Anda di halaman 1dari 33

Telaah Ilmiah

XEROFTALMIA

Oleh

Frandi Wirajaya, S.Ked

Pembimbing

dr. Ramzi Amin, SpM(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Xeroftalmia

Oleh:
Frandi Wirajaya, S.Ked
04084821517027

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 Februari 2016 s.d 21
Maret 2016

Palembang, 2 Maret 2016

dr. Ramzi Amin, SpM(K)

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Xeroftalmia” ini dapat diselesaikan tepat
waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ramzi Amin, SpM (K)
atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan


telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata......................................................................3
2.2 Vitamin A....................................................................................................8
2.3 Xeroftalmia...............................................................................................11
2.3.1 Definisi...........................................................................................11
2.3.2 Epidemiologi..................................................................................11
2.3.3 Etiologi...........................................................................................12
2.3.4 Patofisiologi...................................................................................12
2.3.5 Klasifikasi......................................................................................14
2.3.6 Tanda dan Gejala............................................................................15
2.3.7 Diagnosis........................................................................................19
2.3.8 Diagnosis Banding.........................................................................21
2.3.9 Penatalaksanaan.............................................................................22
2.3.10 Pencegahan.....................................................................................23
2.3.11 Prognosis........................................................................................24

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................25


DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Anatomi Bola Mata......................................................................................4
2. Alur transport vitamin A di dalam tubuh...................................................10
3. Xerosis Konjungtiva...................................................................................16
4. Xerosis Konjungtiva dengan Bercak Bitot.................................................16
5. Xerosis Kornea...........................................................................................17
6. Keratomalasia dan Ulkus Kornea...............................................................17
7. Skar Xeroftalmia........................................................................................18
8. Xeroftalmia Fundus....................................................................................18

v
BAB I
PENDAHULUAN

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah kesehatan yang tersebar di


seluruh dunia terutama di negara berkembang. Salah satu dampak kurang vitamin A
adalah kelainan pada mata. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang
menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang. 1 Di Indonesia, kekurangan
vitamin A masih merupakan salah satu masalah gizi masyarakat walaupun hasil survei
gizi yang dilakukan di 15 provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa prevalensi
xeroftalmia pada tahun 1992 sebesar 0,34%. Angka ini lebih rendah dari yang
ditetapkan WHO yaitu < 0,5%. 1,2
Salah satu tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut WHO (1982) yaitu
buta senja dan xerosis konjungtiva disertai bercak bitot. 3 Menurut WHO dalam Global
prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995–2005, buta senja
mempengaruhi 5,2 juta anak usia prasekolah dan 9,8 juta wanita hamil. Konsentrasi
retinol serum yang rendah (<0.70 umol/l) mempengaruhi sekitar 190 juta anak usia
prasekolah dan 19,1 juta wanita hamil. Pada tahun 2004, Micronutrient Initiative dan
UNICEF bekerjasama dengan Tulane University memperkirakan bahwa KVA secara
klinis (Buta senja dan Bitot’s spot) terjadi pada 7,0 juta anak dan KVA secara
subklinis/biokimia (konsentrasi serum retinol < 0,70 umol/l) mempengaruhi 219 juta
anak usia prasekolah.4
Di Indonesia, prevalensi kurang vitamin A secara klinis hanya 0,34% namun
status vitamin A masih marginal, karena masih ditemukan 50% balita dengan serum
retinol dibawah < 20 μg/dl yang berarti kekurangan vitamin A secara subklinis masih
tinggi.1 Hasil Studi Masalah Gizi Mikro di 10 provinsi yang dilakukan Puslitbang Gizi
dan Makanan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 memperlihatkan balita dengan
serum retinol kurang dari 20μg/dl adalah sebesar 14,6%. Hasil studi tersebut
menggambarkan terjadinya penurunan bila dibandingkan dengan survei vitamin A tahun
1992 yang menunjukkan 50% balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 μg/dl.

1
2

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa kejadian KVA klinis


dibandingkan dengan KVA subklinis jauh lebih rendah. Masalah kesehatan mengenai
KVA hampir dapat dikatakan teratasi. Namun, masalah saat ini adalah terkait dengan
kecukupan vitamin A secara biokimia atau KVA secara subklinis.
Penulisaan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, dan pencegahan xeroftalmia. Walaupun saat ini kejadian xeroftalmia sudah
sulit ditemui, diharapkan telaah ilmiah ini dapat bermanfaat untuk memberikan
informasi terkait xeroftalmia dan menjadi salah satu sumber bacaan tentang xeroftalmia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata5,6


2.1.1 Adneksa Mata
a. Alis Mata
b. Kelopak Mata
Kelopak mata (palpebra) superior dan inferior adalah modifikasi lipatan
kulit yang dapat menutupi dan melindungi bola mata bagian anterior serta
mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata didepan kornea.
Terdapat beberapa kelenjar yang terletak pada kelopak mata diantaranya:
- Kelenjar meibom: disebut juga kelenjar tarsal dan merupakan kelenjar
sebasea yang termodifikasi. Kelenjar ini mensekresikan lapisan minyak
yang terdapat pada lapisan air mata
- Kelenjar zeis: kelenjar ini juga merupakan kelenjar sebasea yang terletak
pada folikel bulu mata
- Kelenjar moll: merupakan kelenjar keringat yang termodifikasi dan terletak
dekat dengan folikel rambut didaerah mata
- Kelenjar wolfring: merupakan kelenjar lakrimal aksesorius
c. Apparatus Lakrimalis
Aparatus lakrimalis terdiri atas kelenjar lakrimal utama, kelenjar lakrimal
aksesorius, dan jalur lakrimal yang terdiri dari pungtum lakrimal, kanalikuli,
sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimalis nantinya
berfungsi untuk mengeluarkan air mata.
1. Kelenjar lakrimal utama terdiri atas :
 Bagian orbita berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandula lakrimalis
di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan dari bagian
palpebra oleh kornu lateralis muskulus levator palpebra.
 Bagian palpebra yang lebih kecil terletak tepat diatas segmen temporal
forniks konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal, yang bermuara

3
4

pada sekitar 10 lubang kecil, menghubungkan bagian orbita dan palpebra


kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior.
2. Kelenjar lakrimal aksesorius
 Kelenjar Krause
Terletak dibalik konjungtiva palbebra, antara fornix dengan ujung dari
tarsal
 Kelenjar Wolfring
Terletak dekat batas atas dari permukaan tarsal superior dan sepanjang batas
bawah tarsal inferior.
2.1.2 Bola Mata

Gambar 1. Anatomi Mata (Sumber: Guyton, David, L. 2015)16


a. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera
5

3. Konjungtiva forniks yang merupakan peralihan konjungtiva tarsal dengan


konjungtiva bulbi.
Secara histologi, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan , mulai dari luar
kedalam terdiri dari lapisan epitel, lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Terdapat
dua jenis kelenjar yang terletak dikonjungtiva yaitu:
- Kelenjar penghasil musin. Diantaranya kelenjar penghasil musin tersebut
adalah sel goblet (terletak di lapisan epitel dan paling tebal di bagian
inferonasalis) dan kelenjar manz (terletak pada konjungtiva bulbar tepatnya
konjungtiva daerah limbus)
- Kelenjar lakrimal aksesorius. Terdiri dari kelenjar krause dan wolfring dan
telah dijelaskan dibagian atas.
b. Sklera
Sklera adalah jaringan fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang
hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih
serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus
di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis
jaringan elastik halus, episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah
yang memperdarahi sklera.
c. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri atas lapis:
- Epitel - Membran descement
- Membran bowman - Endotel
- Stroma
d. Traktus Uvealis
- Iris
Iris terdiri dari otot polos yang tersusun sirkuler dan radier. Otot sirkuler bila
kontraksi akan mengecilkan pupil, dirangsang oleh cahaya sehingga melindungi
retina terhadap cahaya yang sangat kuat. Otot radier bila kontraksi menyebabkan
dilatasi pupil. Bila cahaya lemah, otot radier akan kontraksi, sehingga pupil
6

dilatasi untuk memasukkan cahaya lebih banyak. Iris berfungsi untuk mengatur
jumlah cahaya yang masuk ke mata dan dikendalikan oleh saraf otonom.
- Badan siliar
Badan siliar menghubungkan koroid dengan iris. Tersusun dalam lipatan-lipatan
yang berjalan radier ke dalam, menyusun prosesus siliaris yang mengelilingi tepi
lensa. Prosesus ini banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Badan
siliaris berfungsi untuk menghasilkan aqueous humour.
- Koroid
Koroid adalah membran berwarna coklat, yang melapisi permukaan dalam
sklera. Koroid mengandung banyak pembuluh darah dan sel-sel pigmen yang
memberi warna gelap. Koroid berfungsi memberikan nutrisi ke retina dan badan
kaca, dan mencegah refleksi internal cahaya.
e. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan
hampir transparan sempurna. Lensa tergantung pada zonula zinni di belakang
iris. Zonula zinnia menghubungkannya dengan badan siliar.
f. Sudut Bilik Mata Depan
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan
pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis schwalbe, anyaman
trabekula (yang terletak di atas kanal schlemm), dan taji sclera (scleral spur).
g. Retina
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina
terdiri dari 10 lapisan dimulai dari sisi dalam keluar sebagai berikut:
1. Membran limitans retina
2. Lapisan serat saraf
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam
5. Lapisan nukleus dalam
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7

7. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan
batang
8. Membran limitan eksterna
9. Lapisan fotoreseptor, lapisan yang terdiri dari sel batang dan sel kerucut.
Lapisan ini merupakan modifikasi sel saraf yang mengandung badan sel
batang dan kerucut. Sel batang merupakan sel khusus yang ramping. Jumlah
sel batang lebih banyak dibandingkan sel kerucut dan terdiri dari segmen
luar yang berbentuk silindris dengan panjang 28 mikrometer mengandung
fotopigmen rhodopsin dan segmen dalam yang sedikit lebih panjang yaitu
sekitar 32 mikrometer. Keduanya mempunyai ketebalan 1,5 mikrometer.
Segmen luar dan dalam dihubungkan oleh suatu leher yang sempit. Dengan
mikroskop electron segmen luar tampak mengandung banyak lamel-lamel
membran dengan diameter yang seragam dan tersusun seperti tumpukan kue
dadar. Sel batang ini di sebelah dalam membentuk suatu simpul akhir yang
mengecil pada bagian akhirnya pada lapisan pleksiform luar yang disebut
sferul batang (rod spherule). Sel batang yang hanya teraktivasi dalam
keadaan cahaya redup (dim light) sangat sensitive terhadap cahaya. Sel ini
dapat menghasilkan suatu sinyal dari satu photon cahaya. Tetapi sel ini tidak
dapat menghasilkan sinyal dalam cahaya terang (bright light) dan juga tidak
peka terhadap warna.
10. Epitelium pigmen retina, merupakan lapisan sel poligonal yang teratur, ke
arah ora serrata. Inti sel berbentuk kuboid dengan sitoplasmanya kaya akan
butir-butir melanin. Fungsi epitel pigmen adalah sebagai berikut:
 Menyerap cahaya dan mencegah terjadinya pemantulan.
 Berperan dalam nutrisi fotoreseptor
 Penimbunan dan pelepasan vitamin A
 Berperan dalam proses pembentukan rhodopsin
Cahaya yang masuk ke dalam retina diserap oleh rhodopsin, suatu
protein yang tersusun dari opsin (protein transmembran) yang terikat pada
retinal. Penyerapan cahaya ini akan menyebabkan isomerisasi rhodopsin dan
memisahkan opsin dari ikatannya dengan retinal menjadi opsin bentuk aktif.
8

Opsin bentuk aktif kemudian memfasilitasi pengikatan guanosin triphosphate


(GTP) dengan protein transducin. Kompleks GTP-transducin ini kemudian
mengaktifkan enzim cyclic guanosin monophosphate phosphodiesterase suatu
enzim yang berperan dalam pembentukan senyawa cyclic guanosin
monophosphate (cGMP) yang berperan dalam pembukaan kanal natrium di
dalam plasmalema sel batang dan menyebabkan masuknya natrium dari
segmen luar sel batang menuju segmen dalam sel batang. Keadaan ini akan
menyebabkan hiperpolarisasi di segmen dalam sel batang dan merangsang
dilepaskannya neurotransmitter dari sel batang menuju ke sel bipolar. Oleh
sel bipolar rangsang kimiawi ini dirubah menjadi impuls listrik yang akan
diteruskan menuju ke sel ganglion untuk dikirim ke otak.
Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu mengubah
rangsang cahaya menjadi impuls saraf yang dihantarkan lapisan serat saraf
retina melalui saraf optikus hingga akhirnya ke korteks penglihatan. Makula
pada retina berfungsi umtuk penglihatan sentral dan warna (fotopik)
sedangkan bagian lainnya yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor
batang, digunakan untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Penglihatan siang hari diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, pada waktu
senja kombinasi sel kerucut dengan batang, dan penglihatan malam hari
diperantarai oleh fotoreseptor batang.

2.2 Vitamin A
2.2.1 Definisi
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro mempunyai manfaat
yang sangat penting bagi tubuh manusia, terutama dalam penglihatan manusia.
Secara umum, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua
retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas
biologik sebagai retinol.7,8
Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan
kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida) dan asam retinoat
(bentuk asam). Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani.
9

Pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan precursor (provitamin)


vitamin A. Diantara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya bentuk alfa,
beta dan gama serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A.7
2.2.2 Fungsi Vitamin A Pada Penglihatan
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh, salah satunya
fungsi penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya
remang. Di dalam mata, retinol, bentuk vitamin A yang didapat dari darah,
dioksidasi menjadi retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan
membentuk pigmen visual merah-ungu (visual purple) atau rodopsin. Rodopsin
ada di dalam sel khusus di dalam retina mata yang dinamakan rod. Bila cahaya
mengenai retina, pigmen visual merah-ungu ini berubah menjadi kuning dan
retinal dipisahkan dari opsin. Pada saat itu terjadi rangsangan elektrokimia yang
merambat sepanjang saraf mata ke otak yang menyebabkan terjadinya suatu
bayangan visual. Selama proses ini, sebagian dari vitamin A dipisahkan dari
protein dan diubah menjadi retinol. Sebagian besar retinol ini diubah kembali
menjadi retinal, yang kemudian mengikat opsin lagi untuk membentuk rodopsin.
Sebagian kecil retinol hilang selama proses ini dan harus diganti oleh darah.
Jumlah retinol yang tersedia di dalam darah menentukan kecepatan
pembentukan kembali rodopsin yang kemudian bertindak kembali sebagai bahan
reseptor di dalam retina. Penglihatan dengan cahaya samar-samar/buram baru
bisa terjadi bila seluruh siklus ini selesai.7
2.2.3 Sumber Vitamin A
Vitamin A banyak terkandung dalam minyak ikan. Vitamin A1 (retinal),
terutama banyak terkandung dalam hati ikan laut. Vitamin A2 (retinol) atau 3-
dehidro retinol, terutama terkandung dalam hati ikan tawar. Vitamin A yang
berasal dari minyak ikan, sebagian besar ada dalam bentuk ester.
Vitamin A juga terkandung dalam bahan pangan, seperti mentega (lemak
susu), kuning telur, keju, hati, hijauan dan wortel. Warna hijau tumbuh-
tumbuhan merupakan petunjuk yang baik tingginya kadar karoten. Buah-buahan
berwarna merah dan kuning, seperti cabe merah, wortel, pisang, pepaya, banyak
10

mengandung provitamin A, ß-karoten. Untuk makanan, biasanya vitamin A


terdapat dalam makanan yang sudah difortifikasi (ditambahkan nilai gizinya).7,8
2.2.4 Metabolisme Vitamin A7
Pencernaan dan absorpsi karoten dan retinoid membutuhkan empedu dan
enzim pankreas seperti halnya lemak. Vitamin A yang di dalam makanan
sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karotenoid
bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus
halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pancreas esterase menjadi
retinol yang lebih efisien diabsorpsi dari pada ester retinil. Sebagian dari
karotenoid, terutama beta-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus
dipecah menjadi retinol.
Retinol di dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan
membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyeberangi sel-sel vili
dinding usus halus untuk kemudian diangkut oleh kilomikron melalui sistem
limfe ke dalam aliran darah menuju hati. Dengan konsumsi lemak yang cukup,
sekitar 80-90% ester retinil dan hanya 40-60% karotenoid yang diabsorpsi. Hati
berperan sebagai tempat menyimpan vitamin A utama di dalam tubuh. Dalam
keadaan normal, cadangan vitamin A dalam hati dapat bertahan hingga enam
bulan.

Gambar 2. Alur transport vitamin A di dalam tubuh


Sumber: Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, Imunitas, dan Kaitannya dengan
Penyakit Injeksi.7
11

Bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat


diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil vitamin A
dalam darah yang aktif dalam deferensiasi sel dan pertumbuhan. Bila tubuh
memerlukan, vitamin A dimobilasi dari hati dalam bentuk retinol yang diangkut
oleh Retinol Binding-Protein (RBP) yang disintesis di dalam hati. Pengambilan
retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan
membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui
membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding-Protein
(CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan. Di dalam sel mata retinol berfungsi
sebagai retinal dan di dalam sel epitel sebagai asam retinoat.
Kurang lebih sepertiga dari semua karotenoid dalam makanan diubah
menjadi vitamin A. Sebagian dari karotenoid diabsorpsi tanpa mengalami
perubahan dan masuk ke dalam peredaran darah dalam bentuk karoten.
Sebanyak 15-30% karotenoid di dalam darah berupa beta-karoten, selebihnya
adalah karotenoid nonvitamin. Karotenoid ini diangkut di dalam darah oleh
berbagai bentuk lipoprotein. Karotenoid disimpan di dalam jaringan lemak dan
kelenjar adrenal.Konsentrasi vitamin A di dalam hati yang merupakan 90% dari
simpanan di dalam tubuh mencerminkan konsumsi vitamin tersebut dari
makanan.

2.3 Xeroftalmia
2.3.1 Definisi
Istilah "xerophthalmia" mengacu pada gangguan atau manifestasi okular
karena kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata
yaitu gangguan epitel konjungtiva dan kornea serta gangguan fungsi sel retina
yang berakibat kebutaan.1,10
2.3.2 Epidemiologi
Xeroftalmia dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan yang
disertai kelainan pada mata umunya terdapat pada anak usia 6 bulan sampai 4
tahun.11 Menurut WHO dalam Global prevalence of vitamin A deficiency in
populations at risk 1995–2005, buta senja mempengaruhi 5,2 juta anak usia
12

prasekolah dan 9,8 juta wanita hamil. Konsentrasi retinol serum yang rendah
(<0.70 umol/l) mempengaruhi sekitar 190 juta anak usia prasekolah dan 19,1
juta wanita hamil. Pada tahun 2004, Micronutrient Initiative dan UNICEF
bekerjasama dengan Tulane University memperkirakan bahwa KVA secara
klinis (Buta senja dan Bitot’s spot) dan KVA secara subklinis/biokimia
(konsentrasi serum retinol < 0,70 umol/l) masing-masing mempengaruhi 7,0 dan
219 juta anak usia prasekolah.4 Di Indonesia, prevalensi kurang vitamin A secara
klinis hanya 0,34% namun status vitamin A masih marginal, karena masih
ditemukan 50% balita dengan serum retinol dibawah < 20 μg/dl yang berarti
kekurangan vitamin A secara subklinis masih tinggi. 1 Hasil Studi Masalah Gizi
Mikro di 10 provinsi yang dilakukan Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2006, memperlihatkan balita dengan serum retinol
kurang dari 20μg/dl adalah sebesar 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan
terjadinya penurunan bila dibandingkan dengan Survei Vitamin A Tahun 1992
yang menunjukkan 50% balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 μg/dl.
2.3.3 Etiologi
Kekurangan vitamin A dapat disebabkan:11
 Primer : kekurangan vitamin A dalam diet
 Sekunder : gangguan absorpsi saluran cerna, seperti (1) Adanya gangguan
penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada penyakit-penyakit
antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang Energi Protein (KEP)
dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat, (2) Adanya
kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan
pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.1,11
Biasanya pada anak dengan xeroftalmia juga terdapat kelainan protein kalori
nutrisi. Seringkali juga ditemui gangguan atau penyakit gastrointestinal dan
sirosis hepatis.
2.3.4 Patofisiologi
Gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A
dalam hati dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A
13

dalam serum mencapai bawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan
metabolik mata. Deplesi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang
memakan waktu lama. Diawali dengan habisnya persediaan vitamin A di dalam
hati, menurunnya kadar vitamin A plasma (kelainan biokimia), kemudian terjadi
disfungsi sel batang pada retina (kelainan fungsional), dan akhirnya timbul
perubahan jaringan epitel (kelainan antomis). Penurunan vitamin A pada serum
tidak menggambarkan defisiensi vitamin A dini, karena deplesi telah terjadi jauh
sebelumnya.12,13
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus)
dan sel batang (sel basilus). Retinal adalah kelompok prostetik pigmen
fotosensitif dalam batang maupun kerucut. Perbedaan utama antara pigmen
penglihatan dalam batang (rhodopsin) dan dalam kerucut (iodopsin) adalah
protein alami yang terikat pada retina. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan
normal pada cahaya remang. Di dalam mata, retinol, bentuk vitamin A yang
didapat dari darah, dioksidasi menjadi retinal. Retinal kemudian mengikat
protein opsin dan membentuk pigmen visual merah-ungu (visual purple) atau
rodopsin. Rodopsin ada di dalam sel khusus di dalam retina mata yang
dinamakan rod. Bila cahaya mengenai retina, pigmen visual merah-ungu ini
berubah menjadi kuning dan retinal dipisahkan dari opsin. Pada saat itu terjadi
rangsangan elektrokimia yang merambat sepanjang saraf mata ke otak yang
menyebabkan terjadinya suatu bayangan visual.7,12 Jika terjadi kekurangan
vitamin A maka proses ini akan terganggu dan menyebabkan gangguan
penglihatan.
Selain mempengaruhi sel reseptor pada retina, kekurangan vitamin A
juga mengakibatkan kelainan pada sel-sel epitel termasuk sel-sel epitel pada
selaput lendir mata. Kekurangan vitamin A mengakibatkan niktalopia (buta
senja) dan atrofi serta keratisasi jaringan epitel dan mukosa. Pada keratinisasi
didapatkan xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea, ulkus kornea, dan
berakhir dengan keratomalasia.10,11
14

Pada keadaan ini akan terlihat ketidakmampuan air mata membasahi


mata, walaupun pada pemeriksaan Schimer terlihat jumlah air mata cukup. Hal
ini mungkin disebabkan kerusakan sel goblet sehingga hasil musin kurang.11
Defisiensi lebih lanjut menyebabkan xerosis kornea, yaitu kornea
menjadi kering dan kehilangan kejernihannya kerana terjadi pengeringan pada
selaput yang menutupi kornea. Pada stadium yang lanjut, kornea menjadi lebih
keruh, terbentuk infiltrat, berlaku pelepasan sel-sel epitel kornea, yang berakibat
pada pelunakan dan pecahnya kornea. Mata juga dapat terkena infeksi. Tahap
akhir dari gejala mata yang terinfeksi adalah keratomalasia (kornea melunak dan
dapat pecah), sehingga menyebabkan kebutaan total. 1,13
2.3.5 Klasifikasi
Dikenal beberapa klasifikasi defisiensi Vitamin A di Indonesia, seperti:
Klasifikasi Ten Doeschate, yaitu:11
Xo Hemeralopia
X1 Hemeralopia dengan xerosis konjungtiva dan Bitot
X2 Xerosis kornea
X3 Keratomalasia
X4 Stafiloma, ftisis bulbi

Dimana kelainan pada:


 Xo sampai X2 masih reversible
 X3 sampai X4 ireversibel
Klasifikasi The Internasional Vitamin A Consultative Group di Haiti,
yang merupakan klasifikasi WHO, yaitu:11
X1A Xerosis konjungtiva
X1B Bercak bitot dengan xerosis konjungtiva
X2 Xerosis kornea
X3A Ulkus kornea/keratomalasia < 1/3 permukaan kornea
X3B Ulkus kornea/keratomalasia ≥ 1/3 permukaan kornea
Catatan:
 XN: Buta senja, night blindness
 XF : Fundus xeroftalmia
 XS : Parut (skar) xeroftalmia
2.3.6 Tanda dan Gejala Klinis
15

Gejala okular yang terjadi terkait dengan kekurangan vitamin A,


bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan kekurangan vitamin A, dan usia.10
Buta senja merupakan gejala awal dari KVA. Gejala klinis KVA pada mata akan
timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut
akan lebih cepat timbul bila anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan
penyakit infeksi lainnya.1,13,14
Berdasarkan klasifikasi WHO, tanda kekurangan vitamin A pada mata
yaitu buta senja (XN), xerosis konjuntiva (XIA), bercak Bitot dengan xerosis
konjungtiva (XIB), xerosis kornea ( X2), ulkus kornea/keratomalasia <1/3
permukaan kornea (X3A), ulkus kornea/keratomalasia ≥ 1/3 permukaan kornea
(X3B), fundus xeroftalmia (XF), dan parut (scar) xeroftalmia (XS). 11 XN, X1A,
dan X1B biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati
karena dalam beberapa hari bisa berubah menjadi keratomalasia. X3A dan X3B
bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas
sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
a. Buta senja (XN)
 Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang 12
 Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di
lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.
 Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur benda
didepannya, karena tidak dapt melihat
 Anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta
senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila di dudukkan di
tempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat benda atau makanan di
depannya 1
16

b. Xerosis Konjungtiva (X1A)


 Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit
kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam
 Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.1

Gambar 3. Xerosis Konjungtiva


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1

c. Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot (X1B)


 Bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi
luar.
 Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva
 Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut
 Orang tua mengeluh mata anaknya tampak bersisik 4,16

Gambar 4. Xerosis Konjungtiva dengan Bercak Bitot


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1
17

d. Xerosis Kornea (X2)


 Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea
 Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar
 Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)

Gambar 5. Xerosis Kornea


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1

e. Keratomalasia dan Ulkus Kornea (X3A, X3B)


 Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus
 Tahap X3A: bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
 Tahap X3B: bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea
 Keadaan umum penderita sangat buruk

Gambar 6. Keratomalasia dan Ulkus Kornea


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1
18

 Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah) Keratomalasia
dan tukak kornea dapat berakhir dengan peforasi dan prolaps jaringan isi
bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan.
Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia
dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.4,16
f. Xeroftalmia scar (XS) atau sikatriks (jaringan parut) kornea
Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil.
Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik
atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan
walaupun dengan operasi cangkok kornea.

Gambar 7. Skar Xeroftalmia


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1

g. Xeroftalmia Fundus (XF)


Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol

Gambar 8. Xeroftalmia Fundus


Sumber: Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia1
19

2.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
- Keluhan Utama
Ibu pasien biasanya mengeluhkan anaknya tidak bisa melihat pada sore hari
(buta senja) atau terdapat kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan utama
tidak berhubungan dengan kelainan pada mata seperti demam.
- Keluhan Tambahan
Tanyakan keluhan lain pada mata seperti nyeri pada mata, gatal, silau,
penglihatan kabur dan kapan terjadinya ? Upaya apa yang telah dilakukan untuk
pengobatannya ?
- Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
Apakah pernah menderita Campak dalam waktu < 3 bulan ?
Apakah anak sering menderita diare dan atau ISPA ?
Apakah anak pernah menderita pneumonia ?
Apakah anak pernah menderita infeksi cacingan ?
Apakah anak pernah menderita tuberkulosis ?
- Kontak dengan pelayanan kesehatan
Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan imunisasi,
mendapat suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan memeriksakan
kesehatan baik di posyandu atau puskesmas.
- Riwayat pola makan anak
Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?
Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan ?
Bagaimana cara memberikan makan kepada anak : sendiri / disuapi?
Selain itu, kita juga perlu menanyakan pada pasien perkara-perkara berikut:
 Riwayat ibu yang pernah menderita kekurangan vitamin A ?
 Apakah ada luka pada mata ?
 Apakah pasien mengeluh mata kering ?
 Adakah penglihatan menjadi kabur bila malam hari ?
 Apakah pasien sering tidak nafsu makan ?
 Apakah terjadi penurunan masukan diet ?
20

 Adakah pasien pernah menjalani operasi bypass usus kecil ?


 Apakah pasien sering menderita penyakit infeksi ?
 Apakah berlaku keterbelakangan pertumbuhan pada pasien?
 Apakah pasien sering capek, susah konsentrasi, mata berkunang-kunang?
 Apakah pasien mempunyai kelainan pada kulit seperti kulit bersisik?
b. Pemeriksaan Fisik1
Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala klinis dan
menentukan diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari :
- Pemeriksaan umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi
buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang terdiri dari :
 Antropometri : Pengukuran berat badan dan tinggi badan
 Penilaian Status gizi : Apakah anak menderita gizi kurang atau gizi buruk.
Bila BB/TB : > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang atau kurus. Bila
BB/TB : < -3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
 Kelainan pada kulit : kering, bersisik
- Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan
menggunakan senter yang terang.
 Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
 Apakah ada bercak bitot (X1B)
 Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
 Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
 Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
 Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan
opthalmoscope (XF).
- Tes Adaptasi Gelap
Pemeriksaan didasarkan pada keadaan bila terdapat kekurangan gizi atau
kekurangan vitamin A akan terjadi gangguan pada adaptasi gelap. Dengan uji ini
21

dilakukan penilaian fungsi sel batang retina pada pasien dengan keluhan buta
senja. Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat penyinaran terang, dilihat
kemampuan melihatnya sesudah sekitarnya digelapkan dengan perlahan-lahan
dinaikkan intensitas sumber sinar. Ambang rangsang mulai terlihat
menunjukkan kemampuan pasien beradaptasi gelap.11,12
- Pemeriksaan Laboratorium 4,6
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnosis
kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-tanda khas
KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak tersebut risiko
tinggi untuk menderita KVA. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
serum retinol. Bila ditemukan serum retinol < 20 ug/dl, berarti anak tersebut
menderita KVA sub klinis. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk
mengetahui penyakit lain yang dapat memperparah seperti pada :
 Pemeriksaan serum RBP (retinol binding protein) lebih mudah untuk
melakukan dan lebih murah dari studi retinol serum, karena RBP adalah
protein dan dapat dideteksi oleh tes imunologi. RBP juga merupakan
senyawa lebih stabil dari retinol yang berkaitan dengan cahaya dan suhu.
Namun, tingkat RBP kurang akurat, karena mereka dipengaruhi oleh
konsentrasi protein serum dan karena jenis RBP tidak dapat dibedakan.6,8,9
 Pemeriksaan albumin darah kerana tingkat albumin adalah ukuran langsung
dari kadar vitamin A
 Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui kemungkinan anemia, infeksi
atau sepsis.
 Pemeriksaan fungsi hati untuk mengevaluasi status gizi
2.3.8 Diagnosis Banding
- Edema kornea
Kornea keruh dan sedikit menebal. Edema kornea terjadi pada glaucoma
kongenital, pasca bedah intraokular, dekompensasi endotel kornea, trauma, dan
infeksi kornea.
- Sikatriks kornea
22

Sikatriks, jaringan parut pada kornea yang mengakibatkan permukaan kornea


irregular sehingga memberikan uji plasido positif, dan mungkin terdapat dalam
beberapa bentuk, yaitu: (1) nebula adalah kabut halus pada kornea yang sukar
terlihat, (2) makula adalah kekeruhan kornea yang berbatas tegas, (3) leukoma
adalah kekeruhan berwarna putih padat.
2.3.9 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam 1-2
minggu. Defisiensi vitamin A diberikan dosis 30.000 unit/hari per oral selama 1
minggu. . Jika pasien muntah, pemberian secara IM dianjurkan. Kebutuhan
vitamin A adalah 1500-5000 IU/hari (anak-anak sesuai usia) 5000 IU (dewasa).
Pemberian obat gangguan protein kalori malnutrisi dengan menambahkan
vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi pasien. 11 Pemberian vitamin
E bersama dengan vitamin A nampaknya meningkatkan efektivitas vitamin A
dan mencegah kemungkinan terjadi hipervitaminosis A.1,11,12
Untuk mengobati anak dengan gejala buta senja (XN) hingga xerosis
kornea (X2), dimana penglihatan masih dapat disembuhkan, pengobatan
dimulai sejak penderita ditemukan (hari pertama) dengan memberikan kapsul
vitamin A sesuai dengan usia. Bayi kurang dari 5 bulan diberikan 1/2 kapsul biru
(50.000 SI), bayi usia 6-11 bulan diberikan 1 kapsul biru (100.000 SI), dan anak
usia 12-59 bulan diberikan 1 kapsul merah (200.000 SI). Lalu pada hari kedua
berikan 1 kapsul vitamin A sesuai dengan usia seperti ketentuan. Dua minggu
kemudian, penderita kembali diberikan kapsul vitamin A sesuai dengan usia
seperti ketentuan.1,13
Pada keadaan xerosis kornea, keratomalacia, dan ulkus kornea, anak
dapat diberikan tetes mata antibiotik tanpa kortikosteroid oleh dokter dengan
cara diteteskan pada bagian kelopak mata. Pengobatan vitamin A juga harus
disertai dengan perbaikan gizi, serta pengobatan antibiotik sebagai pengobatan
tambahan untuk mencegah infeksi sekunder.1 Sedangkan KVA pada stadium
irreversible dapat dilakukan transplantasi kornea (keratoplasti). Keratoplasti
23

diindikasikan pada sejumla kondisi kornea yang serius, misalnya parut, edem,
penipisan dan distorsi.1,12
b. Non medikamentosa
Pengobatan untuk KVA subklinis meliputi konsumsi makanan kaya
vitamin A, seperti hati, daging sapi, ayam, telur, susu yang diperkaya, wortel,
mangga, ubi jalar, dan sayuran berdaun hijau. Makan sedikitnya 5 porsi buah
dan sayuran per hari dianjurkan untuk menyediakan distribusi komprehensif
karotenoid. Berbagai makanan, seperti sereal , kue, roti, biskut, dan bar sereal
gandum, sering diperkaya dengan 10-15% dari RDA vitamin A.1
c. Rujukan1
- Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN,
X1A, X1B, X2
- Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila
ditemukan tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS.
2.3.10 Pencegahan
Kekurangan vitamin A dapat dicegah dengan pola makan makanan yang
kaya akan vitamin A atau beta-karoten sebagai komponen diet seperti sayur-
sayuran hijau, buah-buahan (misalnya: pepaya, jeruk, wortel), susu yang
diperkaya vitamin A, diperkaya sereal, hati, kuning telur, dan minyak ikan turut
membantu. Karotenoid diserap lebih baik bila dikonsumsi dengan beberapa
makannan yang mengandungi lemak. Jika bayi dicurigai alergi susu , mereka
harus diberi vitamin A yang cukup dalam susu formula.1
Di negara berkembang, salah satunya Indonesia, kekurangan vitamin A
dicegah melalui program-program kesehatan masyarakat dengan memberi
profilaksis suplemen vitamin A dengan sasaran sebagai berikut:15

Sasaran Dosis Frekuensi


Bayi 6-11 bulan Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali
Anak balita usia 12-59 bulan Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali
Ibu nifas (0-41 hari) Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali

Pemberian sumplementasi Vitamin A dilakukan di Posyandu atau


Puskesmas pada setiap bulan Februari dan Agustus seluruh bayi usia 6-11
24

bulan, harus mendapat 1 kapsul vitamin A biru dan seluruh anak balita usia 12-
59 bulan mendapat kapsul vitamin A merah. Sedangkan untuk ibu nifas sampai
30 hari setelah melahirkan mendapat 1 kapsul vitamin A merah.1,15
Prinsip dasar lain untuk mencegah KVA adalah memenuhi kebutuhan
vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama
diare dan campak. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum.

2.3.11 Prognosis1
- Jika pasien masih tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat dapat
menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembuhan
sempurna biasanya terjadi dengan pengobatan tiap hari.
- Gejala dan tanda KVA biasanya menghilang dalam waktu 1 minggu setelah
pemberian vitamin A dihentikan
- Lesi pada mata akan mengancam penglihatan (25% benar-benar buta, dan
sisanya sebagian buta).
- Mortalitas pada kasus-kasus yang berat mencapai 50% atau lebih karena
sering disertai oleh malnutrisi yang berat.
BAB III
KESIMPULAN

Xeroftalmia adalah gangguan atau manifestasi okular akibat kekurangan vitamin


A yang dapat bersifat primer akibat kekurangan vitamin A dalam diet dan sekunder
akibat gangguan absorpsi vitamin A. Tanda kelainan mata akibat kekurangan vitamin A
yaitu night blindnees (XN), xerosis konjungtiva (X1A), xerosis konjungtiva dengan
bercak Bitot (X1B), xerosis kornea (X2), keratomalasia/ulkus kornea < 1/3 permukaan
kornea (X3A), keratomalasia/ulkus kornea ≥ 1/3 permukaan kornea (X3B), fundus
xeroftalmia (XF), dan parut (scar) xeroftalmia (XS).
Diagnosis xeroftalmia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Saat ini, kebanyakkan kasus kekurangan vitamin A ditemukan
dalam bentuk sub klinis yaitu serum retinol < 20 ug/ml. Penatalaksanaan kasus
xeroftalmia dibagi menjadi 2 yaitu medikamentosa dan non medikamentosa.
Medikamentosa melalui pemberian vitamin A dosis 30.000 unit/hari per oral selama 1
minggu, biasanya akan menunjukkan perbaikan 1-2 minggu. Non medikamentosa
melalui perbaikan pola diet yaitu diet yang kaya akan hati, daging sapi, ayam, telur,
wortel, mangga, ubi jalar, dan sayuran berdaun hijau, serta memperbaiki status gizi pada
pasien dengan kurang gizi.
Pencegahan menjadi lini terdepan untuk menurunkan kejadian xeroftalmia
melalui suplementasi vitamin A, yaitu pemberian vitamin A dosis tinggi. Pada anak usia
6-11 bulan diberikan kapsul biru (vitamin A 100.000 SI), usia 12-59 bulan dan ibu nifas
(0-41 hari) diberikan kapsul merah (vitamin A 200.000 SI).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftalmia:


Pedoman bagi tenaga kesehatan (http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/
2012/05/Xeroflamia.pdf, diakses tanggal 21 Februari 2016)
2. Muhilal. 2005. Highlight of fourty years research on vitamin A deficiency at the
center for research and development in food and nutrition. Scientific speech on
retirement. Center for research and development in food and nutrition, Bogor
3. WHO. 1982. Control of vitamin A deficiency and xerophthalmia. Report of a joint
WHO/UNICEF/USAID/Helen Keller International/IVACG meeting. Geneva: WHO
(http://whqlibdoc.who.int/trs/WHO_TRS_672.pdf, Diakses tanggal 21 Februari
2016).
4. WHO. 2009. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995–
2005. WHO Global database on vitamin A deficiency. Geneva, World Health
Organization,
(http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44110/1/9789241598019_eng.pdf, diakses
tanggal 21 Februari 2016)
5. Ilyas SH dan Sri, RY. 2012. Anatomi dan fisiologi mata, Dalam: Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, hal. 1-12
6. Riordan-Eva Paul. 2007. Anatomi dan embriologi mata, Dalam: Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC, hal. 8-19
7. Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, imunitas, dan kaitannya dengan penyakit injeksi.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, hal. 90 (http://download.portalgaruda.org/article.php
?article=261633&val=7056&title=VITAMIN%20A,%, diakses tanggal 21 Februari
2016)
8. Rahayu, ID. 2012. Klasifikasi, fungsi, dan metabolisme vitamin (http://imbang.
staff.umm.ac.id/files/2010/02/Klasifikasi_dan_Metabilisme_vitamin_imbang.pdf,
diakses tanggal 23 Februari 2016)
9. Departemen Kesehatan. 2009. Panduan manajemen suplementasi vitamin A
10. WHO. 2014. Xerophthalmia and night blindness for the assessment of clinical
vitamin A deficiency in individuals and populations
11. Ilyas SH dan Sri, RY. 2012. Defisiensi vitamin A, Dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI, hal. 142-44
12. Ilyas, SH.,dkk. 2008. Sari ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI,
hal.1, 118-9, 202-4
13. Arif M, K. Triyanti, R. Saviitri. 2007. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta:
Media Aesculapius, hal.520-22
14. George, L. 2006. Vitamin A deficiency and inflammatory markers among preschool
children (http://www.nutritionj.com/, diakses pada 21 februari 2016)
15. Departemen Kesehatan RI. 2009. Panduan manajemen suplementasi vitamin A
(http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/08/panduan-suplementasi-vitA.
pdf, diakses tanggal 22 Februari 2016)
16. Guyton, David, L. 2015. Anatomy of eyes,(http://www.researchgate.net/publication/
242027406_Anatomy_of_Eyes, diakses tanggal 22 Februari 2016)

Anda mungkin juga menyukai