Telaah Staf Pertimbangan Untuk Melakukan
Telaah Staf Pertimbangan Untuk Melakukan
TELAAHAN STAF
ISI
1. Latar Belakang
Pembangunan infrastuktur merupakan program kegiatan yang menelan biaya cukup besar.
Untuk itu, kebijakan pemerintah di bidang sumber daya air akan lebih memfokuskan
perhatian pada kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada infrastruktur irigasi
yang sudah ada. Diperlukan keterlibatan P3A yang lebih aktif untuk mengoptimalkan fungsi
infrastruktur irigasi, karena P3A adalah ujung tombak dan penerima manfaat di tingkat
tersier. Apabila dibutuhkan rehabilitasi di tingkat sekunder dan primer, maka Dinas PU akan
mengalokasikan kegiatan sesuai dengan input dari P3A yang bersangkutan. Untuk itu,
lembaga P3A harus memiliki bargaining position (posisi tawar) sehingga mampu
memberikan input pada pemerintah.
Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian harus didukung dengan ketersediaan air
irigasi yang memadai sebagai faktor utama usaha tani. Air yang tersedia akan bisa
dimanfaatkan seoptimal mungkin apabila sistem distribusi dapat menjamin jumlah air yang
memadai hingga ke petak tersier. Luasan lahan yang mampu diairi tergantung dari kedua hal
tersebut, yaitu kondisi sumber air dan saluran irigasi. Parameter inilah yang seharusnya
menjadi acuan dalam setiap kegiatan usaha tani. Apabila ada kegiatan terkait dengan usaha
tani yang dialokasikan pada lokasi yang tidak didukung dengan parameter tersebut diatas,
maka dikhawatirkan hasil dari kegiatan tersebut menjadi tidak optimal.
2. Permasalahan
Kebijakan penyerahan kewenangan pembinaan P3A dari Departemen PU ke Departemen
Pertanian pada tingkat implemetasi tidak dapat berlangsung dengan mudah. Tidak cukup
dengan terbitnya peraturan kemudian bisa menjalankan kebijakan ini. Banyak perangkat
yang juga harus ditransfer agar bisa menjalankan kewenangan tersebut. Departemen PU
telah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam membina P3A, tentunya telah memiliki
hardware, software dan brainware untuk kepentingan dimaksud. Kemampuan seperti ini
tidak bisa ditransfer dalam waktu singkat.
Selama masa transisi peralihan kewenangan pembinaan P3A, dan menunggu kesiapan
Departemen Pertanian untuk menjalankan fungsi tersebut, banyak P3A kemudian vacuum
dan tidak ada kegiatan. Terjadinya kemandegan (stagnasi) yang begitu lama, yaitu sejak
tahun 2007 hingga saat ini, membuat banyak P3A berada pada kondisi antara hidup dan
mati. Kondisi ini juga dikeluhkan oleh pihak Dinas PU yang melihat banyak P3A yang tidak
aktif lagi. Dikhawatirkan jaringan irigasi yang kurang berfungsi akan semakin rusak parah
karena tidak ada penanganan. Dinas PU juga kesulitan dan mengalokasikan kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi karena tidak ada input data lokasi kerusakan
Banyak kegiatan pertanian yang dialokasikan terkait dengan perluasan dan pengelolaan
lahan tapi tidak mengacu pada kondisi eksisting ketersediaan air. Padahal beberapa Daerah
Irigasi yang dikembangkan oleh Dinas PU masih memiliki potensi untuk dikembangkan, baik
untuk tanaman pangan, perkebunan maupun hortikultura. Secara perhitungan ekonomi
tentu perluasan areal pertanian di lokasi dengan ketersediaan air yang memadai akan lebih
menjamin keuntungan dari pada yang berada di lokasi yang hanya mengandalkan air hujan.
Dinas PU juga giat melakukan terobosan terkait peningkatan IP dengan ketersediaan air
yang ada, yaitu dengan budidaya padi pola SRI. Kegiatan ini cukup dapat dirasakan
manfaatnya oleh petani karena dengan ketersediaan yang ada bisa meningkatkan luas
tanam padi sawah. Hasil produksinya pun bahkan bisa melebihi budaya padi konvensional.
Tindak lanjut dari kebijakan kewenangan pembinaan P3A lambat direspon, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Pada tingkat pusat Kementerian Pertanian baru
menerbitkan Permentan Nomor: 79/Permentan/OT.140/12/2012 tentang Pedoman
Pembinaan P3A pada bulan Desember Tahun 2012. Artinya, setelah 5 tahun baru terbit
Permentan yang mengatur pembinaan P3A. Demikian juga di tingkat Provinsi, setelah
Gubernur menetapkan Komisi Irigasi Wilayah Provinsi dengan Peraturan Gubernur Nomor :
24/2010, Komisi Irigasi baru melakukan pertemuan perdana pada tanggal 11 November
2013.
Kondisi P3A yang sangat memprihatinkan bisa terlihat pada respon kabupaten pada
kegiatan lomba P3A tingkat Provinsi tahun 2013. Secara umum, dinas pertanian di
kabupaten tidak siap untuk menunjuk beberapa P3A yang akan diikutsertakan mewakili
kabupaten dalam kegiatan lomba P3A. Bahkan ada yang tidak bisa menentukan satu pun
P3A untuk mewakili. Padahal jika melihat data P3A pada kabupaten yang bersangkutan,
terdapat cukup banyak jumlah P3A dengan Daerah Irigasi yang belum lama dikembangkan
oleh Dinas PU. Bahkan ada kabupaten yang memiliki petugas OP irigasi berprestasi di
tingkat nasional, namun dinas pertanian yang bersangkutan tidak bisa mengambil satu P3A
pun untuk mewakili kabupaten dalam lomba P3A tingkat provinsi.
Kendala Dinas Pertanian Kabupaten untuk melaksanakan wewenang dalam pembinaan P3A
ini diantaranya yaitu:
1. Dinas Pertanian belum memiliki perangkat untuk melaksanakan wewenang tersebut.
Yang dimaksud “perangkat” disini adalah pedoman/petunjuk dan juga kapasitas serta
kapabilitas sumberdaya manusia.
2. Dinas Pertanian merasa kurang memiliki karena wewenang tersebut hanya dilimpahkan
begitu saja sedangkan kondisi P3A sudah demikian parah, sementara Bappeda dan Dinas
PU telah banyak mendapatkan kegiatan terkait P3A.
3. Dinas Pertanian telah mapan dengan kegiatan berbasis “kelompok tani”, “UPJA”, dan
kelompok-kelompok lain, sementara P3A merupakan hal baru.
Adanya beberapa program yang tidak sinkron di tingkat petani berakibat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Petani yang terlibat P3A menjadi bingung karena pengelola program P3A terus
berganti, yaitu antara Bappeda, Dinas Pu dan Dinas Pertanian.
2. Terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat petani, yaitu pengurus dan anggota yang
sama tapi berganti-ganti baju, antara P3A, Kelompok Tani, UPJA dan sebagainya.
Seorang Ketua P3A bisa menjadi bendahara di Kelompok Tani kemudian bisa menjadi
anggota di UPJA padahal terdiri dari orang-orang yang sama.
3. Ketidak-sinkronan kegiatan ini. Karena basis data kelembagaan petani tidak jelas, bisa
jadi sekelompok petani menerima program P3A, Kelompok Tani, UPJA sekaligus,
sementara kelompok lain tidak menerima sama sekali. Hal lain adalah, adanya peluang
untuk disalahgunakan, yaitu beberapa petani membuat kelompok baru yang hanya
papan nama sekedar untuk menangkap program pemerintah.
4. Kesimpulan
1. Untuk dapat melakukan tugas dan wewenang dalam pembinaan P3A, tidak cukup hanya
dengan terbitnya peraturan namun dibutuhkan perangkat-perangkat pendukung.
Perangkat sistem ataupun mekanisme memang telah diatur sehingga dapat mengacu
pada aturan sebelumnya, namun sumberdaya manusia sebagai pelaksana masih
terbatas baik secara kapasitas maupun kapabilitas.
2. Kelembagaan petani membutuhkan perhatian lebih agar bisa ditingkatkan kinerjanya.
Adanya kerancuan kelembagaan petani juga menjadi salah satu faktor melemahnya
kinerja lembaga.
3. Program kegiatan dari Dinas Pertanian dan Dinas PU yang terkait dengan infrastruktur
air (Bidang Pengairan) sebenarnya menuju pada muara yang sama, yaitu petani sebagai
penerima manfaat, akan tetapi tidak ada sinkronisasi program kegiatan pada kedua
dinas tersebut.
6. Penutup
Demikian telaah staf ini kami sampaikan, bukan merupakan aspirasi atau pun mewakili dari
pihak manapun akan tetapi murni dari pendapat pribadi, dengan harapan kiranya dapat
bermanfaat.