Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

“PENGAKUAN DAN YURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM


INTERNASIONAL”

KELOMPOK 3 KELAS F1 FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MATARAM

Lalu Guna Nugr aha, SH.,MH.

NAMA KELOMPOK:
1. L.Muhammad Rijaldi (D1A019296
2 .Mahmud (D1A019339)
3. Miptahul J annah (D1A019353)
4. L.Wildan Hadi (D1A019319)
5. Lili Her nawati (D1A019323)
6. Ledi Ar di Lina (D1A019321)
7. L. Muhammad Rizki P (D1A019313)
8. L. Muhammad Ar iefky A.R.(D1A019309)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah­ Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengakuan dan Yurisdiksi
Negara dalam Hukum Internasional” ini dengan baik dan sesuai waktu yang direncanakan,
walaupun dalam pembahasan dan uraiannya masih sederhana. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Pengakuan dan Yurisdiksi dalam setiap Negara sangatlah penting untuk menunjang
perkembangan dalam Negara terkait itu sendiri. Salah satu pengakuan yang harus dimiliki
oleh Negara adalah Legitimasi kekuasannya itu sendiri, dalam kata lain bisa di simpulkan;
sebuah Negara membutuhkan pengakuan secara De Facto dan De Jure.
Tiada gading yang tak retak, begitu adanya penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
DAFTAR ISI …………………………………………………………..…...
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….....

1.1    Latar Belakang……………………………………………….……………..


1.2    Rumusan Masalah…………………………………………………………...

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………….

2.1 Pengertian Pengakuan Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional ………


2.2 Prinsip – prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional……………
2.3 Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial………………….………..………
2.4 Bentuk Kerjasama Antarnegara dalam Penerapan Yurisdiksi….

BAB III. PENUTUP…..…………………………………………………..

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap
Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada
maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi
dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan
hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan.
Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum internasional.

Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting


dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa,
kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apa pengertian yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional ?
2.      Apa saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum International ?
3.      Bagaimana penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ?
4.      Bagaimana bentuk kerja sama antarnegara dalam penerapan yurisdiksi ?

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengakuan Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Intrenasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata
yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris
berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti
ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya
Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut
hukum atau kewenangan menurut hukum.
Begitu juga dengan kata pengakuan, yang dalam terminologi bisa di katakan
sebuah legitimasi yang bersifat deklaratif (diakui oleh aspek-aspek lain;
dalam hal ini adalah Negara). Pengakuan di dalam sebuah Legitimasi
sangatlah penting, karena sebuah negara sendiri membutuhkan 2 unsur
pengakuan, yaitu; De Facto dan De Jure.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti
di pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan
bahwa para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the
court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar
dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB
sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan
domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering
untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang,
benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti
kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-
badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila
yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau
kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to
enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi
adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan
peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar
kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat
menurut John O’Brien, yaitu:
1.      Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap
orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya
(legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;
2.      Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3.      Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan
hukum (yudicial jurisdiction).
Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut
Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh
enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan
dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers
of physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-
lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan
pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun peristiwa
tertentu.
Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction dengan
judicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien
Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan
demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun
kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya
terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to
enfore. Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan
materi ketentuan HN-nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut
berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru
menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive jurisdiction dengan
enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe.
Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara
otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar
wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non
habet imperium yang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan
kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah
Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat
melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata
lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan
yurisdiksinya di Negara B.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya
senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan
Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara
dibatasi oleh hukum internasional dna kepentingan Negara lain.
Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu
kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau
korban warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di
luar negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing,
misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa
WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini
menyangkut tiga Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap
si pembunuh, tetapi hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag
pelaku kejahatan tentu tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam
perkara dan tuntutan yang sama. Negara tempat dimana pelaku ditemukan
memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan yurisdiksinya. Meskipun
demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan yurisdiksinya. Dalam
kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New York,
tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan pelaku ke
Indonesia.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional
telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya
(hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan
menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal,
yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang
atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka
yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi
territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
2.2 Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)
mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum
pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan
baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata
internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan
suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang
murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau
pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hukum
internasional publik lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang
berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut
perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum
internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya
memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.      Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan
prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua,
terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut
Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua
orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas
territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan
Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan
pertimbangan:
a.       Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu;
b.      Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c.       Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d.      Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan
diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan
pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum
stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN
negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan
memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial
tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana
Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu
peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah
sebagai berikut :

a.       Terhadap pejabat diplomatic negara asing


b.      Terhadap negara dan kepala negara asing
c.       Terhadap kapal public negara asing
d.      Terhadap organisasi internasional
e.       Terhadap pangkalan militer negara asing

2.      Prinsip Teritorial Subjektif


Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau
menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-
Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di
seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki
dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun
kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.
3.      Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang
yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun
perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul
pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang
mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi
terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh
kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia
juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah
menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun
penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.
4.      Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang
melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk
mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip
ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa
Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya
sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang
berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
5.      Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang
menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan
prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip
nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni
(Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika
mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat
Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa
warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan
Yunis.
6.      Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili
pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan
kebangsaan pelaku maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa
pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan
sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga
tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama
seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses
fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious
international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati
impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia
melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai
pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa
cirri menonjol sebagai berikut:
a.       Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase
“setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab
untuk turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari
bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk
menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan
dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe
heaven dalam wilayah negaranya.
b.      Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan
dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak
diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan
yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu
sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku
berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa
melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya.
Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa
menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c.       Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap
pelaku serious crime atau yang lazim disebut international crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan
bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan
hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana
internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang
lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang
melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu
sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh
hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi
universal.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya
dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim
Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah :
“an international crime is such an act universally recognized as criminal,
which is considered as agrave matter of international concern and for some
valid reason cannot be left within the state that would have control over
it under normal circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut:
a.       Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan
sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara.
Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya
yang layak.
b.      Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai
international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan
tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan
hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan
internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya.
c.       Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka
sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara
saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan
piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan
yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign
Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi universal
diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of
aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran
berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang,
genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang
memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide,
kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan
Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war
crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.
7.      Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing
yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan
yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan,
integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa
contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying,
plots to overthrow the government, forging currency, immigration and
economic violation.
Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris,
dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang
sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh
suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi
negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus
perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan
dalam Kitab Undang-undang Hukum PIdananya bahwa Indonesia memiliki
yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan
tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia.
2.3 Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial
Hokum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-
pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam
prinsip-prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu Negara
tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan
yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, seandainya
ada suatu Negara (Negara A) menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari
Negara B melanggar hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan
dimana letak pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.
Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah
apakah suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-
nya terhadap subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar
wilayah Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara
berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional,
khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika
dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk
mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di
wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa perjanjian ii melanggar hokum
nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.
Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang
pertama kali dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional
yang menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua
perjanjian, persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang
perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli
adalah bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).
Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari
sudut pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate
link between the initiation and complection of the act sebagaimana
ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam
kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS,
pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik
United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah
melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk
merampas tanah milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan
bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas
kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak
melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum As di luar negeri
tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan
tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana perbuatan
itudilakukan.
Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan
Alcoa dan aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh
telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman,
Inggris) untuk menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS dalam
hal produksi dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan preseden
yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding AS
dalam putusannya menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman
Act apabila :
1.      Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdagangan AS;
2.      Tidka mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;
Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan
sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.
Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga
menerapkan effect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect
doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America
tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat
dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas
kebajikannya menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS.
Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial jurisdiction terhadap
perusahaan Canada tersebut atas dasar effect doctrine, bahwa tindakan
Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan di AS.
Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh
pengadilan Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam
kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal
menyangkut yurisdiksi ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini
pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp
melanggar European Community Competition Law. Perusahaan-perusahaan
tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1
Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang
mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak
perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah.
Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan
memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya
berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain
tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas
asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.
2.4              Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya
dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial Negara
lain. Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan
untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi dalam
hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat melaksanakannya
(enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah melarikan diri ke
Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil
kabur dari tahanan, Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si
terpidana berhasil kabur ke luar negeri. Untuk itulah dalam tata kra
pergaulan internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari Requesting
State kepada Requested State. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan
territorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan Negara-negara
lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan
hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada
perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan
atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat
perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian
itupun kerja sama penegakan hukum dapat dilaksnakan berlandaskan asas
resiprositas (timbal balik).
Kerja sama penerapan yurisdiksi atau penegakan hokum yang tertua adalah
ekstradisi kemudian diikuti kerja sama penegakan hokum lainnya seperti,
dengan “mutual assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced person”
(TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint
investigation” serta “handing over”
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”
(umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan,
termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance
in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama
penegakan hokum tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan
penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk
tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian
asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi)
tidak serta merta merupakan pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa
pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus
saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti
permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal
balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset
kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah
penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana
di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara
yang meminta penyerahan tersebut. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan
pengertian yang terdapat dalam Black Law Dictionary yaitu the surrender by
one state or country to anotherof an individual accused or convicted of an
offense outside its own territory and within the territorial jurisdiction
of the other, which, being competent to try and punish him, demand the
surrender. Senada dengan pengertian tersebut I Wayan Pathiana menegaskan
bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal berdasarkan perjanjian,
prinsip resirositas/ hubungan baik antarnegara. Atas seseorang (tersangka,
terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat orang tersebut
melarikan diri / bersembunyi (Requested State) kepada Negara yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara tersebut
(Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau dilaksanakan hukumnya.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstradisi
adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam statustersangka,
terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk
diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui
perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan
meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan
transnasional dan terorisme. Keberadaan istrumen hokum internasional ini
sangat bermanfaat untuk meningkatkan jangkauan da kemampuan penegakan hokum
pidana nasional secara umum.
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian
menjadi hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian
ekstradisi akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut :
1.      Prinsip kejahatan ganda
2.      Prinsip kekhususan / spesialitas
3.      Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4.      Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5.      Prinsip Ne bis in idem
6.      Prinsip kadaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrument hokum nasional
yaitu UU No 1/1979 tentang ekstradisi. Di samping hokum nasional yang
bersumberkan pada hokum intetrnasional, saat ini PBB juga sudah
mengeluarkan instrument khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan
perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa
diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional.

BAB 3
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya
senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan
Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara
dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan Negara lain.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional
telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya
(hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan
menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal,
yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang
atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka
yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi
territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup
perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada
yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana
internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip
yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh
Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.      Prinsip yurisdiksi territorial
2.      Prinsip territorial subjektif
3.      Prinsip territorial objektif
4.      Prinsip nasionalitas aktif
5.      Prinsip nasionalitas pasif
6.      Prinsip universal

Anda mungkin juga menyukai