Anda di halaman 1dari 5

PEMERINTAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DINAS PERTANIAN DAN PERKEBUNAN


Jalan Polisi Militer No. 7 Telp. (0380) 832836 Kupang

TELAAHAN STAF

Kepada : Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan

Dari : Hamdan In’ami, STP, MPSDA

Tembusan : 1. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana

Tanggal : 29 November 2013

Lampiran : 1 (satu) berkas (Hasil Pertemuan Komisi Irigasi)

Perihal : Pertimbangan untuk melakukan revitalisasi kelembagaan P3A

ISI

1. Latar Belakang
Pembangunan infrastuktur merupakan program kegiatan yang menelan biaya cukup besar.
Untuk itu, kebijakan pemerintah di bidang sumber daya air akan lebih memfokuskan
perhatian pada kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada infrastruktur irigasi
yang sudah ada. Diperlukan keterlibatan P3A yang lebih aktif untuk mengoptimalkan fungsi
infrastruktur irigasi, karena P3A adalah ujung tombak dan penerima manfaat di tingkat
tersier. Apabila dibutuhkan rehabilitasi di tingkat sekunder dan primer, maka Dinas PU akan
mengalokasikan kegiatan sesuai dengan input dari P3A yang bersangkutan. Untuk itu,
lembaga P3A harus memiliki bargaining position (posisi tawar) sehingga mampu
memberikan input pada pemerintah.

Sesuai PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,


Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengisyaratkan
bahwa kewenangan pembinaan P3A yang semula di bawah Departemen PU beralih ke
Departemen Pertanian. Perubahan kebijakan ini tidak serta merta diikuti dengan
berubahnya seluruh komponen dan perangkat pendukung dalam melaksanakan pembinaan
P3A. Selama proses transisi ini, kegiatan pembinaan P3A menjadi tidak terlaksana dengan
baik. P3A yang kelembagaannya sudah mapan tentu akan tetap eksis karena untuk dapat
menjalankan aktivitas usaha tani maka roda organisasi harus tetap berputar. Namun lebih
banyak P3A yang kemudian menjadi vacuum dan tidak ada lagi kegiatannya. Diantaranya
mungkin sudah tidak jelas lagi apakah masih ada atau sudah mati.

Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian harus didukung dengan ketersediaan air
irigasi yang memadai sebagai faktor utama usaha tani. Air yang tersedia akan bisa
dimanfaatkan seoptimal mungkin apabila sistem distribusi dapat menjamin jumlah air yang
memadai hingga ke petak tersier. Luasan lahan yang mampu diairi tergantung dari kedua hal
tersebut, yaitu kondisi sumber air dan saluran irigasi. Parameter inilah yang seharusnya
menjadi acuan dalam setiap kegiatan usaha tani. Apabila ada kegiatan terkait dengan usaha
tani yang dialokasikan pada lokasi yang tidak didukung dengan parameter tersebut diatas,
maka dikhawatirkan hasil dari kegiatan tersebut menjadi tidak optimal.

Sebelum kewewenangan pembinaan P3A diserahkan ke departemen pertanian, satuan


kelembagaan petani yang disebut "Kelompok Tani" sudah menjadi tugas dan wewenang
departemen pertanian. Belum lagi subsektor lain yang memiliki satuan kelembagaan petani
tersendiri yang harus dibina yaitu UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan). Kini satuan
kelembagaan petani yang harus dibina menjadi bertambah yaitu P3A (Perkumpulan Petani
Pemakai Air). Hal ini menjadi rancu karena di tingkat petani perbedaan satuan kelembagaan
petani tersebut sebenarnya mengacu pada individu yang sama. Nama lembaga pun menjadi
berbeda karena menyesuaikan dengan program kegiatan yang dialokasikan.

2. Permasalahan
Kebijakan penyerahan kewenangan pembinaan P3A dari Departemen PU ke Departemen
Pertanian pada tingkat implemetasi tidak dapat berlangsung dengan mudah. Tidak cukup
dengan terbitnya peraturan kemudian bisa menjalankan kebijakan ini. Banyak perangkat
yang juga harus ditransfer agar bisa menjalankan kewenangan tersebut. Departemen PU
telah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam membina P3A, tentunya telah memiliki
hardware, software dan brainware untuk kepentingan dimaksud. Kemampuan seperti ini
tidak bisa ditransfer dalam waktu singkat.

Selama masa transisi peralihan kewenangan pembinaan P3A, dan menunggu kesiapan
Departemen Pertanian untuk menjalankan fungsi tersebut, banyak P3A kemudian vacuum
dan tidak ada kegiatan. Terjadinya kemandegan (stagnasi) yang begitu lama, yaitu sejak
tahun 2007 hingga saat ini, membuat banyak P3A berada pada kondisi antara hidup dan
mati. Kondisi ini juga dikeluhkan oleh pihak Dinas PU yang melihat banyak P3A yang tidak
aktif lagi. Dikhawatirkan jaringan irigasi yang kurang berfungsi akan semakin rusak parah
karena tidak ada penanganan. Dinas PU juga kesulitan dan mengalokasikan kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi karena tidak ada input data lokasi kerusakan
Banyak kegiatan pertanian yang dialokasikan terkait dengan perluasan dan pengelolaan
lahan tapi tidak mengacu pada kondisi eksisting ketersediaan air. Padahal beberapa Daerah
Irigasi yang dikembangkan oleh Dinas PU masih memiliki potensi untuk dikembangkan, baik
untuk tanaman pangan, perkebunan maupun hortikultura. Secara perhitungan ekonomi
tentu perluasan areal pertanian di lokasi dengan ketersediaan air yang memadai akan lebih
menjamin keuntungan dari pada yang berada di lokasi yang hanya mengandalkan air hujan.

3. Data dan Fakta


Kondisi P3A di wilayah NTT saat dibawah pembinaan Dinas PU menunjukkan trend yang
positif. Tidak hanya terkait pengelolaan air, kegiatan P3A juga sudah mengarah pada
kegiatan ekonomi koperasi. Pengadaan pupuk misalnya, bisa dikelola oleh lembaga P3A
sehingga dapat menjamin ketersediaan pupuk bagi anggota-anggotanya. Lembaga P3A juga
menjadi partner bagi Dinas PU dalam rehabilitasi jaringan dengan sistim swakelola. Kegiatan
ini juga bisa menjadi alternatif penambah pemasukan kas organisasi.

Dinas PU juga giat melakukan terobosan terkait peningkatan IP dengan ketersediaan air
yang ada, yaitu dengan budidaya padi pola SRI. Kegiatan ini cukup dapat dirasakan
manfaatnya oleh petani karena dengan ketersediaan yang ada bisa meningkatkan luas
tanam padi sawah. Hasil produksinya pun bahkan bisa melebihi budaya padi konvensional.

Tindak lanjut dari kebijakan kewenangan pembinaan P3A lambat direspon, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Pada tingkat pusat Kementerian Pertanian baru
menerbitkan Permentan Nomor: 79/Permentan/OT.140/12/2012 tentang Pedoman
Pembinaan P3A pada bulan Desember Tahun 2012. Artinya, setelah 5 tahun baru terbit
Permentan yang mengatur pembinaan P3A. Demikian juga di tingkat Provinsi, setelah
Gubernur menetapkan Komisi Irigasi Wilayah Provinsi dengan Peraturan Gubernur Nomor :
24/2010, Komisi Irigasi baru melakukan pertemuan perdana pada tanggal 11 November
2013.

Kondisi P3A yang sangat memprihatinkan bisa terlihat pada respon kabupaten pada
kegiatan lomba P3A tingkat Provinsi tahun 2013. Secara umum, dinas pertanian di
kabupaten tidak siap untuk menunjuk beberapa P3A yang akan diikutsertakan mewakili
kabupaten dalam kegiatan lomba P3A. Bahkan ada yang tidak bisa menentukan satu pun
P3A untuk mewakili. Padahal jika melihat data P3A pada kabupaten yang bersangkutan,
terdapat cukup banyak jumlah P3A dengan Daerah Irigasi yang belum lama dikembangkan
oleh Dinas PU. Bahkan ada kabupaten yang memiliki petugas OP irigasi berprestasi di
tingkat nasional, namun dinas pertanian yang bersangkutan tidak bisa mengambil satu P3A
pun untuk mewakili kabupaten dalam lomba P3A tingkat provinsi.

Kendala Dinas Pertanian Kabupaten untuk melaksanakan wewenang dalam pembinaan P3A
ini diantaranya yaitu:
1. Dinas Pertanian belum memiliki perangkat untuk melaksanakan wewenang tersebut.
Yang dimaksud “perangkat” disini adalah pedoman/petunjuk dan juga kapasitas serta
kapabilitas sumberdaya manusia.
2. Dinas Pertanian merasa kurang memiliki karena wewenang tersebut hanya dilimpahkan
begitu saja sedangkan kondisi P3A sudah demikian parah, sementara Bappeda dan Dinas
PU telah banyak mendapatkan kegiatan terkait P3A.
3. Dinas Pertanian telah mapan dengan kegiatan berbasis “kelompok tani”, “UPJA”, dan
kelompok-kelompok lain, sementara P3A merupakan hal baru.

Adanya beberapa program yang tidak sinkron di tingkat petani berakibat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Petani yang terlibat P3A menjadi bingung karena pengelola program P3A terus
berganti, yaitu antara Bappeda, Dinas Pu dan Dinas Pertanian.
2. Terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat petani, yaitu pengurus dan anggota yang
sama tapi berganti-ganti baju, antara P3A, Kelompok Tani, UPJA dan sebagainya.
Seorang Ketua P3A bisa menjadi bendahara di Kelompok Tani kemudian bisa menjadi
anggota di UPJA padahal terdiri dari orang-orang yang sama.
3. Ketidak-sinkronan kegiatan ini. Karena basis data kelembagaan petani tidak jelas, bisa
jadi sekelompok petani menerima program P3A, Kelompok Tani, UPJA sekaligus,
sementara kelompok lain tidak menerima sama sekali. Hal lain adalah, adanya peluang
untuk disalahgunakan, yaitu beberapa petani membuat kelompok baru yang hanya
papan nama sekedar untuk menangkap program pemerintah.

4. Kesimpulan
1. Untuk dapat melakukan tugas dan wewenang dalam pembinaan P3A, tidak cukup hanya
dengan terbitnya peraturan namun dibutuhkan perangkat-perangkat pendukung.
Perangkat sistem ataupun mekanisme memang telah diatur sehingga dapat mengacu
pada aturan sebelumnya, namun sumberdaya manusia sebagai pelaksana masih
terbatas baik secara kapasitas maupun kapabilitas.
2. Kelembagaan petani membutuhkan perhatian lebih agar bisa ditingkatkan kinerjanya.
Adanya kerancuan kelembagaan petani juga menjadi salah satu faktor melemahnya
kinerja lembaga.
3. Program kegiatan dari Dinas Pertanian dan Dinas PU yang terkait dengan infrastruktur
air (Bidang Pengairan) sebenarnya menuju pada muara yang sama, yaitu petani sebagai
penerima manfaat, akan tetapi tidak ada sinkronisasi program kegiatan pada kedua
dinas tersebut.

5. Saran dan Tindak lanjut


1. Wewenang terhadap pembinaan P3A tidak berarti sumberdaya manusia harus dari
Dinas Pertanian. Untuk itu, dalam pelaksanaan wewenang ini, Dinas Pertanian harus
menyusun strategi dan menjadi inisiator dalam perencanaan kegiatan. Beberapa sektor
yang terkait harus dilibatkan. Badan dan dinas yang terkait cukup banyak, diantaranya
yaitu; Dinas PU, Bappeda, Dinas Peternakan, Badan Bimas Ketahanan Pangan (B2KP),
Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Institusi lain yang juga bisa
dilibatkan yaitu Balai Sumber Daya Air Nusa Tenggara II , Balai Pengelolaan DAS
Noelmina Benenain dan Balai Penelitian Teknologi Pertanian.
2. Untuk mendapatkan kesamaan persepsi dalam misi tersebut maka perlu diadakan
workshop pembinaan P3A. Pokok-pokok pembahasan dalam workshop tersebut adalah
tabulasi data potensi lahan dan air, strategi pembinaan P3A, tabulasi kebutuhan
sumberdaya manusia baik sebagai pengelola maupun petugas lapang, perencanaan
mekanisme kerja pembinaan P3A, penyusunan rencana aksi, selanjutnya adalah
pembahasan mekanisme monitoring dan evaluasi.
3. Hasil-hasil workshop pembinaan P3A tersebut dalam tingkat implementasi juga harus
mendukung master plan pembangunan pertanian. Penyusunan master plan
pembangunan pertanian ini pernah diusulkan dalam rapat pertemuan Komisi Irigasi
Wilayah NTT. Sektor yang terlibat dalam penyusunan master plan pembangunan
pertanian yaitu Dinas Pertanian, Dinas PU dan Bappeda. Master plan pembangunan
pertanian dimaksudkan agar perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di bidang pertanian
dari ketiga pihak tersebut bisa saling mendukung.

6. Penutup
Demikian telaah staf ini kami sampaikan, bukan merupakan aspirasi atau pun mewakili dari
pihak manapun akan tetapi murni dari pendapat pribadi, dengan harapan kiranya dapat
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai