Anda di halaman 1dari 21

KEGIATAN BELAJAR 4:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Pengertian Qadha dan Qadhar. Pokok-pokok bahasan Qadha dan Qadhar.


Memahami konsep Takdir Pengertian Muallaq dan Mubram, dan arti kebebasan
manusia.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar.


2. Memahami konsep Takdir.
3. Mengetahui Pengertian Mubram.
4. Mengetahui Pengertian Muallaq.
5. Mengetahui Arti Kebebasan Manusia.

POKOK-POKOK MATERI

Konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar, Takdir, Pengertian Mubram
dan Muallaq, Arti Kebebasan Manusia.

URAIAN MATERI
A. PENGERTIAN QADHA DAN QADAR
Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan “qadar”. kepercayaan terhadap konsep
kata ini juga merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan
kedua kata itu secara bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan
penjelasan kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda. Di samping memiliki

1
pengertian berbeda, kata “qadha” dan “qadar” juga dipahami secara berbeda oleh para ulama
tauhid atau mutakallimin. Dengan kata lain, kelompok Asyariyyah, kelompok Maturidiyyah,
dan sejumlah kelompok ulama lainnya berbeda pendapat perihal pengertian kata “qadha” dan
“qadar”. Imam Nawawi mengatakan bahwa:

‫اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند األشاعرة إرادة هللا األشياء في األزل على ما‬
‫هي عليه في غير األزل والقدر عندهم إيجاد هللا األشياء على قدر مخصوص على وفق اإلرادة‬
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar.
Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali
untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut
mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai
dengan kehendak-Nya pada azali.”
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl
al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa
orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha
mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang
kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

ُ ‫أن تُؤْ ِمنَ ب ِاهللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬


)‫س ِل ِه َوتُؤْ ِمنَ بالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش َّر ِه (رواه مسلم‬ ْ ‫ان‬
ُ ‫اإل ْي َم‬

“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,


Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik
maupun yang buruk”. (HR. Muslim).

Al-Qadlā maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbīr,


artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai
dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyī’ah) yang Azali (tidak bermula), di
mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki
oleh-Nya terhadap kejadiannya.
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama; Kata al-
Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdīr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap
segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdīr” Allah ini tidak
boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap
segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah
terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna,
2
sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk,
kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya. Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala
sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdūr. Al-Qadar dalam
pengertian al-Maqdūr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk
ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan
dan kemaksiatan, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits
Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini
adalah dalam pengertian al-Maqdūr.
Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah
keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat,
adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan
maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka
perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan “buruk”
seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan
Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan
buruk. Sifat Taqdīr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan
sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba
melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri.
Adapun Taqdīr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa
Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula,
ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat.
Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang
baik maupun yang buruk.
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan
dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan
penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan
keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila
pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah,
maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak
Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi.
Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

)‫َما شَا َء هللاُ َكانَ َو َما لَ ْم يَشَأ ْ لَ ْم يَ ُك ْن (رواه أبو داود‬

3
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak
dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya
maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka
hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah
Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal,
terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang
wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:

‫علَى ْأم ِره‬


َ ‫ب‬
ٌ ‫َوهللاُ غَا ِل‬

“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusan-Nya”. (Artinya, segala


sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang
menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).

Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman


kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-
orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi
orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-
Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:

‫ض ُكلُّ ُه ْم َج ِميعًا‬
ِ ‫َولَ ْو شَآ َء َرب َُّك أل َ َمنَ َمن ِفي اْأل َ ْر‬

“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang


ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99).

Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian


Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami,
bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu
yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya. Perkataan sebagian
orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang
tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan

4
yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau
kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah,
tetapi Allah tidak memerintah kepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah;
“Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya
dan dengan Ilmu-Nya.
Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta
kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara
keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi
tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”.
Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah.
Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya
dengan perintah Allah.
Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya
adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk
menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim.
Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan
telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il,
namun Allah tidak berkehendak terjadinya sembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut.
Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril
dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara “perintah Allah” dan
“kehendak-Nya”. Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk
beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah
kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi
orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-
orang kafir. Allah berfirman:

َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج ّن َواإل ْن‬


‫س إالّ ِليَ ْعبُد ُْون‬

“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan”
mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56).

Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum
bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia
perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan

5
manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika
diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah
kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena
pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara
mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah
dikalahkan oleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Syekh M Nawawi Banten memberikan contoh konkret qadha dan qadar menurut
kelompok Asyariyyah. Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi
apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.

‫فإرادة هللا المتعلقة أزال بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق اإلرادة‬
‫قدر‬
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim
atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu
setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”

Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah


atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan
yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk
itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Singkat kata,
qadha adalah ilmu azali Allah atas sifat-sifat makhluk-Nya. Ada lagi ulama yang berpendapat
bahwa qadha adalah ilmu azali Allah dalam kaitannya dengan materi yang diketahui oleh-Nya.
Sementara qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu
Allah pada azali bahwa si A kelak akan menjadi ulama atau ilmuwan adalah qadha. Sedangkan
penciptaan ilmu pada diri si A setelah ia diciptakan adalah qadar, Imam Nawami menyatakan
bahwa:

‫وقول األشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخالف قول الماتريدية‬
‫وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى‬

“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas
qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini

6
berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha
dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya.”

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa qadha merupakan sesuatu yang
ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan
qadar itu tidak boleh menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah
justru mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta
mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia sambil
tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam tradisi Islam
Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.

B. TAKDIR: MUBRAM DAN MUALLAQ


Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila
Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan
menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik
kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa
yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk
apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

َ ُّ‫ضا َء شَى ٌء إالّ الد‬


)‫عا ُء (رواه الترمذي‬ َ َ‫الَ يَ ُردُّ الق‬

“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).

Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa
Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq. Pertama: Qadlā
Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya
ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-
Sa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah
baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah
berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan
kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada
perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:

7
‫ِي َم ْن يَشَاء‬
ْ ‫ُض ّل َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهد‬
ِ ‫ي‬

“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).

Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran
para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia
berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan
mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan
rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ
Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-
lembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah
ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah
bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha
mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi
padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. Namun demikian doa adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

‫ان فَ ْل َي ْست َ ِجيبُوا ِلي َو ْليُؤْ ِمنُوا ِبي‬


ِ ‫ع‬ ُ ‫يب أ ُ ِج‬
َ َ‫يب دَع َْوة َ الدَّاعِ ِإذَا د‬ َ ‫سأَلَ َك ِع َبادِي‬
ٌ ‫ع ِنّي فَإ ِ ِنّي قَ ِر‬ َ ‫َو ِإذَا‬
َ‫شدُون‬ ُ ‫لَ َعلَّ ُه ْم َي ْر‬

“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku,


maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan
permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka
memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka
mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti
akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya
yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari
kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti

8
dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan.
Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai
kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun,
seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita
sebutkan di atas.
Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan tiga
permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan
keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam Nusantara beranggapan bahwa
doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfuzh.
Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan
tradisi Islam Nusantara. Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui
bentuk sedekah dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang
ditakdirkan Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya
sangat berkaitan erat dengan doa.

.‫والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البالء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة‬
‫ أما الثانى فال استحالة في رفع ما علق رفعه‬.‫والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق‬
‫منه على الدعاء وال في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء‬

“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit).
Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa
‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha
muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan
apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil
mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.”

Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah
kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat
meminimalisir dampak bala yang timbul karena takdir mubram.

9
‫وأما األول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن هللا تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء‬
‫مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا هللا تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة‬
‫كالرمل وتنزل عليه‬

“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat
menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang
berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu
kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka
kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi
remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang
jatuh menimpanya.”

Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak
mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah
memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada
umumnya aliran ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau
doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu Syaban sebagai bentuk ikhtiar
dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.

‫وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع األشياء‬
‫مبرمة ألنه إن علم هللا حصول المعلق عليه حصل المعلق وال بد وإن علم هللا عدم حصوله لم‬
‫يحصل وال بد لكن ال يترك الشخص الدعاء اتكاال على ذلك كما يترك األكل اتكاال على إبرام‬
‫هللا األمر فى الشبع‬

“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh.
Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah
mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak
boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah
muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan
doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan

10
seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal
kenyang.”

Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata
‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya
Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian,
“Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”

‫وأما عند المعتزلة فالدعاء ال ينفع وال يكفرون بذلك ألنهم لم يكذبوا القرآن كقوله تعالى ادعوني أستجب لكم بل‬
‫أولوا الدعاء بالعبادة واإلجابة بالثواب‬
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh
dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-
Quran perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka
menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”

Meskipun demikian, kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan


aliran muktazilah ke dalam aliran kufur karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai
wahyu Allah. Semua pengertian yang diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal
jamaah Asy’ariyah ini dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan
signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di
tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini dijelaskan oleh pendukung kelompok
ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni tidak bersikap su'ul adab dan
su'uzzhan kepada Allah.

C. KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR


Hampir setiap orang menginginkan kemauannya terwujud baik itu kemauan baik
maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan tertentu yang dapat terwujud dengan syarat-
syarat tertentu. Di sini hukum kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu
yang terwujud tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud
itu tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah berikut ini.
‫سوابق الهمم ال تخرق أسوار األقدار‬

“Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir.”

11
Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam.
Pertama, ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti
ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan
sehingga kita sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri
majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang diiringi usaha
nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan,
pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa
hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh
para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.

‫ فقد قال‬،‫ حسبما دلت عليه العقول وقضايا الشرع والنقول‬،‫بل تدور مع القدر كيفما دار‬: ‫قلت‬
‫ وقال صلى هللا عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر‬.ً‫ش ْيءٍ ُم ْقتَدِرا‬
َ ‫علَى ُك ِّل‬ َّ َ‫هللا تعالى َو َكان‬
َ ُ‫َّللا‬
‫ وهي التى تقتضى العزم والحزم من‬:‫ الهمم القواصر‬:‫ وأنواع الهمم ثالثة‬.‫حتى العجز والكيس‬
،‫والهمم المتوسطة وهي التى توجب مع العزم فعال ومع الحزم كماال‬. ‫غير فعل وال انفعال‬
‫ والهمم السوابق وهي قوى النفس الفعالة فى الوجود بال توقف كما‬.‫سواء وقع انفعال أم ال‬
‫يكون من العائن عن خبثة ومن الساحر عن عقده ونفثه ومن المتريض عن تجريد قوى نفسه‬
‫ومن الولي عن تحققه فى يقينه إذ ال يتوقف انفعال فى كل عن حركة وذلك بقضاء وقدره كما‬
َّ ‫ارينَ ِب ِه ِم ْن أ َ َح ٍد ِإ َّال ِبإ ِ ْذ ِن‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫ وقد قال في حق السحرة َو َما ُه ْم ِب‬.‫هو‬
ِّ ‫ض‬
“Menurut saya, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak.
Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan
segala sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan
dan takdir termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama,
kemauan lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya
nyata dan pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang
melahirkan upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik
berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat
berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada
sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga,
mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali
berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat
nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi

12
‫‪berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para penyihir pada‬‬
‫‪Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat pada apapun selain‬‬
‫”‪dengan izin Allah.‬‬

‫‪Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua.‬‬
‫‪Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah,‬‬
‫‪kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti‬‬
‫‪kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan‬‬
‫–‪takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya‬‬
‫‪ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.‬‬

‫ولما كانت همة الفقير المتجرد ال تخطيء في الغالب لقوله عليه السالم أن هلل رجاالً لو أقسموا‬
‫على هللا أل برهم في قسمهم قال شيخنا وهلل رجال إذا اهتموا بالشيء كان بإذن هللا وقال أيضا ً‬
‫عليه السالم اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور هللا خشى الشيخ أن يتوهم أحد أن الهمة تخرق‬
‫سور القدر وتفعل ما لم يجر به القضاء والقدر فرفع ذلك بقوله سوابق الهمم ال تخرق أسوار‬
‫األقدار‬
‫والهمة قوة انبعاث القلب في طلب الشيء واالهتمام به فإن كان ذلك األمر رفيعا ً كمعرفة هللا‬
‫وطلب رضاه سميت همة عالية وإن أمرا ً خسيسا ً كطلب الدنيا وحظوظها سميت همة دنية‬
‫وسوابق الهمم من إضافة الموصوف إلى الصفة أي الهمم السوابق ال تخرق أسوار األقدار أي‬
‫إذا اهتم العارف أو المريد بشيء وقويت همته بذلك فإن هللا تعالى يكون ذلك بقدرته في ساعة‬
‫واحدة حتى يكون أمره بأمر‪ ...‬فهمة العارف تتوجه للشيء فإن وجدت القضاء سبق به كان‬
‫ذلك بإذن هللا وإن وجدت سور القدر مضروبا ً عليه ال تخرقه بل تتأدب معه وترجع لوصفها‬
‫وهي العبودية فال تتأسف وال تحزن بل ربما تفرح لرجوعها لمحلها وتحققها بوصفها وقد كان‬
‫شيخ شيوخنا سيدي علي رضي هللا عنه يقول نحن إذا قلنا شيئا ً فخرج فرحنا مرة واحدة وإذا‬
‫لم يخرج فرحنا عشر مرات وذلك لتحققه بمعرفة هللا قيل لبعضهم بماذا عرفت ربك قال بنقض‬
‫العزائم وقد يحصل هذا التأثير للهمة القوية وإن كان صاحبها ناقصا ً كما يقع للعاين والساحر‬
‫عن خبثهما أو لخاصية جعلها هللا فيها إذا نظرا لشيء بقصد انفعل ذلك بإذن هللا وهذا كله أيضا ً‬
‫ال يخرق أسوار األقدار بل ال يكون إال ما أراد الواحد القهار قال تعالى "وما هم بضارين به‬
‫من أحد إال بإذن هللا" وقال تعالى "إنا كل شيء خلقناه بقدر وقال تعالى "وما تشاؤن إال أن‬
‫‪13‬‬
‫يشاء هللا" وقال صلى هللا عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر حتى العجز والكيس أي النشاط‬
‫للفعل وأشعر قوله سوابق أن الهمم الضعيفة ال ينفعل لها شيء وهو كذلك في الخير والشر‬
‫وفي استعارته الخرق واألسوار ما يشعر بالقوة في الجانبين لكن الحاصر قاهر فال عبرة بقوة‬
‫العبد القاصر وإذا كا نت الهمة ال تخرق أسوار األقدار فما بالك بالتدبير واالختيار الذي أشار‬
.‫إليه بقوله أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك ال تقم به أنت لنفسك‬
“Ketika kemauan keras seorang sufi yang tajrid (sebuah maqam di mana
kebutuhannya tersedia tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW
‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah
akan mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila
menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah,
‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’
Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah)
mereka dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan
takdir Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras
tak bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang
tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu
makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah
‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan bagian-bagian dari
duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah. ‘Sawabiqul himam’ merupakan
pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M). Maksud dari ‘Kemauan keras tak
bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang arifin dan murid memikirkan
sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya seketika dengan kuasa-
Nya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan al-arif billah mengarah
pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka kemauan itu akan terwujud
dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup, maka keinginan itu tak bisa
menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan adab yang seharusnya dalam
kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu kembali pada sifatnya, yaitu
penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan ia menjadi senang karena
keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada sifat aslinya. Guru dari guru
kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin sesuatu dan mengatakannya, lalu
terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila keinginan kami tak terwujud, maka kami
sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini terjadi karena kesejatian makrifatullah orang

14
tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama
menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat
terwujud sekalipun orang yang menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang
mengandalkan kekuatan mata dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan
keistimewaan padanya. Ketika keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu,
maka sesuatu yang dipandang itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua
dengan izin Allah. Semua itu juga takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi
hanya karena kehendak Allah yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka
tidak bisa mencelakai seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami
menciptakan sesuatu dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah
menghendaki,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan
takdir termasuk lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini
menyatakan secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas
apapun dalam kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan.
Kata ‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi
dinding yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang
hamba yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian
Syekh Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih
dalam rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah
berikutnya, ‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu
(Allah) untukmu, jangan lagi kau melakukannya.”

Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita tetap harus


mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum
kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan
Al-Buthi menjelaskan bahwa:

‫إن الجواب يتلخص في أن التعامل مع هللا إنما يكون باالنسجام مع أوامره والتعامل مع نظامه‬
‫ وإذا‬،‫ وإذا ظمئنا أن نشرب‬،‫ وقد أمرنا إذا جعنا أن نأكل‬.‫الذي أقام هذا الكون على أساسه‬
.‫ وأن نأخذ حذرنا مما يبدو أنه سبب لآلالم أو الهالك أو األسقام‬،‫مرضنا أن نبحث عن الدواء‬
‫ وأن نعلم أن هللا هو‬،‫ وأن ال تأثير إال بحكم هللا‬،‫ثم أمرنا أن نعلم علم اليقين أن ال فاعلية إال هلل‬
‫الخالق لكل شيء واآلمر له بأداء الوظيفة التي وكلت إليه أ َ َال لَهُ ْالخ َْل ُق َو ْاأل َ ْم ُر‬

15
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan
perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukum-
hukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah
memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit,
dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka
dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul
yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu
berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa
Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk
menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada
Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap
urusan.”

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan menyarankan untuk


memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak
Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan
berupaya hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita
menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu lintas. Jangan
berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan
coba-coba berdiam diri tidak belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok.
Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan
keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini
dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka
mengutip firman Allah:

‫ِك ْال َخي ُْر‬


َ ‫بِيَد‬

“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan)
saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya
menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan)
tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa
Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu

16
cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu
kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman
Allah:

َ ْ ‫س َرا ِبي َل ت َ ِقي ُكم بَأ‬


‫س ُك ْم‬ َ ‫س َرا ِبي َل ت َ ِقي ُك ُم ْال َح َّر َو‬
َ ‫َو َج َع َل لَ ُك ْم‬

“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari
dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).

Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga
dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan
pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti
Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala
kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an
Allah berfirman:

‫َو َخلَقَ ُك ّل شَىء‬

“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).

Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala
suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala
perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala
apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:

‫ع ْال ُم ْل َك ِم َّمن تَشَآ ُء‬ ِ َ‫قُ ِل اللَّ ُه َّم َما ِل ِك ْال ُم ْل ِك تُؤْ ِتي ْال ُم ْل َك َمن تَشَآ ُء َوت‬
ُ ‫نز‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan


kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan
keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah

17
pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman
Allah:

َ ‫س ِيّئ َ ٍة َف ِمن نَّ ْفس‬


‫ِك‬ َ َ ‫سنَ ٍة فَ ِمنَ هللاِ َو َمآأ‬
َ ‫صابَ َك ِم ْن‬ َ َ ‫َّمآأ‬
َ ‫صابَ َك ِم ْن َح‬

Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai
ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan
kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata
“Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah
atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat
yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana
yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan
oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.
Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang
dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi
akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah
Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan
sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing.
Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah.
Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat
membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak
dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam
sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:

)‫ْب دَ َواء الدّاء بَ ِرأ بإ ْذ ِن هللاِ (رواه ابن حبان‬ ِ ‫إن هللاَ َخلَقَ الد َّوا َء َو َخلَقَ الدّا َء فَإذَا‬
َ ‫أصي‬ ّ

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala
penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”.
(HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah”
adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena
ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan
berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal
jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
18
sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan
kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut
akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “…
maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya
obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari
obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya
menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak
menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab
tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
Salah satu tanda orang mukmin sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah
subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah
bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal
Muwāzarah menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai
berikut:

‫ وعالمة ذالك‬،‫ األولى أن ال يرجوغيرهللا وال يخاف إال هللا‬:‫وللمتوكل الصادق ثالث عالمات‬
‫أن ال يدع القول بالحق عند من يُرجى و يُخشى عادة من المخلوقين كاألمراء والسالطين‬

“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak
berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu
ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang
yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para
amir dan raja.”
Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam
setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5:

‫َّاك نَ ْستَ ِعي ُْن‬


َ ‫َّاك نَ ْعبُد ُ َو ِإي‬
َ ‫ِإي‬

“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan.”

Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak
hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan

19
mati. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata
benar di depan para penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa
saja. Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika suatu persoalan bertentangan
dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman
dari para penguasa maupun dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.
Jadi orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh
urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti kecuali
Allah.

‫والثانية أن ال يدخل قلبه ه ُّم الرزق ثقة بضمان هللا بحيث يكون سكون قلبه عند فقد ما يحتاج‬
‫اليه كسكونه في حال وجوده وأشد‬

“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan
adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu
keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini
berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam
surah Al-An’am, ayat 151:

‫ن َْح ُن ن َْر ُزقُ ًك ْم َوإِيَّا ُه ْم‬

“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.”


Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan
kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang
yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah Al-
An’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang
diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap
merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun
luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan
perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada
Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun.
Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia
kehendaki.

20
‫والثالثة أن ال يضطرب قلبه في مظان الخوف علما منه أن ما أخطأه لم يكن ليصيبه وما أصابه‬
‫لم يكن ليخطئه‬

“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya
suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia
terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan
menimpanya, akan terhindar dari dirinya.”
Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang
benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang
mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya. Ancaman
bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang
akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang
yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama,
mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari
orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena
meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka
bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena
mengimani takdir dan iradat Allah.

21

Anda mungkin juga menyukai