3.6
Bismillah dulu yuk, pasti bisa! 😊
Daftar Isi
1. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan kepala dan leher
2. Anamnesis dan pemeriksaan perubahan refleks fisiologis dan patologis
3. Anamnesis dan pemeriksaan meningeal sign dan iritasi pada radiks vertebrae
4. Anamnesis dan pemeriksaan fisik gangguan saraf kranialis
5. Anamnesis dan pemeriksaan fisik gangguan keseimbangan dan koordinasi
6. Konseling Imunisasi
7. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan THT
8. Anamnesis dan pemeriksaan mata
9. Anamnesis dan pemeriksaan segmen anterior
10. Anamnesis dan pemeriksaan UKK
11. Anamnesis dan pemeriksaan gangguan tulang, otot, dan kekuatan motoric
12. Pembalutan, pembidaian dan transportasi
13. Pengambilan darah dan injeksi IC, AC, IM, IV
Tujuan Pembelajaran :
1. Mahasiswa dapat melakukan anamnesis secara singkat khususnya pada pasien yang
mempunyai keluhan yang terkait dengan kelainan pada bagian kepala dan leher
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik kepala dan leher secara benar dan teknik
yang legeartis
3. Mahasiswa mampu melakukan intrepretasi hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan
DASAR TEORI
I. ANAMNESIS
Seperti prosedur pemeriksaan klinis pada umumnya, anamnesis menggunakan Sacred Seven dan
Fundamental Four. Pertanyaan pada Foundamenal Four yaitu menggali :
- Onset
- Lokasi
- benjolan bertambah besar/ tidak
- terasa nyeri /tidak
- gejala penyerta
- RPD
- RPK
- Riwayat Sosial ekonomi
- Faktor resiko
D. Mata
a. Pertumbuhan rambut alis mata dan bulu mata
b. Pemeriksaan posisi dan kesejajaran mata dengan cara pasien diminta
melihat pada suatu obyek kemudian mata pasien diminta mengikuti
pergerakan obyek
c. Pemeriksaan konjungtiva dengan cara membuka palpebra inferior.
d. Pemeriksaan sklera dengan cara membuka palpebra superior.
e. Pemeriksaan pupil dilakukan dengan memberikan cahaya pada pupil mata
dari samping ke tengah, pupil normal akan mengalami miosis (menyempit) bila terkena cahaya.
f. Menilai ada tidaknya eksoftalmus dengan cara :
1. Inspeksi : pemeriksa dan penderita duduk/berdiri berhadapan.
Amati batas kornea dan sklera bagian atas kedua mata, apakah tampak atau tertutup
sebagian oleh palpebra superior. Bila tidak tertutup oleh palpebra superior maka terjadi
penonjolan bola mata ke luar (eksoftalmus).
2. Pengukuran penonjolan bola mata :
● Pemeriksa berdiri di samping penderita
● Dengan penggaris, ukur titik dari canthus lateral sampai bagian terdepan dari bola
mata. Bila >16mm, maka mata penderita mengalami eksoftalmus.
E. Hidung
Pemeriksaan hidung meliputi :
a. Inspeksi
1. Inspeksi hidung bagian luar dengan cara memperhatikan permukaan hidung, ada atau tidak
asimetri, deformitas atau inflamasi.
2. Inspeksi hidung bagian dalam dengan spekulum
●Perhatikan mukosa yang menutup septum dan konka, warna dan
pembengkakan. Adakah mukosa edema dan kemerahan (rinitis oleh virus),
adakah oedema dan pucat (rinitis alergik), polip, dan ulkus.
●Posisi dan integritas septum nasi. Adakah deviasi atau perforasi septum nasi
b. Palpasi
1. Pemeriksaan palpasi hidung untuk menilai adanya fraktur os nasalis
2. Palpasi sinus maksilaris dan frontalis adakah keluhan nyeri tekan
F. Telinga
Pemeriksaan telinga meliputi :
a. Inspeksi aurikula : bentuk, ukuran, simetris/asimetris, tanda radang
b. Inspeksi kanalis aurikularis : adakah serumen prop, tanda radang, benda asing (corpus alienum)
c. Palpasi : adakah nyeri, tragus pain, mastoid pain, dan tumor.
G. Mulut
Pemeriksaan mulut meliputi :
a. Bibir
Memperhatikan warna bibir (adakah sianosis atau pucat), kelembaban, oedema, ulserasi atau
pecah-pecah.
b. Mukosa oral
●Meminta pasien untuk membuka mulut.
●Inspeksi mukosa oral menggunakan tongue spatel dan dengan pencahayaan yang baik
●Menilai warna mukosa, pigmentasi, ulserasi dan nodul.
c. Gusi dan gigi
Menilai adakah inflamasi, oedema, perdarahan, retraksi atau perubahan warna gusi, gigi tanggal
atau hilang.
d. Langit-langit mulut atau palatum
Menilai warna dan bentuk langit-langit mulut, adakah torus palatinus.
e. Lidah
Menilai lidah dan dasar mulut, termasuk warna dan papilla, adakah glositis, paralisis saraf kranial
ke-12.
f. Faring
Mintalah pasien untuk membuka mulut, dengan bantuan tongue spatel lidah kita tekan pada
bagian tengah, mintalah pasien mengucapkan ”aaa”. Perhatikan warna atau eksudat, simetri dari
langit-langit lunak. Adakah faringitis, paralisis saraf kranial ke-10.
g. Tonsil
Dinilai ada pembesaran tonsil apa tidak
H. Pemeriksaan Leher
Pemeriksaan leher terdiri atas pemeriksaan regio colli, trachea, kelenjar tiroid, dan
kelenjar limfonodi.
a. Regio Colli
Pemeriksaan regio colli secara umum meliputi :
1. Inspeksi
Inspeksi pada leher bertujuan untuk melihat adanya asimetri, denyutan abnormal, tumor,
keterbatasan gerakan dalam range of motion (ROM) maupun pembesaran kelenjar limfe dan
tiroid.
2. Palpasi
Pemeriksaan palpasi leher dilakukan pada tulang hioid, tulang rawan tiroid, kelenjar
tiroid, muskulus sternokleidomastoideus, pembuluh karotis dan kelenjar limfe.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi (bilateral) bersamaan.
b. Pemeriksaan trakea
1. Inspeksi : diamati kesimetrisan trakea, adakah deviasi trakea dari posisi midline
2. Palpasi : rasakan adanya deviasi trakea dengan menempatkan jari sepanjang trakea dan rasakan
ada tidak ruangan di antara trakea dengan otot sternomastoid. Kemudian dibandingkan dengan
kontralateralnya. Normalnya ruangan tersebut simetris.
2. Palpasi : Penderita duduk rileks di kursi, dan pemeriksa berdiri di belakang penderita. Penderita
diminta untuk sedikit menundukkan dagunya dan merilekskan otot-otot lehernya.
Palpasi kelenjar tiroid dari belakang :
a) Letakkan tangan pemeriksa pada leher dari belakang penderita.
b) Gerakkan tangan pemeriksa ke atas-bawah, medial dan lateral.
c) Raba isthmus dari kelenjar tiroid, isthmus merupakan bagian anterior dari tracheal rings.
d) Raba lower poles dari lateral lobes.
e) Raba upper poles dari lateral lobes.
f) Selama pemeriksaan, penderita harus tetap rileks, dan penderita diminta menelan untuk
memeriksa perlekatan massa dengan trakea. Bila teraba massa yang ikut bergerak dengan trakea
saat menelan, maka massa tersebut menempel pada trakea.
Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking, electronic version, 115-208
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER
Nama :
NIM :
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
A. PERSIAPAN
KETERANGAN:
Nilai 2 : Dilakukan dengan:
- Teknik lege artis DAN
- Berurutan (kepala dan wajah diselesaikan dahulu, baru periksa leher) DAN
- Penggunaan alat bantu yang tepat DAN
- Menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian organ apa
yang diamati
Nilai 1 : Dilakukan dengan:
- Teknik yang tidak lege artis ATAU
- Tidak berurutan (loncat-loncat, misal: kepala 🡺 leher 🡺wajah 🡺leher) ATAU
- Penggunaan alat bantu tidak tepat ATAU
- Tidak menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian organ
apa yang diamati
Nilai 0 : Tidak dilakukan
II. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS
A. Tujuan Pembelajaran
B. Tinjauan Pustaka
Pada pemeriksaan refleks, rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung. Tingkat
kerasnya rangsangan tidak boleh melebihi batas, sehingga justru dapat melukai pasien. Sifat reaksi
setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga otot yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan
relaksasi atau sedikit kontraksi. Pemeriksaan dimulai dari satu sisi dan dibandingkan dengan sisi
kontralateralnya.
Gambar 1. Cara memegang palu refleks
3. Refleks brakhioradialis :
a) Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
b) Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu refleks
c) Respon : muncul gerakan menyentak pada lengan
2. Refleks Achilles
a) Penderita berbaring terlentang
b) Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki lainnya
c) Satu tangan pemeriksa mendorong telapak kaki yang akan diperiksa ke arah dorsal, sedangkan
tangan yang lain mengetuk tendo achilles
d) Respon : plantarfleksi kaki
E. Daftar Pustaka
1. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalan Neurologi. 4th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1999;
429-40.
2. Laboratorium Ketrampilan Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Skills Lab pendidikan ketrampilan keperawatan program
B semester I. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. 2002; 28-38.
3. Neurologie examination Available at :
http://medinfo.ufl.edu/year1/bes/clist/neuro.html.Accessed 19th May, 2005
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
TINJAUAN PUSTAKA
Gerak refleks timbul akibat adanya rangsang, berupa gerakan cepat yang tidak disadari. Ada
3 komponen yang berperan dalam gerak refleks yaitu jaras aferen, busur sentral, dan jaras eferen.
Ketiganya membentuk lengkung refleks (arcus reflex).
Perubahan salah satu atau lebih pada komponen lengkung refleks akan mengakibatkan
perubahan dalam kualitas maupun kuantitas dari refleks. Integritas dari lengkung refleks akan
terganggu jika terdapat malfungsi dari organ reseptor, nervus sensorik, ganglion radiks posterior,
gray matter medula spinal, radiks anterior, motor end plate, atau organ efektor.
1. Refleks Hoffmann-Tromner
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemudian ujung jari tangan pemeriksa yang
lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita,
yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari.
Refleks positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan jika unilateral
indikasi untuk adanya suatu lesi UMN .
2. Grasping refleks
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa di antara ibu jari dan telunjuk
penderita. Maka timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika refleks
ini ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat
pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area
korteks premotorik.
3. Refleks palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral.
Refleks patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
5. Refleks Glabella
Ketukkan tangan pemeriksa ke daerah glabella pasien. Hasil positif jika pasien berkedip
beberapa kali.
6. Refleks Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral menuju
medial (arah ibu jari kaki), orang normal akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki, abduksi
jempol kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki
akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi
masih ada.
7. Refleks Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua
jari telunjuk dan tengah, jika positif maka akan timbul refleks seperti babinski
8. Refleks Gordon
Lakukan dengan memencet otot gastrocnemius . jika positif maka akan timbul refleks seperti
babinski
9. Refleks Schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul refleks seperti
babinski
Nama :
NIM:
Purwokerto, ……………2019
Evaluator
…………………………………
III. PEMERIKSAAAN MENGINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI
RADIX PADA DAERAH VERTEBRALIS
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu :
1. Melakukan pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan tanda iritasi radix pada daerah
vertebralis
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan neurologis pada kasus
low back pain.
TINJAUAN PUSTAKA
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput
otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superfisial. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak.
1. Kaku kuduk
Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan tangan kiri dibawah kepala
pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal kepala ke
anterior, sampai dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat menyentuh dada.
2. Brudzinski’s sign
a. Neck sign
Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil positif bila gerakan
fleksi pasif tersebut disusul dengan gerakan fleksi reflektoris di sendi lutut dan panggul kedua
tungkai.
b. Leg sign
Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul (salah satu tungkainya
dapat diangkat pada sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Hasil positif
jika tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi panggul
c. Cheek sign
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zigomatikum akan disusul gerakan fleksi
reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan
d. Symphisis sign
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi reflektoris pada
kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan tes ini adalah kandung kemih
kosong dan tidak ada fraktur pada os.coxae
3. Kernig’ sign
Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha penderita tegak
lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita diluruskan di sendi lutut. Gerakan ini
akan mendapat tahanan dan sekaligus membangkitkan nyeri pada otot biseps femoris. Hasil positif
apabila ekstensi lutut tidak mencapai 135° oleh karena nyeri dan spasme otot paha sedangkan
tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris.
Cervical syndrome adalah sindrome atau keadaan yang ditimbulkan oleh adanya iritasi atau
kompresi pada radiks saraf servikal ditandai dengan adanya rasa nyeri pada leher yang dijalarkan
ke bahu dan lengan sesuai dengan radiks yang terganggu. Rasa nyeri yang dijalarkan tersebut
disebut nyeri radikuler artinya bahwa rasa nyeri tersebut berpangkal pada tempat perangsangan
dan menjalar ke daerah persarafan radiks yang terkena. Daerah ini sesuai dengan kawasan suatu
dermatom. Untuk mengetahui adanya nyeri di tengkuk yang mungkin bersifat radikuler dapat
dikerjakan tes-tes sebagai berikut:
6. Tes Naffziger
Kedua vena jugularis ditekan dan penderita diuruh mengejan. Dengan ini tekanan intrakranial
ditingkatkan yang akan diteruskan ke sepanjang rongga arakhnoidal medula spinalis. Jika terdapat
proses desak ruang di kanalis vertebralis maka radiks yang terbentang atau teregang mendapat
perangsangan pada saat tes dikerjakan. Oleh karena itu akan timbul rasa nyeri yang dijalarkan
melintasi kawasan dermatomnya.
Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup sering muncul di
pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai hal. Sebab terbanyak kasus low
back pain meliputi trauma muskuloskeletal, penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP),
dan stenosis spinalis. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan,
infeksi tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan diagnosis
pada kasus LBP memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan langkah awal yang sangat menentukan ketepatan penegakan diagnosis pada pasien
LBP.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan
diagnosis LBP antara lain :
5. range of motion
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes yang
dapat membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah.
1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit diletakkan diatas
lutut tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian dilakukan penekanan pada lutut
yang difleksikan tersebut. Hasil positif apabila nyeri pada sendi panggul yang terkena
penyakit
3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai maka tangan
si pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang pada tumit pasien, sedangkan
tangan lain pemeriksa memegang serta menekan pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai
dalam keadaan lurus di sendi panggul menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila
salah satu radiks yang menyususn nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan
dan sebagainya karena HNP atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque membangkitkan
nyeri yang berpangkal pada radiks yang terkena dan menjalar sepanjang perjalanan perifer
ischiadikus
DAFTAR PUSTAKA
1.Bed Periksa
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Kaku kuduk
5 Pastikan tidak ada cedera servikal
6 Letakkan tangan kiri dibawah kepala pasien
7 Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke
kiri
8 Memfleksikan maksimal kepala ke anterior,
sampai dagu menyentuh dada
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
Brudzinski’s Sign
Neck Sign
10 Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu
menyentuh sternum
11 Melaporkan hasil pemeriksaan
Leg Sign
12 Mengangkat salah satu tungkai dalam sikap lurus
pada sendi lutut dan kemudian ditekukkan pada
sendi panggul
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Cheek Sign
14 Menekan pipi kedua sisi tepat di bawah
os.zigomatikum
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Symphisis Sign
16 Pastikan kandung kemih kosong dan tidak ada
fraktur pada os.coxae
17 Menekan pada simfisis pubis
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Kernig’s Sign
19 Memfleksikan sendi panggul 90°
20 Mengekstensikan sendi lutut
21 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI
Keterangan:
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Tes Patrick
5 Meletakkan maleolus eksterna tungkai yang sakit
pada lutut tungkai lainnya
6 Melakukan penekanan pada lutut yang difleksikan
7 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kontrapatrick
8 Mengendorotasikan & mengaduksikan tungkai
yang sakit
9 Menekan sejenak sendi lutut tungkai yang sakit
10 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Laseque
11 Mengangkat tungkai pasien dalam keadaan lurus
dengan cara tangan kanan pemeriksa memegang
tumit pasien
12 Memfiksasi lutut pasien dengan tangan kiri
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Naffziger
14 Menekan kedua vena jugularis dan penderita
disuruh mengejan
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Valsava
16 Meminta penderita posisi duduk
17 Meminta pasien untuk mengejan sewaktu pasien
menahan napas
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kompresi Lhermitte
19 Melakukan kompresi pada kepala penderita dalam
berbagai posisi miring kanan, miring kiri,
tengadah, menunduk
20 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI
Keterangan:
40
LEARNING OUTCOME
TINJAUAN PUSTAKA
Saraf
kranialis dibagi menjadi 12 jenis, yaitu :
Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya bersifat
aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi, vanili, dan
sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa hidung (alkohol, amonia) tidak
dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan yang
diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal
dibandingkan dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal dahulu.
Cara Pemeriksaan :
Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena) akan
menimbulkan positif palsu.
Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus frontalis,
meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan juga bisa hilang
pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis basalis (sifilis,
tuberkulosa).
Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan organik,
pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga yang merangsang N V
(seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap dapat
menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap tidak membau apa-apa maka
kemungkinan kelainan psycis.
Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan retina digunakan PIN HOLE
(apabila penglihatan menjadi lebih jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi).
Lebih tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan
dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana secara normal
dapat dilihat pada jarak 300 m
diperiksa dengan :
a. Tes Konfrontasi.
Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata pemeriksa sisi lain.
Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai denganlapang pandang pasien.
Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang pasien dari 8 arah.
Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut. Bandingkan lapang pandang
pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal
b. Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes konfrontasi.
2.3.Melihat warna
Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk mengetahui adanya polineuropati pada N
II.
Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah
pada papilla N II terdapat :
2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema tetapi papilla tidak menyembung
dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.
2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong
iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang/ ke
atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai
sebagai ptosis.
Inspeksi :
Melihat apakah kelopak mata atas memotong iris pada titik yang sama secara bilateral atau
tidak.
Melihat apakah pasien mendongakkan kepala ke atas untuk melihat objek yang berada di
depan pasien
Melihat apakah pasien cenderung mengangkat alis untuk melihat objek yang berada di depan
Palpasi (untuk menilai ptosis karena kelumpuhan M.levator palpebrae akibat kelumpuhan N III):
Refleks pupil
Terdiri atas :
- Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita disuruh melihat
jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya
dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung
mengenai mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka ada
kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N. Oculomotorius)
- Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti gerak benda
tersebut dimana benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata
penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek
cahayanya negatif namun reflek akomodasi positif.
- Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi pada mata yang lain.
Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar kertas.
Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain akan kontriksi juga.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot sphincter pupil.
Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita disuruh mengikuti suatu benda
kedelapan jurusan.
Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila pada
1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang atau tidak
bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese otot bagian dalam
(otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah satu gangguan
maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar
dan dalam disebut opthalmoplegic totalis
Cara pemeriksaan : meminta penderita untuk menggerakkan bola mata ke berbagai arah
(superior, inferior, medial, temporal, superolateral, superomedial, inferiomedial dan
inferolateral)
Interpretasi hasil : terdapat gerakan bola mata spontan selama jangka waktu tersebut
- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan istirahat
menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh kesadaran, dengan sumbu kedua mata
tetap sejajar secara terus-menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang otak,
bisa lesi destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/ epilepsi fokal &
perdarahan)
1. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
2. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira-kira didaerah otot
maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau
ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras
3. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, posisi penderita dalam keadaan tidur terlentang,
posisi pemeriksa dari atas pasien. Kemudian dari arah lain limbus (tepi) kornea disentuhkan
dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan menutup.
1. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit, sampai tak mendengar
lagi, dibandingkan kanan dan kiri.
2. Gesekan jari
3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih keras,
kanan/ kiri.
4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar lagi
dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik daripada
tulang.
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus deafness atau tranmission
deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup matanya untuk
menghindari kebohongan.
a. Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara itu pemeriksa
melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N XII).
Pemeriksaan :
a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII)
bisa menimbulkan positif palsu.
c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor dan atropi papil
positip
d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Penderita disuruh mengikuti kalimat yang diucapkan oleh
pemeriksa, yaitu: “ular melingkar-lingkar di atas pagar”. Bila terdapat parese maka didapatkan
dysarthria.
DAFTAR PUSTAKA
7. Juwono
T, Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek, Jakarta, EGC, 1996
8. http://endeavor.med.nyu.edu/neurosurgery/cranials.html
9. Lumbantobing, Neurologi Klinik “Pemeriksaan Fisik dan
Mental”, Jakarta, FKUI, 2008
10. Wirawan, Pemeriksaan Neurologi, Semarang, Senat Mahasiswa
Universitas Diponegoro
Nama :
NIM :
No Aspek Yang Dinilai Nilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan
2. Menyiapkan penderita dan meminta
kerjasama penderita dalam pelaksanaan
Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan N. I
3. Kedua mata pasien ditutup
4. Lubang hidung pasien ditutup salah satu
5. Melihat kedua lubang hidung pasien
dengan menggunakan senter, apakah ada
gangguan pengaliran udara
6. Satu persatu bahan didekatkan pada lubang
hidung yang terbuka
7. Meminta pasien menarik napas panjang,
kemudian mengidentifikasi bahan tersebut
Melakukan pemeriksaan N III
8. Melakukan pemeriksaan retraksi
Melakukan pemeriksaan ptosis
9. Inspeksi palpebra superior
10. Meminta pasien menutup mata, kemudian
membukanya
11. Memfiksasi ringan palpebra superior dan
alis mata
Melakukan pemeriksaan pupil
12. Melihat ukuran pupil : isokor/anisokhor
13. Melihat bentuk dan diameter pupil
14. Meminta penderita menutup salah satu
mata. Mengarahkan senter dari samping
untuk menilai reflex cahaya
15. Melakukan pemeriksaan pada mata
kontralateral
Melakukan pemeriksaan gerakan bola
mata N.III, N. IV, N VI
16 Memfiksasi kepala pasien lurus ke depan
17 Meminta penderita menggerakkan bola
mata ke berbagai arah
18 Melakukan pemeriksaan sikap bola mata
19 Melakukan pemeriksaan N. V sensibilitas
20 Melakukan pemeriksaan N.V motorik
21 Melakukan pemeriksaan N.V reflek
22 Melakukan pemeriksaan N. VII atas
perintah pemeriksa
23 Melakukan pemeriksaan N. VII sensorik
khusus
24 Melakukan pemeriksaan N. IX-X gerakan
palatum
25 Melakukan pemeriksaan N. IX-X reflek
muntah dan sensorik
26 Melakukan pemeriksaan N. XI m.
Sternocleidomastoid
27 Melakukan pemeriksaan N. XI M.
Trapezius
28 Melakukan pemeriksaan N. XII
TOTAL NILAI
Keterangan:
56
LEARNING OBJECTIVE
TINJAUAN PUSTAKA
Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik dan sinergik
dalam melakukan gerakan. Pusat koordinasi adalah cerebellum. Gangguan koordinasi dibagi
menjadi:
Gambar 1
3. Tes Fukuda
Penderita diminta untuk berdiri dengan kedua tangan direntangkan ke depan.
Selanjutnya penderita diminta untuk menutup mata dan kedua kaki berjalan di tempat
sebanyak 50x hitungan. Hasil positif apabila terdapat deviasi ke satu sisi lebih dari 30
derajat atau berpindah tepat lebih dari satu meter.
B. Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak,
terutama gerakan halus), diperiksa dengan:
1. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi
abduksi dan ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan
kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
2. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien
diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari
pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan. (Gambar 2)
Gambar 2
3. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta
untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah
bidang horizontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan
cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
4. Disdiadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan
supinasi dengan posisi siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan
mata terbuka atau mata tertutup. (Gambar 3). Disdiadokokinesis pada lidah dapat
dikerjakan dengan meminta penderita menjulurkan dan menarik lidah atau menggerakkan
ke sisi kanan dan kiri secepat mungkin.
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk
pinggiran meja/paha dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal
tangan dengan cepat atau dengan tepukan cepat
jari-jari tangan ke jempol. (Gambar 4)
Gambar 3
Gambar 4
5. Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral,
kemudian diteruskan dengan mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar
5) Variasi dari test ini adalah toe-finger test, yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari
penderita dengan jari-jari kakinya atau dengan cara membuat lingkaran di udara dengan
kakinya. (Gambar 6)
Gambar 5
Gambar 6
6. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah,
siku difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan
bawah tersebut dan penderita diminta menahannya, kemudian dengan mendadak
pemeriksa melepaskan tarikan tersebut tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka
dan badan pemeriksa supaya tidak terpukul oleh lengan penderita sendiri bila ada lesi
cerebellum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Duss P, Diagnosis Topik Neurologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kepokteran EGC; 1996.
2. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC; 1987.
3. Laboratorium Ketrampilan Medik FK UGM. Skills Lab Semester 2 Tahun kademik 1998-
1999. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. 1999
4. Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999
5. Weiner H dan Levitt L. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2001
Penilaian Keterampilan Keseimbangan dan Koordinasi
Nama :
NIM :
Nilai
No Aspek yang dinilai bobot
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri 1
2 Melakukan anamnesis seperlunya 1
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan 1
Meminta penderita untuk berdiri dengan kedua tumit saling
4 1
merapat
Meminta penderita melakukan hal tersebut pada mata terbuka
5 1
kemudian mata tertutup.
6 Melaporkan hasil pemeriksaan. 1
Meminta penderita berjalan pada satu garis lurus di lantai,
7 dengan menempatkan satu tumit langsung di depan ujung jari 1
kaki yang berlawanan.
Meminta penderita melakukan hal tersebut pada mata terbuka
8 1
dan mata tertutup.
9 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita untuk berdiri dengan tangan direntangkan
10 1
kedepan
Meinta penderita untuk menutup mata dan setelah itu
11 meminta penderita untuk berjalan di tempat sebanyak 50x 1
hitungan
12 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita menyentuh ujung hidungnya dengan ujung
13 jari telunjuknya dengan gerakan abduksi dan ekstensi lengan 1
secara komplit.
Meminta penderita melakukan mula-mula dengan perlahan
14 1
kemudian cepat.
Meminta penderita melakukan hal tersebut dengan mata
15 1
terbuka dan mata tertutup.
16 Melaporkan hasil pemeriksaan 1
Meminta penderita menyentuh ujung hidungnya dengan ujung
Keterangan:
1 : tidak dilakukan sama sekali
2 : dilakukan tetapi tidak sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna
VI. KONSELING IMUNISASI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat melakkan konseling imunisasi dengan baik.
2. Mahasiswa dapat menyelesaikan masalah pasien atau mencari alternatif pemecahan
masalah pasien terkait dengan imunisasi.
C. KONSELING
1. DEFINISI
Konseling adalah terjemahan dan kata counseling, mempunyai makna sebagai
hubungan timbal balik antara dua orang individu, dimana yang seorang (konselor)
berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri
dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan
datang (Natawijaya, 1987).
b. Menurut John Mcleod, dalam buku Counselling Skill, adalah sebagai berikut:
Counseling, is an activity which takes place when someone who is troubled
invites and allow another person to enter into a particutular kind of relationship with
them.
c. Menurut Surya (1988), pengertian konseling adalah seluruh upaya bantuan yang
diberikan konselor kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan
kepercayaan diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah
lakunya pada masa yang akan datang. Dalam pembentukan konsep kepribadian yang
sewajarnya mengenai : dirinya sendiri, orang lain, pendapat orang lain tentang dirinya,
tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan kepercayaan diri.
Dalam sebuah proses konseling yang adekuat, berperan dua pihak yang saling
terkait, yaitu seorang konselor dan seorang klien yang menjalin hubungan
profesionalisme.
a. Konselor: Konselor adalah seorang ahil dalam bidang konseling, yang memiliki
kewenangan dan mandat secara profesional untuk melaksanakan pemberian layanan
konseling. Dalam proses konseling, konselor yang aktif mengembangkan proses
konseling melalui pendekatan, teknik dan asas-asas konseling terhadap kilen. Dalam
proses konseling, selain media pembicaraan verbal, konselor juga dapat
menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media pembelajaran
lainnya, serta media pengembangan tingkah laku. Semua itu diupayakan konselor
dengan cara-cara yang cermat dan tepat, demi terentaskannya masalah yang dihadapi
klien.
b. Kilen: Klien adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau setidak-
tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada orang lain.
Klien menanggung semacam beban, uneg-uneg, atau mengalami suatu kekurangan
yang ingin diisi; atau ada suatu yang ingin dan/atau perlu dikembangkan pada dirinya.
Semuanya agar dia mendapatkan suasana pikiran dan/atau perasaan yang Iebih
ringan, memperoleh nilai tambah, hidup lebih berarti, dan hal-hal positif lain nya
selama menjalani hidup seharian dalam rangka kehidupan dirinya secara menyeluruh.
2. TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus:
a. Tujuan umum: Tujuan layanan konseling adalah terentaskannya masalah yang
dialami klien. Upaya pengentasan masalah klien ini dapat berupa mengurangi
intensitasnya atas masalah tersebut, mengurangi intensitas hambatan dan/atau
kerugian yang disebabkan masalah tersebut, dan menghilangkan atau meniadakan
masalah yang dimaksud. Dengan layanan konseling ini beban klien diringankan,
kemampuan klien ditingkatkan dan potensi klien dikembangkan.
b. Tujuan khusus: Klien memahami seluk-beluk masalah yang dialami secara
mendalam dan komprehensif, serta positif dan dinamis. Pemahaman yang dimaksud
mengarah kepada dikembangkannya persepsi dan sikap serta kegiatan demi
terentaskannya secara spesifik masalah yang dihadapi klien. Pengembangan dan
pemeliharaan potensi klien dan berbagai unsur positif yang ada pada dirinya
merupakan latar belakang pemahaman dan pengentasan masalah kilen.
Pengembangan dan pemeliharaan potensi dan unsur-unsur positif yang ada pada diri
klien, diperkuat oleh terentaskannya masalah, dan berkembangnya masalah yang lain.
3. FUNGSI KONSELING
a. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan yang membantu klien agar memiliki
pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan,
dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, klien diharapkan mampu
mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan secara dinamis dankonstruktif.
b. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk
senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya
untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh klien. Melalui fungsi ini, konselor
memberikan bimbingan kepada klien tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan
atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan
adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah
yang perlu diinformasikan kepada klien dalam rangka mencegah terjadinya tingkah
laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok,
penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
c. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih proaktif dari
fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan klien. Konselor
merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya membantu klien mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah layanan
informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home
room, dan karyawisata.
d. Fungsi Perbaikan (Penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif.
Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada yang telah
mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
e. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu klien memilih kegiatan
ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau
jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya
di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
f. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala
Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program
pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan
klien. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai klien,
pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan siswa secara
tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode
dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan
kemampuan dan kecepatan klien.
g. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu klien agar dapat
menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif
4. TEKNIK KONSELING
Teknik-teknik dalam konseling merupakan langkah awal yang harus di pahami oleh
para konselor. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa teknik dalam konseling yang yang
lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar
konseling.
a. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen
kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Hal ini dimaksudkan untuk mengenal klien
beserta gejala-gejala yang nampak, sehingga klien bisa mandiri.
Perilaku attending yang baik dapat :
● Meningkatkan harga diri klien.
● Menciptakan suasana yang aman
● Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik
● Kepala : melakukan anggukan jika setuju
● Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
● Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien
agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
● Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan
tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
● Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai,
diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
● Kepala : kaku
● Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien
sedang bicara, mata melotot
● Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh,
duduk kurang akrab dan berpaling.
● Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi
kesempatan klien berfikir dan berbicara.
● Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
b. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien,
merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati
dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil
terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan,
pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan
terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda”.”Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti
keinginan Anda”.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap
perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan
menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan
konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi
hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk
penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan
apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
c. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan,
pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
● Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan
perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
● Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat
klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal
klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”
● Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-
pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
d. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien.
Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup
diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini
memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
● Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang
tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang
dimaksudkan ….”
● Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat
klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda
tentang sekolah sambil bekerja”.
● Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali
pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman
yang Anda lalui. Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman
tersebut dan pengaruhnya terhadap kesehatan Anda”
e. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi
atau inti ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien,
mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan
kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap
konselor.
Tujuan paraphrasing adalah :
1. untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan
berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien;
2. mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ;
3. memberi arah wawancara konseling; dan
4. pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien :”itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya.
Saya tidak tahu mengapa demikian
Konselor :”Tampaknya anda masih ragu.”
f. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara
mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik
pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak
menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan
menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya,
lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan?
g. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam
hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan
kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk :
1. mengumpulkan informasi;
2. menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan
3. menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog
Klien :” Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar
kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan.
Konselor :”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ?
Klien : “Empat.
Konselor : “Sekarang berapa ?
Klien : “Sebelas.
h. Dorongan minimal (Minimal Encouragement
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang
singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan
ungkapan : oh.., ya.., lalu.., terus.., dan.Tujuan dorongan minimal agar klien terus
berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini
diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan
pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat
konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog
Klien : “Saya putus asa… dan saya nyaris…” (klien menghentikan
pembicaraan)
Konselor : “ya…
Klien : “nekad bunuh diri
Konselor : “lalu…
i. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan
merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk
memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman
dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien :”Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian
membantu orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena
adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi
semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda.
Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan
manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang
harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang
tergolong akan meninggalkan SMA”.
j. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya
menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien : ”Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi
menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor : ”Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan
kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
k. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah
pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk:
1. memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-
hal yang telah dibicarakan;
2. menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap;
3. meningkatkan kualitas diskusi;
4. mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar
semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita
diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja
sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi,
yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi,
dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda
masuki.”
D. IMUNISASI
1. DEFINISI
2. TUJUAN IMUNISASI
a. Tujuan umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
b. Tujuan khusus
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi
lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/kelurahan pada
tahun 2014.
2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per
1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3. Global eradikasi polio pada tahun 2018.
4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit rubella
2020.
5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah medis
(safety injection practise and waste disposal management).
3. MACAM IMUNISASI
a. IMUNISASI DASAR
Jadwal imunisasi nasional (DEPKES 2015) bagi bayi yang lahir di rumah
Umur Jenis vaksin
0-7 hari HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1/HIB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2/HIB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB 3/HIB 3, Polio 4, IPV
9 bulan Campak
Keterangan:
1. TT1 berisi DPT-HB-Hib diberikan usia 2,3,4 bulan
2. TT2 berisi DPT-HB-Hib diberikan usia 18 bulan (memberikan imunitas
selama 3 tahun)
3. TT3 berisi DT diberikan usia 5 tahun (memberikan imunitas selama 5 tahun)
4. TT4 berisi Td diberikan usia 7 tahun (memberikan perlindungan selama 10
tahun)
5. TT4 berisi Td diberikan usia 10 tahun (memberikan perlindungan selama 25
tahun)
HEPATITIS B
1. Merupakan vaksin rekombinan (rekayasa genetik) dari sel ragi yang menghasilkan
antigen HBsAg.
2. Diberikan kepada bayi baru lahir (HB 0), umur 2, 3 dan 4 bulan bersama DPT dan
HIB.
3. Pemberian secara intra muscular di musculus vastus lateralis regio 1/3 medial, dosis
0,5 ml.
4. KIPI : demam, nyeri, syok anafilaktik (jarang).
BCG
1. Singkatan dari Bacillus Calmette Guerin.
2. Komponen aktif berisi Mycobacterium bovis yang dilemahkan (attenuated).
3. Diberikan sebelum usia 3 bulan dosis 0,05 ml di regio musculus deltoid kanan
secara intracutan tanpa proses asepsis terlebih dahulu.
4. Penyajian harus dicampurkan antara antigen dan pelarutnya, sediaan tersebut
bertahan 3 jam setelah pelarutan.
5. KIPI : jika timbul limfadenitis regional di aksila kanan, tidak perlu diobati. Jika
timbul abses mengganggu bisa dipungsi
6. Reaksi Vaksin BCG
a. 1 bulan setelah injeksi timbul bintik eritem.
b. 1 minggu kemudian berubah menjadi papula.
c. 1 minggu kemudian menjadi pustula.
d. 1 minggu kemudian pustula pecah.
e. 1 minggu selanjutnya timbul sikatriks.
DPT
1. Komponen vaksin terdiri dari Difteri (toksin Corynebacterium diphteriae
dilemahkan), Pertusis (Bordetella pertussis dimatikan), dan Tetanus (toksin
Clostridium tetani yang dilemahkan).
2. Pemberian secara intramuscular di regio musculus vastus lateralis 1/3 medial,
dosis 0,5 ml.
3. KIPI : demam (sering), nyeri, abses steril (jarang).
4. Jadwal Imunisasi DPT
a. Imunisasi dasar : umur 2, 3 dan 4 bulan.
b. Ulangan umur 18 bulan (DPT), dan 5 tahun (DT), anak usia lebih dari 7 tahun
diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada
usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
c. Kemasan vaksin DPT mulai tahun 2014 dijadikan satu bersama HIB dan
Hepatitis B, disebut sebagai vaksin pentavalen.
HIB
1. Komponen aktif berisi polisakarida dinding sel Haemophillus influenza B yang
dikonjugasikan dengan toksoid Tetanus untuk memperkuat respons imun.
2. Pemberian secara intramuscular di musculus vastus lateralis regio 1/3 medial dosis
0,5 ml.
3. Jadwal pemberian sesuai vaksin DPT, yaitu pada usia 2, 3 dan 4 bulan (pentavalen)
dan ulangan pada umur 15-18 bulan.
4. Tujuan : untuk mencegah penyakit meningitis akibat infeksi bakteri Haemophillus
influenza B.
5. KIPI : demam dan nyeri di tempat suntikan, akan tetapi kejadian jarang.
POLIO
1. Ada dua jenis vaksin polio:
a. Vaksin berisi virus poliomyelitis dimatikan (Salk), pemberian secara injeksi
intramuscular, dosis 0,5 ml.
b. Vaksin berisi virus poliomyelitis hidup tapi dilemahkan (Sabin), pemberian
secara per oral, dosis 2 tetes.
2. Jadwal pemberian : saat lahir (polio 0), selanjutnya bersamaan pemberian
vaksin DPT usia 2, 3, dan 4 bulan, serta ulangan pada usia 18 bulan.
3. KIPI polio oral : AFP (Acute Flaccide Paralysis), demam, mual, muntah dan
diare (jarang).
4. KIPI polio injeksi : demam dan nyeri pada tempat suntikan (jarang).
CAMPAK
1. Berisi virus morbili yang dilemahkan.
2. Cara pembuatan menggunakan media embryo ayam, sehingga berpotensi reaksi
alergi pada individu yang sesuai.
3. Cara pemberian secara injeksi subcutan, pada regio musculus vastus lateralis 1/3
medial.
4. Jadwal pemberian saat usia 9 bulan.
5. KIPI Imunisasi Campak
a. Demam yang terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, nyeri pada tempat suntikan,
syok anafilaktik.
b. Imunisasi ulangan dilaksanakan pada usia 18 bulan, 6-7 tahun di sekolah
dasar.
E. REFERENSI
Umar, Drs. H. M.dan Drs. Sartono, Bimbingan dan Penyuluhan, CV Pustaka Setia, Bandung
2001
Nurhayati, Dr. Nur, M.Si, Bimbingan Konseling dan Psikoterapi Inovatif, Pustaka pelajar,
yogyakarta 2001
FORM PENILAIAN
SKILL KONSELING IMUNISASI
Nama : ...............................................
NIM : ...............................................
NILAI
No ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
0 = tidak dilakukan
26 26
Purwokerto, .................................
Penguji
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit Hidung Tenggorok,
diperlukan kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ
tersebut.
Hidung
Hidung memiliki fungsi yang penting sebagai jalan nafas, pengatur kondisi udara, penyaring
udara, indra penghidu, resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. Keluhan
utama penyakit atau kelainan hidung dapat berupa sumbatan hidung, secret hidung dan tenggorok,
bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan hidung dan gangguan penghidu.
Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang (hiposmia),
disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan pada hidung.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, sering dijumpai dengan tanda dan gejala
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala. Rasa nyeri dapat bertambah bila
menundukkan kepala dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sinusitis yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksilaris, kemudian sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis
sfenoidalis.
Tenggorok
Tenggorok dibagi menjadi faring dan laring. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. Nasofaring
2. Orofaring
Dinding posterior faring
Fossa tonsil
Tonsil
3. Laringofaring (Hipofaring)
Sedangkan fungsi faring terutama untuk respirasi, proses menelan, resonansi suara dan
artikulasi. Keluhan di daerah faring umumnya berupa nyeri tenggorok (odinofagi), rasa penuh
dahak di tenggorok, rasa ada sumbatan dan sulit menelan (disfagi). Kelainan yang sering
dijumpai pada faring yaitu tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis dan karsinoma nasofaring.
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas
segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Laring berfungsi
untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk
proteksi ialah mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup
aditus laring dan rima glottis secara bersamaan. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing
yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.
Suara parau merupakan gejala penyakit yang khas untuk kelainan tenggorok khususnya laring
terkait dengan fungsi fonasi dari laring. Sedangkan lainnya dapat berupa batuk, disfagi, dan rasa
ada sesuatu di tenggorok. Kelainan yang sering dijumpai pada laring yaitu laryngitis, paralisa
otot laring dan tumor laring.
1. Lampu Kepala
2. Spatel lidah
3. Spekulum hidung
4. Kaca laring
5. Sumber cahaya khusus unttuk pemeriksaan Sinus (transiluminasi)
C. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN
Inspeksi muka
Lihat muka penderita dari depan, kalau dipandang perlu juga dari samping kanan dan
kiri. Perhatikan bentuk muka dan hidung.
4. Memeriksa faring
Tangan kanan memegang spatel, tangan kiri memegang/menahan tengkuk/belakang
kepala penderita. Spatel diletakkan untuk menahan lidah (jangan menekan keras).
Memeriksa : cavum oris dan gigi, orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang
faring. Perhatikan warna, bengkak, tumor, gerakan.
5. Memeriksa hidung
Pemeriksaan Hidung Luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Kelainan-
kelainan yang mungkin didapat adalah
Kelainan kongenital seperti agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior.
Radang, misal selulitis, infeksi spesifik
Kelainan bentuk, misal saddle nose, hidung betet (hump).
Kelainan akibat trauma
Tumor
Rinoskopi Anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai
spekulum hidung. Tangan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas/depan) dan
jari telunjuk (dibawah/belakang) pada engsel speculum. Jari tengah diletakan dekat
hidung, sebelah kanan untuk fiksasi. Jari manis dan kelingking membuka dan menutup
spekulum. Speculum dimasukkan tertutup ke dalam vestibulum nasi setelah masuk baru
dibuka. Tangan kanan bebas : dapat membantu memegang alat-alat pinset dan kait dsb,
menahan kepala dari belakang/tengkuk atau mengatur sikap kepala. Melebarkan nares
anterior dengan meregangkan ala nasi. Melihat jelas dengan menyisihkan rambut hidung.
Mukosa. Dalam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna
merah, pada alergi pucat atau kebiruan (livid)
Septum. Normalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat deviasi,
krista, spina, perforasi, hematoma, abses, dll.
Konka. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi
Sekret. Bila ditemukan sekret perhatikan jumlah, sfat dan lokalisasinya
Massa.
6. Pemeriksaan Sinus Maksillaris dan sinus Frontalis
a. Memalpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di daerah alis ke
arah atas tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu jari.
b. Memalpasi sinus Maksilaris dengan menekan tulang sinus Maksilaris di daerah pipi
dengan menggunakan ibua jari.
c. Pemeriksaan transilluminasi:
1. Membuat ruangan menjadi gelap gulita.
2. Meletakkan sumber cahaya di bawah alis dekat hidung (cantus medialis),
dan menutupi cahayanya dengan tangan yang lain.
3. Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi.
4. Meletakkan sumber cahaya pada bawah mata dengan arah ke bawah
5. Meminta penderita untuk membuka mulut
6. Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Ed.3.1998. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
3. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
Penilaian Keterampilan Pemeriksaan Hidung-Tenggorok
Nama :
Nim :
Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
PERSIAPAN
1 Memperkenalkan diri dan menyapa pasien
2 Menyiapkan peralatan yang diperlukan : lampu kepala, spatula,kaca laring,
spekulum hidung, transiluminator.
3 Menjelaskan prosedur pemeriksaan dan meminta persetujuan kepada pasien
4 Melakukan cuci tangan 6 steps WHO
5 Mengatur posisi pemeriksa dan penderita (kaki kanan pemeriksa bersilangan
kaki kanan penderita atau sebaliknya)
6 Memasang lampu kepala dengan benar
7 Mengarahkan sumber cahaya ke daerah pemeriksaan
PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS
8 Melakukan inspeksi hidung bagian luar. Dilihat apakah ada kelainan
kongenital, deformitas, deviasi, massa, radang
9 Melakukan palpasi hidung bagian luar (menggunakan dua jari telunjuk, raba
dari atas ke bawah). Dinilai apakah nyeri tekan, krepitasi os nasale.
10 Melakukan rinoskopi anterior (memasukan spekulum hidung dengan lembut,
saat masuk posisi tertutup & saat mengeluarkan posisi terbuka)
11 Melakukan palpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di
daerah alis ke arah atas tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu
jari.
12 Melakukan palpasi sinus maksilaris dengan menekan tulang sinus maksilaris
di daerah pipi dengan menggunakan ibu jari.
13 Mematikan lampu ruangan, menutup gorden
14 Melakukan transiluminasi sinus frontalis. Meletakkan sumber cahaya di
bawah alis dekat hidung (cantus medialis), dan menutupi cahayanya dengan
tangan yang lain.
15 Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi
16 Melakukan transiluminasi sinus maxillaris. Meletakkan sumber cahaya pada
bawah mata dengan arah ke bawah. Meminta penderita untuk membuka
mulut.
17 Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum
PEMERIKSAAN CAVUM ORIS DAN OROFARING
18 Melakukan inspeksi daerah bibir
19 Melakukan inspeksi mukosa bukal dan gigi geligi dengan bantuan spatula
lidah & kaca larings
20 Melakukan pemeriksaan orofaring (meminta penderita membuka mulut tanpa
menjulurkan lidah)
21 Menekan bagian lidah yang cembung dengan spatula lidah di linea mediana.
22 Menilai kondisi orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang faring.
Perhatikan warna, bengkak, tumor, gerakan.
23 Membereskan peralatan, masukan dalam cairan klorin, lalu mencuci tangan
24 Mencatat hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada pasien
JUMLAH
0 = tidak dilakukan
-Normal
14 Melakukan pemeriksaan garpu tala Weber
a. Garputala digetarkan
b. Meletakkan tangkai garputala pada
vertex/glabella/tengah incisivus pasien
c. Meminta pasien untuk membandingkan
suara garputala terdengar lebih keras pada salah
satu telinga atau sama keras
d. Interpretasi terdapat lateralisasi atau tidak
e. –CHL
-SNHL
-Normal
15 Melakukan pemeriksaan garpu tala Schwabach
a. Garputala digetarkan
b. Meletakkan garputala pada proc.
Mastoideus pasien, hingga pasien tidak
mendengar suara lagi
c. Meletakkan garputala pada proc.
Mastoideus pemeriksa
d. Interpretasi apakah sama dengan pemeriksa,
memanjang, atau memendek
e. Melakukan sebaliknya (meletakkan
garputala pada proc.Mastoideus pemeriksa)
f.–CHL
-SNHL
-Normal
16 Kesimpulan dari ketiga pemeriksaan garputala
- CHL
- SNHL
- Normal
17 Melaporkan/ menulis hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah
menyelesaikan modul pemeriksaan fisik mata, mahasiswa diharapkan mampu :
B. TINJAUAN PUSTAKA
akukan
Sistem Visual
Cahaya masuk melalui media refrakta (berurutan dari kornea, COA, lensa dan corpus
vitreum). Alat penangkap rangsang cahaya ialah sel batang dan kerucut yang terletak di retina.
Impuls kemudian dihantarkan melalui serabut saraf yang membentuk nervus optikus. Sebagian dari
serabut ini, yaitu serabut yang menghantarkan rangsang yang datang dari bagian medial retina
menyimpang ke sisi lainnya di khiasma optic. Dari khiasma, serabut melanjutkan diri dengan
membentuk traktus optic ke korpus genikulatum lateral, dan setelah bersinaps disini, rangsang
diteruskan melalui traktus genikulokalkarina ke korteks optic. Daerah berakhirnya serabut ini di
korteks disebut korteks striatum (area 17) yang merupakan pusat persepsi cahaya.
Disekitar area 17, terdapat daerah yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area 18
dan 19. Area 18 yang disebut juga area parastriatum atau parareseptif, menerima dan
menginterpretasi impuls dari area 17. Area 19 yaitu korteks peristriatum atau perireseptif,
mempunyai hubungan dengan area 17 dan 18 dan dengan bagian-bagian lain dari korteks. Ia
berfungsi untuk pengenalan dan persepsi visual kompleks, asosiasi visual, revisualisasi, diskriminasi
ukuran dan bentuk, orientasi ruangan serta peenglihatan warna.
Serabut yang mengurus refleks optic pupil setelah melalui khiasma optic dan traktus optic
menyimpang di anterior korpus genikulatum lateral, dan menuju serta bersinaps di nucleus pretektalis
di batang otak (setinggi kolikuli superior). Disini ia bersinaps dengan neuron berikutnya yang
mengirim serabut ke nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini
rangsang kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius (N.III) ke sfingter pupil.
Serabut yang mengurusi refleks somatovisual, yaitu refleks pergerakan bola mata dan kepala
sebagai jawaban terhadap rangsang visual, menuju kolikulus superior dan kemudian melalui fasikulus
medial longitudinal menuju nucleus nervus okulomotorius dan melalui traktus tektospinalis untuk
kemudian menginervasi otot-otot skelet. Selain itu kita juga mengenal traktus kortikotektal internus
yang datang dari area 18 dan 19 di korteks oksipital melalui radiasi optic dan menuju ke kolikulus
superior. Traktus ini juga ikut mengatur refleks dengan jalan berhubungan dengan otot-otot
penggerak bola mata dan struktur lainnya.
Keluhan yang berhubungan dengan sistem visual berupa ketajaman penglihatan berkurang,
lapang pandang berkurang, ada bercak di dalam lapang pandang yang tidak dapat dilihat (skotoma).
Selain itu, fotofobi, yaitu mata mudah silau, takut akan cahaya, yang dapat dijumpai pada penderita
meningitis.
Sistem non visual terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva dan otot-otot
penggerak bola mata. Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra
merupakan alat penutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata dari trauma sinar dan
pengeringan bola mata. Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan
mata yang dapat menyebabkan keratitis et lagoftalmus.
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian yaitu, sistem produksi atau glandula lakrimal yang
terletak di temporoanterosuperior rongga orbita dan sistem ekskresi yang terdiri atas pungtum
lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Film air mata sangat berguna
untuk kesehatan mata. Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya
dilakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis,
maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal.
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea.
Gerak bola mata yang normal ialah gerak terkonjugasi, yaitu gerak bola mata kiri dan kanan
selau bersama-sama, dengan sumbu mata yang sejajar. Disamping itu mata juga melakukan
konvergensi yaitu sumbu mata saling berdekatan dan menyilang pada objek fiksasi. Otot-otot
penggerak bola mata melakukan fungsi ganda tergantung letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi
otot.
1. m. Oblikus inferior
Dipersarafi N.III, bekerja menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi
2. m. Oblikus superior
Dipersarafi N.IV, berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi terutama bila mata melihat ke
nasal, abduksi dan insiklorotasi.
3. m. Rektus inferior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi menggerakkan bola mata depresi, eksiklorotasi dan aduksi.
4. m. Rektus lateral
Dipersarafi oleh N.VI, dengan fungsi abduksi bola mata.
5. m. Rektus medius
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi untuk aduksi bola mata
6. m. Rektus superior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi pada elevasi, aduksi dan insiklorotasi bola mata.
1. Optotype snellen
2. Oftalmoskop
3. Tonometer
4. Loupe dengan slitlamp
5. Kampimeter
6. Fluorescein
7. Ishihara book
8. Papan placido
9. Senter
10. Kasa dan kapas
D. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN
I. Inspeksi
Perhatikan :
Adakah exopthalmos (Dengan penggaris, dibandingkan kanan dan kiri. normal sampai 16 mm
dan pasti patologis apabila > 20 mm.)
Simetriskah exopthalmus ini
II. Pemeriksaan visus
1. Mata penderita ditetesi dulu dengan midriatikum dan dibiarkan selama 5 menit didalam kamar
gelap.
2. Pemeriksa dan penderita didalam kamar gelap di samping meja dan lampu pijar pada jarak
kurang lebih 50 cm.
3. Sinar yang datang dari lampu dipantulan oleh cermin datar atau cekung, masuk ke pupil
penderita.
4. Pemeriksa menilai kejernihan : cornea, COA, lensa dan corpus vitreum (media -refrakta ).
Apabila media refrakta jernih, maka dari jauh saja pemeriksa dapat melihat refleksi fundus yang
berwarna merah jingga cemerlang.
V. Pemeriksaan funduscopi :
A. Metode konfrontasi
1. Pemeriksa dan penderita saling berhadapan.
2. Satu mata penderita yang akan diperiksa memandang lurus kedepan (kearah mata
pemeriksa).
3. Mata yang lain ditutup
4. Bila yang akan diperiksa mata kanan, maka mata kanan pemeriksa juga dipejamkan.
5. Tangan pemeriksa direntangkan, salah satu tangan pemeriksa atau kedua tangan
pemeriksa digerak-gerakkan dan penderita diminta untuk menunjuk ke arah tangan yang
bergerak (dari belakang penderita).
B. Metode Kampimeter
1. Dalam ruang, penderita duduk menghadap kampimeter.
2. Pemeriksa berdiri disamping penderita.
3. Mata penderita yang tak diperiksa ditutup.
4. Mata yang diperiksa berada pada posisi lurus dengan titik tengah kampimeter. Pandangan
lurus ke depan (titik tengah kampimeter).
5. Pemeriksa menggerakkan obyek dari perifer menuju ketitik tengah kampimeter.
6. Bila penderita telah melihat obyek tersebut, maka pemeriksa memberi tanda pada
kampimeter.
7. Demikian dilakukan sampai 360 derajat sehingga dapat digambarkan lapangan
pandang dari mata yang diperiksa.
Di bagian mata biasanya tes ini dilakukan bila kita curiga adanya Keratitis Herpetika, dimana
sensibilitas korneanya menurun.
E. DAFTAR PUSTAKA
Nama :
NIM :
Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1. Menyapa pasien dengan ramah
2. Menjelaskan dan meminta persetujuan
kepada pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan
3. Inspeksi orbita dan daerah sekitarnya
4. Melakukan pemeriksaan visus
menggunakan optotype snellen
5. Melakukan pemeriksaan lapangan pandang
menggunakan tes konfrontasi
6. Melakukan pemeriksaan papan placido
7. Melakukan pemeriksaan tonometri digital
Pemeriksaan oftalmoskopi
8. Melakukan pemeriksaan fundus reflek
9. Melakukan pemeriksaan funduskopi
10. Melakukan pemeriksan otot penggerak
bola mata
11. Melakukan pemeriksaan tes buta warna
TOTAL NILAI
IX. PEMERIKSAAN SEGEMEN
ANTERIOR MATA
a. Anamnesis
Pertama sebelum melakukan anamensis, yang perlu ditanyakan adalah identitas pasien secara
lengkap, yaitu meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, status pernikahan, agama
dan ras. Seperti prosedur pemeriksaan klinis pada umumnya, anamnesis menggunakan
Fundamental Four dan Sacred Seven.
Pertanyaan pada Foundamenal Four yaitu menggali :
1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Riwayat penyakit sekarang (RPS) meliputi keluhan utama dan anamensis lanjutan.
Keluhan utama adalah keluhan yang membuat pasien datang ke tempat pelayanan
kesehatan untuk mencari pertolongan. Setelah menanyakan keluhan utama dilanjutkan
dengan anamnesis untuk menanyakan 7 hal (Sacred Seven), yaitu :
a. Lokasi
b. Onset/awitan dan kronologis
c. Kuantitas keluhan
d. Faktor-faktor yang memperberat keluhan
e. Faktor-faktor yang memperingan keluhan
f. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama
12. Supercilia
Melakukan inspeksi pada supercilia (alis mata), dinilai apakah ada madarosis atau tidak.
13. Palpebrae
- Meminta pasien untuk menutup mata, dinilai apakah ada lagoftalmus atau tidak.
- Meminta pasien untuk membuka mata, dinilai apakah ada blefaroptosis atau tidak.
14. Cilia
Melakukan inspeksi pada cilia, dinilai apakah ada madarosis, trikiasis, distikiasis
21. Sklera
Melakukan inspeksi menggunakan senter pada sklera, dinilai apakah ada ikterik
22. Kornea
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan (sudut 0ᵒ),
inspeksi dan nilai ada infiltrat atau tidak.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari sudut 45ᵒ, inspeksi
dan nilai ada keratik presipitat atau tidak.
- Pemeriksa meminta pasien untuk sedikit menunduk dan mata tetap terbuka lebar,
kemudian pemeriksa berada di samping pasien dan mengarahkan senter dari samping
(sudut 90ᵒ), inspeksi dan nilai apakah ada keratoconus , keratoglobus.
24. Iris
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan, inspeksi dan
nilai bagaimana warna iris, kripte, nodul, sinekhia
25. Pupil
- Untuk melihat refleks miosis pupil akibat suatu penyinaran pada mata, baik reaksi
penyinaran langsung pada mata yang bersangkutan atau refleks tidak langsung pada
mata yang lainnya
- Menggunakan pen light
- Mata pasien fiksasi pada jarak tertentu
- Berikan objek yang bisa di lihat dan dikenali ( Gambar atau benda )
- Sumber cahaya haruslah terang dan mudah di manipulasi
- Observasi general pupil : bentuk, ukuran, lokasi, warna iris, kelainan bawaan , dan
kelainan lain.
- Rangsangan cahaya diberikan 2-5 detik.
- Refleks pupil langsung ( Unconsensual) :
Respon pupil langsung di nilai ketika diberikan cahaya yang terang , pupil akan
miosis ( mengecil ). Dilakukan pada masing-masing mata
Pada refleks langsung (+) atau normal berarti terdapat visus dan motorik saraf III
berfungsi baik
- Refleks pupil tidak langsung ( consensual ) :
Dinilai bila cahaya diberikan pada salah satu mata , diusahakan sinar tidal masuk
pada mata yang lain,
Dilihat keadaan pupil mata yang tidak disinari apakah terjadi miosis (mengecil) pada
saat penyinaran mata sebelahnya
26. Lensa
- Meminta pasien untuk melihat lurus ke depan.
- Pemeriksa berada di depan pasien dan mengarahkan senter dari depan (0ᵒ), inspeksi
dan nilai apakah lensa jernih atau terdapat kekeruhan.
- Tes bayangan iris
o Untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa
o Menggunakan Lampu sentolop, loupe
o Sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45⁰ dengan dataran iris
o Dengan loupe dilihat bayanagn iris pada lensa yang keruh
o Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil
berarti lensa belum keruh seluruhnya ( belum sampai ke depan), ini terjadi pada
katarak imatur, keadaan ini disebut shadow test (+)
o Bila bayangan iris pada lensa terlihat kecil dan letaknya dkat terhadap pupil
berarti lensa sudah keruh seluruhnya (sampai kapsul anterior lensa), ini terjadi
pada katarak matur, keadaan ini disebut shadow test (-)
DAFTAR PUSTAKA
Leibowitz HM., JacobsDH., 2000. The Red Eye. N.Engl.J. Med. 3;343(5):345-51
Cronau,H., Reddy R.K.,Mauger, T.,, 2010. Diagnosis And Management Of Red
EyeIn Primary Care, American Family Physician, 81(2): 137-14.
X. PEMERIKSAAN UKK
I. DEFINISI
IV. MATERI
A. ANAMNESIS (HISTORY TAKING)
Anamnesis merupakan upaya penggalian informasi terkait dengan keluhan yang
dialami oleh pasien yang dapat dilakukan secara langsung pada pasien
(autoanamnesis) atau dengan orang lain yang mengerti riwayat kesehatan pasien
(alloanamnesis). Pada sistem integument, sebelum melakukan anamnesis, kita juga
perlu melihat sekilas lokasi dan konfigurasi lesi, untuk membantu mempersempit
diagnosis banding yang akan kita gali informasinya.
Pada sistem integument (berdasarkan SKDI 2012), daftar masalah / keluhan yang
sering disampaikan oleh pasien di antaranya :
Kulit gatal
Kulit nyeri
Kulit mati rasa
Kulit berubah warna (menjadi putih, merah, hitam atau kuning)
Kulit kering
Kulit berminyak
Kulit menebal
Kulit menipis
Kulit bersisik
Kulit lecet, luka, tukak
Kulit bernanah
Kulit melepuh
Ruam kulit
Benjolan kulit
Luka gores, tusuk, sayat
Luka bakar
Kuku nyeri
Kuku berubah warna atau bentuk
Ketombe
Rambut rontok
Kebotakan
Anamnesis yang baik dan lengkap berdasarkan Sacred Seven and Fundamental Four.
Fundamental Four meliputi riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial ekonomi.
Selain jabaran episode penyakit, pada RPD juga perlu kita gali informasi penyakit-
penyakit sistemik lainnya yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya kelainan
kulit yang dialami. Penyakit-penyakit sistemik seperti kelainan endokrin, vascular,
ginjal, hepar, alergi-imunologi, kelainan jaringan ikat sering kali bermanifestasi ke
kulit. Perlu dicatat pula obat-obatan yang dikonsumsi karena sering kali obat-obatan
dalam sistem integument memiliki pengaruh metabolism obat-obatan yang lain bila
digunakan secara bersama-sama.
a. Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dijabarkan dalam status dermotologis yang meliputi : lokasi,
morfologi kelainan kulit (UKK/efloresensi), konfigurasi dan distribusi.
INSPEKSI
UKK Primer
Merupakan gambaran kelainan yang muncul pada kulit yang sebeumnya normal
Macam-macam UKK primer :
3. Plak : papul datar, peninggian kulit yang porsi luas permukaan lebih besar
daripada tingginya, ukurannya lebih dari 1 cm.
6. Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.
7. Vesikel : gelembung berisi cairan serum, memiliki atap dan dasar,
diameter kurang dari 1 cm.
8. Bula : vesikel yang berukuran lebih dari 1cm
Konfigurasi Lesi
Konfigurasi lesi merupakan susunan bentuk lesi, terdiri dari :
4. Verukosus : berdungkul-dungkul
seperti bunga kol
5. Herpetiformis : bergerombol
Distribusi Lesi
Merupakan deskripsi sebaran lesi, terdiri dari :
1. Universal : meliputi area seluruh
tubuh
Ontoh : folikulitis
PALPASI
Dalam melakukan pemeriksaan kulit, palpasi harus selalu dilakukan bersama-sama. Adapun
tujuan palpasi :
• Untuk merasakan tekstur dan konsistensi lesi (halus/kasar, batas tegas/tdk, fluktuasi,
kedalaman lesi, mobilitas)
• Untuk merasakan adanya perubahan suhu, nyeri tekan
• Untuk meyakinkan pasien jika kita tidak takut dengan penyakit kulitnya.
b. Pemeriksaan Rambut
Pemeriksaan rambut juga meliputi inspeksi dan palpasi.
Inspeksi Rambut
Pada inspeksi rambut dilihat :
1. Warna rambut
2. Distribusi rambut : rambut tebal merata/rambut menipis/alopesia
3. Tekstur rambut : kering/kasar/kusam, diameter rambut tebal/tipis
4. Lain-lain : kutu, dll
INSPEKSI
1. Bentuk kuku : normal / anonikia /
2. Warna kuku
3. Kelengkungan kuku
4. Keterlibatan daerah seputar kuku
PALPASI
1. PSORIASIS
Selain dengan gambaran UKK-nya yang berupa papul plak eritematosa berbatas tegas
dengan skuama tebal berlapis, psoriasis juga mempunyai gambaran klinis khas lainnya,
yaitu :
a. Fenomena Koebner. Fenomena ini merupakan gambaran lesi serupa dengan lesi di
tempat lain pada daerah bekas trauma.
Fenomena Koebner merupakan pemeriksaan fisik, namun dalam kenyataannya kita
tidak dapat melakukan provokasi trauma, sehingga fenomena ini biasanya didapatkan
melalui anamnesis atau pada saat mendeskripsikan UKK, bila ada gambaran lesi
psoriasis yang linear, biasanya merupakan fenomena Koebner.
Fenomena Koebner bukan merupakan tanda patognomonik psoriasis karena dapat
terjadi pada moluskum kontagiosum, veruka vulgaris dan liken planus.
b. Tanda Auspitz. Tanda ini kita dapatkan dengan cara mengelupas skuama selapis demi
selapis pada lesi yang cukup tebal, sehingga akan tampak bitnik-bintik perdarahan
yang semakin banyak. Hal ini menunjukkan terjadinya papilomatosis pada dermis
penderita psoriasis. Tanda Auspitz merupakan tanda patognomonik psoriasis.
2. SKABIES
Salah satu tanda cardinal scabies adalah adanya kanalikuli, hanya saja kanalikuli pada
scabies sulit ditemukan karena kanalikuli yang terbentuk kebanyakan mengarah ke dalam
(sumur), jarang serpiginosa seperti pada creeping eruption. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan fisik tambahan untuk mencari kanalikuli yaitu dengan Burrow Ink Test
dengan cara mengoleskan lesi yang kita curigai terdapat kanalikuli dengan menggunakan
tinta cina/metilen blue dan didiamkan selama 20 – 30 menit, kemudian dibersihkan
dengan kapas alkohol. Hasil positif bila terdapat retensi tinta yang tidak dapat dihapus.
Raba Halus : dengan menggunakan ujung kapas yang dipilin, kita mengoleskan
kapas pada lesi akromia dan dibandingkan degan kulit sekitarnya.
Nyeri : dengan menggunakan tusuk gigi kayu yang mempunyai ujung tajam dan
tumpul (terstandar), kita tusukkan pada lesi akromia dan dibandingkan dengan
kulit sekitarnya.
Suhu : dengan menggunakan tabung reaksi berisi air panas (40oC) dan air dingin
(20oC) disentuhkan pada lesi akromia dan dibandingan dengan kulit sekitarnya.
Pemeriksaan tidak terbatas pada lesi kulit, tapi juga harus dilakukan pada kedua
telapak tangan dan kaki.
Kesimpulan :
o Terdapat penebalan /pembesaran n.auricularis magnus D/S
o Apakah nyeri atau tidak pada saraf
N. Ulnaris
Pasien diminta menggulung lengan baju hingga di atas siku.
1. Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa, agar
otot rileks sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon / seperti berjabat
tangan.
2. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambal
meraba saraf ulnaris dalam sulkus n. ulnaris (lekukan di antara tonjolan
olecranon dan epicondilus medialis.
3. Membedakan saraf dengan tendon dengan cara meraba kea rah proksimal.
Tendon jika kita raba proksimalnya otot, sedangkan saraf akan teraba seperti
kabel.
4. Dengan tekanan ringan diraba n. ulnaris dan telusuri ke atas sambal melihat
ekspresi penderita apakh tampak kesakitan/tidak.
5. Prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral.
Kesimpulan :
Kesimpulan :
1. Informed consent
2. Menjaga privacy pasien dengan menutup pintu, jendela dan tirai
3. Menenangkan pasien dan memposisikan area yang akan diperiksa. Namun idealnya
pemeriksaan kulit dilakukan dengan pasien membuka seluruh pakaiannya.
4. Menyalakan lampu pemeriksaan
5. Mencuci tangan
6. Mengenakan sarung tangan non-steril.
7. Melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan palpasi dengan menggunakan kaca pembesar.
8. Mendeskripsikan status dermatologi dengan lengkap dan benar meliputi :
i. Lokasi/predileksi lesi
ii. Morfologi kelainan kulit / UKK – UKK Primer dan sekunder, konfigurasi
iii. Distribusi lesi.
9. Pemeriksaan fisik tambahan untuk penyakit-penyakit tertentu harus dilakukan.
10. Setelah selesai, melepas sarung tangan, mencuci tangan dan mematikan lampu
pemeriksaan dan mempersilahkan pasien mengenakan pakaian dan kembali ke meja
anamnesis.
V. REFERENSI
1. Goldsmith IA et. al. 2015. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine , 8 th ed.
McGraw Hill. New York.
2. Owen, BM, Stratford CJ. 1995. Leprosy Review. Assessment of the methods
available for testing sensation in leprosy patients in a rural setting.
3. Trozack DJ, et.al. 2006. Dermatology skill for primary care. Humana Press. Ney
Jersey.
PENILAIAN ANAMNESIS
Nama Mahasiswa :
NIM. :
Skor
No Poin Penilaian
0 1 2 3
1. Salam perkenalan dan dapat
menanyakan identitas pasien (nama,
umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, suku, alamat tempat tinggal
tetap)
2. Dapat menanyakan keluhan utama pasien
(mahasiswa harus melihat lesi terlebih
dahulu sebelum memulai anamnesis)
3. Dapat menggali informasi keluhan utama
dalam Sacred 7 meliputi : onset, lokasi,
kronologi, kualitas, kuantitias, faktor yang
memperberat/memperingan, gejala
penyerta
4. Dapat menggali informasi riwayat
penyakit dahulu yang terdiri dari :
Penyakit baru pertama kali/kambuhan
Riwayat pengobatan penyakit kulit
sebelumnya
Riwayat penyakit sistemik dan alergi
Riwayat pengobatan penyakit sistemik
dan alergi
5. Dapat menggali informasi dari riwayat
penyakit keluarga yang terdiri dari :
Ada/tidaknya penyakit yang sama
dalam keluarga
Ada/tidaknya riwayat alergi dalam
keluarga
6. Dapat menggali informasi riwayat sosial
ekonomi terkait dengan faktor
predisposisi timbulnya penyakit.
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Higiene dan sanitasi pribadi
Higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggal
Pola dan gaya hidup
Purwokert..............................2015
Instruktur,
(..................................................)
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna
PENILAIAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN
Nama Mahasiswa :
NIM. :
Skor
No Poin Penilaian
0 1 2 3
1. Melakukan informed consent
2. Menjaga privacy pasien dengan menutup
pintu, jendela dan tirai
3. Menenangkan pasien dan memposisikan
area yang akan diperiksa. Namun idealnya
pemeriksaan kulit dilakukan dengan
pasien membuka seluruh pakaiannya.
(Pasien boleh dalam posisi duduk /
berdiri)
4. Menyalakan lampu pemeriksaan
5. Mencuci tangan
6. Mengenakan sarung tangan non-steril.
7. Melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan
palpasi dengan menggunakan kaca
pembesar.
8. Mendeskripsikan status dermatologi
dengan lengkap dan benar meliputi :
Lokasi/predileksi lesi
Morfologi kelainan kulit / UKK –
UKK Primer dan sekunder,
konfigurasi
Distribusi lesi
9. Dapat melakukan pemeriksaan fisik
tambahan yang diperlukan untuk
memperkuat diagnosis (pada penyakit-
penyakit tertentu)
10. Setelah selesai, melepas sarung tangan,
mencuci tangan dan mematikan lampu
pemeriksaan dan mempersilahkan pasien
mengenakan pakaian dan kembali ke meja
anamnesis.
11. Dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan
dengan benar / mampu menegakkan
diagnosis dengan benar
Purwokert..................................2019
Instruktur,
(..........................................)
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna
XI. PEMERIKSAAN MOTORIK
LEARNING OUTCOME
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem motorik adalah sistem yang bertanggung jawab terhadap kerja kelompok-kelompok otot,
yaitu inisiasi gerakan volunter dan terampil. Serabut-serabut motorik bersama sama input yang
berasal dari sistem-sistem yang terlibat dalam kontrol gerakan yang meliputi sistem ekstrapiramidal,
vestibular, serebellar, dan proprioceptive afferent semuanya bergabung didalam badan-badan sel
neuron pada cornu anterior medulla spinalis. Dari sel cornu anterior impuls dibawa ke otot.
Evaluasi sistem motorik dibagi menjadi :
- massa otot
- tonus otot
- kekuatan otot
Massa otot
- Pemeriksaan diawali dengan inspeksi baik proksimal dan distal tiap daerah yang diperiksa
saat posisi pasien duduk maupun berbaring
- Bandingkan kesimetrisan kontur massa otot dengan sisi lainnya
- Amati apakah ada penurunan massa otot ( hipotrofi ), hipertrofi atau atrofi ( otot yang
mengecil ), hal ini tampak dari berkurangnya massa dan penampakan otot yang kendur
Tonus otot
Tonus otot adalah kontraksi otot yang selalu dipertahankan keberadaanya oleh otot itu sendiri atau
dapat di definisikan sebagai sedikit ketegangan residual pada otot yang rileks secara volunter.
Pemeriksaan tonus otot :
- Mintalah pasien untuk berbaring telentang pada meja pemeriksaan dan rileks
- Pada pemeriksaan anggota gerak atas : tangan pemeriksa memegang siku pasien untuk
menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi siku berulangkali
secara perlahan kemudian secara cepat.
- Pada pemeriksaan anggota gerak bawah : tangan pemeriksa memegang tungkai bawah pasien
untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi lutut
berulangkali secara perlahan kemudian secara cepat
- Pemeriksaan clonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan 90 pada lutut dan
pergelangan kaki. Secara cepat dorsofleksikan pergelangan kaki
- Tonus yang meningkat (hipertonus) dirasakan dengan tingkat kesulitan / ada hambatan dalam
gerakan fleksi-ekstensi pada sendi yang diperiksa
- Tonus yang menurun ( hipotonus ) tidak terasa ada hambatan dalam gerakan fleksi-ekstensi
pada sendi yang diperiksa, atau mudah dikenali dengan tanda ekstremitas terasa terkulai
- Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya
Kekuatan otot
Prosedur pemeriksaan :
1. Jelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien
2. Prinsip pada pemeriksaan kekuatan otot : pemeriksa dan pasien harus bekerjasama jika ingin
mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat
3. Lingkungan selama pelaksanaan tes harus tenang dan suhu ruangan harus dibuat senyaman
mungkin (tidak terlalu panas/terlalu dingin)
4. Periksalah apakah terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi/ kontraktur, spastisitas atau
nyeri yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan
5. Pemeriksaan dilakukan secara berurutan mulai posisi duduk,supine,side lying, kemudian
prone
6. Posisikan pasien dengan hati-hati dan upayakan melakukan tes secara berurutan sehingga
perubahan posisi selama pemeriksaan dapat seminimal mungkin
7. Lakukan pemeriksaan mulai dari posisi melawan gravitasi, jika pasien tidak mampu, ubah
keposisi anti-gravitasi, jika pasien mampu melakukan, lanjutkan dengan memberikan
tahanan, tahanan diberikan pada pertengahan gerakan
8. Pada saat pemeriksaan, fiksasi dilakukan di bagian proksimal dari otot yang akan dinilai
0 (zero) Tidak ada kontraksi otot sama sekali baik pada inspeksi maupun palpasi
1( trace) Otot tidak mampu bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh dalam bidang
horizontal, hanya terlihat gerakan otot minimal / teraba kontraksi oleh pemeriksa
2 (poor) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh tetapi tidak dapat
melawan gravitasi, atau hanya dapat bergerak dalam bidang horizontal
3 (fair) Kemampuan otot bergerak bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan
gravitasi namun tidak dapat melawan tahanan yang ringan sekalipun
4 (good) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
serta dapat melawan tahanan yang ringan sampai sedang
5 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
(normal) serta dapat melawan tahanan maksimal
Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi 3+, atau 5-.
PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS ATAS
-Bahu diposisikan
90 dari posisi
Deltoid Axilaris, abduksi
C5,C6
-Pemeriksa
Abduksi Bahu memberikan
tahanan kearah
Supraspinatus Suprascapulari
adduksi, dengan
s, C5,C6
lokasi tahanan pada
distal humerus
-Pasien pada posisi
Pektoralis Pectoralis supine, dengan
Mayor medial/lateral, bahu diposisikan
C5, T1 120 dari posisi
Adduksi Bahu abduksi dan siku
Latissimus dorsi Thoracodorsali
fleksi
s, C6-8
Teres Mayor Subscapularis -Pemeriksa
bawah, C5,C6 memberikan
tahanan pada
lengan kearah
abduksi
-Otot
brachioradialis
adalah otot primer
fleksi siku dengan
posisi lengan ibu
jari ke atas
-Siku pada posisi
fleksi untuk
mencegah
stabilisasi dan
menemukan
Ekstensi siku Triceps Radialis, kelemahan dari otot
C6,C7
-Pemeriksa
memberi tahanan
pada arah fleksi
lengan pasien
ketika pasien
melakukan ekstensi
siku
-Lengan pada
posisi pronasi
Pronator Anterior -Pemeriksa
quadratus Interoseus memberikan
cabang tahanan supinasi
medianus pada distal lengan
Pronasi siku
-Pronator teres
dapat diperiksa
Pronator teres Medianus ,
ketika posisi siku
C6,C7
90
-Siku ekstensi
dengan posisi
Supinasi siku Supinator Radialis , lengan supinasi
C5,C6 penuh posisi ini
menghambat
asistensi dari
Biceps brachii Musculocutane
biceps
us, C5,C6
- Pemeriksa
memberikan
tahanan dengan
melakukan pronasi
pada lengan daerah
distal
-Pergelangan
tangan diposisikan
fleksi penuh dan
jari-jari ekstensi
-Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
Fleksor carpi Medianus ekstensi
radialis ,C6,C8 pergelangan tangan
pada daerah
midpalmar
-Fleksor carpi
Fleksi pergelangan radialis dapat
tangan diperiksa dengan
posisi pergelangan
Fleksor carpi Ulnaris, C6,C8
tangan deviasi
ulnaris
radial dan fleksi
penuh. Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelangan tangan
dan melakukan
deviasi ulnar
- Fleksor carpi
ulnaris dapat
diperiksa dengan
posisi pergelangan
tangan deviasi
ulnar dan fleksi
penuh. Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelanagn tangan
dan deviasi radial
-Pergelangan tangan
ekstensi penuh pada
posisi netral
Ekstensor carpi Radialis ,
radialis longus C6,C7 -Pemeriksa
memberikan tahanan
dengan melakukan
Ekstensi fleksi pergelangan
pergelangan tangan pasien pada
tangan daerah dorsum
Ekstensor carpi Radialis ,
tangan
radialis brevis C6,C7
-Untuk memeriksa
ekstensor carpi
radialis longus
pergelangan tangan
pasien diposisikan
deviasi radial dan
Ekstensor carpi Radialis
ekstensi penuh
ulnaris ,C7,C8
-Pemeriksa
melakukan fleksi
dan deviasi ulnar
pergelangan tangan
-Untuk memeriksa
ekstensor carpi
ulnaris pergelangan
tangan pada posisi
deviasi ulnar dan
ekstensi penuh.
Pemeriksa
melakukan fleksi
dan deviasi radial
pergelangan tangan
pasien sebagai
tahanan
- Periksalah tangan
Fleksor digitorum pasien, cari atrofi
profundus otot intrinsik, thenar,
hipothenar.
Fleksor digitorum
Medianus, - Periksalah
superfisial
C8 genggaman pasien
Fleksi jari-jari dengan meminta
Fleksor pollicis
penderita
longus
menggenggam jari
pemeriksa sekuatnya
Medianus, dan tidak melepas
Instrinsik Ulnaris genggaman saat
(hipotenar.interosse C8,T1 pemeriksa mencoba
i,tenar,lumbricalis) menarik jarinya.
Normal pemeriksa
tidak dapat menarik
jari dari genggaman
pasien. Bandingkan
dengan sisi kontra
lateral
- Periksalah
Opponen policis Medianus, kekuatan oposisi
C8,T1 ibujari dengan
meminta pasien
Fleksor policis Medianus,
menyentuhkan ujung
brevis Ulnaris,
Oposisi Ibu jari ibujari dengan jari
C8,T1
jelunjuknya sendiri
dan melawan
tahanan
Abduktor policis Medianus,
pemeriksa.bandingka
brevis C8,T1
n dengan sisi kontra
lateral.
- Periksalah otot
intrinsik tangan
sekali lagi, dengan
meminta pasien
Abduksi jari Abduktor digiti Ulnaris, abduksi pada semua
minimi T1 jari dan melawan
tahanan pemeriksa.
Normal pasien dapat
menahan tekanan
pemeriksa.
PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS BAWAH
-Duduk : panggul
pada posisi fleksi saat
pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul
-Pasien pada posisi
prone, dilakukan
ekstensi panggul
dengan lutut dalam
Ekstensi Gluteus maksimus L5,S1-2 keadaan fleksi 90
Panggul
-Pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul, tahanan
diberikan pada
posterior paha
-Abduksi panggul
dapat diperiksa dalam
posisi berbaring
miring/duduk
-Pasien posisi
berbaring miring
Abduksi Gluteus medius L4-5,S1 dengan abduksi
panggul panggul, Pemeriksa
berusaha melakukan
adduksi panggul,
tahanan pada distal
lateral paha
-Posisi duduk
:panggul keadaan
abduksi, pemeriksa
melakukan adduksi
panggul,tahanan
pada distal lateral
paha
-Pasien berbaring
miring, kaki pasien
Adduktor brevis Obturator, L2-4 dalam posisi abduksi,
pasien diminta
melakukan adduksi
kaki sisi bawah
-Pemeriksa berusaha
Adduktor longus,
melakukan abduksi
adductor magnus Obturator, L3-4
Adduksi kaki sisi bawah
bagian anterior
panggul dengan memberikan
tahanan pada medial
paha bagian distal
-Pemeriksaan dapat
Pectineus Femoral juga dilakukan
/obturator, L2-3 dengan posisi pasien
duduk, dengan
panggul adduksi,
pemeriksa berusaha
melakukan abduksi
panggul, tahanan
diberikan pada medial
paha bagian distal.
-Pemeriksa berusaha
melakukan fleksi
kaki, dengan
memberikan tekanan
pada permukaan
anterior tibia.
-Pergelangan kaki
ditempatkan dalam
posisi dorso fleksi
-Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
Tibialis anterior fleksi pergelangan
Ekstensor digitorum kaki,dengan
Dorsofleksi longus Peroneus memberikan tahanan
pergelangan Ekstensor halluces profundus L4-5, dari dorsum kaki
kaki longus S1
-Untuk memeriksa
tibialis anterior, posisi
pergelangan kaki
inversi dan
dorsofleksi penuh.
Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
fleksi dan eversi kaki
-Untuk memeriksa
ekstensor digitorum
longus, pergelangan
kaki pada posisi
eversi dan dorsofleksi
penuh. Pemeriksa
berusaha melakukan
plantarfleksi dan
inversi pergelangan
kaki
-Posisikan
pergelangan kaki
pada plantar fleksi
-Pemeriksa
melakukan dorsifleksi
kaki, dengan
Plantarfleksi Gastrocnemius Tibialis, S1-2 memberikan tekanan
pergelangan Soleus pada permukaan
kaki plantar kaki
- Untuk menguji
gastrocnemius, lutut
dalam posisi ekstensi
-Untuk menguji
soleus, lutut dalam
posisi fleksi
Total
KET:
0 : bila tidak dikerjakan
1 : bila dikerjakan, tetapi tidak sempurna
2 : bila dikerjakan dengan sempurna
Nilai: total score x 100
54
Tujuan Pembelajaran
TINJAUAN PUSTAKA
Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh dokter dan
pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut merujuk pada aplikasi secara luas maupun
secara sempit pembalutan untuk tujuan terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak
diterapkan dengan benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan
pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik intravaskuler, jika membalut bertujuan untuk
mengurangi pembentukan oedema tanpa meningkatkan tahanan vaskuler yang dapat merusak aliran
darah.
Tujuan:
Mitella:
Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai
ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm
Pembalut ini dipergunakan pada bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung
bagian anggota badan yang cedera
Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul,
telapak kaki, dan untuk menggantung lengan.
Dasi:
Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga agar beberapa lapis
dan berbentukseperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan lebamya antara 5-10cm.
Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain),
rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.
Pita ( Gulung ):
Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan elastis.
Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah menyerap air, darah dan
tidak mudah bergeser ( Kendor).
Macam-macam pembalut dan penggunaannya :
Lebar 2,5 cm - Biasa untuk jari-jari
Lebar 7,5 cm - Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki
Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang terkilir, untuk
merekatkan pada kelainan patah tulang.
Khusus untuk penutup luka, biasa dilengkapi dengan obat anti septik
1. Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup luka dan steril,
baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada
badan.
2. Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman. Biasa
dipergunakan pada luka-luka kecil
Kasa Steril
Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil yang sudah
diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik).
Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut.
Prosedur pembalutan
2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan ! dapat salah satu atau kombinanasi
3. Sebelum dibalut jika luka terbuka periu diberi desinfektan atau dibalut den< pembalut yang
mengandung desinfektan atau dislokasi periu direposisi
b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik
secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b, atau diikatkan
pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada tempat dan
kepentingannya
a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-
masing ujung lancip
b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya saling
menarik
a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan pita ukuran lebar yang
sesuai
b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang diletakkan dari
proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan dibalut kemudian dari distal
ke proksimal dibebatkan dengan. arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih antara
bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya
c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang lain secukupnya
4. Cara membalut dengan plester
Biasanya dijual dalam bahan yang steril dan baru dibuka pada saat akan digunakan
Pelaksanaan latihan
1. Elastik perban
2. Kain mitella
3. Plester
4. Pembalut yang spesifik
5. Kassa steril
4.Mengerti cara-cara transportasi, yang meliputi tindakan sebelum dan selama serta masalah yang
timbul sewaktu dilakukan transportasi.
TINJAUAN TEORI
Semua ekstremitas
yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai yang kaku untuk menjaga dan
melindungi ekstremitas yang cedera. Pada patah tulang terbuka atau luka lain, luka harus ditutup
dulu dengan kassa, status vaskuler dan neurologis ekstremitas tersebut harus diperiksa sebelum dan
sesudah imobilisasi. Tujuan immobilisasi :
1. Mengurangi nyeri
2. Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang cedera dan jaringan lunak yang cedera (ujung
fragmen tulang yang tajam dapat mencederai syaraf, pembuluh darah dan otot).
4. Memudahkan transportasi
1. Lepas pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera, periksa adanya luka terbuka
atau tanda-tanda patah dan distokasi
2. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian distal yang
mengalami cedera sebelum dan sesudah imobilisasi.
4. Imobilisasi pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai parah atau dislokasi)
5. Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan imobilisasi kecuali ada ditempat bahaya
7. Lakukah tarikan secara periahan sampai lurus sumbu tulang sehingga dapat dipasang bidai yang
benar. Tarikan /traksi segera dilepas bila saat diperiksa tampak cyanotik dan nadi lemah.
8. Pada kecurigaaan trauma tulang belakaog letakkan pada posisi satu garis.
MACAM-MACAM BIDAI/SPLINT
1. Rigid splint
3. Traction splint
Bila tidak ada bidai bisa dicoba
3. Bahan-bahan lain bisa, dipakai seperti guling, majalah yang digulung, dll
1. Lengan atas
Pegang siku dan tarik ke bawah, setelah lurus bidai dipasang dan lengan dipertahankan dengan
sling dan ke dinding dada
2. Lengan bawah :
Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai kontra traksi. Bidai dipasang
dilengan bawah dan dielevasi.
3. Tungkai atas/paha
Luruskan tulang paha dengan melakukan tarikan didaerah pergelangan kaki jika tulang tungkai
bawah tidak patah.
Lakukan tarikan didaerah pergelangan kaki dan kontra traksi diatas lutut, dikerjakan bila tulang
paha utuh, setelah lurus bidai dipasang.
PEMBIDAIAN
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang
digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak
(immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.
Syarat-syarat pembidaian
2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih dulu
pada anggota badan korban yang tidak sakit
5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah
1. Diperlukan 4 orang, orang ke 1 mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher, orang ke 2
untuk badan (termasuk pelvis dan panggul), orang ke 3 pelvis dan tungkai, orang ke 4 mengatur
prosedur ini dan memasang/mencabut spine-board.
2. Dilakukan kesegarisan kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal
semirigid.
4. Tungkai bawah diluruskan dan kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang ke 2 memegang penderita
daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke 3 memasukkan tangan dan memegang panggul
penderita dengan 1 tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua
pergelangan kaki
6. Dengan komando orang pertama (yang mempertahankan kesegarisan kepala dan leher) dilakukan
logroll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada disisi penderita, hanya diperlukan
pemutaran minimal untuk memasukkan spineboard dibawah penderita.
7. Setelah spine board dibawah penderita dan dilakukan logroll ke arah spineboard.
8. Pasang bantalan disisi kiri - kanan kepala dan leher penderita . Kemudian pengikat dipasang
(kepala, dada, pelvis, paha dan diatas pergelangan kaki)
TRANSPORTASI/PENGANGKUTAN
Pengangkutan korban merupakan upaya penting dalam proses pemberian pertolongan. Cara-
cara pengangkutan korban yang mengalami cedera secara benar.perlu diketahui dan dikuasai:
1. Sambil jongkok lutut penolong disamping kiri korban. Lengan dan tangan kanan penolong
dimasukkan dibawah leher korban, kemudian tangan kanan penolong di sebelah ketiak kanan
korban sehingga sampai ke depan dadanya.
2. Tangan kiri penolong menyilangkan lengan kanan korban didadanya, kemudian tangan kanan
penolong memegang tangan kanan korban.
3. Kemudian lengan dan tangan kiri penolong dimasukkan dibawah ketiak kiri korban dan
memegang lengan kanan korban.
4. Kedua tangan penofong saling bertaut melingkari lengan bawah kanan korban.
7. Korban didekatkan ke dada penolong, kemudian penolong berdiri dan menarik korban sejauh
mungkin dalam keadaan setengah baring.
8. Di tempat yang aman korban dibaringkan lagi secara hati-hati untuk dilakukan resusitasi.
Penderita harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat penderita sestabil mungkin sebelum
dilakukan trasnportasi ke tempat yang mempunyai fasilitas /untuk melakukan tindakan definitif.
Nama :
NIM :
Pemberian obat parenteral merupakan pemberian obat yang dilakukan dengan menyuntikkan
obat tersebut ke jaringan tubuh. Pemberian obat melalui parenteral dapat dilakukan dengan
cara:
Subcutaneous (SC) yaitu menyuntikkan obat ke dalam jaringan yang berada dibawah
lapisan dermis.
Intradermal (ID) yaitu menyuntikkan obat ke dalam lapisan dermis, dibawah epidermis
Intramuscular (IM) yaitu muenyontikkan obat ke dalam lapisan otot tubuh Intravenous
(IV) yaitu menyuntikkan obat ke dalam vena
Selain keempat cara diatas, dokter juga sering menggunakan cara intrathecal.atau intraspinal,
intracardial, intrapleural, intraarterial dan intraarticular untuk pemberian obat perenteral ini.
Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, obat disiapkan dan diberikan
dengan menggunakan prinsip steril. Larutan obat, jarum dan spuit yang telah terkontaminasi,
akan menyebabkan terjadinya infeksi. Obat-obat yang diberikan melalui parenteral ini diabsorbsi
lebih cepat dibandingkan obat yang diberikan melalui sistem gastrointestinal, karena obat tidak
perlu melewati barier jaringan epitel pada organ gastrointestinal sebelum akhirnya masuk ke
dalam sirkulasi darah. Obat intra muscular diabsorbsi lebih cepat daripada oabt subcutaneous
atau ontradermal, karena otot memiliki jaringan pembuluh darah yang lebih banyak daripada
kulit atau jaringan subkutan. Obat intradermal merupakan obat yang diabsorbsi paling lambat
karena obat harus melalui beberapa jaringan epitel sebelum akhirnya masuk kedalam pembuluh
darah. Karena itu cara intradermal digunakan untuk menyuntikkan zat asing untuk mengetahui
reaksi organ dan jaringan terhadap adanya alergi, yang biasa disebut skin test. Absorbsi melalui
subcutaneos relatif lambat tetapi efektif untuk absobsi sejumlah obat yang tidak diabsorbsi
melalui sistem gastointestinal.
Keuntungan pemberian obat melalui parenteral adalah obat dapat diabsorbsi dengan
cepat melalui pembuluh darah. Cara parenteral ini dapat dilakukan jika obat tidak dapat
diabsorbsi melalui sistem gastrointestinal atau malah akan dihancurkan olehnya. Obat juga
diberikan pada klien yang tidak sadar atau tidak kooperatif yang tidak dapat atau tidak mau
menelan obat oral.
Disamping keuntungan diatas, terdapat beberapa kerugian pada pemberian obat melalui
parenteral ini. Klien, terutama anak-anak akan merasa cemas jika akan disuntuk. Penyuntikan
akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan tidak nyaman pada klien. Iritasi atau reaksi lokal
dapat terjadi akibat efek obat pada jaringan. Pemberian obat melalui parenteral juga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi, kerena itu diperlukan penggunaaan tehnik steril untuk
menyiapkan dan memberikan obat ini. Pemberian obat perenteral ini kontraindikasi untuk klien
yang mengalami masalah perdarahan atau sedang mendapatkan terapi antikoagulan.
Obat yang disuntikkan ke dalam tubuh dapat berupa larutan cair atau suspensi. Larutan cair
disiapkan dalam tiga bentuk : ampul, vial dan unit disposible. Untuk memberikan obat melalui
parenteral ini diperlukan spuit yang ukurannya bervariasi dari 0,5 ml nirigga 50 ml. Spuit yang
lebih dari 5 ml jarang digunakan untuk menyuntik SC atau IM. Spuit yang lebih besar biasanya
digunakan untuk menyuntikkan obat melalui IV. Spuit insulin berukuran 0,5 - 1 ml dan
dikalibrasi dalam unit. Spuit tuberkulin berukuran 1 ml dan dikalibrasi dalam mililiter. Spuit
tuberkulin ini digunakan untuk memberikan obat dibawah ml.
Obat dalam ampul dan vial dipersiapkan dengan menggunakan teknik aseptik dan
diberikan melalui parenteral. Sebelumnya perlu diperhatikan dan dikaji kondisi larutan
(kejernihan cairan, adanya/tidaknya endapan, warna cairan sesuai dengan label) serta tanggal
kadaluarsa obat pada label vial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menyiapkan obat
dan vial:
Jika obat perlu dicampurkan, ikuti petunjuk pada vial
Pertahankan kesterilan spuit, jarum dan obat saat menyiapkannya.
PROSEDUR:
1. Cuci tangan
2. Siapkan alat-alat
3. Periksa label obat dengan catatan pemberian obat atau kartu obaf sesuai prinsip 5 benar
4. Lakukan perhitungan dosis sesuai yang diperlukan
5. Pegang ampul dan turunkan cairan di atas leher ampul dengan menjentikkan leher ampul
atau putarkan dengan cara merotasjikan pergelangan tangan
6. Usapkan kapas alkohol di sekeliling leher ampul dengan tangan dominan, tempatkan jari
tangan non dominan di sekeiiling bagian bawah ampul dengan ibu jari melawan sudut
7. Patahkan tutup ampul dengan menjauhi diri dan orang yang ada di dekat anda
8. Tempatkan tutup ampul pada kertas atau buang di tempat khusus
9. Buka tutup jarum
10. Tekan plunger hingga habis, jangan aspirasi udara ke dalam spuit
Hal-hal yang harus diperhatikan :
- Alergen yang digunakan untuk test dapat menyebabkan reaksi sensitivitas atau alergi.
- Yakinkan tersedianya obat antidot (epinephrine hydrochloride, bronchodilator dan
antihistamin) di unit sebelum dimulai
- Reaksi alergi atau sensitivitas ini dapat FATAL
• Tanda-tanda pada tempat tusukan (memar, kemerahan, kerusakan kulit, nodul atau edema)
• Faktor yang menentukan ukuran jarum yang sesuai (umur dan ukuran tubuh klien, tempat
injeksi, viskositas dan efek sisa dan obat
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
• Jika obat mual atau nyeri diberikan dalam bentuk yang berbeda (oral, parenteral atau
rektal), biarkan Klien memilih sebelum menyiapkan obat.
• Jika klien confuse, diperlukan bantuan untuk menstabilkan tempat tusukan dan mencegah
kerusakan jaringan dari jarum
0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna
0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung tangan
1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien dan pilih vena dari arah distal
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan masukkan dalam
menghadap ke atas
17 Melakukan aspirasi dan pastikan darah masuk spuit*
18 Membuka torniquet*
19 Memasukkan obat secara perlahan
20 Mencabut spuit dengan sudut yang sama sambil tangan yang
lain segera menekankan kapas alkohol 70 % di tempat
tusukan.
0 = tidak dilakukan/disebut
sama sekali 1 =dilakukan tapi
kurang sempurna