Yang dimaksud takdir adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala bagi
segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan hikmah yang diinginkan-Nya.
Aspek Pertama, mangimani bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu, baik secara global
maupun terperinci, baik yang berkaitan dengan perbuatan hamba-hamba-Nya.
Aspek Kedua, mengimani bahwa Allah ta’ala mencatat takdir di Lauh Mahfuudz. Mengenai
kedua aspek tersebut, Allah ta’ala telah berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Alloh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuudz). Sesungguhnya yang demikian itu
amat mudah bagi Alloh.” (QS. al-Hajj [22]: 70)
Aspek Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu tidak akan ada kecuali dengan kehendak Allh
ta’ala, baik yang berkaitan dengan perbuatan Allah ta’ala maupun perbuatan makhluk-
makhluknya. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perbuatannya, Allah ta’ala telah
berfirman, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. al-
Qashash [28]: 68). Pada ayat lain Allah ta’ala berfirman, “Dan memperbuat apa yang dia
kehendaki,” (QS. Ibrahim [14]: 27). Allah ta’ala juga berfirman, “Dialah yang membentuk
kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakinya.” (QS. ali-‘Imron [3]: 6)
Aspek Keempat, mengimani bahwa segala sesutu yang ada di alam ini, baik dzat, sifat maupun
gerakan-gerakannya adalah diciptakan oleh Allah ta’ala. Allah ta’ala telah berfirman, “Alloh
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu,” (QS. al-Furqon [25]:2).
Kemudian Allah ta’ala menjelaskan tentang sosok Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang berkata
kepada kaumnya, “padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(QS. ash-Shaffat [37]:96)
Iman kepada takdir seperti yang telah dijelaskan di atas bukan berarti seorang hamba tidak
memiliki kehendak dan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan-nya yang bersifat
ikhtiari (yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri), sebab baik dalil-dalil syar’i (al-Qur’an dan
hadits) maupun realitas yang ada menunjukan adanya hal tersebut.
Adapun dalil-dalil syar’i yang dimaksud adalah firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa yang
menghendaki, niscaya menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. an-Naba’ [78]: 39).
Allah ta’ala juga berfirman, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok tanamu itu bagaimana kamu kehendaki.” (QS. al-
Baqoroh [2]: 223). Pada ayat lain, Allah ta’ala berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada
Alloh menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah.” (QS. at-Taghaabun [64]: 16).
Allah ta’ala juga berfriman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya, Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan yang dikerjakannya).” (QS. al-Baqoroh[2]:286)
Sedangkan realitas yang membuktikan hal tersebut adalah bahwa pada hakikatnya setiap
manusia mengetahui bahwa ia memiliki kehendak dan kemampuan, dimana dengan kehendak
dan kemampuan itu ia dapat melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, lalu ia juga dapat
membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya seperti “berjalan” dengan
perbuatan yang terjadi bukan karena kehendaknya seperti “gemetar badannya”, akan tetapi
kehendak dan kemampuan seorang hamba itu ada karena adanya kehendak dan qudrah
(kekuasaan) Allah ta’ala, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “(yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir
[81]: 28-29)
Iman kepada takdir seperti yang telah di jelaskan di atas tidak dapat dijadikan sebagai argumen
atau alasan bagi seorang hamba untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban ataupun untuk
melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Sebab, alasan semacam itu merupakan alasan yang
batil (salah) bila dilihat dari beberapa sisi:
1. Dilihat dari isi firman Allah ta’ala, “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan
mengatakan, ‘Jika Allah ta’ala menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukannya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian
pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rosul) sampai mereka
merasakan siksaan kami, ‘Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga
dapat kamu mengemukakannya kepada kami?’ kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan
belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS. al-An’am [6]:148)
2. Dilihat dari sisi firman Allah ta’ala, “(Mereka kami utus) selaku Rosul-rosul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh
sesudah diutusnya Rosul-rosul itu. Dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
an-Nisa’ [4]:165)
Seandainya takdir dapat dijadikan alasan bagi orang-orang yang melanggar perintah perintah-
perintah Allah ta’ala, niscaya alasan itu tidak akan hilang meskipun Allah ta’ala telah mengutus
para Rosul, sebab pelanggaran yang mereka lakukan setelah diutusnya para Rosul kepada
mereka itu ada karena adanya takdir Allah ta’ala.
3. Bahwa Allah ta’ala telah memberikan sejumlah perintah dan larangan kepada hamba-Nya,
namun dia tidak membebani hamba-Nya itu kecuali apa yang ia mampu. Allah ta’ala berfirman,
‘Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. at-Taghaabun
[64]:16)
4. Takdir (ketentuan) Allah ta’ala merupakan satu hal rahasia yang masih tersimpan dan tidak
diketahui kecuali setelah terjadi, sedangkan kehendak seorang hamba untuk melakukan suatu
perbuatan adalah lebih dulu ada dari pada perbuatannya itu. Karenanya, kehendak untuk
melakukan perbuatan tersebut tidaklah didasarkan pada pengetahuannya tentang takdir Allah
ta’ala. Pada saat itulah, ia tidak dapat menggunakan takdir Allah ta’ala sebagai alasan bagi
perbuatannya, sebab alasan seseorang tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang tidak
diketahuinya.
5. Kita dapat melihat seseorang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk satu urusan
duniawi yang sesuai dengan keinginan hatinya hingga ia benar-benar dapat memperoleh apa
yang diinginkannya, dan pada saat itu orang tersebut tidak mau berpaling kepada sesuatu yang
tidak sesuai dengan keinginan hatinya, ia beralasan bahwa tindakannya itu disebabkan takdir
Allah ta’ala.
Iman kepada takdir Allah ta’ala memiliki sejumlah manfaat yang besar, di antaranya adalah:
1. Dengan beriman kepada takdir Allah ta’ala, seseorang akan selalu bersandar kepada Allah
ta’ala lketika sedang melakukan hal-hal yang menjadi sebab dari keberhasilannya, dan ia tidak
hanya bersandar pada sebab-sebab tersebut, karena ia mengetahui bahwa segala sesuatu
berdasarkan takdir Allah ta’ala.
2. Dengan beriman kepada takdir Allah ta’ala, seseorang tidak akan membanggakan dirinya
ketika berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, sebab keberhasilannya itu merupakan
nikmat dari Allah ta’ala yang dikaruniakan kepadanya karena ia telah melakukan hal-hal yang
menjadi sebab bagi tercapainya suatu kebaikan atau kesuksesan. Ia menyadari bahwa sifat
membanggakan diri dapat menyebabkan dirinya lupa bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat
tersebut.
3. Beriman kepada takdir Allah ta’ala dapat membuahkan ketenangan dan kepuasan batin
seseorang terhadap ketentuan-ketentuan Allah ta’ala yang ditetapkan untuk dirinya, sehingga ia
tidak akan merasa gelisah ketika tidak berhasil mendapatkan sesuatu yang disukai atau yang
tidak disukai, sebab ia mengetahui bahwa hal itu terjadi karena takdir Allah ta’ala, Tuhan yang
menguasai kerajaan langit dan bumi. Mengenai hal itu, Allah ta’ala telah berfirman, “Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kita (Lauh Mahfuudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikan itu adalah mudah bagi Alloh. (kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. al-Hadid [57]:22-23)
Iman kepada Hari Akhir
Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan sungguh Allah akan
membangkitkan semua orang di dalam kubur. (QS. Al-Hajj : 7)
Pada saat terjadinya Hari Akhir semua makhluk yang ada di bumi ini akan musnah, matahari digulung,
bintang-bintang berjatuhan, langit runtuh, gunung-gunung dihancurkan, lautan dipanaskan (meluap),
dan bumi memuntahkan segala isinya. Perhatikan firman Allah berikut :
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu
kejadian yang sangat besar (dahsyat).
(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui
anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu
sangat kerasnya. (QS. Al-Hajj : 1-2)
Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung
dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila
binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dijadikan meluap. (QS. At-Takwir : 1-6)
Hari Akhir juga sering disebut dengan nama-nama lain, diantaranya yaitu :
• Yaumul Qiyamat artinya hari kebangkitan
• Yaumul Jaza’ artinya hari pembalasan
• Yaumul Ba’ats artinya hari kebangkitan
• Yaumud Din artinya hari pertanggung jawaban agama • Yaumul Hisab artinya hari perhitungan amal
• Yaumul Mizan artinya hari penimbangan amal
• Yaumul Khulud artinya hari keabadian (kekal)
• Yaumul Hasyr artinya hari dikumpulkan
• Yaumut Taghobun artinya hari penyesalan