Anda di halaman 1dari 42

KEPERAWATAN ANAK

“PEMERIKSAAN FISIK PADA ANAK”

DOSEN PEMBIMBING :
Ibu Hj. ERNAWATI, SKP., M.Kep

DISUSUN OLEH :
D-IV TINGKAT III/SEMESTER 5

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PRODI D-IV JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
PEMERIKSAAN FISIK PADA ANAK

Pemeriksan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu
sistem atau suatu organ tubuh dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan
mendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond,2009; Terj D. Lyrawati,2009).
Teknik dalam pemeriksaan fisik :
1) Inspeksi adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat.
Langkah kerja :
 Atur pencahayaan yang cukup.
 Atur suhu dan suasana ruangan nyaman.
 Posisi pemeriksa sebelah kanan pasien.
 Buka bagian yang diperiksa .
 Perhatikan kesan pertama pasien : perilaku, ekspresi, penanmpilan umum, pakainan, postur
tubuh, dan gerakan dengan waktu cukup.
 Lakukan inspeksi secara sistematis, bila perlu bandingkan bagian sisi tubuh pasien.

2) Palpasi adalah pemeriksaan dengan perabaan, menggunakan rasa propioseptif ujung jari dan tangan.
Cara kerja :
 Daerah yang diperiksa bebas dari gangguan yang menutupi.
 Cuci tangan.
 Beritahu pasien tentang prosedur dan tujuannnya.
 Yakinkan tangan hangat tidak dingin.
 Lakukan perabaan secara sistematis , untuk menentukan ukuran, bentuk, konsistensi dan
permukaan :
 Jari telunjuk dan ibu jari --> menentukan besar/ukuran.
 Jari 2,3,4 bersama --> menentukan konsistensi dan kualitas benda.
 Jari dan telapak tangan --> merasakan getaran.
 Sedikit tekanan --> menentukan rasa sakit.

3) Perkusi adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk permukaan badan dengan cara perantara jari
tangan, untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh.
Cara Kerja :
 Lepas Pakaian sesuai dengan keperluan.
 Luruskan jari tengah kiri, dengan ujung jari tekan pada permukaan yang akan diperkusi.
 Lakukan ketukan dengan ujung jari tengah kanan diatas jari kiri, dengan lentur dan cepat,
dengan menggunakan pergerakan pergelangan tangan.
 Lakukan perkusi secara sistematis sesuai dengan keperluan.

4) Auskultasi adalah pemeriksaan mendengarkan suara dalam tubuh dengan menggunakan alat
stetoskop.
Bagian-bagian stetoskop :
 Ear Pieces --> dihubungkan dengan telinga.
 Sisi Bell ( Cup ) --> pemeriksaan thorak atau bunyi dengan nada rendah.
 Sisi diafragma ( membran ) --> Pemeriksaan abdomen atau bunyi dengan nada tinggi.
Cara Kerja :
 Ciptakan suasana tenang dan aman
 Pasang Ear piece pada telinga
 Pastikan posisi stetoskop tepat dan dapat didengar
 Pada bagian sisi membran dapat digosok biar hangat
 Lakukan pemeriksaan dengan sistematis sesuai dengan kebutuhan.
1. PEMERIKSAAN FISIK KEPALA
a. Inspeksi
a. Lihat bentuk kepala :
Normal (dolichepalus/lonjong, brakhiocephalus/bulat)

Makrosefali (hydrocephalus/pembesaran kepala)

Mikrosefali

Deformitas (tumor, trauma).

Trauma
Lihat kesimetrisan dan pergerakan kepala. Lihat kebersihan kulit kepala : apakah ada
Ketombe

ataupun kutu kepala

b. Inspeksi rambut: periksa warna, kekeringan, alopesia, kelebatan, distribusi, dan bau
rambut.

1) Malnutrisi atau kwarshiorkor, rambut menjadi pirang seperti rambut jagung, atau
belang-belang seperti bendera-“flag sign”- kering, mudah rontok hingga menjadi tipis
, tidak berkilat, bila tadinya keriting menjadi lurus.
2) Uban yang timbul diusia muda mungkin karena keturunan, anemia perniciosa,
penyakit simmond atau karena trauma emosionil yang berat.
3) Rambut yang mudah rontok pada DM, hipertiroidisme, syphilis tampak menjadi
botak terutama dibagian belakang seperti dimakan ngengat “moth eaten appearance”,
juga pada demam tiroid, myxedema, atau karena jamur pada rambut atau kulit kepala.
c. Lihat bentuk, warna, dan ekspresi wajah
Beberapa kelainan pada wajah antara lain :
1) Eksoftalmus : mata menonjol keluar disebabkan oleh peningkatan tekanan intra
okuler (misalnya karena tumor pada orbital)

2) Akromegali : ditandai dengan membesarnya tulang kepala , terutama tampak didahi,


hidung dan rahang bawah. Hidung, bibir dan telinga membesar karena hormone
pertumbuhan yang terlalu banyak.

3) Pasien dengan peningkatan hormon adrenal atau yang sedang menjalani terapi
hormone adrenal, mungkin mengalami sindrom cushing, wajah berbentuk bundar
(moon face) dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan.

4) Pasien yang menderita gagal ginjal kronis memiliki wajah yang pucat dan edema di
sekitar mata.

5) Pasien gangguan hati berat memiliki wajah ikterik.


6) Pasien yang menderita penyakit katup mitral memiliki wajah kemerahan.
7) Sianosis: nyata ditemukan pada orang yang mempunyai cacat jantung bawaan disertai
shunt dari kanan ke kiri , PPOK ,payah jantung , keadaan hipoksia lainnya.

8) Wajah merah seperti buah ceri ditemukan pada pasien fase akut keracunan CO atau
CN.
9) Pasien dehidrasi memiliki wajah “facies hipocrates” (hidung tajam, mata cekung,
pelipis di sekitar dahi dasar, teregang, mongering dan terasa panas, wajah penderita
kelihatan berwarna hijau, hitam kebiruan, atau kelihatan seperti warna timah ).

10) Pasien lepra : wajah “facies leonine” (wajah seperti wajah seekor singa) alis mata
rontok, cuping telinga memanjang dan pengerutan wajah premature.

11) Pasien hipertrofi tonsil dan adenoid : wajah “facies adenoid“ (tampak seperti orang
bodoh, lubang hidung besar, mulut selalu terbuka).
12) Paralisis N.VII satu sisi: wajah asimetris, otot wajah pada sisi yang terkena
mengalami kelumpuhan dan penderita tidak mampu bersiul. Kalau diminta
mengerutkan dahi maka sisi yang terkena tetap licin dan kelopak mata pada sisi yang
terkena tidak dapat di tutup.
13) Penyakit Parkinson menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan untuk
berekspresi dan menggerkan otot wajah (wajah tampak kaku disebut masklike face,
wajah seperti memakai topeng, tak bermimik, disertai alis mata meninggi dan
immobilitas wajah). Hal ini disebabkan oleh kelainan neurologis yang bersifat
degenerative dan progresif.
14) Ekspresi wajah dapat menunjukkan watak dan emosi atau keadaan sakit
d. Palpasi
Rasakan adanya masa pada kepala, adanya perubahan kontur tengkorak, atau
diskontinuitas tengkorak. Tanyakan apakah pasien merasa nyeri, minta pasien untuk
menunjukkan dan jangan lanjutkan palpasi. Periksa adanya nyeri tekan, minta pasien
untuk menunjukkan dan jangan lanjutkan palpasi. Periksa adanya nyeri tekan, fontanella
cekung/tidak (pada bayi).
e. Perkusi
Nyeri ketuk: pada daerah sinus atau mastoid yang terkena sinusitis dan mastoiditis.

2. PEMERIKSAAN FISIK MATA


Menurut Priharjo :
a. Inspeksi
Dalam inspeksi, bagian-bagian mata yang perlu diamati adalah bolat mata, kelopak mata,
konjungtiva, sclera, dan pupil.
Cara inspeksi mata
1) Amati bola mata terhadap adanya protrusi, gerakan mata, lapang pandang, dan visus.
2) Amati kelopak mata, perhatikan bentuk dan setiap kelainan dengan cara sebagai
berikut:
a) Anjurkan pasien melihat ke depan.
b) Bandingkan mata kanan dan mata kiri.
c) Anjurkan pasien menutup kedua mata.
d) Amati bentuk dan keadaan kulit pada kelopak mata, serta pada bagian pinggir
kelopak mata, catat setiap ada kelainan, misalnya adanya kemerah-merahan.
e) Amati pertumbuhan rambut pada kelopak mata terkait dengan ada/tidaknya bulu
mata, dan posisi bulu mata.
f) Perhatikan keluasan mata dalam membuka dan catat bila ada dropping kelopak
mata atas atau sewaktu mata membuka (ptosis).
3) Amati konjungtiva dan sclera dengan cara sebagai berikut:
a) Anjurkan pasien untuk melihat lurus ke depan.
b) Amati konjungtiva untuk mengetahui ada/tidaknya kemerah-merahan. Keadaan
vaskularisasi, serta lokasinya.
c) Tarik kelopak mata bagian bawah ke bawah dengan menggunakan ibu jari
d) Amati keadaan konjungtiva dan kantong konjungtiva bagian bawah, catat bila
didapatkan infeksi atau pus atau bila warnanya tidak normal, misalnya anemic.
e) Bila diperlukan, amati konjungtiva bagian atas, yaitu dengan cara
membuka/membalikkelopak mata atas dengan perawat berdiri di belakang pasien.
f) Amati warna sclera saat memeriksa konjungtiva yang pada keadaan tertentu
warnanya dapat menjadi ikterik.
4) Amati warna iris serta ukuran dan bentuk pupil. Kemudian lanjutkan dengan
mengevaluasi reaksi pupil terhadap cahaya. Normalnya bentuk pupil adalah sama besar
(isokor). Pupil yang mengecil disebut miosis, amat kecil disebut pinpoint, sedangkan
pupil yang melebar/dilatasi disebut midriasis.

Cara inspeksi gerakan mata


a) Anjurkan pasien untuk melihat lurus ke depan.
b) Amati apakah kedua mata tetap diam atau bergerak secara spontan (nistagmus) yaitu gerakan
ritmis bola mata, mula-mula lambat bergerak ke satu arah, kemudian dengan cepat kembali ke
posisi semula.
c) Bila ditemukan adanya nistagmus, amati bentuk, frekuensi (cepat atau lambat), amplitude
(luas/sempit), dan durasinya (hari/minggu).
d) Amati apakah kedua mata memandang lurus ke depan atau salah satu mengalami deviasi.
e) Luruskan jari telunjuk anda dan dekatkan dengan jarak sekitar 15-30cm.
f) Beri tahu pasien untuk mengikuti gerakan jari anda dan pertahankan posisi kepala pasien.
Gerakkan jari anda ke delapan arah untuk mengetahui fungsi 6 otot mata.
Cara inspeksi lapang pandang
a) Berdiri di depan pasien.
b) Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan cara menutup mata yang tidak diperiksa.
c) Beri tahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada satu titik pandang,
misalnya hidung anda.
d) Gerakkan jari anda pada suatu garis vertical/dari samping, dekatkan ke mata pasien sevara
perlahan-lahan.
e) Anjurkan pasien untuk memberitahu sewaktu mulai melihat jari anda.
f) Kaji mata sebelahnya.

Pemeriksaan visus (ketajaman penglihatan)


a) Siapkan kartu snellen atau kartu yang lain untuk pasien dewasa atau kartu gambar untuk anak-
anak.
b) Atur kursi tempat duduk pasien dengan jarak 5 atau 6 meter dari kartu snellen.
c) Atur penerangan yang memadai sehingga kartu dapat dibaca dengan jelas.
d) Beritahu pasien untuk menutup mata kiri dengan satu tangan.
e) Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan cara pasien suruh membaca mulai dari huruf yang
paling besar menuju huruf yang kecil dan catat tulisan terakhir yang masih dapat dibaca oleh
pasien.
f) Selanjutnya lakukan pemeriksaan mata kiri.
Kartu snellen dibuat sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat optic mata
(nodal point) membentuk sudut sebesar 50° untuk jarak tertentu. Hasil pemeriksaan visus ditulis
secara terpisah antara mata kanan (OD) dan mata kiri (OS) yang dinyatakan dengan
oembilang/penyebut. Pembilang menyatakan jarak antara kartu snellen dengan mata, sedangkan
penyebut menyatakan jarak suatu huruf tertentu harus dapat dilihat oleh mata yang normal.
Misalnya, visus 5/5 berarti pada jarak 5 meter mata masih dapat melihat huruf yang seharusnya
dapat dibaca pada jarak 5 meter. Visus X/60 berarti pada jarak X maksimal yang oleh orang normal
masih dapat dilihat dari jarak 60 meter. Visus 1/300 berarti pada jarak 1 meter mata masih dapat
melihat gerakan tangan pemeriksa yang pada mata normal masih dapat dilihat dari jarak 300 meter.
Visus 1/∞ berarti mata hanya dapat membedakan gelap dan terang. Visus O berarti mata tidak dapat
membedakan gelap dan terang.
3. PEMERIKSAAN FISIK TELINGA

a. Pemeriksaan daun telinga, lubang telinga dan membran tympani


1) Atur posisi pasien duduk
2) Perawat berdiri di sebelah sisi pasien, amati daun telinga dan catat : bentuk, adanya lesi
atau bejolan.
3) tarik daun telinga ke belakang atas, amati lubang telinga luar, catat adanya : lesi,
cerumen, dan cairan yang keluar.
4) Gerakkan daun telinga, tekan tragus dan catat adanya nyeri telinga.catat adanya nyeri
telinga.
5) Masukkan spikulum telinga, dengan lampu kepala / othoskop amati lubang telinga dan
catat adanya : cerumen atau cairan, adanya benjolan dan tanda radang.
6) Kemudian perhatikan membrane tympani, catat : warna, bentuk, dan keutuhannya.
(normal : warna putih mengkilat/transparan kebiruan, datar dan utuh)
7) Lakukan prosedur 1-6 pada sisi telinga yang lain.

b. Pemeriksaan fungsi pendengaran


Tujuan : menentukan adanya penurunan pendengaran dan menentukan jenis tuli persepsi
atau konduksi.
Tekhnik pemeriksaan :
1) Voice Test ( tes bisik )
Cara Kerja :
Dengan suara bilangan
a) Perawat di belakang pasien dengan jarak 4-6 meter.
b) Bagian telinga yang tidak diperiksa ditutup.
c) Bisikkan suatu bilangan (tujuh enam).
d) Beritahu pasien untuk mengulangi bilangan tersebut.
e) Bandingkan dengan telinga kiri dan kanan.
Dengan suara detik arloji
a) Pegang arloji disamping telinga pasien.
b) Beritahu pasien menyatakan apakah mendengar arloji atau tidak.
c) Kemudian jauhkan, sampai pasien tidak mendengar (normal : masih terdengar
pada jarak 30 cm).
d) Lakukan pada kedua sisi telinga dan bandingkan.

2) Test garputala
a) Rinne test
i. Perawat duduk di sebelah sisi pasien.
ii. Getarkan garputala, dengan menekan jari garputala dengan dua jari tangan.
iii. letakkan pangkal garputala pada tulang mastoid, dan jelaskan pasien agar
memberitahu bila tidak merasakan getaran.
iv. Bila pasien tidak merasakan getaran, dekatkan ujung jari garputala pada lubang
telinga, dan anjurkan penderita agar memberutahu mendengar suara getaran
atau tidah. Normalnya : pasien masih mendengar saat ujung garputala
didekatkan pada lubang telinga.

b) Weber test
i. Getarkan garpu tala.
ii. Letakkan pangkal garputala di tengah-tengah dahi pasien.
iii. Tanya kepada pasien, sebelah mana teinga mendengar lebih keras (lateralisasi
kana/kiri). Normalnya getaran didengar sama antara kanan dan kiri.

c) Scwabach Test
i. Getarkan garputala
ii. Letakkan ujung jari garputala pada lugang telinga pasien.
iii. Kemudian sampai pasien tidak mendengar, lalu bandingkan dengan pemeriksa.

3) Test Audiometri

4. PEMERIKSAAN FISIK HIDUNG


Menurut Lynn :
Prosedur Tindakan Pemeriksaan Hidung dan Sinus
a. Inspeksi dan palpasi hidung bagian luar dan sinus – sinus
1) Pemeriksa duduk di hadapan pasien.
2) Amati bentuk dan kulit hidung, catat : kesimetrisan, adanya benjolan, tanda radang,
dan bentuk khusus hidung.
3) Palpasi hidung, catat : kelenturan dan adanya nyeri.
4) Palpasi 4 sinus hidung (frontalis, etmoidalis, spenoidalis, maksilaris), catat : adanya
nyeri tekan.
b. Inspeksi hidung bagian dalam
1) Pemeriksa duduk di hadapan pasien.
2) Pakai lampu kepala dan elevasikan ujung hidung dengan jari.
3) Amati lubang hidung luar, catat : benjolan, tanda radang pada batas lubang hidung, keadaan
septum nasi.
4) Masukkan spekulum hidung, amati lubang hidung bagian dalam, catat : benjolan, tanda
radang pada batas lubang hidung, keadaan septum nasi.

c. Pemeriksaan potensi hidung


1) Duduklah di hadapan pasien.
2) Tekan salah satu lubang hidung, beritahu pasien untuk menghembuskan napas lewat hidung.
3) Lakukan bergantian, suruh pasien merasakan apakah ada hambatan, dan bandingkan kanan
dan kiri.
d. Pemeriksaan Fungsi penghidu
1) Mata pasien dipejamkan.
2) Salah satu lubang hidung ditekan.
3) Gunakan bahan yang mudah dikenali, dekatkan ke lubang hidung dan minta pasien untuk
menebaknya.
4) Lakukan pada ke dua sisi.

5. PEMERIKSAAN FISIK MULUT


Menurut Wong :
a. Inspeksi
1) Pasien duduk berhadapan dengan pemeriksa dengan tinggi yang sejajar.
2) Amati bibir untuk mengetahui adanya kelainan kongenital, bibir sumbing, warna bibir
(pucat, kemerahan, sianosis), ulkus, lesi dan massa.
3) Lanjutkan pengamatan pada gigi dengan pasien dianjurkan membuka mulut.
4) Atur pencahayaan yang memadai dan bila diperlukan, gunakan penekan lidah untuk
menekan lidah sehingga gigi akan tampak lebih jelas.
5) Amati keadaan setiap gigi mengenai posisi, jarak, gigi rahang atas dan bawah, ukuran,
warna, lesi, atau adanya tumor. Amati juga secara khusus pada akar-akar gigi dan gusi.
6) Pemeriksaan setiap gigi dengan cara mengetuk secara sistematis, bandingkan gigi bagian
kiri, kanan, atas dan bawah dan anjurkan pasien untuk memberi tahu bila merasa nyeri
sewaktu diketuk.
7) Perhatikan pula ciri-ciri umum sewaktu melakukan pengkajian antara lain: kebersihan
mulut dan bau mulut.
8) Lanjutkan pengamatan pada lidah dan perhatikan kesimetrisannya. Suruh pasien
menjulurkan lidah dan amati mengenai kelurusan, warna, ulkus maupun setiap ada
kelainan.
9) Amati selaput lendir mulut secara sistematis pada semua bagian mulut mengenai warna,
adanya pembengkakan, tumor, sekresi, peradangan, ulkus dan perdarahan.
10) Beri kesempatan pasien untuk istirahat dengan menutup mulut sejenak bila cape, lalu
lanjutkan dengan inspeksi faring dengan cara pasien dianjurkan untuk membuka mulut,
tekan lidah pasien ke bawah sewaktu pasien berkata “ah”. Amati faring terhadap
kesimetrisan ovula.

b. Palpasi
Cara palpasi agar tidak muntah
1) Atur posisi pasien duduk menghadap pemeriksa.
2) Anjurkan pasien untuk membuka mulut.
3) Pegang pipi diantara ibu jari dan jari telunjuk (jari telunjuk berada di dalam). Bila ada
pembengkakan determinasikan menurut ukuran, konsistensi, hubungan dengan
daerahsekitarnya dan adanya nyeri.
4) Lanjutkan dengan palpasi pada palatum dengan jari telunjuk dan rasakan terhadap
adanya pembengkakan dan fisura.
5) Palpasi dasar mulut dengan cara pasien disuruh mengatakan “el” kemudian palpasi
dilakukan pada dasar mulut secara sistematis dengan jari telunjuk tangan kanan. Bila
diperlukan beri sedikit penekanandengan ibu jari dari bawah dagu untuk mempermudah
palpasi.Catat bila di dapatkan pembengkakan.
6) Palpasi lidah dengan cara pasien disuruh menjulurkan lidah, pegang lidah dengan kassa
steril menggunakan tangan kiri. Dengan jari penunjuk tangan kanan lakukan palpasi
lidah terutama bagian belakang dan batas-batas lidah.

Cara pemeriksaan lidah :


1. Pemeriksaan bentuk dan warna lidah
 Penderita membuka mulut tanpa menjulurkan lidah
 Diperiksa warna pada malam hari
2. Pemeriksaan banyaknya dan distribusi papila lidah
 Penderita diminta menjulurkan lidah
 Diselidiki lapisan lidah. Atrofi papila & peradangan
Pembagian keadaan lidah menurut Palma :
 Lidah normal : Jumlah dan struktur papila normal.
 Lidah desquamasi : Jumlah P.Filiformis berkurang.
3. Tonus lidah
 Dengan cara digital / bimanual
 Bila tonus lidah / anemia
 Tonus lidah / intestinal sclerous
 Glositis pada syphilis
4. Lesi yang mungkin ada pada lidah
 Kelainan pada lidah
 Kelaianan karena anomaly dalam perkembangan lidah
 Perubahan pada lapisan lidah
 Identitas pada tepi lidah
 Juga karena trauma
 Black hairy tongue
 Benigna migratory glossitis
 Glossodynia / glosspyrosis

6. PEMERIKSAAN FISIK LEHER


Menurut Kusnaidi :
a. Amati bentuk leher, simetris atau tidak. Bentuk ektomorf/kurus ditemukan pada orang
dengan gizi jelek atau TBC, sedangkan bentuk endomorf ditemukan pada pasien obesitas.
Adakah peradangan, pembesaran kelenjar limfe, jaringan parut, perubahan warna, dan
massa/benjolan.
b. Kelenjar tiroid
Inspeksi : pasien tengadah sedikit,telan ludah,catat bentuk dan kesimetrisan
Palpasi: pasien duduk dan pemeriksa di belakang, jari tengah dan telunjuk ke dua tangan
ditempatkan pada ke dua istmus, raba di sepanjang trachea mulai dari tulang krokoid dan
ke samping. Catat adanya benjolan, konsistensi, bentuk, dan ukuran.
Auskultasi : tempatkan sisi bell stetoskop pada kelenjar tiroid, catat adanya bising (normal
: tidak terdapat bising)
c. Trakhea
Inspeksi : pemeriksa disamping kanan pasien, tempelkan jari tengah pada bagian bawah
trakea, raba ke atas dan ke samping. Catat letak trakea , kesimestrisan, tanda oliver (pada
saat denyut jantung, trakea tertarik kebawah). Normalnya simestris di tengah.
d. JVP (tekanan vena jugularis)
Posisi penderita berbaring setengah duduk, tentukan batas atas denyut vena jugularis,
beritahu pasien merubah posisi keduduk dan amati palpasi denyut vena. Normalnya : saat
duduk setinggi manubrium sternum. Atau posisi, penderita berbaring setengah duduk,
tentukan titik nol(titik setinggi manubrium sternum) dan letakkan penggaris diatasnya.
Tentukan batas atas denyut vena dengan penggaris normalnya : tidak lebih dari 4 cm.
e. Bising arteri karotis
Tentukan letak denyut nadi karotis (dari tengah leher geser ke samping). Letakkan sisi bell
stetoskop di daerah arteri karotis, catat adanya bising. Normalnya : tidak ada bising.

7. PEMERIKSAAN FISIK DADA (JANTUNG DAN PARU)


Menurut Djokomoeljanto :
a. Inspeksi
1) Perhatikan irama dan frekuensi pernapasan. Dikenal berbagai tipe :
a) Normal. Rate dewasa 8 – 16 x/menit dan anak maksimal 44 x /menit .
b) Tachypnoea.Cepat dan dangkal, penyebab : nyeri pleuritik, penyakit paru
restriktif, diafragma letak tinggi karena berbagai sebab.
c) Hyperpnoea hiperventilasi. Napas cepat dan dalam, penyebabnya: cemas,
exercise, asidosis metabolik, pada kasus koma ingat gangguan otak
(midbrain/pons).
d) Pernapasan Kussmaul. Napas dalam dengan asidosis metabolik.
e) Bradypnoea. Napas lambat, karena depresi respirasi karena obat, tekanan
intrakranial meninggi.
f) Napas Cheyne Stokes. Ada perioda siklik antara napas dalam dan apnoe
bergantian. Gagal jantung, uremi, depresi napas, kerusakan otak. Meskipun
demikian dapat terjadi pada manula dana anak-anak.
g) Pernapasan Biot. Disebut pernapasan ataxic, iramanya tidak dapat diramalkan,
acap ditemukan pada kerusakan otak di tingkat medulla.
h) Sighing. “Unjal ambegan”, menggambarkan sindrom hiperventilasi yang dapat
berakibat pusing dan sensasi „sesak napas‟, psikologik juga.
i) Ekspirasi diperpanjang. Ini terjadi pada penyakit paru obstruktif, karena resistensi
jalan napas yang meningkat.

2) Gerakan paru yang tidak sama, dapat kita amati dengan melihat lapang dada dari kaki penderita,
tertinggal, umumnya menggambarkan adanya gangguan di daerah dimana ada gerakan dada yang
tertinggal. (tertinggal = abnormal).
3) Dada yang lebih tertarik ke dalam dapat karena paru mengkerut (atelectasis, fibrosis) pleura
mengkerut (schwarte) sedangkan dada mencembung karena paru mengembung (emfisema
pulmo) pleura berisi cairan (efusi pleura)
4) Deformitas dan bentuk dada
Dada normal anak.
Dada normal dewasa .
Dada bentuk tong. Diameter antero-post memanjang – usila, kifosis, emfisema paru disebut juga
barrel chest Dada bentuk corong.
Funnel chest, pectus excavatum, lekuk di sternum bawah yang dapat membuat kompresi jantung
dan vasa besar --- bising.
Dada Burung. pigeon chest, pectus carinatum,dada menjorok ke depan.
Dada kifoskoliosis. Dada mengikuti deformitas punggung, terjadi distorsi alat dalam yang sering
mengganggu interpretasi dapatan diagnosis fisik.
b. Palpasi
1) Dengan palpasi ini diharapkan kita dapat menilai semua kelainan pada dinding dada (tumor,
benjolan, muskuloskeletal, rasa nyeri di tempat tertentu, limfonodi, posisi trakea serta
pergeserannya, fraktur iga, ruang antar iga, fossa supraklavikuler, dsb) serta gerakan,
excursion dinding dada
2) Lingkarkan pita ukur (ukur sampai 0.5 cm ketelitian) sekitar dada dan nilai lingkar ekspirasi
dan lingkar inspirasi dalam, yang menggambarkan elastisitas paru dan dada.
3) Untuk ini diperlukan penggunaan dua tangan ditempatkan di daerah yang simetris, kemudian
dinilai. Pada waktu pasien bernapas dalam :
a) tangan diletakkan di bagian depan dada) maka amati gerakan dada simetriskah,
b) (tangan ditaruh di dada samping) gerakan tangan kita naik turun secara simetris apa tidak,
c) (tangan ditaruh di dada belakang bawah) gerakan tangan ke lateral di bagian bawah atau
tidak. Gerakan dinding dada maksimal terjadi di bagian depan dan bawah.
4) Pada waktu melakukan palapasi kita gunakan juga untuk memeriksa fremitus taktil. Dinilai
dengan hantaran suara yang dijalarkan ke permukaan dada dan kita raba dengan tangan kita.
5) Pasien diminta mengucapkan dengan suara dalam, misalnya mengucapkan sembilan puluh
sembilan (99) atau satu-dua-tiga dan rasakan getaran yang dijalarkan di kedua tangan
saudara.
- Fremitus akan meninggi kalau ada konsolidasi paru (misal : pneumonia, fibrosis)
- fremitus berkurang atau menghilang apabila ada gangguan hantaran ke dinding dada (efusi
pleura, penebalan pleura, tumor, pneumothorax)
6) Apabila jaringan paru yang berisi udara ini menjadi kurang udaranya atau padat,suara yang
dijalarkan ke dinding dada lewat cabang bronkus yang terbuka ini melemah. Suara dengan
nada tinggi (high-pitched sounds) yang biasanya tersaring terdengar lebih jelas. Keadaan ini
ditemukan di permukaaan dari jaringan paru yang abnormal. Perubahan ini dikenal sebagai :
suara bronchial, bronchophonie, egophony dan suara bisikan (whispered pictoriloqui). Untuk
mudahnya dikatakan : suara bronchial dan vesikuler mengeras. Hal ini dapat dirasakan
dengan palpasi (fremitus taktil) atau didengar dengan auskultasi.
c. Perkusi
1) Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan menentukan kualitas jaringan paru-
paru.
2) Perkusi dapat cara : direk : langsung mengetuk dada atau iga - cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari kanan
3) Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah, demikian juga pada bagian belakang
dada. Ketukan perkusi dapat keras atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat „tertembus‟.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis, dengan perkusi keras maka
akan terkesan jaringan di bawahnya sedangkan dengan perkusi lemah maka masih terdeteksi paru yang
tipis ini sehingga masih terdengar suara sonor.
4) Dengan perkusi dapat terdengar beberapa kemungkinan suara :
a) Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal (latihlah di paru anda).
b) Suara memendek (suara tidak panjang)
c) Suara redup (dull), ketukan pada pleura yang terisi cairan, efusi pleura.
d) Suara timpani (tympanic) seperti ketukan di atas lambung yang kembung
e) Suara pekak (flat), seperti suara ketukan pada otot atau hati misalnya.
f) Resonansi amforik, seperti timpani tetapi lebih bergaung, Metallklang
g) Hipersonor (hyperresonant) disini justru suara lebih keras, contoh pada bagian paru yang di atas
daerah yang ada cairannya, suara antara sonor dan timpani, karena udara bertambah misalnya
pada emfisema pulmonum, juga pneumothorak.
5. Perkusi dapat menentukan batas paru hati, peranjakan, batas jantung relatif dan batas jantung
absolut. Kepadatan (konsolidasi) yang tertutup oleh jaringan paru lebih tebal dari 5 cm sulit dideteksi
dengan perkusi. Kombinasi antara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi banyak mengungkap patologi
paru. Perlu diingat bahwa posisi pasien (misalnya tidur miring) mempengaruhi suara perkusi meskipun
sebenarnya “normal”
6) Untuk menentukan batas paru bawah gunakan perkusi lemah di punggung sampai terdengar
perubahan dari sonor ke redup, kemudian pasien diminta inspirasi dalam-tahan napas-perkusi lagi
sampai redup. Perbedaan ini disebut peranjakan paru (normal 2 – 3 cm). Peranjakan akan kurang atau
hilang pada emfisema paru, pada efusi pleura, dan asites yang berlebihan. Untuk menentukan batas
paru-hati lakukan hal yang sama di bagian depan paru, linea medio clavicularis kanan.
7) Dalam melakukan perkusi ingat selalu pembagian lobus paru yang ada dibawahnya, seperti diketahui
paru kanan terdiri dari lobus superior, medius dan inferior dan lobus kiri terdiri hanya dari lobus
superior dan lobus inferior .
8) Perkusi hendaknya dimulai di tempat yang diduga sehat (dari inspeksi dan palpasi) menuju ke bagian
yang diduga sakit. Untuk lebih meyakinkan, bandingkan dengan bagian yang kontra lateral. Batas-batas
kelainan harus ditentukan.

9) Perkusi untuk menentukan apek paru (Kronig’s isthmus) dilakukan dengan cara melakukan perkusi
di pundak mulai dari lateral ke arah medial. Suara perkusi dari redup sampai sonor, diberi tanda.
Kemudian perkusi dari medial (leher) ke lateral sampai terdengar sonor, beri tanda lagi. Diantara kedua
tanda inilah letaknya apek paru. Pada orang sehat lebarnya 4-6 cm. Pada kelainan di puncak paru
(tuberculosis atau tumor) daerah sonor ini menyempit atau hilang (seluruhnya redup).
10) Pada perkusi efusi pleura dengan jumlah ciran kira-kira mengisi sebagian hemitoraks (tidak terlalu
sedikit dan juga tidak terlalu banyak) akan ditemukan batas cairan (keredupan) berbentuk garis lengkung
yang berjalan dari lateral ke medial bawah yang disebut garis Ellis-Damoiseau.
11) Pada perkusi di kiri depan bawah akan terdengar suara timpani yang berbentuk setengah lingkaran
yang disebut daerah semilunar dari Traube. Daerah ini menggambarkan lambung (daerah bulbus) terisi
udara.

d. Auskultasi
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat masuk antara 2 iga (dalam ruang antar
iga). Urutan pemeriksaan seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus pernapasan
(inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada tempat simetris.
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari ekspirasi. Penjelasan serta perpanjangan
fase ekspirasi mempunyai arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara dasar dahulu kemudian
melukiskan suara tambahannya. Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan
diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru.
3) Suara dasar :
a) Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih jelas
b) Vesikuler melemah: Pada bronchostenose, emfisema paru, pneumothorak, eksudat, atelektase
masif, infiltrat masif, tumor. Vesikuler mengeras: Terdengar lebih keras.
c) Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada radang Bronchial: Ekspirasi lebih jelas, seperti suara
dekat trachea, dimana paru lebih padat tetapi bronchus masih terbuka (kompresi, radang)
Amforik: Seperti bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas mulut botol kososng sering
pada caverne. Eksipirasi Jelas.
4) Suara tambahan :
a) Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase inspirasi maupun ekspirasi
dapat nada tinggi (sibilant) dan nada rendah (sonorous) = rhonchi, rogchos berarti „ngorok‟.
Sebabnya ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering hilang atau berubah
sifat. Rhonchi basah (moist rales). Timbul letupan gelembung dari aliran udara yang lewat
cairan. Bunyi di fase inspirasi.
i. ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli),
ii. ronkhi basah sedang (bronchus sedang),
iii. ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar).
iv. ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat, pneumonia, tuberculosis.
v. Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus secara mendadak, serentak
terdengar di fase inspirasi. (contoh: atelectase tekanan)
vi. Suara gesekan (wrijfgeruisen, friction-rub). Ada gesekan pleura dan gesek perikardial
sebabnya adalah gesekan dua permukaan yang kasar (mis: berfibrin).
b) Ronkhi basah sering juga disebut sebagai crackles, rhonchi kering disebut sebagai wheezes dan
gesek pleura atau gesek perikard sebagai pleural dan pericardial rubs.

Menurut Kusnadi :
a. Inspeksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1) Bentuk perkordial
2) Denyut pada apeks kordis
3) Denyut nadi pada daerah lain

Denyut vena
Cara Kerja :
i. buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
ii. Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
iii. Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
iv. Amati dan catat bentuk precordial jantung
Normal  datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal  Cekung, Cembung ( bulging precordial )
1) Amati dan catat pulsasi apeks cordis
Normal  nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi
perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat
dan bergetar ( Thrill ).
2) Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik
NormaL  Hanya pada daerah ictus
3) Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat
pada vena jugularis interna dan eksterna.

b. Auskultasi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
Normal : reguler (ritmis) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
Normal :
 Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
 Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi jantung
Normal :
- bersifat tunggal.
- Terbelah/terpisah dikondisikan (Normal Splitting)
 Splitting BJ 1 fisiologik
 Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “Ekspirasi maksimal, kemudian napas
ditahan sebentar”.
 Splitting BJ 2 fisiologik
 normal Spliting BJ2, terdengar “sesaat setelah inspirasi dalam”
Abnormal :
 Splitting BJ 1 patologik  ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )
 Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada
RBBB, ASD, PS.

4. Fase Systolik dan Dyastolik


Normal : Fase systolik normal lebih pendek dari fase dyastolik ( 2 : 3 )
Abnormal : - Fase systolic memanjang / fase dyastolik memendek
- Tedengar bunyi “ fruction Rub”  gesekan perikard dg ephicard.
5. Adanya Bising ( Murmur ) jantung
 adalah bunyi jantung ( bergemuruh ) yang dibangkitkan oleh aliran turbulensi (
pusaran abnormal ) dari aliran darah dalam jantung dan pembuluh darah.
Normal : tidak terdapat murmur
Abnormal : terdapat murmur  kelainan katub , shunt/pirau
6. Irama Gallop ( gallop ritme )
 Adalah irama diamana terdengar bunyi S3 atau S4 secara jelas pada fase Dyastolik,
yang disebabkan karena darah mengalir ke ventrikel yang lebih lebar dari normal,
sehingga terjadi pengisian yang cepat pada ventrikel
Normal : tidak terdapat gallop ritme
Abnormal :
 Gallop ventrikuler ( gallop S3 )
 Gallop atrium / gallop presystolik ( gallop S4 )
 Gallop dapat terjadi S3 dan S4 ( Horse gallop )
Cara Kerja :
1. Periksa stetoskop dan gosok sisi membran dengan tangan
2. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah pulmonal, kemudian ke daerah
aorta, simak Bunyi jantung terutama BJ2, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ1,
splitting BJ2, dan murmur Bj2.
3. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah Tricus, kemudian ke daerah
mitral, simak Bunyi jantung terutama BJ1, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ2,
splitting BJ1, murmur Bj1, frekwensi DJ, irama gallop.
4. Bila ada murmur ulangi lagi keempat daerah, catat mana yang paling jelas.
5. Geser ke daerah ephigastrik, catat adanya bising aorta.

c. Palpasi
Cara Kerja :
1) Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah
aorta, pulmo dan trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
Normal  tidak ada pulsasi
2) Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill,
lift/heave.
Normal  terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal  ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
3) Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat

d. Perkusi

Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial,
catat perubahan perkusi redup
2. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan
suara perkusi redup.
3. Tentukan batas-batas jantung

8. PEMERIKSAAN FISIK PAYUDARA DAN KETIAK


Menurut Kusnaidi :
a. Inspeksi
1) posisi pasien duduk, pakaian atas dibuka, kedua tangan rileks disisi tubuh.
2) Mulai inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan payudara
3) Normal : bulat agak simetris, kecil/sedang/besar
4) Inspeksi, dan catat adanya : benjolan, tanda radang dan lesi
5) Inspeksi areola mama, catat : warna, datar/menonjol/masuk kedalam, tanda radang dan
lesi.
6) Normal : gelap, menonjol
7) Buka lengan pasien, amati ketiak, Catat : lesi, benjolan dan tanda radang.

b. Palpasi
1) Lakukan palpasi pada areola, catat : adanya keluaran, jumlah, warna, bau, konsistensi
dan nyeri.
2) Palpasi daerah ketiak terutama daerah limfe nodi, catat : adanya benjolan, nyeri tekan.
3) Lakukan palpasi payudara dengan 3 jari tangan memutar searah jarum jam kea rah
areola. Catat : nyeri dan adanya benjolan
Bila ada benjolan tentukan konsistensi, besar, mobilisasinya.
9. PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN
Menurut Behrgman :
a. Inspeksi
1) Dilakukan pada pasien dengan posisi
tidur terlentang dan diamati dengan
seksama dinding abdomen
2) Perhatikan keadaan kulit;
warnanya (ikterus, pucat, coklat,
kehitaman), elastisitasnya
(menurun pada dehidrasi), kering
(dehidrasi), lembab (asites), dan adanya
bekas-bekas garukan, jaringan parut
(tentukan lokasinya).pelebaran
pembuluh darah vena.
3) Perhatikan ukuran dan bentuk
abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid
(cekung)
4) Amati kesimetrisan abdomen; perhatikan adanya benjolan local (hemia, hepatomegali,
splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis). Gerakan dinding abdomen pada peritonitis
terbatas.
5) Amati adanya pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ
apa atau tumor apa.
6) Perhatikan peristaltik; gerakan peristaltic usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak
pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak.
7) Perhatikan adanya pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering
memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical
8) Perhatikan juga gerakan pasien; pasien sering merubah posisi (adanya obstruksi usus),
pasien sering menghindari gerakan (adanya iritasi peritoneum generalisata), pasien
sering melipat lutut ke atas agar tegangan abdomen berkurang/ relaksasi (adanya
peritonitis), pasien melipat lutut sampai ke dada dan berayun-ayun maju mundur pada
saat nyeri (adanya pancreatitis parah)

b. Auskultasi
1) Kegunaan auskultasi adalah untuk mendengarkan suara peristaltic usus dan bising
pembuluh darah yang dilakukan selama 2-3 menit.
2) Mendengarkan suara peristaltic usus. Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding
abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh bagian abdomen. Suara peristaltic usus terjadi
akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal orang dewasa 5-
34 kali/menit dan untuk bising usus pada anak yaitu 5-15 kali/menit.

c. Palpasi
1) Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang
2) Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru
3) Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan
untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan agar tidak
melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding
abdomen.
4) Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang
dikeluhkan nyeri, sebaliknya bagian ini diperiksa paling akhir.
5) Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk
menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer dan spasme sejati dengan menekan daerah
muskulus rectus, minta pasien menarik nafas dalam. Jika muskulus rectus relaksasi,
maka itu adalah spasme volunteer, dan jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan,
itu adalah spasme sejati.
6) Palpasi bimanual: palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri
berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien, sedangkan tangan kanan di bagian
depan dinding abdomen.
7) Pemeriksaan ballottement: cara palpasi organ abdomen dimana terdapat asites. Caranya
dengan melakukan tekanan akan mendadak pada dinding abdomen dan dengan cepat
tangan ditarik kembali. Cairan asites akan berpindah untuk sementara, sehingga organ
atau massa tumor yang membesar dalam rongga abdomen dapat teraba saat memantul.
Teknik ballottement juga dipakai untuk memeriksa ginjal, dimana gerakan penekanan
pada organ oleh satu tangan akan dirasakan pantulannya pada tangan lainnya.
8) Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/besarnya, bentuknya, lokasinya,
konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/mobilitasnya, nyeri spontan/tekan, dan
warna kulit di atasnya.
d. Perkusi
1) Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,
menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi
cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara
bebas dalam rongga abdomen.
2) Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara),
kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat)
3) Orientasi abdomen secara umum. Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen
secara sistimatis untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness).
Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang.
4) Cairan bebas dalam rongga abdomen. Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites)
akan menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau
suara dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien
dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah.
10. PEMERIKSAAN FISIK GENITALIA
Menurut Behrgman :
a. Genital laki-laki
1) Inspeksi ukuran penis
2) Inspeksi tanda pembengkakan,lesi kulit,dan inflamasi pada glans penis
3) Inspeksi meatus uretra.
4) Inspeksi skrotum terdapat suatu pembesaran atau unilateral, adanya suatu hidrokel atau
hernia jika skrotum tampak membesar.lakukan transsiluminasi dan auskultasi pada setiap
masa scrotum.
5) Palpasi testis, testis sering mengalami retraksi kedalam kanalis ingunalis jika salah satu
atau kedua testis tidak teraba didalam skrotum,perintahkan anak duduk diatas kursi
dengan kaki diatas kursi. Perintahkan anak memeluk lutut nya. Ulangi palpasi ini tekanan
perut ini dapat memaksa masuknya testis yang bereteraksi atau tidak turun kedalam
scrotum. Sering terdapat perbedaan jika melakukan hal ini dengan tangan hangat dan
suatu ruang yang hangat. Manuver lain yang berguna untuk mengatasi refleks kremaster
aktif adalah menyuruh anak berbaring dan melakukan fleksi tungkai pada lutut,
meletakan kaki pada tungkai berlawanan.”posisi tungkai jahit” ini akan membawa tendo
muskulus sartorius diatas kanalis inguinalis dan mencegah refleks aktif retraksi testis.
6) Palpasi hernia inguinalis biasa nya dapat dilakukan pada anak berumur 4 tahun atau lebih
besar. Prosedurnya sama seperti pada orang dewasa dan harus dilakukan dengan anak
berdiri.

b. Genital wanita
Pada wanita lakukan infeksi daerah vagina.apa ditemukan suatu ruam. Ruam pada daerah
ini dapat berhubungan dengan bula akibat air mandi yang panas. Apa ditemukan sekret,
adanya sekret pada umur 2-6 tahun seringkali berhubungan dengan benda asing dalam
vagina, sering digunakan spekulum hidung untuk menginfeksi vagina untuk penyebab
sekret . Periksa keutuhan himen dan muara vagina yang licin. Suspek adanya pemaksaan
seksual tanda yang paling penting dari pemaksaan ini termasuk kesukaran untuk berjalan,
infeksi vagina atau dubur, iritasi atau pembengkakan genital,celana dalam yang robek atau
ternoda, perdarahan vagina atau anus serta lebam

11. PEMERIKSAAN FISIK KULIT DAN KUKU


Menurut Kusnaidi :
a. Kulit
1) Inspeksi
a) Warna kulit
Normal : nampak lembab, Kemerahan
Abnormal : cyanosis / pucat
b) Tekstur kulit
Normal : tegang dan elastis ( dewasa ), lembek dan kurang elastis ( orang tua )
Abnormal : menurun  dehidrasi, nampak tegang  odema, peradangan
c) Kelainan / lesi kulit
Normal : tidak terdapat
Abnormal : Terdapat lesi kulit, tentukan :
i. Bentuk lesi
 Lesi Primer : bulla, macula, papula, plaque, nodula, pigmentasi,
hypopigmentasi, pustula
 Lesi Sekunder : Tumor, crusta, fissura, erosi, vesikel, eskoriasi, lichenifikasi,
scar, ulceratif.
ii. Distribusi dan konfigurasinya.
General, Unilateral, Soliter, Bergerombol

2) Palpasi
a) Tekstur dan konsistensi
Normal : halus dan elastis
Abnormal : kasar, elastisitas menurun, elastisitas meningkat (tegang)
b) Suhu
Normal : hangat
Abnormal : dingin (kekurangan oksigen/sirkulasi), suhu meningkat (infeksi)
c) Turgor kulit
Normal : baik
Abnormal : menurun / jelek  orang tua, dehidrasi
d) Adanya hyponestesia/anestesi.
Adanya nyeri

Pemeriksaan Khusus
a) Akral
 Inspeksi dan palpasi jari-jari tangan, catat warna dan suhu .
Normal : tidak pucat, hangat
Abnormal : pucat, dingin  kekurangan oksigen
b) CR (Capilari Refiil)
 Tekan Ujung jari berarapa detik, kemudian lepas, catat perubahan warna.
Normal : warna berubah merah lagi < 3 detik.
Abnormal : > 3 detik  gangguan sirkulasi.
c) Edema
 Tekan beberapa saat kulit tungkai, perut, dahi amati adanya lekukan (pitting)
Normal : tidak ada pitting
Abnormal : terdapat pitting (non pitting pada beri-beri)
b. Kuku
Observasi warna kuku, bentuk kuku, elastisitas kuku, lesi, tanda radang
Abnormal :
 Jari tabuh (clumbing Finger)  penykait jantung kronik
 Puti tebal  jamur

12. PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MUSKULOSKLETAL


a. Inspeksi:
1) Posterior:
a) Apakah bentuk dinding thoraks dan lumbal normal/ simetris?
b) Shouldertilt
c) Adakah skoliosis?
d) Konveksitas
e) RibHump
f) Perubahan kulit (inflamasi, sikatrik,sinus).
g) Pelvic Tilt (diperiksa ketinggian kristailiaka).
h) Adanya wasting otot-otot gluteus, hamstring muscles dancalf.
i) Deformitas anggota gerak bawah (panjang kaki, varus,valgus).

2) Lateral :
a) Apakah bentuk dinding thoraks dan lumbal normal/simetris : dilihat adanya kifosis
thorakal dan lordosis lumbal.
b) Kyphosis : dilihat konveksitas posterior dari tulang belakang. Konveksitas posterior
meningkat pada Schuerman’s disease dan ankylosingspondylitis.
c) Lordosis : dilihat konveksitas anterior dari tulang belakang. Konveksitas anterior
meningkat pada pasien dengan spondylolisthesis, menurun pada spasme otot
paraspinal.
d) Gibbus : acuteshortanglekyphotic  pada tuberculosis spinal.

Gambar 9. Inspeksi lateral collumna vertebralissegmen thorakalis dan lumbalis


Gambar 10.Kiri : kyphosis meningkat – tengah : Gibbus – kanan : lordosis menurun.

3) Anterior:
a) Dilihat adanya asimetri dinding dada: penonjolankosta.
b) Short trunk: pada pasien dengan spondyloptosis dan severe osteoporosis tulang
belakang dengan fraktur vertebramultipel.
c) Pinggang: adanya inflamasi, sikatriks,sinus.
d) Deformitas anggota gerak bawah:
- Panggul: rotasi internal/ eksternal, fleksi/ekstensi?
- Lutut : pada ekstensi penuh, dilihat adanya varus/valgus.
- Tumit : dilihat adanya varus/valgus.
b. Palpasi:
1) Sepanjang processus spinalis adanya bonyl and marks.
2) Diraba suhu kulit.
3) Adanya nyeri tekan : diantara vertebra lumbalis, pada lumbosacral junction, sendi-
sendi selaiga.
4) Pembengkakan, gibbus, spasme paraspinal.

Gambar 11. Palpasi vertebra thorakalis dan lumbalis


c. Range of Motion(ROM):
1) Fleksi anterior:
Normal 0 - 90o, pada pasien non obese fleksi dapat sampai menyentuh di bawah lutut.

Gambar 12. Fleksi anterior vertebra thorakalis dan lumbalis


2) Ekstensi : normal 0 -30o
3) Fleksi lateral dekstra/ sinistra : normal 0 –(30-40o)
4) Rotasi dekstra/ sinistra : normal 0 -45o

Gambar 13. Ekstensi - Fleksi lateral

Gambar 14a.Fleksilateral Gambar 14b. Rotasi


d. Tes Khusus
1) Plumb line (dari processus spinosus C7, dengan menggunakan tali bandul untuk
mengetahui keseimbangan tulang belakang seimbang dengan mengukur
kesegarisan T1 -S1)
2) Schobertest
a) Buat 2 titik di midline lumbal berjarak 10 cm.
b) Pasien diminta membungkuk ke depan (fleksianterior).
c) Ukur penambahan jarak kedua titik tersebut indikasikan lumbal Excursion
(normal :> 5 cm).

Gambar 15.Lumbal flexion test/Schober’s test.

13. PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEUROLOGI


Menurut Kusnaidi :
a. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK
1) Sensasi Taktil
a) Siapkan alat kuas halus, kapas, ujung jari (bila terpaksa).
b) Penderita dapat berbaring atau duduk rileks, mata di pejamkan.
c) Lakukan sentuhan ringan (jangan sampai menekan), minta pasien “ya” bila
merasakan dan “ tidak “ bila tidak merasakan.
d) Lakukan mulai dari ujung distal ke proksimal dan bandingkan kanan dan kiri
(azas Simetris).
e) Cari tempat yang tidak berbulu, beri sentuhan beberapa tempat, minta pasien
untuk membandingkan.
f) Lakukan sentuhan, membentuk huruf, minta pasien menebak.
g) Kelainan :
h) Anestesia, hipestesia, hiperestesia.
i) Trikoanestesia  kehilangan sensasi gerak rambut.
j) Gravanestesia  tidak mampu mengenal angka/huruf.

2) Sensasi Nyeri superficial


a) Gunakan jarum salah satu runcing dan tumpul.
b) Mata pasien dipejamkan.
c) Coba dulu, untuk menentukan tekanan maksimal.
d) Beri rangsangan dengan jarum runcing, minta pasien merasakan nyeri atau
tidak.
e) Lakukan azas ekstrim, dan simetris.
f) Lakukan rangsangan dengan ujung tumpul dan runcing, minta pasien untuk
menebaknya.
Kelainan :
Analgesia, Hypalgesia, hiperalgesia.

3) Pemeriksaan Sensasi Suhu


a) Siapkan alat Panas (40-45o), dingin (5-10).
b) Posisi pasien berbaring dan memejamkan mata.
c) Tempelkan alat, dan minta pasien menebak panas atau dingin.
d) Lakukan azas simetris dan ekstrim.
Kelainan :
Termastesia, termhipestesia, termhiperestesia, isotermognosia.

4) Sensasi Gerak dan Posisi


a) Pasien memejamkan mata.
b) Bagian tubuh (jari-jari) digerakkan pasif oleh pemeriksa.
c) Minta pasien menjelaskan posisi dan keadaan jari.
b. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
1) Posisi Tubuh
 Postur hemiplegia, decorticate, deserebrate.
2) Gerakan involunter
 Tremor, tiks, chorea.
3) Tonus otot
 Spastis, kekakuan, flasid.
4) Koordinasi
 Tunjuk hidung jari : perintahkan pasien menyentuk hidung dan jari
bergantian dan berulang-ulang, catat adanya kegagalan.

c. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS


(Muscle Stretch)
Penilaian :
0 = negative
+1 = lemah ( normal )
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologik
+4 = hyperaktif, sering disertai klonus
1) Reflek pada Lengan
a) Reflek Bisep
i. Pasien duduk santai.
ii. Lengan lemas, sedikit fleksi dan pronasi.
iii. Siku penderita diletakkan pada tangan pemeriksa
iv. Ibu jari pemeriksa diletakkan pada tendo bisep, kemudian pukul ibu
jari dengan perkusi hamer.
v. Amati gerakan lengan pasien
Hasil :
Kontraksi otot bisep, fleksi dan sedikit supinasi lengan bawah
b) Reflek Trisep
i.Pasien duduk santai.
ii.Lengan lemas, sedikit fleksi dan pronasi.
iii.lengan penderita diletakkan pada tangan pemeriksa
iv.Pukul tendo pada fosa olekrani
Hasil :
Trisep akan kontraksi menyentak yang dirasakan oleh tangan pemeriksa

c) Reflek Brachioradialis
i. Posisi penderita duduk santai
ii. Lengan relaks, pegang lengan pasien dan letakkan tangan pasien diatas
tangan pemeriksa dalam posisi fleksi dan pronasi.
iii. Pukul tendo Brachioradialis
Hasil :
Gerakan menyentak pada tangan.

2) Reflek pada tungkai


Reflek patella (kuadrisep)
a) Posisi pasien duduk, denga kedua kaki menjuntai
b) Tentukan daerah tendo kanan dan kiri
c) Tangan kiri memegang bagian distal ( paha pasien ), yang satu melakukan
perkusi pada tendo patella
Hasil :
Ada kontraksi otot kuadisrep, gerakan menyentak akstensi kaki
Reflek Achilles
a) Pasien dapat duduk menjuntai, atau berlutut dengan kaki menjulur di luar
meja
b) Tendo Achilles diregangkan, dengan menekkan ujung tapak tangan
c) Lakukan perkusi pada tendo, rasakan gerakan.
Hasil :
Gerakan menyentak kaki

d. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS


Reflek Babinski
1) Posisi penderita terlentang
2) Gores dengan benda lancip tapi tumpul pada telapak kaki : dari bawah lateral,
keatas menuju ibu jari kaki.
3) Amati gerakan jari-jari kaki
Hasil :
Normal : gerakan dorsofleksi ibu jari, jari yang lain meregang
Abnormal : terjadi gerakan mencekeram jari-jari kaki

e. PEMERIKSAAN REFLEK MENINGEAL


1) Kaku Kuduk
a) Pasien posisi berbaring.
b) Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat.
Hasil : + terdapat tahanan kuat.
2) Tanda Kernig
a) Posisi pasien berbaring.
b) Angkat kaki, dan luruskan kaki pada lututnya.
Hasil :
Normal : kaki dapat lurus, atau tahanan dengan sudut minimal 120 derajat.
Abnormal ( + ) : terjadi tahanan < 120 dan nyeri pada paha.
3) Buzinsky 1
a) Posisi pasien berbaring.
b) Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat.
c) Perhatikan gerakan tungkai kaki.
Hasil : + bila terjadi fleksi tungkai, bersamaan dengan fleksi kepala.
4) Buzinsky 2
a) Posisi pasien berbaring.
b) Lakukan fleksi pada lutut kaki.
c) Amati kaki sebelahnya.
Hasil : + bila kaki sebelahnya mengikuti gerakan fleksi.

f. PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL

Menurut Wong :
I (Olfaktorius)
 Dengan mata tertutup, minta anak mengidentifikasi bau seperti kopi, alcohol dari
swab, atau bau lain. Uji setiap lubang hidung secara terpisah.
II (Optikus)
 Periksa fungsi penglihatan, persepsi sinar, ketajaman penglihatan, dan
penglihatan warna.

II, III (Optikus dan Okulomotoris)


 Periksa reaksi pupil terhadap cahaya.
III, IV, VI (Okulomotoris, trokleal, abdusen)
 Periksa gerakan bola mata.

V (Trigeminal)

 Raba kontraksi temporal.


 Periksa gerakan mengunyah  otot maseter.
 Periksa reflek kornea.
 Uji sentuhan dan nyeri pada wajah.

VII (Fasialis)
 Periksa gerakan otot wajah  tersenyum, mengkerutkan dahi, cemberut.
VIII (Akustik)
 Periksa fungsi pendengaran.

IX, X (Glusofaringius dan Vagus)

 Amati kesulitan menelan.


 Dengarkan suara.
 Amati naiknya langit-langit dg bunyi “ah“.
 Amati gag reflek.

XI (Aksesoris)
 Kaji kemampuan mengangkat bahu.
 Kaji gerakan berputar wajah.

XII (Hipoglosal)
 Dengarkan artikulasi pasien.
 Julurkan lidah, amati adanya atropi, asimetris.
PEMBAGIAN TUGAS

1. Pemeriksaan Fisik Kepala (Asep Dermawan dan Ayu Kinanti)


2. Pemeriksaan Fisik Mata (Arga Kurniawan dan Bella Tiara Wulandari)
3. Pemeriksaan Fisik Telinga (Budhi Pryono dan Dedek Amelia)
4. Pemeriksaan Fisik Hidung (Dina Yulianti dan M. Yusuf)
5. Pemeriksaan Fisik Kulit dan Kuku (Dita Rahmadaniati dan Riko Aprizal)
6. Pemeriksaan Fisik Mulut (Febi Utami dan Menik Rieska Suci R)
7. Pemeriksaan Fisik Leher (Miranty dan Syarul Ramadan)
8. Pemeriksaan Dada dan Paru (Indotang dan Marina)
9. Pemeriksaan Fisik Jantung (Nurul Alfatarisya dan Rima Narulita)
10. Pemeriksaan Fisik Payudara dan Ketiak (Fitri Febri Indriani dan Silva Fitria)
11. Pemeriksaan Fisik Abdomen (Nofridawati)
12. Pemeriksaan Fisik Genitalia (Nurmalidya)
13. Pemeriksaan Fisik Sistem Muskuloskletal (Putri Dwi Adha)
14. Pemeriksaan Fisik Sistem Nerologi (Sondang Yuliana Sinaga)
DAFTAR PUSTAKA

1) Behrgman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak NELSON. Jakarta : EGC.

2) Behrgman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol 3, Ed 15.

Jakarta : EGC.

3) Djokomoeljanto. 1998. Diagnosis Fisik. Kuliah PPS Undip.

4) Kusnaidi, A. 2011. Pemeriksaan Fisik. https://ahmadjiwa.files.wordpress.com.

5) Lynn S.; Biskley, 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan,

edisi 8. Jakarta : EGC.

6) Priharjo, Robert. 20. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC.

7) Wong, L Donna. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta :

EGC.

Anda mungkin juga menyukai