengganggu peredaran darah, misalnya pada balutan beriapis, lapis yang paling
bawah letaknya disebelah distal
Tidak mudah kendor atau lepas

1. Cara membalut dengan mitella

a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 - 4 cm sebanyak 1 - 3 kali

b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik
secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan

c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b, atau diikatkan
pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada tempat dan
kepentingannya

2. Cara pembalutan dengan dasi

a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-
masing ujung lancip
b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan

c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya saling
menarik

d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya

3 Cara membalut dengan pita

a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan pita ukuran lebar yang
sesuai

b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang diletakkan dari
proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan dibalut kemudian dari distal
ke proksimal dibebatkan dengan. arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih antara
bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya

c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang lain secukupnya
4. Cara membalut dengan plester

a. Jika ada luka terbuka

luka diberi obat antiseptik


tutup luka dengan kassa
baru lekatkan pembalut plester
b. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir)

- balutan plester dibuat "strapping" dengan membebat berlapis-lapis dari distal ke


proksimal, dan untuk membatasi gerakkan tertentu perlu masing-masing ujungnya difiksasi
dengan plester

5. Penggunaan pembalut yang steril

Biasanya dijual dalam bahan yang steril dan baru dibuka pada saat akan digunakan

Pelaksanaan latihan

Cara membalut dengan mitella (lihat gambar)


Alat dan bahan

1. Elastik perban
2. Kain mitella
3. Plester
4. Pembalut yang spesifik
5. Kassa steril

IMMOBILISASI DAN TRANSPORTASI


Tujuan :

Memberi kesempatan kepada peserta untuk bisa mempraktekkan dan mendemonstrasikan


tehnik-tehnik reposisi. immobilisasi dan transportasi pada penderita yang mengalami trauma.

Setelah menyelesaikan ini peserta akan mampu :

1. Mengenal dan mengerti tujuan immobilisasi

2. Mengerti prinsip-prinsip pemasangan bidai

3. Mengerjakan cara meluruskan deformitas pada fraktur tulang panjang.

4.Mengerti cara-cara transportasi, yang meliputi tindakan sebelum dan selama serta masalah yang
timbul sewaktu dilakukan transportasi.

TINJAUAN TEORI

Semua ekstremitas
yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai yang kaku untuk menjaga dan
melindungi ekstremitas yang cedera. Pada patah tulang terbuka atau luka lain, luka harus ditutup
dulu dengan kassa, status vaskuler dan neurologis ekstremitas tersebut harus diperiksa sebelum dan
sesudah imobilisasi. Tujuan immobilisasi :

1. Mengurangi nyeri

2. Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang cedera dan jaringan lunak yang cedera (ujung
fragmen tulang yang tajam dapat mencederai syaraf, pembuluh darah dan otot).

3. Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka

4. Memudahkan transportasi

5. Mencegah gangguan sirkulasi pada bagian distal yang cedera

6. Mencegah perdarahan akibat rusaknya pembuluh darah oleh fragmen tulang

7. Mencegah kelumpuhan pada cedera tulang belakang.

PRINSIP PEMASANGAN BIDAI

1. Lepas pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera, periksa adanya luka terbuka
atau tanda-tanda patah dan distokasi

2. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian distal yang
mengalami cedera sebelum dan sesudah imobilisasi.

3. Tutup luka terbuka dengan kasasteril

4. Imobilisasi pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai parah atau dislokasi)

5. Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan imobilisasi kecuali ada ditempat bahaya

6. Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku

7. Lakukah tarikan secara periahan sampai lurus sumbu tulang sehingga dapat dipasang bidai yang
benar. Tarikan /traksi segera dilepas bila saat diperiksa tampak cyanotik dan nadi lemah.

8. Pada kecurigaaan trauma tulang belakaog letakkan pada posisi satu garis.

MACAM-MACAM BIDAI/SPLINT

1. Rigid splint

2.. Pneumatic splint & gips

3. Traction splint
Bila tidak ada bidai bisa dicoba

1. Lengan dapat diimobilisasi dengan dada

2. Tungkai yang cedera diimobilisasi dengan tungkai yang sebelah

3. Bahan-bahan lain bisa, dipakai seperti guling, majalah yang digulung, dll

CARA MELURUSKAN DEFORMITAS

1. Lengan atas

Pegang siku dan tarik ke bawah, setelah lurus bidai dipasang dan lengan dipertahankan dengan
sling dan ke dinding dada

2. Lengan bawah :

Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai kontra traksi. Bidai dipasang
dilengan bawah dan dielevasi.

3. Tungkai atas/paha

Luruskan tulang paha dengan melakukan tarikan didaerah pergelangan kaki jika tulang tungkai
bawah tidak patah.

4. Tulang tibia/tulang kering

Lakukan tarikan didaerah pergelangan kaki dan kontra traksi diatas lutut, dikerjakan bila tulang
paha utuh, setelah lurus bidai dipasang.

PEMBIDAIAN

Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang
digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak
(immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.

Sedangkan prinsip pembidaian adalah :

1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera


2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan dulu
ada tidaknya patah tulang

3. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan

Syarat-syarat pembidaian

1. Siapkan alat-alat selengkapnya

2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih dulu
pada anggota badan korban yang tidak sakit

3. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor

4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan

5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah

6. Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai

7. Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas

PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOGROLL

(penderita dengan curiga cedera tulang belakang)

1. Diperlukan 4 orang, orang ke 1 mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher, orang ke 2
untuk badan (termasuk pelvis dan panggul), orang ke 3 pelvis dan tungkai, orang ke 4 mengatur
prosedur ini dan memasang/mencabut spine-board.

2. Dilakukan kesegarisan kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal
semirigid.

3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan.

4. Tungkai bawah diluruskan dan kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester

5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang ke 2 memegang penderita
daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke 3 memasukkan tangan dan memegang panggul
penderita dengan 1 tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua
pergelangan kaki
6. Dengan komando orang pertama (yang mempertahankan kesegarisan kepala dan leher) dilakukan
logroll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada disisi penderita, hanya diperlukan
pemutaran minimal untuk memasukkan spineboard dibawah penderita.

7. Setelah spine board dibawah penderita dan dilakukan logroll ke arah spineboard.

8. Pasang bantalan disisi kiri - kanan kepala dan leher penderita . Kemudian pengikat dipasang
(kepala, dada, pelvis, paha dan diatas pergelangan kaki)

TRANSPORTASI/PENGANGKUTAN

Pengangkutan korban merupakan upaya penting dalam proses pemberian pertolongan. Cara-
cara pengangkutan korban yang mengalami cedera secara benar.perlu diketahui dan dikuasai:

1. Pengangkutan di tempat kejadian (tempat yang berbahaya)

1. Sambil jongkok lutut penolong disamping kiri korban. Lengan dan tangan kanan penolong
dimasukkan dibawah leher korban, kemudian tangan kanan penolong di sebelah ketiak kanan
korban sehingga sampai ke depan dadanya.

2. Tangan kiri penolong menyilangkan lengan kanan korban didadanya, kemudian tangan kanan
penolong memegang tangan kanan korban.

3. Kemudian lengan dan tangan kiri penolong dimasukkan dibawah ketiak kiri korban dan
memegang lengan kanan korban.

4. Kedua tangan penofong saling bertaut melingkari lengan bawah kanan korban.

5. Kemudian kaki kiri penofong diletakkan setinggi pinggang korban.


6. Sambil membongkokkan tubuh kedepan (prinsip mengungkit) badan korban dapat terangkat.

7. Korban didekatkan ke dada penolong, kemudian penolong berdiri dan menarik korban sejauh
mungkin dalam keadaan setengah baring.

8. Di tempat yang aman korban dibaringkan lagi secara hati-hati untuk dilakukan resusitasi.
Penderita harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat penderita sestabil mungkin sebelum
dilakukan trasnportasi ke tempat yang mempunyai fasilitas /untuk melakukan tindakan definitif.

Selama dalam perjalanan / transportasi yang harus diperhatikan

1. Monitor tanda-tanda vital

2. Bantuan kardio repirasi bila diperiukan

3. Pemberian obat sesuai prosedur

4. Menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi

5. Melakukan dokumentasi selama transportasi


CHECKLIST PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

Nama :

NIM :

Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Berikan salam, menyapa dengan sopan
3. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut/cedera : inspeksi, palpasi,
gerakan
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur
5. Mempersiapkan posisi dan menenangkan pasien
6. Rawat luka/hentikan perdarahan dengan deb
7. Memilih jenis pembalutan yang tepat
8. Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah balutan)
9. Evaluasi hasil yang dicapai (hasil pembalutan : mudah lepas/tidak,
mengganggu peredaran darah/tdk , mengganggu gerakan lain)
10. Memilih dan mempersiapkan bidai yang sudah dibalut dengan pembalut
11. Melakukan pembidaian melewati dua sendi
12. Hasil pembidaian : ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas
dan bawah tempat yang patah, tidak kendor dan tidak keras
13. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif maupun objektif)
14. Edukasi pasien
Jumlah
XIII. INJEKSI

SKILL LAB INJEKSI

Pemberian obat parenteral merupakan pemberian obat yang dilakukan dengan menyuntikkan
obat tersebut ke jaringan tubuh. Pemberian obat melalui parenteral dapat dilakukan dengan
cara:
Subcutaneous (SC) yaitu menyuntikkan obat ke dalam jaringan yang berada dibawah
lapisan dermis.
Intradermal (ID) yaitu menyuntikkan obat ke dalam lapisan dermis, dibawah epidermis
Intramuscular (IM) yaitu muenyontikkan obat ke dalam lapisan otot tubuh Intravenous
(IV) yaitu menyuntikkan obat ke dalam vena
Selain keempat cara diatas, dokter juga sering menggunakan cara intrathecal.atau intraspinal,
intracardial, intrapleural, intraarterial dan intraarticular untuk pemberian obat perenteral ini.

Pemberian obat harus sesuai dengan prinsip 5 benar:


Benar Klien : Periksa nama klien, nomer RM, ruang, nama dokter yang meresepkan pada
catatan pemberian obat, catatan pemberian obat, kartu obat dan gelang identitas pasien Benar
Obat: Memastikan bahwa obat generik sesuai dengan nama dagang obat, klien tidak alergi
pada kandungan obat yang didapat. memeriksa label obat dengan catatan pemberian obat
Benar Dosis : Memastikan dosis yang diberikan sesuai dengan rentang pemberian dosis
untuk cara pemberian tersebut, berat badan dan umur klien; periksa dosis pada label obat
untuk membandingkan dengan dosis yang tercatat pada catatan pemberian obat; lakukan
penghitungan dosis secara akurat.
Benar Waktu : periksa waktu pemberian obat sesuai dengan waktu yang tertera pada catatan
pemberian obat (misalnya obat yang diberikan 2 kali sehari, maka pada catatan pemberian
obat akan tertera waktu pemberian jam 6 pagi, dan 6 sore)
Benar Cara : memeriksa label obat untuk memastikan bahwa obat tersebut dapat diberikan
sesuai cara yang diinstruksikan, dan periksa cara pemberian pada catatan pemberian obat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat menyiapkan obat:
Saat menyiapkan beberapa obat seperti heparin, insulin, digoxin lakukan pemeriksaan
ulang.
Jangan membuka bungkus obat jika dosis obat belum pasti. Buka sebelum diberikan
pada klien.
Ketika menyiapkan obat topikal, nasal, opthalmic dan obat-obat dan kardus obat, ambil
obat dari kotaknya dan periksa label untuk memastikan isinya sesuai.
Saat mengambil pil dan botol, tuangkan pil tersebut pada tutupnya kemudian letakkan
pada tempat obat.
Tuangkan obat cair tidak pada bagian labelnya. Baca jumlah obat yang dituang pada
dasar meniscus.
Pisahkan obat-obat yang memerlukan data pengkajian awal, seperti tanda vital. Periksa
tanggal kadaluarsa obat saat menyiapkannya.

Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, obat disiapkan dan diberikan
dengan menggunakan prinsip steril. Larutan obat, jarum dan spuit yang telah terkontaminasi,
akan menyebabkan terjadinya infeksi. Obat-obat yang diberikan melalui parenteral ini diabsorbsi
lebih cepat dibandingkan obat yang diberikan melalui sistem gastrointestinal, karena obat tidak
perlu melewati barier jaringan epitel pada organ gastrointestinal sebelum akhirnya masuk ke
dalam sirkulasi darah. Obat intra muscular diabsorbsi lebih cepat daripada oabt subcutaneous
atau ontradermal, karena otot memiliki jaringan pembuluh darah yang lebih banyak daripada
kulit atau jaringan subkutan. Obat intradermal merupakan obat yang diabsorbsi paling lambat
karena obat harus melalui beberapa jaringan epitel sebelum akhirnya masuk kedalam pembuluh
darah. Karena itu cara intradermal digunakan untuk menyuntikkan zat asing untuk mengetahui
reaksi organ dan jaringan terhadap adanya alergi, yang biasa disebut skin test. Absorbsi melalui
subcutaneos relatif lambat tetapi efektif untuk absobsi sejumlah obat yang tidak diabsorbsi
melalui sistem gastointestinal.

Keuntungan pemberian obat melalui parenteral adalah obat dapat diabsorbsi dengan
cepat melalui pembuluh darah. Cara parenteral ini dapat dilakukan jika obat tidak dapat
diabsorbsi melalui sistem gastrointestinal atau malah akan dihancurkan olehnya. Obat juga
diberikan pada klien yang tidak sadar atau tidak kooperatif yang tidak dapat atau tidak mau
menelan obat oral.
Disamping keuntungan diatas, terdapat beberapa kerugian pada pemberian obat melalui
parenteral ini. Klien, terutama anak-anak akan merasa cemas jika akan disuntuk. Penyuntikan
akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan tidak nyaman pada klien. Iritasi atau reaksi lokal
dapat terjadi akibat efek obat pada jaringan. Pemberian obat melalui parenteral juga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi, kerena itu diperlukan penggunaaan tehnik steril untuk
menyiapkan dan memberikan obat ini. Pemberian obat perenteral ini kontraindikasi untuk klien
yang mengalami masalah perdarahan atau sedang mendapatkan terapi antikoagulan.
Obat yang disuntikkan ke dalam tubuh dapat berupa larutan cair atau suspensi. Larutan cair
disiapkan dalam tiga bentuk : ampul, vial dan unit disposible. Untuk memberikan obat melalui
parenteral ini diperlukan spuit yang ukurannya bervariasi dari 0,5 ml nirigga 50 ml. Spuit yang
lebih dari 5 ml jarang digunakan untuk menyuntik SC atau IM. Spuit yang lebih besar biasanya
digunakan untuk menyuntikkan obat melalui IV. Spuit insulin berukuran 0,5 - 1 ml dan
dikalibrasi dalam unit. Spuit tuberkulin berukuran 1 ml dan dikalibrasi dalam mililiter. Spuit
tuberkulin ini digunakan untuk memberikan obat dibawah ml.

Obat dalam ampul dan vial dipersiapkan dengan menggunakan teknik aseptik dan
diberikan melalui parenteral. Sebelumnya perlu diperhatikan dan dikaji kondisi larutan
(kejernihan cairan, adanya/tidaknya endapan, warna cairan sesuai dengan label) serta tanggal
kadaluarsa obat pada label vial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menyiapkan obat
dan vial:
 Jika obat perlu dicampurkan, ikuti petunjuk pada vial
 Pertahankan kesterilan spuit, jarum dan obat saat menyiapkannya.

 Perlu pencahayaan yang baik saat menyiapkan obat ini.


 Buang bekas ampul pada tempat khusus setelah dibungkus dengan kertas tissue

PROSEDUR:
1. Cuci tangan
2. Siapkan alat-alat
3. Periksa label obat dengan catatan pemberian obat atau kartu obaf sesuai prinsip 5 benar
4. Lakukan perhitungan dosis sesuai yang diperlukan
5. Pegang ampul dan turunkan cairan di atas leher ampul dengan menjentikkan leher ampul
atau putarkan dengan cara merotasjikan pergelangan tangan
6. Usapkan kapas alkohol di sekeliling leher ampul dengan tangan dominan, tempatkan jari
tangan non dominan di sekeiiling bagian bawah ampul dengan ibu jari melawan sudut
7. Patahkan tutup ampul dengan menjauhi diri dan orang yang ada di dekat anda
8. Tempatkan tutup ampul pada kertas atau buang di tempat khusus
9. Buka tutup jarum
10. Tekan plunger hingga habis, jangan aspirasi udara ke dalam spuit
Hal-hal yang harus diperhatikan :
- Alergen yang digunakan untuk test dapat menyebabkan reaksi sensitivitas atau alergi.
- Yakinkan tersedianya obat antidot (epinephrine hydrochloride, bronchodilator dan
antihistamin) di unit sebelum dimulai
- Reaksi alergi atau sensitivitas ini dapat FATAL

Pengkajian sebelum injeksi dilakukan, difokuskan pada:


• Program pemberian obat dari dokter
• Tempat penusukan terakhir, alergi dan respon Klien pada penyuntikan sebelumnya, yang
tercatat pada keperawatan pasien

• Tanda-tanda pada tempat tusukan (memar, kemerahan, kerusakan kulit, nodul atau edema)
• Faktor yang menentukan ukuran jarum yang sesuai (umur dan ukuran tubuh klien, tempat
injeksi, viskositas dan efek sisa dan obat
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
• Jika obat mual atau nyeri diberikan dalam bentuk yang berbeda (oral, parenteral atau
rektal), biarkan Klien memilih sebelum menyiapkan obat.
• Jika klien confuse, diperlukan bantuan untuk menstabilkan tempat tusukan dan mencegah
kerusakan jaringan dari jarum

ALAT DAN BAHAN YANG DIBUTUHKAN:


a. Spuit dengan ukuran sesuai dengan obat yang akan disuntikkan
b. Jarum 23 G
c. Vial berisi obat
d. Ampul obat
e. Kapas alkohol bulat
f. Wadah kapas alkohol
g. Alkohol 70%
h. Wadah berisi povidon iodin
i. Plester
j. Gunting
k. Wadah berisi kassa lipat
l. Hipafix
m. Tournikuet
n. Bengkok
o. Alas kain
p. Sarung tangan
q. Alat tulis
Tempat injeksi
IM
REVISIAN MASUKAN BU CATHARINA

PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI

No Aspek yang Nila


dinilai i
0 1 2
Tahap Pra Interaksi
1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
(mencocokkan identitas pasien dengan obat yang akan
diberikan,dosis, cara pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung
tangan 1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol
70 %, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok,
kassa dan plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga
/ klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi: (regio
volar/fleksor lengan bawah apabila skin test, sub
deltoid
pada lengan atas apabila untuk mantoux test)
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan masukkan dalam
spuit dan letakkan pada bak spuit
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke arah luar) biarkan kering
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk meregangkan
kulit
14 Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan sudut 15-
20˚,lubang jarum menghadap ke atas, jarum masuk kurang
lebih 0,5 cm*
15. Lakukan aspirasi*
16 Memasukkan obat ke dalam kulit perlahan, pastikan ada
penonjolan*
17 Mencabut jarum dari tempat tusukan dengan sudut yang
sama. Apabila ada darah, usap dengan lembut
menggunakan kapas alkohol baru, tetapi jangan sampai
menekan tonjolan atau tempat injeksi*
18 Memberi tanda lingkaran pada sekitar tusukan
(tindakan skin test)*
19 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
20 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
21 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
22 Membereskan alat-alat
23 Mencuci tangan
24 Dokumentasi
TOTAL SKOR=skor/48x100

Ket: * = Critical Point jika tidak dilakukan tidak lulus


PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI SUBCUTAN
Tahap Pra Interaksi 0 1 2
1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada (mencocokkan
identitas pasien dengan obat yang akan diberikan,dosis, cara
pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung tangan
1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan (pemilihan
tempat suntikan benar: area dengan lemak sub kutan
yang cukup tebal)
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan, masukkan ke dalam
spuit dan letakkan pada bak spuit
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke luar) biarkan kering
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk mengangkat kulit
(seperti mencubit) bila perlu (ini untuk
mengangkat/mengisolasi lemak sub cutan, terutama
bila jarum lebih panjang dari ketebalan sub kutan.
Bila area injeksi sudah tampak berlemak dan jarum
pendek/tidak akan menembus melewati sub kutan, ini
bisa tidak
dilakukan).*
Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan lubang
jarum menghadap ke atas, dengan sudut 30˚*
15 Melakukan aspirasi dan pastikan tidak ada darah yang masuk
ke dalam spuit*
16 Memasukkan obat ke dalam sub cutan secara perlahan
17 Mencabut jarum dengan sudut yang sama sambil menekan
dengan kapas alcohol (tidak perlu menekan). Apabila ada
darah usap dengan lembut menggunakan kapas alkohol baru
dan berikan tekanan hingga tidak ada perdarahan.
18 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
19 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
20 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
21 Membereskan alat-alat
22 Mencuci tangan
23 Dokumentasi
TOTAL SKOR = skor/46x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna

2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna


PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI INTRAMUSKULAR

Tahap Pra Interaksi 0 1 2


1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
(mencocokkan identitas pasien dengan obat yang akan
diberikan,dosis, cara pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung tangan
1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi (deltoid; femur
pars lateralis; gluteus kuadran supero-lateral (area
segitiga yang dibentuk SIAS-Trochanter major-puncak
crista iliaca
atau superior dari garis SIPS-trochanter major)*
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan (masukkan dalam
spuit)
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke arah luar) biarkan kering
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk meregangkan kulit
(untuk melakukan teknik Z)
14 Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan lubang jarum
menghadap ke atas, dengan sudut 90˚, jarum masuk
sampai 2/3
15 Melakukan apirasi dan pastikan darah tidak masuk spuit*
16 Memasukkan obat secara perlahan
17 Mencabut jarum dari tempat tusukan dengan sudut yang
sama
18 Menekan daerah tusukan dengan kapas desinfektan
Apabila ada darah usap dengan lembut menggunakan
kapas alkohol baru dan berikan tekanan hingga tidak ada
perdarahan.
19 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
20 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
21 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan telah
selesai dilakukan)
22 Membereskan alat-alat
23 Mencuci tangan
24 Dokumentasi
TOTAL SKOR=skor/48x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna

2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna


PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI INTRAVENA

Tahap Pra Interaksi 0 1 2


1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
(mencocokkan identitas pasien dengan obat yang akan
diberikan,dosis, cara pemberian dll)

2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung tangan
1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan

plester, buku injeksi / daftar obat


Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,

memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /

klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien dan pilih vena dari arah distal
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan masukkan dalam

spuit dan letakkan pada bak spuit


11 Meletakkan torniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk
12 Ikatkan torniquet, pertahankan vena pada posisi stabil
13 Memakai hand schoen
14 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari

arah dalam ke arah luar) biarkan kering


15 Memegang spuit yang sudah berisi obat dengan sudut 30˚
16 Menusuk vena dengan kemiringan 30˚ dan lubang jarum

menghadap ke atas
17 Melakukan aspirasi dan pastikan darah masuk spuit*
18 Membuka torniquet*
19 Memasukkan obat secara perlahan
20 Mencabut spuit dengan sudut yang sama sambil tangan yang
lain segera menekankan kapas alkohol 70 % di tempat
tusukan.

21 Menutup daerah tusukan dengan “plester luka”


22 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
23 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas), pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
24 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan

telah selesai dilakukan)


25 Membereskan alat-alat
26 Mencuci tangan
27 Dokumentasi
TOTAL SKOR = skor/54x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:

0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna

2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (…….)


x 100 %

Anda mungkin juga menyukai