DOSEN PEMBIMBING :
Ibu Hj. ERNAWATI, SKP., M.Kep
DISUSUN OLEH :
D-IV TINGKAT III/SEMESTER 5
Pemeriksan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu
sistem atau suatu organ tubuh dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan
mendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond,2009; Terj D. Lyrawati,2009).
Teknik dalam pemeriksaan fisik :
1) Inspeksi adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat.
Langkah kerja :
Atur pencahayaan yang cukup.
Atur suhu dan suasana ruangan nyaman.
Posisi pemeriksa sebelah kanan pasien.
Buka bagian yang diperiksa .
Perhatikan kesan pertama pasien : perilaku, ekspresi, penanmpilan umum, pakainan, postur
tubuh, dan gerakan dengan waktu cukup.
Lakukan inspeksi secara sistematis, bila perlu bandingkan bagian sisi tubuh pasien.
2) Palpasi adalah pemeriksaan dengan perabaan, menggunakan rasa propioseptif ujung jari dan tangan.
Cara kerja :
Daerah yang diperiksa bebas dari gangguan yang menutupi.
Cuci tangan.
Beritahu pasien tentang prosedur dan tujuannnya.
Yakinkan tangan hangat tidak dingin.
Lakukan perabaan secara sistematis , untuk menentukan ukuran, bentuk, konsistensi dan
permukaan :
Jari telunjuk dan ibu jari --> menentukan besar/ukuran.
Jari 2,3,4 bersama --> menentukan konsistensi dan kualitas benda.
Jari dan telapak tangan --> merasakan getaran.
Sedikit tekanan --> menentukan rasa sakit.
3) Perkusi adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk permukaan badan dengan cara perantara jari
tangan, untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh.
Cara Kerja :
Lepas Pakaian sesuai dengan keperluan.
Luruskan jari tengah kiri, dengan ujung jari tekan pada permukaan yang akan diperkusi.
Lakukan ketukan dengan ujung jari tengah kanan diatas jari kiri, dengan lentur dan cepat,
dengan menggunakan pergerakan pergelangan tangan.
Lakukan perkusi secara sistematis sesuai dengan keperluan.
4) Auskultasi adalah pemeriksaan mendengarkan suara dalam tubuh dengan menggunakan alat
stetoskop.
Bagian-bagian stetoskop :
Ear Pieces --> dihubungkan dengan telinga.
Sisi Bell ( Cup ) --> pemeriksaan thorak atau bunyi dengan nada rendah.
Sisi diafragma ( membran ) --> Pemeriksaan abdomen atau bunyi dengan nada tinggi.
Cara Kerja :
Ciptakan suasana tenang dan aman
Pasang Ear piece pada telinga
Pastikan posisi stetoskop tepat dan dapat didengar
Pada bagian sisi membran dapat digosok biar hangat
Lakukan pemeriksaan dengan sistematis sesuai dengan kebutuhan.
1. PEMERIKSAAN FISIK KEPALA
a. Inspeksi
a. Lihat bentuk kepala :
Normal (dolichepalus/lonjong, brakhiocephalus/bulat)
Mikrosefali
Trauma
Lihat kesimetrisan dan pergerakan kepala. Lihat kebersihan kulit kepala : apakah ada
Ketombe
b. Inspeksi rambut: periksa warna, kekeringan, alopesia, kelebatan, distribusi, dan bau
rambut.
1) Malnutrisi atau kwarshiorkor, rambut menjadi pirang seperti rambut jagung, atau
belang-belang seperti bendera-“flag sign”- kering, mudah rontok hingga menjadi tipis
, tidak berkilat, bila tadinya keriting menjadi lurus.
2) Uban yang timbul diusia muda mungkin karena keturunan, anemia perniciosa,
penyakit simmond atau karena trauma emosionil yang berat.
3) Rambut yang mudah rontok pada DM, hipertiroidisme, syphilis tampak menjadi
botak terutama dibagian belakang seperti dimakan ngengat “moth eaten appearance”,
juga pada demam tiroid, myxedema, atau karena jamur pada rambut atau kulit kepala.
c. Lihat bentuk, warna, dan ekspresi wajah
Beberapa kelainan pada wajah antara lain :
1) Eksoftalmus : mata menonjol keluar disebabkan oleh peningkatan tekanan intra
okuler (misalnya karena tumor pada orbital)
3) Pasien dengan peningkatan hormon adrenal atau yang sedang menjalani terapi
hormone adrenal, mungkin mengalami sindrom cushing, wajah berbentuk bundar
(moon face) dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan.
4) Pasien yang menderita gagal ginjal kronis memiliki wajah yang pucat dan edema di
sekitar mata.
8) Wajah merah seperti buah ceri ditemukan pada pasien fase akut keracunan CO atau
CN.
9) Pasien dehidrasi memiliki wajah “facies hipocrates” (hidung tajam, mata cekung,
pelipis di sekitar dahi dasar, teregang, mongering dan terasa panas, wajah penderita
kelihatan berwarna hijau, hitam kebiruan, atau kelihatan seperti warna timah ).
10) Pasien lepra : wajah “facies leonine” (wajah seperti wajah seekor singa) alis mata
rontok, cuping telinga memanjang dan pengerutan wajah premature.
11) Pasien hipertrofi tonsil dan adenoid : wajah “facies adenoid“ (tampak seperti orang
bodoh, lubang hidung besar, mulut selalu terbuka).
12) Paralisis N.VII satu sisi: wajah asimetris, otot wajah pada sisi yang terkena
mengalami kelumpuhan dan penderita tidak mampu bersiul. Kalau diminta
mengerutkan dahi maka sisi yang terkena tetap licin dan kelopak mata pada sisi yang
terkena tidak dapat di tutup.
13) Penyakit Parkinson menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan untuk
berekspresi dan menggerkan otot wajah (wajah tampak kaku disebut masklike face,
wajah seperti memakai topeng, tak bermimik, disertai alis mata meninggi dan
immobilitas wajah). Hal ini disebabkan oleh kelainan neurologis yang bersifat
degenerative dan progresif.
14) Ekspresi wajah dapat menunjukkan watak dan emosi atau keadaan sakit
d. Palpasi
Rasakan adanya masa pada kepala, adanya perubahan kontur tengkorak, atau
diskontinuitas tengkorak. Tanyakan apakah pasien merasa nyeri, minta pasien untuk
menunjukkan dan jangan lanjutkan palpasi. Periksa adanya nyeri tekan, minta pasien
untuk menunjukkan dan jangan lanjutkan palpasi. Periksa adanya nyeri tekan, fontanella
cekung/tidak (pada bayi).
e. Perkusi
Nyeri ketuk: pada daerah sinus atau mastoid yang terkena sinusitis dan mastoiditis.
2) Test garputala
a) Rinne test
i. Perawat duduk di sebelah sisi pasien.
ii. Getarkan garputala, dengan menekan jari garputala dengan dua jari tangan.
iii. letakkan pangkal garputala pada tulang mastoid, dan jelaskan pasien agar
memberitahu bila tidak merasakan getaran.
iv. Bila pasien tidak merasakan getaran, dekatkan ujung jari garputala pada lubang
telinga, dan anjurkan penderita agar memberutahu mendengar suara getaran
atau tidah. Normalnya : pasien masih mendengar saat ujung garputala
didekatkan pada lubang telinga.
b) Weber test
i. Getarkan garpu tala.
ii. Letakkan pangkal garputala di tengah-tengah dahi pasien.
iii. Tanya kepada pasien, sebelah mana teinga mendengar lebih keras (lateralisasi
kana/kiri). Normalnya getaran didengar sama antara kanan dan kiri.
c) Scwabach Test
i. Getarkan garputala
ii. Letakkan ujung jari garputala pada lugang telinga pasien.
iii. Kemudian sampai pasien tidak mendengar, lalu bandingkan dengan pemeriksa.
3) Test Audiometri
b. Palpasi
Cara palpasi agar tidak muntah
1) Atur posisi pasien duduk menghadap pemeriksa.
2) Anjurkan pasien untuk membuka mulut.
3) Pegang pipi diantara ibu jari dan jari telunjuk (jari telunjuk berada di dalam). Bila ada
pembengkakan determinasikan menurut ukuran, konsistensi, hubungan dengan
daerahsekitarnya dan adanya nyeri.
4) Lanjutkan dengan palpasi pada palatum dengan jari telunjuk dan rasakan terhadap
adanya pembengkakan dan fisura.
5) Palpasi dasar mulut dengan cara pasien disuruh mengatakan “el” kemudian palpasi
dilakukan pada dasar mulut secara sistematis dengan jari telunjuk tangan kanan. Bila
diperlukan beri sedikit penekanandengan ibu jari dari bawah dagu untuk mempermudah
palpasi.Catat bila di dapatkan pembengkakan.
6) Palpasi lidah dengan cara pasien disuruh menjulurkan lidah, pegang lidah dengan kassa
steril menggunakan tangan kiri. Dengan jari penunjuk tangan kanan lakukan palpasi
lidah terutama bagian belakang dan batas-batas lidah.
2) Gerakan paru yang tidak sama, dapat kita amati dengan melihat lapang dada dari kaki penderita,
tertinggal, umumnya menggambarkan adanya gangguan di daerah dimana ada gerakan dada yang
tertinggal. (tertinggal = abnormal).
3) Dada yang lebih tertarik ke dalam dapat karena paru mengkerut (atelectasis, fibrosis) pleura
mengkerut (schwarte) sedangkan dada mencembung karena paru mengembung (emfisema
pulmo) pleura berisi cairan (efusi pleura)
4) Deformitas dan bentuk dada
Dada normal anak.
Dada normal dewasa .
Dada bentuk tong. Diameter antero-post memanjang – usila, kifosis, emfisema paru disebut juga
barrel chest Dada bentuk corong.
Funnel chest, pectus excavatum, lekuk di sternum bawah yang dapat membuat kompresi jantung
dan vasa besar --- bising.
Dada Burung. pigeon chest, pectus carinatum,dada menjorok ke depan.
Dada kifoskoliosis. Dada mengikuti deformitas punggung, terjadi distorsi alat dalam yang sering
mengganggu interpretasi dapatan diagnosis fisik.
b. Palpasi
1) Dengan palpasi ini diharapkan kita dapat menilai semua kelainan pada dinding dada (tumor,
benjolan, muskuloskeletal, rasa nyeri di tempat tertentu, limfonodi, posisi trakea serta
pergeserannya, fraktur iga, ruang antar iga, fossa supraklavikuler, dsb) serta gerakan,
excursion dinding dada
2) Lingkarkan pita ukur (ukur sampai 0.5 cm ketelitian) sekitar dada dan nilai lingkar ekspirasi
dan lingkar inspirasi dalam, yang menggambarkan elastisitas paru dan dada.
3) Untuk ini diperlukan penggunaan dua tangan ditempatkan di daerah yang simetris, kemudian
dinilai. Pada waktu pasien bernapas dalam :
a) tangan diletakkan di bagian depan dada) maka amati gerakan dada simetriskah,
b) (tangan ditaruh di dada samping) gerakan tangan kita naik turun secara simetris apa tidak,
c) (tangan ditaruh di dada belakang bawah) gerakan tangan ke lateral di bagian bawah atau
tidak. Gerakan dinding dada maksimal terjadi di bagian depan dan bawah.
4) Pada waktu melakukan palapasi kita gunakan juga untuk memeriksa fremitus taktil. Dinilai
dengan hantaran suara yang dijalarkan ke permukaan dada dan kita raba dengan tangan kita.
5) Pasien diminta mengucapkan dengan suara dalam, misalnya mengucapkan sembilan puluh
sembilan (99) atau satu-dua-tiga dan rasakan getaran yang dijalarkan di kedua tangan
saudara.
- Fremitus akan meninggi kalau ada konsolidasi paru (misal : pneumonia, fibrosis)
- fremitus berkurang atau menghilang apabila ada gangguan hantaran ke dinding dada (efusi
pleura, penebalan pleura, tumor, pneumothorax)
6) Apabila jaringan paru yang berisi udara ini menjadi kurang udaranya atau padat,suara yang
dijalarkan ke dinding dada lewat cabang bronkus yang terbuka ini melemah. Suara dengan
nada tinggi (high-pitched sounds) yang biasanya tersaring terdengar lebih jelas. Keadaan ini
ditemukan di permukaaan dari jaringan paru yang abnormal. Perubahan ini dikenal sebagai :
suara bronchial, bronchophonie, egophony dan suara bisikan (whispered pictoriloqui). Untuk
mudahnya dikatakan : suara bronchial dan vesikuler mengeras. Hal ini dapat dirasakan
dengan palpasi (fremitus taktil) atau didengar dengan auskultasi.
c. Perkusi
1) Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan menentukan kualitas jaringan paru-
paru.
2) Perkusi dapat cara : direk : langsung mengetuk dada atau iga - cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari kanan
3) Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah, demikian juga pada bagian belakang
dada. Ketukan perkusi dapat keras atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat „tertembus‟.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis, dengan perkusi keras maka
akan terkesan jaringan di bawahnya sedangkan dengan perkusi lemah maka masih terdeteksi paru yang
tipis ini sehingga masih terdengar suara sonor.
4) Dengan perkusi dapat terdengar beberapa kemungkinan suara :
a) Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal (latihlah di paru anda).
b) Suara memendek (suara tidak panjang)
c) Suara redup (dull), ketukan pada pleura yang terisi cairan, efusi pleura.
d) Suara timpani (tympanic) seperti ketukan di atas lambung yang kembung
e) Suara pekak (flat), seperti suara ketukan pada otot atau hati misalnya.
f) Resonansi amforik, seperti timpani tetapi lebih bergaung, Metallklang
g) Hipersonor (hyperresonant) disini justru suara lebih keras, contoh pada bagian paru yang di atas
daerah yang ada cairannya, suara antara sonor dan timpani, karena udara bertambah misalnya
pada emfisema pulmonum, juga pneumothorak.
5. Perkusi dapat menentukan batas paru hati, peranjakan, batas jantung relatif dan batas jantung
absolut. Kepadatan (konsolidasi) yang tertutup oleh jaringan paru lebih tebal dari 5 cm sulit dideteksi
dengan perkusi. Kombinasi antara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi banyak mengungkap patologi
paru. Perlu diingat bahwa posisi pasien (misalnya tidur miring) mempengaruhi suara perkusi meskipun
sebenarnya “normal”
6) Untuk menentukan batas paru bawah gunakan perkusi lemah di punggung sampai terdengar
perubahan dari sonor ke redup, kemudian pasien diminta inspirasi dalam-tahan napas-perkusi lagi
sampai redup. Perbedaan ini disebut peranjakan paru (normal 2 – 3 cm). Peranjakan akan kurang atau
hilang pada emfisema paru, pada efusi pleura, dan asites yang berlebihan. Untuk menentukan batas
paru-hati lakukan hal yang sama di bagian depan paru, linea medio clavicularis kanan.
7) Dalam melakukan perkusi ingat selalu pembagian lobus paru yang ada dibawahnya, seperti diketahui
paru kanan terdiri dari lobus superior, medius dan inferior dan lobus kiri terdiri hanya dari lobus
superior dan lobus inferior .
8) Perkusi hendaknya dimulai di tempat yang diduga sehat (dari inspeksi dan palpasi) menuju ke bagian
yang diduga sakit. Untuk lebih meyakinkan, bandingkan dengan bagian yang kontra lateral. Batas-batas
kelainan harus ditentukan.
9) Perkusi untuk menentukan apek paru (Kronig’s isthmus) dilakukan dengan cara melakukan perkusi
di pundak mulai dari lateral ke arah medial. Suara perkusi dari redup sampai sonor, diberi tanda.
Kemudian perkusi dari medial (leher) ke lateral sampai terdengar sonor, beri tanda lagi. Diantara kedua
tanda inilah letaknya apek paru. Pada orang sehat lebarnya 4-6 cm. Pada kelainan di puncak paru
(tuberculosis atau tumor) daerah sonor ini menyempit atau hilang (seluruhnya redup).
10) Pada perkusi efusi pleura dengan jumlah ciran kira-kira mengisi sebagian hemitoraks (tidak terlalu
sedikit dan juga tidak terlalu banyak) akan ditemukan batas cairan (keredupan) berbentuk garis lengkung
yang berjalan dari lateral ke medial bawah yang disebut garis Ellis-Damoiseau.
11) Pada perkusi di kiri depan bawah akan terdengar suara timpani yang berbentuk setengah lingkaran
yang disebut daerah semilunar dari Traube. Daerah ini menggambarkan lambung (daerah bulbus) terisi
udara.
d. Auskultasi
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat masuk antara 2 iga (dalam ruang antar
iga). Urutan pemeriksaan seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus pernapasan
(inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada tempat simetris.
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari ekspirasi. Penjelasan serta perpanjangan
fase ekspirasi mempunyai arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara dasar dahulu kemudian
melukiskan suara tambahannya. Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan
diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru.
3) Suara dasar :
a) Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih jelas
b) Vesikuler melemah: Pada bronchostenose, emfisema paru, pneumothorak, eksudat, atelektase
masif, infiltrat masif, tumor. Vesikuler mengeras: Terdengar lebih keras.
c) Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada radang Bronchial: Ekspirasi lebih jelas, seperti suara
dekat trachea, dimana paru lebih padat tetapi bronchus masih terbuka (kompresi, radang)
Amforik: Seperti bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas mulut botol kososng sering
pada caverne. Eksipirasi Jelas.
4) Suara tambahan :
a) Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase inspirasi maupun ekspirasi
dapat nada tinggi (sibilant) dan nada rendah (sonorous) = rhonchi, rogchos berarti „ngorok‟.
Sebabnya ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering hilang atau berubah
sifat. Rhonchi basah (moist rales). Timbul letupan gelembung dari aliran udara yang lewat
cairan. Bunyi di fase inspirasi.
i. ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli),
ii. ronkhi basah sedang (bronchus sedang),
iii. ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar).
iv. ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat, pneumonia, tuberculosis.
v. Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus secara mendadak, serentak
terdengar di fase inspirasi. (contoh: atelectase tekanan)
vi. Suara gesekan (wrijfgeruisen, friction-rub). Ada gesekan pleura dan gesek perikardial
sebabnya adalah gesekan dua permukaan yang kasar (mis: berfibrin).
b) Ronkhi basah sering juga disebut sebagai crackles, rhonchi kering disebut sebagai wheezes dan
gesek pleura atau gesek perikard sebagai pleural dan pericardial rubs.
Menurut Kusnadi :
a. Inspeksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1) Bentuk perkordial
2) Denyut pada apeks kordis
3) Denyut nadi pada daerah lain
Denyut vena
Cara Kerja :
i. buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
ii. Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
iii. Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
iv. Amati dan catat bentuk precordial jantung
Normal datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal Cekung, Cembung ( bulging precordial )
1) Amati dan catat pulsasi apeks cordis
Normal nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi
perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat
dan bergetar ( Thrill ).
2) Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik
NormaL Hanya pada daerah ictus
3) Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat
pada vena jugularis interna dan eksterna.
b. Auskultasi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
Normal : reguler (ritmis) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
Normal :
Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi jantung
Normal :
- bersifat tunggal.
- Terbelah/terpisah dikondisikan (Normal Splitting)
Splitting BJ 1 fisiologik
Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “Ekspirasi maksimal, kemudian napas
ditahan sebentar”.
Splitting BJ 2 fisiologik
normal Spliting BJ2, terdengar “sesaat setelah inspirasi dalam”
Abnormal :
Splitting BJ 1 patologik ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )
Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada
RBBB, ASD, PS.
c. Palpasi
Cara Kerja :
1) Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah
aorta, pulmo dan trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
Normal tidak ada pulsasi
2) Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill,
lift/heave.
Normal terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
3) Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat
d. Perkusi
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial,
catat perubahan perkusi redup
2. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan
suara perkusi redup.
3. Tentukan batas-batas jantung
b. Palpasi
1) Lakukan palpasi pada areola, catat : adanya keluaran, jumlah, warna, bau, konsistensi
dan nyeri.
2) Palpasi daerah ketiak terutama daerah limfe nodi, catat : adanya benjolan, nyeri tekan.
3) Lakukan palpasi payudara dengan 3 jari tangan memutar searah jarum jam kea rah
areola. Catat : nyeri dan adanya benjolan
Bila ada benjolan tentukan konsistensi, besar, mobilisasinya.
9. PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN
Menurut Behrgman :
a. Inspeksi
1) Dilakukan pada pasien dengan posisi
tidur terlentang dan diamati dengan
seksama dinding abdomen
2) Perhatikan keadaan kulit;
warnanya (ikterus, pucat, coklat,
kehitaman), elastisitasnya
(menurun pada dehidrasi), kering
(dehidrasi), lembab (asites), dan adanya
bekas-bekas garukan, jaringan parut
(tentukan lokasinya).pelebaran
pembuluh darah vena.
3) Perhatikan ukuran dan bentuk
abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid
(cekung)
4) Amati kesimetrisan abdomen; perhatikan adanya benjolan local (hemia, hepatomegali,
splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis). Gerakan dinding abdomen pada peritonitis
terbatas.
5) Amati adanya pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ
apa atau tumor apa.
6) Perhatikan peristaltik; gerakan peristaltic usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak
pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak.
7) Perhatikan adanya pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering
memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical
8) Perhatikan juga gerakan pasien; pasien sering merubah posisi (adanya obstruksi usus),
pasien sering menghindari gerakan (adanya iritasi peritoneum generalisata), pasien
sering melipat lutut ke atas agar tegangan abdomen berkurang/ relaksasi (adanya
peritonitis), pasien melipat lutut sampai ke dada dan berayun-ayun maju mundur pada
saat nyeri (adanya pancreatitis parah)
b. Auskultasi
1) Kegunaan auskultasi adalah untuk mendengarkan suara peristaltic usus dan bising
pembuluh darah yang dilakukan selama 2-3 menit.
2) Mendengarkan suara peristaltic usus. Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding
abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh bagian abdomen. Suara peristaltic usus terjadi
akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal orang dewasa 5-
34 kali/menit dan untuk bising usus pada anak yaitu 5-15 kali/menit.
c. Palpasi
1) Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang
2) Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru
3) Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan
untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan agar tidak
melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding
abdomen.
4) Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang
dikeluhkan nyeri, sebaliknya bagian ini diperiksa paling akhir.
5) Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk
menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer dan spasme sejati dengan menekan daerah
muskulus rectus, minta pasien menarik nafas dalam. Jika muskulus rectus relaksasi,
maka itu adalah spasme volunteer, dan jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan,
itu adalah spasme sejati.
6) Palpasi bimanual: palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri
berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien, sedangkan tangan kanan di bagian
depan dinding abdomen.
7) Pemeriksaan ballottement: cara palpasi organ abdomen dimana terdapat asites. Caranya
dengan melakukan tekanan akan mendadak pada dinding abdomen dan dengan cepat
tangan ditarik kembali. Cairan asites akan berpindah untuk sementara, sehingga organ
atau massa tumor yang membesar dalam rongga abdomen dapat teraba saat memantul.
Teknik ballottement juga dipakai untuk memeriksa ginjal, dimana gerakan penekanan
pada organ oleh satu tangan akan dirasakan pantulannya pada tangan lainnya.
8) Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/besarnya, bentuknya, lokasinya,
konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/mobilitasnya, nyeri spontan/tekan, dan
warna kulit di atasnya.
d. Perkusi
1) Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,
menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi
cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara
bebas dalam rongga abdomen.
2) Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara),
kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat)
3) Orientasi abdomen secara umum. Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen
secara sistimatis untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness).
Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang.
4) Cairan bebas dalam rongga abdomen. Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites)
akan menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau
suara dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien
dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah.
10. PEMERIKSAAN FISIK GENITALIA
Menurut Behrgman :
a. Genital laki-laki
1) Inspeksi ukuran penis
2) Inspeksi tanda pembengkakan,lesi kulit,dan inflamasi pada glans penis
3) Inspeksi meatus uretra.
4) Inspeksi skrotum terdapat suatu pembesaran atau unilateral, adanya suatu hidrokel atau
hernia jika skrotum tampak membesar.lakukan transsiluminasi dan auskultasi pada setiap
masa scrotum.
5) Palpasi testis, testis sering mengalami retraksi kedalam kanalis ingunalis jika salah satu
atau kedua testis tidak teraba didalam skrotum,perintahkan anak duduk diatas kursi
dengan kaki diatas kursi. Perintahkan anak memeluk lutut nya. Ulangi palpasi ini tekanan
perut ini dapat memaksa masuknya testis yang bereteraksi atau tidak turun kedalam
scrotum. Sering terdapat perbedaan jika melakukan hal ini dengan tangan hangat dan
suatu ruang yang hangat. Manuver lain yang berguna untuk mengatasi refleks kremaster
aktif adalah menyuruh anak berbaring dan melakukan fleksi tungkai pada lutut,
meletakan kaki pada tungkai berlawanan.”posisi tungkai jahit” ini akan membawa tendo
muskulus sartorius diatas kanalis inguinalis dan mencegah refleks aktif retraksi testis.
6) Palpasi hernia inguinalis biasa nya dapat dilakukan pada anak berumur 4 tahun atau lebih
besar. Prosedurnya sama seperti pada orang dewasa dan harus dilakukan dengan anak
berdiri.
b. Genital wanita
Pada wanita lakukan infeksi daerah vagina.apa ditemukan suatu ruam. Ruam pada daerah
ini dapat berhubungan dengan bula akibat air mandi yang panas. Apa ditemukan sekret,
adanya sekret pada umur 2-6 tahun seringkali berhubungan dengan benda asing dalam
vagina, sering digunakan spekulum hidung untuk menginfeksi vagina untuk penyebab
sekret . Periksa keutuhan himen dan muara vagina yang licin. Suspek adanya pemaksaan
seksual tanda yang paling penting dari pemaksaan ini termasuk kesukaran untuk berjalan,
infeksi vagina atau dubur, iritasi atau pembengkakan genital,celana dalam yang robek atau
ternoda, perdarahan vagina atau anus serta lebam
2) Palpasi
a) Tekstur dan konsistensi
Normal : halus dan elastis
Abnormal : kasar, elastisitas menurun, elastisitas meningkat (tegang)
b) Suhu
Normal : hangat
Abnormal : dingin (kekurangan oksigen/sirkulasi), suhu meningkat (infeksi)
c) Turgor kulit
Normal : baik
Abnormal : menurun / jelek orang tua, dehidrasi
d) Adanya hyponestesia/anestesi.
Adanya nyeri
Pemeriksaan Khusus
a) Akral
Inspeksi dan palpasi jari-jari tangan, catat warna dan suhu .
Normal : tidak pucat, hangat
Abnormal : pucat, dingin kekurangan oksigen
b) CR (Capilari Refiil)
Tekan Ujung jari berarapa detik, kemudian lepas, catat perubahan warna.
Normal : warna berubah merah lagi < 3 detik.
Abnormal : > 3 detik gangguan sirkulasi.
c) Edema
Tekan beberapa saat kulit tungkai, perut, dahi amati adanya lekukan (pitting)
Normal : tidak ada pitting
Abnormal : terdapat pitting (non pitting pada beri-beri)
b. Kuku
Observasi warna kuku, bentuk kuku, elastisitas kuku, lesi, tanda radang
Abnormal :
Jari tabuh (clumbing Finger) penykait jantung kronik
Puti tebal jamur
2) Lateral :
a) Apakah bentuk dinding thoraks dan lumbal normal/simetris : dilihat adanya kifosis
thorakal dan lordosis lumbal.
b) Kyphosis : dilihat konveksitas posterior dari tulang belakang. Konveksitas posterior
meningkat pada Schuerman’s disease dan ankylosingspondylitis.
c) Lordosis : dilihat konveksitas anterior dari tulang belakang. Konveksitas anterior
meningkat pada pasien dengan spondylolisthesis, menurun pada spasme otot
paraspinal.
d) Gibbus : acuteshortanglekyphotic pada tuberculosis spinal.
3) Anterior:
a) Dilihat adanya asimetri dinding dada: penonjolankosta.
b) Short trunk: pada pasien dengan spondyloptosis dan severe osteoporosis tulang
belakang dengan fraktur vertebramultipel.
c) Pinggang: adanya inflamasi, sikatriks,sinus.
d) Deformitas anggota gerak bawah:
- Panggul: rotasi internal/ eksternal, fleksi/ekstensi?
- Lutut : pada ekstensi penuh, dilihat adanya varus/valgus.
- Tumit : dilihat adanya varus/valgus.
b. Palpasi:
1) Sepanjang processus spinalis adanya bonyl and marks.
2) Diraba suhu kulit.
3) Adanya nyeri tekan : diantara vertebra lumbalis, pada lumbosacral junction, sendi-
sendi selaiga.
4) Pembengkakan, gibbus, spasme paraspinal.
c) Reflek Brachioradialis
i. Posisi penderita duduk santai
ii. Lengan relaks, pegang lengan pasien dan letakkan tangan pasien diatas
tangan pemeriksa dalam posisi fleksi dan pronasi.
iii. Pukul tendo Brachioradialis
Hasil :
Gerakan menyentak pada tangan.
Menurut Wong :
I (Olfaktorius)
Dengan mata tertutup, minta anak mengidentifikasi bau seperti kopi, alcohol dari
swab, atau bau lain. Uji setiap lubang hidung secara terpisah.
II (Optikus)
Periksa fungsi penglihatan, persepsi sinar, ketajaman penglihatan, dan
penglihatan warna.
V (Trigeminal)
VII (Fasialis)
Periksa gerakan otot wajah tersenyum, mengkerutkan dahi, cemberut.
VIII (Akustik)
Periksa fungsi pendengaran.
XI (Aksesoris)
Kaji kemampuan mengangkat bahu.
Kaji gerakan berputar wajah.
XII (Hipoglosal)
Dengarkan artikulasi pasien.
Julurkan lidah, amati adanya atropi, asimetris.
PEMBAGIAN TUGAS
2) Behrgman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol 3, Ed 15.
Jakarta : EGC.
5) Lynn S.; Biskley, 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan,
EGC.