Juni, 2020.
Buku yang ada di tangan para pembaca ini, tidak akan pernah terbit
tanpa bantuan dari banyak pihak. Terutama kepada para penulis yang
sudah bersedia mengirimkan tulisannya tanpa honorarium. Kemudian juga
kepada penulis-penulis yang mengijinkan tulisannya diterjemahkan dan
dipublikasi, juga tanpa honorarium. Kepada mereka semua, kami ucapkan
banyak terima kasih.
Juga kepada teman-teman di balik-layar yang telah bekerja keras
menyelesaikan buku ini sesuai target; editor, perancang sampul dan
layouter. Bongkar pasang dan memastikan kalimat demi kalimat tentu
pekerjaan yang melelahkan selama sebulan belakangan. Mereka juga
bekerja tanpa honorarium.
Dari awal kesemuanya memang diniatkan untuk mewarnai diskursus
pedagogik, yang dengan datangnya momentum pandemi ini, telah bergairah
kembali. Jadi, bagi kami, ia melampaui honorarium itu sendiri.
Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada mereka yang disebutkan di atas.
Kenang Kelana
Sebagai Awalan
2 Masa Lalu Bangku Sekolah dan Ilmu Pendidikan Kita
Kenang Kelana
Refleksi
Tapal Batas “Tuhan” Digital
96
Kahfi
Tentang Esensi Pendidikan
106
Alexander M. Sidorkin
Epilog
120 Pandemi Covid-19 Mengungkap Wabah Neo-Liberalisme
Henry Giroux
Kenang Kelana
Masa Lalu
Bangku Sekolah 2
dan Ilmu Pendidikan Kita
Masa Lalu
Bangku Sekolah
dan Ilmu Pendidikan Kita
Kenang Kelana
Jakarta, 1 Juni 2020
Kenang Kelana
3 Pedagogik & Covid-19
lepas dari ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2020-2035’ yang telah
disusun pemerintah.
Dokumen PJPI itu merupakan sebuah renstra (rencana dan strategi)1,
yang bisa kita lihat lebih jauh tentang watak sebenarnya dari maksud dan
tujuan pendidikan Indonesia. Lantas bagaimanakah nasib bangku sekolah
(sekolah modern) hari ini dan apa proyeksi dalam dokumen PJPI tersebut?
Apakah pendidikan berbasis digital sudah menjawab persoalan pendidikan
kita hari ini, sebelum, saat dan sesudah pandemi?
Dan jauh lebih penting ialah mempertanyakan titik pijak pendidikan
sekaligus orientasi kebangsaan, apakah hal tersebut telah final dan rampung
dalam dokumen PJPI. Sebab hingga kini, secara tak sadar, nuansa kebijakan
pendidikan seperti terombang-ambing, tak berhulu bagaimana hendak
menuju?
Kebijakan pendidikan sebagian besar hanya menyasar pernak-pernik
teknis pengelolaan sekolah, guru, hingga anggaran pembangunan. Paling
“ilmiah” pembahasan pendidikan terbatas sekadar metode pengajaran.
Padahal saat ini, bisa dianggap sebagai momentum yang tepat mengajukan
alasan filosofis dan ideologis terkait pendidikan nasional. Pandemi
membuka mata bagaimana kerja kebudayaan pendidikan menghasilkan
karakter dan respon kemanusiaan tiap insan keluaran institusi sekolah.
Riwayat Sekolah
Sekolah sebagai terma institusi modern memiliki akar historis yang
panjang, terlebih dalam bingkai sejarah nasional. Di fase sebelum
kedatangan kolonialisme barat, yang menandai embrio modernitas,
masyarakat kita telah mengenal institusi pendidikan, seperti: tajug, surau,
langar hingga pesantren (Azra, 1999).
Kemungkinan dari akar sejarah masyarakat yang sama, sekolah
maupun institusi pendidikan yang telah ada saling berkelindan membentuk,
dibentuk oleh masyarakat. Untuk mengisahkan soal ini, menarik untuk
mengetengahkan adanya sejarah ganda institusi pendidikan kita.
Pada jenis sekolah yang pertama, kita akan melihat satu bentuk
pendidikan dengan konsep ‘sekolah’ atau ‘school’ yang ditawarkan oleh
pihak kolonial, dalam hal ini Hindia Belanda, sebagai bentuk ‘balas budi’
atas apa-apa yang telah mereka curi selama menjajah. Pembuatan sekolah
era kolonial tersebut erat kaitannya dengan semangat etik liberal di Eropa
pada akhir tahun abad ke 19.
Kenang Kelana
5 Pedagogik & Covid-19
Tentu narasi humanistik ini tidak begitu saja diterima, ada modus
operandi lain yang perlu dibaca, misalnya, alih-alih sebagai proyek etis dari
semangat liberal, sekolah malah dimaknai sebagai produsen tenaga kerja
murah yang akan menggerakan pekerjaan sipil (Yudi Latif, 2012).
Bahkan lebih lanjut, ‘beragam pendekatan dalam politik etis
menyebabkan munculnya lembaga-lembaga sekolah dan sekaligus berperan
penting dalam memecah belah maupun menyatukan kelompok-kelompok
yang ada di dalam masyarakat kolonial (Ibid). Sekolah atau school
adalah terma pendidikan modern, yang lahir dari dorongan Pencerahan
dan revolusi industri di belahan dunia utara. Sebagai sebuah proyek
modernisasi, sekolah memiliki ‘fungsi’ (Parson, 1951) menjalankan peran
melengkapi jalannya masyarakat yang demokratis pada ranah politik, dan
penopang ekosistem industri pada domain ekonominya (khususnya dalam
corak ekonomi kapitalistik).
Sebangun dengan perkembangan sekolah kolonial, muncul pula sekolah
pribumi yang dilatarbelakangi sosio kultural dan sosio politik yang berbeda.
Pada model instituti pendidikan yang kedua ini, kita disuguhkan dengan
maksud dan tujuan yang berbeda. Berbeda dari sejarah kemunculanya dan
berbeda secara konseptual dengan sekolah modern di Barat. Konsep itu
bernama ‘paguron’,2 istilah yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantoro
(KHD).
Konsep tua ini menjembatani ‘keaslian’ dari beberapa era dalam
periodisasi sejarah pendidikan Indonesia, sekaligus menjadi antitesis
dari model persekolah barat; school (Dewantara, 1977). Pendidikan di
paguron, bagi KHD dimaksudkan sebagai yang melampaui batas-batas
intelektualistik, individualistik dan materialistik, yang sangat menjiwai
persekolahan modern a la Barat waktu itu.
KHD memasukkan unsur “ketimuran” yang tak dikenal dalam isi
persekolahan kolonial, yakni pendidikan harus juga bisa mengisi ruang
abstrak (ke)batin(an) yang meliputi kesalehan religi dan kesalehan sosial
atau budi pekerti. Pendidikan di paguron adalah pagar yang di dalamnya
terdapat kebun kebudayaan yang perlu ditaman, dirawat, dikembangkan
dan kemudian dipanen menjadi manusia merdeka; tidak hidup diperintah,
mandiri dan sanggup mengatur dirinya sendiri.
Meski dalam perkembangannya kini, konsep tersebut nyaris tak lagi
dikenal dalam horison pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional. Yang
tersisa dari KHD hanyalah institusi Taman Siswa, slogan luhur (tut wuri
handayani), maupun perayaan ulang tahunya yang diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Masa Lalu
Bangku Sekolah 6
dan Ilmu Pendidikan Kita
Kenang Kelana
7 Pedagogik & Covid-19
Kenang Kelana
9 Pedagogik & Covid-19
1
Pernyataan prof. Supriyono, ketua BAN PAUD-PNF, dalam diskusi online yang
diselenggarakan Komunitas Qaryah Thayyibah, sabtu 16 Mei 2020
Paguron, yang arti harfiahnya adalah tempat—dimana guru tinggal, yang juga memiliki
2
makna ‘berguru’.
3
Untuk memahami penjelasan corak pendidikan kontinental dan anglo-amerika lebih jauh bisa
lihat; Biesta, Disciplines and theory in the academic study of education a comparative analysis
of the Anglo-American and Continental construction of the field. 2011
Dikutip dari pernyataan Lody F Paat, dalam diskusi online seri pedagogik Sekolah Tanpa
4
Batas.
5
Tahun tahun 1950an hingga 1960an, banyak digelar konfrensi konferensi terkait nasionalisasi
perspektif keilmuan di Indonesia, salah satunya adalah ilmu sejarah, yang pada tahun 1957
menggelar kongres sejarah agar tidak berorientasi kepada gladak kapal Belanda.
6
Statmen ini dikeluarkan oleh KHD pada saat mendapat cibiran sinis dari pihak pemerintah
kolonial Belanda saat membicarakan Taman Siswa, khususnya tentang paguron, dengan nada
merendahkan; ‘ketinggalan zaman’.
Kenang Kelana
11 Pedagogik & Covid-19
12
LODY F PAAT
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 14
vs Belajar Otentik
BELAJAR DI RUMAH:
Memindahkan Kelas
vs Belajar Otentik
Lody F Paat
Lody F Paat
15 Pedagogik & Covid-19
D alam diskusi ini, bagian pertama, saya akan membahas tentang masalah
belajar di rumah. Pada bagian kedua, saya akan membicarakan belajar
otentik atau tepatnya belajar-mengajar otentik dari sudut pandang segitiga
didaktiknya Lev Vygotsky dan relasi guru murid menurut Paulo Freire.
Lody F Paat
17 Pedagogik & Covid-19
Segitiga Didaktik
Selain menggunakan Vygotsky, saya ingin melihat mengajar-belajar
otentik dari didaktik atau ilmu mengajar, tepatnya segitiga didaktik. Tiga
titik atau sudut segitiga terdiri dari titik guru, titik murid, titik pengetahuan
atau mata pelajaran.
Knowledge
rel
asi
k
kti
pe
ida
ng
d
eta
asi
hu
rel
an
Student Teacher
relasi pedagogis
otentik harus ada relasi pedagogis. Jadi, keliru memisahkan pengajaran dan
pendidikan dengan mengatakan kami guru mendidik tidak hanya mengajar.
Pertarungan terjadi pada pendidikan berpusat kepada guru atau berpusat
kepada murid. Dari sudut Segitiga Didaktik, kita tepatnya menggunakan
teaching-studying-lerning process bukan mengajar belajar apalagi belajar
saja.
Produksi Pengetahuan
Tujuan belajar-mengajar otentik adalah produksi pengetahuan.
Mengikuti pedagogi otentik Fred M. Newmann salah satu kriteria pedagogi
otentik adalah produksi pengetahuan. Produksi pengetahuan dapat dilakukan
melalui seni. Ini artinya, misalnya murid dapat memproduksi pengetahuan
sejarah melalui lukisan atau film. Dengan kata lain, produksi pengetahuan
dapat dikerjakan melalui seni: lukis, fotografi, musik, tari, drama, film
pendek. Produksi pengetahuan ini adalah tujuan belajar-mengajar otentik.
Akan menjadi lebih menarik kalau produksi pengetahuan dikerjakan secara
kolaboratif, bersama baik dalam kelompok atau berpasangan.
Lody F Paat
19 Pedagogik & Covid-19
Penutup
Belajar di rumah tidak menjadi masalah selama murid, pelajar atau
mahasiswi(a) hanya mengerjakan tugas dan studi mandiri. Menjadi masalah
kalau kegiatan belajar mengajar di sekolah dipindahkan ke rumah tanpa
pengorganisasian yang tepat.
Menurut Vygotsky, istilah yang tepat adalah mengajar belajar bukan
belajar tok. Dari Segitiga Didaktik, mengajar belajar otentik mencakup
hubungan guru dan murid dan pengetahuan. Sedangkan dari Freire,
relasi guru dan murid dalam belajar-mengajar otentik adalah relasi yang
membebaskan dan direktif.
Dari perspektif ilmu keguruan: ilmu pendidikan dan keguruan, kita para
guru perlu memperhatikan pengajaran-studying-pembelajaran bukan hanya
pembelajaran atau belajar. Kegiatan pengajaran-studying-pembelajaran
bertujuan memproduksi pengetahuan.
-000-
Catatan:
Teaching-Studying-Lerarning = Pengajaran-Pemelajaran-Pembelajaran
Study: mempelajari, menelaah, menyelidiki
Studying: Penyelidikan, Penelaahan, Pemelajaran
Belajar di Rumah:
Memindahkan Kelas 20
vs Belajar Otentik
Lev Vygotsky
Pinterest.com/Saavedrakatherina
1896-1934
Lody F Paat
21 Pedagogik & Covid-19
MENGEMBALIKAN REALITAS
PESERTA DIDIK KITA
P ara orangtua mulai mengeluhkan tugas dari guru selama belajar dirumah
pada saat pandemik Covid-19 seperti sekarang. Secara umum hal ini
diakibatkan ketidaksiapan sistem belajar di rumah antara orangtua dan
anak. Secara sistemik, ketidaksiapan orang tua disebabkan karena jam kerja
manusia modern (s/d delapan jam di tempat bekerja) tidak memungkinkan
orangtua dan anak untuk bersama sepanjang hari.
Selain itu guru juga mengalami disrupsi. Pembelajaran dirumah hampir
sepanjang minggu dan bulan membuat guru harus membiasakan diri untuk
mengajar didepan layar kecil dan memberikan peserta didik tugas secara
sistemik melalui aplikasi yang mungkin saja baru mereka kenali. Akhirnya
ketidakmahiran berbicara didepan kamera, ketidaksiapan dimonitoring
sepanjang jam ajar, perubahan bentuk penjelasan materi didalam kelas
menuju penjelasan daring, serta laporan dari sekolah yang semakin
menumpuk karena disertai laporan digital, membuat guru merangkum
pembelajaran melalui tugas-tugas yang berat kepada peserta didik. Inilah
yang menyebabkan beban tugas yang ditanggung peserta didik dibagikan
secara tidak langsung kepada para orang tua sehingga sebagai penanggung
jawab dan fasilitator pembelajaran dirumah, orang tua mengambil beban
lebih banyak.
Selain orangtua dan guru, peserta didik sebagai subjek aktif itu sendiri
juga mengalami disrupsi. Sebenarnya dalam proses aktualisasi teknologi
dan transformasi media pembelajaran kelas ke pembelajaran digital, peserta
didik tidak kesulitan secara signifikan. Alasan utamanya karena peserta
didik hari ini adalah digital native atau penduduk asli digital. Mereka
lahir dengan dan bersama teknologi digital. Bahkan mungkin foto mereka
sudah tersebar di media sosial orang tuanya sebelum mereka secara sadar
membuat akun media sosial sendiri. Disamping itu, teknologi yang dipakai
dalam pembelajaran digital tidak lebih canggih daripada perangkat digital
(seperti game online) yang mereka miliki.
Oleh karena itu apabila terjadi ketidaksesuaian koordinasi antara
orangtua, sekolah dan guru, peserta didik akan mendapatkan pembelajaran
yang kurang sempurna. Seperti sinyal yang lemah, materi pembelajaran
tidak terdistribusi dengan baik, kurang fleksibelnya guru dalam memakai
aplikasi digital, dan lain sebagainya.
Di dalam OECD (2019), orang-tua dan tentu saja keluarga, teman
sebaya, sekolah, guru dan masyarakat (serta beragam komunitas di
dalamnya) merupakan co-agen untuk mendukung pembelajaran peserta
didik. Mereka adalah agen pembentuk realitas peserta didik. Dengan
demikian peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dari orang tua,
Mengembalikan Realitas 24
Peserta Didik Kita
media atau habitat digital mereka. Disinilah fungsi utama co-agen atau agen
pendidikan perlu mengarahkan peserta didik untuk kembali pada realitas
yang akan mengembangkan empati mereka. Sebagai contoh peserta didik
hari ini bisa dikategorikan sebagai ‘kaum rebahan’. Meskipun tidak jelas
-000-
Mengembalikan Realitas 26
Peserta Didik Kita
Luqman Hakim
Pembelajaran dan covid 19:: 28
Momentum Untuk Perubahan
Luqman Hakim
Jakarta, 16 juni 2020
Luqman Hakim
29 Pedagogik & Covid-19
Luqman Hakim
31 Pedagogik & Covid-19
Saya pikir penugasan pada saat pembelajaran daring ini tidak banyak
mempertimbangkan kegiatan belajar yang ideal, terutama dalam kondisi
pandemi. Mari kita ambil sebuah contoh tugas yang diberikan oleh guru dan
menganalisanya dari sudut pandang teori pembelajaran. Salah satu aduan
siswa(i) terkait penugasan oleh guru adalah tugas membuat video tentang
Covid-19. Membuat video nampaknya menjadi tren penugasan yang
diberikan oleh guru. Asumsi dasar dari kebanyakan guru memberikan tugas
membuat video adalah karena siswa(i) generasi sekarang dianggap bagian
dari generasi Z yang hidupnya sangat dekat dengan teknologi audio-visual.
Asumsi ini tidak keliru, sebab kita bisa melihat sendiri bagaimana siswa(i)
kita membuat video untuk diunggah sebagai konten di media sosial seperti
Youtube, Instagram, maupun Tik-Tok. Namun, kegiatan pembelajaran
yang dirancang hanya berdasarkan asumsi, sama sekali tidak tepat dengan
implementasi kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan saintifik.
Dalam teori kognitif-nya Bloom/Anderson, kegiatan pembelajaran
dirancang dalam beberapa tahapan. Benjamin Bloom adalah yang
pertama membuat rancangan tahapan pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan kognitif peserta didik. Tahapan tersebut biasa disebut
sebagai taksonomi Bloom. Taksonomi yang dibuat oleh Bloom, lantas
direvisi oleh Anderson (2001).
Taksonomi Bloom ranah kognitif merupakan salah satu kerangka
dasar untuk pengkategorian tujuan-tujuan pendidikan, penyusunan tes, dan
kurikulum di seluruh dunia. Kerangka pikir karya Benjamin Bloom berisikan
enam kategori pokok dengan urutan mulai dari jenjang yang rendah sampai
dengan jenjang yang paling tinggi, yakni: (1) pengetahuan (knowledge);
(2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) analisis
(analysis); (5) sintesis (synthesis); dan (6) evaluasi (evaluation). Satu hal
yang penting dalam taksonomi tujuan instruksional ialah adanya hierarki
yang dimulai dari tujuan instruksional pada jenjang terendah sampai
jenjang tertinggi. Dengan kata lain, tujuan pada jenjang yang lebih tinggi
tidak dapat dicapai sebelum tercapai tujuan pada jenjang di bawahnya.3
Dalam revisi Anderson, jenjang kategori pengetahuan Bloom mengalami
sedikit perubahan, yaitu: mengingat (remember), memahami/mengerti
(understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi
(evaluate), dan menciptakan (create).
Jika mengacu pada Taksonomi Bloom atau juga yang telah direvisi
oleh Anderson, dalam tugas membuat video artinya siswa(i) dituntut untuk
mencapai level kognitif terakhir, yaitu mencipta (create). Dalam hal ini
sebelum siswa(i) dapat membuat video, siswa(i) terlebih dahulu harus
Pembelajaran dan covid 19:: 32
Momentum Untuk Perubahan
menguasai level kognitif sebelumnya, dan telah dievaluasi oleh guru bahwa
mereka mengetahui apa itu video dan juga apa itu virus Covid-19. Lalu
setelah itu, siswa(i) naik ke jenjang pemahaman atau pengertian mengenai
video sebagai media, karakteristik, fungsi dan cara membuat video. Selain
itu, siswa(i) juga telah dapat mengerti tentang virus Covid-19. Dan alur
yang berjenjang ini harus dilalui siswa(i) agar dapat mencapai level kognitif
terakhir, yaitu menciptakan video tentang virus covid-19.
Tugas seperti ini tentu saja tidak mudah bagi siswa(i). Ia pertama-
tama harus mencari dua pengetahuan dasar, mengenai video dan mengenai
Covid-19, lalu menganalisis keduanya agar dapat menjadi satu hasil produk/
konten yang baik. Dalam hal ini, guru harus dapat merancang kegiatan
belajar agar semua siswa(i) dapat melalui jenjang kognitif. Namun, dugaan
saya, hal tersebut acapkali diabaikan. Tugas semacam ini sejatinya akan
lebih cocok jika guru mengambil model pembelajaran Project Based
Learning, dimana siswa(i) diajak berkolaborasi dan mengkombinasikan
pengetahuannya untuk dapat membuat suatu produk hasil pembelajaran
dalam durasi waktu tertentu. Dalam menuntun siswa(i) melewati setiap
jenjang pengetahuan kognitif, guru tidak dapat mendasarkannya hanya
sekedar asumsi bahwa siswa(i) sudah bisa atau sudah tahu. Sebagai
fasilitator, guru perlu menuntun dengan memberikan sumber-sumber
informasi yang tepat, contoh-contoh hasil/produk pembelajaran serupa,
dan memberikan umpan balik pada siswa(i). Sebagai sebuah inisiatif, tugas
seperti ini memang sangat tepat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran
abad 21, tetapi seringkali dalam implementasi, masih banyak hal yang perlu
ditingkatkan.
Selain itu, anjuran pemerintah agar kegiatan pembelajaran selama
pandemi ini tidak terbebani tuntutan untuk menyelesaikan kurikulum pun
nampaknya tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh sekolah. Masih banyak
sekolah yang memberikan jadwal pembelajaran daring selama pandemi
sama dengan jadwal pembelajaran sekolah normal. Begitupun beragam
kegiatan penilaian akhir yang ditujukkan sebagai evaluasi pembelajaran
yang dibebani dengan kriteria ketuntasan minimal. Pada akhirnya,
implementasi kegiatan pembelajaran selama pandemi justru menjadi
masalah baru, ketimbang sebuah kesempatan bagi tenaga pendidik dan
institusi pendidikan mengadaptasikan diri dengan gagasan pendidikan
daring sebagai realita pendidikan di abad 21.
Luqman Hakim
33 Pedagogik & Covid-19
Pembelajaran dan covid 19:: 34
Momentum Untuk Perubahan
Luqman Hakim
35 Pedagogik & Covid-19
and Teaching for 21st Century Skills (ATCS) menyimpulkan empat hal
pokok berkaitan dengan keterampilan dasar abad ke 21 yaitu cara berpikir,
cara bekerja, alat kerja dan kecakapan hidup. Cara berpikir mencakup
kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan
dan belajar. Cara kerja mencakup komunikasi dan kolaborasi. Alat untuk
bekerja mencakup teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan literasi
informasi. Kecakapan hidup mencakup kewarganegaraan, kehidupan dan
karir, dan tanggung jawab pribadi dan sosial.
Secara umum keterampilan abad 21 sering meliputi keterampilan
berpikir kritis, pemecahan masalah (kreatif), komunikasi dan kolaborasi.
Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan untuk melakukan
berbagai analisis, penilaian, evaluasi, rekonstruksi, pengambilan keputusan
yang mengarah pada tindakan yang rasional dan logis. Lalu selanjutnya
kreatifitas merupakan keterampilan untuk menemukan hal baru yang belum
ada sebelumnya, bersifat orisinil, mengembangkan berbagai solusi baru
untuk setiap masalah, dan melibatkan kemampuan untuk menghasilkan
ide-ide yang baru, bervariasi, dan unik. Keterampilan berkomunikasi
merupakan keterampilan untuk mengungkapkan pemikiran, gagasan,
pengetahuan, ataupun informasi baru, baik secara tertulis maupun lisan.
Dan terakhir, keterampilan kolaborasi merupakan keterampilan bekerja
bersama secara efektif dan menunjukkan rasa hormat kepada anggota tim
yang beragam, melatih kelancaran dan kemauan dalam membuat keputusan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama.
Keempat kemampuan dasar ini bukan sekadar dikembangkan dalam
kegiatan pembelajaran yang konvensional, melainkan perlu mengikuti
perkembangan teknologi dan informasi digital. Secara generasi, siswa(i)
sekolah di masa ini dianggap merupakan digital native atau generasi yang
sejak lahir sudah berada dalam perkembangan teknologi dan informasi
digital. Sehingga realitas yang mereka hadapi maupun alat/media belajar
mereka sebenarnya sangat erat dengan hal tersebut. Kemampuan untuk
mengintegrasikan teknologi dan informasi digital tak pelak menjadi
mutlak bagi pendidik dan institusi pendidikan, terutama dalam kerangka
mengembangkan keterampilan dasar siswa(i) di abad ke 21.
Pada dasarnya, integrasi teknologi ke dalam kegiatan pembelajaran
bukan bertujuan menggantikan peran guru, melainkan sebagai alat yang
menawarkan berbagai bentuk kegiatan belajar alternatif.8 Dalam hal ini,
guru dapat menjadi fasilitator yang membantu siswa(i) mengeksplorasi
berbagai informasi yang beredar di jagat maya, dapat memonitor
perkembangan siswa(i) secara digital dengan memanfaatkan platform
Luqman Hakim
37 Pedagogik & Covid-19
Kesimpulan
Pada dasarnya, masa pandemi ini merupakan momentum bagi seluruh
stakeholder pendidikan melakukan evaluasi dan perubahan besar-besaran
terhadap dunia pendidikan. Nada optimis mengenai kesiapan dunia
pendidikan untuk mengintegrasikan diri dengan transformasi digital
telah terbantahkan, dan perlu sebuah inisiatif yang lebih mendasar dan
radikal. Untuk mencapai hal tersebut yang kini perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan adalah bagaimana perencanaan, rumusan kebijakan serta
implementasinya. Peningkatan kualitas guru dan perubahan besar terhadap
manajemen lembaga pendidikan mutlak diperlukan agar sesuai dengan
ekosistem pendidikan yang baru.
Berbagai pekerjaan rumah, terutama kesenjangan dunia pendidikan yang
harus dientaskan pemerintah pun nampaknya bertambah, bukan sekadar
akses dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan.
Kementerian pendidikan juga sedang dituntut untuk meyiapkan kurikulum
darurat sebagai panduan dasar bagi seluruh guru dan sekolah di berbagai
tingkatan. Setidaknya meski penyesuaian perubahan ini tidak dapat
dilakukan secara cepat, pemerintah perlu menyiapkan perubahan dalam
Pembelajaran dan covid 19:: 38
Momentum Untuk Perubahan
-000-
Catatan Kaki
1
https://www.liputan6.com/health/read/4251622/survei-kpai-belajar-di-rumah-selama-covid-
19-bikin-anak-stres-dan-lelah
2
Riset tersebut dilakukan untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah”.
INOVASI mensurvei sekitar 300 orang tua siswa(i) sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota
di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara
(Kaltara), dan Jawa Timur. Selengkapnya https://theconversation.com/riset-dampak-covid-
19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534
3
Imam Gunawan, Anggraini Retno Palupi, “Taksonomi Bloom—Revisi Ranah Kognitif:
Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran dan Penilaian”, http://e-journal.unipma.
ac.id/index.php/PE/article/view/50 diunduh pada 10 Juni 2020 Pukul 21.31 WIB
4
https://www.remotivi.or.id/amatan/600/indonesia-40-nafsu-banyak-tenaga-kurang
5
Chyntia Luna Scott, “The Future of Learning 3: What Kind of Pedagogies for The 21st
Century”, Working Paper, UNESCO, 15 Desember 2015. https://unesdoc.unesco.org/
ark:/48223/pf0000243126
6
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01315684/lptk-belum-cetak-guru-yang-
dibutuhkan-era-revolusi-industri-40
7
Luna, op.cit.
8
Ibid.
9
Ibid.
Luqman Hakim
39 Pedagogik & Covid-19
Ben Williamson
Pandemi Baru:
Jejaring Kekuasaan 40
‘EdTech’
PANDEMI BARU:
Jejaring Kekuasaan
‘EdTech’
Ben Williamson
Ben Williamson
41 Pedagogik & Covid-19
Pengantar
online yang dirancang dengan baik dengan pembelajaran jarak jauh di masa
pandemi ini. Konsensus tentang pembelajaran jarak jauh yang dimediasi
secara digital telah menjadi contoh luar biasa dan dominan dari mobilitas
kebijakan di era ini.
Menurut para peneliti kebijakan, kebijakan pendidikan sekarang tidak
lagi semata-mata berasal dari otoritas keilmuan, tetapi banyak proses
kebijakan kontemporer sekarang melibatkan organisasi non-pemerintah,
pebisnis, serta pakar lainnya dengan jauh lebih kuat dan dominan dalam
arah, gagasan dan perumusan kebijakan, hingga diberlakukannya kebijakan.
Suatu kebijakan tunggal mungkin merupakan hasil dari berbagai kepentingan
dan kepedulian yang secara perlahan diterjemahkan dan disejajarkan atas
nama tujuan bersama. Kebijakan juga melintasi perbatasannya; dipinjam,
dibagikan, diadaptasi, dan dikontekstualisasikan ulang, serta dirancang dan
dibuat ulang melalui keterlibatan berbagai pelaku dari berbagai sektor.
Kondisi mobilitas kebijakan, seperti tertera di atas, telah terbukti ideal
memasifkan ide serta praktek teknologi dan media pendidikan. EdTech
semakin hadir dalam kebijakan pendidikan formal sebagai hasil dari upaya
signifikan jaringan advokasi, think-tank, konsultan, koalisi kampanye,
dan tentunya lobi bisnis. Wacana dan agenda kebijakan seputar pendidikan
digital, ‘pembelajaran yang dipersonalisasi’ dan ‘AI dalam pendidikan’
telah menyebar dengan cepat di seluruh dunia, dibingkai oleh berbagai
jaringan. Hubungan jaringan kekuasaan EdTech ini secara aktif melakukan
intervensi ke dalam sistem pendidikan dengan menyarankan harapan-
harapan dan bentuk baru dari kemungkinan pendidikan dan masa depannya.
EdTech telah lama dijadikan momok ‘pengganggu’ yang kuat dalam
dunia pendidikan. Selama krisis virus korona yang sedang berlangsung
ini, para jejaring kekuasaan pandemi baru ini telah mulai bersatu di sekitar
klaim ‘EdTech tidak hanya mengganggu, tetapi pada kenyataannya bersifat
‘palliative’--solusi yang tidak menyelesaikan problem sebenarnya. Salah
satu contoh adalah jaringan kolaboratif EdTech yang difasilitasi oleh
perusahaan bisnis Inggris bernama Emerge Education. Dianggap sebagai
‘kolaborasi industri EdTech untuk membantu sekolah dan perguruan tinggi
menangani COVID-19 dan kebutuhan untuk pembelajaran di rumah,’
Pertemuan online ini menunjukkan perpaduan lintas sektor yang beragam
dari bisnis teknologi berbasis di AS (Adobe, Amazon Web Services, Google,
Microsoft), bersama edu-bisnis yang berbasis di Inggris dan pendukungnya.
Tujuan utamanya adalah untuk membantu para pemimpin sekolah dan guru
belajar bagaimana ‘sumber daya EdTech yang dikuratori (baik online dan
offline) untuk mengatur belajar dari rumah yang efektif.’
Ben Williamson
43 Pedagogik & Covid-19
Untuk tujuan yang palliative ini, dan tujuan jangka panjang ‘investasi’ ke
dalam ‘sistem pendidikan masa depan,’ para koalisi telah menggabungkan
mitra dari berbagai sektor, termasuk organisasi internasional, masyarakat
sipil dan perusahaan swasta.
Selain dana tersebut, Bank Dunia juga membuat katalog praktik terbaik di
seluruh dunia untuk mendukung pembelajaran jarak jauh melalui teknologi
pendidikan, dan bekerja sama dengan kementerian pendidikan nasional
setempat untuk mengembangkan kapasitas mereka:
Bank Dunia secara aktif bekerja dengan kementerian pendidikan
di puluhan negara dalam mendukung upaya mereka untuk
memanfaatkan teknologi pendidikan dari segala jenis. Untuk
memberikan kesempatan belajar jarak jauh bagi siswa(i) saat
sekolah ditutup karena pandemi COVID-19, dan aktif berdialog
dengan lusinan lainnya.
Ben Williamson
45 Pedagogik & Covid-19
Ben Williamson
47 Pedagogik & Covid-19
Ben Williamson
49 Pedagogik & Covid-19
terpilih. Salah satu fitur utamanya adalah video ‘Homeroom’ harian dengan
Salman Khan dari Khan Academy, mitra koalisi UNESCO lainnya.
Salman Khan juga merupakan penulis buku yang mempopulerkan
argumen bahwa sekolah konvensional telah ‘usang’ dan dapat diperbaiki
melalui ‘filsafat pendidikan yang ramah teknologi’. Dalam visi masa
depan Khan tentang pendidikan publik, batasan antara sekolah dan home-
schooling menjadi keropos, karena ‘flipped classrooms’ bergabung bersama
oleh teknologi jaringan yang cerdas:
Khan Academy adalah embrio berbasis perangkat lunak kelas satu
dunia. Ini bukan sistem yang berfungsi penuh, dengan sendirinya.
Khan Academy lebih seperti otak pemrograman yang dapat diakses
oleh sisa sistem saraf (different brick-and-mortar schools and home-
schools) untuk partisipasi yang sama dalam free global education.
Ben Williamson
51 Pedagogik & Covid-19
Hal ini tetap menjadi masalah kritis, karena pandemi baru jaringan
kekuatan EdTech berencana untuk menancapkan pengaruhnya ke dalam
sistem pendidikan publik di masa depan.
-000-
Referensi:
Verger, A. (2016) The rise of the global education industry: some concepts, facts
and figures. Education International, March 14th
Ben Williamson
53 Pedagogik & Covid-19
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
Selama Pandemi
Anggi Afriansyah
Jakarta, 1 Juni 2020
Anggi Afriansyah
55 Pedagogik & Covid-19
Empati
Empati didefinisikan KBBI Kemdikbud sebagai: keadaan mental yang
membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan
perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.2
Situasi sulit ini membutuhkan empati besar bagi siswa(i) yang berasal dari
keluarga miskin.
Kondisi bisa berubah ketika mereka memiliki guru-guru militan
yang bersedia mendatangi rumah satu per satu untuk menjamin proses
pendidikan tetap berlangsung. Seorang teman di Pangandaran, Jawa Barat,
bercerita tentang kesulitannya melaksanakan PJJ. Anak-anak di sekolahnya
berasal mayoritas berasal dari keluarga yang kurang mampu. Gawai jelas
mustahil mereka miliki. Ia dan guru-guru harus mendatangi para siswa(i) di
Anggi Afriansyah
57 Pedagogik & Covid-19
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
58
Selama Pandemi
-000-
Menyoroti Pendidikan
bagi “Si Miskin”
60
Selama Pandemi
Catatan kaki:
Webinar Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal yang
1
Referensi:
Ekaputri, Andini Desita & Afriansyah.Anggi. 2020. Mendukung Anak-anak
Penyandang Autisme Sekama Masa Pandemi. Sumber: https://kependudukan.
lipi.go.id/id/berita/53-mencatatcovid19/941-mendukung-anak-anak-penyan-
dang-autisme-selama-masa-pandemik-covid-19. Diakses 12 Juni 2020.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/empa-
ti. Diakses 11 Juni 2020.
Kemdikbud. 2020. Pedoman Pelaksanaan Belajar Dari Rumah Selama Darurat
Bencana COVID-19 di Indonesia.
Sumber: https://bersamahadapikorona.kemdikbud.go.id/pedoman-pelaksanaan-be-
lajar-dari-rumah-selama-darurat-bencana-covid-19-di-indonesia/. Diakses 12 Juni
2020.
UNICEF. 2020. COVID-19: Number of children living in household poverty to
soar by up to 86 million by end of year. Sumber: https://www.unicef.org/press-re-
leases/covid-19-number-children-living-household-poverty-soar-86-million-end-
year. Diakses 12 Juni 2020.
UNICEF. 2020. For many in Bangladesh, staying home isn’t an option. Sumber:
https://www.unicef.org/coronavirus/many-bangladesh-staying-home-isnt-option.
Diakses 12 Juni 2020.
UNESCO. 2020. Covid-19 Impact on Education. Sumber: https://en.unesco.org/
covid19/educationresponse. Diakses 12 Juni 2020.
World Health Organization. 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situ-
ation Report-69. Sumber: https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/
situation-reports/20200329-sitrep-69-covid-19.pdf?sfvrsn=8d6620fa_8. Diakses
12 Juni 2020.
Webinar Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Menghadapi Era New Normal
yang Diselenggarakan oleh BPIP RI, 9 Juni 2020.
Anggi Afriansyah
61 Pedagogik & Covid-19
62
Tyo Prakoso
Jakarta, 1 Juni 2020
Tyo Prakoso
65 Pedagogik & Covid-19
P ada 1912, seorang pemuda berusia 28 tahun, yang baru saja pulang
dari Tanah Suci untuk belajar agama, lalu bekerja di konsulat sebagai
penerjemah—sekaligus menunaikan ibadah haji, tentu saja. Selang beberapa
waktu, setibanya di kampung halaman, ia segera meminang kembang-desa
yang telah lama dilamarnya. Selepas menikah, pemuda berusia 28 tahun
itu berpesan pada kembang-desa itu, yang baru saja resmi menjadi istrinya:
“banyak-banyaklah berzikir dan membaca...”
Saya rasa itu bukanlah pesan yang diharapkan di malam pertama.
Percayalah itu bukanlah pesan suami terhadap istri yang biasa-biasa saja.
Mungkin ini pesan teramat penting dan prinsipil. Sebab pemuda itu berharap
pada istrinya, kelak ketika mereka memiliki anak, tidak akan disekolahkan
di sekolah formal. Anak-anak akan dididiknya sendiri. Mungkin ini awal
dari sebentuk kekecewaan atas sebuah formalitas yang bernama sekolah.
Karena sekolah seringkali tak sesuai yang diharapkan. Sekolah adalah
taman bermain yang batasannya tak pernah kita bisa mengerti. Taman
bermain itu biasanya di luar kontrol pengendali sekolah. Mungkin itu
alasan mengapa pemuda itu berpesan demikian.
Kemudian kita tahu, pemuda itu adalah Haji Agus Salim, dan kembang-
desa itu—istrinya—adalah Zaitun Nahar. Lalu, sejarah pun mencatat,
pasangan itu memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik,
Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada
masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.
Dan benar saja, kedelapan anak itu tak ada satu pun yang disekolahkan di
sekolah formal, semua dididik oleh sang bapak dan ibunya, di rumah. Ya,
di rumah.
Mungkin kita bertanya-tanya; mengapa Haji Agus Salim—seorang
diplomat cerdas yang mampu menguasai berbagai bahasa asing, menteri
luar negeri pertama negara Indonesia dan sahabat terbaik dan orang
kepercayaan Soekarno di masa awal Revolusi dalam urusan berdiplomasi—
tak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal? Apa karena
Haji Agus Salim tak terlalu percaya dengan pendidikan sekolahan? Apa
Haji Agus Salim lebih mempercayai konsep sekolah homeschooling yang
akhir-akhir ini kembali trendi? Atau memang hanya karena ia memiliki
pengalaman buruk dengan sekolah semasa ia remaja dulu, sehingga tak
mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal?
Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu
orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto—pemimpin Sarekat Islam itu, tak
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian
dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri
Belajar di Rumah Saja 66
a la Haji Agus Salim
Tyo Prakoso
67 Pedagogik & Covid-19
credit: historia.id
Belajar di Rumah Saja 68
a la Haji Agus Salim
Haji Agus Salim juga mendidik dengan sifat kritis dan korektif. Artinya,
ia selalu menghargai sebuah pendapat dan argumentasi yang diajukan
oleh anak-anaknya. Haji Agus Salim membawa sebuah kegiatan belajar-
mengajar menjadi sebuah dialogis yang mengasikkan. Yang menurutnya,
itu mungkin tak didapatkan anak-anaknya bila bersekolah di sekolah
formal. Sebagaimana kita ketahui, sekolah kerap diasosiasikan sebagai hal-
hal yang menyeramkan, layaknya rumah hantu atau taman pemakaman.
Tak terkecuali pada masa di mana Haji Agus Salim dan anak-anaknya
tumbuh.
Membaca apa yang sudah dilakukan oleh Haji Agus Salim terhadap
keluarganya, terutama anak-anaknya, mengenai pendidikan puluhan tahun
yang lalu itu, mungkin ada baiknya kita merenungi pula: apa ‘sekolah’
masih relevan untuk hari ini dan masa depan? Jika iya, bagaimana model
dan bentuk sekolah itu?
Lagi-lagi saya tidak tahu. Yang saya tahu, sekitar 30 puluhan tahun
lalu, Ivan Illich (1926-2002), pemikir kelahiran Vienna, Austria itu, sudah
mengingatkan perlunya kita melakukan—meminjam istilah budayawan-
cum-sastrawan Romo Sindhunata mengenai konsep pendidikan Illich—
‘de-sekolah-isasi masyarakat’ atau deschooling society. Memang, ada
nada skeptis Illich di sini. Illich tak melihat kegunaan sekolah bagi hidup
‘sesungguhnya’ dalam bermasyarakat.
Bagi Illich, sekolah layaknya dunia aneh di tengah masyarakat yang
begitu lekat terhadap realitas. Artinya, bagi Illich, sekolah mendistorsikan
realitas masyarakat. Meskipun banyak salah-kaprah dan gagal-paham
mengenai gagasan deschooling society-nya Illich; dikiranya Illich berupaya
menegasikan sekolah. Saya rasa, Illich hanya berupaya mereinterpretasikan
pemahaman kita tentang sekolah; bahwa sekolah bukanlah satu-satunya
lembaga pendidikan yang sakral, Illich berharap ada altenatif yang bisa dan
mampu memerankan fungsi sekolah pada masyarakat.
Di titik ini, kita tahu bahwa satu abad sebelum Illich mengemukakan
gagasannya Haji Agus Salim telah mahfum perihal itu, bahkan ia
mempraksiskan apa yang dikemukan Illich. Saya mengerti, kita memang
kerap silau dengan segala sesuatu yang datang dari barat, padahal selama
ini matari terbit di timur. Percayalah…
Bagi Haji Agus Salim sekolah memang sangat memperhatikan. Tapi—
dalam konteks Indonesia 70 tahun yang lalu—ia masih mempercayai
akan kegunaan sekolah bagi kehidupan bangsa dan negara, terlebih bagi
bangsa yang baru saja merdeka seperti Indonesia. Haji Agus Salim selalu
percaya—sama seperti para pendiri Republik kita yang lainnya—bahwa
Tyo Prakoso
69 Pedagogik & Covid-19
Tyo Prakoso
71 Pedagogik & Covid-19
melacak makna-makna dalam setiap bait dan larik puisinya; atau seorang
pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya.
Jika begitu, lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk
sekolah masa depan tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang
dipertemukan saban pagi sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang
kelas, lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan,
hubungan “guru-murid” itu begitu mesra, intim dan didaktis. Layaknya
seseorang yang tengah membaca sebuah novel ataupun puisi dengan
khidmat dan takjub. Dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita
tidak lagi memandang sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya
dalam upaya memproduksi, menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai
kehidupan yang menjadi pedoman.
Tapi banyak ‘lembaga-lembaga’ lain yang bisa dan mampu melakukan
peran dan fungsi tersebut. Dan saya pun berdoa—jika pun sekolah mesti
tetap ada—agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga yang
membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah
rutinitas yang menjenuhkan. Tapi sekolah menjadi sebuah perjalanan
yang begitu mengasikkan; guru dan murid layaknya seorang flaneur yang
tengah berkelana ke berbagai belahan dunia; menikmati beragam hal yang
menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Begitu pun
seharusnya sekolah, saya rasa. Haruslah menumbuh-bentukkan rasa, karsa,
dan karya setiap murid dan gurunya.
Ah, jika sudah begini, saya selalu ingin segera mengayuh sepeda keliling
kampung sekitar rumah, atau masuk takjub ke dalam keindahan bahasa yang
diutarakan oleh berbagai karya sastra. Mungkin memang begitu riwayat
hal yang gak penting-penting amat. Ia kerap dilupakan oleh sekerumunan
orang, hanya karena hal itu dipandang tak berfaedah atau dirasa semua
orang telah mengetahui dan memahaminya; sehingga melakukan hal yang
enggak penting-penting amat adalah sebuah kemewahan di era ketergesaan-
kelekasan-keserbacepatan dan ke-ke-ke… yang lainnya.
Tapi tunggu dulu, sebelum saya menutup esei ini, saya jadi teringat
imbauan salah seorang seniman kampus saya: hati-hati sekolahmu
mengganggu pendidikanmu! Dan saya kira imbauan itu sudah disadari oleh
Haji Agus Salim satu abad yang lalu. Ah, kita memang selalu begitu kan;
tidak pernah mau belajar dari sejarah. Astaga.
-000-
Tyo Prakoso
73 Pedagogik & Covid-19
Neil Selwyn
Sumber: http://redencuentros.org/
Pendidikan Digital 74
Setelah Covid-19
PENDIDIKAN DIGITAL
SETELAH COVID-19:
Sebuah Keprihatinan
& Harapan Kritis
Neil Selwyn
Neil Selwyn
75 Pedagogik & Covid-19
Pengantar
S eperti yang sedang kita amati sekarang dengan berbagai cara di seluruh
dunia, bahwa pandemi ini telah membawa banyak persoalan di ruang
politik dan pergulatan sosial yang berkepanjangan. Jadi untuk masa yang
akan datang, diskusi tentang teknologi dan pendidikan digital perlu lebih
difokuskan pada; memastikan bahwa pandemi ini tidak digunakan sebagai
alasan untuk mencari keuntungan lebih lanjut dari pendidikan publik
oleh korporasi. Sebaliknya, kita yang terlibat dalam studi kritis tentang
pendidikan digital perlu bekerja dengan cepat untuk mengembangkan
narasi tandingan serta agenda alternatif untuk menumbuhkan harapan
bahwa peristiwa luar biasa ini mungkin mempunyai makna sebagai katalis
untuk menata kembali keadaan pendidikan publik yang lebih baik bagi kita
semua. Mari kita pikirkan dua poin ini dengan sedikit lebih detail.
masukan ide dan mencoba berbagai program baru’. Setelah itu, Perusahaan
EdTech seperti Sal Kahn terbukti sangat cepat bicara tentang ‘lapisan emas’
dari bencana COVID-19 ini. Andrew Cuomo - gubernur negara bagian New
York - menyuarakan sentimen ini ketika berdebat pada bulan Mei tentang
ide-ide layanan pendidikan online di masa depan, yang canggih di seluruh
sistem pendidikan:
Di sekolah model lama, semua orang pergi dan duduk di ruang
kelas dan guru ada di depan ruang kelas itu, dan mengajar kelas itu,
dan Anda melakukannya di seluruh kota, di seluruh negara, semua
bangunan ini, semua ruang kelas fisik ini. [...] mengapa, dengan
semua teknologi yang Anda miliki? [...] Sulit untuk mengubah
status quo. Tetapi Anda mendapatkan momen dalam sejarah di mana
orang mengatakan, “OKE, saya siap. Saya siap untuk perubahan.
Saya mengerti. Saya pikir ini adalah salah satu momen itu.”
Neil Selwyn
77 Pedagogik & Covid-19
Neil Selwyn
79 Pedagogik & Covid-19
Kesimpulan
Terlepas dari bagaimana pandemi itu terungkap, penting bahwa
diskusi semacam itu dimulai untuk membangun garis-garis argumen
baru dan serangkaian instruksi baru. Di atas semua itu, penting untuk
mendiversifikasi suara-suara yang dipanggil untuk mengatur agenda-agenda
ini. Seperti yang ditulis Bianca Wylie (2020) setelah bencana Toronto
‘SideWalk Labs’: ‘pengadaan teknologi dengan demikian merupakan salah
satu kerentanan demokrasi terbesar yang ada saat ini.’ Di atas semua itu,
penting bahwa kita bekerja untuk memastikan bahwa percakapan tentang
pendidikan (pasca) pandemi tidak dibingkai semata-mata tentang masalah
teknologi dan/atau dipimpin semata-mata oleh kepentingan teknologi.
Penting untuk mendorong counter narasi bahwa membayangkan kembali
pendidikan publik bukanlah ‘masalah teknologi’. Meskipun, percakapan
ini harus diputar dengan kuat ke inti masalah - yaitu pendidikan sebagai
masalah sosial.
Singkatnya, para sarjana pendidikan kritis harus memiliki peran yang
jelas, yang bisa dikerjakan untuk membantu upaya-upaya diskursus yang
Pendidikan Digital 80
Setelah Covid-19
-000-
Catatan kaki:
1
.adalah kepanjangan dari; National Assessment Program – Literacy and Numeracy. Sebagai
program ujian nasional di Australia
Referensi
Cuomo,A. (2020) cited in: https://thehill.com/changing-america/resilience/smart-
cities/496219-new-york-will-work-with-gates-foundation-to
Hartzog, W. (2020) Coronavirus tracing apps are coming. Los Angeles Times,
14th May,
Hess, F. (2020). No, COVID-19 is not a swell chance to market your Ed-Tech
‘solution’. Forbes, 13 March,
Neil Selwyn
81 Pedagogik & Covid-19
Ayi Hambali
83 Pedagogik & Covid-19
S eperti yang sudah teman-teman baca dari judul di atas, pada tulisan
ini saya hendak mengajak teman-teman pembaca berandai-andai
tentang keadaan pendidikan kita pasca COVID-19 sembari berkenalan
dengan seorang tokoh filsafat yang pikirannya mungkin bisa memberikan
jalan untuk menjelaskan, sekaligus mengilhami praktik pendidikan
yang bisa kelak kita lakukan. Meski pada kenyataanya, pandemi korona
belum berakhir dan tidak ada satu pun dari kita yang dapat memastikan
apakah wabah global ini benar-benar menemukan akhirnya atau justru
menjadi normal baru dalam kehidupan kita. Apa yang akan terjadi dengan
pendidikan jika pandemi ini benar-benar berakhir dan apa juga yang akan
terjadi jika justru pandemi ini memaksa kita beradaptasi dengan kondisi
baru yang setidaknya sudah tergambarkan oleh keadaan kita saat ini?
Menyaksikan sekaligus menjalani secara langsung kegiatan pendidikan
saat pandemi seperti ini membuat saya teringat dengan sebuah buku
yang terakhir kali saya baca saat masih berkuliah, pada 2017. Buku
tersebut berjudul “The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Intellectual
Emancipation” (1991) karya Jacques Ranciere. Sebuah novel filsafat yang
dalam hemat saya bisa sangat relevan untuk kita bahas dalam konteks
keadaan pendidikan di Indonesia dan dunia saat ini.
Novel itu bercerita tentang seorang guru bernama Joseph Jacotot yang
diminta mengajarkan siswa-siswi asal Belgia belajar bahasa Prancis, tapi
karena Jacotot tidak bisa berbahasa Flemish akhirnya Jacotot tidak bisa
mengajarkan apapun ke murid-murid tersebut. Dari sinilah istilah “Ignorant
Schoolmaster” bermula, diambil dari sejarah tentang guru yang tidak tahu/
tidak mengajarkan apa-apa ke siswa(i)nya. Namun menariknya, di akhir
cerita siswa-siswi tersebut ternyata bisa belajar dan menguasai bahasa
Prancis tersebut tanpa bantuan penjelasan guru (Jacotot) sedikit pun.1
Singkatnya, bagi saya inti cerita Jacotot akan berkaitan dengan
kondisi hulu (sistem) dan hilir (parktek) pendidikan kita saat ini dalam
beberapa hal. Pertama adalah adanya jarak antara guru, siswa(i) dan materi
pembelajaran yang tidak sengaja terbentuk oleh keadaan. Pada kasus
cerita Jacotot, jarak terjadi karena keterbatasan bahasa yang dimilikinya
sehingga pembelajaran terganggu dan menjadi tidak biasa. Sementara itu,
saat ini, jarak fisiklah yang menghambat sehingga jarak fisik menjadikan
guru tidak bisa mengontrol sepenuhnya pembelajaran seperti umumnya
terjadi di kelas. Kedua, bahwa dua bentuk kendala pendidikan tersebut
sama-sama berimplikasi dalam meginterupsi suatu tatanan kapitalisme
pendidikan serta hegemoni sistem-sistem yang telah melekat di dalamnya.
Jelasnya, pendidikan pasca COVID-19 tidak hanya akan berbicara tentang
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 84
Jacques Rancière
Creator: B. A. Nicolet
Ayi Hambali
85 Pedagogik & Covid-19
Ayi Hambali
87 Pedagogik & Covid-19
Ayi Hambali
89 Pedagogik & Covid-19
-000-
Ayi Hambali
91 Pedagogik & Covid-19
Catatan kaki:
1
Untuk lebih lengkapnya silahkan dibaca Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five
Lesson in Intellectual Emancipation (1991)
2
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52845510 (Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
3
https://tirto.id/update-corona-29-mei-2020-di-indonesia-data-pandemi-dunia-terkini-fDD5
(Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
4
https://en.unesco.org/covid19/educationresponse (Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 11.50)
5
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7
6
Charles Bingham & Gert Biesta, Jacques Ranciere: Education, Truth, Emancipaton (New
York: Continuum, 2010), hal. 26.
7
Satriwan Salim “Hasil UKG Jakarta Sangat Rendah: Sebuah Tijauan Kritis Reflektif”
https://klikanggaran.com/opini/hasil-uji-kompetensi-guru-jakarta-sangat-rendah-sebuah-tin-
jauan-kritis-reflektif.html (Diakses Pada 31 Mei 2020, Pukul 12.00)
8
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7-8
9
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 1
10
Larasati Ariadne Anwar, “Gubernur DKI Jakarta: Senin, 1 Juni, Penentuan PSBB
DKI Jakarta,” https://bebas.kompas.id/baca/metro/2020/05/31/gubernur-dki-jakar-
ta-senin-1-juni-evaluasi-penentuan-psbb-dki-jakarta/ (Diakses pada 31 Mei 2020, pukul
10.00)
11
Jacques Ranciere, The Ignorant Schoolmaster: Five Lesson in Inttelectual Emancipation
trans. Kristin Ross, (California: Stanford University Press, 1991), hal. 7
12
Robertus Robet, “Pendidikan Kita Setelah Pandemi”, https://majalah.tempo.co/read/lapo-
ran-khusus/160332/apa-yang-terjadi-dengan-pendidikan-kita-setelah-pandemi-corona?utm_
source=facebook&amp%3Butm_medium=heru&amp%3Butm_campaign=heru
(Diakses pada 30 Mei 2020, pukul 12.02)
Referensi:
Bingham, Charles & Gert Biesta. 2010. Jacques Ranciere: Education, Truth,
Emancipaton. New York: Continuum.
Pendidikan Paska Covid-19
dari Sudut Pandang 92
Jacques Rancière
Ayi Hambali
93 Pedagogik & Covid-19
94
Refleksi
95 Pedagogik & Covid-19
Kahfi
Tapal Batas
“Tuhan”
Digital
Kahfi
Depok, 1 Juni 2020
Kahfi
97 Pedagogik & Covid-19
I nilah nasib dunia saat ini di tengah wabah Covid-19 menerpa berbagai
negara. Segala tatanan normal yang seakan ditutupi permukaan air laut,
surut dan menyisakan kecadasan karang. Pandemi menguji otot pemerintah
dan bungkusan organisme sosial di tubuh suatu negara. Pandemi
menunjukkan balutan tubuh itu sebenarnya bobrok.
Banyak kerusakkan terjadi di sana-sini. Kelemahan sistem organisasi
pemerintahan, jaring pengaman sosial, keandalan data kependudukkan,
serta sirkus anggaran negara ternyata adalah realitas di balik hingar bingar
sandiwara politik maupun pernyataan prestasi ekonomi.
Pandemi mengancam keselamatan masyarakat, dan lebih mengorbankan
masyarakat tak berpunya. Bila golongan kaya masih memiliki kapal-kapal
motor besi melindas karang terjal menuju tengah lautan, rakyat biasa
hanya bermodal perahu papan yang lambungnya cepat robek selagi hendak
menyelamatkan diri.
Dalam realitas tersebut, pandemi ikut menguji cara-cara pemerintah
mengelola negara maupun di balik layar maupun isi kepala para ahli
yang berkontribusi merumuskan kebijakan. Di kejauhan mereka melihat
bibir pantai yang rata dengan gelombang tanpa satupun karang, sehingga
kebijakan diformulasikan seragam tanpa peduli tantangan hidup arus
bawah.
Seperti antisipasi penyebaran virus lebih luas, pemerintah beramai-
ramai (Pusat dan Daerah) menggulirkan kebijakan pembatasan interaksi
fisik/sosial, menganjurkan hidup bersih, mengonsumsi makanan bergizi.
Transportasi massal dibatasi. Pusat-pusat perkantoran ditutup. Sekolah-
sekolah ikut diliburkan. Kampanye bekerja dari rumah (WFH/Work From
Home) hingga sistem pendidikan jarak jauh (PJJ) diharapkan bisa memutus
rantai penyebaran virus.
Asumsinya, kini masyarakat telah mengakrabi dunia digital berkat
kemajuan teknologi informasi. Berbagai aktivitas bisa dilakukan tanpa
harus berdatangan ke lokasi kantor maupun sekolah, sehingga kerumunan
mampu dihindarkan.
Untuk mereka yang terimbas, termasuk nasib pekerja harian, pedagang
eceran, penjaja kuliner kaki lima, disiapkan kucuran bantuan. Sedangkan
para siswa(i) dibekali pulsa dan data agar bisa mengikuti PJJ.
Kenyataan umum yang berlangsung di tengah masyarakat berkebalikkan
dengan itu semua. Para pekerja harian terutama di kota-kota urban tetap
berkeliaran karena nafkah keluarga tergantung di pundak mereka. Kasus
kucuran bantuan yang tak sesuai kondisi masyarakat seiring kekacauan data
Tapal Batas
“Tuhan” 98
Digital
Produk Sekolah
Seandainya produk sekolah tak melenceng, mungkin masyarakat
menikmati kegotong-royongan mulai di tengah-tengah mereka, juga
Kahfi
99 Pedagogik & Covid-19
Kematian Pendidikan
Narasi merupakan papan tolak penting bagi setiap kemajuan umat
manusia. Tanpa narasi, pendidikan yang seolah ditransmisikan kepada
sekolah sesungguhnya tak berkontribusi buat kemajuan.
Sewaktu sekolah tak mempunyai narasi mandiri, maka tuhan lain
Tapal Batas
“Tuhan” 100
Digital
mengisi kekosongan hal tersebut. Akan tetapi, Neil Postman menilai itu
semua merupakan tuhan yang gagal.
Tuhan-tuhan tersebut hanya menyajikan dunia sebagaimana adanya
kemajuan, mengharuskan para pengemban misi di sekolah untuk
menyediakan metode mencapai pemahaman tersebut. Para guru jadi
inovator dan motivator dalam produksi metode.
Lebih mengutamakan pertanyaan “bagaimana” bukan “mengapa”. Tak
lagi ada kemungkinan baru yang dirintis dari sekolah untuk menyelaraskan
jalan kemajuan, hilangnya daya bertanya mengapa kemajuan harus melaju
ke suatu arah, apa saja imbasnya, dan mampukah dikendalikan bagi
kebaikan nilai kemanusiaan?
Sekolah menjadi asing terhadap masalah yang hidup di tengah
lingkungannya. Para penghuni sekolah hanya hidup dari mata pelajaran ke
mata pelajaran, mencoba metode yang memaksakan kebolehan atas suatu
mata pelajaran kepada para muridnya.
Kritik lebih uzur datang dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar
Dewantara (KHD). Sosok yang sangat menguasai aliran pendidikan barat
(mejadi pelajar pendidikan di Eropa), KHD justru telah lama melontarkan
ketidaksetujuannya dengan “fiksi pendidikan Barat” sejak era Etis.
Dalam buku Pendidikan (1977), KHD menyatakan istilah pendagogik
yang ditumbuhkan peradaban Barat, tidak mendapatkan padanan di
Indonesia. “Kata pedagogik sendiri tidak bisa dialihbahasakan dalam
bahasa kita. Sebab, kita punya panggulawentah, yang tak sama artinya.
Panggulawentah itu seperti pekerjaan dukun bayi, momong, among, dan
ngemong”.
Pedagogik itu berasal dari bahasa Yunani “paida” (anak laki-laki)
“gogeo” (membimbing), yang artinya membimbing. Lahir dari tradisi budak
yang mengawasi pendidikan anak tuannya. Mengantar dan menjemput
sekolah dll.
Merujuk itu, KHD melihat bahwa dasar pendidikan Barat yaitu perintah,
hukuman, dan ketertiban. Pendidikan yang sedmikian itu sebagai perkosaan
atas kehiupan batin anak-anak. Hasilnya, anak-anak rusak budi pekertinya,
disebabakan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang bisanya
tiada setimpal dengan kesalahannya. Ia tiada akan dapat bekerja kalau tiada
dipaksa.
Karena itu, KHD menegaskan metode pendidikan terbaik melalui
Among yang melakukan proses pendidikan dengan sasaran budipekerti
(batin, karakter), pikiran (intelektualitas), dan jasmani.
Kahfi
101 Pedagogik & Covid-19
Kahfi
103 Pedagogik & Covid-19
-000-
Referensi :
Kahfi
105 Pedagogik & Covid-19
Tentang
Esensi
Pendidikan
Alexander M. Sidorkin
Alexander M. Sidorkin
107 Pedagogik & Covid-19
lambat atau nol. Setiap individu akan memiliki banyak waktu untuk
mempelajari segala sesuatu secara lambat, dan banyak waktu luang untuk
menggunakan pengetahuan. Dewa dan para makhluk abadi tidak akan
membutuhkan pendidikan, karena tidak ada dorongan untuk menjadi
dewasa, dan juga sudah ada banyak orang-orang pintar (guru). Spesies
seperti itu tidak diragukan lagi akan melampaui kita dalam kemajuan
ilmiah dan teknologi. Mereka tidak perlu menyisihkan sumber daya luar
biasa yang didedikasikan untuk mempelajari kembali segala sesuatu
secara konstan, dari alfabet hingga algoritma, setiap 70-90 tahun. Kita,
bagaimanapun, hidup relatif singkat; terlalu pendek untuk masyarakat
dengan teknologi yang kompleks. Ada waktu yang dihabiskan untuk
tumbuh dan belajar, sementara kehidupan yang produktif lebih pendek.
Tren ini dapat dikompensasi dengan menumbuhkan produktivitas dengan
jangka waktu yang cukup lama, karena sebagian besar produktivitas
tergantung pada mempelajari cara kerja dan cara menangani teknologi
yang bekerja untuk kita. Kita harus belajar dengan cepat, dan segera setelah
kita mengetahui apa saja, sekarang saatnya untuk pulang kepangkuanNya.
Salah satu alasan kita membenci kematian adalah bahwa, menjadi mati
telah menyia-nyiakan hal-hal yang paling berharga bagi kita, yakni, ingatan
dan keterampilan kita sendiri. Untuk menipu kematian, kita terus menerus
menciptakan pembelajaran yang baru dan bentuk baru.
• Era 0.0, pra-pembelajaran, yang menurut Darwin, adalah evolusi
itu sendiri. Setiap generasi baru akan ‘belajar’ sesuatu yang baru,
dan yang paling kuat akan mampu bertahan. Namun, pembelajaran
sejati dimulai ketika salah satu organisme dapat beradaptasi dengan
alam seisinya dibandingkan spesies lain.
• Era 1.0 menurut B.F. Skinner; saat kita hidup berdampingan dengan
hewan. Belajar dari pengalaman pribadi seseorang. Sebuah koreksi
penting, yang dapat kita sebut Pembelajaran 1.5 telah dilakukan oleh
Albert Bandura, dan termasuk pembelajaran observasional, dimana
orang belajar dari yang lainnya, melalui observasi, peniruan, dan
pemodelan, termaksuk oleh spesies yang disebut hewan.
• Era 2.0 menurut Vygotsky. Bekerja bersama dengan orang yang
lebih maju/matang/berpengalaman tampaknya memicu percepatan
pembelajaran tentang dunia; alam dan sosial. Kami belajar cara-
cara yang ditemukan oleh orang lain, tetapi tidak hanya melalui
pengamatan seperti pada 1.5. Di sinilah untuk pertama kalinya,
pengajaran muncul. Ketika orang bekerja sama dan muncul sosok
pemimpin (kepala suku d.s.t) merangkap sebagai seorang guru—
orang yang ditiru dan digugu.
• Era 3.0 adalah era-nya sekolah, di mana pembagaian kerja telah
Alexander M. Sidorkin
109 Pedagogik & Covid-19
Alexander M. Sidorkin
111 Pedagogik & Covid-19
“Sejauh ini kita hanya melihat satu sisi aktivitas manusia, yakni,
eksploitasi alam oleh manusia. Sisi yang lain, eksploitasi manusia
oleh manusia lainnya … “
Alexander M. Sidorkin
113 Pedagogik & Covid-19
Idenya adalah bahwa manusia tidak lengkap tanpa pendidikan, dan bahwa
mengejar pendidikan adalah mulia. Meskipun cukup tua, metode ini sangat
hidup dan aktif. Memisahkan wacana pendidikan dari ekonomi dirancang
untuk menciptakan insentif tambahan bagi anak-anak untuk bekerja di
pabrik pendidikan secara gratis selama bertahun-tahun. Wacana Pencerahan
adalah sarana produksi aktual (Sidorkin 2011). Anak-anak yakin bahwa
pendidikan adalah hal yang baik menghasilkan manfaat ekonomi, karena
memiliki tenaga kerja yang berpendidikan dan warga negara adalah aset
publik yang sangat besar. Pengaturan ini memiliki batasnya juga. Over-
produksi wacana menciptakan inflasi. Semakin banyak siswa(i) yang tidak
mempercayai wacana, maka mereka semakin membuat wacana sinis lainya.
Tanpa dukungan negara atau keluarga tradisional, wacana Pencerahan
adalah kekuatan lemah.
Dan satu lagi modus pengaturan tenaga kerja dalam pendidikan yang
layak disebut. Ini didasarkan pada pertukaran: siswa(i) menyumbangkan
tenaga pendidikan mereka, sementara sekolah progresif mengompensasi
mereka dengan hiburan, rasa memiliki dan identitas, dan kehidupan
masyarakat (Sidorkin 1999). Seperti semua metode di atas, ia memiliki
keterbatasan serius: siswa(i) mungkin menemukan semua barang yang
ditawarkan di sekolah progresif seperti di tempat lain: di media massa,
lingkungan, dan komunitas lain.
Mungkin ada banyak pengaturan untuk tenaga kerja dalam pendidikan.
Mereka semua dapat digunakan dalam berbagai kombinasi, saling
melengkapi. Tinjauan ini hanya dimaksudkan sebagai contoh analisis
tenaga kerja. Menarik juga melihat apa yang tidak ada dalam daftar. Proporsi
terbesar dari semua kerja manusia di planet ini dihasilkan melalui pasar
kerja kapitalis. Hanya ada area kecil kesukarelaan, pekerjaan rumah tangga
wanita, tentara wajib militer, kerja paksa tahanan, kantong perbudakan dan
pekerja terikat yang tersisa. Jika kesemuanya digabungkan, hasilnya masih
tidak signifikan sehubungan dengan total output tenaga kerja global yang
dihasilkan dengan membayar orang untuk bekerja. Tenaga kerja siswa(i)
adalah pengecualian yang sangat besar: suatu bentuk kerja tidak bebas di
luar hubungan moneter. Mencoba membayar anak untuk belajar adalah
langkah logis berikutnya dalam pengembangan sekolah.
Penting juga untuk dicatat bahwa ada batasan mendasar pada seberapa
banyak tenaga kerja dapat diekstraksi dari manusia, dengan atau tanpa
kekerasan, dengan atau tanpa upah. Ini memberikan batasan untuk
pengembangan peradaban kita yang patut dipertimbangkan. Beberapa
percaya bahwa kapasitas untuk belajar tidak terbatas, dan bahwa kita dapat
Alexander M. Sidorkin
115 Pedagogik & Covid-19
memaksa semua anak kita untuk bekerja dengan rajin selama bertahun-
tahun dan di umur yang kita anggap tepat. Ini adalah harapan utopis
yang tidak realistis dan mengepul dari kesalahpahaman tentang esensi
pendidikan.
-000-
Referensi
Biesta, G. J. J. (2011). Philosophy of education for the public good: Five
challenges and an agenda. Educational Philosophy and Theory (in press).
Biesta, G. J. J. (2012). On the idea of educational theory. In B. Irby, G. Brown, &
R. Lara-Alecia (Eds.), Handbook of educational theory, Charlotte, NC: Information
Age Publishing, Inc.
Dewey, J. (1915). The school and society (Revised ed.). Chicago: University
of Chicago Press.
Marx, Karl., & Engels, Friedrich. Die deutsche Ideologie, orig 1846, http://
www.mlwerke.de/me/me03/me03_anm.htm#M1.
Sidorkin, A. M. (1999). Beyond discourse: Education, the self and dialogue.
Buffalo, NY: SUNY Press.
Sidorkin, A. M. (2011). Mad hatters, jackbooted managers, and the massification
of higher education. Educational Theory (in press).
Simola, H. (2005). The Finnish miracle of PISA: Historical and sociological
remarks on teaching and teacher education. Comparative Education, 41 (4), 455–
470.
Alexander M. Sidorkin
117 Pedagogik & Covid-19
118
Epilog
119 Pedagogik & Covid-19
Pandemi Covid-19 120
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme
Pandemi COVID-19
Mengungkap Wabah
Neo-liberalisme
Henry Giroux
Henry Giroux
121 Pedagogik & Covid-19
Pada saat yang sama, krisis ini tidak dapat dipisahkan dari kenyataan
bahwa telah terjadi ketimpangan di dalam masyarakat; kekayaan, pen-
dapatan, dan kekuasaan. Juga tidak dapat dipisahkan dari krisis nilai-nilai
demokrasi, pendidikan dan perusakan lingkungan.
Pandemi virus korona sangat terkait dengan praktik politik dari me-
kanisme pengelolaan tatanan alam. Globalisasi neoliberalisme telah mel-
akukan serangan yang destruktif pada ekosistem kita. Selain itu, tidak
dapat dilepascan dari fakta adanya rasisme, ultranasionalisme, sentimen
anti-imigran dan kefanatikkan, yang kesemuanya telah mendominasi jiwa
(zeitgeist) nasional mereka. Kesemuanya telah menciptakan ketakutan ber-
sama, daripada tanggung jawab bersama.
Salah satu akar persoalan dari timbulnya wabah ini adalah praktik poli-
tik depolitisasi, yang memperjelas bahwa pendidikan adalah fitur utama
dari politik dan selalu memainkan peran penting – baik secara kasat mata
maupun terselubung – dalam proyek ideologis apapun. Sebagai contoh, bah-
wa prinsip utama pedagogis neoliberalisme adalah menempatkan tanggung
jawab individu sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sosial,
dan akibatnya, tidak ada kebutuhan untuk mengatasi masalah sistemik yang
lebih luas, tidak ada jawaban mengenai masalah-masalah maupun tanggu-
ng jawab secara kolektif.
Sebagai politik yang mengebiri, neoliberalisme memprivatisasi dan
mengindividualisasikan masalah sosial, dengan jargon, ‘cucilah tangan
Anda’ sebagai cara untuk mencegah penyebaran pandemi. Mengenai hal
itu, Bram Ieven dan Jan Overwijk, seorang kritikus budaya, berpendap-
at, “ia berupaya membatasi politik demokrasi yang nyata; artinya, politik
yang didasarkan pada solidaritas dan kesetaraan kolektif [karena] politik
demokratis adalah ancaman bagi pasar.”
Jantung neoliberalisme ada pada nilai-nilai komersil dan bukan pada
nilai-nilai demokrasi, ia memegang kuat prinsip tentang persaingan eks-
trem dan keegoisan yang tidak rasional, dan ketidaksabarannya terhadap
masalah etika, keadilan dan kebenaran telah merusak pemikiran kritis dan
kekuatan penilaian berbasis informasi.
Seperti yang dinyatakan Pankaj Mishra, “selama beberapa dekade seka-
rang, de-industrialisasi, outsourcing pekerjaan, dan kemudian otomatisasi,
telah membuat banyak pekerja kehilangan jaminan dan martabat mereka,
membuat mereka yang dirugikan […] rentan terhadap penghasutan.”
Orang Amerika hidup di zaman ketika neoliberalisme mengobarkan
perang terhadap masyarakatnya sendiri dan mulai kembali menyusun kebi-
jakan yang melahirkan ketimpangan.
Zaman ini mendukung gagasan tentang pertanggung-jawaban individu
Pandemi Covid-19 122
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme
Henry Giroux
123 Pedagogik & Covid-19
Henry Giroux
125 Pedagogik & Covid-19
Pandemi Covid-19 126
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme
Henry Giroux
127 Pedagogik & Covid-19
penting lainnya.
Ada banyak orang yang bekerja di sini untuk penanganan, daripada se-
kadar melakukan politik penolakan dan bersilat lidah seperti orang di pihak
Trump; ada juga yang oleh Robert Jay Lifton disebut sebagai “normalitas
ganas,” yang saya tafsirkan sebagai perilaku yang menikmati kekerasan
dan didorong oleh apa yang tampaknya menjadi kesenangan besar untuk
terlibat dalam tindakan kekejaman. Kita telah melihat gaung kekejaman
semacam itu di era lain dengan konsekuensi yang mengakibatkan kematian
jutaan orang, seperti hukuman mati tanpa pengadilan terhadap orang kulit
hitam di Amerika Serikat dan tindakan genosida Nazi di Jerman.
Obsesi Trump terhadap kekayaan dan prestise, serta harga dirinya yang
tak terbatas mendefinisikannya tidak hanya sebagai pemimpin yang tidak
kompeten tetapi juga sebagai tindakan penipuan massal yang berbahaya.
Misalnya, di tengah jumlah kematian yang meningkat dengan cepat di
Amerika Serikat, Trump membual di salah satu penampilan konfrensi pers
“tentang briefing peringkatan [tinggi] gugus tugas virus korona Gedung
Putih.” Ini adalah bentuk teater politik dan pedagogi pandemi yang men-
jadikan korban tewas yang meningkat sebagai layanan hiburan.
Ketidakmampuan Trump menunjukan hasil yang tragis, di mana rumah
sakit penuh sesak, tenaga medis yang kurang memiliki peralatan perlind-
ungan sedang sekarat, dan gubernur negara bagian yang paling terdampak
seperti New York tampaknya malah berseteru dengan Trump, yang leb-
ih nyaman dalam menghina gubernur yang telah mengkritiknya karena
kurangnya kepemimpinan daripada membantu mereka dengan peralatan
medis yang sangat dibutuhkan.
Trump dan pemerintahannya tidak sendirian dalam mendorong nec-
ropolitics yang merayakan kematian seumur hidup, modal atas kebutuhan
manusia, keserakahan atas belas kasih, eksploitasi atas keadilan dan keta-
kutan akan tanggung jawab bersama. Bagaimana lagi untuk menjelaskan
para pemandu suara pendukung Trump di media, ruang dewan perusahaan
dan Gedung Putih berdebat untuk penjatahan perawatan penyelamatan jiwa
berdasarkan usia dan kecacatan untuk mencegah memaksakan ketegangan
drastis pada rumah sakit negara dan ekonomi AS?
Bagaimana cara lain untuk menjelaskan bahwa jauh sebelum krisis pan-
demi ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Naomi Klein, para rasul neoliber-
alisme telah berusaha melakukan pemangkasan anggaran, seperti “pera-
watan kesehatan yang didanai negara, air bersih, sekolah umum yang baik,
tempat kerja yang aman, pensiun dan program lainya untuk merawat orang
tua dan yang kurang beruntung.”
Pada saat yang sama, perang telah dilancarkan oleh kapitalisme brutal
Henry Giroux
129 Pedagogik & Covid-19
pada “gagasan tentang ruang publik dan fasilitas publik.” Salah satu konse-
kuensinya adalah bahwa “fasilitas yang dimiliki publik – jalan, jembatan,
tanggul, dan sistem air – akan tergelincir ke dalam keadaan yang menyedi-
hkan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit yang bisa mendorong mere-
ka keluar dari titik yang paling ekstrim. Bayangkan ketika Anda, secara
besar-besaran memotong pajak, sehingga Anda tidak memiliki uang untuk
dibelanjakan selain anggaran polisi dan militer, dan inilah yang terjadi.”
Apa yang terungkap dalam krisis pandemi saat ini adalah wabah yang
mendasari neoliberalisme yang telah mendominasi ekonomi global selama
40 tahun terakhir, meskipun semakin dicap dengan lencana kehormatan
oleh para politisi fasis, seperti Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Per-
dana Menteri India Narendra Modi, dan lainnya. Korupsi kelas penguasa
juga mudah terlihat dalam paket bailout yang, seperti yang diamati oleh
Rob Urie, sama dengan “Bailout for the Rich, the Virus for the Rest of US.”
Dia menulis:
“Dalam ekonomi, di mana 1% orang terkaya mengambil semua ke-
untungan, sementara yang miskin dan kelas pekerja tidak terlihat
perbaikan kualitas hidupnya, dalam empat dekade belakangan. Itu
berarti; orang kaya yang menuai manfaat sementara pekerja akan
sakit dan mati. Kapitalisme keuanganlah yang seharusnya di-bail-
out ketika sedang sekarat-lemas di tahun 2009.”
Apa yang terungkap dalam pandemi yang menjulang ini adalah kebang-
kitan kembali politik fasis yang tidak malu-malu dengan sejarahnya tentang
ketidaksetaraan yang tidak masuk akal, kekejaman yang nyata dan kebija-
kan regresif. Dasar-dasar neoliberal yang terakhir memiliki warisan pan-
jang di Amerika Serikat dan telah kembali dengan balas dendam di bawah
pemerintahan Trump.
Fasisme neoliberal menandakan kebangkitan teror yang menyuarakan
gema menakutkan terhadap pembersihan rasial dan pelukan kaum eugenics
yang menandai kebijakan pemurnian rezim Hitler dan menjadikan kamp
konsentrasi sebagai titik akhir fasisme. Ini juga merupakan kebijakan yang
dirancang untuk memuat ulang perekonomian di masa krisis.
Kita hidup pada periode di mana berbagai wabah yang memicu pandemi
virus korona saat ini, yang melanda dunia dan menyebabkan kesengsaraan,
penderitaan, serta kematian ekonomi ketika mereka bergerak dalam mas-
yarakat dengan kecepatan tornado yang mematikan. Ini termasuk wabah
perusakan ekologis, degradasi budaya, kemungkinan perang nuklir, dan
normalisasi budaya kekejaman yang brutal.
Selain itu, wabah neoliberalisme telah melancarkan serangan skala pe-
nuh pada penganut negara kesejahteraan. Dengan melakukan itu, ia telah
Pandemi Covid-19 130
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme
Henry Giroux
131 Pedagogik & Covid-19
layak. Ini adalah zaman yang ditandai dengan penghinaan terhadap kelema-
han, serta rasisme yang merajalela, peningkatan emosi atas alasan, runtuh-
nya budaya civic, dan obsesi terhadap kekayaan dan kepentingan pribadi.
Dalam keadaan seperti itu, kita berada tidak hanya di tengah-tengah
krisis politik, tetapi juga krisis pendidikan di mana masalah kekuasaan, pe-
merintahan, pengetahuan dan penghinaan terhadap kebenaran telah menda-
tangkan malapetaka pada kebenaran dan membahayakan jutaan orang dan
planet itu sendiri. Ini adalah politik yang dipicu oleh mesin disimagination
yang selter politik dan kulturalnya membuat kebenaran, keadilan, etika, dan
yang paling utama, menghilang ke dalam jurang otoritarianisme.
Agar wabah berakhir, sangat penting untuk membahas ideologi fasisme
neoliberal yang mencegah orang menerjemahkan masalah pribadi menjadi
masalah sistemik yang lebih luas dan untuk berjuang secara pedagogis agar
bisa meyakinkan masyarakat untuk bergerak melampaui budaya individual-
istik dan personal yang mendorong masyarakat konsumen dan memperkuat
politik lokal yang terlepas dari pertimbangan yang lebih luas. Krisis politik
ini hanya dapat dipahami sebagai krisis dari totalitas sosial, krisis di mana
serangkaian “penyakit demokrasi membentuk alur politik khusus dari krisis
umum yang menelan tatanan sosial kita secara keseluruhan.”
Saat ini sudah saatnya untuk kita mengakui, bahwa kapitalisme dan
demokrasi bukanlah hal yang sama, dan bahwa titik akhir kapitalisme bu-
kan hanya ketidaksetaraan besar-besaran dan penderitaan manusia, tetapi
juga suatu mesin kematian yang brutal di mana umat manusia selangkah
lebih dekat ke tepi kepunahan. Ini menunjukkan bahwa krisis dapat memi-
liki banyak wujud yang menghasilkan gelombang otoriterianisme dan pen-
indasan, di satu sisi; atau di sisi lain, kebangkitan gerakan-gerakan perla-
wanan di berbagai tingkatan yang bersedia berjuang untuk masyarakat yang
lebih adil dan merata, yang menolak apa yang disebut Brad Evans; teror
massal dan pengusiran.
-000-
Pandemi Covid-19 132
Mengungkap Wabah
Neoliberalisme
Henry Giroux
133 Pedagogik & Covid-19
134
Lampiran
135 Pedagogik & Covid-19
Tentang Penulis
PROFIL ORGANISASI
Taman Pembelajar Rawamangun dimaknai sebagai usaha
mengembangakan argumentasi pedagogik dari Soewardi
Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro yang sudah dimulai
oleh banyak orang, khususnya (Almarhum) Prof. H.A.R Tilaar.