Anda di halaman 1dari 2

“Apa yang bisa kamu lihat dan dengar, pasti bisa kamu baca”

Yap, itu adalah inti dari kajian semiotika, sebuah bidang ilmu yang mempelajari tentang makna
tanda yang ada dalam sebuah “teks”. Adalah Ferdinand de Saussure, seorang profesor linguitik
kebangsaan Sawiss yang dikenal sebagai bapak semiotika. Dalam semiotik dipelajari bahwa kita
dikelilingi oleh tanda, dan kita bisa menemukan makna dibalik tanda-tanda yang ada itu. Contoh
gampangnya lampu merah sebagai tanda yang bermakna perintah untuk berhenti. Contoh susahnya?
Yah film, artikel, cerpen, iklan TV, lagu, puisi, termasuk juga fotografi. sebenernya nggak susah sih, lebih
tepatnya Seru! Kali yah..

Dan ada juga Roland Barthes, seorang semiolog kebangsaan Perancis yang mengembangkan dan
mempraktikkan semiologinya Saussure. Lebih jauh lagi ia menggunakan semiologi sebagai metode untuk
menganilisa budaya.

Banyak pemikiran Barthes yang kemudian dibukukan. Salah satu yang cukup terkenal ialah
Camera Lucida, buku yang membahas semiologi dalam fotografi. Dalam bukunya itu ia berpendapat
bahwa sebuah foto itu terdiri dari studium dan punctum. Saya memahaminya tidak hanya sebagai
bagian dari foto melainkan sebuah tingkatan dalam membaca foto. Studium ialah gambaran umum yang
ditangkap oleh si penikmat foto dari sebuah foto. Informasi tentang keberadaan objek-objek yang ada
dalam foto yang bersifat sekilas. Dan menimbulkan kesan suka-tidak suka atau bagus atau tidak bagus.

Nah, ketika kita memandangi sebuah foto dengan waktu yang lama, maka kita akan melihat
lebih dalam lagi, mencari detail dan menginterpretasikan makna dari hubungan tiap objek dalam foto.
Nah bagian ini diistilahkan oleh Barthes sebagai Punctum. Jadi, jika stadium ialah apa yang kita lihat
sekilas dari foto sedangkan punctum itu berada dibalik semua itu atau bahkan punctum itu ialah sesuatu
yang tidak tampak dalam foto. punctum itu bisa berupa perasaan atau mood, cerita, atau sebuah hasrat
tertentu.

Tentunya setiap pemandang foto akan memiliki studium dan punctum yang berbeda-beda
sesuai dengan pengalaman, pengetahuan serta motivasi mereka. Begitu juga pucntum dan studium
dengan si pemotret. Ketika sebuah foto sudah dilepas atau diperlihatkan kepada orang banyak maka
foto tersebut menjadi intersubjektif atau menjadi “milik” para pemandang.

Lalu mengapa yang saya bahas disini adalah studium dan punctum dalam street photography?
Mungkin alasan utamanya ialah street ialah pendekatan (bukan genre) dalam fotografi yang sedang saya
gemari dan saya giati. Selain itu street photography jugalah yang membuat saya mencari tahu cara
untuk menikmati foto-foto para street shooters yang lebih berpengalaman. Lalu bertemulah saya
dengan istilah studium dan punctum ini.

Seperti yang kita tau, dalam melakukan street photography itu penuh dengan ketakterdugaan,
tidak terencana. Tapi justru karena hal-hal itu foto street menarik, kita akan membuat momen itu
menjadi punya cerita, punya makna dan punya nilai. Walau pun momen yang sekelabat itu tidak
direncana, tapi si fotografer tetap punya alasan saat ia memutuskan untuk merekamnya. Ia pasti melihat
sebuah hubungan antara berbagai objek yang lewat di view findernya.
Awalnya tiap saya melihat foto street yang saya pikirkan hanya “wah keren, artistik banget nih.
Bernyawa fotonya” yah mungkin juga kesan artistik itu datang dari tonal BW yang biasa digunakan di
foto street dan memang dianggap menghadirkan kesan artistik. Tapi saya selalu berhenti melihat foto
saat sudah mendapat kesan keren, artistik dan bernyawa itu tanpa bisa mendekripsikan kenapa foto ini
saya bilang keren, artistik, dan sebagainya.

Nah ketika kita hanya membaca foto hanya sampai mendapat kesan umumnya saja maka kita
hanya dapat menemukan studiumnya. Sementara untuk bisa membaca punctumnya butuh waktu yang
lebih lama lagi.

Saya yakin nih, kebanyakan dari kita (termasuk diri khotib sendiri) juga hanya melihat foto
sebatas sampai menemukan studiumnya saja, tanpa mencapai punctumnya. Coba aja liat, banyak kan
komentar-komentar singkat yang cuma bilang “sip”. “oke”. “bw nya mantep”. Syukur-syukur mereka
yang bilang sip itu memang sebenernya udah bisa nikmati fotonya dan sekedar malas ngetik komentar.

Atau juga pada foto-foto yang banyak objek, cenderung tidak lazim alias membingungkan. Pasti
akan banyak komentar yang menanyakan POInya apa. Padahal si fotografer itu pasti punya alasan yang
kuat kenapa ia motret suatu momen bahkan sampe di pamerin di forum. Hanya saja kita yang malas
mencari tahu alasannya malas membaca fotonya lebih dalam lagi.

Baru-baru ini saya sering memaksakan diri untuk terus memandangi foto street dalam waktu
yang lama untuk mencari punctum saya. “Pokoknya saya harus bisa ngerti ini foto” ucap saya dalam hati.
Lalu saya mencoba mengaitkan berbagai objek yang ada disana, bermain dengan imajinasi dan mood.
Memposisikan diri sebagai fotografernya dan berada saat momen itu, lalu menebak alasan si fotografer
memotret. Rasanya seperti orgasme ketika saya berhasil menemukan dan menikmati kehebatan foto
tersebut. Sejauh ini saya menemukan foto-foto street itu mengandung humor, repetisi, grouping objek
yang sama, drama, situasi surreal, mood, permainan cahaya atau pun permainan komposisi dan
geometri.

Oke, dari pada kepanjangan ngomongin teori. Saya akan coba untuk praktik. Membaca
punctum sebuah foto.

“kita tidak akan tahu apakah buah itu manis atau tidak jika kita hanya melihat kulitnya saja.
Perlu dikupas dan dirasakan.”

Anda mungkin juga menyukai