CAPAIAN PEMBELAJARAN
SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN
POKOK-POKOK MATERI
Konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar, Takdir, Pengertian Mubram
dan Muallaq, Arti Kebebasan Manusia.
URAIAN MATERI
A. PENGERTIAN QADHA DAN QADAR
Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan “qadar”. kepercayaan terhadap konsep
kata ini juga merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan
kedua kata itu secara bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan
penjelasan kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda. Di samping memiliki
اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ اﻟﻘﻀﺎء واﻟﻘﺪر ﻓﺎﻟﻘﻀﺎء ﻋﻨﺪ اﻷﺷﺎﻋﺮة إرادة ﷲ اﻷﺷﯿﺎء ﻓﻲ اﻷزل ﻋﻠﻰ ﻣﺎ
ھﻲ ﻋﻠﯿﮫ ﻓﻲ ﻏﯿﺮ اﻷزل واﻟﻘﺪر ﻋﻨﺪھﻢ إﯾﺠﺎد ﷲ اﻷﺷﯿﺎء ﻋﻠﻰ ﻗﺪر ﻣﺨﺼﻮص ﻋﻠﻰ وﻓﻖ اﻹرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar.
Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali
untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut
mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai
dengan kehendak-Nya pada azali.”
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl
al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa
orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha
mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang
kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya
maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka
hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah
Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal,
terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang
wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:
ض ُﻛﻠﱡ ُﮭ ْﻢ َﺟ ِﻤﯿﻌًﺎ
ِ َوﻟَ ْﻮ ﺷَﺂ َء َرﺑ َﱡﻚ ﻷ َ َﻣﻦَ َﻣﻦ ِﻓﻲ اْﻷ َ ْر
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan”
mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56).
Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum
bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia
perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan
ﻓﺈرادة ﷲ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ أزﻻ ﺑﺄﻧﻚ ﺗﺼﯿﺮ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﻀﺎء وإﯾﺠﺎد اﻟﻌﻠﻢ ﻓﯿﻚ ﺑﻌﺪ وﺟﻮدك ﻋﻠﻰ وﻓﻖ اﻹرادة
ﻗﺪر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim
atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu
setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”
وﻗﻮل اﻷﺷﺎﻋﺮة ھﻮ اﻟﻤﺸﮭﻮر وﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻓﺎﻟﻘﻀﺎء ﻗﺪﯾﻢ واﻟﻘﺪر ﺣﺎدث ﺑﺨﻼف ﻗﻮل اﻟﻤﺎﺗﺮﯾﺪﯾﺔ
وﻗﯿﻞ ﻛﻞ ﻣﻨﮭﻤﺎ ﺑﻤﻌﻨﻰ إرادﺗﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas
qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini
Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa qadha merupakan sesuatu yang
ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan
qadar itu tidak boleh menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah
justru mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta
mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia sambil
tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam tradisi Islam
Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa
Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq. Pertama: Qadlā
Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya
ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-
Sa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah
baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah
berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan
kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada
perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:
“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).
Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran
para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia
berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan
mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan
rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ
Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-
lembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah
ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah
bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha
mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi
padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. Namun demikian doa adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti
akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya
yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari
kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti
.واﻟﺪﻋﺎء ﯾﻨﻔﻊ ﻣﻤﺎ ﻧﺰل وﻣﻤﺎ ﻟﻢ ﯾﻨﺰل وإن اﻟﺒﻼء ﻟﯿﻨﺰل وﯾﺘﻠﻘﺎه اﻟﺪﻋﺎء ﻓﯿﺘﻌﺎﻟﺠﺎن إﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ
أﻣﺎ اﻟﺜﺎﻧﻰ ﻓﻼ اﺳﺘﺤﺎﻟﺔ ﻓﻲ رﻓﻊ ﻣﺎ ﻋﻠﻖ رﻓﻌﮫ.واﻟﺪﻋﺎء ﯾﻨﻔﻊ ﻓﻲ اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﺒﺮم واﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﻌﻠﻖ
ﻣﻨﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻋﺎء وﻻ ﻓﻲ ﻧﺰول ﻣﺎ ﻋﻠﻖ ﻧﺰوﻟﮫ ﻣﻨﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻋﺎء
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit).
Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa
‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha
muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan
apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil
mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.”
Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah
kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat
meminimalisir dampak bala yang timbul karena takdir mubram.
“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat
menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang
berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu
kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka
kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi
remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang
jatuh menimpanya.”
Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak
mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah
memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada
umumnya aliran ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau
doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu Syaban sebagai bentuk ikhtiar
dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.
واﻧﻘﺴﺎم اﻟﻘﻀﺎء إﻟﻰ ﻣﺒﺮم وﻣﻌﻠﻖ ظﺎھﺮ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻠﻮح اﻟﻤﺤﻔﻮظ وأﻣﺎ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﺠﻤﯿﻊ اﻷﺷﯿﺎء
ﻣﺒﺮﻣﺔ ﻷﻧﮫ إن ﻋﻠﻢ ﷲ ﺣﺼﻮل اﻟﻤﻌﻠﻖ ﻋﻠﯿﮫ ﺣﺼﻞ اﻟﻤﻌﻠﻖ وﻻ ﺑﺪ وإن ﻋﻠﻢ ﷲ ﻋﺪم ﺣﺼﻮﻟﮫ ﻟﻢ
ﯾﺤﺼﻞ و ﻻ ﺑﺪ ﻟﻜﻦ ﻻ ﯾﺘﺮك اﻟﺸﺨﺺ اﻟﺪﻋﺎء اﺗﻜﺎﻻ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﯾﺘﺮك اﻷﻛﻞ اﺗﻜﺎﻻ ﻋﻠﻰ إﺑﺮام
ﷲ اﻷﻣﺮ ﻓﻰ اﻟﺸﺒﻊ
“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh.
Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah
mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak
boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah
muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan
doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan
10
Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata
‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya
Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian,
“Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”
وأﻣﺎ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻓﺎﻟﺪﻋﺎء ﻻ ﯾﻨﻔﻊ وﻻ ﯾﻜﻔﺮون ﺑﺬﻟﻚ ﻷﻧﮭﻢ ﻟﻢ ﯾﻜﺬﺑﻮا اﻟﻘﺮآن ﻛﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ ادﻋﻮﻧﻲ أﺳﺘﺠﺐ ﻟﻜﻢ ﺑﻞ
أوﻟﻮا اﻟﺪﻋﺎء ﺑﺎﻟﻌﺒﺎدة واﻹﺟﺎﺑﺔ ﺑﺎﻟﺜﻮاب
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh
dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-
Quran perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka
menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”
11
ﻓﻘﺪ ﻗﺎل، ﺣﺴﺒﻤﺎ دﻟﺖ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻌﻘﻮل وﻗﻀﺎﯾﺎ اﻟﺸﺮع واﻟﻨﻘﻮل،ﺑﻞ ﺗﺪور ﻣﻊ اﻟﻘﺪر ﻛﯿﻔﻤﺎ دار: ﻗﻠﺖ
وﻗﺎل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺑﻘﻀﺎء وﻗﺪر.ًﺷ ْﻲءٍ ُﻣ ْﻘﺘَﺪِرا
َ ﻋﻠَﻰ ُﻛ ِّﻞ
َ ُﱠ َﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ َو َﻛﺎن
وھﻲ اﻟﺘﻰ ﺗﻘﺘﻀﻰ اﻟﻌﺰم واﻟﺤﺰم ﻣﻦ: اﻟﮭﻤﻢ اﻟﻘﻮاﺻﺮ: وأﻧﻮاع اﻟﮭﻤﻢ ﺛﻼﺛﺔ.ﺣﺘﻰ اﻟﻌﺠﺰ واﻟﻜﯿﺲ
،واﻟﮭﻤﻢ اﻟﻤﺘﻮﺳﻄﺔ وھﻲ اﻟﺘﻰ ﺗﻮﺟﺐ ﻣﻊ اﻟﻌﺰم ﻓﻌﻼ وﻣﻊ اﻟﺤﺰم ﻛﻤﺎﻻ. ﻏﯿﺮ ﻓﻌﻞ وﻻ اﻧﻔﻌﺎل
واﻟﮭﻤﻢ اﻟﺴﻮاﺑﻖ وھﻲ ﻗﻮى اﻟﻨﻔﺲ اﻟﻔﻌﺎﻟﺔ ﻓﻰ اﻟﻮﺟﻮد ﺑﻼ ﺗﻮﻗﻒ ﻛﻤﺎ.ﺳﻮاء وﻗﻊ اﻧﻔﻌﺎل أم ﻻ
ﯾﻜﻮن ﻣﻦ اﻟﻌﺎﺋﻦ ﻋﻦ ﺧﺒﺜﺔ وﻣﻦ اﻟﺴﺎﺣﺮ ﻋﻦ ﻋﻘﺪه وﻧﻔﺜﮫ وﻣﻦ اﻟﻤﺘﺮﯾﺾ ﻋﻦ ﺗﺠﺮﯾﺪ ﻗﻮى ﻧﻔﺴﮫ
وﻣﻦ اﻟﻮﻟﻲ ﻋﻦ ﺗﺤﻘﻘﮫ ﻓﻰ ﯾﻘﯿﻨﮫ إذ ﻻ ﯾﺘﻮﻗﻒ اﻧﻔﻌﺎل ﻓﻰ ﻛﻞ ﻋﻦ ﺣﺮﻛﺔ وذﻟﻚ ﺑﻘﻀﺎء وﻗﺪره ﻛﻤﺎ
ِ ﺎرﯾﻦَ ِﺑ ِﮫ ِﻣ ْﻦ أَ َﺣ ٍﺪ ِإ ﱠﻻ ِﺑﺈ ِ ْذ ِن ﱠ َ وﻗﺪ ﻗﺎل ﻓﻲ ﺣﻖ اﻟﺴﺤﺮة َو َﻣﺎ ُھ ْﻢ ِﺑ.ھﻮ
ِّ ﻀ
“Menurut saya, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak.
Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan
segala sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan
dan takdir termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama,
kemauan lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya
nyata dan pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang
melahirkan upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik
berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat
berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada
sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga,
mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali
berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat
nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi
12
Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua.
Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah,
kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti
kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan
–takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya
ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.
رﺟﺎﻻً ﻟﻮ أﻗﺴﻤﻮا وﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ھﻤﺔ اﻟﻔﻘﯿﺮ اﻟﻤﺘﺠﺮد ﻻ ﺗﺨﻄﻲء ﻓﻲ اﻟﻐﺎﻟﺐ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم أن
ﻋﻠﻰ ﷲ ﻷ ﺑﺮھﻢ ﻓﻲ ﻗﺴﻤﮭﻢ ﻗﺎل ﺷﯿﺨﻨﺎ و رﺟﺎل إذا اھﺘﻤﻮا ﺑﺎﻟﺸﻲء ﻛﺎن ﺑﺈذن ﷲ وﻗﺎل أﯾﻀﺎ ً
ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم اﺗﻘﻮا ﻓﺮاﺳﺔ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﺈﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ ﺑﻨﻮر ﷲ ﺧﺸﻰ اﻟﺸﯿﺦ أن ﯾﺘﻮھﻢ أﺣﺪ أن اﻟﮭﻤﺔ ﺗﺨﺮق
ﺳﻮر اﻟﻘﺪر وﺗﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﺠﺮ ﺑﮫ اﻟﻘﻀﺎء واﻟﻘﺪر ﻓﺮﻓﻊ ذﻟﻚ ﺑﻘﻮﻟﮫ ﺳﻮاﺑﻖ اﻟﮭﻤﻢ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار
اﻷﻗﺪار
واﻟﮭﻤﺔ ﻗﻮة اﻧﺒﻌﺎث اﻟﻘﻠﺐ ﻓﻲ طﻠﺐ اﻟﺸﻲء واﻻھﺘﻤﺎم ﺑﮫ ﻓﺈن ﻛﺎن ذﻟﻚ اﻷﻣﺮ رﻓﯿﻌﺎ ً ﻛﻤﻌﺮﻓﺔ ﷲ
وطﻠﺐ رﺿﺎه ﺳﻤﯿﺖ ھﻤﺔ ﻋﺎﻟﯿﺔ وإن أﻣﺮا ً ﺧﺴﯿﺴﺎ ً ﻛﻄﻠﺐ اﻟﺪﻧﯿﺎ وﺣﻈﻮظﮭﺎ ﺳﻤﯿﺖ ھﻤﺔ دﻧﯿﺔ
وﺳﻮاﺑﻖ اﻟﮭﻤﻢ ﻣﻦ إﺿﺎﻓﺔ اﻟﻤﻮﺻﻮف إﻟﻰ اﻟﺼﻔﺔ أي اﻟﮭﻤﻢ اﻟﺴﻮاﺑﻖ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار أي
إذا اھﺘﻢ اﻟﻌﺎرف أو اﻟﻤﺮﯾﺪ ﺑﺸﻲء وﻗﻮﯾﺖ ھﻤﺘﮫ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﺈن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﯾﻜﻮن ذﻟﻚ ﺑﻘﺪرﺗﮫ ﻓﻲ ﺳﺎﻋﺔ
واﺣﺪة ﺣﺘﻰ ﯾﻜﻮن أﻣﺮه ﺑﺄﻣﺮ ...ﻓﮭﻤﺔ اﻟﻌﺎرف ﺗﺘﻮﺟﮫ ﻟﻠﺸﻲء ﻓﺈن وﺟﺪت اﻟﻘﻀﺎء ﺳﺒﻖ ﺑﮫ ﻛﺎن
ذﻟﻚ ﺑﺈذن ﷲ وإن وﺟﺪت ﺳﻮر اﻟﻘﺪر ﻣﻀﺮوﺑﺎ ً ﻋﻠﯿﮫ ﻻ ﺗﺨﺮﻗﮫ ﺑﻞ ﺗﺘﺄدب ﻣﻌﮫ وﺗﺮﺟﻊ ﻟﻮﺻﻔﮭﺎ
وھﻲ اﻟﻌﺒﻮدﯾﺔ ﻓﻼ ﺗﺘﺄﺳﻒ وﻻ ﺗﺤﺰن ﺑﻞ رﺑﻤﺎ ﺗﻔﺮح ﻟﺮﺟﻮﻋﮭﺎ ﻟﻤﺤﻠﮭﺎ وﺗﺤﻘﻘﮭﺎ ﺑﻮﺻﻔﮭﺎ وﻗﺪ ﻛﺎن
ﺷﯿﺦ ﺷﯿﻮﺧﻨﺎ ﺳﯿﺪي ﻋﻠﻲ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﯾﻘﻮل ﻧﺤﻦ إذا ﻗﻠﻨﺎ ﺷﯿﺌﺎ ً ﻓﺨﺮج ﻓﺮﺣﻨﺎ ﻣﺮة واﺣﺪة وإذا
ﻟﻢ ﯾﺨﺮج ﻓﺮﺣﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﻣﺮات وذﻟﻚ ﻟﺘﺤﻘﻘﮫ ﺑﻤﻌﺮﻓﺔ ﷲ ﻗﯿﻞ ﻟﺒﻌﻀﮭﻢ ﺑﻤﺎذا ﻋﺮﻓﺖ رﺑﻚ ﻗﺎل ﺑﻨﻘﺾ
اﻟﻌﺰاﺋﻢ وﻗﺪ ﯾﺤﺼﻞ ھﺬا اﻟﺘﺄﺛﯿﺮ ﻟﻠﮭﻤﺔ اﻟﻘﻮﯾﺔ وإن ﻛﺎن ﺻﺎﺣﺒﮭﺎ ﻧﺎﻗﺼﺎ ً ﻛﻤﺎ ﯾﻘﻊ ﻟﻠﻌﺎﯾﻦ واﻟﺴﺎﺣﺮ
ﻋﻦ ﺧﺒﺜﮭﻤﺎ أو ﻟﺨﺎﺻﯿﺔ ﺟﻌﻠﮭﺎ ﷲ ﻓﯿﮭﺎ إذا ﻧﻈﺮا ﻟﺸﻲء ﺑﻘﺼﺪ اﻧﻔﻌﻞ ذﻟﻚ ﺑﺈذن ﷲ وھﺬا ﻛﻠﮫ أﯾﻀﺎ ً
ﻻ ﯾﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار ﺑﻞ ﻻ ﯾﻜﻮن إﻻ ﻣﺎ أراد اﻟﻮاﺣﺪ اﻟﻘﮭﺎر ﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "وﻣﺎ ھﻢ ﺑﻀﺎرﯾﻦ ﺑﮫ
ﻣﻦ أﺣﺪ إﻻ ﺑﺈذن ﷲ" وﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "إﻧﺎ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺧﻠﻘﻨﺎه ﺑﻘﺪر وﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "وﻣﺎ ﺗﺸﺎؤن إﻻ أن
13
14
إن اﻟﺠﻮاب ﯾﺘﻠﺨﺺ ﻓﻲ أن اﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﷲ إﻧﻤﺎ ﯾﻜﻮن ﺑﺎﻻﻧﺴﺠﺎم ﻣﻊ أواﻣﺮه واﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﻧﻈﺎﻣﮫ
وإذا، وإذا ظﻤﺌﻨﺎ أن ﻧﺸﺮب، و ﻗﺪ أﻣﺮﻧﺎ إذا ﺟﻌﻨﺎ أن ﻧﺄﻛﻞ.اﻟﺬي أﻗﺎم ھﺬا اﻟﻜﻮن ﻋﻠﻰ أﺳﺎﺳﮫ
. وأن ﻧﺄﺧﺬ ﺣﺬرﻧﺎ ﻣﻤﺎ ﯾﺒﺪو أﻧﮫ ﺳﺒﺐ ﻟﻶﻻم أو اﻟﮭﻼك أو اﻷﺳﻘﺎم،ﻣﺮﺿﻨﺎ أن ﻧﺒﺤﺚ ﻋﻦ اﻟﺪواء
وأن ﻧﻌﻠﻢ أن ﷲ ھﻮ، وأن ﻻ ﺗﺄﺛﯿﺮ إﻻ ﺑﺤﻜﻢ ﷲ، ﺛﻢ أﻣﺮﻧﺎ أن ﻧﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ اﻟﯿﻘﯿﻦ أن ﻻ ﻓﺎﻋﻠﯿﺔ إﻻ
اﻟﺨﺎﻟﻖ ﻟﻜﻞ ﺷﻲء واﻵﻣﺮ ﻟﮫ ﺑﺄداء اﻟﻮظﯿﻔﺔ اﻟﺘﻲ وﻛﻠﺖ إﻟﯿﮫ أَ َﻻ ﻟَﮫُ ْاﻟﺨ َْﻠ ُﻖ َو ْاﻷ َ ْﻣ ُﺮ
15
Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan)
saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya
menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan)
tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa
Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu
16
“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari
dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).
Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga
dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan
pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti
Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala
kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an
Allah berfirman:
“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala
suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala
perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala
apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:
ع ْاﻟ ُﻤ ْﻠ َﻚ ِﻣ ﱠﻤﻦ ﺗَﺸَﺂ ُء ِ َﻗُ ِﻞ اﻟﻠﱠ ُﮭ ﱠﻢ َﻣﺎ ِﻟ ِﻚ ْاﻟ ُﻤ ْﻠ ِﻚ ﺗُﺆْ ِﺗﻲ ْاﻟ ُﻤ ْﻠ َﻚ َﻣﻦ ﺗَﺸَﺂ ُء َوﺗ
ُ ﻨﺰ
Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan
keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah
17
Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai
ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan
kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata
“Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah
atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat
yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana
yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan
oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.
Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang
dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi
akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah
Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan
sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing.
Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah.
Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat
membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak
dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam
sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
(ْﺐ دَ َواء اﻟﺪّاء ﺑَ ِﺮأ ﺑﺈ ْذ ِن ﷲِ )رواه اﺑﻦ ﺣﺒﺎن ِ إن ﷲَ َﺧﻠَﻖَ اﻟﺪ َّوا َء َو َﺧﻠَﻖَ اﻟﺪّا َء ﻓَﺈذَا
َ أﺻﯿ ّ
“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala
penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”.
(HR. Ibn Hibban).
Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah”
adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena
ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan
berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal
jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
18
“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak
berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu
ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang
yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para
amir dan raja.”
Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam
setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5:
“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan.”
Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak
hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan
19
واﻟﺜﺎﻧﯿﺔ أن ﻻ ﯾﺪﺧﻞ ﻗﻠﺒﮫ ھ ﱡﻢ اﻟﺮزق ﺛﻘﺔ ﺑﻀﻤﺎن ﷲ ﺑﺤﯿﺚ ﯾﻜﻮن ﺳﻜﻮن ﻗﻠﺒﮫ ﻋﻨﺪ ﻓﻘﺪ ﻣﺎ ﯾﺤﺘﺎج
اﻟﯿﮫ ﻛﺴﻜﻮﻧﮫ ﻓﻲ ﺣﺎل وﺟﻮده وأﺷﺪ
“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan
adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu
keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini
berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam
surah Al-An’am, ayat 151:
20
“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya
suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia
terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan
menimpanya, akan terhindar dari dirinya.”
Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang
benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang
mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya. Ancaman
bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang
akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang
yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama,
mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari
orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena
meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka
bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena
mengimani takdir dan iradat Allah.
21