Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan pendapat Suryana (2010:31) kajian teori diuraikan

konsep-konsep, pengertian-pengertian, penjelasan-penjelasan, jenis-jenis,

faktor-faktor, dimensi-dimensi, indikator-indikator, unsur-unsur, ciri-ciri,

langkah-langkah, aturan-aturan, hukum-hukum, perundang-undangan teori-

teori, dalil-dalil yang ada hubungannya dengan variable yang diteliti

berdasarkan referensi kepustakaan yang mendukung. Kutipan kajian

pustaka bisa dikutip penuh atau hasil kristalisasi dari penulis. Pendapat lain

diungkapkan oleh Sugiyono (2016:63) yang mendeskripsikan bahwa teori

dalam suatu penelitian paling tidak berisi tentang penjelasan terhadap

variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan terarah.

Kajian teori juga berisi penelitian terdahulu, setiap kegiatan

penelitian pastinya tidak bisa dilepaskan dari penelitian-penelitian terdahulu

yang terkait bahan ataupun topik pembahasan. Manfaat adanya penelitian

terdahulu bagi peneliti yaitu sebagai acuan dasar dan memberikan gambaran

terkait Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SDN Gading 1 Kota

Surabaya sebelum dan saat terjun kelapangan. Manfaat selanjutnya yaitu

memberikan kontribusi dalam pemilihan metode penelitian dan teori yang

akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu juga memberikan

kontribusi dalam menentukan indicator pencapaian progam dalam

penelitian yang sedang dilakukan.

7
1. Penelitian Oleh Murkam Sudarto, Darmansyah dan Sri Warsono

Penelitian yang dilakukan oleh Murkam Sudarto, Darmansyah dan

Sri Warsono dilakukan pada tahun 2017 dan berjudul MANAJEMEN

BERBASIS SEKOLAH. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian

deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun narasumber dari

penelitian tersebut adalah kepala sekolah beserta jajarannya yang

menangani hal tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tujuan penelitian untuk

mengetahui proses implementasi MBS Di SMP Negeri 1 Seluma. Analisis

data yang dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi, penyajian

data,dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian tersebut penulis

mengungkapkan analisis data dan membuat evaluasi tentang implementasi

Manajemen Bebasis Sekolah, faktor pendukung dan penghambat dalam

pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Negeri 1 Seluma.

Selain itu menemukan sistem yang lebih efisien untuk melakukan

pengembangan organisasi dan budaya kerja yang lebih baik dan benar.

sehingga aspek apa saja yang dapat menghambat kinerja suatu organisasi

dapat terpecahkan dengan cepat dan tepat.

2. Penelitian oleh Liza Yulisna, Sowiyah dan Irawan Suntoro

Penelitian yang dilakukan oleh Murkam Sudarto, Darmansyah dan

Sri Warsono dilakukan pada tahun dan berjudul IMPLEMENTASI

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Jenis penelitian yang dilakukan

adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun

narasumber dari penelitian tersebut adalah kepala sekolah beserta

8
jajarannya yang menangani hal tersebut. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tujuan

penelitian untuk mengetahui proses implementasi MBS Di SMP Negeri

3 Kota Bumi. Analisis data yang dilakukan dengan pengumpulan data,

reduksi, penyajian data,dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian

tersebut penulis mengungkapkan analisis data dan membuat evaluasi

tentang implementasi Manajemen Bebasis Sekolah, faktor pendukung

dan penghambat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di

SMP Negeri 3 Kota Bumi.

3. Penelitian oleh Fakih Imam Winanda

Penelitian yang dilakukan oleh Murkam Sudarto, Darmansyah

dan Sri Warsono dilakukan pada tahun dan berjudul IMPLEMENTASI

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SEKOLAH

MENENGAH ATAS AL KAUTSAR BANDAR LAMPUNG. Jenis

penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan

pendekatan kuantitatif. Adapun narasumber dari penelitian tersebut

adalah kepala sekolah beserta jajarannya yang menangani hal tersebut.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi,

dan dokumentasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui proses

implementasi MBS Di SMA AL KAUTSAR Bandar Lampung. Analisis

data yang dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi, penyajian

data,dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian tersebut penulis

mengungkapkan analisis data dan membuat evaluasi tentang

implementasi Manajemen Bebasis Sekolah, faktor pendukung dan

9
penghambat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di SMA

AL KAUTSAR Bandar Lampung.

10
Nama Peneliti Murkam Sudarto, Liza Yulisna, Sowiyah dan Fakih Imam Winanda Hendy Bing Putra
Darmansyah dan Sri Irawan Suntoro
Warsono

Judul Penelitian Manajemen Berbasis Implementas Manajemen Implementasi Implementasi


Sekolah Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Manajemen Berbasis
Sekolah di Sekolah Sekolah di SDN Gading
Menengah Atas AL 1 Kota Surabaya
KAUTSAR Bandar
Lampung

Jenis Penelitian Deskriptif Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif Kualitatif

Teori yang digunakan Implementasi Manajemen Implementasi Manajemen Implementasi Implementasi


Berbasis Sekolah dengan Berbasis Sekolah dengan Manajemen Berbasis Manajemen Berbasis
pendekatan: pendekatan Sofan Amri Sekolah menggunakan Sekolah dengan teori
George Edward III
Perencanaan,Pengorgani (2013:299) Input, Proses, tujuh indikator, yaitu:
:Komunikasi, Sumber
sasian,Pelaksanaan, Output Daya, Disposisi, dan
Monitoring dan evaluasi a. Manajemen
Struktur Birokrasi.
Kurikulum
b. Manajemen
Kesiswaan
c. Manajemen tenaga
pendidik dan
kependidikan

11
d. Manajemen
Sarana dan prasana
e. Manajemen
keuangan
f. Manajemen
hubungan
masyarakat
g. Manajemen budaya
lingkungan sekolah

Hasil penelitian Berdasarkan temuan data a. pengelolaan kurikulum Penulis menyimpulkan Secara umum penulis
dilapangan, maka dalam implementasi mbs di dari ketujuh komponen menyimpulkan dalam
penelitian ini dapat smp n 3 kota bumi pada tersebut sudah pelaksanaan MBS di
disimpulkan bahwasanya proses pembelajaran sudah diaplikasikan dengan SDN Gading 1 berjalan
pelaksanaan manajemen berjalan meskipun terdapat maksimal dan baik cukup baik. dalam
berbasis sekolah di SMP kendala seperti sarana karena kerjasama antar dimensi Komunikasi
Negeri 1 Seluma prasarana pendidikan, dan staf sekolah, guru-guru sekolah menggunakan
Kecamatan Semidang waktu pelaksanaan proses dan siswa sehingga website dan whatsupp
Alas Kabupaten Seluma pembelajaran yang tidak tercapai segala rencana sebagai sarana
dalam kategori sangat baik sesuai jadwal yang dibuat oleh penyebaran informasi,
(4.21), hal ini tidak b. Pengelolaan sarana pimpinan baik dari lalu dalam dimensi
terlepas dari kegiatan prasarana dalam yayasan Al Kautsar sumber daya yang ada
perencanaan manajemen implementasi MBS sesuai ataupun dari kepala di SDN Gading 1 cukup
berbasis sekolah (MBS) dengan kebutuhan pan sekolah Al Kautsar. lengkap baik itu sumber
dikategorikan baik (4.17), pemeliharaan dilakukan Penulis juga dapat daya manusia maupun

12
begitu juga dengan ter-utama jika ada prasaran menyimpulkan bahwa sarana dan prasarana
kegiatan pengorganisasian yang rusak segera diganti. SMA Al Kautsar dapat namun terdapat
dalam kategori sangat Namun terdapat kendala memenuhi keinginan beberapa sarana dan
baik (4.52), kegiatan yaitu siswa belum para peserta didiknya prasaran yang tidak
pelaksanaan dalam seutuhnya sadar untuk dan membantudalam berfungsi secara
kategori baik (4.03) dan menjaga dan merawat kegiatan mereka. Maka maksimal. Selanjutnya
pada kegiatan evaluasi fasilitas seperti menjaga sangat wajar ketika dalam dimensi disposisi
dikategorikan baik (4.14). dan sungkan masyarakat sangat respon pegawai cukup
Implementasi membersihkan atau mengenal baik sekolah baik dalam
merawat jika tidak SMA Al Kautsar menjalankan
dikomando oleh guru.. wewenangnya dan
c. Pengelolaan keuangan dalam menangani
dalam implementasi MBS keluhan masyarakat.
berasal dari tiga sumber Terakhir dimensi
yaitu pemerintah pusat, struktur birokrasi
pemerintah daerah, dan ,sekolah membuat lima
masyarakat, sedangkan koordinator
peng-gunaan dana yaitu,koordinator
disesuaikan dengan kurikulum dan
kebutuhan operasional kesiswaan,koordinator
sekolah.Pertanggungjawab keuangan,koordinator
andana berdasarkan humas, koordinator
alokasi sumber dana. umum

13
d. Pengelolaan warga sekolah
hingga stakeholder dalam
implementasi MBS
meliputi pengelolaan
ketenagaan berdasarkan
SK,pelayanan siswa
dengan menyalurkan bakat
dan minat pada kegiatan
ekstrakurikuler,
pengelolaan iklim sudah
berjalan antara kepala
sekolah dengan guru,
kepala sekolah dengan
siswa, guru dengan siswa,
warga sekolah dengan
masyarakat atau
stakeholder dalam bentuk
diskusi. Namun tetap
menemui kendala yaitu
masih ada guru dan orang
tua murid tidak hadir
memenuhi undangan rapat.
e. Evaluasi program sekolah
dalam implementasi MBS

14
meliputi unsur yang
terlibat yaitu seluruh warga
sekolah, sedangkan untuk
rencana tindak lanjut
diberikan kewenangan
dalam melakukan
perencanaan sesuai dengan
kebutuhan yang
dituangkan dalam renstra
dan renop yang dibuat
bersama-sama dengan
warga sekolah di awal
tahun dan hasil evaluasi
harus diperbaiki serta
dijalankan dengan
pedoman pada aturan yang
ada. Namun terdapat
kendala yangditemukan
dalam evaluasi program
sekolah adalah rendah dan
kurangnya hal-hal berikut,
yaitu aspirasi masyarakat
terhadap pendidikan, status
sosial ekonomi

15
masyarakat, sasaran
sekolah, keberadaan siswa,
sikap kemandirian, proses
pengelolaan program,
proses kerjasama dan
partisipasi, kemandirian
sekolah.
f. Strategi peningkatan mutu
pendidikandalam
implementasi MBS yaitu
melakukan kerjasama
dengan lembaga-lembaga
pendidikan dan non
pendidikan. Sedangkan
yang menjadi kendala
yaitu: 1) Sulitnya prosedur
administrasi dalam
mengurus bantuan dana di
Dinas Pendidikan ;2)
Perkiraan yang tidak tepat
terhadap peningkatan
mutu; 3) Konflik dan
motivasi yang kurang
sehat; 4) Lemahnya

16
berbagai faktor penunjang
sehingga mengakibatkan
tidak ber-kembangnya
mutu yang baik.

17
B. Kajian Kebijakan Publik

a) Kebijakan Publik

Kebijakan merupakan sebuah instrumen pemerintah, bukan saja

dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara,

melainkan pula gevernance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya

publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau

pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan

dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi

kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau

warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi,

kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori,

ideology dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik

suatu negara.

Menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt 1973 (dalam

Agustino 2006:6) dalam perspektif mereka mendefinisikan kebijakan

publik sebagai keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan

pengulangan (repitisi) tingkahlaku dari mereka yang membuat dan dari

mereka mematuhi keputusan. Adapun dari Carl Friedrich, 1969 (dalam

Agustino 2006:7) yang mengatakan bahwa kebijakan adalah

serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan terutama dimana

terdapat hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan dimana

18
kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk

mencapai tujuan yang diamaksud.

Menurut R.Dye 1992 ( Anggara 2014:35), “Public Policy is

wathever the government choose to do or not to do” (kebijakan publik

adalah apa pun pilihan pemrintah untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemrintah memilih untuk

melakukan sesuatu, tentu ada tujuannya karena kebijakan publik

merupakan “tindakan” pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk

tidak melakukan sesuatu, juga merupakan kebijakan publik yang ada

tujuannya.

Menurut Bridgman dan Davis 2005 (Suharto 2007:3)

menerangkan kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian

mengenai ‘whatever government choose to do or not to do’. Artinya,

kebijakan publik adalah ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan’. Sedangkan menurut Hogwood dan

Gunn, 1990 (Suharto 2007:4) menyatakan bahwa kebijakan publik

adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai

hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna ‘kebijakan’ hanyalah

milik atau dominan pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-

pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi

Sosial (Misalnya Karang Taruna, Pendidikan Kesejahtraan

Keluarga/PKK) dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki

kebijakan-kebijakan pula.

19
Menurut Bridgeman dan Davis 2004 (Suharto 2007:5)

menerangkan bahwa kebijakan publik setidaknya memiliki tiga dimensi

yang saling bertautan, yakni sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan

tindakan yang legal atau sah secara hukum(authoritative choice), dan

sebagai hipotesis(hypothesis).

1. Kebijakan publik sebagai tujuan

Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian

publik. Artinya, kebijakan publik adalah serangkaian tindakan

pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu

yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.

2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif

karena dibuat oleh lembaga yang memiliki legitimasi dalam

sistem pemerintahan. Keputusan itu mengikat para pegawai

negri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau

kegiatan seperti menyiapkan rancangan undang-undang atau

peraturan pemerintah untukdipertimbangkan oleh parlemen atau

mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program

tertentu.

3. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis

mengenaisebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa

bersandar pada asumsi-asumsi mengenai prilaku. Kebijakan

selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk

20
melakukan sesuatu. Kebijakn juga selalu memuat disensetif

yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan

harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan mengenai

keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengatasi

kegagalan yang mungkin terjadi.

Dalam kaitanya dengan definisi-definisi tersebut di atas maka

dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi

kebijakan publik. Pertama, pada umumnya kebijakan publik

perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau

tujuan tertentu daripada prilaku yang berubah atau acak.Kedua,

kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan

yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang

Terpisah-pisah. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang

sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur

perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat,

bukan apa yang dimaksud dikerjakan atau akan dikerjakan. Keempat,

kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif,

kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam

menangani suatu permasalahan, secara negatif, kebijakan publik dapat

melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan

suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks

tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.Kelima, kebijakan

publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan

merupakan tindakan yang bersifat memerintah.

21
b) Tahap-tahap Kebijakan

Menurut Winarno (2002:28) proses pembuatan kebijakan

merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses

maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli

politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik

membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam

beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik tersebut anatara lain:

1) Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah

pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini

berkompetisisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam

agenda kebijakan. Pada akhirnya beberapa masalah masuk ke

agenda kebijakan para perumus kebijakan.

2) Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi

didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berdasarkan dari berbagai

alternatif yang ada.

3) Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh

para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif

kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas

22
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan

peradilan.

4) Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan

elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena

itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif

pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni

dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen

pemerintah ditingkat bawah.

5) Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau

dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijkan yang dibuat telah

mampu memecahkan masalah. kebijakan publik pada dasarnya

dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.

c) Jenis-jenis Kebijakan Publik

Menurut James Anderson (dalam Suharno 2010: 24-25)

menyampaikan kategori kebijakan publik sebagai berikut:

1) Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang

akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan

prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat

dijalankan.

2) Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus

kebijakan redistributive

23
Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau

kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan

regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau

pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok

masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif merupakan

kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan,

pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam

masyarakat.

3) Kebijakan materal versus kebijakan simbolik

Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan

keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran.

Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang

memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.

4) Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public

goods) dan barang privat (privat goods)

Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur

pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan

privat goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan

barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

24
C. Implementasi Kebijakan Publik

a) Definisi Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses

kebijakan publik, biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah

kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implimentasi

kebijakan dari sudut pandang teori siklikal (cyclical theory) maka

implementasi itu akan diperlukan sebagai suatu tahapan penting yang

berlangsung dari proses kebijakan, terutama setelah wacana legal

formal, biasanya berupa undang-undang, peraturan, ketetapan, atau

bentuk-bentuk produk lainnya, dianggap sudah usai.

Dalam arti luasnya, implementasi juga sering dianggap

sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan

aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan

menjadi kesepakatan bersama diantara beragam pemangku

kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat),

prosedur, dan teknik secara sinergistis yang digerakan untuk

bekerjasama guna menerapkan kebijakan kearah tertentu yang

dikehendaki.

Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier 1979

(dalam Wahab 2012:135) menjelaskan makna implementasi ini

dengan mengatakan bahwa, “Memahami apa yang senyatanya terjadi

sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan

merupakan faktor perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-

kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya

25
pedoman-pedoman kebijakan publikyang mencakup baik usaha-usaha

untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan

akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.Selain

definisi semacam itu, implementasi kebijakan dapat pula dianggap

suatu proses, keluaran (output) dan hasil akhir (outcome). Berangkat

dari logika pemikiran ini, maka implementasi kebijakan dapat

dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, serangkaian keputusan (a

serial of decisions) dan tindakan (actions) yang bertujuan

melaksanakan keputusan pemerintah atau keputusan legislasi Negara

yang telah dibuat atau dirumuskan sebelumnya.

Menurut Van Meter dsn Van Horn 1975 (dalam Agustino

2006:139) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan-

tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijakan.

Sedangkan menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabater

1983 (dalam Agustin 2006:139) mendefinisikan bahwa implementasi

kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya

dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-

perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau

keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut

mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara

26
tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk

menstrukan atau mengatur proses implementasinya.

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas dapat

diambil kesimpulan bahwa implementasi kebijakan publik yaitu suatu

bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang

telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan menjadi

kesepakatan bersama baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat

atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan

pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan dan biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat

pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif

yang penting atau keputusan badan peradilan.

b) Model Implementasi Kebijakan

1) Model Donald Van Meter dengan Carl Van Horn

Model yang diperkenalkan oleh duet Donald Van Meter

dengan Carl Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99),

menegaskan bahwa “Implementasi kebijakan berjalan secara

linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan

publik”. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel

yang mempengaruhi dan yang menyangkut dalam proses

kebijakan publik adalah:

a. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi.

b. Karakteristik dan agen pelaksana/implementor.

c. Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan

27
d. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor.

Implementasi kebijakan dilakukan untuk meraih kinerja

yang tinggi dan berlangsung dalam antar hubungan berbagai

faktor. Suatu kebijakan menegaskan standar dan sasaran

tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.

2) Model Merilee S. Grindle

Model Grindle (dalam Nugroho, 2003: 134) ditentukan oleh

“isi kebijakan dan konteks implementasinya”. Ide dasarnya

adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka

implementasi kebijakan dilakukan”.

Dalam model Grindle tingkat keberhasilannya sangat

ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Isi kebijakan mencakup:

a. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

b. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

c. Derajat perubahan yang diinginkan

d. Kedudukan pembuat kebijakan

e. Pelaksana program, dan

f. Sumber daya yang dikerahkan.

Sementara itu, konteks implementasinya adalah:

a. Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor terlibat

b. Karakteristik lembaga dan penguasa

c. Kepatuhan dan daya tanggap.

3) Model Mazmanian dan Sabatier

28
Model kerangka analisis implementasi (a framework for

implementation analysis) yang diperkenalkan oleh Mazmanian

dan Paul A. Sabatier (dalam Nugroho, 2006: 129)

mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam

tiga variabel, yaitu:

a. Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah

dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah

teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan

perubahan yang dikehendaki

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan

kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi

dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,

dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber

dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana,

aturan dan lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat

pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar, dan

variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses

implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi

sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap

dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi serta

komitmen dan kualitas kepemimpinan dan pejabat

pelaksana.

c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses

implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman

29
dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya

kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata,

penerimaan atas hasil nyata, dan akhirnya mengarah

kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan

dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan

yang bersifat mendasar.

4) Model George Edwards III

Teori implementasi kebijakan George Edwards III 1980

(dalam Agustino 2012:149) menamakan model implementasi

kebijakan publiknya dengan istilah Direct and Indirect Impact

on Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh

Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan

keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: (i)

komunikasi; (ii) sumber daya; (iii) disposisi; dan (iv) struktur

birokrasi.

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi suatu kebijakan, menurut Edward III, adalah

komunikasi. Komunikasi, menurutnya, sangat menentukan

keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan

publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat

keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.

Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan

bila komunikasi berjalan dengan baik sehingga setiap keputusan

kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan

30
(atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat.

Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat,

akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian

informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para

implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan

setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan)

dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di

atas, yaitu:

1) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali

yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya

salah pengertian (miskomunikasi), hal ini disebabkan karena

komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi

sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

2) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana

kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak

membingungkan (tidak ambigu). Ketidakjelasan pesan

kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada

tataran tertentu, namun para pelaksana membutuhkan

kejelasan informasi dalam melaksanakan kebijakan agar

tujuan yang hendak dicapai dapat diraih sesuai konten

kebijakan.

31
3) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan

suatu komunikasi haruslah konsisten (untuk diterapkan dan

dijalankan). Ini karena jika perintah yang diberikan sering

berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi

pelaksana di lapangan.

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya

merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III,

dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-

sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

1) Staf; sumber daya utama dalam implementasi kebijakan

adalah staf atau sumber daya manusia (SDM). Kegagalan

yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah

satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi,

memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya.

Penambahan jumlah staf atau implementor saja tidak

mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan

keahlian serta kemampuan yang diperlukan (kompeten dan

kapabilitas) dalam mengimplementasikan kebijakan atau

melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu

sendiri.

2) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi

mempunyai dua bentuk yaitu: (i) informasi yang

berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.

32
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan di saat mereka diberi perintah untuk melakukan

tindakan. Dan (ii) informasi mengenai data kepatuhan dari

para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah

yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui

apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

3) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat

formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan

merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana

dalam-melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara

politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para

implementor di mata publik tidak terlegitimasi, sehingga

dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi,

dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut

ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas

kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan

diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan;

tetapi di sisi lain, efektifitas akan menyurut manakala

wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi

kepentingannya sendiri atau demi kepentingan

kelompoknya.

4) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam

implementasi kebijakan. lmplementor mungkin memiliki staf

33
yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan

memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi

tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana)

maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan

implementasi kebijakan publik, bagi George C. Edward III,

adalah disposisi. Disposisi atau ‘sikap dari pelaksana kebijakan’

adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai

pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu

kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak

hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga

harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga

dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu

dicermati pada variabel disposisi, menurut Edward III, adalah:

1) Efek Disposisi; disposisi atau sikap para pelaksana akan

menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap

implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak

melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh

pejabatpejabat tinggi. Oleh karena itu, pemilihan dan

pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-

orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah

ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

2) Melakukan Pengaturan Birokrsi (stffing the bureaucracy);

dalam konteks ini Edward III mensyaratkan bahwa

34
implementasi kebijakan harus dilihat juga dalam

halpengaturan birokrasi. Ini merujuk pada penunjukan dan

pengangkatan staf dalam birokrasi yang sesuai dengan

kemampuan, kapabilitas, dan kompetensinya. Selain itu,

pengaturan birokrasi juga bermuara pada ‘pembentukan’

sistem pelayanan publik yang optimal, penilaian personil

dalam bekerja, hingga metode bypassing personil

3) Insentif; Edward III menyatakan bahwa salah satu teknik

yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan

para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Pada

umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka

sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat

kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan.

Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu

mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para

pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal

ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi

(self interest) atau organisasi.

Variabel keempat, menurut George C. Edward III, yang

mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan

publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber

daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para

pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya

dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan

35
suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat

terlaksana atau terealisasi karena terdapat kelemahan dalam

struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks

menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur

birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka

hal ini akan menyebabkan sumber-sumber daya menjadi

tidak efektif dan tidak termotivasi sehingga menghambat

jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah

kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah

diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi

dengan baik. Hal-hal penting yang perlu dicermati dalam

variabel struktur birokrasi menurut Edward III, adalah:

a. SOP (Standart Operating Procedures)

Prosedur-prosedur biasa ini biasa ini dalam

menangguangi keadaaan-keadaan umum digunakan dalam

organisasi-organisasi publik dan swasta. Dengan

menggunakan SOP para pelaksana dapat memanfaatkan

waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan

tindakan-tindakan dari para pejabat dari organiasai-

organiasai yang kompleks dan tersebar luas, yang pada

gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar

(orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat

ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan

peraturan-peraturan.

36
b. Fragmentasi

Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijkan sering

tersebar diantara beberapa organisasi, seringkali pula terjadi

desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal

guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Kongres dan

lembaga-lembaga legislatif lain mencantumkan banyak

badan secara terpisah dalam undang-undang agar dapat

mengamatinya lebih teliti dan dalam usaha menetukan

perilaku mereka. Selain itu, kelompok-kelompok

kepentingan juga akan mempunyai pengaruh dalam

mendorong fragmentasi. Sifat multidimensi dari banyak

kebijkan juga ikut mendorong fragmentasi.

Dari berbagai pandangan mengenai model implementasi

kebijakan publik diatas sebagai tolak ukur dalam menciptakan

sebuah implementasi pelayanan publik yang baik, peneliti

berkesempatan ingin menggunakan model implementasi

menurut George Edwards III 1980 (dalam Agustino 2012:149)

yang memabagi dalam empat faktor yang mempengaruhi

keberhasilan suatu implementasi kebijakan antara lain: (i)

komunikasi; (ii) sumber daya; (iii) disposisi; (iv) struktur

birokrasi. Dengan tujuan untuk mengetahui Manajemen

Berbasis Sekolah di SDN Gading 1 Kota Surabaya. Alasan

penulis menggunakan teori tersebut sebagai indikator dalam

penelitian karena menurut penulis teori tersebut dirasa sesuai

37
untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan

implementasi kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah Di SDN

Gading 1 Kota Surabaya. dengan menggunakan keempat faktor

menurut George Edwards III 1980 (dalam Agustino 2012:149).

38
D. Kerangka Berpikir

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Sesuai Perda


Kota Surabaya No 16 tahun 2012

Terjadi perubahan dalam hal penerapan manajemen


kurikulum dimana kebijikan tersebut masih menggunakan
Kurikulum KTSP namun dalam implementasinya
menerapkan Kurikulum 2013

Implementasi MBS di SDN Gading 1 Kota Surabaya


menurut model George Edward III

1. Komunikasi:
2. Sumber daya:
3. Disposis
4. Struktur Birokrasi

39

Anda mungkin juga menyukai