Anda di halaman 1dari 22

2010

BENTUK FILM :KONSEP PENCERITAAN

Kusen Dony Hermansyah


SinemaGorengan Indonesia
kadehara

1/1/2010

BENTUK I :
SIGNIFIKANSI BENTUK FILM
Bentuk dipahami sebagai sesuatu yang menjadi sumber keteraturan, kesatuan dan
identitas sebuah objek. Dari bentuk ini segalal sesuatu bisa menjadi tertib dan mudah
dimengerti. Begitu pula dengan film, sebagai sebuah produk tentu saja memiliki bentuknya
sendiri dan dengan bentuk ini pula film kemudian menjadi mudah untuk dipahami oleh
pembuat dan penontonnya, termasuk para kriktikus. Pada sebuah film, yang dikategorikan
sebagai bentuk adalah penceritaannya dan sebelum bebicara jauh mengenai bentuk film, maka
harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar pemikiran bentuk film ini perlu ada,
dengan catatan bahwa pembahasan bentuk ini dilihat dari sudut pandang penontonnya.
1. Bentuk Film Sebagai Sistem
Bila mengenal teori sistem, maka bentuk film merupakan salah satu yang
menggunakannya sebab terdiri dari unsurunsur yang memiliki hubungan secara organik.
Unsurunsur itu adalah cerita, plot, ruang, waktu, karakter, hubungan sebabakibat dan
lain sebagainya. Setiap unsur memiliki fungsinya masingmasing dan saling bergantung
antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, sehingga kesatuan (fungsi dan saling
ketergantungan) dari unsurunsur itulah yang disebut dengan sistem. Dengan kata lain, bila
salah satu unsur itu hilang, maka bentuk film akan terganggu ataupun tidak bisa berjalan
sesuai yang diharapkan. Kita ambil contoh, apabila menonton sebuah film yang yang tidak
memiliki cerita, pastinya kita bingung untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah dilihat.
Contoh lain, sebuah film yang tidak memiliki karakter, maka kita sebagai penonton akan
bingung mengidentifikasi sosok yang akan kita ikuti di dalam film. Oleh karena itu
kesadaran bahwa unsurunsur itu saling berkaitan menjadi sangat penting bagi para
pembuat film.

2. Bentuk Film Dan Isi Film


Bentuk merupakan sesuatu yang berpola dan bersifat tetap, sedangkan isi adalah
sesuatu bisa berubah dan selalu mengikuti bentuknya. Bila diibaratkan bentuk adalah
ember, gelas ataupun botol, maka isinya bisa bermacammacam baik air, minyak, pasir,
gula dan sebagainya. Misalnya air yang akan mengikuti bentuk embernya, gelas atau
botolnya.
Begitu pula dengan cerita, kita bisa menggunakan cerita yang sama persis secara isi
namun bila dikemas dengan bentuk yang berbeda maka cerita tersebut akan memiliki kesan
yang berbeda pula. Bayangkan bila kita punya cerita percintaan antara Kiara dan Dondi,
biasanya urutan waktu yang digunakan adalah linear dan progresif (maju ke depan). Tetapi
bayangkan kalau ceritanya dimulai dari mereka menjadi sepasang kekasih sampai berakhir

kusen_dony_hermansyah

saat awal mereka berkenalan, artinya urutan waktunya berjalan mundur. Secara isi bisa jadi
sama persis, namun secara bentuk waktunya berjalan mundur maka kesan yang ditangkap
penonton akan berbeda.

3. Konvensi Dan Pengalaman


Jumlah film yang diproduksi di bumi ini tentunya sudah jutaan atau mungin sudah
milyaran. Untuk mengakses tontonan film juga relatif bukan hal yang sulit. Penonton
film tentunya akan terbiasa disuguhkan sesuatu baik secara bentuk maupun isi dan karena
sudah terbiasa menonton film dengan bentuk, isi ataupun pola tertentu maka hal tersebut
akhirnya melekat kuat di benak penontonnya. Selain itu penonton juga punya pengalaman
dari kehidupan seharihari mereka yang terus dijalani dan tentunya sudah menjadi
kebiasaan bahkan menjadi budaya. Informasi yang dikenali dari menonton film dan
kehidupan seharihari mereka inilah yang akhirnya menjadi konvensi dan pengalaman
tersebut yang akhirnya bisa melibatkan penilaian masyarakat terhadap film yang sedang
ditonton.
Contoh kecil yang teradi dalam film Bendera karya Nan Achnas, kedua tokoh di
dalam film itu tinggal di dekat stasiun kereta api dan mereka terbiasa melintasi rel kereta
ketika menuju sekolah. Selain itu merka digambarkan juga bukan anak kuper, sehingga
saat mereka berhasil naik kereta listrik saat mengejar bendera dan pulangnya justru tidak
naik kereta listrik lagi menjadikan adegan ini aneh. Dikarenakan umumnya anakanak yang
tinggal di dekat stasiun kereta api sangat mengenal bagaimana harus naik kereta api tanpa
membayar terutama dengan sistem perkeretaapian di Jakarta yang sangat ruwet. Bagi
penonton yang tidak mengenal dunia kereta api mungkin permasalahan di atas dianggap
lumrah, namun bagi yang terbiasa hidup di sekitaran kereta api dan stasiun, maka hal
tersebut sangatlah janggal.
Dalam membuat film memang kita tidak bisa mengakomodasi seluruh konvensi yang
ada di dunia ini, tetapi setidaknya seorang pembuat film harus pada tingkatan paham akan
permasalahan yang diangkat, jangan sampai unsurunsur yang dimasukkan di dalamnya
terasa janggal, sebab bagaimanapun pendekatan realism memang dibutuhkan agar
membuat penonton percaya.

4. Pengharapan Dalam Bentuk Film


Memiliki konvensi di kepalanya, maka penonton akan selalu mencoba menebak
adegan selanjutnya yang akan disuguhkan oleh pembuat film. Oleh karena itu sebaiknya
pembuat film selalu punya jurus pamungkasnya, sebab kalau tebakan penonton selalu
benar, maka tentu saja akan membuat kecewa
Contohnya dalam sebuah adegan film yang menceritakan tentang anak yang
mencari ibunya di sebuah pasar karena terpisah saat ibunya berbelanja. Biasanya penonton
akan dituntun dengan rangkaian adegan sebagai berikut :

kusen_dony_hermansyah

1. Anak mencari ibunya di lorong x.


2. Ibu terus berjalan ke depan
3. Anak mencari ibunya di lorong z, sampai kemudian dia melihat sesosok perempuan yang
berpakaian mirip dengan ibunya.
4. Saat mendekati perempuan tersebut dan menggandeng tangannya, ternyata dia
bukanlah ibunya.
5. Sang ibu tetap tidak sadar
Adegan 1, 2 dan 3 biasanya sudah bisa ditebak dan diantisipasi penonton sehingga untuk
mengecoh perhatiannya agar tebakan itu tidak selalu benar, maka pada adegan 4 penonton
ditipu dengan menghadirkan orang yang bukan ibunya.
Kalau mau dibuat semacam rumus dan pembuat filmnya hendak mengikuti pikiran
penonton, misalkan adegan 1 dan 3 itu bisa dilambangkan dengan huruf A dan adegan 2
dilambangkan dengan huruf B, maka rangkaiannya adalah A, B, A Bila anak menemukan
ibunya sesuai pengharapan penonton, maka adegan 4 akan masuk kumpulan B yang
menjadikan rumusnya A, B, A, B Sedangkan pada adegan di atas, anak justru tertipu oleh
pakaian yang mirip dengan ibunya sehingga pembuat filmnya justru mengecoh
penontonnya sehingga rangkaiannya menjadi A, B, A, C . dimana huruf C melambangkan
adegan 4 yang mengecoh tebakan penonton.
Memang rangkaian adegan tidak selalu diarahkan begitu, sebab pembuat film
sesekali bisa saja membuat tebakan penontonnya benar, namun sekali lagi kalau tebakan
penonton selalu benar maka justru akan membuat penontonnya bosan sebab tidak ada lagi
kejutan (surprise) yang mereka dapatkan di dalam film tersebut.

5. Bentuk Film Dan Rasa


Bagaimanapun, bentuk film harus bisa dirasakan oleh penontonnya, sehingga
berbicara tentang rasa maka hal itu terdiri dari dua aspek yaitu rasa yang dialami tokoh dan
rasa yang diterima oleh penonton. Sesuatu yang dirasakan tokoh tentu saja seperti sedih,
senang, jatuh cinta dan sebagainya. Rasa ini secara umum harus bisa dirasakan juga oleh
penontonnya, namun apa yang dirasakan penonton tidak selalu harus dirasakan oleh tokoh
dalam filmnya. Misalnya penonton bisa merasa cemas ketika tokoh hendak dipukul dari
belakang, padahal pada adegan itu sang tokoh sedang melakukan rutinitasnya (sedang tidak
mengalami rasa apapun) atau contoh lain misalnya tokoh yang sedang dikejar hantu,
menemukan tempat persembunyian yang dianggapnya aman, namun ternyata tempat itu
justru sarang hantu tersebut.

kusen_dony_hermansyah

6. Bentuk Film Dan Makna


Bentuk film juga harus memiliki ataupun mengandung makna tertentu, sehingga
informasi yang diterima oleh penonton menjadi lebih bernilai. Artinya tidak sekedar
bernilai saat berlaku di film saja. Makna dalam bentuk film dibedakan menjadi :
- Referential Meaning
Makna yang muncul dari referensi yang ada. Dalam film yang berhubungan dengan
sejarah ada beberapa hal yang menjadi catatannya, misalnya dalam film Gie karya Riri
Riza, orang kaya pada masa itu banyak yang menggunakan Holden, maka secara
referential meaning mobil tersebut adalah mobil mewah.
- Explicit Meaning
Makna yang terlihat dan terdengar secara gambling dan lugas di layar, misalnya tokoh
yang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya berarti dia sedang makan, ataupun
memasukan benda cair ke mulutnya berarti dia minum.
- Implicit Meaning
Makna yang ada dibenak penonton, sebab makna yang sebenarnya adalah yang tersirat.
Misalnya ada tokoh antagonis yang memasukkan racun ke gelas minuman yang kemudian
diminum oleh tokoh protagonis. Secara eksplisit tokoh protagonis itu sedanga minum dari
sesuatu sebuah gelas, sedangkan secara implisit tokoh protagonis itu sedang dibunuh.
- Symptomatic Meaning
Makna terakhir ini terjadi karena kesimpulan penonton terhadap apa yang dilihat dan
didengar di layar bioskop. Kesimpilan yang sering kita dengar adalah apa yang disebut
dengan pesan moral, padahal yang dimaksud dengan symptomatic meaning ini secara
lebih luas adalah ideologi yang dibawa penonton setelah menonton sebuah film.
Misalnya dalam film Finding Nemo memiliki makna ideologis bahwa kasih orang tua akan
selalu ada bagi anaknya walaupun melewati samudera luas.

7. Evaluasi
Unsur terakhir dari urgensi adanya bentuk dari sebuah film adalah adanya evaluasi
yang dilakukan penonton terhadap film yang dilihatnya. Penilaian paling sederhana oleh
penonton adalah film yang dilihatnya dianggap baik atau buruk karena beberapa
pertimbangan :
- Kriteria Realistik
Kriteria ini merupakan aspek yang paling sering di mana penonton merasa bahwa film
yang dilihatnya dianggap bagus karena memenuhi kriteria realistik atau memenuhi

kusen_dony_hermansyah

pendekatan realisme yang cenderung sempurna. Filmfilm yang biasanya mengandung


aspek ini seperti Gie, Stoned dan Welcome To Sarajevo yang cenderung bertipe DokuDrama. Namun begitu tidak selalu film dengan tipe Doku-Drama sebab bisa saja
walaupun fiksi juga bisa terlihat aspek realistiknya misalnya film American President yang
sangat detil dalam mengahdirkan seluruh aspek yang berkaitan dengan Gedung Putih dan
tempat peristirahatan Camp David.
- Kriteria Moral
Kriteria ini berkaitan erat dengan symptomatic meaning pada bahasan sebelumnya, di
mana penonton merasa sebuah film yang dilihat dianggap baik atau buruk karena nilai
moralnya yang tinggi maupun rendah. Misalnya film Laskar Pelangi yang banyak disukai
karena aspek perjuangan dari anakanak SD Muhammadiyah di Belitung itu sangatlah
mulia dan tinggi sehingga mampu memberi contoh dan dapat mempengaruhi
penontonnya. Namun aspek moral tidak selalu bernilai tinggi sebab ada juga yang
dianggap bernilai rendah seperti film Boyz N The Hood karya John Singleton yang justru
memicu perang genk di Amerika setelah film tersebut diedarkan.
- Kriteria Kompleksitas
Terkadang penonton merasa bahwa film yang baru ditontonnya bagus karena ceritanya
yang rumit dan tidak mudah ditebak seperti yang dilakukan Alejandro Gonzlez Irritu
dalam filmnya seperti Amores Perros (2000), 21 Grams (2003) dan Babel (2006), ataupun
seperti film Crash (2006) yang dibuat Paul Haggis. Kedua sutradara tersebut menggunakan
kerumitan dalam bentuk multiplot, artinya dalam film yang dibuatnya ada beberapa plot
utama. Film jenis lain yang mengumbar kerumitan adalah misalnya Saw (2004) karya
James Wan, di mana penonton diajak masuk ke dalam tekateki yang pada akhrinya diberi
kejutan yang sangat tidak diduga siapa dalang dari semua penyanderaan.
- Kriteria Originalitas
Kriteria terakhir adalah originalitas, film Waltz With Bashir (2008) karya Ari Folman
mengetengahkan sebuah penceritaan yang umumnya digunakan dalam dokumenter,
namun tipe film yang dipilihnya adalah animasi. Bisa juga seperti film karya Tim Burton,
seperti Corpse Bride (2005) dan Nightmare Before Christmast (1994) yang distutradarai
oleh Henry Selick, di mana yang diceritakan justru dunia hantu yang berusaha masuk ke
dunia manusia namun tidak tahu caranya sehingga terjadi konflik di dalamnya.

kusen_dony_hermansyah

BAGIAN II :
PRINSIP-PRINSIP BENTUK FILM
1. Fungsi Bentuk
Bentuk berfungsi sebagai anatomi dari cerita film mudah dipahami oleh
penontonnya. Dikarenakan yang hendak disampaikan kepada penontonnya adalah pesan
atau informasi, maka fungsi lain dari bentuk adalah sebagai tempat bergulirnya cerita,
artinya dengan adanya bentuk maka cerita dapat berjalan dan diharapkan pesan sampai di
benak penontonnya.

2. Kemiripan / Pengulangan Dan Perbedaan / Variasi


Permasalahannya, informasi atau pesan yang disampaikan kepada penonton sangat
banyak, sehingga penonton akan mudah lupa pesan apa saja yang sudah disampaikan dan
apa tujuan tokoh dalam cerita film. Supaya penonton selalu ingat dengan selalu tujuan
tokoh, maka pesan yang disampaikan haruslah selalu diulang, namun tentu saja ada caranya
yaitu dengan menggunakan metode duplikasi dan bukan repetisi. Metode repetisi adalah
pengulangan atau informasi adegan dalam sebuah film yang cara penyajiannya dibuat sama
persis. Sedangkan metode duplikasi adalah pengulangan adegan atau informasi dalam
sebuah film yang cara penyajiannya dibuat berbeda atau bisa juga menggunakan repetisi
namun kandungan dramatiknya ditingkatkan.
Untuk lebih jelasnya ada contoh sederhana, yaitu bila dalam sebuah film ada tokoh
yang ingin ditunjukkan kebaikkannya sehingga penonton bisa bersimpati, maka pembuat
filmnya harus memperlihatkan beberapa adegan yang dapat menguatkan karakter tokoh
tersebut, misalnya pada adegan 1 dia menolong orang tua, pada adegan 3 dia tidak marah
ketika ada seorang yang menghinanya, pada adegan ke 7 dia ikut memberikan sedekah
kepada anak jalanan dan seterusnya. Adeganadegan di atas merupakan metode duplikasi
di mana inti dari penyajiannya adalah menunjukkan kebaikan hati tokohnya.
Tetapi mengapa metode duplikasi lebih disarankan dibanding repetisi, sebab selain
penonton bisa melihat perbedaan dari tiap adegan juga untuk memberikan variasi adegan
agar penonton tidak merasa jenuh. Penonton bisa jadi merasa dibodohi bila apa yang
sudah disampaikan sebelumnya, diperlihatkan lagi pada adeganadegan selanjutnya.

kusen_dony_hermansyah

3. Pengembangan Cerita
Pengembangan cerita wajib dilakukan oleh pembuat film, gunanya agar penonton
tidak merasa alurnya berputar disitu-situ saja yang bisa membuat mereka meninggalkan
bioskop. Terutama pada bagian eksposisi di mana permasalahan sang tokoh dipaparkan
sehingga penontonnya bisa mengetahui lebih detil apa saja yang membuat tujuannya
berubah.

4. Kesatuan / Ketidaksatuan
Sekali lagi bahwa bentuk film (cerita) adalah sebuah sistem, sehingga harus
diingatkan lagi bahwa bentuk film tampak sebagai kesatuan yang utuh sehingga hubungan
antar unsurnya jelas. Dikarenakan ketidaksatuan menyebabkan penonton akan kecewa
ataupun bingung dengan penceritaannya. Misalnya, film Pink Floyd : The Wall (1981) karya
Alan Parker, di mana untuk bisa memahami ceritanya harus membaca lirik lagu dari album
The Wall (1979) karya band Pink Floyd, sehingga penonton yang tidak membaca lirik lagu
sebelumnya maka akan sangat bingung dengan cerita film tersebut, sebab alurnya maju
mundur tanpa panduan yang jelas.

kusen_dony_hermansyah

BAGIAN III :
KLASIFIKASI BENTUK FILM
Klasifikasi dalam film ada beberapa, baik yang disebut bentuk, jenis (genre), tipe dan
sebagainya. Dalam Film Art : An Introduction, David Bordwell membagi klasifikasi bentuk
menjadi :

A. Bentuk Naratif
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki
hubungan sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula.
Dikarenakan penceritaan dalam film didasari oleh sastra dan drama, maka bagaimanapun
juga selain adanya story, tentunya penceritaan itu terbagi lagi menjadi plot. Selain naratif di
dalam film memiliki struktur yang berbeda dengan sastra (roman) maupun drama, yaitu
setidaknya ada dua struktur besar, Struktur Hollywood Klasik (dikenal di Indonesia dengan
Struktur 3 Babak) dan lawannya, Struktur Art Cinema Naration.

B. Bentuk Non-Naratif
Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda
dengan nartif yang seperti orang mendongeng, maka cara bercerita non-naratif ini sangat
beragam. Setidaknya ada empat cara bercerita dalam bentuk ini :
-

Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan
cara ini seperti memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan
menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam
wilayah ini, misalnya film dokumenter musik, film behind the scene dan sebagainya.

Rethorical
Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penonton sehingga kesan
propaganda melekat erat dalam bentuk ini. Film yang banyak menggunakan metode ini
adalah film iklan dan dokumenter propaganda, seperti film dokumenter dari jenis
company profile ataupun dokumenter yang dibuat oleh Leni Refensthal (Triumph of the
Wheel, Day of Freedom dan Olympia) dan Frank Cappra (Why We Fight ?).

kusen_dony_hermansyah

Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling
dalam dari pembuatnya. Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena
didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi
menjadi yang utama. Film eksperimental atau sekarang dikenal dengan video art adalah
contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Hans Richter, Walter
Ruttman, Luis Bunnuel dll. Selain itu juga ada beberapa video musik menggunakan
bentuk ini.

Associational
Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya
sangatlah berbeda. Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak
memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama
untuk mengarah pada sau tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis
association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie
Camera (Dziga Vertov), Powwaqqatsi (Geodfrey Regio), Baraka (Ron Fricke),
menggunakan juga video musik.

kusen_dony_hermansyah

BAGIAN IV :
PRINSIP KONSTRUKSI CERITA
DALAM FILM NARATIF
1. Plot Dan Cerita (Story)
Bayangkan bila sebuah peristiwa yang berlangsung berharihari disuguhkan kepada
penonton seluruhnya, mungkin tidak ada seorangpun yang mau menonton film. Oleh karena
itu agar masyarakat berkenan menonton film yang dibuat, maka peristiwaperistiwa penting
saja yang dipilih oleh pembuat filmnya disajikan dengan ringkas. Bagianbagian ringkas dan
terpilih inilah yang disebut dengan plot, namun apa yang harus disajikan kepada penonton
yaitu sesuatu yang nantinya terlihat dan terdengar penonton.
Akan tetapi rangkaian peristiwaperistiwa yang disusun nantinya harus terbayang
oleh penonton sebagai kesatuan dari sebuah cerita utuh, sehingga harus ada upaya dari
pembuatnya untuk selalu menjaga keutuhannya. Konstruksi imajiner penonton dari
rangkaian peristiwa yang ditontonnya inilah yang disebut dengan story (cerita).
Kita ambil contoh yang sederhana, dalam film Titanic (1997) karya James Cameron di
mana seharusnya berlangsung beberapa hari, namun berbagai macam peristiwa yang terjadi
di kapal itu, kemudian harus dipilih oleh sutradaranya dan yang ahirnya dipilih adalah
peristiwa percintaan sepasang pemudapemudi yang akhirnya menyaksikan kapal Titanic
menabrak karang hingga akhirnya turut tenggelam bersama. Pada akhirnya story (cerita)
tenggelamnya kapal itu terkonstrusksi di benak penonton secara utuh bersama percintaan
sepasang kekasih tersebut.

2. Sebab-Akibat
Setiap peristiwa yang dipilih harus saling memiliki hubungan sebab-akibat yang jelas,
sebab hal inilah yang bisa membuat penonton menkonstruksi seluruh peristiwa yang
diperlihatkan. Bahkan dalam buku Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Misbach Yusa Biran
dikatakan bahwa sebuah peristiwa dikatakan sebuah plot bila ada hubungan sebabakibat,
contohnya dalam kalimat ratu menangis, raja mati. Kalimat tersebut bukanlah sebuah plot
karena tidak memiliki hubungan sebabakibat yang jelas. Seharusnya ditulis ratu menangis
karena raja mati yang akhirnya membuat kalimatnya jauh lebih jelas.
Dalam film dokumenter, film animasi dan film eksperimental tidak harus atau tidak
selalu memiliki hubungan sebabakibat yang jelas, dikarenakan kebutuhan tipe film di atas
berbeda dari kebutuhan film cerita.

kusen_dony_hermansyah

3. Waktu
A. Urutan Waktu (Temporal Order)
Waktu dalam kehidupan manusia adalah waktu yang berjalan linear progresif dan
tidak terinterupsi atau tidak terpenggal. Film mencoba menerjemahkan bentuk waktu ini
ke dalam rangkaian gambar serta suara dalam urutannya. Akan tetapi dengan adanya
material film (seluloid) urutan waktu itu justru memungkinkan untuk dibolak-balik sesuai
dengan keinginan pembuatnya sehingga kita bisa menyisipkan waktu lampau (flash back)
atau waktu yang akan datang (flash forward). Contohnya, bila kita meminjam tanda
Alphabetic maka kita dapat mengurutkan waktu dalam film seperti :

LINEAR

: A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N ....dst

Bila waktu yang berjalan seharusnya linear namun karena diantara M dan N serta
R dan S disisipkan peristiwa pada waktu lampau (A,B,C dan D,E,F,G) maka adegan masa
lampau tersebut disebut flash back.
K, L, M, A, B, C, N, O, P, Q, R, D, E, F, G, S, T, U, V....dst

Flash Back

Flash Back

Bila waktu yang berjalan seharusnya linear namun karena diantara C dan D serta G
dan H disisipkan peristiwa masa mendatang (K,L,M dan S,T,U,V) maka adegan masa
datang tersebut disebut flash forward.

A, B, C, K, L, M, D, E, F, G, S, T, U, V, H, I, J....dst

Flash Forward

Flash Forward

B. Durasi Waktu (Temporal Duration)


Durasi Dalam Layar (Screen Duration)
Ini adalah masa putar sebuah film, misalnya pada film Titanic durasinya 3 jam, film
Nagabonar Jadi Dua berdurasi 2 jam dan lain sebagainya.

kusen_dony_hermansyah

Durasi Penceritaan (Story Duration)


Durasi penceritaan ini sama dengan real time pada dimensi waktu yaitu Durasi
peristiwa yang berlangsung dalam film. Misalnya film Titanic, story duration-nya
berlangsung 80 tahun, lalu film Nagabonar Jadi Dua, story duration-nya 3 bulan dll.
Durasi Plot (Plot Duration)
Durasi plot adalah penggunaan time elipsis dengan sangat teliti karena berhubungan
dengan kualitas peristiwa yang dipilih, jangan sampai kebanyakan (seperti film Janji
Joni) atau terlalu sedikit. Penjumlahan durasi tiap plot inilah yang disebut dengan
durasi plot.
Scene Kamar
Scene Ruang Tamu
Scene Dapur

Plot Rumah

Scene Ruang Kerja


Scene Ruang Sekretaris

Plot Kantor

Jadi bila mau dihitung dan diperkirakan, durasi yang harus diperhatikan oleh para
pembuat film ini bila diperinci kirakira seperti dalam film Braveheart (1995) karya Mel
Gibson, di mana peristiwa yang berlansung kurang lebih 30 tahun (story duration)
diringkas menjadi sekitar 2 tahun (plot duration) yang diceritakan dalam waktu 177 menit
/ 3 Jam (screen duration).
C. Frekuensi Waktu (Temporal Frequency)
Frekuensi berhubungan dengan adanya kemungkinan waktu yang diulang di
tampak di dalam film. Yang paling sederhana adalah mengulang shot-shot yang sudah
pernah kita gunakan sehingga terjadi pengulangan waktu. Misalnya pada film V For
Vendetta tokoh V yang terbakar muncul sebagai flashback sang dokter, kemudian shot
tersebut muncul lagi saat tokoh perempuan bebas dari ujian V.
Frekuensi waktu yang jauh lebih kompleks pernah digunakan pada film Babel (2006)
karya Alejandro Gonzlez Irritu, yaitu ketika adegan sang bapak menelpon anak sambil
menangis. Pada plot kedua, dalam adegan yang ditunjukkan hanya anak yang sedang
menerima telpon ditemani pembantunya. Sedangkan pada plot lain adegan yang
ditunjukkan adalah si bapak yang sedang menelpon anak yang ada di belahan bumi lain.

4. Space
A. Story Space
Bila story adalah konstruksi imajiner penonton dari rangkaian peristiwa yang disajikan,
maka ruang besar / utuh yang terkonstruksi secara imajiner di benak penonton
merupakan story space (ruang cerita).
kusen_dony_hermansyah

B. Screen Space
Ruang dalam film yang hanya diperlihatkan di layar adalah screen space, jadi segala
macam action dan unsur visual yang terlihat di layar pasti terjadi dalam screen space.
C. Plot Space
Akan tetapi apa yang terlihat di layar bisa jadi merupakan bagian dari ruang yang lebih
besar di mana tokoh melakukan action. Ruang yang lebih besar inilah yang disebut
dengan plot space.
Dalam film Titanic misalnya peristiwanya terjadi di sebuah kapal besar yang berlayar
di samudera (story space) di mana kapal tersebut memiliki ruangruang seperti gudang
kapal, lorong, kabin penumpang dan sebagainya (plot space) dan kedua tokoh diperlihatkan
sempat berada di buritan, sebuah mobil di gudang kapal, di bagian kamar si perempuan dan
sebagainya yang diperlihatkan kepada penonton (screen space).

5. Opening, Closing & Pola Pengembangan Cerita.


A. Opening (Permulaan)
Setiap film harus memiliki adegan pembuka (opening) yang fungsinya untuk
memperkenalkan setting (ruang dan waktu), tokoh dan masalah utamanya kepada
penonton. Bayangkan bila tibatiba penonton disuguhi permasalahan yang mereka
tidak tahu awalnya seperti apa, orangorang yang berkonflik siapa, mengapa mereka
berkonflik, masalahnya apa dan sebagainya yang menyebabkan penonton harus meraba
apa yang mereka lihat. Tentu saja hal tersebut bisa membuat penonton frustasi
sehingga opening memang harus dihadirkan secara sistematis dan terstruktur agar
penonton dapat mengenali satu persatu dari mulai tokohnya, peristiwa itu terjadi
dimana dan kapan serta permasalahannya apa.
B. Closing (Penutup)
Penutup (closure) juga dibutuhkan oleh penonton, sebab film yang tidak selesai
juga akan membuat penontonnya frustasi, selain mereka juga menginginkan untuk bisa
mendapatkan kesimpulan terhadap cerita yang disajikan. Pada filmfilm Holywood,
Mandarin dan Bollywood, closing harus berakhir bahagia (happy ending) dan pada film
film Eropa selain happy ending ada juga yang berakhir sedih (unhappy ending), berakhir
terbuka (open ending) di mana penonton menyimpulkan sendiri akhirnya, ataupun
berakhir tokoh utamanya kalah dan menjadi salah (loser story).

kusen_dony_hermansyah

C. Pola Perkembangan Cerita (Paparan Pada Bagian Pertengahan)


Dalam memasukkan peristiwa / adegan ke dalam cerita biasanya pembuat film
akan membuat pola agar mudah dicerna oleh penontonnya. Pola tersebut biasanya
dibuat dengan cara penyampaian secara berulang, jelas dan variatif, sehingga pesan /
informasi yang diberikan kepada penonton tidak membingungkan. Selain itu ikatan
kausalitas (sebabakibat) akan tetap dijaga karena kesatuan dan perkembangan cerita
juga ditentukan oleh hal ini.
PERMULAAN
Dalam permulaan ini umumnya
akan diperkenalkan :
- tokoh utama (protagonis dan
antagonis)
- masalah utama
- ruang dan waktu peristiwa

PERTENGAHAN
Paparan terhadap usaha tokoh
protagonis menyelesaikan masalah,
tentu saja di dalamnya pasti ada :
- konflik
- pengembangan masalah
- konfrontasi antara protagonis dan
antagonis

PENUTUP
Tokoh
protagonis
harus
menyelesaikan
masalahnya
sehingga dalam bagian ini akan
berisi :
- konfrontasi akhir (klimaks)
- resolusi
- tujuan
- anti-klimaks

6. Aliran Informasi Cerita


A. Jangkauan Informasi Penceritaan
Jangkauan informasi penceritaan yang ingin disampaikan bisa bersifat sempit
ataupun luas. Informasi yang bersifat sempit salah satunya dari kehidupan seharihari
tokohnya, misalnya kebiasaan minum, bagaimana dia berjalan, tempat makan siang dan
sebagainya.
Akan tetapi dari informasi yang bersifat sempit itu juga bisa dikumpulkan hingga
menjadi luas, seperti dalam film A Few Good Men (1992) karya Rob Reiner, di mana
diceritakan dari awal para pengacara tertuduh mengumpulkan satu per satu bukti yang
sederhana, seperti adanya perintah dengan Kode Merah ataupun korban tidak mempacking barangnya sebelum dimutasi, hingga pada akhirnya diketahui bahwa yang
memberi perintah adalah Kolonel Nathan Jessep. Dalam hal ini informasiinformasi kecil
itu akhirnya bisa menguak sebuah kejahatan politik pada golongan militer.
Selain mengumpulkan informasi yang bersifat sempit yang akhirnya menjadi
luas, namun pembuat film juga bisa langsung memberikan informasi yang bersifat luas
yang berkenaan dengan masalah sejarah, politik, ekonomi. Bisa dicontohkan dengan
film JFK (1991) karya Oliver Stone yang lebih banyak memaparkan informasi teori
konspirasi dari para politikus dan pejabat pemerintahan yang berkaitan dengan masalah
perdagangan senjata serta pengucuran dana untuk perang di Vietnam yang ditentang
oleh John F. Kennedy.

kusen_dony_hermansyah

B. Kedalaman Informasi Penceritaan


Pembuat film bisa mengontrol informasi yang akan disampaikan kepada
penontonnya, caranya dengan memberikan informasi yang banyak sekaligus ataupun
sedikit demi sedikit. Misalnya, adegan seseorang yang diserang di dalam rumahnya oleh
perampok, di mana bila penonton tidak diberi informasi terlebih dahulu maka ketika
tokoh diserang penonton akan mendapatkan kejutan (surprise), sedangkan bila
penonton telah diberi informasi orang yang akan menyerang tokohnya, maka penonton
malah bisa mendapatkan ketegangan di dalamnya (suspense).
Dalam melakukan pengontrolan informasi pembuat film harus cermat sebab
apabila informasi yang diberikan dibatasi, maka memungkinkan penonton mendapat
kejutan, akan tetapi bila terlalu lama di tahan penyelesaiannya maka bisa penonton
frustasi. Sedangkan bila pembuat film terlalu bebas memberikan informasi kepada
penonton, maka alur cerita akan mudah ditebak yang akan membuat penontonnya
merasa bosan.
Pengontrolan informasi juga bisa dilakukan dari aspek kedalamannya. Para
pembuat film terutama pembuat film pemula paling sering menggunakan kedalaman
informasi yang bersifat ketat (restricted), di mana informasi yang diberikan penonton
terikat pada satu karakter / tokoh saja, seperti dalam film District9 (2009) karya Neill
Blomkamp yang mengikat hampir seluruh informasinya kapada tokoh Wikus Van Der
Merwe ataupun dalam film Home Alone (1990) karya Chris Columbus di mana tokoh
yang diikuti adalah Kevin McCallister dari mulai sering ributnya dia dengan saudara
saudaranya, lalu tertinggal di rumah hingga mengalahkan penjahat. Restricted
information, dengan kata lain bahwa penonton disuguhi adegan / informasi yang tidak
memungkinkan mereka menerka di luar kemungkinan yang ada.
Sedangkan lawannya yaitu kedalaman informasi yang longgar (unrestricted),
penonton diberi pilihan dalam menerka peristiwa yang akan terjadi sebab pembuat
filmnya memberikan informasi tidak hanya dari satu tokoh, seperti dalam film
Independence Day (1996) karya Roland Emmerich di mana informasi satu per satu
diberikan dari banyak tokoh seperti dari kapten penerbang, Steven Hiller; ilmuwan,
David Levinson; presiden Amerika Serikat, Thomas J. Whitemore dan lain sebagainya.
Dengan kata lain unrestricted information ini membuat penonton bisa mendapatkan
informasi dari banyak pihak (omniscient narration).
C. Pencerita (Narrator)
Narrator secara sederhana diartikan sebagai pembawa cerita dan dalam sebuah
film umumnya dilekatkan pada tokoh utamanya yang tentu saja seorang manusia.
Kebanyakan film cerita memilih narator model ini karena jauh lebih mudah
menggunakannya. Selain informasinya langsung dibawa oleh para narrator-nya,
penonton juga bisa dengan mudah mencerna informasi apa saja yang akan
didapatkannya. Contoh film ini sangatlah banyak, seperti film Laskar Pelangi (2008)
karya Riri Riza yang menjadikan Ikal sebagai narratornya atau film Jagad X Code (2009)

kusen_dony_hermansyah

karya Herwin Novianto yang memasang tokoh Jagad sebagai narrator-nya, walaupun
dalam film tersebut dia tidak sendiri (kemanamana selalu bersama para sahabatnya).
Narrator dalam sebuah film tidak selalu berhubungan dengan cerita tersebut,
artinya bisa saja dia berada di luar cerita, contohnya narrator dalam film dokumenter
yang suaranya sering disebut dengan Voice of God. Namun ada yang unik dari film
seperti Million Dollar Hotel (2000) karya Wim Wenders, di mana narrator-nya adalah
tokoh sudah meninggal dunia, yaitu Tom-Tom. Akan tetapi narrator juga bisa selain
manusia (noncharacter narrator) terutama bila tipe film yang digunakan adalah animasi
seperti Beauty and the Beast (1991), Nightmare Before Christmast (1993) ataupun
Finding Nemo (2003).

kusen_dony_hermansyah

BAGIAN V :
STRUKTUR NARATIF FILM
Pada awal pembahasan sudah disinggung bahwa bentuk film pasti akan menggunakan
pola agar ceritanya mudah diikuti oleh penonton. Pola yang digunakan secara utuh akan
berwujud struktur di mana fungsinya untuk meletakkan adeganadegan yang diinginkan oleh
pembuatnya. Dalam dunia perfilman struktur cerita yang dikenal bisa dibedakan menjadi dua
besar yaitu :

1. Struktur Hollywood Klasik


A. Karakter
Struktur ini di Indonesia dikenal dengan struktur tiga babak (threeact structure), di
mana setiap film memiliki satu karakter / tokoh utama yang sering disebut dengan tokoh
protagonis. Karakter ini berfungsi sebagai agen sebabakibat. Sedangkan karakter lain juga
akan dihadirkan yang berfungsi sebagai pembantu atau bahkan menjadi penghambat action
tokoh protagonis untuk mencapai tujuannya. Karakter yang membantu ini disebut karakter
pembantu, sedangkan karakter yang menghambat sering disebut sebagai tokoh antagonis.
Tentu saja para karakter tersebut akan berada dalam ruang dan waktu (setting) yang
pasti serta memiliki peristiwa yang jelas. Misalnya peristiwa pencopetan di bus kota yang
melalui Jl. Kuningan pada siang hari pada tanggal 21 Desember 2012. Dengan adanya para
karakter di atas maka konflik dalam film bisa dimunculkan.
Karakter utama sendiri (tokoh protagonis) dalam peristiwa yang dipaparkan harus
memiliki tujuan (goal), kebutuhan (need) dan hasrat (desire). Dalam film romansa goal
tokohnya adalah mendapatkan pujaan hatinya kembali, dalam film detektif tentu saja
menangkap penjahat ataupun menggagalkan tindakan kriminal, dalam film superhero goalnya untuk mengalahkan penjahatnya ataupun dalam film adventure seperti Indiana Jones :
The Last Crusade yang tujuan tokohnya adalah mendapatkan cawan yang digunakan Yesus
Kristus untuk meminum anggur. Oleh karena itu tujuan (goal) dari tokoh bisa berupa materi
seperti dalam film Indiana Jones ataupun bisa juga abstrak seperti mengalahkan penjahat,
menrebut hati kekasih dan sebagainya.
Sedangkan kebutuhan (need) tokoh berada dalam setiap peristiwa yang bersifat
kongkrit misalnya dalam film Memento di mana tokohnya selalu memotret apa yang
dikerjakannya agar selalu ingat apa yang dikerjakannya. Juga yang dilakukan David Fincher
dalam film The Game (1997) di mana tokohnya Nicholas Van Orton harus menyelesaikan
tekateki melalui bendabenda yang didapatkannya seperti kunci, grafiti di dinding
rumahnya dan sebagainya.

kusen_dony_hermansyah

Yang terakhir adalah hasrat (desire) yaitu sebuah keinginan untuk mendapatkan
sesuatu yang abstrak dan yang paling sederhana adalah menyelesaikan permasalahan yang
sedang dihadapi tokohnya, misalnya dalam film Speed (1994) karya Jean de Bont, di mana
hasratnya adalah bagaimana menyelematkan penumpang bus yang di dalamnya ada bom.
B. Setting Yang Jelas
Setting adalah ruang dan waktu di mana tokohnya berada dan peristiwanya itu
terjadi. Membahas ruang dalam Struktur Hollywood Klasik, maka pembuat film harus bisa
memperlihatkan secara kongkrit dan jelas, misalnya dapur, ruang tamu, taman dan
sebagainya di mana ruangruang itu haruslah jelas artinya jangan sampai ada unsur visual
yang mengganggunya, misalnya di dapur tibatiba ada perangkat kosmetik yang tertata rapi,
ataupun di ruang tamu ada pajangan penggorengan, cobek dan sebagainya.
Untuk membahas waktu juga melibatkan unsur visualnya terutama pencahayaan
(lighting), namun secara sederhana dalam sebuah film penonton harus dapat menangkap
dengan jelas kapan peristiwa itu terjadi, misalnya siang, malam, senja atau pagi. Bisa juga
dengan waktu yang lebih spesifik seperti tahun, bulan, tanggal, jam, menit dan detik
sehingga penonton bisa mengidentifikasi waktunya dengan sangat lugas.
Dua aspek (karakter dan setting) di atas ditambah dengan pemasalahan utama, biasanya akan
muncul dari awal film dengan wujud pembukaan (opening) di mana nantinya akan terus
berkembang seiring perkembangan cerita yang disajikan kepada penonton.
C. Perkembangan Cerita Yang Progresif
Masalah utama dalam sebuah film harus bisa diinformasikan dengan jelas kepada
penonton, sebab dari masalah utama inilah maka tokoh akan memiliki motif (goal, need &
desire) agar masalah yang menimpanya bisa diselesaikan. Akan tetapi ketika motif berjalan
dengan adanya action dari tokoh protagonis, maka akan ada hambatan pasif (seperti
bencana alam, gedung roboh dll) ataupun hambatan aktif (dari tokoh antagonis) yang
membuatnya sulit menyelesaikan masalah.
Titik temu antara motif dengan hambatan inilah yang disebut dengan konflik.
Munculnya secara terusmenerus konflik (antara tokoh protagonis dengan antagonis) dalam
peristiwa yang berjalan dalam cerita film harus memiliki peningkatan nilai dramatik yang
membuat penonton semakin ingin melihat permasalahan tersebut selesai. Misalnya dalam
filmfilm laga (silat), tokoh protagonisnya akan mengahadapi para pendekar dari yang hanya
bisa sepuluh jurus sampai harus berhadapan dengan yang menguasai seratus jurus.
Meningkatnya ujian yang dihadapi tokoh protagonis inilah justru yang akan membuat
penonton semakin percaya dengan kemampuannya.
Tentu saja perkembangan cerita ini tidak terlepas dari peristiwaperistiwa yang
dihadirkan menggunakan pengulangan (dupikasi dan repetisi) dan juga variasi yang
bertujuan agar penonton mendapatkan informasi yang meningkat bobotnya, juga
penceritaan itu berjalan secara progresif. Selain itu unsur kausalitas (sebabakibat) harus
tetap dipertahankan dalam cerita hingga akhir film, sebab hal ini pulalah yang mengikat.
kusen_dony_hermansyah

D. Penutup (Closure)
Bila dalam sebuah film ada opening dan juga perkembangan ceritanya, pastilah film
itu memiliki penutup (closure) yang dalam Struktur Hollywood Klasik haruslah berakhir
bahagia (happy ending). Hal ini bertujuan agar penonton tidak kecewa dan juga tidak boleh
membawa persoalan film ketika keluar dari gedung bioskop. Itulah mengapa, terkadang
setelah menonton film Hollywood banyak penonton yang merasa pesan moralnya hanya
dirasakan saat berada di gedung bioskop, sedangkan ketika mereka keluar bioskop, pesan
moral itu terlupakan begitu saja.

E. Bagan Struktur Dramatik

Ini adalah struktur standar yang digunakan dalam Struktur Hollywood Klasik.
Penggunaannya sangatlah ketat, artinya tidak boleh ada satupun yang dilanggar atau
terlewat. Opening (Babak I) berisikan pengenalan terhadap tokoh utama (tokoh protagonis,
tokoh antagonis dan beberapa tokoh pembantu utama), ruang, waktu serta pemasalahan
utamanya, bahkan menurut beberapa sumber Hollywood hanya memberi batas maksimal 20
menit untuk menjabarkan adeganadegan opening dan semakin pendek dianggap semakin
baik sebab memberikan kesempatan lebih luas kepada Babak II.
Sebelum masuk ke tahap middle (Babak II) akan dimunculkan satu tahap pendek
bernama point of attack (biasanya sebuah scene utuh) yang fungsinya adalah mengubah
tujuan tokoh di awal, misalnya dalam film Gladiator (2000) karya Ridley Scott, point of attack
muncul saat Maximus berhasil kabur dari eksekusi mati yang sedang dijalani. Dalam film
Avatar (2009) karya James Cameron, point of attack-nya ketika menjalankan tugas
pertamanya, Jack Sully (dalam wujud yang berbeda) ditinggal oleh kawankawannya di
hutan dan harus bertahan hidup sampai esok paginya. Kemudian dia bertemu dengan Neytiri

kusen_dony_hermansyah

yang membawanya ke kelompoknya dan diizinkan untuk mempelajari kebiasaan suku


tersebut dan dari titik inilah tujuan awal berubah.
Pada Babak II, isinya adalah eksposisi / paparan dari permasalahan yang sudah
berubah secara tujuan.
Kebutuhan, hasrat dan tujuan tokoh protagonis untuk
menyelesaikan masalah diperjelas serta dibuat secara mendetil bahkan grafiknya tidak linear
menanjak dengan mulus. Setiap plot atau scene-nya akan memiliki tension (grafik menanjak)
dan release (grafik menurun). Grafik itu akan terusmenerus seperti itu hingga mencapai
puncaknya pada titik klimaks.

Syarat-syarat di atas adalah mutlak, artinya tidak boleh ada satupun yang dirubah
atau tidak digunakan di dalam film yang sedang dibuat, karena apabila ada satu syarat saja
yang tidak dipakai, maka film tersebut akan masuk ke dalam Art Cinema Narration.

2. Art Cinema Narration


Art Cinema Narration merupakan lawan dari Struktur Hollywood Klasik, di mana
seorang pembuat film bisa melanggar hanya satu syarat saja di atas atau bahkan seluruhnya.
Misalnya, tokoh utamanya tidak satu orang, apalagi mereka bukan juga sebagai agen
kausalitas. Misalnya tokoh Grigory Vukalinchuk dalam film Potemkin hanya sekedar
mengantar cerita saja.
Bisa juga perkembangan ceritanya tidak progresif (maju ke depan) seperti yang ada
dalam film Memento yang setiap adegannya berjalan mundur atau film Irreversible di mana
setiap sequence berjalan mundur.
Dalam beberapa film, seperti Un Chien Andalou (Luis Bunnuel), ceritanya justru sama
sekali melanggar syarat-syarat dalam Struktur Hollywood Klasik sebab tokoh utamanya tidak

kusen_dony_hermansyah

jelas, plot, cerita maupun perkembangan ceritanya juga sulit dicerna. Apalagi akhir ceritanya
yang tidak jelas akan dibawa ke mana.

FILM CERITA
Film cerita pendek dan panjang pada dasarnya memiliki pondasi yang sama dalam
penceritaan, hanya saja film cerita pendek umumnya hanya menceritakan 1 ide sederhana
dan bisa saja menjadi liar sekali. Sedangkan film cerita panjang bisa menceritakan banyak
hal sehingga konsentrasi penonton haruslah tetap dijaga.

kusen_dony_hermansyah

Anda mungkin juga menyukai