Anda di halaman 1dari 6

POTRET DIRI SEBAGAI VISUALISASI DALAM LUKISAN

BAB I LATAR BELAKANG


Bab ini merupakan bagian dimana penulis menjelaskan bagaimana dan apa yang
mendorong pembuatan karya lukis secara utuh. Diawali dari masa kecil, pengalaman,
pengamatan dan pengkajian yang dilakukan, hingga sampai pada pemilihan potret diri sebagai
wujud atau pemvisualan penulis ke dalam lukisan.
Singkatnya separuh dari hidup saya, saya jalani di sebuah desa kurang lebih 30km di
selatan kota Tulungagung, didaerah pegunungan kapur yang gersang, waktu itu air sulit didapat
ketika musim kemarau dan larang pangan, ditambah lagi belum adanya sarana prasarana yang
memadai, jangankan toko buku atau perpustakaan toko bahan pokok saja bisa dihitung dengan
jari, listrik belum masuk desa penerangan malam hari hanyalah lampu petromak, lampu minyak,
hal ini memaksa saya untuk nonton TV 2-3jam dalam seminggu itu pun nonton TVnya dirumah
tetangga yg punya jenset dan TV. Sebagian besar penduduk didesa saya adalah petani yang
menggarap lahan milik perhutani. Kala itu perekonomian sangat sulit
Masa SMP sarana prasarana mulai dibenahi, termasuk jalan, listrik orang-orang didesa
kami berbondong- bondong membeli peralatan elektronik seperti TV, kulkas dll. Mengerjakan
PR pun menjadi lebih mudah karena maalam hari sudah ada penerangan yang memadai tapi
sayang saya tidak hoby mengerjakan PR. Saya lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah
seperti mencari ikan disungai, bermain kekehan (gangsing jawa), bermain tanah liat,
ciblon(berenang disungai) dari pada belajar pelajaran sekolah meski tiap hari dimarahi oleh
bapak dan ibu saya. Sampai sejauh ini saya belum kenal dengan yang namanya seni rupa. Satu
satunya kesenian yang saya ikuti adalah jaranan, saya sempat menjadi pemain jaranan karena
saya trrpukau dengan keliaran gerakan, spontanitas dan tetabuhanya saat ndadi (kesurupan).
Masa SMA saya sekolah di kota tapi tidak kost saya pulang pergi kurang lebih 30km
setiap hari kecuali hari minggu, saya berangkat tiap pagi pukul 05.30 jadi pukul 04.45 saya sudah
bangun dan persiapan berangkat kesekolah. Pada masa ini saya sangat menggandrungi balap
motor, jadi motor pembelian ibu saya saya modifikasi sedemikian rupa agar bisa melaju
sekencang-kencangnya, demi memuaskan hasrat balap saya, tak peduli habis biaya berapa, bisa

buat harian apa tidak motornya tidak masalah, waktu itu saya merasa kurang jika melihat motor
dalam kondisi standar. Hari- hari saya saya habiskan dibengkel untuk seting motor hingga lupa
waktu pulang. dan sejauh ini saya juga belum kenal sama sekali apa lagi tertarik dengan yang
namanya seni rupa kecuali tattoo di masa ini saya mulai belajar tattoo dengan mentatto tubbuh
saya sendiri dan teman-teman dekat saya. Saya belajar secara otodidak, merangkai alat sendiri
dan hasilnya sangat mengecewakan kata teman-teman saya terlebih bagi bapak dan ibu saya.
Justru kesadaran seni saya hadir ketika saya kuliah dijurusan ekonomi pada saat itu saya
sangat jarang kuliah karena jurusan kuliah di jurusan ekonomi bukan pilihan saya sendiri, jadi
waktu kuliah saya habiskan untuk menggambar tokoh-tokoh yang saya sukai. Saya berusaha
menggambarkanya semirip mungkin, hingga banyak teman- teman kuliah meminta saya untuk
menggambarkan wajah baik secara on the spot atau dari foto dengan imbalan sebungkus rokok/
makan gratis. Hampir 4 smester kuliah diekonomi saya habiskan untuk menggambar dan
mengumpulkan barang bekas (rombeng) untuk di jual, hingga kamar kost saya berisi penuh
gambar- gambar yang saya buat dan barang- barang rongsokan yang membuat ibu kost marah.
Pada periode ini saya disarankan oleh teman untuk masuk ke sekolah seni mendalami seni rupa
dan saya mengiyakanya hingga saya tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni rupa di STKW .
Dari uraian diatas tampaknya saya tidak punya rencana sama sekali untuk masuk dalam
dunia seni rupa semuanya berjalan begitu saja tanpa saya rencanakan, saya persiapkan, bahkan
saya sama sekali tidak punya modal bakat, teknik, pengetahuan tentang seni rupa saat masuk di
sekolah seni rupa. Di sini saya sadar bahwa apa yang telah kita rencanakan belum tentu akan
terwujud dan apa yang tidak direncanakan akan menjadi lebih indah, menenangkan batin. target
saya dalam belajar seni rupa pada saat itu adalah bisa melukis semirip, sedetail mungkin. setelah
mencoba beberapa kali belajar melukis dengan teknik yang sudah saya kuasai sebelumnya yaitu
meliukis realis dan bertambahnya wawasan tentang seni rupa, saya justru tidak mersa nyaman
menyiksa batin. Kadang saya puas dengan hasilnya tapi saya tersiksa dengan prosesnya atau
lebih parah lagi saya tidak bisa jujur dalam menggngkapkan isi hati, warna, garis, bentuk yang
dibuat- buat tidak dapat sama sekali menikmati baik proses ataupun hasilnya.
Saya yakin penglaman apapun baik pengalaman masa kanak- kanak, masa remaja, tempat
tinggal (sejarah) kita punya pengaruh besar terhadap karya- karya saya saat ini. Semua
pengalaman itu mengendap dan akan keluar dengan sendirinya disaat saat tertentu dan hal itu

akan menjadi sumber ide yang penting dalam karya. Dari apa yang sudah tertuliskan sebelumnya
saya seperti hidup di dua alam yang sangat berbeda bertolak belakang, kehidupan didesa yang
alami, tenang, damai, ramah, media informasi yang terbatas, tradisi yang kental, dan kehidupan
di kota yang ramai, macet, acuh, polusi, dan semua serba instan, media informasi yang tidak
terbatas menjadi sebuah gejolak dalam batin dan membentuk pemahaman dalam diri saya dalam
berkarya.
Gagasan yang muncul pada pikiran saya timbul dari pengalaman yang telah saya lewati
dan keseharian saya dari hal tersebut membentuk sebuah pengalaman batin sebagai bahan dasar
untuk berkarya.
Sudarmaji; seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan
menggunakan media bidang, garis, warna, tekstur, volume dan gelap terang
Jadi karya seni yang terwujud/ tervisualisasi merupakan gambaran dari pengalaman
batin saya, seorang dari desa yang hidup dikota yang kebetulan menimba ilmu di sekolah seni
rupa. Dari sini saya sadar bahwa pengalaman- pengalaman yang saya tuliskan panjang diatas
merupakan sebuah pengalaman estetis. Pengalaman yang sangat berharga, bekal untuk berolah
seni
Pemilihan potret diri sebagai visual dalam karya bukan tanpa alasan karena ketika
kuliah di ekonomi saya mendalami lukisan potret, melukis potret pesanan demi sebungkus
rokok/ sepiring nasi.
potret adalah sebuah lukisan, foto, patung atau representasi seni dari seseorang yang
mana wajah atau ekspresinya adalah hal yang utama dimaksudkan untuk menampilkan
personalitas dan juga kadang perasaan seseorang.

BAB II KONSEP PENCIPTAAN


Ide Penciptaan
Saya tidak pernah tertarik untuk melukis apa yang saya lihat secara persis atau mirip karena saya
bukan kamera dan perlu dicatat bahwasanya yang saya lukis adalah apa yang ada dalam perasaan
saya. Dengan cara ini saya dapat dengan bebas mencurahkan suasana batin/peraasaan tanpa
terganggu oleh pikiran saya dan saya juga dapat lebih leluasa menempatkan banyak hal
didalamnya termasuk rasa cinta, sayang, benci, rasa sakit, emosi tanpa menyakiti hati siapapun.
Melukis bukanlah mencitrakankan apa yang ada dalam otak/pikiran, saya mencoba
meminimalisir penataan obyek dan aspek visual yang lain. Jadi disini ekspresi, spontanitas lebih
saya utamakan tanpa takut menggunakan bahan, media apapun, tidak juga takut salah atau benar,
indah atau tak indah.
Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari obyek tiga
dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti
kanvas, kertas, papan dan bahkan film didalam fotografi bisa di anggap sebagai media lukisan.
Alat yang digunakan juga bisa bermacam- macam, dengan syarat bisa memberikan imaji
tertentu kepada media yang digunakan. Wikipedia

Bentuk Perwujudan

BAB III PROSES PENCIPTAAN


Tahap Pemantapan ide

Sering kali saya mengawali melukis tanpa ide samasekali, karena terkadang ide justru membatasi
ruang gerak ekspresi dan yang terjadi adalah pencitraan yang beraasal dari pikiran/. Bukan tanpa
alassan untuk melukis tanpa ide terlebih dahulu, Sebuah pengalaman yang telah dilewati, dan apa
saja yang telah terekam; terlihat, terdengar, terraba, terasa, baik disadari maupun tidak disadari
disini pengalaman apapun itu akan sangat mempengaruhi suasana batin seseorang dan dapat
menjadi

sumber

ide.

Ide

tersebut

tidak

selalu

didapat

di

awal

atau

sebelum

pengerjaan/pengeksekuasian karya terkadang baru muncul saat ketika karya dikerjakan.


Bahan, Alat dan Teknik
Bahan dan alat yang saya gunakan bisa bermacam-macam tidak melulu menggunakan kanvas,
cat, kuas atau bahan dan alat konvensional.saya bisa menggunakan kayu, tanah liat, arang,papan
bekas dll. Untuk tekniknya sendiri mengikuti bahan atau media apa yang digunakan. Yang pasti
saya tidak menggunakan bahan peledak dalam melukis karena saya bukan teroris
Tahap Visualisasi/ Perwujudan

Bagaimanapun juga melukis adalah mencurahkan atau mencitrakan suasana batin dengan
meminjam bentuk-bentuk di alam maupun di dalam. (Ugo untoro, The sound of silence and
Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarrette and Fire of the Lighter)

Seni memiliki unsur kejutan (seperti) misalkan kita memancing. Kita nggak tau akan
dapat ikan apa. Setiap kali kita terkejut. Setiap kita melihat terbitnya matahari. Kecenderungan
sekarang melupakan itu. Seniman kan bukan pemberi pelajaran atau nasihat untuk orang lain.
Bukan mengabarkan sesuatu. Ugo untoro, The sound of silence and Colors of the Wind Between
the Tip of a Cigarrette and Fire of the Lighter. hal 349

Anda mungkin juga menyukai