NAMA KELOMPOK:
1. L.Muhammad Rijaldi (D1A019296
2 .Mahmud (D1A019339)
3. Miptahul J annah (D1A019353)
4. L.Wildan Hadi (D1A019319)
5. Lili Her nawati (D1A019323)
6. Ledi Ar di Lina (D1A019321)
7. L. Muhammad Rizki P (D1A019313)
8. L. Muhammad Ar iefky A.R.(D1A019309)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengakuan dan Yurisdiksi
Negara dalam Hukum Internasional” ini dengan baik dan sesuai waktu yang direncanakan,
walaupun dalam pembahasan dan uraiannya masih sederhana. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Pengakuan dan Yurisdiksi dalam setiap Negara sangatlah penting untuk menunjang
perkembangan dalam Negara terkait itu sendiri. Salah satu pengakuan yang harus dimiliki
oleh Negara adalah Legitimasi kekuasannya itu sendiri, dalam kata lain bisa di simpulkan;
sebuah Negara membutuhkan pengakuan secara De Facto dan De Jure.
Tiada gading yang tak retak, begitu adanya penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
DAFTAR ISI …………………………………………………………..…...
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….....
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengakuan Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Intrenasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata
yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris
berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti
ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya
Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut
hukum atau kewenangan menurut hukum.
Begitu juga dengan kata pengakuan, yang dalam terminologi bisa di katakan
sebuah legitimasi yang bersifat deklaratif (diakui oleh aspek-aspek lain;
dalam hal ini adalah Negara). Pengakuan di dalam sebuah Legitimasi
sangatlah penting, karena sebuah negara sendiri membutuhkan 2 unsur
pengakuan, yaitu; De Facto dan De Jure.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti
di pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan
bahwa para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the
court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar
dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB
sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan
domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering
untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang,
benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti
kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-
badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila
yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau
kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to
enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi
adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan
peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar
kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat
menurut John O’Brien, yaitu:
1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap
orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya
(legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;
2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan
hukum (yudicial jurisdiction).
Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut
Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh
enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan
dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers
of physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-
lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan
pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun peristiwa
tertentu.
Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction dengan
judicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien
Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan
demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun
kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya
terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to
enfore. Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan
materi ketentuan HN-nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut
berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru
menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive jurisdiction dengan
enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe.
Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara
otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar
wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non
habet imperium yang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan
kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah
Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat
melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata
lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan
yurisdiksinya di Negara B.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya
senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan
Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara
dibatasi oleh hukum internasional dna kepentingan Negara lain.
Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu
kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau
korban warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di
luar negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing,
misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa
WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini
menyangkut tiga Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap
si pembunuh, tetapi hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag
pelaku kejahatan tentu tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam
perkara dan tuntutan yang sama. Negara tempat dimana pelaku ditemukan
memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan yurisdiksinya. Meskipun
demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan yurisdiksinya. Dalam
kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New York,
tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan pelaku ke
Indonesia.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional
telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya
(hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan
menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal,
yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang
atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka
yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi
territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
2.2 Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)
mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum
pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan
baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata
internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan
suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang
murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau
pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hukum
internasional publik lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang
berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut
perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum
internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya
memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan
prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua,
terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut
Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua
orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas
territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan
Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan
pertimbangan:
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu;
b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan
diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan
pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum
stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN
negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan
memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial
tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana
Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu
peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya
senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan
Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara
dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan Negara lain.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional
telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya
(hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan
menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal,
yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang
atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka
yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi
territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup
perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada
yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana
internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip
yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh
Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah :
1. Prinsip yurisdiksi territorial
2. Prinsip territorial subjektif
3. Prinsip territorial objektif
4. Prinsip nasionalitas aktif
5. Prinsip nasionalitas pasif
6. Prinsip universal