Anda di halaman 1dari 148

Pedagogik & Covid-19

Kemungkinan dalam Pendidikan

Kumpulan Karangan Pendidikan


Pedagogik & Covid-19
Kemungkinan dalam Pendidikan
Copyleft 2020, Jakarta

Dipublikasi pertama kali oleh Taman Pembelajar


Rawamangun, 2020.
Berkat kerja kolektif: penulis, editor, tata letak, dan
perancang sampul.

Juni, 2020.

Cover : Muhamad Muhtar


Tata Letak : Muhtar
Editor : Kahfi-Pongki

Boleh disebarluaskan untuk kepentingan publik.


Ucapan Terima Kasih

Buku yang ada di tangan para pembaca ini, tidak akan pernah terbit
tanpa bantuan dari banyak pihak. Terutama kepada para penulis yang
sudah bersedia mengirimkan tulisannya tanpa honorarium. Kemudian juga
kepada penulis-penulis yang mengijinkan tulisannya diterjemahkan dan
dipublikasi, juga tanpa honorarium. Kepada mereka semua, kami ucapkan
banyak terima kasih.
Juga kepada teman-teman di balik-layar yang telah bekerja keras
menyelesaikan buku ini sesuai target; editor, perancang sampul dan
layouter. Bongkar pasang dan memastikan kalimat demi kalimat tentu
pekerjaan yang melelahkan selama sebulan belakangan. Mereka juga
bekerja tanpa honorarium.
Dari awal kesemuanya memang diniatkan untuk mewarnai diskursus
pedagogik, yang dengan datangnya momentum pandemi ini, telah bergairah
kembali. Jadi, bagi kami, ia melampaui honorarium itu sendiri.
Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada mereka yang disebutkan di atas.

Mewakili Taman Pembelajar Rawamangun.

Kenang Kelana
Sebagai Awalan
2 Masa Lalu Bangku Sekolah dan Ilmu Pendidikan Kita
Kenang Kelana

Pedagogik Era Covid-19


14 Belajar di Rumah: Memindahkan Kelas vs Belajar Otentik
Lody F Paat
Mengembalikan Realitas Peserta Didik Kita
22
Iman Zanatul Haeri
Pembelajaran dan Covid-19: Momentum untuk Perubahan
28
Luqman Hakim
Pandemi Baru: Jejaring Kekuasaan ‘EdTech’
40
Ben Williamson
Menyoroti Pendidikan bagi “Si Miskin” Selama Pandemi
54
Anggi Afriansyah
DAFTAR ISI

Pedagogik Pasca Covid-19


Belajar di Rumah Saja a la Haji Agus Salim
64
Tyo Prakoso
Pendidikan Digital Setelah COVID-19: Sebuah Keprihatinan
74
& Harapan Kritis
Neil Selwyn
Pendidikan Pasca COVID-19 dari Sudut Pandang
82
Jacques Rancière
Ayi Hambali

Refleksi
Tapal Batas “Tuhan” Digital
96
Kahfi
Tentang Esensi Pendidikan
106
Alexander M. Sidorkin

Epilog
120 Pandemi Covid-19 Mengungkap Wabah Neo-Liberalisme
Henry Giroux

135 Tentang Penulis dan Profil Organisasi


Sebagai Awalan
1 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Dok. Kelana

Kenang Kelana
Masa Lalu
Bangku Sekolah 2
dan Ilmu Pendidikan Kita

Masa Lalu
Bangku Sekolah
dan Ilmu Pendidikan Kita
Kenang Kelana
Jakarta, 1 Juni 2020

Dari semua lanskap perkembangan


pendidikankita, apakah terma digitalisasi
adalah kemungkinan pendidikan kita?
atau kita perlu meminjam keberanian
KHD untuk bilang bahwa; kita telah salah
jalan!

Kenang Kelana
3 Pedagogik & Covid-19

P andemi yang sudah berlangsung nyaris satu semester sejak terjadi di


Wuhan, telah banyak menjungkir-balikkan tatanan kehidupan “normal”
selama ini. Aktivitas ekonomi, kegiatan sosial, hingga ritual keagamaan
praktis dibatasi.
Tentu derita yang sama dialami juga dalam dunia pendidikan. Banyak
murid belajar dari rumah dengan mengandalkan jaringan internet maupun
teknologi informasi untuk berkomunikasi dengan para guru. Indonesia
yang dinilai banyak pakar sebagai negara yang terlambat mengantisipasi
penetrasi virus Covid-19, ikut kelimpungan merumuskan kebijakan
pendidikan sebagaimana telah diberlakukannya protokol kesehatan.
Belakangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
mengharuskan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), sebagai upaya
pencegahan virus. Kebijakan itupun kabarnya akan dilanjutkan hingga
akhir 2020.
Persoalannya, PJJ tak sesederhana yang dibayangkan oleh pusat. Bahkan
Menteri Nadiem Makarim, yang namanya besar dari dunia teknologi digital
(Gojek), merasa terkejut melihat kenyataan bahwa di banyak daerah masih
belum teraliri listrik. Dia menyampaikan rasa kaget itu bertepatan dengan
pidato Hari Pendidikan Nasional Indonesia, (2/5) 2020, di kanal YouTube
Kemdikbud.
Memang pada situasi ini hampir seluruh pihak kalut, bahkan apa
yang terjadi di negara maju--yang terimbas Covid-19--pun menunjukkan
hal serupa di Indonesia; kebingungan. Terlebih bagi Indonesia yang pada
faktanya tak memiliki keandalan birokrasi maupun pelayanan publik yang
prima dan membuat masalah kebijakan terkait pandemi tidak selaras dengan
kondisi di lapangan, termasuk dalam hal pendidikan.
Di tengah kekalutan dan ketidaksiapan, PJJ dalam pelaksanaannya
justru telah menarik minat banyak kalangan untuk membahas masa depan
pendidikan nasional. Para akademisi juga praktisi pendidikan kian ramai
membicarakan kemungkinan lanskap pendidikan masa depan yang berubah
seiring dengan fakta bahwa PJJ saat pandemi dapat dilaksanakan berkat
teknologi informasi.
Diskursus mengenai pendidikan di era digital memicu berbagai
tanggapan. Bahkan ada pejabat kementerian pendidikan, dalam salah satu
diskusi daring, menyebut bahwa digital-(lisasi) adalah masa depan kita,
sebuah ‘zeitgeist’, sebagai kodrat zaman hari ini dan masa depan.
Walau begitu, meneropong arah masa depan pendidikan nasional yang
berangkat dari praktik pendidikan kala pandemi hari ini, setidaknya tak bisa
Masa Lalu
Bangku Sekolah 4
dan Ilmu Pendidikan Kita

lepas dari ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2020-2035’ yang telah
disusun pemerintah.
Dokumen PJPI itu merupakan sebuah renstra (rencana dan strategi)1,
yang bisa kita lihat lebih jauh tentang watak sebenarnya dari maksud dan
tujuan pendidikan Indonesia. Lantas bagaimanakah nasib bangku sekolah
(sekolah modern) hari ini dan apa proyeksi dalam dokumen PJPI tersebut?
Apakah pendidikan berbasis digital sudah menjawab persoalan pendidikan
kita hari ini, sebelum, saat dan sesudah pandemi?
Dan jauh lebih penting ialah mempertanyakan titik pijak pendidikan
sekaligus orientasi kebangsaan, apakah hal tersebut telah final dan rampung
dalam dokumen PJPI. Sebab hingga kini, secara tak sadar, nuansa kebijakan
pendidikan seperti terombang-ambing, tak berhulu bagaimana hendak
menuju?
Kebijakan pendidikan sebagian besar hanya menyasar pernak-pernik
teknis pengelolaan sekolah, guru, hingga anggaran pembangunan. Paling
“ilmiah” pembahasan pendidikan terbatas sekadar metode pengajaran.
Padahal saat ini, bisa dianggap sebagai momentum yang tepat mengajukan
alasan filosofis dan ideologis terkait pendidikan nasional. Pandemi
membuka mata bagaimana kerja kebudayaan pendidikan menghasilkan
karakter dan respon kemanusiaan tiap insan keluaran institusi sekolah.

Riwayat Sekolah
Sekolah sebagai terma institusi modern memiliki akar historis yang
panjang, terlebih dalam bingkai sejarah nasional. Di fase sebelum
kedatangan kolonialisme barat, yang menandai embrio modernitas,
masyarakat kita telah mengenal institusi pendidikan, seperti: tajug, surau,
langar hingga pesantren (Azra, 1999).
Kemungkinan dari akar sejarah masyarakat yang sama, sekolah
maupun institusi pendidikan yang telah ada saling berkelindan membentuk,
dibentuk oleh masyarakat. Untuk mengisahkan soal ini, menarik untuk
mengetengahkan adanya sejarah ganda institusi pendidikan kita.
Pada jenis sekolah yang pertama, kita akan melihat satu bentuk
pendidikan dengan konsep ‘sekolah’ atau ‘school’ yang ditawarkan oleh
pihak kolonial, dalam hal ini Hindia Belanda, sebagai bentuk ‘balas budi’
atas apa-apa yang telah mereka curi selama menjajah. Pembuatan sekolah
era kolonial tersebut erat kaitannya dengan semangat etik liberal di Eropa
pada akhir tahun abad ke 19.

Kenang Kelana
5 Pedagogik & Covid-19

Tentu narasi humanistik ini tidak begitu saja diterima, ada modus
operandi lain yang perlu dibaca, misalnya, alih-alih sebagai proyek etis dari
semangat liberal, sekolah malah dimaknai sebagai produsen tenaga kerja
murah yang akan menggerakan pekerjaan sipil (Yudi Latif, 2012).
Bahkan lebih lanjut, ‘beragam pendekatan dalam politik etis
menyebabkan munculnya lembaga-lembaga sekolah dan sekaligus berperan
penting dalam memecah belah maupun menyatukan kelompok-kelompok
yang ada di dalam masyarakat kolonial (Ibid). Sekolah atau school
adalah terma pendidikan modern, yang lahir dari dorongan Pencerahan
dan revolusi industri di belahan dunia utara. Sebagai sebuah proyek
modernisasi, sekolah memiliki ‘fungsi’ (Parson, 1951) menjalankan peran
melengkapi jalannya masyarakat yang demokratis pada ranah politik, dan
penopang ekosistem industri pada domain ekonominya (khususnya dalam
corak ekonomi kapitalistik).
Sebangun dengan perkembangan sekolah kolonial, muncul pula sekolah
pribumi yang dilatarbelakangi sosio kultural dan sosio politik yang berbeda.
Pada model instituti pendidikan yang kedua ini, kita disuguhkan dengan
maksud dan tujuan yang berbeda. Berbeda dari sejarah kemunculanya dan
berbeda secara konseptual dengan sekolah modern di Barat. Konsep itu
bernama ‘paguron’,2 istilah yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantoro
(KHD).
Konsep tua ini menjembatani ‘keaslian’ dari beberapa era dalam
periodisasi sejarah pendidikan Indonesia, sekaligus menjadi antitesis
dari model persekolah barat; school (Dewantara, 1977). Pendidikan di
paguron, bagi KHD dimaksudkan sebagai yang melampaui batas-batas
intelektualistik, individualistik dan materialistik, yang sangat menjiwai
persekolahan modern a la Barat waktu itu.
KHD memasukkan unsur “ketimuran” yang tak dikenal dalam isi
persekolahan kolonial, yakni pendidikan harus juga bisa mengisi ruang
abstrak (ke)batin(an) yang meliputi kesalehan religi dan kesalehan sosial
atau budi pekerti. Pendidikan di paguron adalah pagar yang di dalamnya
terdapat kebun kebudayaan yang perlu ditaman, dirawat, dikembangkan
dan kemudian dipanen menjadi manusia merdeka; tidak hidup diperintah,
mandiri dan sanggup mengatur dirinya sendiri.
Meski dalam perkembangannya kini, konsep tersebut nyaris tak lagi
dikenal dalam horison pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional. Yang
tersisa dari KHD hanyalah institusi Taman Siswa, slogan luhur (tut wuri
handayani), maupun perayaan ulang tahunya yang diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Masa Lalu
Bangku Sekolah 6
dan Ilmu Pendidikan Kita

Kenang Kelana
7 Pedagogik & Covid-19

Perkembangan Ilmu Pendidikan Kita


Kekosongan pengetahuan, tentang ilmu pendidikan, sejak narasi besar
KHD terpinggirkan dari panggung nasional, memaksa Indonesia secara
birokratis mencari model baru yang dianggap lebih modern dan sesuai
perkembangan zaman. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi apa yang
sering disebut oleh para ahli sejarah sebagai periode mengisi kemerdekaan.
Sebelumnya, mungkin kita akan banyak menemukan bahan bacaan dan
orientasi pendidikan bercorak kontinental,3 hingga kira-kira tahun 1970an4.
Namun, gelombang besar politik serba ‘indonesia-sentris’5, yang dengan
semangat meninggalkan semua yang berbau kolonial-Belanda. Kesemuanya
telah mewarnai wacana nasionalisme dalam ilmu pengetahuan di Indonesia
dan tak terkecuali ke dalam domain ilmu pendidikan.
Rumah produksi ilmu pendidikan secara formal di Indonesia pada masa
itu masih sangat terbatas, ia tersedia hanya pada level kursus-kursus, seperti
B-satu dan dua, lebih matang lagi dengan ikut sebagai fakultas di beberapa
universitas besar seperti UGM, UI dan UNPAD.
Pada pertengahan tahun 1954, seperti yang dikutip Agus Suwignyo
(2017) dalam tulisan Murray, bahwa A.G. Pringgodigdo, seorang pejabat
pendidikan, mewakili Kementerian Pendidikan Indonesia pada peringatan
ke-200 Universitas Columbia di Kota New York, telah menyarankan bahwa
Indonesia jika membuka sekolah guru harus berbentuk (atau selevel)
universitas.
Melalui Agency for International Development, Amerika telah
mensponsori kegiatan pelatihan bagi sarjana-sarjana muda Indonesia.
Lewat program tersebut, terhitung dari tahun I954 hingga awal 1961, lebih
dari 150 orang Indonesia terbang ke Amerika Serikat untuk mempelajari
berbagai aspek pendidikan tinggi sehingga mereka dapat mengisi posisi
kepemimpinan di universitas, baik untuk urusan administrasi, bisnis dan
hal-hal teknis pengajaran.
Selama periode yang sama, buku pelajaran, persediaan laboratorium, dan
alat peraga dengan biaya lebih dari $400.000 dipesan untuk mempersiapkan
institusi pendidikan tinggi yang akan mencetak guru, termasuk nasihat
konsultatif terkait masalah kurikulum dan sebagainya (Mooney, 1963).
Sarjana-sarjana yang diberangkatkan pertama ke AS untuk belajar
adalah David Henki de Queljoe, Constantijn Adelbert Pakasi, Mas Achmad
Gazali Surianatasudjana, Slamet Rahardjo, dan Nji Raden Hatidjah
Wiriaatmadja. Dalam sepucuk surat kepada Michael Harris, perwakilan
Masa Lalu
Bangku Sekolah 8
dan Ilmu Pendidikan Kita

Ford Foundation di Jakarta, Hutasoit mengatakan bahwa lima kandidat


yang terpilih harus memulai studi mereka di Amerika Serikat pada Musim
Gugur Semester September 1956. (Surat Hutasoit kepada Harris, 1956.
Seperti dikutip Suwignyo, 2017)
Gelombang selanjutnya dari sarjana pendidikan Indonesia yang dikirim
ke Amerika untuk belajar adalah Mochtar Bukhori (Almarhum), H.A.R
Tilaar (Almarhum), Winarno Surakhmad (Almarhum) d.l.l., dengan
spesialisasi yang beragam. Beberapa dosen diboyong dari universitas
-universitas besar Amerika untuk live-in dan mengajar di kampus-kampus
yang sudah dipersiapkan. Thomas R. Murray adalah salah satu dari
intelektual yang dibawa dari AS, yang ditempatkan di FKIP Padjadjaran,
Bandung untuk mengajar dan melakukan riset.
Dalam konteks politik perang dingin, mungkin kita akan menganggap
ini bermasalah, mengingat garis politik non-blok dan konsekuensi logis
dari jalinan kerja sama ini adalah, seperti motif Amerika yang berhasrat
membendung gelombang komunis di wilayah Asia Selatan (Rossa, 2008).
Namun, dalam kerangka pemikiran pendidikan, kerja sama dan
program bantuan AS itu membawa polemik dan perdebatan awal di ranah
pedagogik, aliran education nya anglo-Amerika ini adalah hal baru bagi
wacana perkembangan ilmu pendidikan di Indonesia. Corak pemikiran
education itu bisa dirasakan pada tokoh-tokoh sekaliber Prof. Mohctar
Bukhori (Almarhum) dan Prof. Tilaar (Almarhum) telah mewarnai jalanya
ilmu pendidikan di Indonesia sejak tahun-tahun 80an.
Implikasi kerja sama Indonesia-Amerika di ruang pendidikan secara
pedagogis adalah mengubah terma dari yang kontinental menjadi bercorak
anglo-amerika. Jadi bisa dibilang, meskipun ini terburu-buru, bahwa
kelahiran IKIP-IKIP di Indonesia di pertengahan tahun 1960an itu adalah
bentuk rekayasa pertama dari dominasi pengaruh corak anglo-amerika
dalam perspektif pendidikan nasional.
Hingga hari ini, aliran multidisipliner anglo-amerika, sangat
mendominasi wacana besar pendidikan Indonesia. Meskipun kita akan
terheran-heran, karena, di waktu yang bersamaan dengan kemunculannya—
disekitar pertengahan tahun 1980an, doktor-doktor pendidikan lulusan
Amerika tersebut memperingatkan kita bahwa ilmu pendidikan sedang
mengalami degradasi (lihat misal, tulisan-tulisan Tilaar, Buchori dan
Winarno di media massa sekitar tahun 1980).
Belum lagi selesai kita dengan persoalan pedagogik yang anglo-
amerika, sekarang, meskipun sudah diusahakan lama oleh mereka yang
bergerak di bidang jasa-usaha teknologi pendidikan, telah muncul wacana

Kenang Kelana
9 Pedagogik & Covid-19

digitalisasi dalam pendidikan.


Wacana ini dimatangkan oleh kondisi krisis kesehatan yang belum
diketahui. Mereka, para filantropi, konsultan dan organisasi pendidikan
dunia seperti OECD d.l.l., telah mengambil posisi strategis dengan
menjelma sebagai ‘solusi’ dari problem pendidikan hari ini.
Jika dominasi pendidikan tetap dimainkan oleh mereka, maka,
mengutip pertanyaan Ben Williamson dalam salah satu judul tulisannya;
Who owns educational theory? Masikah sarjana pendidikan mendapatkan
ruang bagi ilmu pendidikan itu sendiri? Di sini, saya kira kita perlu hati-
hati untuk tidak menyerahkan begitu saja urusan pendidikan kepada para
konsultan dan perusahaan pendidikan digital, karena mereka sedang dan
telah mereduksi konsep pendidikan itu sendiri.
Perusahaan-perusahaan digital ini telah membiaskan kerja-kerja sarjana
kritis pendidikan digital yang telah dipersiapkan dengan baik dengan
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) a la perusahaan pendidikan itu. Mereka yang
mendorong PJJ perlu diwaspadai berkaitan dengan ‘mau mengambil untung
sendiri’, seperti yang diungkap oleh Selwyn bahwa perusahaan EdTech
seperti Sal Kahn di India, terbukti sangat cepat bicara tentang ‘lapisan
emas’ dari bencana COVID-19 ini.
Oragnisasi-organisasi tingkat dunia seperti UNESCO, World Bank dan
OECD, ditambah konsultan, perusahaan teknologi besar dan filantropi telah
membentuk jejaring pandemi baru yang akan bicara masa depan pendidikan.
OECD dan World Bank bahkan tidak lagi menyebut pendidikan digital ini
hanya sebatas respon terhadap pendidikan pada masa krisis, melainkan
sebagai masa depan pendidikan itu sendiri (lihat, tulisan Ben Williamson
2020, dalam kumpulan tulisan ini).

Kemana Kita akan Pergi?


Lompatan-lompatan diskursus ilmu pendidikan kita berjalan acak,
seolah mengikuti arus keputusan sepihak, lebih karena situasi atau pilihan
politik, namun kecil bagi ilmuwan pendidikan masuk dalam kontestasi
pertarungan. Mereka biasanya sudah kalah sejak dalam kandungan; dengan
terbatasnya anggaran riset, peluang, kesempatan dan ekosistem.
Krisis kesehatan harusnya bisa memberi jeda, karena semua perangkat
pendidikan sebelumnya juga berhenti, untuk melihat lebih jernih hal-hal
yang berhubungan dengan yang ‘esensial’ dalam pendidikan. Berhenti
sejenak dari sekedar berjargon tentang kemerdekaan dan hal-hal yang
dianggap asli sebagai kebudayaan kita. Namun, dalam dokumen Peta
Masa Lalu
Bangku Sekolah 10
dan Ilmu Pendidikan Kita

Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, yang baru belakangan ini dirilis,


sepertinya belum ada niatan pemerintah untuk melepas pedal gas mereka
dan malah melaju sangat cepat dengan mengambil trek lama, jalur yang
tidak sama sekali memberikan ruang bagi hal-hal yang esensial dalam
pendidikan.
PJPI 2020-2035 masih merujuk pada data evaluasi dan aturan main
lembaga-lemabaga pendidikan lintas benua dan sektor (OECD, d.l.l.,),
yang melulu bicara standar pendidikan pada ‘apa yang berhasil’ dan bisa
menopang industri ekonomi. Hampir 74 halaman dalam dokumen itu berisi
narasi-narasi yang menjadikan ekonomi sebagai faktor yang dominan.
Tentu tidak ada yang menyangkal tentang peran pendidikan dalam
pembangunan ekonomi. Dan kami juga bukan orang yang tidak sama sekali
menyetujui argumentasi tersebut, tetapi pertanyaannya, apakah faktor
ekonomi hanya satu-satunya domain yang menjadi PR (pekerjaan rumah)
untuk pendidikan dalam masyarakat kita? Bagaimana dengan literasi
politik yang akan berhubungan dengan perkembangan demokrasi kita, yang
kadang bermasalah, dan tanpa sadar institusi pendidikan-lah yang paling
sering diminta pertanggung jawabanya, selain keluarga dan para politisi.
Dari semua lanskap perkembangan di atas apakah terma digitalisasi
adalah kemungkinan pendidikan kita? atau kita perlu meminjam keberanian
KHD untuk bilang bahwa; kita telah salah jalan! 6
“Memang, kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat
menginginkan untuk menemukan “titik-tolak”, agar kita berorientasi
kembali; kita telah salah jalan!” (Dewantara, 1977).
-000-

1
Pernyataan prof. Supriyono, ketua BAN PAUD-PNF, dalam diskusi online yang
diselenggarakan Komunitas Qaryah Thayyibah, sabtu 16 Mei 2020
Paguron, yang arti harfiahnya adalah tempat—dimana guru tinggal, yang juga memiliki
2

makna ‘berguru’.
3
Untuk memahami penjelasan corak pendidikan kontinental dan anglo-amerika lebih jauh bisa
lihat; Biesta, Disciplines and theory in the academic study of education a comparative analysis
of the Anglo-American and Continental construction of the field. 2011
Dikutip dari pernyataan Lody F Paat, dalam diskusi online seri pedagogik Sekolah Tanpa
4

Batas.
5
Tahun tahun 1950an hingga 1960an, banyak digelar konfrensi konferensi terkait nasionalisasi
perspektif keilmuan di Indonesia, salah satunya adalah ilmu sejarah, yang pada tahun 1957
menggelar kongres sejarah agar tidak berorientasi kepada gladak kapal Belanda.
6
Statmen ini dikeluarkan oleh KHD pada saat mendapat cibiran sinis dari pihak pemerintah
kolonial Belanda saat membicarakan Taman Siswa, khususnya tentang paguron, dengan nada
merendahkan; ‘ketinggalan zaman’.

Kenang Kelana
11 Pedagogik & Covid-19
12

Pedagogik Era Covid-19


13 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Dok. Lody Paat

LODY F PAAT
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 14
vs Belajar Otentik

BELAJAR DI RUMAH:
Memindahkan Kelas
vs Belajar Otentik
Lody F Paat

Tulisan ini pernah dipublikasi pada


diskusi online ‘Sekolah Tanpa Batas’

Dalam tulisan ini saya akan melihat


belajar-mengajar otentik yang berpijak
dari pandangan Vygotsky dengan ‘segitiga
didaktiknya’ dan Freire tentang relasi
guru murid.

Lody F Paat
15 Pedagogik & Covid-19

D alam diskusi ini, bagian pertama, saya akan membahas tentang masalah
belajar di rumah. Pada bagian kedua, saya akan membicarakan belajar
otentik atau tepatnya belajar-mengajar otentik dari sudut pandang segitiga
didaktiknya Lev Vygotsky dan relasi guru murid menurut Paulo Freire.

Masalah Belajar di Rumah


Belajar di rumah atau lebih tepatnya studi di rumah secara umum untuk
murid SD hingga mahasiswa(i) perguruan tinggi adalah membuat tugas
dari pengajar, seperti membuat PR, menulis makalah, menulis tanggapan.
Belajar atau studi di rumah yang umum ini tidak terlalu menimbulkan
masalah. Tetapi, pada saat ini dengan adanya virus Covid-19, belajar
di rumah menjadi masalah karena kegiatan belajar mengajar di kelas
dipindahkan atau difotokopi ke rumah melalui “dalam jaringan” dan “luar
jaringan”.
Belajar melalui “luar jaringan” menimbulkan persoalan karena murid
harus mengerjakan terlalu banyak tugas. Bayangkan, kalau murid harus
mengerjakan tugas tiga atau empat mata pelajaran setiap hari. Atau,
bayangkan beberapa pelajar di salah satu fakultas perguruan tinggi di
Jakarta mendapat tugas dari dosennya yang disampaikan pada jam 20:00
malam dan harus diserahkan pada pukul 01:00 pagi (hasil ngobrol dengan
pelajar perguruan tinggi yang diberi tugas dosen tersebut).
Sedangkan untuk “dalam jaringan”, para dosen yang menggunakan
aplikasi, misalnya WA, Zoom, Hangout, membuat pulsa dosen dan pelajar
tersedot dengan cepat. Ini berarti pelajar menghabiskan uang untuk beli
pulsa. Belum lagi, jaringan internet kita belum bagus.
Persoalan yang lebih serius muncul karena sekolah (saya tidak
mengatakan guru dan dosen) tidak mengenal program pendidikan melalui
online atau e-education. Persoalan ini timbul karena memindahkan kelas ke
rumah dengan online secara serampangan.
Belajar di rumah tidak masalah selama program sekolah dipindahkan
ke rumah, baik melalui online maupun offline apabila dilakukan melalui
pengorganisasian yang benar. Ingat, home schooling tidak menjadi masalah
karena program pendidikan atau belajar mengajar di rumah diorganisasikan
dengan tepat. Dan, ini terpenting, guru, murid, pelajar atau mahasiswi-
mahasiswa dan sekolah merupakan korban kebijakan belajar di rumah yang
dislogankan oleh pemerintah yaitu “belajar di rumah”.
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 16
vs Belajar Otentik

Masalah Belajar Otentik


Bagaimana dengan belajar otentik baik di online atau offline? Untuk
mendiskusikan tentang belajar otentik atau belajar yang asli, saya sebagai
guru tidak hanya melihatnya semata-mata sebagai proses belajar tapi juga
mengajar. 
Meminjam pandangan Gert Biesta, hubungan belajar dan mengajar
adalah hubungan antarkonsep bukan hubungan peristiwa yaitu mengajar
penyebab pembelajaran. Dengan menganggap hubungan mengajar belajar
adalah hubungan antar konsep, maka makna kata learning dimasukkan
dalam kata teaching, dan makna kata teaching dimasukkan dalam kata
learning. Ini alasan saya menggunakan istilah belajar-mengajar otentik.
Dalam diskusi ini saya akan melihat belajar-mengajar otentik bertolak
dari pandangan Vygotsky, Didaktik atau Segitiga Didaktik, dan Freire
tentang relasi guru murid.

Belajar Mengajar Vygostskian


Belajar-mengajar otentik dengan kerangka berpikir teori pendidikan
Vygotsky. Lev Vygotsky merupakan psikolog Rusia yang dikenal dengan
sebutan Mozart Psikologi yang lahir pada tahun 1896 dan meninggal pada
tahun 1934 (38 tahun). Meninggal karena TBC. Pak Tilaar mengatakan
Vygotsky sebagai psikolog Rusia yang terlupakan. Teori Vygotskian
disebut teori kultural-historik. Teori ini sebuah kerangka untuk memahami
belajar dan mengajar.
Vygotsky tidak memisahkan belajar dengan mengajar, apalagi
mengutamakan belajar. Vygotsky memandang belajar dalam konteks sosial,
interaksi sosial. Belajar terjadi dalam Zone of Proximal Development
(perilaku yang akan berkembang dalam waktu dekat). ZPD atau area antara
tugas yang dapat dikerjakan mandiri atau tingkat kesulitan tugas yang tidak
sulit (seseorang dapat mengerjakan suatu persoalan secara mandiri) dan
tingkat kesulitan tugas yang tinggi yang dapat dikerjakan dengan bantuan
seorang yang lebih tahu, ini bisa guru atau teman sebaya (mengerjakan
suatu persoalan dengan bantuan seseorang yang lebih tahu, atau teman
sejawat atau guru).
Bantuan ini disebut scaffolding atau perancah (steger), misalnya
petunjuk, contoh, pertanyaan. Dengan mengikuti Vygotsky, yang ada bukan
belajar otentik tapi belajar-mengajar otentik. Belajar secara otentik bersifat
sosial dan belajar melalui scaffolding.

Lody F Paat
17 Pedagogik & Covid-19

Segitiga Didaktik
Selain menggunakan Vygotsky, saya ingin melihat mengajar-belajar
otentik dari didaktik atau ilmu mengajar, tepatnya segitiga didaktik. Tiga
titik atau sudut segitiga terdiri dari titik guru, titik murid, titik pengetahuan
atau mata pelajaran.

Knowledge

rel
asi
k
kti

pe
ida

ng
d

eta
asi

hu
rel

an
Student Teacher
relasi pedagogis

Garis titik guru dan pengetahuan


Relasi pengetahuan guru dengan pengetahuan berurusan dengan
keahlian, kecintaan pada pengetahuan. Pada sisi ini, guru berurusan
memahami pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan guru harus sesuai
dengan keadaan murid baik secara sosial budaya dan perkembangan murid.
Pada relasi guru dan pengetahuan, guru perlu melakukan tranposisi didaktik:
mengubah pengetahuan ilmiah ke pengetahuan untuk diajarkan (buku teks,
konteks kelas atau murid, bukan konteks ilmuwan atau penelitian) dan ke
pengetahuan diajarkan (di kelas, memilih contoh, latihan).

Garis titik murid dan matapelajaran disebut relasi didaktik.


Ini inti dari didaktik atau ilmu pengajaran. Aktivitas atau kerja guru
adalah mengajar. Aktivitas atau kerja murid adalah “studying”. Relasi
didaktik ini adalah kerja murid atau “studying”, membaca, menulis,
menganalisis, mengevaluasi, mensintesis, membandingkan persamaan
dan perbedaan, berdiskusi, meringkas, meneliti. Belajar terjadi dalam
pikiran murid. Ini tidak nampak. Guru dapat mengatur yang nampak yaitu
“studying”. Dalam relasi didaktik ini, guru mengatur dan menuntun murid
“studying”.

Garis titik guru murid adalah relasi pedagogis


Interaksi guru murid yang setara, tidak menindas, murid sebagai
pemikir kritis bukan objek, berurusan dengan otonomi dan transformasi.
Dari sudut pandang segitiga didaktik, pengajaran atau mengajar belajar
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 18
vs Belajar Otentik

otentik harus ada relasi pedagogis. Jadi, keliru memisahkan pengajaran dan
pendidikan dengan mengatakan kami guru mendidik tidak hanya mengajar.
Pertarungan terjadi pada pendidikan berpusat kepada guru atau berpusat
kepada murid. Dari sudut Segitiga Didaktik, kita tepatnya menggunakan
teaching-studying-lerning process bukan mengajar belajar apalagi belajar
saja.

Produksi Pengetahuan
Tujuan belajar-mengajar otentik adalah produksi pengetahuan.
Mengikuti pedagogi otentik Fred M. Newmann salah satu kriteria pedagogi
otentik adalah produksi pengetahuan. Produksi pengetahuan dapat dilakukan
melalui seni. Ini artinya, misalnya murid dapat memproduksi pengetahuan
sejarah melalui lukisan atau film. Dengan kata lain, produksi pengetahuan
dapat dikerjakan melalui seni: lukis, fotografi, musik, tari, drama, film
pendek. Produksi pengetahuan ini adalah tujuan belajar-mengajar otentik.
Akan menjadi lebih menarik kalau produksi pengetahuan dikerjakan secara
kolaboratif, bersama baik dalam kelompok atau berpasangan.

Relasi Guru Murid Frerian


Karena relasi guru dan murid bagian terpenting dalam belajar-mengajar
otentik, saya ingin menggunakan pandangan Paulo Freire tentang relasi
guri dan murid.
Dari sudut pandang Freire, pendidikan selain dialogis juga direktif.
Direktif disini dalam pengertian, direktif dalam proses bukan direktif murid.
Direktif dalam proses adalah guru bersama murid melakukan tindakan
pendidikan atau belajar mengajar. Guru tidak melakukan sesuatu terhadap
murid tetapi melakukan sesuatu dengan atau bersama murid. Untuk itu,
pendekatan Freire disebut “directive liberating approach”.
Ingat, dalam relasi guru dan murid atau relasi pedagogis, meminjam
Freire, yang berbahaya atau setan bukan mengajar dengan ceramah tetapi
relasi guru murid yang mana murid hanya penerima pasif.
Isunya bukan menggunakan ceramah atau bukan non-ceramah. Isunya
adalah bagaimana konten dan dinamika ceramah. Kalau kontennya
berurusan dengan melawan ketidakadilan dan menggugah pemikiran
pendengar, ceramah tidak menjadi masalah. Pengertian relasi guru murid
dari kaca mata Freire bukan berarti peranan guru sama dengan murid.

Lody F Paat
19 Pedagogik & Covid-19

Penutup
Belajar di rumah tidak menjadi masalah selama murid, pelajar atau
mahasiswi(a) hanya mengerjakan tugas dan studi mandiri. Menjadi masalah
kalau kegiatan belajar mengajar di sekolah dipindahkan ke rumah tanpa
pengorganisasian yang tepat.
Menurut Vygotsky, istilah yang tepat adalah mengajar belajar bukan
belajar tok. Dari Segitiga Didaktik, mengajar belajar otentik mencakup
hubungan guru dan murid dan pengetahuan. Sedangkan dari Freire,
relasi guru dan murid dalam belajar-mengajar otentik adalah relasi yang
membebaskan dan direktif.
Dari perspektif ilmu keguruan: ilmu pendidikan dan keguruan, kita para
guru perlu memperhatikan pengajaran-studying-pembelajaran bukan hanya
pembelajaran atau belajar. Kegiatan pengajaran-studying-pembelajaran
bertujuan memproduksi pengetahuan.

-000-

Catatan:
Teaching-Studying-Lerarning = Pengajaran-Pemelajaran-Pembelajaran
Study: mempelajari, menelaah, menyelidiki
Studying: Penyelidikan, Penelaahan, Pemelajaran
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 20
vs Belajar Otentik

Lev Vygotsky
Pinterest.com/Saavedrakatherina
1896-1934

Lody F Paat
21 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Doc Pribadi

Iman Zanatul Haeri


Mengembalikan Realitas 22
Peserta Didik Kita

MENGEMBALIKAN REALITAS
PESERTA DIDIK KITA

Iman Zanatul Haeri


Jakarta, 1 Juni 2020

Siswa(i) kita hari ini sebenarnya native


dalam hal teknologi digital, Namun,
mereka tidak mandiri secara finansial
maupun jaringan. Aktivitas digital mereka
ditentukan kemampuan orangtuanya
membelikan hardware digital (tablet,
smartphone, notebook, tab, dan laptop)
dan membayar kuota/wifi sebagai akses
digital mereka.

Iman Zanatul Haeri


23 Pedagogik & Covid-19

P ara orangtua mulai mengeluhkan tugas dari guru selama belajar dirumah
pada saat pandemik Covid-19 seperti sekarang. Secara umum hal ini
diakibatkan ketidaksiapan sistem belajar di rumah antara orangtua dan
anak. Secara sistemik, ketidaksiapan orang tua disebabkan karena jam kerja
manusia modern (s/d delapan jam di tempat bekerja) tidak memungkinkan
orangtua dan anak untuk bersama sepanjang hari. 
Selain itu guru juga mengalami disrupsi. Pembelajaran dirumah hampir
sepanjang minggu dan bulan membuat guru harus membiasakan diri untuk
mengajar didepan layar kecil dan memberikan peserta didik tugas secara
sistemik melalui aplikasi yang mungkin saja baru mereka kenali. Akhirnya
ketidakmahiran berbicara didepan kamera, ketidaksiapan dimonitoring
sepanjang jam ajar, perubahan bentuk penjelasan materi didalam kelas
menuju penjelasan daring, serta laporan dari sekolah yang semakin
menumpuk karena disertai laporan digital, membuat guru merangkum
pembelajaran melalui tugas-tugas yang berat kepada peserta didik. Inilah
yang menyebabkan beban tugas yang ditanggung peserta didik dibagikan
secara tidak langsung kepada para orang tua sehingga sebagai penanggung
jawab dan fasilitator pembelajaran dirumah, orang tua mengambil beban
lebih banyak. 
Selain orangtua dan guru, peserta didik sebagai subjek aktif itu sendiri
juga mengalami disrupsi. Sebenarnya dalam proses aktualisasi teknologi
dan transformasi media pembelajaran kelas ke pembelajaran digital, peserta
didik tidak kesulitan secara signifikan. Alasan utamanya karena peserta
didik hari ini adalah digital native atau penduduk asli digital. Mereka
lahir dengan dan bersama teknologi digital. Bahkan mungkin foto mereka
sudah tersebar di media sosial orang tuanya sebelum mereka secara sadar
membuat akun media sosial sendiri. Disamping itu, teknologi yang dipakai
dalam pembelajaran digital tidak lebih canggih daripada perangkat digital
(seperti game online) yang mereka miliki. 
Oleh karena itu apabila terjadi ketidaksesuaian koordinasi antara
orangtua, sekolah dan guru, peserta didik akan mendapatkan pembelajaran
yang kurang sempurna. Seperti sinyal yang lemah, materi pembelajaran
tidak terdistribusi dengan baik, kurang fleksibelnya guru dalam memakai
aplikasi digital, dan lain sebagainya. 
Di dalam OECD (2019), orang-tua dan tentu saja keluarga, teman
sebaya, sekolah, guru dan masyarakat (serta beragam komunitas di
dalamnya) merupakan co-agen untuk mendukung pembelajaran peserta
didik. Mereka adalah agen pembentuk realitas peserta didik. Dengan
demikian peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dari orang tua,
Mengembalikan Realitas 24
Peserta Didik Kita

teman sebaya, sekolah dan guru, serta kelompok -kelompok komunitas di


masyarakat meliputi komunitas agama, hobi, permainan dan lainnya. 
Tentu saja hal ini juga harus diikuti oleh media dan sumber belajar yang
tidak menjauhkan peserta didik dari realitas sehari-hari mereka. Meskipun
apa yang disebut real atau nyata bagi peserta didik adalah jaringan sosial

media atau habitat digital mereka. Disinilah fungsi utama co-agen atau agen
pendidikan perlu mengarahkan peserta didik untuk kembali pada realitas
yang akan mengembangkan empati mereka. Sebagai contoh peserta didik
hari ini bisa dikategorikan sebagai ‘kaum rebahan’. Meskipun tidak jelas

Iman Zanatul Haeri


25 Pedagogik & Covid-19

pengertian ini, namun sebagai sebuah fenomena sosial ’kaum rebahan’


memiliki makna negatif sebagai aktivitas terlentang sepanjang hari di depan
gadget tanpa melakukan aktivitas-aktivitas fisik. Guru dan agen pendidikan
lainnya perlu -- dalam hal ini bersifat memaksa -- untuk mengembalikan
fungsi-fungsi fisik purba peserta didik.
Sebagai guru sejarah pada pertemuan pertama dan kedua saya menguji
kemampuan digital peserta didik dengan memberikan tugas membuat
poster dan eksplanasi sejarah dalam bentuk vlog yang di upload di Youtube.
Pada pertemuan selanjutnya saya memberikan tugas agar mereka membuat
replika fisik peninggalan peradaban dunia kuno (Sejarah Peminatan kelas
X) beserta tutorialnya. Syarat utamanya adalah memakai benda-benda
disekitar rumah. Hal ini memaksa mereka untuk berbuat kreatif dan tidak
perlu menyusahkan orangtuanya berkeliling mencari bahan-bahan yang
ditugaskan gurunya keluar rumah. Akhirnya mereka mengerjakan tugas
tersebut. Seperti membuat mummi memakai boneka barbie, membuat
Piramida mesir dari kardus bekas, membuat pilar Yunani dari bungkus pasta
gigi, dan lain sebagainya. Pemberian tugas yang mendekatkan rasa empati
peserta didik terhadap benda-benda disekitarnya sangat bermanfaat bagi
kesehatan mental mereka disaat terlalu lama lockdown dirumah selama
pandemik ini. 
Walhasil guru berhasil membangun empati peserta didik dengan ‘benda-
benda’ disekitarnya. Sebab kemampuan sejarah yang harus diasah adalah
kepekaan peserta didik terhadap nilai historis suatu benda disekitarnya.
Tugas semacam ini tidak sempurna. Namun cukup efektif agar membuat
peserta didik tidak kehilangan realitas mereka. Sehingga pendidikan dan
pengajaran, dan tentu saja guru, tidak menambah keterasingan peserta
didik terhadap materi pembelajaran. Dengan demikian peserta didik akan
kembali pada realitasnya. Kita-lah yang mendekatkannya, bukan malah
menjauhkannya.

-000-
Mengembalikan Realitas 26
Peserta Didik Kita

Iman Zanatul Haeri


27 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Doc Pribadi

Luqman Hakim
Pembelajaran dan covid 19:: 28
Momentum Untuk Perubahan

Pembelajaran dan Covid-19:


Momentum untuk Perubahan

Luqman Hakim
Jakarta, 16 juni 2020

Pendidikan Jarak Jauh, yang


diberlakukan oleh sekolah di Indonesia
menampakkan kegagalan. Diantaranya,
kegagalan menghadirkan infrastruktur
yang memadai secara merata dan
kegagalan menghadirkan konsepsi
untuk dapat mengintegrasikan
teknologi dengan tepat.

Luqman Hakim
29 Pedagogik & Covid-19

S ejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Edaran


Nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam
Masa Darurat Penyebaran Virus Corona, segala kegiatan pembelajaran
di institusi pendidikan berubah menjadi pembelajaran jarak jauh atau
pembelajaran daring (online). Namun, penyesuaian dan perubahan dunia
pendidikan di masa pandemi Covid-19 di Indonesia hingga kini masih
nampak sporadis. Hingga hampir tiga bulan diterapkan, kritik terhadap
kementerian pendidikan dalam menerapkan berbagai kebijakan yang
mendukung perubahan tersebut pun terus mengalir. Masalah-masalah yang
ditimbulkan juga nampak belum dapat diatasi secara tepat oleh seluruh
stakeholder pendidikan.
Dalam kegiatan pembelajaran misalnya, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada 12 Mei 2020 merilis survei bahwa belajar di rumah
membuat anak stres dan lelah. Survei yang dilakukan di 20 provinsi dan
54 kabupaten/kota di Indonesia ini menemukan fakta bahwa 79,9 proses
pembelajaran jarak jauh dilaksanakan hanya dengan pemberian tugas
oleh guru tanpa adanya interaksi belajar. Inilah yang disebut oleh Retno
Listiarti, salah satu komisioner KPAI, sebagai faktor pemicu anak stres dan
kelelahan selama mengikuti pembelajaran di masa pandemi.1 Selain itu,
KPAI juga menerima sekitar 200-an pengaduan dari orang tua dan siswa(i)
selama kegiatan pembelajaran jarak jauh diterapkan. Alasan pengaduan
yang diungkapkan pun hampir serupa dengan hasil survey yang dirilis oleh
KPAI. Masalah ini tentu berakar dari ketidaksiapan institusi pendidikan
dan tenaga pendidik dalam menghadapi perubahan pembelajaran di masa
pandemi ini.
Masalah lain juga datang dari kesiapan pemerintah, terutama kesiapan
infrastruktur pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berbasis daring ini.
Belum meratanya infrastruktur penunjang seperti keberadaan aliran listrik
dan jaringan internet di beberapa daerah menjadi kendala utama. Pun dengan
peralatan dan perlengkapan penunjang seperti komputer dan gawai yang
tidak semua institusi pendidikan, tenaga pendidik, maupun siswa(i) dapat
miliki untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Tak pelak dua masalah ini
semakin melebarkan jurang ketimpangan akses pendidikan antara siswa(i)
yang berlatar belakang ekonomi rendah dengan yang berlatar ekonomi
cukup dan tinggi. Kesenjangan antara siswa(i) yang berada di perkotaan
dengan yang berada di pedesaan atau daerah-daerah tertinggal.
Riset dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menunjukkan
adanya ketimpangan akses pembelajaran yang semakin dalam antara anak-
anak dari keluarga ekonomi mampu dan kurang mampu. INOVASI juga
Pembelajaran dan covid 19:: 30
Momentum Untuk Perubahan

menemukan bahwa hanya sekitar 28% responden yang menyatakan anak


mereka belajar dengan menggunakan media daring.2 Beragam permasalahan
ini sayangnya ditanggapi dengan komentar yang kurang menyenangkan dari
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika ia
mengungkapkan hambatan pembelajaran online pada saat Hari Pendidikan
Nasional, 2 Mei silam, Nadiem terkejut bahwa masih ada daerah di
Indonesia yang belum memiliki aliran listrik dan sinyal televisi. Sejujurnya
saya, dan juga banyak orang yang mendengarnya terkejut seorang Menteri
tidak mengetahui keragaman kondisi dari berbagai wilayah Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya hendak mendudukkan permasalahan yang
dialami selama kegiatan pembelajaran di masa pandemi ini dengan
menelusuri kembali apa yang dapat dilakukan oleh tenaga pendidik dan
pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, khususnya
pembelajaran berbasis daring. Pembelajaran daring sejatinya bukan sesuatu
yang baru terumuskan di masa pandemi, melainkan merupakan realita yang
sudah berjalan sejak kemajuan teknologi informasi merambah ke segala
sendi kehidupan.

Tantangan Pendidik dan Institusi Pendidikan dalam Pembelajaran Daring


Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, pemerintah dan berbagai institusi
pendidikan nampak optimis dalam mengintegrasikan perkembangan
teknologi informasi ke dalam dunia pendidikan. Perubahan kurikulum
2013 yang menekankan pada siswa(i) sebagai pusat kegiatan pembelajaran,
serta kampanye tentang Pendidikan di era Revolusi Industri 4.0, merupakan
dua langkah awal yang langsung diuji di masa pandemi ini. Namun
implementasi di lapangan ternyata jauh dari optimisme tersebut. Apa yang
terjadi justru kegagapan tenaga pendidik dan institusi pendidikan dalam
mengelola kegiatan pembelajaran.
Berbagai pengaduan dari siswa(i) maupun orang tua berkaitan dengan
kegiatan belajar daring mengungkapkan keresahan tentang monotonnya
kegiatan belajar selama pandemi yang hanya berisi dengan tugas harian
yang diberikan oleh guru. Beberapa pun mengeluh tugas yang diberikan
terlalu sukar dan rumit diselesaikan dalam batas waktu yang terlampau
sempit. Dalam hal ini, sangat terlihat banyak guru yang gagap dalam
merancang kegiatan pembelajaran daring. Saya pribadi sebetulnya sering
juga curiga, apakah guru memiliki cukup waktu untuk mengoreksi semua
tugas harian yang diberikan?

Luqman Hakim
31 Pedagogik & Covid-19

Saya pikir penugasan pada saat pembelajaran daring ini tidak banyak
mempertimbangkan kegiatan belajar yang ideal, terutama dalam kondisi
pandemi. Mari kita ambil sebuah contoh tugas yang diberikan oleh guru dan
menganalisanya dari sudut pandang teori pembelajaran. Salah satu aduan
siswa(i) terkait penugasan oleh guru adalah tugas membuat video tentang
Covid-19. Membuat video nampaknya menjadi tren penugasan yang
diberikan oleh guru. Asumsi dasar dari kebanyakan guru memberikan tugas
membuat video adalah karena siswa(i) generasi sekarang dianggap bagian
dari generasi Z yang hidupnya sangat dekat dengan teknologi audio-visual.
Asumsi ini tidak keliru, sebab kita bisa melihat sendiri bagaimana siswa(i)
kita membuat video untuk diunggah sebagai konten di media sosial seperti
Youtube, Instagram, maupun Tik-Tok. Namun, kegiatan pembelajaran
yang dirancang hanya berdasarkan asumsi, sama sekali tidak tepat dengan
implementasi kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan saintifik.
Dalam teori kognitif-nya Bloom/Anderson, kegiatan pembelajaran
dirancang dalam beberapa tahapan. Benjamin Bloom adalah yang
pertama membuat rancangan tahapan pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan kognitif peserta didik. Tahapan tersebut biasa disebut
sebagai taksonomi Bloom. Taksonomi yang dibuat oleh Bloom, lantas
direvisi oleh Anderson (2001).
Taksonomi Bloom ranah kognitif merupakan salah satu kerangka
dasar untuk pengkategorian tujuan-tujuan pendidikan, penyusunan tes, dan
kurikulum di seluruh dunia. Kerangka pikir karya Benjamin Bloom berisikan
enam kategori pokok dengan urutan mulai dari jenjang yang rendah sampai
dengan jenjang yang paling tinggi, yakni: (1) pengetahuan (knowledge);
(2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) analisis
(analysis); (5) sintesis (synthesis); dan (6) evaluasi (evaluation). Satu hal
yang penting dalam taksonomi tujuan instruksional ialah adanya hierarki
yang dimulai dari tujuan instruksional pada jenjang terendah sampai
jenjang tertinggi. Dengan kata lain, tujuan pada jenjang yang lebih tinggi
tidak dapat dicapai sebelum tercapai tujuan pada jenjang di bawahnya.3
Dalam revisi Anderson, jenjang kategori pengetahuan Bloom mengalami
sedikit perubahan, yaitu: mengingat (remember), memahami/mengerti
(understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi
(evaluate), dan menciptakan (create).
Jika mengacu pada Taksonomi Bloom atau juga yang telah direvisi
oleh Anderson, dalam tugas membuat video artinya siswa(i) dituntut untuk
mencapai level kognitif terakhir, yaitu mencipta (create). Dalam hal ini
sebelum siswa(i) dapat membuat video, siswa(i) terlebih dahulu harus
Pembelajaran dan covid 19:: 32
Momentum Untuk Perubahan

menguasai level kognitif sebelumnya, dan telah dievaluasi oleh guru bahwa
mereka mengetahui apa itu video dan juga apa itu virus Covid-19. Lalu
setelah itu, siswa(i) naik ke jenjang pemahaman atau pengertian mengenai
video sebagai media, karakteristik, fungsi dan cara membuat video. Selain
itu, siswa(i) juga telah dapat mengerti tentang virus Covid-19. Dan alur
yang berjenjang ini harus dilalui siswa(i) agar dapat mencapai level kognitif
terakhir, yaitu menciptakan video tentang virus covid-19.
Tugas seperti ini tentu saja tidak mudah bagi siswa(i). Ia pertama-
tama harus mencari dua pengetahuan dasar, mengenai video dan mengenai
Covid-19, lalu menganalisis keduanya agar dapat menjadi satu hasil produk/
konten yang baik. Dalam hal ini, guru harus dapat merancang kegiatan
belajar agar semua siswa(i) dapat melalui jenjang kognitif. Namun, dugaan
saya, hal tersebut acapkali diabaikan. Tugas semacam ini sejatinya akan
lebih cocok jika guru mengambil model pembelajaran Project Based
Learning, dimana siswa(i) diajak berkolaborasi dan mengkombinasikan
pengetahuannya untuk dapat membuat suatu produk hasil pembelajaran
dalam durasi waktu tertentu. Dalam menuntun siswa(i) melewati setiap
jenjang pengetahuan kognitif, guru tidak dapat mendasarkannya hanya
sekedar asumsi bahwa siswa(i) sudah bisa atau sudah tahu. Sebagai
fasilitator, guru perlu menuntun dengan memberikan sumber-sumber
informasi yang tepat, contoh-contoh hasil/produk pembelajaran serupa,
dan memberikan umpan balik pada siswa(i). Sebagai sebuah inisiatif, tugas
seperti ini memang sangat tepat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran
abad 21, tetapi seringkali dalam implementasi, masih banyak hal yang perlu
ditingkatkan.
Selain itu, anjuran pemerintah agar kegiatan pembelajaran selama
pandemi ini tidak terbebani tuntutan untuk menyelesaikan kurikulum pun
nampaknya tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh sekolah. Masih banyak
sekolah yang memberikan jadwal pembelajaran daring selama pandemi
sama dengan jadwal pembelajaran sekolah normal. Begitupun beragam
kegiatan penilaian akhir yang ditujukkan sebagai evaluasi pembelajaran
yang dibebani dengan kriteria ketuntasan minimal. Pada akhirnya,
implementasi kegiatan pembelajaran selama pandemi justru menjadi
masalah baru, ketimbang sebuah kesempatan bagi tenaga pendidik dan
institusi pendidikan mengadaptasikan diri dengan gagasan pendidikan
daring sebagai realita pendidikan di abad 21.

Luqman Hakim
33 Pedagogik & Covid-19
Pembelajaran dan covid 19:: 34
Momentum Untuk Perubahan

Peran Pemerintah: Pemerataan Kesenjangan Digital dan Peningkatan


Kualitas LPTK
Dalam menghadapi masalah pendidikan di masa pandemi, pemerataan
infrasturuktur yang dapat menunjang kegiatan pembelajaran nyatanya
bukan satu-satunya masalah yang perlu dientaskan. Sebuah tulisan di
remotivi.or.id menungkapkan bagaimana transformasi digital di Indonesia
menyimpan beberapa level pekerjaan rumah yang besar, terutama dalam
hal kesenjangan. Tulisan tersebut memaparkan bahwa kesenjangan akses
yang berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan peralatan penunjang
berada pada level pertama yang perlu dientaskan.
Pada level kedua, ada masalah kesenjangan keterampilan yang berhubungan
dengan penguasaan terhadap media digital (perangkat) serta penguasaan
terhadap konten (mengolah informasi, komunikasi, strategi, serta membuat
konten). Di level ketiga ada kesenjangan hasil yang ternyata berkaitan
dengan status sosial-ekonomi pengguna teknologi digital. Dalam riset
yang dilakukan oleh van Deursen & Helsper (2015) di Belanda, yang saya
kutip dari tulisan remotivi, orang yang berpendidikan tinggi memiliki
peluang lebih besar untuk diuntungkan dari perdagangan daring ketimbang
kelompok masyarakat dengan pendidikan yang lebih rendah. Begitu pun
dalam aspek lain, dari pendidikan, relasi sosial, hingga politik: penggunaan
internet cenderung lebih menguntungkan orang berpenghasilan tinggi,
kepala keluarga, orang tanpa disabilitas, serta kelompok usia muda.4
Sangat jelas dunia pendidikan sangat berperan penting dalam mengatasi
kesenjangan dalam dunia digital, terutama pada level kedua dan ketiga.
Namun, dalam hal ini kebijakan pemerintah nampaknya sangat terfokus
pada level pertama dimana dunia pendidikan tidak berperan besar. Dalam
riset Chyntia Luna Scott yand diterbitkan UNESCO, peran pemerintah
tidak dapat berhenti hanya sebagai pembuat kebijakan dan pengawas,
melainkan juga perlu mendorong berbagai bentuk pelatihan serta dukungan
yang besar bagi peningkatan kualitas guru menghadapi perubahan-
perubahan di dunia pendidikan.5 Pelatihan dan dukungan tersebut bukan
hanya dari segi kemampuan guru dalam menggunakan teknologi digital dan
informasi, melainkan juga pada praktik kegiatan belajar, penerapan model
pembelajaran, serta bentuk pelatihan lain yang meningkatkan kompetensi
guru dalam merancang kegiatan belajar yang saintifik dan kolaboratif.
Hal yang terutama perlu didorong untuk berubah besar-besaran tentu
saja adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kesiapan
LPTK dalam mencetak tenaga kependidikan yang cakap dan sesuai dengan
kebutuhan guru abad 21 memang masih sering dipertanyakan. Dikutip dari

Luqman Hakim
35 Pedagogik & Covid-19

pikiran-rakyat.com dari 800-an LPTK yang ada di Indonesia, secara umum


belum siap menghasilkan guru profesional yang sesuai dengan kebutuhan
Revolusi Industri 4.0. Hal ini diungkapkan oleh pakar pendidikan, Syawal
Gultom, pada seminar internasional Professional Teacher Development
in Digital Era for Making Indonesia 4.0, di Bandung pada 2019. Lebih
lanjut, Syawal juga menyampaikan  guru yang tidak pernah diajar dengan
pembelajaran campuran (blended learning) dan pembelajaran aktif (active
learning) akan sulit menerapkan metode itu. Blended learning merupakan
pembelajaran yang menggabungkan antara pertemuan tatap muka
dengan pembelajaran online. Metode ini menggabungkan berbagai cara
penyampaian, gaya pembelajaran, dan menggunakan berbagai media dalam
interaksi dengan peserta didiknya.6 Sedangkan active learning merupakan
pembelajaran yang menekankan pada keaktifan peserta didik, dengan guru
sebagai pendamping atau fasilitator.
Perubahan terbesar dari LPTK terutama perihal kurikulum. Kurikulum
pendidikan guru perlu dibuat bukan hanya sekadar penekanan pada
kemampuan guru untuk dapat menggunakan atau menintegrasikan teknologi
ke dalam kegiatan belajar. Melainkan juga perlu menekankan pada peran
guru yang perlu berubah serta pemahaman mengenai esensi pendidikan dan
tujuan pembelajaran yang sesuai dengan dunia abad 21. Pendidikan guru
abad kedua puluh satu harus lebih menekankan pada kemampuan merancang
kegiatan belajar, membangun tim, serta memfasilitasi pembelajaran dengan
cara-cara baru untuk mendorong kreativitas dan inovasi.7 Dalam hal
ini, pemahaman yang luas mengenai konsep pedagogi abad ke-21 perlu
diterjemahkan oleh pemerintah dalam rangka kebijakan yang meluas dan
menyeluruh ke institusi pendidikan.

Pembelajaran Daring dan Pedagogi Abad ke-21


Pandemi bukan satu-satunya alasan bagi dunia pendidikan untuk
melakukan perubahan besar-besaran. Seiring dengan perkembangan
yang masif dari teknologi dan informasi yang kini mencapai tahap
4.0, sumber daya manusia dirasa perlu untuk meningkatkan kapasitas
dan kualitas keterampilan yang dimiliki. Hal tersebut tentu saja untuk
menghindari ancaman yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi,
yaitu otomatisasi—perubahan tenaga kerja manusia menjadi tenaga mesin.
Institusi pendidikan tak pelak menjadi tempat yang dituntut meningkatkan
kemampuan manusia yang dapat menyesuaikan perkembangan tersebut.
Berbagai ahli pendidikan pun telah banyak urun pendapat mengenai
keterampilan apa saja yang hari ini perlu dikembangkan. Assesment
Pembelajaran dan covid 19:: 36
Momentum Untuk Perubahan

and Teaching for 21st Century Skills (ATCS) menyimpulkan empat hal
pokok berkaitan dengan keterampilan dasar abad ke 21 yaitu cara berpikir,
cara bekerja, alat kerja dan kecakapan hidup. Cara berpikir mencakup
kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan
dan belajar. Cara kerja mencakup komunikasi dan kolaborasi. Alat untuk
bekerja mencakup teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan literasi
informasi. Kecakapan hidup mencakup kewarganegaraan, kehidupan dan
karir, dan tanggung jawab pribadi dan sosial.
Secara umum keterampilan abad 21 sering meliputi keterampilan
berpikir kritis, pemecahan masalah (kreatif), komunikasi dan kolaborasi.
Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan untuk melakukan
berbagai analisis, penilaian, evaluasi, rekonstruksi, pengambilan keputusan
yang mengarah pada tindakan yang rasional dan logis. Lalu selanjutnya
kreatifitas merupakan keterampilan untuk menemukan hal baru yang belum
ada sebelumnya, bersifat orisinil, mengembangkan berbagai solusi baru
untuk setiap masalah, dan melibatkan kemampuan untuk menghasilkan
ide-ide yang baru, bervariasi, dan unik. Keterampilan berkomunikasi
merupakan keterampilan untuk mengungkapkan pemikiran, gagasan,
pengetahuan, ataupun informasi baru, baik secara tertulis maupun lisan.
Dan terakhir, keterampilan kolaborasi merupakan keterampilan bekerja
bersama secara efektif dan menunjukkan rasa hormat kepada anggota tim
yang beragam, melatih kelancaran dan kemauan dalam membuat keputusan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama.
Keempat kemampuan dasar ini bukan sekadar dikembangkan dalam
kegiatan pembelajaran yang konvensional, melainkan perlu mengikuti
perkembangan teknologi dan informasi digital. Secara generasi, siswa(i)
sekolah di masa ini dianggap merupakan digital native atau generasi yang
sejak lahir sudah berada dalam perkembangan teknologi dan informasi
digital. Sehingga realitas yang mereka hadapi maupun alat/media belajar
mereka sebenarnya sangat erat dengan hal tersebut. Kemampuan untuk
mengintegrasikan teknologi dan informasi digital tak pelak menjadi
mutlak bagi pendidik dan institusi pendidikan, terutama dalam kerangka
mengembangkan keterampilan dasar siswa(i) di abad ke 21.
Pada dasarnya, integrasi teknologi ke dalam kegiatan pembelajaran
bukan bertujuan menggantikan peran guru, melainkan sebagai alat yang
menawarkan berbagai bentuk kegiatan belajar alternatif.8 Dalam hal ini,
guru dapat menjadi fasilitator yang membantu siswa(i) mengeksplorasi
berbagai informasi yang beredar di jagat maya, dapat memonitor
perkembangan siswa(i) secara digital dengan memanfaatkan platform

Luqman Hakim
37 Pedagogik & Covid-19

pembelajaran yang tersedia, serta menunjukkan sumber-sumber belajar


yang selama ini tidak dapat diakses karena kegiatan belajar hanya terjadi
di kelas. Dalam lingkungan belajar abad ke-21, para guru perlu mengubah
peran mereka dari yang menjadi sumber informasi menjadi kurator
informasi. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan menemukan informasi
dan sumber daya untuk kegiatan pembelajaran adalah keterampilan penting
dan guru dapat mendukung peserta didik dalam mengidentifikasi sumber
daya yang diperlukan.9
Perubahan dari guru sebagai pusat pembelajaran menjadi siswa(i)
sebagai pusat pembelajaran bukanlah sebuah pelimpahan beban dari guru
untuk mengumpulkan bahan ajar kepada siswa(i). Keduanya perlu bekerja
sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pun bukan
sekedar kompetensi yang tercantum dalam kurikulum maupun silabus,
tetapi sesuatu yang lebih konkret berkaitan dengan konteks kehidupan
sehari-hari yang ditemui oleh siswa(i). Hal ini penting demi melatih daya
kritis, melatih mereka untuk dapat berpikir memecahkan masalah, dan
membiasakan mereka peka terhadap kehidupan sekitar. Kegiatan belajar
yang selama ini hanya menumpuk beban dan tugas yang harus diselesaikan
dan berpatokan pada kompetensi yang harus dilalui oleh siswa(i) perlu
ditinggalkan.

Kesimpulan
Pada dasarnya, masa pandemi ini merupakan momentum bagi seluruh
stakeholder pendidikan melakukan evaluasi dan perubahan besar-besaran
terhadap dunia pendidikan. Nada optimis mengenai kesiapan dunia
pendidikan untuk mengintegrasikan diri dengan transformasi digital
telah terbantahkan, dan perlu sebuah inisiatif yang lebih mendasar dan
radikal. Untuk mencapai hal tersebut yang kini perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan adalah bagaimana perencanaan, rumusan kebijakan serta
implementasinya. Peningkatan kualitas guru dan perubahan besar terhadap
manajemen lembaga pendidikan mutlak diperlukan agar sesuai dengan
ekosistem pendidikan yang baru.
Berbagai pekerjaan rumah, terutama kesenjangan dunia pendidikan yang
harus dientaskan pemerintah pun nampaknya bertambah, bukan sekadar
akses dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan.
Kementerian pendidikan juga sedang dituntut untuk meyiapkan kurikulum
darurat sebagai panduan dasar bagi seluruh guru dan sekolah di berbagai
tingkatan. Setidaknya meski penyesuaian perubahan ini tidak dapat
dilakukan secara cepat, pemerintah perlu menyiapkan perubahan dalam
Pembelajaran dan covid 19:: 38
Momentum Untuk Perubahan

jangka pendek, seperti penyediaan fasilitas pelatihan guru dan bantuan


akses terhadap platform pendidikan digital ke berbagai sekolah. Untuk
mengatasi kesenjangan di daerah yang belum dapat mengintegrasikan
teknologi, pemerintah pusat perlu bahu-membahu dengan pemerintah
daerah dalam merumuskan rancangan atau panduan kegiatan belajar yang
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat di tingkat lokal.
Dengan akan dimulainya tahun ajaran baru pada 13 Juli mendatang,
dunia pendidikan ditantang untuk segera berbenah. Pengalaman 3 bulan lalu
telah meninggalkan pembelajaran yang penting bagi pemerintah, tenaga
pendidik dan institusi pendidikan. Satu hal yang perlu ditekankan, bahwa
perubahan dunia pendidikan di masa ataupun pasca pandemi tidak sekedar
pada integrasi teknologi dan transformasi digital, tetapi pada perubahan
kegiatan serta tujuan pembelajaran yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik sebagai generasi masa depan.

-000-

Catatan Kaki
1
https://www.liputan6.com/health/read/4251622/survei-kpai-belajar-di-rumah-selama-covid-
19-bikin-anak-stres-dan-lelah
2
Riset tersebut dilakukan untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah”.
INOVASI mensurvei sekitar 300 orang tua siswa(i) sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota
di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara
(Kaltara), dan Jawa Timur. Selengkapnya https://theconversation.com/riset-dampak-covid-
19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534
3
Imam Gunawan, Anggraini Retno Palupi, “Taksonomi Bloom—Revisi Ranah Kognitif:
Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran dan Penilaian”, http://e-journal.unipma.
ac.id/index.php/PE/article/view/50 diunduh pada 10 Juni 2020 Pukul 21.31 WIB
4
https://www.remotivi.or.id/amatan/600/indonesia-40-nafsu-banyak-tenaga-kurang
5
Chyntia Luna Scott, “The Future of Learning 3: What Kind of Pedagogies for The 21st
Century”, Working Paper, UNESCO, 15 Desember 2015. https://unesdoc.unesco.org/
ark:/48223/pf0000243126
6
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01315684/lptk-belum-cetak-guru-yang-
dibutuhkan-era-revolusi-industri-40
7
Luna, op.cit.
8
Ibid.
9
Ibid.

Luqman Hakim
39 Pedagogik & Covid-19

Ben Williamson
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 40
‘EdTech’

PANDEMI BARU:
Jejaring Kekuasaan
‘EdTech’
Ben Williamson

Tulisan ini diterjemahkan dari


buletin TECHLASH – issue #01
June 2020

Artikel ini membahas peta aktor yang


telah muncul sebagai organisasi yang
berpengaruh dalam pendidikan selama
pandemik ini. Dengan fokus pada
persimpangan teknologi pendidikan dan
kebijakan pendidikan.

Ben Williamson
41 Pedagogik & Covid-19

Pengantar

D itutupnya sekolah dan universitas, ditambah berubahnya pola


belajar-mengajar menjadi online secara cepat di seluruh dunia,
telah menempatkan vendor dan promotor teknologi pada posisi sebagai
penyedia layanan pendidikan di masa darurat garis depan selama wabah
virus korona saat ini. Pada tahap awal krisis, masing-masing lembaga
berusaha menawarkan solusi baru dan berpotensi mendapatkan keuntungan
dari pasar baru yang dirangsang oleh penutupan sekolah. Namun, dengan
sangat cepat pula sebuah koalisi, kolaborasi, dan aliansi baru dengan tujuan
kolektif yang lebih substansial dari pada vendor dan promotor teknologi
itu, telah terbentuk untuk ‘menyelesaikan’ gangguan pendidikan global ini.
Jaringan yang kuat, yang terdiri dari perusahaan teknologi besar seperti
Google, Microsoft dan Facebook, organisasi internasional termasuk OECD
dan UNESCO, serta industri pendidikan global komersil/bisnis, konsultan,
investor dan penyedia teknologi, bekerja sama untuk menentukan bagaimana
sistem pendidikan harus merespon krisis. Tetapi tujuan mereka tidak hanya
fokus pada jangka pendek. Jaringan ini sedang mengembangkan agenda
kebijakan jangka panjang yang baru tentang bagaimana sistem pendidikan
global harus diorganisir jauh setelah masa darurat berakhir.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk memetakan aktor yang telah
muncul sebagai organisasi yang berpengaruh dalam pendidikan selama
pandemik ini. Fokusnya pada persimpangan teknologi pendidikan dan
kebijakan pendidikan. Dengan memetakan dan mendokumentasikan
beberapa kegiatan mereka, kita dapat mulai memahami bagaimana jaringan
organisasi yang muncul telah berusaha untuk memecahkan persoalan
global pendidikan, dan membuka jalan bagi transformasi jangka panjang ke
sistem, kelembagaan, dan praktik pendidikan. Pekerjaan analitis yang lebih
berkelanjutan masih harus dilakukan – ini hanya sekedar sketsa deskriptif,
draf pertama dari perkembangan kebijakan darurat saat ini yang masih
bergerak.

Mobilitas Kebijakan Pandemik


Sekarang jelas bahwa kebijakan pendidikan yang dominan secara
global adalah bagaimana memberikan pendidikan tanpa harus datang ke
sekolah.Teknologi digital dan pembelajaran jarak jauh melalui jejaring
online telah dianggap sebagai solusi yang penting di masa pandemi ini.
Meskipun ada banyak perdebatan tentang perbedaan antara pembelajaran
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 42
‘EdTech’

online yang dirancang dengan baik dengan pembelajaran jarak jauh di masa
pandemi ini. Konsensus tentang pembelajaran jarak jauh yang dimediasi
secara digital telah menjadi contoh luar biasa dan dominan dari mobilitas
kebijakan di era ini.
Menurut para peneliti kebijakan, kebijakan pendidikan sekarang tidak
lagi semata-mata berasal dari otoritas keilmuan, tetapi banyak proses
kebijakan kontemporer sekarang melibatkan organisasi non-pemerintah,
pebisnis, serta pakar lainnya dengan jauh lebih kuat dan dominan dalam
arah, gagasan dan perumusan kebijakan, hingga diberlakukannya kebijakan.
Suatu kebijakan tunggal mungkin merupakan hasil dari berbagai kepentingan
dan kepedulian yang secara perlahan diterjemahkan dan disejajarkan atas
nama tujuan bersama. Kebijakan juga melintasi perbatasannya; dipinjam,
dibagikan, diadaptasi, dan dikontekstualisasikan ulang, serta dirancang dan
dibuat ulang melalui keterlibatan berbagai pelaku dari berbagai sektor.
Kondisi mobilitas kebijakan, seperti tertera di atas, telah terbukti ideal
memasifkan ide serta praktek teknologi dan media pendidikan. EdTech
semakin hadir dalam kebijakan pendidikan formal sebagai hasil dari upaya
signifikan jaringan advokasi, think-tank, konsultan, koalisi kampanye,
dan tentunya lobi bisnis. Wacana dan agenda kebijakan seputar pendidikan
digital, ‘pembelajaran yang dipersonalisasi’ dan ‘AI dalam pendidikan’
telah menyebar dengan cepat di seluruh dunia, dibingkai oleh berbagai
jaringan. Hubungan jaringan kekuasaan EdTech ini secara aktif melakukan
intervensi ke dalam sistem pendidikan dengan menyarankan harapan-
harapan dan bentuk baru dari kemungkinan pendidikan dan masa depannya.
EdTech telah lama dijadikan momok ‘pengganggu’ yang kuat dalam
dunia pendidikan. Selama krisis virus korona yang sedang berlangsung
ini, para jejaring kekuasaan pandemi baru ini telah mulai bersatu di sekitar
klaim ‘EdTech tidak hanya mengganggu, tetapi pada kenyataannya bersifat
‘palliative’--solusi yang tidak menyelesaikan problem sebenarnya. Salah
satu contoh adalah jaringan kolaboratif EdTech yang difasilitasi oleh
perusahaan bisnis Inggris bernama Emerge Education. Dianggap sebagai
‘kolaborasi industri EdTech untuk membantu sekolah dan perguruan tinggi
menangani COVID-19 dan kebutuhan untuk pembelajaran di rumah,’
Pertemuan online ini menunjukkan perpaduan lintas sektor yang beragam
dari bisnis teknologi berbasis di AS (Adobe, Amazon Web Services, Google,
Microsoft), bersama edu-bisnis yang berbasis di Inggris dan pendukungnya.
Tujuan utamanya adalah untuk membantu para pemimpin sekolah dan guru
belajar bagaimana ‘sumber daya EdTech yang dikuratori (baik online dan
offline) untuk mengatur belajar dari rumah yang efektif.’

Ben Williamson
43 Pedagogik & Covid-19

Klaim yang dibuat oleh jaringan tersebut, tentang solusi pendidikan


melalui teknologi digital dan pengajaran online untuk sistem pendidikan
konvensional, ternyata tidak hanya terbatas pada periode pandemik saja.
Melainkan, banyak dari organisasi-organisasi ini mengambil kesempatan
untuk memproyeksikan tujuan jangka panjang mereka agar bisa
beradaptasi dan ikut dalam perubahan pendidikan berskala besar. Kemudian
membentuk jaringan kekuatan baru di era pandemi ini untuk mencapai
tujuan transformatif mereka.

Membuat Koalisi Virus Korona


Organisasi Pendidikan Dunia, UNESCO, telah mengambil posisi
sebagai otoritas global di masa pandemi ini. Sekitar 1,5 miliar siswa(i) yang
terkena dampak penutupan sekolah dan universitas di 165 negara (87%
dari populasi siswa(i) global), UNESCO telah memantau setiap negara
atas respons mereka terkait krisis ini dan memantau mereka untuk urusan
perumusan respons internasional terhadap krisis pendidikan. Pada tanggal
24 Maret, ia merilis ‘potret kebijakan’ sebagai bagian dari proyek Global
Education Monitoring, melaporkan bahwa ‘semua negara memperkenalkan
atau meningkatkan peforma pembelajaran jarak jauh dengan mengunakan
teknologi digital.’ Sebagian besar negara, dilaporkan, menggunakan
internet dan platform online untuk menyampaikan pelajaran langsung atau
Massive Open Online Course (MOOC) untuk pembelajaran berkelanjutan,
mendorong guru dan administrator sekolah untuk menggunakan aplikasi
yang ada agar bisa mendukung komunikasi dengan siswa(i) dan orang
tua, atau menggunakan TV dan media lain untuk mengirimkan konten
pendidikan. Namun, UNESCO juga mencatat problem tentang kesetaraan
dalam akses ke pembelajaran berbasis TIK.
Dua hari kemudian, pada tanggal 26 Maret, UNESCO mendeklarasikan
Koalisi Pendidikan Global (Global Education Coalition) sebagai
‘kemitraan multi-sektor untuk memberikan arahan pembelajaran jarak jauh
yang tepat kepada semua peserta didik’, meenggunakan aktris Angelina
Jolie, sebagai influencer dan utusan khusus PBB, di media sosial untuk
mengkampanyekan itu dengan tagar #LearningNeverStops. Koalisi ini
bertujuan untuk membantu negara-negara memobilisasi sumber daya
dan mengimplementasikan ‘solusi inovatif dan sesuai konteks untuk
memberikan pembelajaran jarak jauh, meningkatkan pendekatan teknologi
tinggi, teknologi rendah dan tanpa teknologi,’ mengidentifikasi ‘keterbukaan
akses dan solusi yang berkeadilan,’ memastikan ‘respon terkoordinasi dan
menghindari upaya yang tumpang tindih,’ dan memfasilitasi ‘kembalinya
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 44
‘EdTech’

siswa(i) ke sekolah ketika mereka membuka kembali sekolah untuk


menghindari kenaikan angka putus sekolah’. Ini tentu saja tujuan yang
mengagumkan dan ambisius.
Namun, ada satu narasi tujuan tambahan yang dinyatakan oleh koalisi,
yakni, untuk melihat pembelajaran jarak jauh melampaui keadaan darurat
saat ini, hingga transformasi jangka panjangnya dalam dunia pendidikan:
Investasi dalam pembelajaran jarak jauh harus bisa keluar dari alasan
yang disebabkan oleh COVID-19 dan membangun pendekatan
untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan
fleksibel untuk masa depan.

Untuk tujuan yang palliative ini, dan tujuan jangka panjang ‘investasi’ ke
dalam ‘sistem pendidikan masa depan,’ para koalisi telah menggabungkan
mitra dari berbagai sektor, termasuk organisasi internasional, masyarakat
sipil dan perusahaan swasta.

Uji Coba Edtech


Dalam daftar organisasi internasional dan mitra multilateral, seperti
UNICEF, WHO, Bank Dunia, Global Partnership for Education, dan
OECD. Dua dari mitra ini telah melakukan upaya signifikan untuk
mempromosikan agenda transformatif untuk pendidikan selama wabah
virus korona. Bank Dunia, misalnya, meluncurkan Dana Evaluasi Dampak
Strategis pada tanggal 23 Maret, bagian dari program pendanaannya yang
mencocokkan ‘metode-metode penelitian yang sehat secara ilmiah dengan
tantangan kebijakan,’ dengan proposal kompetisi:
untuk menghasilkan bukti eksperimental dan sangat eksperimental,
yang akan segera berguna untuk sistem pendidikan negara ketika
mereka berurusan dengan pandemi Covid-19.

Selain dana tersebut, Bank Dunia juga membuat katalog praktik terbaik di
seluruh dunia untuk mendukung pembelajaran jarak jauh melalui teknologi
pendidikan, dan bekerja sama dengan kementerian pendidikan nasional
setempat untuk mengembangkan kapasitas mereka:
Bank Dunia secara aktif bekerja dengan kementerian pendidikan
di puluhan negara dalam mendukung upaya mereka untuk
memanfaatkan teknologi pendidikan dari segala jenis. Untuk
memberikan kesempatan belajar jarak jauh bagi siswa(i) saat
sekolah ditutup karena pandemi COVID-19, dan aktif berdialog
dengan lusinan lainnya.

Ben Williamson
45 Pedagogik & Covid-19

Bank Dunia bahkan bicara mengenai ‘krisis pendidikan’ jangka panjang


yang lebih krusial daripada hanya sekedar untuk era pandemi ini. Mereka
memanfaatkan wacana pendidikan yang sudah lama berkembang bahwa
sistem pendidikan yang kita jalani sekarang sedang rusak dan membutuhkan
transformasi. Mengenai hal ini, mereka akan melibatkan banyak lembaga,
filantropi, dan perusahaan komersial yang berfokus pada pendidikan.
Sementara itu, OECD menerbitkan instruksi pada 23 Maret dengan
proposal kebijakan yang direkomendasikan bagi pemerintah nasional
setempat yang sekolah di negara mereka terpaksa harus ditutup.
Rekomendasi penutupan sekolah juga sebagai bagian dari paket proposal
kebijakan yang ditujukan kepada pemerintah tersebut. “Krisis virus korona
adalah tantangan bagi sistem pendidikan di seluruh dunia,” kata direktorat
Pendidikan OECD untuk mempromosikan proposal pendidikannya. ‘Tetapi
ini adalah kesempatan untuk mulai melihat kemungkinan pembelajaran
digital dan kolaborasi online’. Pengarah pendidikan itu sendiri menyatakan:
Setiap minggu dari penutupan sekolah akan menyiratkan kerugian
besar dalam pengembangan modal manusia dan berimplikasi pada
ekonomi dan sosial jangka panjang yang sangat signifikan.

Bagi OECD, virus korona bukan hanya krisis kesehatan manusia


tetapi juga krisis stagnasi sumber daya manusia. Untuk mengurangi
gangguan terhadap pengembangan sumber daya manusia ini, OECD
merekomendasikan negara-negara untuk menggunakan infrastruktur online
yang ada dalam jangka pendek untuk kursus jarak jauh sebisa mungkin, dan
mendorong perusahaan teknologi pendidikan agar menyediakan sumber
dayanya yang tersedia secara bebas. Namun instruksi itu ditutup dengan
bagian tentang ‘peluang jangka panjang’.
Gelombang penutupan sekolah saat ini memberikan kesempatan
untuk bereksperimen dan membayangkan model-model baru
pendidikan, serta cara-cara baru untuk belajar seperti saat belajar
di kelas.

‘Bereksperimen’ dan ‘membayangkan’ seperti itu, kata OECD sama


seperti ‘Menjelajahi waktu dan sekolah yang berbeda,’ dan ‘bagaimana
siswa(i) dapat belajar di tempat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda’
menggunakan ‘solusi pembelajaran digital’ dan ‘memberikan kesempatan
kepada siswa(i) untuk memiliki lebih banyak platform dengan diberi lebih
banyak otonomi’. Ini juga harus ‘Memberdayakan guru agar memanfaatkan
kemajuan digital,’ untuk ‘menguji berbagai solusi pembelajaran digital,
dan memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendorong
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 46
‘EdTech’

pembelajaran siswa(i) yang lebih dalam’, untuk ‘Berpikir kreatif tentang


peran mereka sebagai fasilitator pembelajaran, dan bagaimana teknologi
dapat mendukung mereka dalam melakukannya, dan bagaimana mereka
dapat menggabungkan keahlian mereka sebagai sebuah profesi’.
Ini adalah argumen dari OECD tentang masa depan pendidikan,
yang diterjemahkan dalam konteks baru. Sekarang memperlakukan
pandemi global sebagai peluang eksperimental dan ‘momen besar’ untuk
mengkatalisasi dan mempertahankan transformasi digital jangka panjang
ke sistem pendidikan, yang memungkinkan pengembangan sumber daya
manusia untuk ekonomi yang semakin terdigitalkan. Dengan cara ini,
OECD berupaya membalut hubungan antara pembelajaran dan penghasilan,
sebagai bagian dari penghematan pendidikannya, dan untuk membimbing
para pemimpin pendidikan nasional agar memanfaatkan teknologi digital
untuk memastikan prospek kelayakan kerja yang lebih baik bagi para
siswa(i).
Seperti yang dikemukakan Schleicher dalam buku visionernya
tentang membangun ‘sistem pendidikan abad ke-21,’ OECD mengalihkan
penekanannya dari ‘keterampilan melek huruf dan berhitung untuk
pekerjaan, menuju pemberdayaan semua warga negara dengan kemampuan
dan nilai kognitif, sosial dan emosional untuk berkontribusi pada kesuksesan
dunia di hari esok.‘

Pendekatan ‘Big-Tech’ dalam Pendidikan


Selain organisasi multilateral, koalisi UNESCO juga bermitra dengan
sektor swasta dan organisasi pendidikan nirlaba. Ini termasuk Google,
Microsoft, dan Facebook dari sektor teknologi AS, konsultan internasional
KPMG, serta Weidong (layanan pendidikan berbasis cloud), Coursera
(penyedia MOOC), Zoom (platform konferensi video), Khan Academy
(pembelajaran online), Moodle (sistem manajemen pembelajaran) dan
Code.org (learn to code coordinator).
Meskipun tidak secara eksplisit tertulis di dokumen koalisi tentang
bagaimana masing-masing mitra ini akan terlibat, namun, yang akan
dilakukan oleh koalisi adalah untuk ‘mencocokkan kebutuhan di lapangan
dengan solusi lokal dan global’ dan ‘memberikan pembelajaran jarak jauh,
meningkatkan pengaruh pendekatan teknologi, teknologi rendah, dan tanpa
teknologi. ‘Dengan demikian, akan tampak bahwa perusahaan teknologi
besar akan menjadi penyedia resmi dari ‘solusi global’ untuk menutup
sekolah dan tantangan pembelajaran jarak jauh.

Ben Williamson
47 Pedagogik & Covid-19

Sementara melibatkan sektor swasta dan solusi teknologi nirlaba ini


sepenuhnya dapat dipahami, dalam konteks saat ini, implikasinya di masa
depan untuk sistem pendidikan di seluruh dunia masih jauh jangkauannya.
Organisasi-organisasi teknologi ini, Bank Dunia dan OECD, berbagi ambisi
untuk menanamkan teknologi digital dalam pendidikan pada skala yang
sangat besar, tidak hanya untuk membantu dalam pengembangan sumber
daya manusia seperti yang dinyatakan secara eksplisit oleh OECD, tetapi
dalam beberapa kasus, juga untuk menghasilkan keuntungan komersial dan
pangsa pasar yang besar.
Beberapa perusahaan dan organisasi teknologi ini memiliki catatan
buruk. Misalnya, Aplikasi Zoom terkait bocornya privasi data pengguna,
dan parahnya Zoom telah ter(di)akses oleh para siswa(i) diseluruh dunia
saat lockdown. Laporan-laporan rasis ‘zoombombing’ dari kuliah online
telah menimbulkan keprihatinan baru atas keamanannya.. Facebook
juga telah menjadi subyek kritik yang luas, dan memiliki sedikit catatan
keterlibatan dalam pendidikan; Kendaraan Zuckerberg, Chan Zuckerberg
Initiative, yang telah menjadi salah satu pendukung paling berpengaruh dari
perangkat lunak pembelajaran personal yang dikelola dengan datakrasi di
AS. Google dan Microsoft, tentu saja, memiliki program dalam pendidikan,
dengan Tim Microsoft dan Google Classroom-nya mengalami lonjakan
pengguna. Tim nya Microsoft telah menjadi platform utama bagi staf di
universitas selama lockdown, dan Google Classroom, yang melampaui 50
juta unduhan pada akhir Maret, aplikasi ini digunakan secara luas oleh guru
sekolah di seluruh dunia untuk mengatur tugas pembelajaran jarak jauh
mereka.
Google telah meluncurkan layanan baru bernama Teach from Home
dalam kemitraan dengan Institute for Information Technologies in
Education nya UNESCO, sebagai ‘pusat informasi dan alat sementara
untuk membantu para guru selama krisis virus korona (COVID-19)’. Ia
juga menyediakan sumber daya untuk pembelajaran jarak jauh melalui situs
Informasi COVID-19 dan Sumberdaya Google yang berdedikasi. Teach
From Home sebenarnya terdiri dari Google Apps Google Apps standar
untuk pendidikan, termasuk Classroom, Drive, Documents, Hangouts,
Grup, dan sebagainya. ‘Untuk mencoba salah satunya, coba masuk dengan
akun G-Suite for Education Anda, ‘status Teach from Home’. Jika Anda
belum memilikinya, sekolah Anda dapat mendaftar di sini.’
Google juga meluncurkan Learn@Home melalui YouTube sebagai
sumber daya untuk keluarga dan anak-anak selama penutupan sekolah,
dengan beberapa saluran konten yang disediakan oleh mitra pendidikan
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 48
‘EdTech’

Ben Williamson
49 Pedagogik & Covid-19

terpilih. Salah satu fitur utamanya adalah video ‘Homeroom’ harian dengan
Salman Khan dari Khan Academy, mitra koalisi UNESCO lainnya.
Salman Khan juga merupakan penulis buku yang mempopulerkan
argumen bahwa sekolah konvensional telah ‘usang’ dan dapat diperbaiki
melalui ‘filsafat pendidikan yang ramah teknologi’. Dalam visi masa
depan Khan tentang pendidikan publik, batasan antara sekolah dan home-
schooling menjadi keropos, karena ‘flipped classrooms’ bergabung bersama
oleh teknologi jaringan yang cerdas:
Khan Academy adalah embrio berbasis perangkat lunak kelas satu
dunia. Ini bukan sistem yang berfungsi penuh, dengan sendirinya.
Khan Academy lebih seperti otak pemrograman yang dapat diakses
oleh sisa sistem saraf (different brick-and-mortar schools and home-
schools) untuk partisipasi yang sama dalam free global education.

Bagi Khan, seperti halnya bagi banyak wirausahawan pendidikan yang


berbasis di Silicon Valley, platform perangkat lunak dan model media sosial
itu sendiri merupakan templat untuk reformasi sekolah, di mana pengajaran
dan pembelajaran yang ditingkatkan teknologi nampaknya menjanjikan
bagi ‘masa depan pendidikan yang terjangkau dan adil’ untuk semua
siswa(i). Khan Academy, Google, YouTube, Apple dan Zoom juga semua
mitra di jaringan EdTech lain yang berbasis di AS, Wide Open Schools,
didirikan oleh Common Sense Media dan didukung oleh Salesforce untuk
memberikan ‘koleksi gratis pengalaman belajar online terbaik untuk anak-
anak. ‘Organisasi-organisasi ini membentuk ke dalam beberapa hubungan
jaringan dan formasi untuk mempromosikan jenis pengaturan flipped
classrooms’ yang sudah diupayakan organisasi-organisasi teknologi jauh
sebelum pecahnya COVID-19, dan yang ingin dipertahankan setelahnya.
Perusahaan teknologi dalam jaringan ini juga terkenal haus akan data.
Tokoh-tokoh kunci seperti Mark Zuckerberg dari Facebook, Eric Schmidt
sebelumnya dari Google, dan Bill Gates dari Microsoft adalah pendukung
yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan yang dipersonalisasi
berdasarkan data dan analitik pembelajaran. Mereka melihat data sebagai
sumber utama peningkatan pendidikan, dan mempromosikan teknologi
yang dapat mengotomatisasi analisisnya dan memberikan umpan balik
secara real-time kepada guru atau siswa(i). Keterlibatan bisnis-bisnis
yang digerakkan oleh data ini dalam koalisi global UNESCO, dan adopsi
platform mereka yang tergesa-gesa, akan mengkhawatirkan dalam hal
perlindungan data dan privasi. Mereka tidak peduli tentang eksploitasi
komersial data siswa(i), normalisasi pengawasan siswa(i), adopsi teknologi
pemrosesan data tanpa prosedur pemeriksaan penuh, atau pengenaannya
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 50
‘EdTech’

tanpa persetujuan penuh informasi.


Dalam bidang kesehatan, perusahaan teknologi besar telah
menandatangani perjanjian dengan pemerintah untuk membantu
menyelesaikan pandemi. Google, Microsoft, Palantir dan Amazon adalah
mitra dalam upaya pemerintah Inggris untuk mengumpulkan data secara
real-time tentang virus, sementara Google juga mengumpulkan data
kesehatan massal dengan imbalan pengujian virus korona di AS:
Kemampuan Google untuk, pada dasarnya, memaksa pengguna
agar menyetujui pengumpulan data telah menjadi taktik bagi
perusahaan dan pemerintah ketika virus korona terus berjalan.
Kegiatan ini mengunakan teknologi berkelanjutan agar lebih efektif
(dan, kemungkinan besar, menguntungkan) menghentikan pandemi.

Demikian pula, dalam pendidikan, organisasi pengumpul data seperti


Google kini telah menjadi infrastruktur dari pembelajaran jarak jauh, bukan
untuk menghentikan pandemi, tetapi untuk mengurangi dampaknya pada
jutaan siswa(i).
Niat UNESCO sangat mengagumkan, dengan Global Education
Coalition-nya telah memberdayakan pelaku usaha teknologi komersial
dan industri pendidikan global untuk menjadi solusi bagi dunia pendidikan
selama dan setelah wabah virus korona. Apakah layanan mereka diinginkan
atau tidak dalam konteks saat ini atau setelahnya, yang jelas koalisi bisnis
ini telah memperluas jangkauan dan pengaruh mereka dalam pendidikan
publik.
Pandemi baru dalam bentuk jaringan kekuatan EdTech, yang muncul
melalui Global Education Coalition-nya UNESCO, sedang berusaha
untuk memenuhi persyaratan penting untuk kelangsungan pendidikan
bagi ratusan juta siswa(i) di seluruh dunia. Banyak tujuan dan mitranya
jelas terlibat karena komitmen moral yang kuat, namun tidak semua mitra
dapat selalu berbagi tujuan yang sama, tetapi dalam kondisi luar biasa,
mereka menerjemahkan tujuannya ke dalam kebijakan bersama dan agenda
teknologi yang dapat mengarah pada konsekuensi jangka panjang. Mitra
multilateral dan teknologi dari koalisi ini telah mendorong perubahan
jangka panjang pada sistem pendidikan di bawah suasana:
Tekankan teknologi digital sebagai solusi untuk ‘krisis’ pendidikan yang
dirasakan sebelum virus korona
Menanamkan teknologi digital sebagai infrastruktur jangka panjang untuk
pengajaran, pembelajaran dan penilaian
Memberdayakan perusahaan teknologi sektor swasta sebagai penyedia utama

Ben Williamson
51 Pedagogik & Covid-19

infrastruktur pendidikan, platform, aplikasi, konten, dan layanan lainnya


Selanjutnya mendesentralisasikan sistem pendidikan ke dalam jaringan yang
terhubung di mana pembelajaran dapat dilakukan di seluruh rumah, sekolah dan
pengaturan lainnya
Meningkatkan pengumpulan data dan memperluas penggunaan analitik data,
perangkat lunak pembelajaran yang dipersonalisasi, dan AI dalam pendidikan
Berfokus pada pengembangan sumber daya manusia untuk ekonomi digital, dan
pada pelumasan saluran pipa belajar-ke-penghasilan

Tujuan yang sangat mirip dibagikan oleh jaringan lainnya, seperti


kolaborasi industri Emerge EdTech dan kemitraan Wide Open
Schools. Jaringan-jaringan kekuatan ini tidak terlalu mementingkan
‘pengambilalihan’ pendidikan oleh pihak swasta, tetapi mereka bersama-
sama berupaya membangun infrastruktur swasta tempat pendidikan
publik akan banyak bergantung. Jaringan kekuatan baru ini juga berupaya
menunjukkan kelincahannya di sektor teknologi dan kapasitas teknologi
itu sendiri, dan untuk menyelesaikan masalah kebijakan yang kompleks.
Mereka bertujuan untuk membuat teknologi digital melakukan peran
sebagai alat kebijakan, mampu membuat perubahan signifikan pada sistem
pendidikan dalam waktu singkat.
Ini tentu saja bukan tujuan baru. Organisasi multilateral dan perusahaan
teknologi telah mengejar mereka selama bertahun-tahun. Tetapi koalisi
UNESCO telah membawa organisasi-organisasi ini dan aspirasi mereka ke
dalam ruang yang lebih dekat dan sejalan dengan agenda kebijakan darurat
saat ini. Jaringan baru ini sedang membentuk hubungan yang mendorong
pengunaan teknologi digital dengan pembelajaran jarak jauh untuk semua,
dengan cara (yang dalam jangka pendek) dimaksudkan untuk mengatasi
ketidaksetaraan dalam akses pendidikan selama wabah virus korona. Tetapi,
disaat yang bersamaan, hal itu juga meningkatkan prospek kampanye
pendidikan digital jangka panjang bagi sistem pendidikan publik.
Perubahan-perubahan ini terjadi dengan cepat selama keadaan darurat
dan terjadi hampir tanpa perlawanan, meskipun telah bertahun-tahun
studi kritis tentang pengaruh organisasi internasional seperti OECD dan
Bank Dunia, keterlibatan bisnis komersial dalam pendidikan publik, dan
kekhawatiran tentang dampak industri pendidikan global :
Bergesernya wewenang dari negara ke aktor swasta mungkin masuk
akal dengan alasan efisiensi, tetapi juga menyebabkan pelemahan
kontrol demokratis atas pendidikan publik. Selain itu, otonomi
profesional dan hak-hak guru, serta kontrol lokal masyarakat atas
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 52
‘EdTech’

sekolah mereka, dapat dilemahkan karena pergantian otoritas


ke aktor swasta, perusahaan, dan global. Demikian pula, masuk
akal untuk mempertanyakan apakah pergeseran dalam struktur
akuntabilitas dari mode demokrasi ke pengaturan perusahaan/
konsumen membentuk kembali orientasi pendidikan sebagai barang
publik ‘(Verger 2016)

Hal ini tetap menjadi masalah kritis, karena pandemi baru jaringan
kekuatan EdTech berencana untuk menancapkan pengaruhnya ke dalam
sistem pendidikan publik di masa depan.

-000-

Referensi:
Verger, A. (2016) The rise of the global education industry: some concepts, facts
and figures. Education International, March 14th

Ben Williamson
53 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Dok. LIPI


Anggi Afriansyah
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
54
Selama Pandemi

Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
Selama Pandemi
Anggi Afriansyah
Jakarta, 1 Juni 2020

“Upaya struktural berbasis kebijakan


sangat penting agar tidak ada anak-
anak yang tertinggal di situasi pandemi.
Kebijakan yang memiliki empati kepada
mereka yang terpinggirkan menjadi
sangat penting terutama di situasi
pandemi saat ini”

Anggi Afriansyah
55 Pedagogik & Covid-19

P andemi Covid-19 begitu terasa di berbagai arena, termasuk pendidikan.


Situasi yang terjadi membuat berbagai kalangan panik, gagap, dan
frustrasi. Otoritas pendidikan di dunia menanggapinya dengan berbeda
sesuai dengan kapasitas dan kapital masing-masing negara. Hingga 12 Juni
2020, tercatat 144 negara menutup sekolah sehingga membuat 1,1 milyar
anak harus belajar di rumah (UNESCO, 2020).
Fokus yang begitu menyedot perhatian adalah pola pembelajaran
yang berubah. Pembelajaran berbasis digital itu juga dicermati Daniel
Dhakidae, pemimpin redaksi Prisma, dalam salah satu diskusi Webinar
yang diselenggarakan Badan Pembinaan dan Ideologi Pancasila (BPIP).1
Pendidikan, menurut Dhakidae, pada awalnya, adalah untuk
mendekatkan jarak, mendekatkan orang, mendekatkan relasi sosial,
mendekatkan yang miskin dengan yang kaya, dan sebagainya. Namun,
pandemi kemudian menjauhkan anak-anak dengan sesama teman, guru-
guru dan lingkungan sosial.

Posisi Anak-anak Keluarga Miskin yang Rentan


Bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin, pembelajaran jarak
jauh (PJJ) yang sepenuhnya mengandalkan teknologi adalah kemustahilan.
PJJ bisa berjalan ketika keluarga memiliki akses terhadap gawai, jaringan
internet dan kuota. Ketika prasyarat tersebut tidak dipenuhi pembelajaran
tidak dapat berlangsung. Demikian juga bagi masyarakat di banyak wilayah
di Indonesia yang tidak terakses listrik dan jaringan komunikasi, mereka
terpaksa libur sekolah.
Keluarga yang berasal dari keluarga menengah dan atas masih memiliki
ruang untuk mengoptimalkan proses pendidikan di rumah. Pertama, akses
mereka terhadap perangkat digital dan koneksi internet relatif memadai.
Kedua, kapasitas orangtua dalam mendampingi anak relatif baik. Ketiga,
Mereka punya kesempatan untuk bekerja dari rumah sehingga kesempatan
mendampingi anak pun menjadi lebih terbuka.
Sebaliknya, keluarga miskin memiliki lebih banyak keterbatasan dalam
melaksanakan kegiatan belajar dari rumah. Perangkat digital dan koneksi
internet dan sumber pembelajaran lain jelas suatu kemewahan, waktu untuk
mendampingi anak jelas sulit dilakukan karena mereka tetap harus bekerja
di luar rumah, dan kapasitas akademik untuk mendampingi anak-anak yang
sangat terbatas. Beberapa pengamat menyebut untuk anak-anak keluarga
miskin, kualitas belajar di sekolah relatif lebih baik dari pada di rumah.
Dalam situasi sulit ini mereka semakin tertinggal.
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
56
Selama Pandemi

Save the Children dan UNICEF (2020) menyebut bahwa ketidakstabilan


ekonomi dunia karena pandemi Covid-19 dapat mendorong 86 juta anak
menjadi miskin pada akhir 2020 ini. Keluarga miskin sejak awal adalah
kelompok yang paling rentan dalam situasi saat ini. Di luar isu pembelajaran,
mereka menghadapi situasi sulit seperti apakah makanan mereka terjamin?
Apakah orangtua mereka tetap mendapatkan penghasilan? Bagaimana
akses ke fasilitas kesehatan ketika mereka sakit?
Jika menilik Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemdikbud No. 15/2020,
perhatian terhadap isu inklusivitas dan kesenjangan fasilitas memang sudah
menjadi perhatian. Pemahaman terhadap luas dan ragamnya akses antar
wilayah juga sudah nampak. Namun, lagi-lagi, secara praktikal edaran
tersebut masih sulit dioperasionalisasikan kepada siswa(i) dari keluarga
miskin. Aturan tentang daring, sumber belajar yang dapat diakses, juga
pilihan belajar melalui TVRI dan radio masih pilihan yang sulit dilakukan.
Pilihan terbaik bagi mereka adalah pendampingan langsung dari guru-guru.
Berharap pada bimbingan orangtua di rumah menjadi sedikit utopis jika
menyimak kondisi mereka.
Covid-19 bagi keluarga miskin, seperti yang disebut UNICEF,
merupakan pukulan ganda (double blow). Mereka semakin terpinggirkan
karena keterbatasan yang mereka miliki. Berdiam di rumah bagi orangtua
keluarga miskin adalah hal yang sulit untuk diwujudkan sebab mereka
harus bergelut mencari nafkah. Anak-anaknya jelas sulit mendapatkan
bimbingan. Sementara suara-suara minor sering disematkan kepada
keluarga miskin ketika anak-anak mereka kesulitan untuk belajar. Tidak
dibimbing, tidak diperhatikan, pemalas, tidak mau berusaha dan kata-kata
menyakitkan lainnya mudah untuk disampaikan.

Empati
Empati didefinisikan KBBI Kemdikbud sebagai: keadaan mental yang
membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan
perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.2
Situasi sulit ini membutuhkan empati besar bagi siswa(i) yang berasal dari
keluarga miskin.
Kondisi bisa berubah ketika mereka memiliki guru-guru militan
yang bersedia mendatangi rumah satu per satu untuk menjamin proses
pendidikan tetap berlangsung. Seorang teman di Pangandaran, Jawa Barat,
bercerita tentang kesulitannya melaksanakan PJJ. Anak-anak di sekolahnya
berasal mayoritas berasal dari keluarga yang kurang mampu. Gawai jelas
mustahil mereka miliki. Ia dan guru-guru harus mendatangi para siswa(i) di
Anggi Afriansyah
57 Pedagogik & Covid-19
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
58
Selama Pandemi

rumahnya masing-masing agar mereka tetap bisa belajar.


Guru-guru yang bergerilya mendatangi para siswa(i)nya adalah panutan
dalam soal empati. Tidak sekadar soal perasaan, tetapi juga perbuatan.
Mereka tidak tinggal diam melihat anak-anak yang kekurangan. Ruh
pendididkan ala Ki Hadjar Dewantara, di mana prioritas pendidikan
diberikan kepada kalangan marjinal, hidup secara aktual melalui guru-guru
yang tangguh tersebut.
Kita tidak bisa tutup mata dengan kondisi yang ada di masyarakat.
Situasinya jelas tidak normal. Jika kita bedah lebih mendalam, bagaimana
anak-anak penyandang autisme,3 keluarga yang ayah ibu berpisah, anak-
anak yang dibesarkan oleh nenek-kakek, dan ragam lainnya. Belum lagi
jika bicara kondisi psikologis yang membuat tingkat kekerasan di rumah
tangga meningkat, yang jelas akan berpengaruh pada situasi belajar di
rumah.
Dalam laporan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situation
Report-69, merujuk pada artikel tentang kesehatan mental dan ketahanan
psikologis selama pandemi yang dirilis WHO wilayah Eropa, terdapat
potensi dampak kesehatan mental pada anak-anak dan orangtua selama
pandemi Covid-19. Hal tersebut, meski dalam derajat yang berbeda, tentu
terjadi di Indonesia.
Cerita seorang teman yang mengajar di Bogor, Jawa Barat bisa menjadi
ilustrasi. Anak-anak yang diampunya adalah keluarga menengah bawah.
Banyak dari mereka yang ibu dan ayahnya bercerai dan akhirnya tinggal
bersama nenek dan kakek. Belajar dari rumah kemudian ambyar, karena
anak-anak tidak bisa memenuhi tugas yang diberikan. Buku-buku yang
diberikan kepada anak-anak tersebut tidak dipahami oleh keluarga di
rumah. Tagihan tugas tidak bisa diselesaikan. Tidak ada komunikasi seperti
yang diidealkan dari sebuah proses pembelajaran. Wali anak mengeluh dan
meminta guru tidak membebani mereka dengan tugas yang sulit.
Seorang teman yang aktif mendampingi anak-anak di Papua dan
Papua Barat bercerita bahwa dinas pendidikan cenderung sibuk pada
pengadaan barang digital, sementara pendidikan di kampung-kampung
terhenti. Padahal anak-anak yang ada di kampung-kampung pedalaman
membutuhkan pendidikan.
Cerita-cerita baik tentang militansi guru yang memiliki marwah
untuk tetap berjuang meski dalam keterbatasan muncul di banyak tempat.
Namun hal tersebut tidak cukup optimal karena gerakan yang dilakukan
hanya berlaku secara individual bukan kolektif. Di sisi yang menyedihkan
pemerintah daerah seolah tidak berdaya menghadapi situasi saat ini.
Anggi Afriansyah
59 Pedagogik & Covid-19

Jika mengandalkan jalannya pendidikan karena keteguhan para guru-


guru yang masih memiliki nurani dan empati, tentu saja pendidikan tidak
bisa berjalan dengan optimal. Para pembuat kebijakan harus membuat
kebijakan dan memastikan agar kebijakan dapat beroperasi dan tidak
hanya menjadi “macan kertas”. Upaya struktural berbasis kebijakan sangat
penting agar tidak ada anak-anak yang tertinggal di situasi pandemi.
Kebijakan yang memiliki empati kepada mereka yang terpinggirkan
menjadi sangat penting terutama di situasi pandemi saat ini. Kebijakan
model ini, tidak hanya terjebak pada konteks aturan yang inklusif, tetapi
berupaya mewujudkannya agar jurang antara yang miskin dan yang kaya
dapat dikikis. Bukankah itu salah satu tujuan pendidikan?

-000-
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
60
Selama Pandemi

Catatan kaki:

Webinar Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal yang
1

Diselenggarakan oleh BPIP RI, 9 Juni 2020


2
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/empati. Diakses
11 Juni 2020.
3
Ekaputri, Andini Desita & Afriansyah.Anggi. 2020. Mendukung Anak-anak Penyandang
Autisme Sekama Masa Pandemi. Sumber: https://kependudukan.lipi.go.id/id/berita/53-
mencatatcovid19/941-mendukung-anak-anak-penyandang-autisme-selama-masa-pandemik-
covid-19. Diakses 12 Juni 2020.\

Referensi:
Ekaputri, Andini Desita & Afriansyah.Anggi. 2020. Mendukung Anak-anak
Penyandang Autisme Sekama Masa Pandemi. Sumber: https://kependudukan.
lipi.go.id/id/berita/53-mencatatcovid19/941-mendukung-anak-anak-penyan-
dang-autisme-selama-masa-pandemik-covid-19. Diakses 12 Juni 2020.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/empa-
ti. Diakses 11 Juni 2020.
Kemdikbud. 2020. Pedoman Pelaksanaan Belajar Dari Rumah Selama Darurat
Bencana COVID-19 di Indonesia.
Sumber: https://bersamahadapikorona.kemdikbud.go.id/pedoman-pelaksanaan-be-
lajar-dari-rumah-selama-darurat-bencana-covid-19-di-indonesia/. Diakses 12 Juni
2020.
UNICEF. 2020. COVID-19: Number of children living in household poverty to
soar by up to 86 million by end of year. Sumber: https://www.unicef.org/press-re-
leases/covid-19-number-children-living-household-poverty-soar-86-million-end-
year. Diakses 12 Juni 2020.
UNICEF. 2020. For many in Bangladesh, staying home isn’t an option. Sumber:
https://www.unicef.org/coronavirus/many-bangladesh-staying-home-isnt-option.
Diakses 12 Juni 2020.
UNESCO. 2020. Covid-19 Impact on Education. Sumber: https://en.unesco.org/
covid19/educationresponse. Diakses 12 Juni 2020.
World Health Organization. 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situ-
ation Report-69. Sumber: https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/
situation-reports/20200329-sitrep-69-covid-19.pdf?sfvrsn=8d6620fa_8. Diakses
12 Juni 2020.
Webinar Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal
yang Diselenggarakan oleh BPIP RI, 9 Juni 2020.

Anggi Afriansyah
61 Pedagogik & Covid-19
62

Pedagogik Pasca Covid-19


63 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Dok. Pribadi


Tyo Prakoso
Belajar di Rumah Saja 64
a la Haji Agus Salim

Belajar di Rumah Saja


a la
Haji Agus Salim

Tyo Prakoso
Jakarta, 1 Juni 2020

Apa jadinya Indonesia tanpa sekolah?


Tanpa ritual yang memualkan—
meskipun kalau dipikir-pikir lucu
juga; seperti upacara bendera saban
hari Senin, memakai seragam yang
berwarna ngejreng itu dan kita harus
berbaris secara rapi dan menyanyikan
lagu kebangsaan ketika bendera merah
putih dikibarkan, hingga penerimaan
rapor setiap akhir semester.

Tyo Prakoso
65 Pedagogik & Covid-19

P ada 1912, seorang pemuda berusia 28 tahun, yang baru saja pulang
dari Tanah Suci untuk belajar agama, lalu bekerja di konsulat sebagai
penerjemah—sekaligus menunaikan ibadah haji, tentu saja. Selang beberapa
waktu, setibanya di kampung halaman, ia segera meminang kembang-desa
yang telah lama dilamarnya. Selepas menikah, pemuda berusia 28 tahun
itu berpesan pada kembang-desa itu, yang baru saja resmi menjadi istrinya:
“banyak-banyaklah berzikir dan membaca...”
Saya rasa itu bukanlah pesan yang diharapkan di malam pertama.
Percayalah itu bukanlah pesan suami terhadap istri yang biasa-biasa saja.
Mungkin ini pesan teramat penting dan prinsipil. Sebab pemuda itu berharap
pada istrinya, kelak ketika mereka memiliki anak, tidak akan disekolahkan
di sekolah formal. Anak-anak akan dididiknya sendiri. Mungkin ini awal
dari sebentuk kekecewaan atas sebuah formalitas yang bernama sekolah.
Karena sekolah seringkali tak sesuai yang diharapkan. Sekolah adalah
taman bermain yang batasannya tak pernah kita bisa mengerti. Taman
bermain itu biasanya di luar kontrol pengendali sekolah. Mungkin itu
alasan mengapa pemuda itu berpesan demikian.
Kemudian kita tahu, pemuda itu adalah Haji Agus Salim, dan kembang-
desa itu—istrinya—adalah Zaitun Nahar. Lalu, sejarah pun mencatat,
pasangan itu memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik,
Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada
masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.
Dan benar saja, kedelapan anak itu tak ada satu pun yang disekolahkan di
sekolah formal, semua dididik oleh sang bapak dan ibunya, di rumah. Ya,
di rumah.
Mungkin kita bertanya-tanya; mengapa Haji Agus Salim—seorang
diplomat cerdas yang mampu menguasai berbagai bahasa asing, menteri
luar negeri pertama negara Indonesia dan sahabat terbaik dan orang
kepercayaan Soekarno di masa awal Revolusi dalam urusan berdiplomasi—
tak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal? Apa karena
Haji Agus Salim tak terlalu percaya dengan pendidikan sekolahan? Apa
Haji Agus Salim lebih mempercayai konsep sekolah homeschooling yang
akhir-akhir ini kembali trendi? Atau memang hanya karena ia memiliki
pengalaman buruk dengan sekolah semasa ia remaja dulu, sehingga tak
mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal?
Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu
orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto—pemimpin Sarekat Islam itu, tak
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian
dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri
Belajar di Rumah Saja 66
a la Haji Agus Salim

dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah. Itu


dicatat oleh Kustiniyati Mochtar dalam bukunya Seratus Tahun Haji Agus
Salim (Sinar Harapan, 1984).
Mungkin yang dimaksud Haji Agus Salim sebagai ‘terpengaruh oleh
pikiran dan kebudayaan penjajah’ adalah sebuah refleksi atas pengalamannya
semasa belajar di sekolah pemerintah kolonial; diskriminasi antara orang
berkulit putih dan bukan, penjajah dan dijajah; anak priyayi dan anak
petani; begitu kontras dan mencolok. Bahkan hal itulah yang diprioritaskan
dan dilanggengkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Misalnya
hanya kalangan tertentu yang berhak dan pantas menggunakan bahasa
Belanda, padahal sebagian besar ilmu pengetahuan termaktub di buku-buku
yang berbahasa Belanda. Saya rasa Haji Agus Salim paham betul mengenai
ini; itu alasan mengapa Haji Agus Salim menguasai begitu banyak bahasa
asing.
Haji Agus Salim menginginkan keluarganya berkepribadian seperti
apa yang ia harapkan; menjadi manusia yang sederhana dan berbakti pada
bangsa dan negara, serta menjunjung ilmu pengetahuan dan mengamalkan
agama Islam sebagai pedoman hidup: sebuah harapan yang ia tidak yakin
bisa ditanamkan di sekolah formal (baca: sekolah kolonial Belanda).
Haji Agus Salim mengakui, memang tidak semuanya apa yang diajarkan
‘penjajah’ (baca: sekolah kolonial Belanda) itu buruk. Tapi ia tidak terlalu
yakin dengan apa yang disebut dengan sekolah. Sebab, sekolah bagi Haji
Agus Salim, seharusnya adalah rumah bagi siswa-siswanya, bukan malah
menjadi penjara. Oleh karena itu ia sepakat dengan sahabatnya, Ki Hadjar
Dewantara; sekolah adalah taman; sekolah adalah membebaskan; lahir dan
batinnya.
Sementara itu, sebagai pengganti sekolah, di rumahnya, Haji Agus
Salim mengajarkan tulis-baca, bahasa asing, budi pekerti, sejarah, ilmu
bumi dan pelajaran agama. Untuk bahan ajar—selain koleksi buku-
bukunya yang bejibun—Haji Agus Salim seringkali secara khusus mencari
buku-buku bahan ajar ke toko buku loak, atau bila mendapat kabar salah
seorang kawan sedang pergi ke luar negeri ia akan meminta tolong untuk
mencarikan buku pelajaran; dan Sjahrir dan Hatta adalah dua orang yang
seringkali diberikan ‘tugas’ itu. Dengan referensi buku yang beragam dan
bejibun itu, ditambah diajar langsung oleh seorang Agus Salim—yang
menurut salah satu surat Kartini pada tahun 1898; salah satu pemimpin
pribumi yang tercerahkan dan mencerahkan—dengan pengetahuan yang
luas, kita bisa membayangkan bagaimana proses belajar di rumah Haji
Agus Salim, tentu sangat mengasikkan.

Tyo Prakoso
67 Pedagogik & Covid-19

credit: historia.id
Belajar di Rumah Saja 68
a la Haji Agus Salim

Haji Agus Salim juga mendidik dengan sifat kritis dan korektif. Artinya,
ia selalu menghargai sebuah pendapat dan argumentasi yang diajukan
oleh anak-anaknya. Haji Agus Salim membawa sebuah kegiatan belajar-
mengajar menjadi sebuah dialogis yang mengasikkan. Yang menurutnya,
itu mungkin tak didapatkan anak-anaknya bila bersekolah di sekolah
formal. Sebagaimana kita ketahui, sekolah kerap diasosiasikan sebagai hal-
hal yang menyeramkan, layaknya rumah hantu atau taman pemakaman.
Tak terkecuali pada masa di mana Haji Agus Salim dan anak-anaknya
tumbuh.
Membaca apa yang sudah dilakukan oleh Haji Agus Salim terhadap
keluarganya, terutama anak-anaknya, mengenai pendidikan puluhan tahun
yang lalu itu, mungkin ada baiknya kita merenungi pula: apa ‘sekolah’
masih relevan untuk hari ini dan masa depan? Jika iya, bagaimana model
dan bentuk sekolah itu?
Lagi-lagi saya tidak tahu. Yang saya tahu, sekitar 30 puluhan tahun
lalu, Ivan Illich (1926-2002), pemikir kelahiran Vienna, Austria itu, sudah
mengingatkan perlunya kita melakukan—meminjam istilah budayawan-
cum-sastrawan Romo Sindhunata mengenai konsep pendidikan Illich—
‘de-sekolah-isasi masyarakat’ atau deschooling society. Memang, ada
nada skeptis Illich di sini. Illich tak melihat kegunaan sekolah bagi hidup
‘sesungguhnya’ dalam bermasyarakat.
Bagi Illich, sekolah layaknya dunia aneh di tengah masyarakat yang
begitu lekat terhadap realitas. Artinya, bagi Illich, sekolah mendistorsikan
realitas masyarakat. Meskipun banyak salah-kaprah dan gagal-paham
mengenai gagasan deschooling society-nya Illich; dikiranya Illich berupaya
menegasikan sekolah. Saya rasa, Illich hanya berupaya mereinterpretasikan
pemahaman kita tentang sekolah; bahwa sekolah bukanlah satu-satunya
lembaga pendidikan yang sakral, Illich berharap ada altenatif yang bisa dan
mampu memerankan fungsi sekolah pada masyarakat.
Di titik ini, kita tahu bahwa satu abad sebelum Illich mengemukakan
gagasannya Haji Agus Salim telah mahfum perihal itu, bahkan ia
mempraksiskan apa yang dikemukan Illich. Saya mengerti, kita memang
kerap silau dengan segala sesuatu yang datang dari barat, padahal selama
ini matari terbit di timur. Percayalah…
Bagi Haji Agus Salim sekolah memang sangat memperhatikan. Tapi—
dalam konteks Indonesia 70 tahun yang lalu—ia masih mempercayai
akan kegunaan sekolah bagi kehidupan bangsa dan negara, terlebih bagi
bangsa yang baru saja merdeka seperti Indonesia. Haji Agus Salim selalu
percaya—sama seperti para pendiri Republik kita yang lainnya—bahwa

Tyo Prakoso
69 Pedagogik & Covid-19

hanya pendidikanlah yang mampu membawa Indonesia sampai di tujuan


dari Revolusi Indonesia 1945. Bukankah proklamasi 17 Agustus 1945
hanyalah jembatan emas menuju kesejahteraan Indonesia?
Di titik ini kita bisa berimaji: apa jadinya Indonesia tanpa sekolah?
Tanpa ritual yang memualkan—meskipun kalau dipikir-pikir lucu juga;
seperti upacara bendera saban hari Senin, memakai seragam yang berwarna
ngejreng itu dan kita harus berbaris secara rapi dan menyanyikan lagu
kebangsaan ketika bendera merah putih dikibarkan, hingga penerimaan
raport setiap akhir semester.
Mungkin tanpa kita sadari, sekolah bagai burung merpati; malu-malu
tapi mau. Jika sangsi, coba luangkan waktu untuk mengenang masa sekolah
dulu: saat begitu malasnya kita bersekolah, namun (entah karena dipaksa
orang tua atau keinginan diri sendiri untuk bermain-main dengan teman
sekelas) kita tetap juga melangkahkan kaki saban pagi untuk menuju ruang
kelas.
Di titik ini saya malu sendiri, saya ingat Zen RS; memang sekolah
itu penting, tapi enggak penting-penting amat sih… Kita tidak seradikal
Haji Agus Salim atau Illich, memang. Pernyataan sekolah gak penting-
penting amat—sebagaimanapun ngenyek-nya—haruslah dilihat secara
positif, setidaknya didaktis. Setidak-tidak juga, adalah upaya kita untuk
terus memikirkan masa depan sekolah. Entah bagaimana bentuk dan rupa
sekolah itu. Tapi setidaknya, kita perlu merenunginya lagi. Terlebih di saat
sekolah (secara lebih umum, Pendidikan) diguncang dan dipertanyakan
kembali. Sebagai salah satu lembaga di mana nilai-nilai berkehidupan itu
diproduksi, ditanam, dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah pedoman. Selain
terus menggali pengetahuan. Dan terus menggugatnya.

PENDIDIKAN ABAD KE-21


Abad ke-21 adalah abad di mana wacana hidup manusia dibuka selebar-
lebarnya. Wacana itu begitu menyebalkan, ia berupa informasi. Dan setiap
detik berbagai informasi yang datang secara tidak sopan di hadapan kita.
Semau-maunya. Kita pun dipaksa untuk memilih. Memang harus memilih.
Bila tidak, kita akan tersesat di hutan informasi yang menyesatkan itu.
Saya jadi ingat sebuah penelitian pendidikan di Jerman yang dibuat
oleh Delphi-Bewegung yang saya baca dalam salah satu tulisan Romo
Sindhunata, menyebutkan makin wacana kehidupan (baca: informasi) itu
luas, makin orang sadar bahwa dirinya lemah dan tak berdaya. Secara ironis,
hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang pernah didapati seseorang
Belajar di Rumah Saja 70
a la Haji Agus Salim

lewat pendidikan, ternyata tak dapat membantu apa-apa. Singkatnya,


memang benar ada yang salah dengan pendidikan kita, dan itu kita ketahui
bersama. Namun, bagaimana cara mengurainya?
Entah mengapa saya teringat buku Pahlawan-pahlawan Belia (KPG,
2001) karangan Saya Sasaki Shiraishi. Buku itu bercerita tentang bagaimana
sebuah kekuasaan (baca: negara) dijalankan selayaknya sebuah keluarga;
dengan ‘Bapak’ sebagai pusat setiap kebijakan dan keputusan keluarga, dan
anggota keluarga lainnya harus patuh mengikuti. Yang menarik adalah apa
yang ditampilkan istri sejarawan terkemuka Takashi Shiraishi, penulis buku
Zaman Bergerak itu, pada bab VI buku Pahlawan-pahlawan Belia. Saya
Sasaki bercerita, menggunakan ilustrasi cerita pendek Pramodeya Ananta
Toer “Anak Haram” dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora, bagaimana
sosok guru adalah salah satu instrumen penting dalam sang Bapak
menjalankan kekuasaan itu. Saya Sasaki ingin mengatakan bahwa menjadi
guru adalah hidup di dua dunia yang berbeda. Ia boleh jadi diremehkan di
luar ruang kelasnya, baik dalam dalam kehidupan kehidupan sehari-hari
berumah-tangga dan lingkungan sekitarnya. Di sana mungkin murid diam-
diam balas dendam dengan menertawakannya. Di sisi lain, yang kerapkali
tidak diketahui, sosok guru memiliki anggapan bahwa ia adalah “sepandai-
pandainya orang”.
Dengan paparan Saya Sasaki, yang melalui cerpen Pram, saya mengira
begitu lekatnya peran guru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Itu
membuat kita kerapkali mengenang guru-guru dalam catatan sejarah
sekolah kita. Mungkin ada berbagai hal yang kita kenang dengan guru
sewaktu sekolah dulu. Yang jelas, setiap dari kita selalu memiliki kenangan
dengan salah seorang guru. Baik ataupun buruk. Dengan begini, saya
meyakini peran guru begitu penting. Walau saya tak selalu mendefinisikan
guru melulu mereka yang berdiri di depan ruang kelas, yang tengah sibuk
dengan kapur ataupun papan tulis. Bagi saya, guru adalah siapa saja yang
mengajarkan kehidupan. Mungkin juga seekor kuda, misalnya.
Nah, mungkin salah satu cara untuk mengurai silang-sengkarut persoalan
pendidikan, dalam rangka menduga masa depan sekolah (entah itu model
atau bentuknya), memperbaiki kualitas dan kuantitas seorang guru adalah
pintu awal yang sangat mungkin untuk dicoba. Sebab kita sepakat guru
adalah instrumen penting dalam pendidikan. Guru tidak bisa diganti dengan
robot paling canggih sekalipun. Dengan catatan, sebagaimana saya katakan
di atas, pemahaman kita tentang guru haruslah direvisi, bila kita tak sudi
mengubahnya. Guru bukanlah jabatan ataupun sebuah karier sepanjang
hidup, bila yang bersangkutan tidak mau berkarier sebagai pembelajar

Tyo Prakoso
71 Pedagogik & Covid-19

yang terus-menerus sepanjang hidup, maka janganlah kita berharap dan


bermimpi menjadi guru. Meskipun gaji guru (PNS) sekarang jauh lebih
tinggi daripada gaji buruh. Zaman ‘guru adalah Oemar Bakrie’ sudah lama
berlalu.

REVITALISASI LPTK SEBAGAI JAWABAN


Guru haruslah mengikuti perkembangan zaman. Saya percaya
perubahan pendidikan Indonesia mestilah bermula dari perubahan kita
memgenai hakikat, fungsi dan peran guru dalam proses belajar-mengajar di
sekolah. Dengan begitu, sekolah pun mesti dituntut untuk terus melakukan
empowerment bagi guru-gurunya. Konkretnya: revitalisasi Lembaga
Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling
mendesak hari ini. Misalnya, perketat dan seksama proses penyeleksian
mahasiswa kependidikan; agar mereka yang kelak menjadi guru adalah
mahasiswa-mahasiswa terpilih dan terbaik, sebab, kata Pram, guru-guru
yang baik saja belum tentu menghasilkan murid-murid yang baik, apalagi
bila sudah bebal pada dasarnya gurunya
Bila sudah begini, kualitas dan kuantitas guru yang terpilih dan memadai
dihasilkan LPTK, kita akan mendapati sebuah institusi kebudayaan yang
dinamis, terus bergerak dan sangat mengedepankan realitas yang dihadapi.
Dengan tidak menghilangkan daya kritis dan daya gugatnya. Sebab, bagi
saya, daya-kritis dan daya-gugat adalah esensi terpenting dari sebuah
proses pendidikan. Di titik itulah guru mengemban sebuah tugas yang
maha-mulia; peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa ada di ketiaknya…
Hal ini memaksa kita—terutama para guru dan calon guru—, di
antaranya, sebagaimana yang dicatat Romo Sindhunata, untuk mengerti
bahwa konsep ilmu zaman sekarang mengalami sebuah perubahan yang
radikal. Ilmu bukan lagi hanya sekedar yang dipelajari, tapi juga dilibatkan.
Artinya, ilmu tak lagi bisa disampaikan hanya dengan “diajar” atau
“pengajaran”, tapi juga dengan “dialami” atau “pengalaman”. Mengetahui
sesuatu berarti masuk dan berpartisipasi ke dalam sesuatu itu, lalu
mengorientasikan diri di dalamnya, mengakrabkan diri dengannya, baru
kemudian menyatakan apa yang diketahui. Guru dan murid adalah sebuah
subyek, dan realitas sosial adalah objek. Dengan demikian, menurut saya,
pengertian guru, sekolah, dan pendidikan yang selamanya kita pahami
(atau sepakati secara bisu) tak lagi relevan, percayalah…
Hal ini memaksa kita, misalnya, mengakui bahwa seorang sastrawan
dengan karya-karyanya adalah seorang guru bagi pembacanya juga; atau
seorang penyair dengan puisinya adalah guru bagi pembacanya yang tekun
Belajar di Rumah Saja 72
a la Haji Agus Salim

melacak makna-makna dalam setiap bait dan larik puisinya; atau seorang
pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya.
Jika begitu, lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk
sekolah masa depan tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang
dipertemukan saban pagi sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang
kelas, lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan,
hubungan “guru-murid” itu begitu mesra, intim dan didaktis. Layaknya
seseorang yang tengah membaca sebuah novel ataupun puisi dengan
khidmat dan takjub. Dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita
tidak lagi memandang sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya
dalam upaya memproduksi, menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai
kehidupan yang menjadi pedoman.
Tapi banyak ‘lembaga-lembaga’ lain yang bisa dan mampu melakukan
peran dan fungsi tersebut. Dan saya pun berdoa—jika pun sekolah mesti
tetap ada—agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga yang
membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah
rutinitas yang menjenuhkan. Tapi sekolah menjadi sebuah perjalanan
yang begitu mengasikkan; guru dan murid layaknya seorang flaneur yang
tengah berkelana ke berbagai belahan dunia; menikmati beragam hal yang
menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Begitu pun
seharusnya sekolah, saya rasa. Haruslah menumbuh-bentukkan rasa, karsa,
dan karya setiap murid dan gurunya.
Ah, jika sudah begini, saya selalu ingin segera mengayuh sepeda keliling
kampung sekitar rumah, atau masuk takjub ke dalam keindahan bahasa yang
diutarakan oleh berbagai karya sastra. Mungkin memang begitu riwayat
hal yang gak penting-penting amat. Ia kerap dilupakan oleh sekerumunan
orang, hanya karena hal itu dipandang tak berfaedah atau dirasa semua
orang telah mengetahui dan memahaminya; sehingga melakukan hal yang
enggak penting-penting amat adalah sebuah kemewahan di era ketergesaan-
kelekasan-keserbacepatan dan ke-ke-ke… yang lainnya.
Tapi tunggu dulu, sebelum saya menutup esei ini, saya jadi teringat
imbauan salah seorang seniman kampus saya: hati-hati sekolahmu
mengganggu pendidikanmu! Dan saya kira imbauan itu sudah disadari oleh
Haji Agus Salim satu abad yang lalu. Ah, kita memang selalu begitu kan;
tidak pernah mau belajar dari sejarah. Astaga.

-000-

Tyo Prakoso
73 Pedagogik & Covid-19

Neil Selwyn

Sumber: http://redencuentros.org/
Pendidikan Digital 74
Setelah Covid-19

PENDIDIKAN DIGITAL
SETELAH COVID-19:
Sebuah Keprihatinan
& Harapan Kritis
Neil Selwyn

Tulisan ini diterjemahkan dari


buletin TECHLASH – issue #01
June 2020

Tulisan ini mengajak para sarjana


pendidikan kritis untuk bekerja
merebut narasi besar pendidikan
publik, yang hari ini didominasi oleh
filantropi dan perusahaan Pendidikan
Digital. “Kita seharusnya tidak
melakukan kesalahan dengan hanya
berdiri di garis luar pertarungan,”
imbuhnya.

Neil Selwyn
75 Pedagogik & Covid-19

Pengantar

S eperti yang sedang kita amati sekarang dengan berbagai cara di seluruh
dunia, bahwa pandemi ini telah membawa banyak persoalan di ruang
politik dan pergulatan sosial yang berkepanjangan. Jadi untuk masa yang
akan datang, diskusi tentang teknologi dan pendidikan digital perlu lebih
difokuskan pada; memastikan bahwa pandemi ini tidak digunakan sebagai
alasan untuk mencari keuntungan lebih lanjut dari pendidikan publik
oleh korporasi. Sebaliknya, kita yang terlibat dalam studi kritis tentang
pendidikan digital perlu bekerja dengan cepat untuk mengembangkan
narasi tandingan serta agenda alternatif untuk menumbuhkan harapan
bahwa peristiwa luar biasa ini mungkin mempunyai makna sebagai katalis
untuk menata kembali keadaan pendidikan publik yang lebih baik bagi kita
semua. Mari kita pikirkan dua poin ini dengan sedikit lebih detail.

Covid-19 sebagai Kedok Bagi Reformasi Perusahaan Pendidikan


Beberapa bulan pertama pandemi ini, kita telah menyaksikan serangkaian
tren dari teknologi, rencana, dan agenda yang sudah lama ada dan telah
dipercepat dengan kedok ‘kebijakan jangka pendek di masa darurat’, dan
proyeksi ini nampaknya juga akan dibuat menjadi permanen untuk masa
depan. Logika percepatan ini dapat dilihat melalui serangkaian fakta di
mana mereka dengan tergesa-gesa mengerahkan aplikasi pengawasan
dan pelacakan virus secara terburu-buru tanpa ada pengawasan dan
regulasi yang memadai. Sementara itu, dalam dunia pendidikan, kita akan
melihat bagaimana kampus telah dipaksa, dengan tergesa-gesa pula, oleh
pemerintah untuk mengerahkan kegiatan mereka ke kursus singkat yang
relevan dengan industri, dengan narasi ‘ikut dalam perkembangan zaman,
atau mati ketinggalan zaman.’
Mengenai pendidikan digital, sudah sepatutnya ada pengawasan yang
berkelanjutan terhadap apa yang harus dilakukan di masa darurat ini dan
logika yang menyertainya. Secara khusus kita perlu memperhatikan dengan
seksama bagaimana poros global, untuk bentuk-bentuk pengajaran jarak
jauh di masa ‘darurat’ selama paruh pertama 2020, telah digunakan sebagai
pembenaran untuk memikirkan kembali bentuk dan karakter layanan
pendidikan di masa depan.
Seperti yang diamati oleh Frederick Hess (2020) pada minggu-minggu
awal masa penguncian atau lock-down, ‘beberapa analis pendidikan sudah
mulai terlihat sangat pusing tentang peluang menarik ini, untuk memberikan
Pendidikan Digital 76
Setelah Covid-19

masukan ide dan mencoba berbagai program baru’. Setelah itu, Perusahaan
EdTech seperti Sal Kahn terbukti sangat cepat bicara tentang ‘lapisan emas’
dari bencana COVID-19 ini. Andrew Cuomo - gubernur negara bagian New
York - menyuarakan sentimen ini ketika berdebat pada bulan Mei tentang
ide-ide layanan pendidikan online di masa depan, yang canggih di seluruh
sistem pendidikan:
Di sekolah model lama, semua orang pergi dan duduk di ruang
kelas dan guru ada di depan ruang kelas itu, dan mengajar kelas itu,
dan Anda melakukannya di seluruh kota, di seluruh negara, semua
bangunan ini, semua ruang kelas fisik ini. [...] mengapa, dengan
semua teknologi yang Anda miliki? [...] Sulit untuk mengubah
status quo. Tetapi Anda mendapatkan momen dalam sejarah di mana
orang mengatakan, “OKE, saya siap. Saya siap untuk perubahan.
Saya mengerti. Saya pikir ini adalah salah satu momen itu.”

Pernyataan tersebut mengkhianati niat serius, untuk secara signifikan


mengubah kondisi dan karakter sekolah publik melalui digitalisasi skala
besar dalam penyediaan pendidikan. Para komentator AS benar-benar ngeri
dengan gagasan Eric Schmidt dan Gates Foundation yang diberi mandat
untuk mereformasi sekolah-sekolah di New York, namun dapat dimengerti
bahwa otoritas negara dan para pemimpin kota di seluruh dunia tertarik
untuk mengikuti tindakan yang serupa. Beralih ke bentuk penyediaan
pendidikan campuran (blended learning) yang ‘dipersonalisasi’, yang
didorong oleh datakrasi, kemudian berjanji untuk menjadi langkah bagi
penghematan biaya dalam menghadapi krisis keuangan global yang akan
datang.
Akan tetapi, infrastruktur pendidikan digital yang kami pilih untuk
dibangun sebagai tanggapan atas krisis saat ini akan datang untuk
(mendefinisikan kembali) pendidikan publik selama beberapa dekade.
Seperti yang dikemukakan Woodrow Hartzog (2020) sehubungan
dengan serbuan cepat pengawasan dan pelacakan COVID, begitu setiap
infrastruktur teknologi didirikan, ada kelemahan yang tak terhindarkan
untuk kemudian mengembalikannya:
Norma ditetapkan dan dijalankan, kemudian alat menjadi tertanam
... industri dan pemerintah [jarang] memiliki tekad dan kerendahan
hati untuk bangkit kembali dan mencoba pendekatan yang berbeda.

‘Solusi digital’ yang akan didorong ke sekolah umum selama beberapa


bulan dan tahun kedepan tentu masih harus dilihat ulang. Mereka tidak
melibatkan bentuk-bentuk baru teknologi yang telah dirancang secara hati-

Neil Selwyn
77 Pedagogik & Covid-19

hati dan simpatik untuk mengatasi kesenjangan sosial dan kemuraman


ekonomi yang nyata dan diperparah oleh krisis COVID-19. Alih-alih
sebagai ‘solusi baru’, perusahaan pendidikan itu kemungkinan besar akan
sangat bergantung pada pengemasan ulang produk EdTech yang telah lama
memacu revolusi digitalnya - sistem pembelajaran yang dipersonalisasi,
analisis pembelajaran, penilaian adaptif online, pembuatan ujian online,
dan sejenisnya. Dengan demikian, COVID-19 sudah digunakan sebagai
kesempatan untuk menghidupkan kembali ide dan logika reformasi
pendidikan digital yang telah lama dikejar oleh orang-orang seperti Gates,
Schmidt, dan mereka yang mengikuti setelahnya.
Jadi, para pembuat kebijakan dan pemimpin pendidikan tampaknya
telah mengambil jalan berbahaya dengan semakin mematangkan apa yang
telah, kita para sarjana studi kritis pendidikan dan teknologi, khawatirkan
mengenai ntang pendidikan dan teknologi yang memimpin sekaligus
mendominasi pengajaran, dan pencarian data informasi siswa(i) yang
menguntungkan (tak terkecuali pembatasan kepemilikan platform,
otomatisasi kelas, pengawasan).
Kekhawatiran di sini berkisar dari pencatutan langsung, hingga
penyalahgunaan teknologi digital yang kurang jelas dengan cara yang
mengesampingkan (atau mengabaikan sepenuhnya) ketidaksetaraan
struktural. Alasan Kathryn Moeller dan Rebecca Tarlau (2020):
Selama penataan ulang dan pendistribusian kembali sumber daya
dan peluang pendidikan yang sangat penting, hasil penelitian
menunjukkan bahwa para ahli sering bekerja untuk menemukan
solusi teknis bagi ketidakadilan sistemik tanpa mengatasi penyebab
mendasar mereka. Jika kita ingin benar-benar mengubah sistem
pendidikan bangsa kita yang tidak adil, maka mengikuti para ahli
itu, dengan rekam jejak yang buruk untuk meningkatkan pendidikan
publik, bukanlah jawabannya.

Jika diambil kesimpulan logisnya, ini adalah perubahan yang secara


fundamental akan mengubah kondisi dan karakteristik pendidikan publik
- mempercepat agenda, secara implisit, reformasi perusahaan pendidikan
yang telah mendukung penuh agenda ‘inovasi’ EdTech selama lebih dari
lima belas tahun terakhir. Memang, aktor korporat dan filantropis yang
sekarang dipanggil dan terlibat dalam reorganisasi sekolah pasca-pandemi
memiliki ambisi lama untuk ‘mentransformasi’ sistem pendidikan publik
ke arah digital. Karena itu, para sarjana pendidikan kritis harus sangat
waspada terhadap cara-cara penanggulangan COVID-19, yang sedang
disalahgunakan untuk memaksa perubahan radikal dalam pendidikan, oleh
Pendidikan Digital 78
Setelah Covid-19

mereka yang berdiri untuk mengambil keuntungan langsung darinya.

Membangun Agenda Alternatif dan Melawan Narasi Dominan


Tentu saja kewaspadaan ilmiah dan kesadaran kritis saja tidak cukup
untuk membatalkan konsep digital dari mandat COVID-19 untuk sekolah
yang sudah mapan, karena ini membutuhkan keberanian yang menentang.
Mungkin peran paling bermanfaat yang bisa dilakukan oleh para peneliti
akademis dalam mendukung tawaran di atas semacam itu adalah dengan
membangun counter narasi yang kuat dengan serangkaian diskusi alternatif.
Mari kita bahas beberapa hal di mana upaya seperti itu bisa mengubah
diskursus yang dominan tadi.
Ada kasus yang kuat dan dapat dinarasikan bahwa COVID-19 telah
menunjukan banyak hal untuk mendiskreditkan gagasan ‘perbaikan
teknologi’ - hal ini dengan jelas mengungkap ilusi kelompok Silicon Valley
tentang ‘inovasi’ digital. Saat saya menulis, ada banyak aplikasi pelacakan
virus korona yang mengalami kegagalan dibandingkan dengan teknik
penelusuran manual. Di tempat lain, kami tiba-tiba melihat keterbatasan
sistem AI yang menemukan diri mereka kekurangan data yang sesuai untuk
beradaptasi dengan waktu yang luar biasa ini.
Singkatnya, telah jelas selama bulan-bulan awal pandemi, bahwa tidak
ada solusi instan berbasis App yang bisa digunakan pada masa krisis ini.
Malah, harapan kami kembali tertuju pada cara para ilmuwan yang dilabeli
‘lambat’ dan metodis itu, yang bekerja untuk mengembangkan vaksin.
Dengan demikian, pandemi ini telah membuktikan solusi-isme teknologi
digital sebagai objek pelajaran, ketika ia terlibat ke dalam penangulangan
kesehatan masyarakat. Kenyataan di atas berjalan paralel dengan domain
pendidikan publik yang perlu ditekankan berulang kali dan secara paksa.
Memang, kekuatan yang digerakkan oleh COVID-19 yang telah
memaksa para siswa(i) belajar di rumah dapat dibingkai ulang sebagai
momen di mana sebagian besar masyarakat sekarang terbiasa dengan
keterbatasan sosial karena penggunaan teknologi di rumah. Kita sekarang
dapat bicara dengan para kepala sekolah dan para pembuat kebijakan
tentang ‘kesenjangan digital’ di dalam masyarakat, dan membuat
kesepakatan bersama. (daripada hanya sekedar merespon dengan menolak
atau meremehkan ketidaksetaraan dengan menyebut bahwa “Hei, kita
semua online kok sekarang”) Demikian pula, seseorang dapat bicara dengan
orang tua dan guru tentang kelemahan pembelajaran berbasis platform, dan
menunjukan pengalaman orang-orang yang sama baru-baru ini.

Neil Selwyn
79 Pedagogik & Covid-19

Dalam hal ini, akibat langsung dari pindahnya sementara sekolah ke


rumah menunjukan kepada kita keterlibatan publik secara kritis tentang
percakapan Edtech yang sulit itu. Momen ini perlu dimanfaatkan sebelum
kenangan tentang pendidikan jarak jauh 2020 menghilang. Sebaliknya, bisa
juga dikatakan bahwa respon pendidikan resmi terhadap pandemi, melihat
beberapa preseden, mungkin memaksa kita untuk ikut berdebat dan hal ini
layak untuk dilakukan atau diperjuangkan. Sebagai contoh, misalnya, sangat
menggembirakan melihat pemerintah tiba-tiba mensubsidi laptop dan biaya
paket data untuk keluarga yang kurang beruntung yang tidak memiliki
akses. Hal lain juga dilakukan oleh negara-negara seperti Australia yang
secara tiba-tiba menunda ujian nasional (NAPLAN)1 mereka untuk para
siswa(i). Kebijakan seperti ini menjadi preseden baik dan menjadi contoh
pendekatan dan agenda kebijakan alternatif di masa depan. Daripada
berlaku seperti sapi yang dicucuk hidungnya, dengan mengikuti segala
saran dan masukan dari konsultan dan prusahan-prusahaan pendidikan
komersial lainnya. Perlu ada preseden baik lainya, yang kuat dan mungkin
dibuat untuk kelanjutan dari logika kerja ‘baru’ lainnya, yaitu mengabdikan
komitmen untuk terus berinvestasi dalam jaring pengaman sosial dan
membangun infrastruktur pendidikan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai
kepedulian serta dukungan kolektif, bukannya asesmen dan pengukuran
(measurement) tanpa henti.

Kesimpulan
Terlepas dari bagaimana pandemi itu terungkap, penting bahwa
diskusi semacam itu dimulai untuk membangun garis-garis argumen
baru dan serangkaian instruksi baru. Di atas semua itu, penting untuk
mendiversifikasi suara-suara yang dipanggil untuk mengatur agenda-agenda
ini. Seperti yang ditulis Bianca Wylie (2020) setelah bencana Toronto
‘SideWalk Labs’: ‘pengadaan teknologi dengan demikian merupakan salah
satu kerentanan demokrasi terbesar yang ada saat ini.’ Di atas semua itu,
penting bahwa kita bekerja untuk memastikan bahwa percakapan tentang
pendidikan (pasca) pandemi tidak dibingkai semata-mata tentang masalah
teknologi dan/atau dipimpin semata-mata oleh kepentingan teknologi.
Penting untuk mendorong counter narasi bahwa membayangkan kembali
pendidikan publik bukanlah ‘masalah teknologi’. Meskipun, percakapan
ini harus diputar dengan kuat ke inti masalah - yaitu pendidikan sebagai
masalah sosial.
Singkatnya, para sarjana pendidikan kritis harus memiliki peran yang
jelas, yang bisa dikerjakan untuk membantu upaya-upaya diskursus yang
Pendidikan Digital 80
Setelah Covid-19

kemudian terjadi seputar pendidikan dan teknologi digital secara radikal


dan berbeda dari apa yang telah kampanyekan oleh perusahaan-perusahaan
itu hingga saat ini. Dalam hal ini, kita perlu memastikan bahwa diskursus
ini dipimpin oleh kepentingan pendidikan dan masyarakat - berbeda dengan
industri TI dan aktor filantropi yang saat ini dipanggil (dalam kata-kata
Gubernur Cuomo) sebagai ‘pakar’ untuk ‘mengembangkan cetak biru guna
menata kembali pendidikan dalam normal baru.
Para sarjana pendidikan kritis telah mengangkat dan mengeksplorasi
banyak jalur gagasan dan pemikiran selama 30 tahun terakhir yang dapat
memberi masukan pada saat ketidakpastian saat ini. Kita seharusnya tidak
melakukan kesalahan dengan hanya berdiri di garis luar pertarungan.

-000-

Catatan kaki:
1
.adalah kepanjangan dari; National Assessment Program – Literacy and Numeracy. Sebagai
program ujian nasional di Australia

Referensi
Cuomo,A. (2020) cited in: https://thehill.com/changing-america/resilience/smart-
cities/496219-new-york-will-work-with-gates-foundation-to

Hartzog, W. (2020) Coronavirus tracing apps are coming. Los Angeles Times,
14th May,

Hess, F. (2020). No, COVID-19 is not a swell chance to market your Ed-Tech
‘solution’. Forbes, 13 March,

Moeller, K. and Tarlau, R. (2020) Gates Foundation’s Tactics to Remake Public


Education During Pandemic Are Undemocratic. The Chronicle of Philanthropy,
May 18th,

Wylie, B. (2020). Toronto, Google’s attempt to privatize government fails—for


now. Boston Review 13th May

Neil Selwyn
81 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Dok. Ayi Hambali


Ayi Hambali
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 82
Jacques Rancière

Pendidikan Pasca COVID-19


Dari Sudut Pandang
Jacques Rancière
Ayi Hambali
Jakarta, 1 Juni 2020

Pendidikan pasca COVID-19 tidak hanya


bicara tentang digitalisasi pendidikan
semata. Lebih jauh lagi, pandemi ini
memaksa perubahan dalam modus
pendidikan hingga interaksi antar individu
yang terjadi dalam proses pembelajaran
tersebut yang juga berubah dan berkembang
sejalan dengan perubahan konfigurasi
masyarakatnya.

Ayi Hambali
83 Pedagogik & Covid-19

S eperti yang sudah teman-teman baca dari judul di atas, pada tulisan
ini saya hendak mengajak teman-teman pembaca berandai-andai
tentang keadaan pendidikan kita pasca COVID-19 sembari berkenalan
dengan seorang tokoh filsafat yang pikirannya mungkin bisa memberikan
jalan untuk menjelaskan, sekaligus mengilhami praktik pendidikan
yang bisa kelak kita lakukan. Meski pada kenyataanya, pandemi korona
belum berakhir dan tidak ada satu pun dari kita yang dapat memastikan
apakah wabah global ini benar-benar menemukan akhirnya atau justru
menjadi normal baru dalam kehidupan kita. Apa yang akan terjadi dengan
pendidikan jika pandemi ini benar-benar berakhir dan apa juga yang akan
terjadi jika justru pandemi ini memaksa kita beradaptasi dengan kondisi
baru yang setidaknya sudah tergambarkan oleh keadaan kita saat ini?
Menyaksikan sekaligus menjalani secara langsung kegiatan pendidikan
saat pandemi seperti ini membuat saya teringat dengan sebuah buku
yang terakhir kali saya baca saat masih berkuliah, pada 2017. Buku
tersebut berjudul “The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Intellectual
Emancipation” (1991) karya Jacques Ranciere. Sebuah novel filsafat yang
dalam hemat saya bisa sangat relevan untuk kita bahas dalam konteks
keadaan pendidikan di Indonesia dan dunia saat ini.
Novel itu bercerita tentang seorang guru bernama Joseph Jacotot yang
diminta mengajarkan siswa-siswi asal Belgia belajar bahasa Prancis, tapi
karena Jacotot tidak bisa berbahasa Flemish akhirnya Jacotot tidak bisa
mengajarkan apapun ke murid-murid tersebut. Dari sinilah istilah “Ignorant
Schoolmaster” bermula, diambil dari sejarah tentang guru yang tidak tahu/
tidak mengajarkan apa-apa ke siswa(i)nya. Namun menariknya, di akhir
cerita siswa-siswi tersebut ternyata bisa belajar dan menguasai bahasa
Prancis tersebut tanpa bantuan penjelasan guru (Jacotot) sedikit pun.1
Singkatnya, bagi saya inti cerita Jacotot akan berkaitan dengan
kondisi hulu (sistem) dan hilir (parktek) pendidikan kita saat ini dalam
beberapa hal. Pertama adalah adanya jarak antara guru, siswa(i) dan materi
pembelajaran yang tidak sengaja terbentuk oleh keadaan. Pada kasus
cerita Jacotot, jarak terjadi karena keterbatasan bahasa yang dimilikinya
sehingga pembelajaran terganggu dan menjadi tidak biasa. Sementara itu,
saat ini, jarak fisiklah yang menghambat sehingga jarak fisik menjadikan
guru tidak bisa mengontrol sepenuhnya pembelajaran seperti umumnya
terjadi di kelas. Kedua, bahwa dua bentuk kendala pendidikan tersebut
sama-sama berimplikasi dalam meginterupsi suatu tatanan kapitalisme
pendidikan serta hegemoni sistem-sistem yang telah melekat di dalamnya.
Jelasnya, pendidikan pasca COVID-19 tidak hanya akan berbicara tentang
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 84
Jacques Rancière

Creator: B. A. Nicolet

Ayi Hambali
85 Pedagogik & Covid-19

digitalisasi pendidikan semata, di mana sekolah mengambil alih teknologi


sebagai sarana belajar utama menggantikan ruang kelas, papan tulis dan
metode lapuk guru. Lebih jauh lagi, pandemi ini memaksa perubahan dalam
modus pendidikan hingga interaksi antar individu yang terjadi dalam proses
pembelajaran tersebut yang juga berubah dan berkembang sejalan dengan
perubahan konfigurasi masyarakatnya.

Situasi COVID-19 Saat Ini


Sebelum masuk ke ide utama, saya ingin memulai tulisan ini dengan
informasi terkini kasus COVID-19 di Korea Selatan yang sempat dipuji-
puji karena dapat dengan cepat menekan penyebaran virus korona tanpa
menerapkan penguncian wilayah atau lockdown. Melalui tes massif dan
penerapan jarak sosial ketat Korsel berhasil menanggulangi pandemi
hingga sempat mencatat zero case dari penularan domestik. Namun setelah
sempat melonggarkan pembatasan hingga membuka kembali lebih dari
800 sekolah, pemerintah Korsel terpaksa harus memberlakukan kembali
pembatasan ketat dan menutup kembali sekolah-sekolah tersebut setelah
mendapatkan laporan lonjakan kasus baru virus corona menjadi 11.344 dan
merupakan peningkatan yang terbesar sejak mencatat zero case COVID-19
dari penularan domestik.2
Sementara di Indonesia sendiri, informasi terkini saat saya menulis
tulisan ini jumlah positif corona sudah menembus angka 25 ribu pasien
yang tersebar di 34 provinsi. Jumlah keseluruhan pasien corona yang
telah meninggal dunia sebanyak 1.500 jiwa dan yang sembuh mencapai
6.400 orang.3 Angka-angka ini menunjukkan pengaruhnya pada dunia
pendidikan. Berdasarkan data UNESCO diperkirakan sekitar 1,2 miliar
atau 68 persen peserta didik dari semua jenjang, mulai tingkat dasar (SD)
sampai menengah (SMA) di 150 negara terkena dampak pandemi virus
corona.4 Sekitar 45 juta peserta didik di Indonesia kini belajar di bawah
ancaman pandemi COVID-19. Disambut dengan akan adanya kebijakan
baru di bawah jargon new normal untuk membuka kembali sekolah-sekolah
pada tahun ajaran baru dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Jika berkaca dengan kejadian di Korea Selatan entah kebijakan apa yang
pada akhirnya akan diambil oleh Indonesia nanti, tapi yang jelas ini akan
sangat menentukan pendidikan kita kedepannya.

Wabah yang Menginterupsi Hegemoni


Pada satu sisi saya berpikir bahwa wabah virus ini justru memang
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 86
Jacques Rancière

dibutuhkan untuk hadir menginterupsi segala macam kekacauan yang telah


terjadi oleh ulah manusia. Sejak pandemi COVID-19 merebak, disusul
dengan penerapan karantina wilayah di beberapa negara berdampak positif
tehadap kondisi Bumi menjadi lebih baik dan sehat. National Aeronautics
and Space Administration (NASA) mencatat telah terjadi penurunan polusi
udara yang drastis di Tiongkok dan Italia, bahkan menurut laporan terbaru,
emisi karbon dunia mengalami penurunan terbesar sejak Perang Dunia
II. Selain itu juga dampak positif corona telah membuat hampir semua
masyarakat melakukan budaya hidup bersih dan menjalankan pola hidup
sehat.
Aktivitas mencuci tangan menjadi lebih sering dilakukan dari biasanya,
mengkonsumsi makanan-makanan sehat dan menyediakan waktu
untuk berolahraga dalam rangka menjaga daya tahan tubuh. Tapi bukan
hanya pada kesehatan dan lingkungan hidup saja kita dapat menemukan
kemungkinan baik dari pandemi ini untuk kehidupan manusia, kita juga
bisa melihat kemungkinan baik itu dalam bidang pendidikan.
Sebelumnya, untuk membangun logika dari persepktif ini, saya ingin
mengajak teman-teman berkenalan dulu dengan pemikiran pendidikan
Jacques Ranciere. Dalam bidang pendidikan, Jacques Ranciere pernah
mengkritik praktek pendidikan yang menurutnya tidak memanusiakan,
karena tidak emansipatif. Dia melihat ada kontradiksi besar dalam jantung
pedagogik modern, utamanya pada hegemoni dari logika penjelasan
(explanation), yaitu sebuah logika yang menganggap bahwa praktek-praktek
pembelajaran pada akhirnya harus bertumpu pada sebuah penjelasan.
Baginya, hegemoni dari logika inilah sebenarnya penyebab utama dari
ketidaksetaraan, ketimpangan dan ketidakmanusiawian kehidupan. Hal
ini karena dalam logika penjelasan (explanation) berlangsung dengan
membagi manusia menjadi dua; orang yang tidak tahu/intelejensi inferior
dan orang yang mampu secara intelektual/intelejensi superior.5
Dari logika ini sudah sangat jelas, menurut Ranciere, pada akhirnya
pendidikan tidak menjadi pendidikan karena yang terjadi dalam pendidikan
adalah cara kerja kekuasaan. Dia melihat yang terjadi dalam pembelajaran
adalah praktik hegemoni sebuah wawasan yang bisa mejadi dogmatis
ditentukan oleh kekuasaan guru dengan media penjelasannya (explanation).6
Mari kita refleksikan ide ini dengan kondisi pendidikan kita saat sebelum
terjadinya COVID-19. Berkaca pada pendidikan Indonesia sendiri, praktik-
praktik pembelajaran konservatif masih mendominasi. Guru mengajar masih
lebih banyak memberikan penjelasan materi dibandingkan memberikan
kesempatan siswa(i) mengeksplorasi materi ajarnya. Kesadaran guru untuk

Ayi Hambali
87 Pedagogik & Covid-19

lebih kreatif dalam penggunaan teknologi pembelajaran juga masih sangat


minim. Hal ini dapat kita saksikan, terutama ketika pandemi ini muncul.
Masih banyak guru-guru yang gagap teknologi, belum siap dengan metode
pembelajaran jarak jauh, karena tidak terbiasa menggunakan media-media
seperti ini. Padahal yang seperti ini sudah dari jauh-jauh hari berkembang
dalam sistem pembelajaran di negara tetangga Singapura.
Terlepas dari masalah infrastruktur pendidikan di Indonesia yang belum
memadai dan merata, kompetensi dan daya keratif guru dalam mengolah
kegiatan pembelajaran juga masih sangat rendah. Suka tidak suka, data
hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) DKI Jakarta tahun 2020 misalnya,
berada diangka 54 (skala 0-100) jauh dibawah nilai standar 75. Penilaian
kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum
mengembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya kurang baik
dan membosankan.7 Ditambah dengan praktek pembelajaran di Indonesia
yang masih didominasi oleh penjelasan (explanation) konsekuensinya
pengetahuan yang diterima oleh peserta didik menjadi sangat dogmatis.
Menjadikan pengetahuan suatu kebenaran mutlak, bukan objek yang
diuji kebenarannya, dan pada akhirnya mematikan daya eksplorasi dan
kreativitas peserta didik.
Hadirnya COVID-19 di tengah-tengah kita telah menginterupsi praktek
pembelajaran seperti ini. Sama konteksnya seperti kisah Jacotot yang
sengaja Ranciere munculkan sebagai antitesis dari praktek penjelasan
yang dia anggap melemahkan dan membodohkan (stutltifying).8 Pada
masa pandemi ini, para guru secara massif mulai menyentuh teknologi
pembelajaran, berpikir keras membuat dan mengolah kegiatan pembelajaran
yang efektif. Lebih banyak kegiatan belajar mandiri siswa(i) mengksplorasi
materi pembelajarannya daripada penjelasan-penjelasan guru (tentu dibantu
dengan instruksi guru yang sesuai), sehingga siswa(i) dapat berpikir sendiri
tentang apa yang dia pelajari dan membangun rasa memiliki atas proses
pembelajaran.
Selain mengkritik praktek pendidikan, Ranciere juga mengkritik sistem
yang menjadi basis dasar berlangsungnya praktek pendidikan seperti ini.
Kapitalisme dan neoliberalisme mendapat sorotan khusus tidak hanya
oleh Paulo Freire yang terkenal memandang kapitalisme sebagai agen
utama pabrikasi sekolah dan metode belajar cara bank (the banking model
of eduction), tapi juga oleh Ranciere yang melihatnya sebagai bagian
utama terbentuknya hegemoni sistem penjelasan (explicative order) yang
digunakan oleh guru-guru di sekolah-sekolah. Sekolah yang awalnya
bermakna waktu luang untuk mempelajari keahlian-keahlian tertentu,
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 88
Jacques Rancière

malah menjelma menjadi pabrik besar yang memproduksi manusia-


manusia terampil untuk memenuhi kebutuhan industri yang menurut Adam
Smith sebagai sekrup yang menggerakan roda perekonomian.
Dengan menghadirkan Jacotot sebagai bentuk kontras dari praktek
pendidikan modern, Ranciere meginterupsi suatu tatanan kapitalisme
pendidikan beserta hegemoni-hegemoni sistem yang telah melekat
di dalamnya. Dari kisah Jacotot, seorang guru yang tidak melakukan
penjelasan (explanation) dalam pengajarannya, pertama tentunya akan
timbul pertanyaan dari kita salah satunya adalah masih bisakah yang seperti
ini disebut pembelajaran? Mengingat Jacotot hampir tidak melakukan
apapun selain hanya memberikan siswa(i)nya buku “Telemaque” yang
bilingual (Prancis-Belanda) untuk mereka pelajari dan eksplorasi secara
mandiri.9 Termasuk oleh sekolah di mana tempat dia mengajar, cara
mengajar Jacotot ini sungguh sulit diterima karena tidak efektif, tidak
menjamin, malah justru menghambat usaha sekolah untuk menghasilkan
manusia-manusia terampil untuk keberlangsungan kapitalisme.
Begitu pula dengan kehadiran COVID-19 saat ini telah membuat
sistem kapitalisme dan neoliberalisasi pendidikan sedikit terhambat
dalam menciptakan budak-budak korporat baru yang terampil karena
kegiatan sekolah yang terhenti. Selain itu, kegiatan pembelajaran jarak
jauh membuat guru tidak bisa mengontrol sepenuhnya pembelajaran
seperti umumnya terjadi di kelas. Bahkan, tidak hanya menginterupsi
hegemoni-hegemoni yang merantai pendidikan tetapi juga mehapuskannya
dari bagian pendidikan itu sendiri. Contoh riilnya kita bisa melihat Ujian
Nasional sebagai produk ketidakadilan pendidikan di Indonesia yang kini
telah dihapuskan, telepas dari kenyataan bahwa wacana penghapusan UN
sudah ada dalam pikiran Mas Mentri bahkan sebelum COVID-19 sampai
ke Indonesia. Tapi tidak ada yang bisa menyangka penghapusan UN akan
lebih cepat dari yang direncanakan yang sebelumnnya dikonsepkan dengan
skema Asesmen Kompetensi Minimum yang berpedoman pada metode
asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) dan
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).

Pendidikan Pasca COVID-19


Sebelumnya, saya ingin kembali menegaskan bahwa ini adalah sebuah
tinjauan perspektif tentang pendidikan. Pilihan yang mungkin terjadi
melalui prespektif filsafat Ranciere. Adapun apa yang terjadi pada masa
depan tergantung kepada usaha apa yang kita lakukan saat ini. Intinya
adalah bahwa dalam pandangan ini, masa pandemi merupakan momentum

Ayi Hambali
89 Pedagogik & Covid-19

berharga untuk melakukan perubahan yang positif terhadap dunia


pendidikan. Namun begitu sama halnya dengan apa yang telah kita pahami
bahwa konsep, pemikiran, diskusi dan teori-teori pendidikan memang sudah
sangat progresif, seiring dengan tuntutan zaman yang berkembang jauh
meninggalkan praktik empirisnya di masyarakat. Pada akhirnya memang
dorongan untuk merealisasikannya masih sering terseret-seret dengan
keadaan dan berbagai macam kendala yang ada di masyarakat, bahwa ide
dan praktik tidak bisa selalu beriringan.
Kembali lagi pada konteks berandai-andai tentang pendidikan pasca
pandemi COVID-19 berdasarkan perspektif filsafat Ranciere. Kita ingat,
ketika virus ini sudah sangat mengkhawatirkan, maka munculah kebijakan
tentang social/physical distancing yang membuat masing-masing dari kita
berjarak satu sama lain, dalam waktu yang belum bisa ditentukan. Kita akan
saling berhati-hati dengan orang-orang disekitar kita. Keadaan ini sudah
pasti berdampak terhadap berbagai segi kehidupan baik sosial, ekonomi dan
juga pendidikan, sehingga membentuk konfigurasi baru dalam berinteraksi
yang disesuaikan dengan keadaan untuk memastikan kegiatannya masih
tetap berjalan dengan baik.
Sebagaimana menurut Syaifudin dalam wawancaranya dengan media
Kompas. Ia mengatakan bahwa media sosial yang awalnya dianggap
sebagai sebagai penyebab utama sikap antisosial justru saat ini menjadi
pusat utama interaksi.10 Menunjukan bahwa definisi interaksi sosial secara
sosiologis-pun kini mulai mengalami pergeseran. Pada saat yang sama hal
ini telah mengonfimasi bahwa kedepannya interaksi antarguru-murid dalam
pembelajaran akan semakin beragam caranya. Sesuai dengan apa yang
dipikirkan Ranciere tentang berakhirnya mitos pedagogik (pedagogical
myth) dari sistem penjelasan (explicative order) yang sudah tidak relevan
lagi digunakan dalam dunia pendidikan.11 Ditambah lagi bahwa pemanfaatan
teknologi untuk pembelajaran akan semakin masif dalam dunia pendidikan.
Bahwa digitalisasi akan menjadi syarat baru pendidikan pasca pandemi.
Oleh karena itu program-program pengembangan, pelatihan dan penilaian
pedagogik guru akan sangat mengutamakan teknologi secara lebih serius
sebagai komponen utamanya dalam menghadapi tantangan-tantangan pada
masa yang akan datang.
Dengan begitu, pada perkembangan berikutnya, pendidikan pasca
COVID-19 adalah cita-cita stundent centered learning. Yakni, guru
hanya akan menjadi fasilitator dalam pembelajaran. Dengan hadirnya
berbagai macam opsi pembelajaran yang bisa dilakukan membuat guru
bisa membebaskan siswa(i) mengeksplor materi ajar dengan lebih leluasa.
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 90
Jacques Rancière

Hingga pada puncaknya murid dapat membangun rasa memiliki atas


proses belajarnya sendiri karena akan banyak mengalami pembelajaran
yang bersifat personal setelah melepas ketergantungannya terhadap guru.
Ditambah dengan semakin terbangunnya daya kritis peserta didik setelah
kita mengalami pandemi ini. Salah satunya adalah kesadaran untuk
mengembangkan rasionalitas berdampingan dengan kesadaran ekologis.
Kesadaran yang sebenarnya sudah banyak digaungkan tepat pada masa-
masa sebelum pandemi corona terjadi, namun kali ini akan menjadi lebih
besar lagi karena pengalaman bersama sebagai generasi yang tumbuh dalam
pengalaman pandemi.
Terakhir mengenai pendidikan pasca COVID-19 adalah bahwa orientasi
pendidikan akan mulai memikirkan hasrat individu dan bukan lagi dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pasar. Mengutip ahli pendidikan Harvard,
Paul Reville mengatakan bahwa penghentian industri selama pandemi
menjadi simbol untuk mengakhiri model dan sistem pendidikan ala pabrikan
yang selama ini berlaku.12 Di mana pandemi telah memulainya dengan
menghadirkan kenyataan bahwa pembelajaran sudah tidak bisa lagi hanya
dilakukan di ruag-ruang kelas dan dengan gema penjelasan guru. Sekolah
yang selama ini menjadi sarana reproduksi pekerja untuk keberlangsungan
kapitalisme bisa berubah ketika pendidikan sudah menjadi sangat fleksibel
dan dengan modenya yang beragam. Saat itulah peserta didik akan menjadi
subyek utama yang mampu menentukan apa yang akan ia pelajari dan cara
yang akan ditempuh untuk menguasai wawasan tersebut.
Konsekuensinya, output pendidikan seperti ini pun akan sangat
beragam, tidak lagi mengisi slot-slot pekerjaan yang diperebutkan selama
ini dalam dunia industri tapi menciptakan mode pekerjaan sendiri yang
selama ini belum ada dan sama sekali baru. Pada akhirnya, hal yang tidak
bisa dipungkiri oleh pendidikan pascaCOVID-19 adalah kesadaran bersama
akan pentingnya merevolusi pendidikan seiring dengan tuntutan kebutuhan
penggunaan teknologi dalam menatap revolusi industri 4.0 dan kebutuhan
pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk menggantikan perekonomian
berbasis sumber daya alam yang selama ini terbukti bermasalah.

-000-

Ayi Hambali
91 Pedagogik & Covid-19

Catatan kaki:
1
Untuk lebih lengkapnya silahkan dibaca Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five
Lesson in Intellectual Emancipation (1991)
2
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52845510 (Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
3
https://tirto.id/update-corona-29-mei-2020-di-indonesia-data-pandemi-dunia-terkini-fDD5
(Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
4
https://en.unesco.org/covid19/educationresponse (Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
5
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7
6
Charles Bingham & Gert Biesta, Jacques Ranciere: Education, Truth, Emancipaton (New
York: Continuum, 2010), hal. 26.
7
Satriwan Salim “Hasil UKG Jakarta Sangat Rendah: Sebuah Tijauan Kritis Reflektif”
https://klikanggaran.com/opini/hasil-uji-kompetensi-guru-jakarta-sangat-rendah-sebuah-tin-
jauan-kritis-reflektif.html (Diakses Pada 31 Mei 2020, Pukul 12.00)
8
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7-8
9
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 1
10
Larasati Ariadne Anwar, “Gubernur DKI Jakarta: Senin, 1 Juni, Penentuan PSBB
DKI Jakarta,” https://bebas.kompas.id/baca/metro/2020/05/31/gubernur-dki-jakar-
ta-senin-1-juni-evaluasi-penentuan-psbb-dki-jakarta/ (Diakses pada 31 Mei 2020, pukul
10.00)
11
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7
12
Robertus Robet, “Pendidikan Kita Setelah Pandemi”, https://majalah.tempo.co/read/lapo-
ran-khusus/160332/apa-yang-terjadi-dengan-pendidikan-kita-setelah-pandemi-corona?utm_
source=facebook&amp%3Butm_medium=heru&amp%3Butm_campaign=heru
(Diakses pada 30 Mei 2020, pukul 12.02)

Referensi:

Ranciere, Jacques. 1991. The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual


Emancipation tj. Kristin Ross. California: Stanford University Press.

Bingham, Charles & Gert Biesta. 2010. Jacques Ranciere: Education, Truth,
Emancipaton. New York: Continuum.
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 92
Jacques Rancière

Jacques Rancière @ Dennis Detoye

Ayi Hambali
93 Pedagogik & Covid-19
94

Refleksi
95 Pedagogik & Covid-19

Kahfi

Sumber: Dok. Kahfi


Tapal Batas
“Tuhan” 96
Digital

Tapal Batas
“Tuhan”
Digital
Kahfi
Depok, 1 Juni 2020

Ibarat gelombang laut, pandemi


menyurutkan air hingga ke tengah-
tengah, memperlihatkan karang
berduri di hamparan pasir. Sialnya,
rakyat yang harus hengkang ke
samudera mencari selamat hanya
mengusung perahu kayu, rusak
terkoyak karang dan terancam
karam sebelum berlayar.

Kahfi
97 Pedagogik & Covid-19

I nilah nasib dunia saat ini di tengah wabah Covid-19 menerpa berbagai
negara. Segala tatanan normal yang seakan ditutupi permukaan air laut,
surut dan menyisakan kecadasan karang. Pandemi menguji otot pemerintah
dan bungkusan organisme sosial di tubuh suatu negara. Pandemi
menunjukkan balutan tubuh itu sebenarnya bobrok.
Banyak kerusakkan terjadi di sana-sini. Kelemahan sistem organisasi
pemerintahan, jaring pengaman sosial, keandalan data kependudukkan,
serta sirkus anggaran negara ternyata adalah realitas di balik hingar bingar
sandiwara politik maupun pernyataan prestasi ekonomi.
Pandemi mengancam keselamatan masyarakat, dan lebih mengorbankan
masyarakat tak berpunya. Bila golongan kaya masih memiliki kapal-kapal
motor besi melindas karang terjal menuju tengah lautan, rakyat biasa
hanya bermodal perahu papan yang lambungnya cepat robek selagi hendak
menyelamatkan diri.
Dalam realitas tersebut, pandemi ikut menguji cara-cara pemerintah
mengelola negara maupun di balik layar maupun isi kepala para ahli
yang berkontribusi merumuskan kebijakan. Di kejauhan mereka melihat
bibir pantai yang rata dengan gelombang tanpa satupun karang, sehingga
kebijakan diformulasikan seragam tanpa peduli tantangan hidup arus
bawah.
Seperti antisipasi penyebaran virus lebih luas, pemerintah beramai-
ramai (Pusat dan Daerah) menggulirkan kebijakan pembatasan interaksi
fisik/sosial, menganjurkan hidup bersih, mengonsumsi makanan bergizi.
Transportasi massal dibatasi. Pusat-pusat perkantoran ditutup. Sekolah-
sekolah ikut diliburkan. Kampanye bekerja dari rumah (WFH/Work From
Home) hingga sistem pendidikan jarak jauh (PJJ) diharapkan bisa memutus
rantai penyebaran virus.
Asumsinya, kini masyarakat telah mengakrabi dunia digital berkat
kemajuan teknologi informasi. Berbagai aktivitas bisa dilakukan tanpa
harus berdatangan ke lokasi kantor maupun sekolah, sehingga kerumunan
mampu dihindarkan.
Untuk mereka yang terimbas, termasuk nasib pekerja harian, pedagang
eceran, penjaja kuliner kaki lima, disiapkan kucuran bantuan. Sedangkan
para siswa(i) dibekali pulsa dan data agar bisa mengikuti PJJ.
Kenyataan umum yang berlangsung di tengah masyarakat berkebalikkan
dengan itu semua. Para pekerja harian terutama di kota-kota urban tetap
berkeliaran karena nafkah keluarga tergantung di pundak mereka. Kasus
kucuran bantuan yang tak sesuai kondisi masyarakat seiring kekacauan data
Tapal Batas
“Tuhan” 98
Digital

penduduk serta budaya korupsi instansi, menambah deretan kekacauan.


Saat bersamaan kerumunan anak-anak sekolah berpindah ke gang-
gang kampung, lorong-lorong pemukiman, bahkan beberapa kali terbetik
kabar PJJ yang memaksa para pelajar muda berdiam di rumah malah
memicu tawuran massal. Kasus lainnya, PJJ ternyata tak bisa memenuhi
unsur keadilan sebab tidak meratanya akses listrik dan kemampuan akses
teknologi informasi di seluruh wilayah.
Bila merujuk Yuval Noah Harari dalam Sapiens: Riwayat Singkat
Umat Manusia (2017) segala kemajuan spesies manusia hari ini berkat
kemampuannya melahirkan fiksi yang berguna dalam kerja sama, organisasi
massal, hingga proyeksi masa depan. Meminjam istilah itu, hari ini fiksi
umat manusia paling mutakhir adalah digitalisasi yang didengungkan
hampir seluruh pemerintahan di dunia, diakses masyarakat dari Sabang
sampai Merauke, dijadikan landasan agenda negara selanjutnya.
Fiksi ini hanya ditangkap kelompok masyarakat yang siap. Lagi-
lagi mereka adalah pemain pasar dengan produk seperti kursus-kursus
belajar via daring, transportasi daring, belanja daring, hingga pelatihan
pekerja daring. Selebihnya, agenda kolektif terkait digitalisasi tak berjalan,
setidaknya tak ada cetusan apapun terkait pembenahan data kependudukan
yang berguna demi distribusi bantuan selama pandemi.
Pandemi membingkai wajah kolektif dalam skala nasional hari ini.
Pandemi selayaknya membawa keharusan fiksi baru yang berangkat dari
segala centang perenang persoalan kolektif yang masih berlangsung saat
ini.
Fiksi yang bisa menyapu segala kepentingan masyarakat, dilahirkan
dan dikembangkan demi kehidupan bersama. Fiksi yang ditanamkan di
banyak institusi pendidikan sehingga secara kolektif masyarakat bisa
bergotong royong mewujudkan, bersama mengawasi perjalanan fiksi di
masa mendatang.
Dalam upaya itulah dibutuhkan suatu ibadah sipil, sebagaimana
diistilahkan Pakar Pendidikan Amerika, Neil Postman dalam buku
“Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah” (2019). Ibadah
sipil yang memiliki “tuhan”, yang dijewantahkan dalam narasi di sekolah-
sekolah publik.

Produk Sekolah
Seandainya produk sekolah tak melenceng, mungkin masyarakat
menikmati kegotong-royongan mulai di tengah-tengah mereka, juga

Kahfi
99 Pedagogik & Covid-19

kepedulian elit pemerintahan. Para pelajar muda ataupun mahasiswa tak


sekadar menjadi beban sosial di tengah pandemi, yang harus diongkosi
selama program PJJ, hingga memberikan subsidi biaya studi mereka tanpa
kontribusi setimpal.
Kehadiran mereka di tengah pandemi selayaknya malah menguatkan.
Mereka bergerak bersama-sama mengkampanyekan berbagai cara memutus
mata rantai penyebaran virus. Secara sukarela menawarkan bantuan tenaga
dan waktu untuk distribusi bantuan, relawan untuk advokasi medis, hingga
menggarap banyak lahan kosong untuk stok pangan.
Bayangan pemikiran ini pun menghantui Postman. Dalam buku
“Matinya Pendidikan” yang sarat kritik terhadap institusi pendidikan yang
disederhanakan dengan kehadiran sekolah di AS, Postman menyajikan
imajinasi tersebut dengan latarbelakang kerusuhan sosial di New York.
Tidak adanya ruang ekspresi, serta kematian narasi di dalam sekolah
yang selayaknya menuhankan tujuan kolektif harmonis, membuat para
pelajar dalam kondisi darurat sekalipun seakan tak berguna. Pada akhirnya,
sindiran Postman itu bermakna bahwa tak layak para produk “dalam
proses” pendidikan/sekolah itu dipersalahkan atas semua ketiadaan inisiatif
dan empati sosial.
Kritik itu menghunjam hulu soal arti sebenarnya penyelenggaraan
pendidikan modern saat sekarang. Beban pendidikan yang dipikul sekolah
terlampau berat, semakin kelimpungan para guru menghadapi sorot mata
masyarakat yang kerap mempertanyakan arti penting sekolah di tengah
kenaifan sekadar mengejar ijazah.
Sebab di sisi lain, sekolah telah kehilangan roh pendidikan. Sebagaimana
kegetiran pertanyaan Postman, “sewaktu perdebatan politik dan para
politisi menjadi guru sinisme. Saat televisi dan media lainnya menjadi guru
konsumerisme, apakah sekolah masih dibutuhkan?”
Para guru menjadi penular dan pengembang nilai-nilai yang dianut
masyarakat kepada anak didik. Sejalan dengan berbagai perubahan yang
juga mengubah wajah masyarakat, sekolah sebagai tempat ibadah sipil tak
lagi dibutuhkan, tuhan-tuhan telah disodorkan dunia lainnya.

Kematian Pendidikan
Narasi merupakan papan tolak penting bagi setiap kemajuan umat
manusia. Tanpa narasi, pendidikan yang seolah ditransmisikan kepada
sekolah sesungguhnya tak berkontribusi buat kemajuan.
Sewaktu sekolah tak mempunyai narasi mandiri, maka tuhan lain
Tapal Batas
“Tuhan” 100
Digital

mengisi kekosongan hal tersebut. Akan tetapi, Neil Postman menilai itu
semua merupakan tuhan yang gagal.
Tuhan-tuhan tersebut hanya menyajikan dunia sebagaimana adanya
kemajuan, mengharuskan para pengemban misi di sekolah untuk
menyediakan metode mencapai pemahaman tersebut. Para guru jadi
inovator dan motivator dalam produksi metode.
Lebih mengutamakan pertanyaan “bagaimana” bukan “mengapa”. Tak
lagi ada kemungkinan baru yang dirintis dari sekolah untuk menyelaraskan
jalan kemajuan, hilangnya daya bertanya mengapa kemajuan harus melaju
ke suatu arah, apa saja imbasnya, dan mampukah dikendalikan bagi
kebaikan nilai kemanusiaan?
Sekolah menjadi asing terhadap masalah yang hidup di tengah
lingkungannya. Para penghuni sekolah hanya hidup dari mata pelajaran ke
mata pelajaran, mencoba metode yang memaksakan kebolehan atas suatu
mata pelajaran kepada para muridnya.
Kritik lebih uzur datang dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar
Dewantara (KHD). Sosok yang sangat menguasai aliran pendidikan barat
(mejadi pelajar pendidikan di Eropa), KHD justru telah lama melontarkan
ketidaksetujuannya dengan “fiksi pendidikan Barat” sejak era Etis.
Dalam buku Pendidikan (1977), KHD menyatakan istilah pendagogik
yang ditumbuhkan peradaban Barat, tidak mendapatkan padanan di
Indonesia. “Kata pedagogik sendiri tidak bisa dialihbahasakan dalam
bahasa kita. Sebab, kita punya panggulawentah, yang tak sama artinya.
Panggulawentah itu seperti pekerjaan dukun bayi, momong, among, dan
ngemong”.
Pedagogik itu berasal dari bahasa Yunani “paida” (anak laki-laki)
“gogeo” (membimbing), yang artinya membimbing. Lahir dari tradisi budak
yang mengawasi pendidikan anak tuannya. Mengantar dan menjemput
sekolah dll.
Merujuk itu, KHD melihat bahwa dasar pendidikan Barat yaitu perintah,
hukuman, dan ketertiban. Pendidikan yang sedmikian itu sebagai perkosaan
atas kehiupan batin anak-anak. Hasilnya, anak-anak rusak budi pekertinya,
disebabakan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang bisanya
tiada setimpal dengan kesalahannya. Ia tiada akan dapat bekerja kalau tiada
dipaksa.
Karena itu, KHD menegaskan metode pendidikan terbaik melalui
Among yang melakukan proses pendidikan dengan sasaran budipekerti
(batin, karakter), pikiran (intelektualitas), dan jasmani.

Kahfi
101 Pedagogik & Covid-19

Asas Pendidikan KHD:


1. Hak mengatur dirinya sendiri, tertib damai, dan kehidupan umum.
Tidak akan tercapai jika tidak melewati kondratnya, sehingga
pendidikan dengan paksaan itu tidak cocok. Menurut kodratnya,
harus among metode.
2. Tidak hanya mementingkan pengajaran yang terjebak dalam
intelektualisme yang memisahkan orang terpelajar dengan
rakyatnya.
3. Semboyan “Suci tata ngesti tunggal”, Kesucian batin, ketertiban
lahir, menuju kepada kesesempurnaan”
Adapun dalam pelaksanaannya, KHD mempercayai konsep Peguron
yang mempertemukan “Trisentra” Pendidikan, terdiri dari Alam Keluarga,
Alam Perguruan, dan Alam Pergerakan Pemuda.

PJJ dan Kemungkinan Masa Depan Pendidikan


Sulit membayangkan produk pendidikan jika merujuk konsep KHD
menanggapi pandemi seperti sekarang ini. Adakah kaum muda pelajar
itu songsong menyongsong solidaritas membantu kesusahan di tengah
pandemi, selayaknya para pemuda yang bergabung dalam simpul gerakan
hingga tentara pelajar pada masa revolusi fisik dahulu.
Lebih musykil lagi membayangkan di tengah situasi “panik” akibat
serangan balasan “mikroparasit” virus Covid-19, para kaum muda
terpelajar ikut menguliti kelalaian para “makroparasit” seperti ditunjukkan
Slavoz Zizek dalam buku Pandemic! (2020) yang merupakan muara
problem kemanusiaan dan bencana hari ini. Makroparasit era kolonial yang
ditentang kaum muda terpelajar Indonesia zaman dahulu tak lain adalah
sistem kolonialisme.
Solidaritas yang kemudian mantra bagi Zizek bagi umat manusia sedunia
untuk keluar dari krisis pandemi kali ini. Kekuatan kerja sama global yang
dijembatani dengan kehadiran wabah dan keinginan memusnahkannya
diharapkan filsuf asal Slovenia itu dapat mendorong solidaritas tanpa
hambatan apalagi motif ekonomi.
Lain hal jika berkaca kepada Postman. Agar tak mudah kering,
ranting-ranting muda siswa(i) tak melulu diterjang beragam metode yang
memaksakan pemahaman studi pelajaran yang dianggap sebagai bekal
tumbuh di dunia pasar kerja.
Ranting-ranting muda perlu mengenali akar pengetahuan. Sejarah
Tapal Batas
“Tuhan” 102
Digital

dari setiap ilmu yang pada dasarnya mencerminkan dan mengharapkan


kehidupan lebih baik buat umat manusia. Maka dari itu Postman
menitiberatkan pentingnya pembelajaran sejarah dan cara berpikir sejarah
dalam setiap keilmuan yang diajarkan kepada para siswa(i).
Dalam pandangan tersebut, studi arkeologi dan astronomi masuk dalam
peran membingkai cara pandang kaum sekolahan. Postman percaya dari
sejarah, arkeologi, dan astronomi ditambah dengan pemahaman akar ilmu
pengetahuan, akan membentuk kesadaran terkait kehidupan harmonis,
maju namun pula menjunjung kemanusiaan yang universal.
“Membayangkan bumi sebagai kendaraan luar angkasa,” cetus Postman.
Dengan begitu, setiap populasi yang menghuni bumi ikut bertanggungjawab
dan bersolidaritas dengan kondisi bumi secara keseluruhan.
Namun pada kenyataannya, “Solidaritas” sebagai nilai normatif harus
berhadapan dengan fakta positif, bahwa penanggulangan pandemi lagi-
lagi menemukan tempatnya pada mekanisme pasar. Negara berkembang
tampak pontang panting menyediakan dana tak terbatas dalam melawan
wabah, hal inipun diselesaikan dengan aliran utang luar negeri melalui
berbagai instrumennya.
Fiksi digital sebagai tulang punggung terlaksananya beragam aktivitas
selama pandemi pun sangat mungkin dijadikan mantel bagi motif komersial
sesungguhnya. Di negara berkembang seperti Indonesia, gejala itu sangat
nyata namun tersembunyi di balik relung kebijakan penanganan COVID-19.
PJJ sebagai program terpapar fiksi digital yang dilakukan secara tergesa.
Sebagai gagasan ekstrem, mengapa pandemi tak dijadikan momentum
membuka ruang ekspresi dan eksplorasi para pelajar dengan kebutuhan riil
dan persoalan nyata di masyarakatnya tanpa harus tetap membuntuti materi
sekolah.
Tentu secara reflektif dunia sekolah ataupun pendidikan secara luas
akan mendapatkan koreksi mendasar bersamaan jeda pandemi. Sebaliknya
pemaksaan PJJ semakin membuka tabir bahwa materi studi jauh lebih
banjir di dunia digital berupa konten sosial media, apa perlunya sekolah?
Di sudut gelap tersebut, muncul penyingkapan jalinan global raksasa
digital yang berkelindan untuk menancapkan titik pijak lahan komersial
baru di lapangan pendidikan. Salah satu artikel dari Williamson di dalam
buku ini, Pandemi Baru: Jejaring Kekuasaan Edtech, yang mengupas
jalinan global tersebut.
Beriringan fakta-fakta sekaligus ironi ini, maka bisa dipastikan masa
depan pendidikan yang berangsur mengandalkan teknologi informasi,

Kahfi
103 Pedagogik & Covid-19

khususnya di negara berkembang secara pesimis dikatakan sulit membawa


kemajuan baru ataupun antisipasi pecahnya bencana di masa depan.
PJJ hanya percobaan bahwa praktik mengajar di sekolah bakal usang,
selebihnya tidak.

-000-

Referensi :

Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Majelis Luhur Taman Siswa,


Yogyakarta, 1977.
Postman, Neil. Matinya Pendidikan:Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah
(terjemahan).Octopus, Yogyakarta, 2019.
Zizek, Slavoj. Panik Pandemi! (Terjemahan). Penerbit Independen,
Yogyakarta, 2020.
Hararai, Yuval Noah. Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia
(Terjemahan). Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2017.
Tapal Batas
“Tuhan” 104
Digital

Kahfi
105 Pedagogik & Covid-19

Sumber: Sacramento State


Alexander Sidorkin
Tentang
Esensi 106
Pendidikan

Tentang
Esensi
Pendidikan
Alexander M. Sidorkin

Diterjemahkan dari Jurnal Studies


in Philosophy and Education Vol.
30, issue 5, September 2011

Kegagalan reformasi pendidikan di


Barat disebabkan karena kita tidak
memiliki pemahaman yang jelas
tentang apa itu pendidikan. Esensi
pendidikan adalah the limits of its
improvement. Pendidikan dipahami
sebagai kemampuan buatan manusia
untuk belajar, sebagai produk dari
upaya pembelajar sendiri, dan
akhirnya, sebagai serangkaian bentuk
bersejarah tentang pengaturan kerja.

Alexander M. Sidorkin
107 Pedagogik & Covid-19

T ulisan ini merupakan sumbangan saya terhadap upaya mendefinisikan


ulang teori pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu, yang bukan
hanya sebagai bidang terapan dari disiplin ilmu lain (Biesta 2012). Jika
teori pendidikan adalah disiplin, berarti ia harus memberikan lensa yang
unik untuk melihat seluruh dimensi dalam dunia sosial. Teori pendidikan
kemudian tidak hanya merenungkan dunia sekolah, atau bahkan dunia
pengalaman pendidikan yang diperluas di luar sekolah. Teori pendidikan
juga akan menawarkan wawasan tentang aspek-aspek lain dari pendidikan
seperti ekonomi, politik, komunikasi, budaya, dll. keluar dari cara pandang
bahwa pendidikan itu adalah sekolah, memungkinkan kita memperbesar
wawasan mengenai pendidikan itu sendiri.
Mengapa ini penting? — Karena dunia sekolah publik tampaknya berada
di persimpangan jalan dan kita tidak memiliki pemahaman teoritis yang
memadai untuk melihat ke mana ia bisa dan tidak bisa pergi selanjutnya.
Berfokus pada sekolah kontemporer terlalu sempit dan membatasi
pemahaman kita tentang apa itu pendidikan. Mengidentifikasi pendidikan
dengan salah satu manifestasi historisnya menciptakan kebuntuan yang
membuat pemikiran radikal tentang pendidikan menjadi sulit. Kita terlalu
terikat pada kiasan tentang gedung sekolah, ruang kelas, siswa(i), dan
guru untuk membayangkan bagaimana proses pendidikan itu ada dan bisa
berjalan. Pendidikan yang dipahami sebagai sub-kajian (field) tidak mampu
memberikan jawaban, sementara teori pendidikan sebagai suatu disiplin
keilmuan (discipline) mungkin memiliki peluang menjelaskan itu.
Perlunya pemikiran kaum esensialis muncul pada titik di mana
definisi pendidikan yang ‘sembarangan’ bermuncul dan tidak sama sekali
memberikan manfaat, karena ada banyak bukti dari batasan yang ada secara
objektif sebenarnya tidak kita pahami. Seorang bayi memahami esensi
batu ketika dia mencoba memakannya, dan ternyata tidak bisa. Sebaliknya,
dengan batu sang bayi bisa membuat bunyi/suara. Miliaran bayi sampai pada
kesimpulan yang sama tentang sifat batu, dan latar belakang pengetahuan
ini menjadi pengalaman dan bahasa baru bagi si bayi. Jadi esensi dari
suatu fenomena diuji melalui pengalaman praktik manusia kolektif, dan
diungkapkan ketika praktik seperti itu berhasil atau gagal. Esensi adalah
apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan dengan segala hal yang diberikan.
Mari kita sebut pendekatan ini sebagai esensialisme pragmatis.

Pembelajaran dan Pendidikan


Pendidikan berutang kehidupannya pada kematian. Spesies lain yang
abadi atau hampir abadi akan memiliki tingkat reproduksi yang sangat
Tentang
Esensi 108
Pendidikan

lambat atau nol. Setiap individu akan memiliki banyak waktu untuk
mempelajari segala sesuatu secara lambat, dan banyak waktu luang untuk
menggunakan pengetahuan. Dewa dan para makhluk abadi tidak akan
membutuhkan pendidikan, karena tidak ada dorongan untuk menjadi
dewasa, dan juga sudah ada banyak orang-orang pintar (guru). Spesies
seperti itu tidak diragukan lagi akan melampaui kita dalam kemajuan
ilmiah dan teknologi. Mereka tidak perlu menyisihkan sumber daya luar
biasa yang didedikasikan untuk mempelajari kembali segala sesuatu
secara konstan, dari alfabet hingga algoritma, setiap 70-90 tahun. Kita,
bagaimanapun, hidup relatif singkat; terlalu pendek untuk masyarakat
dengan teknologi yang kompleks. Ada waktu yang dihabiskan untuk
tumbuh dan belajar, sementara kehidupan yang produktif lebih pendek.
Tren ini dapat dikompensasi dengan menumbuhkan produktivitas dengan
jangka waktu yang cukup lama, karena sebagian besar produktivitas
tergantung pada mempelajari cara kerja dan cara menangani teknologi
yang bekerja untuk kita. Kita harus belajar dengan cepat, dan segera setelah
kita mengetahui apa saja, sekarang saatnya untuk pulang kepangkuanNya.
Salah satu alasan kita membenci kematian adalah bahwa, menjadi mati
telah menyia-nyiakan hal-hal yang paling berharga bagi kita, yakni, ingatan
dan keterampilan kita sendiri. Untuk menipu kematian, kita terus menerus
menciptakan pembelajaran yang baru dan bentuk baru.
• Era 0.0, pra-pembelajaran, yang menurut Darwin, adalah evolusi
itu sendiri. Setiap generasi baru akan ‘belajar’ sesuatu yang baru,
dan yang paling kuat akan mampu bertahan. Namun, pembelajaran
sejati dimulai ketika salah satu organisme dapat beradaptasi dengan
alam seisinya dibandingkan spesies lain.
• Era 1.0 menurut B.F. Skinner; saat kita hidup berdampingan dengan
hewan. Belajar dari pengalaman pribadi seseorang. Sebuah koreksi
penting, yang dapat kita sebut Pembelajaran 1.5 telah dilakukan oleh
Albert Bandura, dan termasuk pembelajaran observasional, dimana
orang belajar dari yang lainnya, melalui observasi, peniruan, dan
pemodelan, termaksuk oleh spesies yang disebut hewan.
• Era 2.0 menurut Vygotsky. Bekerja bersama dengan orang yang
lebih maju/matang/berpengalaman tampaknya memicu percepatan
pembelajaran tentang dunia; alam dan sosial. Kami belajar cara-
cara yang ditemukan oleh orang lain, tetapi tidak hanya melalui
pengamatan seperti pada 1.5. Di sinilah untuk pertama kalinya,
pengajaran muncul. Ketika orang bekerja sama dan muncul sosok
pemimpin (kepala suku d.s.t) merangkap sebagai seorang guru—
orang yang ditiru dan digugu.
• Era 3.0 adalah era-nya sekolah, di mana pembagaian kerja telah

Alexander M. Sidorkin
109 Pedagogik & Covid-19

terlihat dengan munculnya konssep mengajar dan belajar. Ketika


sebagain besar orang-orang dewasa tidak perlu lagi mengajar,
karena sudah diwakili oleh satu orang yang kemudian disebut guru
dengan tugas menangani banyak siswa(i). Hal itu membuat kegiatan
mengajar lebih efisien, meskipun bukan tanpa biaya; mari kita
sebut ini sebagai dilema diferensiasi. Guru perlu mengakomodasi
proyeksi individu dan tantangan yang unik dari setiap siswa(i),
yang akan lebih sulit dilakukan dengan kapasitas siswa(i) yang
banyak. Ruang bersama membutuhkan aktivitas bersama. Karena
itu, anak-anak menghabiskan waktu berjam-jam menunggu anak-
anak lain untuk mengetahui apa yang sudah mereka ketahui, atau
karena mereka dihantui rasa penasaran dengan materi tersebut.
Kita harus membedakan periode antara Era 3.1 (sekolah untuk
para elit) dan Era 3.2 (sekolah untuk publik). Yang terakhir adalah
bentuk institusi sosial yang sangat berbeda, pendidikan publik
tidak lagi didasarkan pada perbedaan status (ekonomi-politik)
yang cenderung diskriminatif dan mempengaruhi tingkat motivasi
belajar. Di sinilah kita berada di dunia industri, bergerak dari era 3.1
ke era 3.2. Periode ini dianggap sebagai periode transisi yang sangat
penting, penting bagi esensi pendidikan, yang khas dengan keadaan
historis kita hari ini.
• Era 4.0 hanya baru akan tampak. Ia berjanji untuk memecahkan
dilema diferensiasi yang menyertai tadi dengan bantuan teknologi
informasi. Prototipe kasar ‘belajar-sendiri’ melalui kecerdasan
buatan dapat ditemukan di Google, Facebook, Netflix, dan kotak
pandora algoritma. Mereka dapat merevolusi pembelajaran dalam
kehidupan kita, dengan belajar di mana pun berada, dan menemukan
kenyamanan belajarnya sendiri yang sesuai dengan aturan dan
kemauannya, dan juga bisa menentukan sendiri ke mana dia harus
pergi selanjutnya. Guru akan berkonsentrasi pada merancang
strategi pembelajaran yang unik untuk menciptakan belajar yang
unik, dan tidak ada lagi tugas (seperti sekolah konvensional) untuk
setiap siswa(i).
• Era 5.0 akan mengalahkan kematian itu sendiri. Kita akan belajar
memperpanjang usia produktif kita (dan karenanya memperlambat
laju reproduksi kita). Dan/atau, kita akan belajar mengunduh
memori semantik, secara lebih efisien, ke dalam pikiran anak-anak
kita.
Di suatu tempat di antara era 3.1 dan 3.2, kita kehabisan sumberdaya abadi
(endowment) dari evolusi alami keingintahuan yang dialokasikan untuk
spesies kita. Kita harus menemukan cara-cara memperluas kapasitas dan
minat belajar secara artifisial. Sebagai spesies, kita telah memperoleh
terlalu banyak pengetahuan untuk disalurkan dengan cara yang alami/
Tentang
Esensi 110
Pendidikan

manual, dan harus mengembangkan kebutuhan akan peningkatan kapasitas


buatan. Sejarah singkat pembelajaran menggambarkan dorongan tanpa henti
untuk belajar terus menerus lebih banyak, lebih cepat, dan lebih efisien.
Pendidikan tidak identik dengan belajar, seperti yang ditunjukkan Biesta
(2011). Ini adalah serangkaian metode untuk menjadikan pembelajaran
lebih efisien, lebih cepat, dan lebih fokus daripada yang seharusnya terjadi
secara alamiah. Pendidikan adalah pembelajaran yang ditingkatkan,
terorganisir, dan terstruktur. Pendidikan untuk belajar sama dengan menulis
untuk berbicara, kendaraan untuk berjalan, bertani untuk berkumpul dan
peternakan untuk berburu. Pemahaman yang jelas tentang hal ini akan
mencegah para guru terus terpikat dengan cara-cara yang mudah/biasa saja
seperti di mana anak-anak kecil sedang belajar (yang tanpa tantangan).
Pendapat yang keliru tadi mencegah para guru melihat bahwa pendidikan,
pada dasarnya, merupakan respon terhadap minimnya pembelajaran yang
alami, yang dimulai dari minatnya sang anak.

Belajar sebagai Melakukan


Pendidikan selalu diuji dan dijelaskan oleh para guru. Peserta didik
tidak banyak bicara tentang hal itu, karena mereka lebih muda, kurang
berpengalaman, dan kurang fasih dibandingkan guru. Pada saat mereka
mampu mengartikulasikan dengan lebih baik, mereka cenderung bersikap
seperti seolah-olah menjadi guru (mengurui). Itulah mengapa pendidikan
sangat bias epistemologis yang mendukung sudut pandang dari guru.
Sering dipikirkan relasi antara guru dan murid; sesuatu yang terjadi di
antara keduanya. Sementara sosok seorang guru penting, meskipun tidak
terjadi proses pendidikan, dalam mode pendidikan kontemporer. Begitu
seorang pemburu mulai mempraktekkan kemampuan memanahnya
pada satu sasaran, sebenarnya ia sedang menciptakan unsur-unsur dalam
pendidikan. Transisi yang hanya dari sekedar menembaki binatang tanpa
arah ke kemampuan membidik sasaran tembak adalah perpindahan
dari pembelajaran sederhana ke pendidikan. Ini melibatkan perubahan
yang mendasar: pemburu harus menyadari ada sesuatu di dalam dirinya
— keterampilan memanah — yang dapat diciptakan secara terpisah
dan sengaja. Pendidikan juga dapat digambarkan sebagai pembuatan
alat internal yang disengaja — sebagai lawan pembuatan alat eksternal.
Kemampuan menembak panah harus dibuat dalam arti sangat mirip dengan
pembuatan busur dan anak panah.
Manusia dapat melakukan sesuatu untuk dua tujuan berbeda: mengubah
dunia dan mengubah dirinya sendiri. Saya akan menggunakan deskripsi

Alexander M. Sidorkin
111 Pedagogik & Covid-19

Marx dan Engels (1847):


Bisher haben wir hauptsächlich nur die eine Seite der menschlichen
Tätigkeit, die Bearbeitung der Natur durch die Menschen betrachtet.
Die andre Seite, die Bearbeitung der Menschen durch die Menschen

“Sejauh ini kita hanya melihat satu sisi aktivitas manusia, yakni,
eksploitasi alam oleh manusia. Sisi yang lain, eksploitasi manusia
oleh manusia lainnya … “

Tätigkeit biasanya diterjemahkan sebagai aktivitas atau pekerjaan;


secara harfiah berarti melakukan. ‘Pekerjaan’ kedengarannya cocok jika
menggunakan cara pandang Dewey: ‘pekerjaan bukan berarti segala jenis
‘latihan soal atau pekerjaan rumah lainnya yang diberikan kepada anak untuk
menyibukkannya dan mencegahnya melakukan kenakala atau kemalasan
ketika duduk di mejanya. Yang saya maksud dengan pekerjaan adalah
modus kegiatan pada anak yang produktif, atau berjalan paralel dengan,
beberapa bentuk pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan sosial (1915,
131). Tätigkeit adalah jenis kegiatan yang mengubah atau menciptakan
sesuatu. Tapi itu pasti bukan ‘aktivitas’ bukan juga ‘Aktivität’ (Jerman).
Setara dengan Bahasa Rusia деятельность seperti yang digunakan oleh
Vygotsky dan Leontiev juga sangat berbeda dari активность yang lebih
umum. Yang terakhir hanyalah kebalikan, menjadi pasif, keadaan tidak
tenang dari organisme hidup. Yang pertama memiliki objek dan tujuan.
Setiap Tätigkeit memiliki dua sisi untuk itu; mari kita sebut mereka
aspek pengubahan objek (object-transforming-aspect, OTA) dan aspek
pengubah subjek (subject-transforming-aspect, STA). Misalnya, mengubah
adonan menjadi sepotong roti – ini adalah OTA. Tetapi tukang roti juga
belajar sesuatu yang baru, yang sangat kecil dan mungkin tidak disadarinya,
dari setiap roti yang dibuatnya. Belajar ada di mana-mana, di setiap
Tätigkeit manusia, dan itu merupakan sisi yang mengubah subjek. Semua
subjek mengubah diri mereka sendiri dalam tindakan praktek. Ketika
seorang pemula sedang membuat roti, dan hasilnya tidak enak atau gagal,
percayalah ada aspek pembelajaran dari kegiatannya atau pengalamannya
itu, ketika dia memanggang rotinya yang ke sejuta kali, STA mundur ke
belakang dan menjadi sangat samar, sementara OTA menjadi jelas dan
mendominasi. Namun kedua aspek itu selalu ada. Pemburu yang sibuk
melatih seni memanahnya dipastikan akan sedikit mengumpulkan hasil
buruanya, dibanding dengan pemburu yang menembakan panah ke sasaran.
STA dari kegiatan ini jauh lebih penting daripada OTA. Pendidikan adalah
mempraktekkan sesuatu – menembak panah, memanggang, membaca,
Tentang
Esensi 112
Pendidikan

menulis, berpikir, meneliti, memilih, dan bertindak; apapun yang dilakukan


untuk latihan.
Pendidikan adalah Tätigkeit di mana aspek pengubahan subjek
mendominasi pengubahan objek. Kadang-kadang perbedaan ini sangat
jelas, ketika produk Tätigkeit sangat tidak berguna, dan tidak memiliki
tujuan lain selain digunakan untuk latihan dan dibuang. Seorang pekerja
magang yang bekerja untuk sebuah perusahaan menghasilkan proposal
yang jauh lebih mungkin berakhir di keranjang sampah daripada yang
dihasilkan oleh pekerja biasa, tetapi sebenarnya dapat digunakan untuk
menghasilkan nilai. Perbedaan antara pendidikan dan produksi di sini lebih
probabilistik daripada deterministik.
Inti dari semua ini adalah pendidikan adalah pekerjaan pembelajar itu
sendiri. Apa yang dilakukan pelajar, dan bagaimana dia melakukannya
yang membuat beberapa jenis pendidikan Tätigkeit menjadi edukasional.
Pendidikan bukanlah apa yang dilakukan seorang guru terhadap seorang
siswa(i); itu adalah apa yang siswa(i) lakukan terhadap dunia dan bagaimana
ia melakukannya, untuk dirinya sendiri. Guru adalah manajer dan
kolaborator dalam pekerjaan transformasi diri ini; mereka memimpin dan
membantu mengatur pekerjaan ini, tetapi mereka tidak mampu benar-benar
menghasilkan perubahan dalam diri pelajar. Anda bisa menuntun kuda ke
air, tetapi Anda tidak bisa membuatnya minum; ini adalah deskripsi tentang
batas-batas penting pendidikan. Hal ini tidak bisa dilakukan untuk orang
lain, peserta didik lah yang memainkan peran kunci untuk menghasilkan
perubahan dalam diri mereka sendiri dengan mengubah sesuatu yang lain.
Pendidikan sebagai Pengaturan Ketenagakerjaan
Ini memiliki arti bahwa pendidikan, pada intinya, adalah soal pengaturan
menjadi tenaga kerja yang spesifik. Karena kapasitas alami dari belajar tidak
cukup untuk melaksanakan pendidikan, manusia telah merancang berbagai
cara untuk mengatur dan menginjeksi Tätigkeit pendidikan. Dengan kata
lain, bagi masyarakat, mendidik genereasi masa depan tidak lain dengan
mendorong untuk siswa(i) didorong untuk belajar.
Saya akan memulai dengan 2 premis: (1) pendidikan adalah artificial
enhancement dari pembelajaran, dan (2) pendidikan terutama adalah hasil
dari Tätigkeit yang disengaja oleh pemelajar. Jika seseorang menerima ini,
ia juga harus setuju bahwa pendidikan membutuhkan usaha yang sistematis
dari dalam diri si peserta didik dan yang tidak dimotivasi oleh keuntungan,
kesenangan atau minat. Itu merupakan kerja peserta didik sebagai elemen
penting dari seluruh usaha pendidikannya.
Jika melihat ke masa-lalu, ada banyak pengaturan tenaga kerja yang

Alexander M. Sidorkin
113 Pedagogik & Covid-19

digunakan dalam pendidikan. Yang paling umum adalah penggunaan


tentang harapan tradisional dan kekuatan hubungan keluarga. Pengaturan
kuno ini masih berlaku di banyak masyarakat, di mana wewenang keluarga,
klan, dan komunitas secara langsung dipindahkan ke sekolah. Kombinasi
dari struktur patriarki dengan ekonomi modern ada di belakang ‘keajaiban’
pendidikan.
Sederhananya, masih mungkin untuk mengajar dengan cara tradisional
di Finlandia karena guru percaya pada peran tradisional mereka, dan siswa(i)
menerima posisi tradisional mereka. Model murid yang digambarkan
dalam studi PISA 2000 yang berorientasi masa depan tampaknya bersandar
pada masa lalu, atau setidaknya dunia yang sudah berlalu, pada masyarakat
agraris dan pra-industri, pada etos ketaatan dan kepatuhan yang mungkin
paling kuat di Finlandia di antara masyarakat Eropa modern belakangan ini
(Simola 2005).
Bentuk lain pengaturan tenaga kerja adalah penerapan selektivitas (use
of selectivity). Jika sebuah sekolah diizinkan untuk mengeluarkan sebagian
besar (karena hal-hal spesifik) siswanya, berarti sekolah itu memiliki
mekanisme penegakan yang kuat. Proses belajar mengajar di sekolah
membawa manfaat materil dan modal budaya yang signifikan. Namun ia
didistribusikan dengan sangat tidak merata, ada siswa(i) yang memiliki
privilege untuk terus belajar, dan ada beberapa lagi yang kemudian menjadi
alergi terhadap sekolah.
Namun, bentuk lain dari pengaturan tenaga kerja dalam pendidikan
adalah pemaksaan negara. Negara-negara otoriter dan totaliter
menggunakannya untuk keseluruhan bentuk pengaturan tenaga kerja, bukan
hanya untuk belajar. Ini didasarkan pada kekuatan brutal dalam kombinasi
dengan kontrol berlebih. Tenaga kerja dalam pendidikan yang dihasilkan
sebagai akibat, sebenarnya tidak terlalu produktif tetapi memperlihatkan
penampilan yang teratur. Akan adil untuk memperhatikan bahwa negara-
negara demokratis juga menggunakan metode pemaksaan administratif
untuk menjaga anak-anak di sekolah. Undang-undang tentang wajib
pendidikan berkembang sebagai reaksi untuk membatasi pekerja anak di
industri, tetapi sejak itu telah berubah menjadi instrumen penegakan untuk
bentuk lain dari pekerja anak, yaitu tenaga kerja dalam pendidikan bernama
siswa(i) di sekolah-sekolah massal. Demokrasi tidak selalu demokratis
dalam kebijakan sekolah mereka; masyarakat yang menghargai hak-hak
individu mungkin tidak mampu memberikan hak yang sama kepada masa
muda mereka.
Daftar itu tidak lengkap tanpa menyebutkan ideologi Pencerahan.
Tentang
Esensi 114
Pendidikan

Idenya adalah bahwa manusia tidak lengkap tanpa pendidikan, dan bahwa
mengejar pendidikan adalah mulia. Meskipun cukup tua, metode ini sangat
hidup dan aktif. Memisahkan wacana pendidikan dari ekonomi dirancang
untuk menciptakan insentif tambahan bagi anak-anak untuk bekerja di
pabrik pendidikan secara gratis selama bertahun-tahun. Wacana Pencerahan
adalah sarana produksi aktual (Sidorkin 2011). Anak-anak yakin bahwa
pendidikan adalah hal yang baik menghasilkan manfaat ekonomi, karena
memiliki tenaga kerja yang berpendidikan dan warga negara adalah aset
publik yang sangat besar. Pengaturan ini memiliki batasnya juga. Over-
produksi wacana menciptakan inflasi. Semakin banyak siswa(i) yang tidak
mempercayai wacana, maka mereka semakin membuat wacana sinis lainya.
Tanpa dukungan negara atau keluarga tradisional, wacana Pencerahan
adalah kekuatan lemah.
Dan satu lagi modus pengaturan tenaga kerja dalam pendidikan yang
layak disebut. Ini didasarkan pada pertukaran: siswa(i) menyumbangkan
tenaga pendidikan mereka, sementara sekolah progresif mengompensasi
mereka dengan hiburan, rasa memiliki dan identitas, dan kehidupan
masyarakat (Sidorkin 1999). Seperti semua metode di atas, ia memiliki
keterbatasan serius: siswa(i) mungkin menemukan semua barang yang
ditawarkan di sekolah progresif seperti di tempat lain: di media massa,
lingkungan, dan komunitas lain.
Mungkin ada banyak pengaturan untuk tenaga kerja dalam pendidikan.
Mereka semua dapat digunakan dalam berbagai kombinasi, saling
melengkapi. Tinjauan ini hanya dimaksudkan sebagai contoh analisis
tenaga kerja. Menarik juga melihat apa yang tidak ada dalam daftar. Proporsi
terbesar dari semua kerja manusia di planet ini dihasilkan melalui pasar
kerja kapitalis. Hanya ada area kecil kesukarelaan, pekerjaan rumah tangga
wanita, tentara wajib militer, kerja paksa tahanan, kantong perbudakan dan
pekerja terikat yang tersisa. Jika kesemuanya digabungkan, hasilnya masih
tidak signifikan sehubungan dengan total output tenaga kerja global yang
dihasilkan dengan membayar orang untuk bekerja. Tenaga kerja siswa(i)
adalah pengecualian yang sangat besar: suatu bentuk kerja tidak bebas di
luar hubungan moneter. Mencoba membayar anak untuk belajar adalah
langkah logis berikutnya dalam pengembangan sekolah.
Penting juga untuk dicatat bahwa ada batasan mendasar pada seberapa
banyak tenaga kerja dapat diekstraksi dari manusia, dengan atau tanpa
kekerasan, dengan atau tanpa upah. Ini memberikan batasan untuk
pengembangan peradaban kita yang patut dipertimbangkan. Beberapa
percaya bahwa kapasitas untuk belajar tidak terbatas, dan bahwa kita dapat

Alexander M. Sidorkin
115 Pedagogik & Covid-19

memaksa semua anak kita untuk bekerja dengan rajin selama bertahun-
tahun dan di umur yang kita anggap tepat. Ini adalah harapan utopis
yang tidak realistis dan mengepul dari kesalahpahaman tentang esensi
pendidikan.

Teori Pendidikan sebagai Disiplin


Teori pendidikan dapat ditafsirkan sebagai suatu disiplin karena
keberadaan aspek pengubahan subjek dalam semua jenis Tätigkeit. Secara
harfiah setiap organisasi, komunitas, setiap perusahaan dapat dianalisis dari
sudut pandang tingkat dan sifat pembelajaran yang terjadi di dalamnya.
Organisasi yang sangat baik di sisi OTA, mungkin biasa-biasa saja pada
produktivitas STA, dan sebaliknya. Tugas sebuah teori pendidikan adalah
untuk memahami hubungan antara STA dan OTA, yang meliputi menilai
bagaimana berbagai rasio antara keduanya memengaruhi produktivitas dan
motivasi pekerja. Seorang konsultan pendidikan dapat membawa perspektif
unik ke bisnis: “quality controls Anda terlalu kaku untuk terciptanya
pembelajaran yang bermakna. Anda harus mengizinkan sebagian kecil
dari output Anda didedikasikan untuk pembelajaran, dan karenanya
tidak dimaksudkan sebagai barang dagangan untuk dijual. Anda terlalu
mengandalkan tenaga kerja yang sudah berpendidikan, yang mengurangi
kapasitas belajar organisasi Anda. Inilah mengapa perusahaan Anda tidak
dapat berinovasi lagi”.
Membingungkan buat saya bahwa pendidikan harus sangat terkonsentrasi
di sekolah-sekolah dan diwakili secara samar di institusi lainnya. Proses
belajar-mengajar itu sendiri adalah produk dari pembagian kerja. Bentuk-
bentuk kerja STA yang beragam ditempatkan di satu institusi sosial,
sementara aktivitas OTA yang beragam tetap berada di ekonomi utama.
Tapi mungkin sudah terlalu jauh. Manusia berevolusi untuk menghargai
pekerjaan yang bertujuan dengan hasil yang bermanfaat. Sekolah menjadi
menyimpang dalam skema ini. Sekolah sangat tidak efektif karena produk
pekerjaan siswa(i) tidak memiliki tujuan selain untuk meningkatkan
keterampilan dan kapasitas untuk urusan ekonomi. Sangat sulit meyakinkan
anak untuk melakukan pekerjaan, yang hasilnya tidak sempurna/gagal.
Dengan lensa analitis ini, kita harus bisa mengatakan lebih banyak
tentang halaman belakang kita sendiri, sekolah. Bisakah mereka
meningkatkan OTA untuk meningkatkan motivasi belajar? Hampir tidak
ada yang diproduksi dari sekolah yang dikonsumsi, atau masuk pasar.
Secara harfiah, setiap esai, setiap puisi, setiap perhitungan matematika
yang siswa(i) hasilkan pergi ke keranjang sampah. Wawasan besar dari
Tentang
Esensi 116
Pendidikan

Pendidikan Progresif adalah untuk meningkatkan aspek pengubahan objek,


membuat ‘pekerjaan’ anak-anak terlihat lebih seperti Tätigkeit produktif
orang dewasa. Kesalahannya adalah percaya bahwa semua pembelajaran
dapat terjadi melalui jenis Tätigkeit yang kaya akan OT. Ini tidak mungkin
karena berbagai alasan, namun sangat masuk akal untuk mempelajari batas
alami dari rencana semacam itu, dan untuk merancang campuran yang lebih
baik dari wilayah Tätigkeit yang kaya akan OT dan yang kaya akan ST.
Teori pendidikan harus memahami bagaimana pendidikan
didistribusikan ke seluruh masyarakat, dan didistribusikan dengan lebih
baik. Berapa banyak pengajaran yang benar-benar diperlukan, dan berapa
banyak yang berlebihan? Di mana guru bertindak sebagai guru, dan di mana
mereka hanya bertindak sebagai/patuh terhadap undang-undang pendidikan
nasional? Apakah sebenarnya lebih murah untuk membayar siswa(i) untuk
belajar dan memiliki lebih sedikit, guru yang lebih khusus dibantu oleh
kecerdasan buatan? Itu adalah jenis pertanyaan yang akan dipertimbangkan
oleh teori pendidikan sejati.

-000-

Referensi
Biesta, G. J. J. (2011). Philosophy of education for the public good: Five
challenges and an agenda. Educational Philosophy and Theory (in press).
Biesta, G. J. J. (2012). On the idea of educational theory. In B. Irby, G. Brown, &
R. Lara-Alecia (Eds.), Handbook of educational theory, Charlotte, NC: Information
Age Publishing, Inc.
Dewey, J. (1915). The school and society (Revised ed.). Chicago: University
of Chicago Press.
Marx, Karl., & Engels, Friedrich. Die deutsche Ideologie, orig 1846, http://
www.mlwerke.de/me/me03/me03_anm.htm#M1.
Sidorkin, A. M. (1999). Beyond discourse: Education, the self and dialogue.
Buffalo, NY: SUNY Press.
Sidorkin, A. M. (2011). Mad hatters, jackbooted managers, and the massification
of higher education. Educational Theory (in press).
Simola, H. (2005). The Finnish miracle of PISA: Historical and sociological
remarks on teaching and teacher education. Comparative Education, 41 (4), 455–
470.

Alexander M. Sidorkin
117 Pedagogik & Covid-19
118

Epilog
119 Pedagogik & Covid-19
Pandemi Covid-19 120
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

Pandemi COVID-19
Mengungkap Wabah
Neo-liberalisme
Henry Giroux

Artikel ini diterjemahkan dari “truth-


out.org” pada 7 April 2020

P andemi virus korona yang terjadi hari


ini sebenarnya bukan hanya tentang
krisis kesehatan saja, tetapi juga sebuah
krisis politik yang ideologis. Ini adalah
krisis yang berakar sangat dalam selama
bertahun-tahun dan telah diabaikan oleh
pemerintahan neoliberal yang menyangkal
pentingnya kesehatan publik dan
kepentingan publik, sembari membonsai
institusi yang bekerja untuk kepentingan
publik itu.

Henry Giroux
121 Pedagogik & Covid-19

Pada saat yang sama, krisis ini tidak dapat dipisahkan dari kenyataan
bahwa telah terjadi ketimpangan di dalam masyarakat; kekayaan, pen-
dapatan, dan kekuasaan. Juga tidak dapat dipisahkan dari krisis nilai-nilai
demokrasi, pendidikan dan perusakan lingkungan.
Pandemi virus korona sangat terkait dengan praktik politik dari me-
kanisme pengelolaan tatanan alam. Globalisasi neoliberalisme telah mel-
akukan serangan yang destruktif pada ekosistem kita. Selain itu, tidak
dapat dilepascan dari fakta adanya rasisme, ultranasionalisme, sentimen
anti-imigran dan kefanatikkan, yang kesemuanya telah mendominasi jiwa
(zeitgeist) nasional mereka. Kesemuanya telah menciptakan ketakutan ber-
sama, daripada tanggung jawab bersama.
Salah satu akar persoalan dari timbulnya wabah ini adalah praktik poli-
tik depolitisasi, yang memperjelas bahwa pendidikan adalah fitur utama
dari politik dan selalu memainkan peran penting – baik secara kasat mata
maupun terselubung – dalam proyek ideologis apapun. Sebagai contoh, bah-
wa prinsip utama pedagogis neoliberalisme adalah menempatkan tanggung
jawab individu sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sosial,
dan akibatnya, tidak ada kebutuhan untuk mengatasi masalah sistemik yang
lebih luas, tidak ada jawaban mengenai masalah-masalah maupun tanggu-
ng jawab secara kolektif.
Sebagai politik yang mengebiri, neoliberalisme memprivatisasi dan
mengindividualisasikan masalah sosial, dengan jargon, ‘cucilah tangan
Anda’ sebagai cara untuk mencegah penyebaran pandemi. Mengenai hal
itu, Bram Ieven dan Jan Overwijk, seorang kritikus budaya, berpendap-
at, “ia berupaya membatasi politik demokrasi yang nyata; artinya, politik
yang didasarkan pada solidaritas dan kesetaraan kolektif [karena] politik
demokratis adalah ancaman bagi pasar.”
Jantung neoliberalisme ada pada nilai-nilai komersil dan bukan pada
nilai-nilai demokrasi, ia memegang kuat prinsip tentang persaingan eks-
trem dan keegoisan yang tidak rasional, dan ketidaksabarannya terhadap
masalah etika, keadilan dan kebenaran telah merusak pemikiran kritis dan
kekuatan penilaian berbasis informasi.
Seperti yang dinyatakan Pankaj Mishra, “selama beberapa dekade seka-
rang, de-industrialisasi, outsourcing pekerjaan, dan kemudian otomatisasi,
telah membuat banyak pekerja kehilangan jaminan dan martabat mereka,
membuat mereka yang dirugikan […] rentan terhadap penghasutan.”
Orang Amerika hidup di zaman ketika neoliberalisme mengobarkan
perang terhadap masyarakatnya sendiri dan mulai kembali menyusun kebi-
jakan yang melahirkan ketimpangan.
Zaman ini mendukung gagasan tentang pertanggung-jawaban individu
Pandemi Covid-19 122
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

yang secara efektif telah menghancurkan tradisi kolektivitas/solidaritas so-


sial. Ini adalah momen historis untuk melihat sikap kompetitif dan indi-
vidualisme yang tidak terkendali, dan memungkinkan pasar menjadi ruang
untuk menyusun semua hubungan sosial.
Kontrak sosial telah dihilangkan, sementara gagasan tentang publik,
kewajiban sosial dan bentuk solidaritas demokratis sedang diserang. Ini
adalah bentuk kapitalisme gangster yang hanya berbicara dalam bahasa
keuntungan, privatisasi, dan pertukaran komersil a la pasar. Ini juga yang
melegitimasi diksi tentang isolasi, perampasan, penderitaan manusia dan
kematian.
Masyarakat Amerika terganggu oleh tindakan-tindakan ini selama
beberapa dekade yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan neoliberal.
Serangkaian krisis, yang akarnya lebih dalam, telah mengintensifkan per-
tarungan kelas dan perbedaan ras dengan sangat mencolok.
Kesenjangan seperti ini terbukti ketika jutaan pekerja yang tidak dap-
at membayar cuti sakit, jutaan pekerja yang tidak memiliki asuransi kese-
hatan, ratusan ribu pekerja yang kehilangan tempat tinggal, dan fakta bah-
wa seperti yang ditunjukkan oleh Boston Review, “Satu dari lima orang
Amerika tidak dapat bayar tagihan bulanan mereka secara penuh, dan 40
persen tidak memiliki tabungan yang diperlukan untuk menutupi biaya tak
terduga sekitar $ 400.”
Kapitalisme neoliberal adalah pandemi yang mendasari itu semua, yang
menjadi penyebab minimnya fasilitas kesehatan rumah sakit di seluruh dun-
ia saat ini, persediaan medis, tempat tidur dan gagasan tentang kesejahter-
aan sosial yang kuat, dan semakin tidak peduli pada kehidupan manusia.
Dalam keadaan seperti itu, ruang sosial dan interkoneksinya menjadi
objek eksploitasi finansial. Apa yang hilang dalam wacana depolitisasi ne-
oliberalisme dan diperjelas dalam situasi pandemi saat ini adalah hidup kita
yang memang sudah saling terkait baik atau buruk.
Ada ironi tertentu di sini bahwa Gedung Putih menyerukan masyar-
akat untuk mematuhi anjuran tentang pembatasan sosial, yang dimaknai
tidak hanya sebagai praktik yang aman secara medis untuk memperlambat
penyebaran virus, tetapi juga memiliki motif ideologis lama dari neoliberal
yang meremehkan solidaritas sosial dan nilai-nilai demokrasi sambil mem-
promosikan bentuk atomisasi sosial yang mematikan.
Di sinilah krisis medis mengarah pada krisis politik yang sudah ber-
langsung lama. Hal ini juga ruang di mana politik telah menjadi alat neolib-
eralisme karena ekonomi dan kekuasaan pemerintah tanpa henti menyerang
dan mengikis kebaikan bersama dan demokrasi itu sendiri. Ironi berubah
menjadi moral dan politik, yang tidak bertanggung jawab ketika Trump

Henry Giroux
123 Pedagogik & Covid-19

mendorong ‘pembatasan sosial sementara’ di satu sisi dan di sisi yang


lain juga menunjukkan gelagat akan melonggarkan pedoman pembatasan
sosial ini. Ini berarti Trump melawan saran dari para ahli kesehatan me-
dis, untuk kemudian bisa memulai kembali roda perekonomian.
Dalam masa krisis, kapitalisme mengungkapkan dirinya sebagai mes-
in disimagination yang pesan dasarnya adalah pasar merupakan satu-sat-
unya bentuk mekanisme kerja yang tersisa. Dalam konteks ini, kekuatan
politik, ekonomi dan sosial menjadi terminal kerja baru yang terus-men-
erus mendorong pelarian dari sisa tanggung jawab sosial, etika, dan poli-
tik, kemudian diarak sebagai akal sehat baru.
Politik menjadi mesin perang yang berjalan tanpa henti untuk membi-
asakan orang mengambil kekuasaan sambil merusak rasa perbedaan pen-
dapat, perlawanan dan keadilan sosial. Tentu saja, ini adalah konteks yang
lebih luas dari neoliberalisme di mana pandemi virus korona beroperasi.
Krisis keuangan tahun 2008 membuat wabah neoliberalisme, yang
terlihat selama lebih dari 40 tahun, telah merusak masyarakat dan mem-
buat kesengsaraan serta penderitaan bagi orang miskin dan lainnya diang-
gap berlebihan, sia-sia, atau berbahaya. Dengan penggabungan kebijakan
penghematan, finansialisasi ekonomi, konsentrasi kekuasaan di beberapa
tangan, dan bahasa pembersihan rasial dan sosial, neoliberalisme telah
berubah menjadi bentuk politik yang fasis.
Tatanan politik baru ini dicirikan oleh sebuah kekhususan dan
semuanya menggunakan politik yang sekali pakai (“habis manis sepah
dibuang”), menghancurkan sistem sosial, mendukung pendidikan apara-
tus negara yang mendukung kekerasan, menjual ketakutan, dan teror.
Semua ini menunjuk pengkhianatan atas gagasan gotong royong yang
memperluas makna dan kemungkinan kebaikan bersama, termasuk juga
pada bidang kesehatan masyarakat, dan gagasan yang lebih luas tentang
apa yang disebut oleh filsuf politik Michael Sandel sebagai kehidupan
bersama dalam sebuah komunitas membutuhkan solidaritas dan pengor-
banan untuk memperlakukan orang dengan belas kasih, kemanusiaan dan
penuh martabat.
Inti dari gagasan tentang kebaikan bersama ini, menurut Shai Lavi,
adalah gerakan massa yang bersedia menyatukan perjuangan bagi pembe-
basan, keadilan ekonomi, dan komunitas politik yang didirikan atas dasar
kesetaraan manusia. Kebrutalan virus neoliberalisme ini terbukti dalam
seruan Trump pada 24 Maret 2020, untuk “membuka kembali aktivitas
perekonomian,” saat Pascah.
Pada saat itu, ia ingin menggerakkan AS dengan cepat untuk men-
gakhiri langkah-langkah seperti pembatasan sosial dan membiarkan vi-
Pandemi Covid-19 124
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

rus berjalan dengan sendirinya. Dasar pemikiran Trump untuk tindakan


semacam itu mengingatkan kita kembali dengan pernyataan kelompok
politik sayap kanan bahwa “penyembuhannya lebih buruk daripada pen-
yakitnya.” Setelah diberi tahu bahwa 2,2 juta orang bisa mati akibat pem-
bukaan kembali aktivitas ekonomi yang terlalu dini, Trump mengatakan
Gedung Putih akan tetap mempertahankan aturan sosialnya setidaknya
hingga April.
Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious
Diseases, telah menyatakan bahwa kebijakan pembatasan sosial adalah
syarat yang paling penting untuk mengendalikan virus, namun Trump
masih menolak untuk mengeluarkan instruksi nasional stay-at-home. Pada
konferensi pers pada tanggal 4 April, Trump telah menyatakan bahwa sega-
la sesuatunya akan menjadi jauh lebih buruk dengan lebih banyak kematian.
Namun, segera setelah itu, dia menegaskan kembali bahwa dia ingin
melihat negara itu terbuka lagi. Tindakan semacam itu menunjukkan ting-
kat keburukan moral yang mengejutkan, hal itu memperjelas bahwa Trump
lebih peduli tentang pemilihannya kembali, perdagangan dan pasar saham
daripada jumlah korban jiwa berikutnya. Seperti yang ditunjukkan oleh
wartawan dari The Washington Post, “Trump telah lama memandang pasar
saham sebagai barometer untuk harapan pemilihannya sendiri.”
Pesan yang tidak begitu tersembunyi dan menakutkan adalah bahwa
oportunisme politik, dorongan untuk mendapatkan keuntungan dan ideolo-
gi neoliberal yang kejam, sedang dianut oleh pemerintahan Trump tanpa
ampun. Trump tampak senang meremehkan para ahli dan pengamat, serta
hanya mengikuti saran dari pejabat kesehatan di tengah-tengah peringatan
yang paling mengerikan. Dia memperlakukan pandemi sebagai pertempu-
ran partisan, mengacuhkan gubernur yang dengan putus asa meminta ban-
tuan pasokan, dan menolak untuk menerapkan pendekatan federal nasional
yang terkoordinasi untuk mengatasi krisis.
Tanpa bukti nyata atau bukti ilmiah, Trump dengan salah meng-
klaim bahwa AS “dekat dengan/bisa menemukan vaksin”, ia mendukung
obat-obatan tertentu (yang belum teruji secara medis-akademis) sebagai
obat perawatan pasien penderita virus, dan sering bergantung pada saran
dari para pakar sayap kanan yang mendorong teori konspirasi. Ketika sam-
pai pada pilihan untuk menyelamatkan nyawa atau ekonomi, Trump tam-
pak lebih khawatir tentang nasib Wall Street.
Terlebih lagi, pernyataan publiknya yang sering membingungkan dan
kontradiktif dipenuhi dengan nada-nada hiperbola dan kepalsuan. Kes-
emuanya berfungsi untuk menyesatkan publik Amerika yang berpotensi
menyebabkan kesengsaraan yang tak terbayangkan, dan bersama dengan

Henry Giroux
125 Pedagogik & Covid-19
Pandemi Covid-19 126
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

kemungkinan bahwa “puluhan ribu, mungkin ratusan ribu, mungkin jutaan


akan sakit dan mati.” Dalam hal ini, ketidakmampuan ditambah dengan
keengganan terhadap para ahli dan bukti ilmiah bisa meningkatkan situasi
menjadi bencana besar bagi publik.
Mengingat penyebaran bencana kesehatan, kekurangan rumah sak-
it, infeksi dan kematian yang sedang berlangsung, para ahli menyerukan
perencanaan strategis jangka panjang, peningkatan uji-laboratorium, dan
koordinasi antara pemerintah federal dan negara bagian. Banyak gubernur
mengeluh bahwa kurangnya persiapan pemerintah federal dan pada akhirn-
ya telah menciptakan sesuatu yang mirip dengan ‘Wild West’ (sistem yang
diliputi oleh kekurangan, ketidakefisienan, dan kekacauan).
Urgensi tuntutan-tuntutan diperkuat oleh fakta bahwa Gedung Putih
dan kepemimpinan di berbagai tingkatan gagal memberikan ‘peringatan’
dan pendekatan pada periode awal krisis ini berjalan. Sebuah laporan dari
The Washington Post menyatakan bahwa Trump butuh 70 hari untuk bisa
mengambil tindakan sejak pertama kali diberitahukan tentang implikasi se-
rius dari virus korona, “not as a distant threat or harmless flu strain well
under control, but as a lethal force that had outflanked America’s defenses
and was poised to kill tens of thousands of citizens.” (The Washington Post,
4/4/2020)
Tentu saja, akan ada banyak orang yang mati akibat dari kebijakan sem-
brono ini, seperti orang-orang yang secara tradisional dipandang dapat dib-
uang di bawah pemerintahan neoliberalisme. Ini termasuk orang tua, orang
miskin, orang miskin dengan kulit berwarna, imigran tak berdokumen dan
orang cacat – belum lagi pekerja medis garis depan yang tidak memiliki
peralatan yang mereka butuhkan untuk keselamatan mereka karena mereka
merawat orang-orang yang sakit akibat virus ini.
Ada banyak yang harus dikerjakan di sini daripada melihat kebejatan
moral yang akut dari selebritas politk yang kurang informasi itu, yang
menyebabkan malapetaka dan penderitaan manusia yang sebenarnya tidak
perlu terjadi dalam masa krisis. Trump selalu memiliki kecenderungan
untuk tidak memedulikan banyak hal dan mementingkan diri sendiri, dan
senang menghina orang lain.
Mengutip Stephen Greenblatt dalam konteks yang berbeda, kata-katan-
ya sangat cocok untuk melihat sosok Trump, “Tidak ada rahasia yang men-
dalam tentang sinisme, kekejaman dan pengkhianatannya, tidak ada pan-
dangan sekilas tentang sesuatu yang dapat ditebus dalam dirinya, dan tidak
ada alasan untuk percaya bahwa ia dapat mengatur negara secara efektif.”
Prilaku Trump yang dekat dengan kekerasan, kebohongan, pengabaian
terhadap ilmu pengetahuan, dan aturan sewenang-wenang telah membuatn-

Henry Giroux
127 Pedagogik & Covid-19

ya mengabaikan peringatan yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para


ahli tentang kemungkinan pandemi yang terus-menerus meningkat. Bentuk
ketidaktahuan yang disengaja dan penghinaan ini dipamerkan dalam pe-
nolakan sebelumnya dan kegagalan kolosal untuk memobilisasi kekuatan
pemerintah federal agar memberikan masker dan melakukan tes yang luas
sambil secara bersamaan memastikan bahwa rumah sakit dan staf medis
memiliki cukup tempat tidur, masker, ventilator dan alat pelindung diri un-
tuk merawat orang yang terinfeksi virus.
Ed Pilkington dan Tom McCarthy melaporkan dalam The Guardian
bahwa Trump tidak hanya meremehkan ancaman virus setelah Organisa-
si Kesehatan Dunia (WHO) mengkonfirmasi bahwa ada 282 kasus yang
terkonfirmasi di beberapa negara pada 20 Januari, tindakannya “terper-
osok dalam kekacauan dan kebingungan.” Daripada bertindak cepat untuk
mencegah bencana kesehatan nasional ini, Trump malah membiarkan enam
minggu berlalu sebelum pemerintahannya menganggap serius ancaman dan
perlunya test massal. Pilkington mengutip Jeremy Konyndyk, juru bicara
pemerintah A.S. terhadap respon bencana internasional pada 2013-2017,
menyatakan: “Kami menyaksikan pemerintahan Amerika Serikat sekarang
ini adalah salah bentuk kegagalan terbesar tata kelola dan kepemimpinan
yang mendasar di zaman modern.”
Trump memiliki kecenderungan untuk mengubah politik menjadi seba-
tas sandiwara teater, dan sesuatu yang lucu/hiburan menjadi sebuah bentuk
kekejaman. Dalam tampilan kepicikan yang mengejutkan, dia secara terbu-
ka mengatakan kepada Wakil Presiden Mike Pence untuk tidak menjawab
panggilan para gubernur yang tidak “menghargai” upayanya untuk menan-
gani pandemi. Ini termasuk Gubernur Washington, Jay Inslee dan Gubernur
Michigan, Gretchen Whitmer, keduanya telah membuat surat permohonan
pasokan bantuan yang sangat dibutuhkannya.
Selain itu, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk mengalihkan
kesalahan dari dirinya sendiri, Trump telah menyerang dan berusaha untuk
mempermalukan wartawan yang mengajukan pertanyaan kritis kepadan-
ya, dan bahkan mengklaim bahwa “rumah sakit telah menyia-nyiakan atau
tidak memanfaatkan masker dengan sungguh-sunguh dan sedang menim-
bun ‘ventilator,’ dan negara-negara bagian itu meminta peralatan meski
tidak sedang membutuhkannya.”
Dia melangkah lebih jauh dengan menyarankan bahwa masker yang
sangat dibutuhkan adalah “kabur lewat pintu belakang.” Sulit untuk meng-
abaikan jenis kekejaman yang dipersenjatai ini, terutama mengingat per-
mohonan yang diajukan oleh para profesional medis yang muncul di media
sosial meminta masker, ventilator, dan peralatan pelindung dan penyelamat
Pandemi Covid-19 128
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

penting lainnya.
Ada banyak orang yang bekerja di sini untuk penanganan, daripada se-
kadar melakukan politik penolakan dan bersilat lidah seperti orang di pihak
Trump; ada juga yang oleh Robert Jay Lifton disebut sebagai “normalitas
ganas,” yang saya tafsirkan sebagai perilaku yang menikmati kekerasan
dan didorong oleh apa yang tampaknya menjadi kesenangan besar untuk
terlibat dalam tindakan kekejaman. Kita telah melihat gaung kekejaman
semacam itu di era lain dengan konsekuensi yang mengakibatkan kematian
jutaan orang, seperti hukuman mati tanpa pengadilan terhadap orang kulit
hitam di Amerika Serikat dan tindakan genosida Nazi di Jerman.
Obsesi Trump terhadap kekayaan dan prestise, serta harga dirinya yang
tak terbatas mendefinisikannya tidak hanya sebagai pemimpin yang tidak
kompeten tetapi juga sebagai tindakan penipuan massal yang berbahaya.
Misalnya, di tengah jumlah kematian yang meningkat dengan cepat di
Amerika Serikat, Trump membual di salah satu penampilan konfrensi pers
“tentang briefing peringkatan [tinggi] gugus tugas virus korona Gedung
Putih.” Ini adalah bentuk teater politik dan pedagogi pandemi yang men-
jadikan korban tewas yang meningkat sebagai layanan hiburan.
Ketidakmampuan Trump menunjukan hasil yang tragis, di mana rumah
sakit penuh sesak, tenaga medis yang kurang memiliki peralatan perlind-
ungan sedang sekarat, dan gubernur negara bagian yang paling terdampak
seperti New York tampaknya malah berseteru dengan Trump, yang leb-
ih nyaman dalam menghina gubernur yang telah mengkritiknya karena
kurangnya kepemimpinan daripada membantu mereka dengan peralatan
medis yang sangat dibutuhkan.
Trump dan pemerintahannya tidak sendirian dalam mendorong nec-
ropolitics yang merayakan kematian seumur hidup, modal atas kebutuhan
manusia, keserakahan atas belas kasih, eksploitasi atas keadilan dan keta-
kutan akan tanggung jawab bersama. Bagaimana lagi untuk menjelaskan
para pemandu suara pendukung Trump di media, ruang dewan perusahaan
dan Gedung Putih berdebat untuk penjatahan perawatan penyelamatan jiwa
berdasarkan usia dan kecacatan untuk mencegah memaksakan ketegangan
drastis pada rumah sakit negara dan ekonomi AS?
Bagaimana cara lain untuk menjelaskan bahwa jauh sebelum krisis pan-
demi ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Naomi Klein, para rasul neoliber-
alisme telah berusaha melakukan pemangkasan anggaran, seperti “pera-
watan kesehatan yang didanai negara, air bersih, sekolah umum yang baik,
tempat kerja yang aman, pensiun dan program lainya untuk merawat orang
tua dan yang kurang beruntung.”
Pada saat yang sama, perang telah dilancarkan oleh kapitalisme brutal

Henry Giroux
129 Pedagogik & Covid-19

pada “gagasan tentang ruang publik dan fasilitas publik.” Salah satu konse-
kuensinya adalah bahwa “fasilitas yang dimiliki publik – jalan, jembatan,
tanggul, dan sistem air – akan tergelincir ke dalam keadaan yang menyedi-
hkan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit yang bisa mendorong mere-
ka keluar dari titik yang paling ekstrim. Bayangkan ketika Anda, secara
besar-besaran memotong pajak, sehingga Anda tidak memiliki uang untuk
dibelanjakan selain anggaran polisi dan militer, dan inilah yang terjadi.”
Apa yang terungkap dalam krisis pandemi saat ini adalah wabah yang
mendasari neoliberalisme yang telah mendominasi ekonomi global selama
40 tahun terakhir, meskipun semakin dicap dengan lencana kehormatan
oleh para politisi fasis, seperti Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Per-
dana Menteri India Narendra Modi, dan lainnya. Korupsi kelas penguasa
juga mudah terlihat dalam paket bailout yang, seperti yang diamati oleh
Rob Urie, sama dengan “Bailout for the Rich, the Virus for the Rest of US.”
Dia menulis:
“Dalam ekonomi, di mana 1% orang terkaya mengambil semua ke-
untungan, sementara yang miskin dan kelas pekerja tidak terlihat
perbaikan kualitas hidupnya, dalam empat dekade belakangan. Itu
berarti; orang kaya yang menuai manfaat sementara pekerja akan
sakit dan mati. Kapitalisme keuanganlah yang seharusnya di-bail-
out ketika sedang sekarat-lemas di tahun 2009.”
Apa yang terungkap dalam pandemi yang menjulang ini adalah kebang-
kitan kembali politik fasis yang tidak malu-malu dengan sejarahnya tentang
ketidaksetaraan yang tidak masuk akal, kekejaman yang nyata dan kebija-
kan regresif. Dasar-dasar neoliberal yang terakhir memiliki warisan pan-
jang di Amerika Serikat dan telah kembali dengan balas dendam di bawah
pemerintahan Trump.
Fasisme neoliberal menandakan kebangkitan teror yang menyuarakan
gema menakutkan terhadap pembersihan rasial dan pelukan kaum eugenics
yang menandai kebijakan pemurnian rezim Hitler dan menjadikan kamp
konsentrasi sebagai titik akhir fasisme. Ini juga merupakan kebijakan yang
dirancang untuk memuat ulang perekonomian di masa krisis.
Kita hidup pada periode di mana berbagai wabah yang memicu pandemi
virus korona saat ini, yang melanda dunia dan menyebabkan kesengsaraan,
penderitaan, serta kematian ekonomi ketika mereka bergerak dalam mas-
yarakat dengan kecepatan tornado yang mematikan. Ini termasuk wabah
perusakan ekologis, degradasi budaya, kemungkinan perang nuklir, dan
normalisasi budaya kekejaman yang brutal.
Selain itu, wabah neoliberalisme telah melancarkan serangan skala pe-
nuh pada penganut negara kesejahteraan. Dengan melakukan itu, ia telah
Pandemi Covid-19 130
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

kekurangan dana dan melemahkan institusi-institusi seperti pendidikan dan


sektor kesehatan publik. Selain itu, neoliberalisme telah memutus sebagi-
an besar orang Amerika dengan kekuasaan dan posisi pemerintahan lainya
yang akan memungkinkan mereka untuk menangani hal-hal ini seperti ben-
cana alam, pandemi, dan serangkaian krisis planet yang tidak dapat diatasi
oleh pasar secara kritis dan cerdas.
Di tengah-tengah pandemi ini, racun kekuasaan kelas penguasa adalah
pusat dari krisis politik, ideologis, dan medis saat ini. Frank Rich benar
dalam pendapatnya:
“[...] pandemi telah mengungkapkan secara khusus bahwa ketidak-
setaraan ekonomi yang ekstrem yang diungkapkan oleh keruntu-
han ekonomi 2008 tetap tidak teratasi. Ada dinamika raksasa yang
diputar sekarang secara real time. Selebriti dan orang kaya adalah
yang pertama dalam barisan orang-orang yang berkesempatan mel-
akukan test virus korona. Rupert Murdoch dan keluarganya menja-
ga kesehatan mereka sendiri sambil mengambil untung dari bisnis
surat kabar yang meremehkan dan langsung memperdebatkan anca-
man virus korona [...] Ketika virus menyebar dari pusat gempa saat
ini di seluruh negeri, perbedaan yang aneh antara para elit dan si
miskin akan membuat film Parasite terlihat sama jinaknya dengan
episode Modern Family.”
Wabah lain, di antara banyaknya virus, adalah munculnya aparatus bu-
daya sayap kanan, seperti Fox News dan Breitbart Media di mana kebe-
naran diperlakukan dengan cemoohan, sains dipandang sebagai penghalang
dan pemikiran kritis difitnah sebagai “hoax/berita palsu.” Ini adalah wabah
ketidaktahuan yang disengaja dan buta huruf sipil yang disetujui negara.
Dalam keadaan seperti itu, bahasa pada tingkat kekuasaan tertinggi dan
di antara perangkat budaya konservatif yang kuat beroperasi dalam bentuk
penolakan, kebohongan, dan kekerasan. Media ini tanpa henti mendorong
teori konspirasi seperti klaim bahwa pandemi adalah produk dari “kondisi
mendalam” yang dirancang untuk mencegah Trump terpilih kembali; tip-
uan yang dibuat oleh Partai Demokrat; atau virus yang tidak kalah berbaha-
ya dari flu biasa. Mereka juga tanpa henti bersikeras bahwa semua masalah
sosial adalah masalah tanggung jawab individu sehingga bisa mendepolitis-
asi publik, sementara mereka acuh tak acuh terhadap klaim neo-fasis bahwa
pemerintah tidak memiliki tanggung jawab untuk merawat warganya atau
bahwa masyarakat tidak boleh diorganisir dengan rasa saling menghormati,
kepedulian, hak sosial dan kesetaraan ekonomi.
Krisis saat ini adalah bagian dari zaman yang ditentukan oleh bencana
ketidakpedulian dan pelarian dari setiap rasa tanggung jawab moral yang

Henry Giroux
131 Pedagogik & Covid-19

layak. Ini adalah zaman yang ditandai dengan penghinaan terhadap kelema-
han, serta rasisme yang merajalela, peningkatan emosi atas alasan, runtuh-
nya budaya civic, dan obsesi terhadap kekayaan dan kepentingan pribadi.
Dalam keadaan seperti itu, kita berada tidak hanya di tengah-tengah
krisis politik, tetapi juga krisis pendidikan di mana masalah kekuasaan, pe-
merintahan, pengetahuan dan penghinaan terhadap kebenaran telah menda-
tangkan malapetaka pada kebenaran dan membahayakan jutaan orang dan
planet itu sendiri. Ini adalah politik yang dipicu oleh mesin disimagination
yang selter politik dan kulturalnya membuat kebenaran, keadilan, etika, dan
yang paling utama, menghilang ke dalam jurang otoritarianisme.
Agar wabah berakhir, sangat penting untuk membahas ideologi fasisme
neoliberal yang mencegah orang menerjemahkan masalah pribadi menjadi
masalah sistemik yang lebih luas dan untuk berjuang secara pedagogis agar
bisa meyakinkan masyarakat untuk bergerak melampaui budaya individual-
istik dan personal yang mendorong masyarakat konsumen dan memperkuat
politik lokal yang terlepas dari pertimbangan yang lebih luas. Krisis politik
ini hanya dapat dipahami sebagai krisis dari totalitas sosial, krisis di mana
serangkaian “penyakit demokrasi membentuk alur politik khusus dari krisis
umum yang menelan tatanan sosial kita secara keseluruhan.”
Saat ini sudah saatnya untuk kita mengakui, bahwa kapitalisme dan
demokrasi bukanlah hal yang sama, dan bahwa titik akhir kapitalisme bu-
kan hanya ketidaksetaraan besar-besaran dan penderitaan manusia, tetapi
juga suatu mesin kematian yang brutal di mana umat manusia selangkah
lebih dekat ke tepi kepunahan. Ini menunjukkan bahwa krisis dapat memi-
liki banyak wujud yang menghasilkan gelombang otoriterianisme dan pen-
indasan, di satu sisi; atau di sisi lain, kebangkitan gerakan-gerakan perla-
wanan di berbagai tingkatan yang bersedia berjuang untuk masyarakat yang
lebih adil dan merata, yang menolak apa yang disebut Brad Evans; teror
massal dan pengusiran.

-000-
Pandemi Covid-19 132
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme

Henry Giroux
133 Pedagogik & Covid-19
134

Lampiran
135 Pedagogik & Covid-19

Tentang Penulis

Alexander M Sidorkin Dekan di Fakultas Pendidikan, Sacramento


State University. Peneliti di bidang Filsafat
dan Ekonomi Pendidikan.

Anggi Afriansyah Peneliti LIPI, lulusan LPTK UNJ. Mendap-


atkan gelar master di UI, bidang sosiologi.

Ayi Hambali Guru sosiologi di SMA Labschool Ciren-


deu, Tangerang Selatan. Lulusan LPTK
UNJ. Kontributor Indonesian Journal of So-
ciology and Educational Policy, vol. 2, no.
2, 2017. Kontributor untuk antologi cerpen:
Janji di Surau Biru (Perahu Litera, 2016)
dan I Have A Dream (Nahima Press, 2016).
Saat ini juga sedang dalam proses menyele-
saikan 1 novel dan 1 bukunya yang berjudul
Pedagogy of Heart.

Ben Williamson Peneliti yang memfokuskan kajiannya pada


Data, Digital technology &Kebijakan Pen-
didikan | University of Edinburgh | Co-editor
of Learning, Media & Technology

Henry Giroux Profesor di departemen studi Bahasa Ing-


gris dan budaya di Universitas McMaster.
Penelitiannya berfokus pada pedagogi kri-
tis, pendidikan, neoliberalisme, dan kondisi
masyarakat dan budaya saat ini.
136

Iman Zanatul Haeri Guru di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqa-


fah dan Pegiat pendidikan di Taman Pembe-
lajar Rawamangun.
Kahfi Jurnalis, lulusan LPM Didaktika UNJ dan
pegiat pedagogik di Taman Pembelajar
Rawamangun. Sekarang sedang aktif di
#DepokLawanCorona

Kenang Kelana Pegiat pedagogik di Taman Pembelajar


Rawamangun serta pemelajar demokrasi di
lembaga Publik Baru.

Lody F. Paat Aktivis pendidikan di Sekolah Tanpa Batas.


Pernah menjadi guru di Fakultas Ilmu Pen-
didikan, UNJ.
Luqman Hakim Guru sejarah di SMA Fons Vitae 1 Mar-
sudirini Jakarta dan Alumni S1 Pendidikan
Sejarah UNJ. Anggota Asosiasi Pengka-
ji Film Indonesia (KAFEIN). Tulisannya
pernah dipresentasikan dalam Internasional
Conference on Indonesia Film di Institut
Seni Indonesia, Surakarta (2019). Salah satu
penelitiannya berjudul, “Menerawang Masa
Lalu di Era Digital: Film Sejarah vis a vis
Historiografi”, telah dipublikasikan di Jurnal
Sasdaya UGM pada 2019.

Neil Selwyn Profesor Riset di Fakultas Pendidikan,


Monash University. Selama 25 tahun tera-
khir, ia meneliti teknologi digital di sekolah,
universitas, dan pembelajaran orang dewa-
sa. Diakui sebagai peneliti internasional
terkemuka di bidang pendidikan digital.

Tyo Prakoso Pembaca dan Perajin Tulisan. Guru Seja-


rah paruh waktu. Lulusan Pendidikan Seja-
rah UNJ. Buku prosa pertamanya berjudul
“Bussum: Cerita-cerita yang Mencandra”
(2017).
137 Pedagogik & Covid-19

PROFIL ORGANISASI
Taman Pembelajar Rawamangun dimaknai sebagai usaha
mengembangakan argumentasi pedagogik dari Soewardi
Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro yang sudah dimulai
oleh banyak orang, khususnya (Almarhum) Prof. H.A.R Tilaar.

Selain berusaha menghadirkan bacaan-bacaan penopang


diskursus pedagogik di Indonesia, kami juga membuka
kelas “Membaca KHD”, yang sudah berlangsung satu
putaran pada tahun lalu. Sebagai usaha membangun
diskursus pedagogik di antara kami, para guru muda
dan publik yang lebih luas, dan kelas membaca ini juga
tidak terbatas pada teks-teks KHD saja, melainkan semua
yang perlu digali dari pemikiran orang-orang yang tidak
mendapat tempat dalam diskursus pendidikan di Indonesia.

Perkumpulan ini didirikan pada awal tahun 2019


oleh teman-teman alumni LPTK di Rawamangun
yang sekarang sudah bekerja di lintas sektor; guru,
jurnalis, wiraswasta, dan pegiat di berbagai lembaga.

Anda mungkin juga menyukai