AL
BLOK 4 (HEMATOIMMUNOLOGI)
SKENARIO 1
1
2020
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan skenario 1
blok 4 Sistem Hematoimmunologi ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan
untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran Program Studi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Dewi Karita, M.Sc. selaku tutor serta
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tutorial ini. Kami menyadari
laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari
pembaca akan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa mendatang.
DAFTAR ISI
LAPORAN TUTORIAL............................................................................................ 1
KATA PENGANTAR................................................................................................. 2
SKENARIO 1.............................................................................................................. 4
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 31
SKENARIO 1
Lemah Letih Lesu dan Tidak Bergairah
Ny. Annisa, 35 tahun dengan berwajah pucat, datang ke poliklinik mengeluh lemas, dan mudah
lelah, yang sudah dirasakan sejak 6 bulan terakhir. Ny. Annisa bekerja sebagai buruh pabrik di
daerahnya. Setiap harinya dia bekerja dari pagi hingga sore, tanpa pernah sarapan pagi, dan bila
waktu istirahat, dia hanya makan seadanya. Dari pemeriksaan didapatkan Konjungtiva anemis,
sklera tidak ikterik. Pemeriksaan laboratorium menunjukan bahwa nilai Hb, MCH, MCHC, MCV
turun disertai dengan harga TIBC yang meningkat dan telapak tangan dan kaki pucat, tidak
ditemukan nafas cuping hidung dan retraksi dinding dada. Oleh dokter, Ny. Annisa diberi obat
sulfate ferrous dan diijinkan pulang dengan catatan harus memperbaiki pola makan dan jenis
makanan yang dikonsumsi.
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Konjungtiva
Lapisan pelindung ephitelium yang melapisi setiap kelopak dan terlipat kembali di atas bola
mata. (Sloane, 2003)
2. Hemoglobin
Terdiri dari kata “haem” dan kata “globin”, dimana haem adalah fe dan protoporfirin
adalah mitokondria, globin adalah rantai asam amino (1 pasang rantai α (alfa) dan 1
pasang rantai No. x) Merupakan protein dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen dari paru paru ke seluruh tubuh.
3. Pucat
Perubahan warna kulit akibat tidak tersuplai darah ke jaringan perifer. (Dorland, 2011)
7. Ikterik
Suatu gejala perubahan sklera membran mukosa dan kulit menjadi kuning sebagai akibat
dari kenaikan konsentrasi bilirubin. (Beta & Rosa, 2003)
8. Lelah
Kondisi ketika tubuh kekuranagn energi, baik secara fisik maupun emosional.
9. Retraksi dada
Adanya tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali menarik nafas.
Obat yang merupakan suplemen zat besi yang digunakan untuk mengobati atau mencegah
kadar zat besi rendah dalam darah (misalnya untuk anemia atau kehamilan)
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
4. Berapakah nilai normal dari pemeriksaan Hb, MCH, MCHC, dan MCV?
Tanpa sarapan seseorang akan mengalami hipoglikemia atau kadar glukosa dibawah
normal yang nantinya akan mengakibatkan tubuh lemas, pusing, gemeteran dan sulit
berkonsentrasi. Itu semua karena kekurangan glukosa yang merupakan sumber energi bagi
otak
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity)
4. Berapakah nilai normal dari pemeriksaan Hb, MCH, MCHC, dan MCV?
Hb normal : 12-15 g/dl (untuk wanita dewasa)
Pasien bernama Ny. Annisa dengan umur 35 tahun, datang ke poliklinik dengan wajah,
telapak tangan, dan kaki pucat. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, Hb, MCH, MCHC,
MCV turun. Tidak ditemukan nafas cuping hidung dan tidak ditemukan retraksi dinding
dada
- Kelamin
- Keadaan demografis
- Gaya hidup
- Pola makan
- Penyakit kronis
7. Tes penunjang apa saja yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa?
- Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan Penyaring
Karena obat ini mengandung zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghasilkan sel
darah merah
ANALISIS MASALAH
Pada penderita anemia, tubuh kekurangan oksigen dalam darah, sehingga metabolisme
pembentukan energi yang dihasilkan menggunakan proses anaerob, hal ini berakibat dalam
banyaknya penimbunan asam laktat. sementara proses anaerob tidak banyak menggunakan
energi, sehingga oksigen yang dihasilkan yang harusnya di alirkan keotak dan area wajah
menjadi berkurang.
4. Berapakah nilai normal dari pemeriksaan Hb, MCH, MCHC, dan MCV?
Hb normal : 12-15 g/dl (untuk wanita dewasa)
Wajah, telapak tangan, dan kaki pucat yang menunjukkan pasien lemas, konjungtiva anemis
(selaput lendir pelindung di bawah mata pucat), sklera tidak ikterik (bola mata terlihat tidak
kekuningan),
- Kelamin
- Asupan zat besi
- Keadaan demografis
- Gaya hidup
- Pola makan
- Penyakit kronis
7. Tes penunjang apa saja yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa?
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta
jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna unttik pengarahan diagnosis
lebih lanjut.
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit,
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer
yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Ferrous sulfate adalah salah satu bentuk sediaan zat besi yang digunakan dalam
penatalaksanaan anemia defisiensi besi atau sebagai suplementasi pada populasi yang
berisiko. Ferrous sulfate memiliki rumus molekul FeSO4 dan merupakan kristal padat
berwarna kehijauan atau kuning kecoklatan. Ferrous sulfate memiliki berat molekul 151,91
g/mol dan bersifat larut dalam air.
Obat ini telah digunakan secara luas pada pasien dengan anemia defisiensi besi dan
sebagai suplemen zat besi untuk bayi, anak, dewasa, ibu hamil, dan pasca melahirkan.
Meskipun begitu, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa zat besi yang tidak diserap
dapat meningkatkan produksi radikal bebas dalam usus besar hingga mencapai konsentrasi
yang dapat menyebabkan kerusakan sel mukosa atau meningkatkan produksi karsinogen.
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak napas, dan dispepsia.
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut.
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Klasifikasi Anemia
2. Apa itu anemia dan kriterianya
3. jelaskan hubungan lemas dengan kadar Hb
4. Hubungan asupan makan dengan hemoglobin
5. Apa penanganan anemia
6. Proses eritropoesis
7. Hubungan dari sklera ikterik dengan anemia
8. Mengapa nilai Hb, MCH, MCHC, MCV, turun sedangkan TIBC naik? Apa hubungannya?
9. Destruksi eritrosit
10. Transfusi darah
11. Edukasi mengenai asupan pada pasien
12. Fungsi zat besi dalam eritrosit dan bentuknya
BAB VI
BELAJAR MANDIRI
3. Atlas Hematologi
1. Klasifikasi anemia
Anemia dapat dikasifikasikan berdasarkan etiopatogenesis, morfologi, dan etiologi
Badan lemas merupakan salah satu gejala yang umum ditemui pada anemia. Hal ini
dapat terjadi karena kurangnya kadar hemoglobin pada sel darah merah, yang dibutuhkan
untuk menjaga pasokan oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
Sel-sel yang tidak mendapatkan pasokan oksigen dengan optimal akan membuat tubuh
kekurangan energi. Pada akhirnya,
tubuh akan terasa lemas dan mudah lelah. hemoglobin merupakan protein utama tubuh
manusia yang mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan perifer. Menurut Soetjiningsih
(2007), Penyebab rendahnya kadar hemoglobin dalam darah salah satunya adalah asupan yang
tidak mencukupi. Asupan zat gizi sehari-hari sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makan.
Eritrosit dibentuk dalam sumsum merah tulang pipih, misalnya di tulang dada, tulang
selangka, dan di dalam ruas-ruas tulang belakang. Pembentukannya terjadi selama 7 hari.
Pada awalnya eritrosit mempunyai inti, kemudian inti lenyap dan hemoglobin terbentuk.
Setelah hemoglobin terbentuk, eritrosit dilepas dari tempat pembentukannya dan masuk ke
dalam sirkulasi darah.
Eritrosit dalam tubuh dapat berkurang karena luka, sehingga mengeluarkan banyak
darah atau karena penyakit, seperti malaria dan demam berdarah. Keadaan seperti ini dapat
mengganggu pembentukan eritrosit.
Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian dirombak di dalam
hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi bilirubin dan biliverdin, yaitu pigmen
biru yang memberi warna empedu. Zat besi hasil penguraian hemoglobin dikirim ke hati dan
limpa, selanjutnya digunakan untuk membentuk eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada
200.000 eritrosit yang dibentuk dan dirombak. Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah eritrosit
secara keseluruhan.
9. Destruksi eritrosit
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan
destruksi patologik disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler, dapat juga
ekstravaskuler, terutama pada sisitem RES, yaitu lien dan hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen
hemoglobin menjadi berikut :
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai
kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu :
a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool besi dan dipakai ulang.
b. Bilirubin : yang akan diekskresikan melalui hati dan empedu
Pembentukan HEM
Hem disintesis dari glisin dan suksinil KoA (Gbr.), yang berkondensasi dalam reaksi
awal membentuk asm 8-aminolevulinat (8-ALA). Enzim yang mengkatalisis reaksi ini, 8-
ALA sintase, memerlukan piridoksal fosfat. Dalam reaksi ini, glisin mengalami
dekarboksilasi.
Dalam reaksi kedua pada pembertukan hem yang dikatalisis olch &-ALA dehidratase, 2
molekul 8-ALA menyatu untuk membentuk pird porfobilinogen (Gbr. ). Empat dari cincin-
cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil
(A) dan propionil (P). Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil.
Kemudian dua rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke
gugus vinil, membentuk protoporfirinogen Jembatan membentuk protoporfirin IX (Gbr.
meilen kemudian mengalami oksidasi)
Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam
protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (juga dikenal sebagai hem
sintase).
Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary Allowance
(RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15 mg untuk wanita
pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang mudah diserap. Besi
nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena tumbuhan seringkali
mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain yang membentuk kelat atau
presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga mencegah penyerapAnnya. Di pihak
lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan penyerapan besi non-hem dari saluran cerna.
Penyerapan besi juga meningkat pada waktu dibutuhkan dengan mekanisme yang belum
diketahui. Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+)
10. Transfusi darah
A. Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses menyalurkan komponen darah atau darah yang bisa
berasal dari berbagai sumber kedalam makhluk hidup. Transfusi darah umumnya
berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma,
operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.
B. Jenis-Jenis Transfusi Darah
a. Darah Lengkap (Whole Blood)
Darah lengkap mengandung komponen eritrosit, leukosit, dan plasma. Satu
kantong Whole Blood terdiri dari 250 ml darah dan 37 ml antikoagulan. Whole
blood diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan akut. Pada orang dewasa,
diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-20 % volume darahnya, sedangkan
pada bayi lebih dari 10 % volume darahnya. Kontra indikasi Whole blood yaitu pada
pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang hanya membutuhkan sel
darah merah saja.
b. Sel Darah merah (Packed Red Cell)
Transfusi sel darah merah diberikan pada pasien untuk memperbaiki suplai
oksigen ke jaringan. Transfusi tersebut digunakan untuk pasien simtomatik atau
mereka yang membutuhkan peningkatan Hb yang cepat. Transfusi sel darah merah
masih direkomendasikan pada perdarahan mayor akut, anemia berat (simptomatik),
dan beberapa kondisi spesifik (misalnya hemoglobinopati, kernikterus). Transfusi
jarang dianjurkan jika kadar hemoglobin di atas 10 g / dL Kontraindikasi untuk
transfusi sel darah merah, yaitu anemia akut dan kronis yang stabil. Kondisi ini
meliputi anemia autoimun, anemia megaloblastik, defisiensi besi, dan anemia pada
pasien dengan gagal ginjal, yang kesemuanya dapat dikoreksi dengan penanganan
non-darah.3
c. Platelet Concentrates
Transfusi trombosit diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau
trombosit disfungsional bila terjadi perdarahan. Profilaksis transfusi trombosit juga
ditunjukkan pada pasien dengan jumlah trombosit di bawah 10.000 - 20.000 × 10 9 /
L karena peningkatan risiko perdarahan spontan. Jumlah trombosit kurang dari
50.000 × 109 / L dikaitkan dengan peningkatan kehilangan darah selama operasi.
Pemberian satu unit trombosit diharapkan meningkatkan jumlah trombosit sebesar
5000 - 10.000 × 109 / L, dan dengan 4 pemberian unit aperesis platelet, sebesar
30.000 - 60.000 × 109 / L. Trombosit transfusi biasanya bertahan hanya 1-7 hari
setelah transfusi.
d. Granulosit
Transfusi granulosit dapat ditunjukkan pada pasien neutropenik dengan
infeksi bakteri yang tidak merespons antibiotik. Transfusi granulosit memiliki masa
hidup yang pendek pada sirkulasi resipien. Ketersediaan faktor penggabungan koloni
granulocyte (G-CSF) dan faktor timulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF)
telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
e. Transfusi Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh frozen plasma mengandung semua protein plasma, termasuk faktor
pembekuan terbanyak. Transfusi FFP ditunjukkan dalam pengobatan defisiensi
faktor terisolasi, pembalikan terapi warfarin, dan koreksi koagulopati yang dikaitkan
dengan penyakit hati. Setiap unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan
sebesar 2-3% pada orang dewasa. Dosis terapeutik awal biasanya 10-15 mL / kg.
Tujuannya adalah untuk mencapai 30% konsentrasi faktor koagulasi normal. FFP
juga dapat digunakan pada pasien yang telah menerima transfusi darah masif dan
terus mengalami transfusi trombosit. Setiap unit FFP memiliki risiko infeksi yang
sama dengan satu unit darah utuh. Selain itu, pasien sesekali dapat menjadi peka
terhadap 5 protein plasma. FFP umumnya harus dipanaskan sampai suhu 37 °C
sebelum transfusi.
f. Transfusi Faktor Anti Hemofilik (Cryoprecipitate)
Komponen utama yang terdapat di dalam cryoprecipitate adalah faktor VIII,
faktor pembekuan XIII, dan fibrinogen. Penggunaannya untuk menghentikan
perdarahan karena kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita hemofili A. Cara
pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak melalui tetesan
infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan
pada suhu kamar. Suhu simpan - 18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1
tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa
demam, alergi. Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-200 mg
fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor XIII. Setiap unit akan menaikkan tingkat
fibrinogen 5 sampai 10 mg per dL (0,15 sampai 0,29 μmol/L), dengan tujuan
mempertahankan tingkat fibrinogen paling sedikit 100 mg/dL (2,94 μmol/L) .
Indikasi pemberian :
• Hemophilia A
• Perdarahan pasca bedah
• Penyakit von wilebrand
• Defisiensi antikoagulan faktor VIII
• Defisiensi fibrinogen kongenital
• Defisiensi antikoagulan faktor XIII.
11. Edukasi mengenai asupan pada pasien
Pada pasien anemia dianjurkan untuk memperbaiki pola makan dan jenis makanan
yang dikonsumsi karena pada umumnya remaja mengalami anemia dikarenakan kekurangan
gizi yang disebabkan karena pola makan yang tidak teratur.
Menurut Thompson (2007) dalam Arumsari (2008), status gizi berkorelasi positif
dengan konsentrasi hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin
rendah kadar Hb didalam darah.
Menurut Almatzier (2011), cara mencegah dan mengobati anemia adalah:
a) Meningkatkan konsumsi makanan bergizi.
b) Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging,
ikan, ayam, hati dan telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacang-
kacangan, tempe).
c) Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk,
daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan zat besi dalam usus.
• Pemilihan pola konsumsi makanan seperti, jenis makanan, dan frekuensi makanan yang
dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap nilai kadar Hb seseorang (Soekarti, 2011).
Penderita anemia disarankan untuk tidak mengonsumsi makanan yang mengandung
fitat, seperti kacang-kacangan, beras merah, dan gandum. Fitat menyebabkan zat besi terikat
dalam pencernaan sehingga penyerapan zat besi dalam tubuh terganggu.
12. Fungsi zat besi dalam eritrosit dan bentuknya
Zat besi adalah mineral penting yang diperlukan untuk produksi hemoglobin dan
memiliki peran di berbagai proses lainnya dalam tubuh. Zat besi membantu pembentukan sel
darah merah dan hemoglobin. Jika asupan zat besi berkurang, produksi sel darah merah dan
kandungan hemoglobin bisa turun.
Eritrosit berbentuk bikonkaf dan berdiameter 7-8 mikron. Bentuk bikonkaf tersebut
menyebabkan eritrosit bersifat fleksibel sehingga dapat melewatipembuluh darah yang
sangat kecil dengan baik. Bentuk eritrosit pada mikroskop biasanya tampak bulat berwarna
merah dan dibagian tengahnya tampak lebih pucat, atau disebut (central pallor) diameter 1/3
dari keseluruhan diameter eritrosit.
Eritrosit berjumlah paling banyak diantara sel-sel darah lainnya. Dalam satu milliliter
darah terdapat kira-kira 4,5 – 6 juta eritrosit, oleh sebab itu darah berwarna merah. Eritrosit
normal berukuran 6 – 8 Nm atau 80 – 100 fL (femloliter). Bila MCV kurang dari 80 fL
disebut (mikrositik) dan jika lebih dari 100fL disebut (makrositik)
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anemia Defisiensi Besi dapat terjadi karena kekurangan nutrisi sebelum melakukan
aktifitas kita hendaknya memiliki energi dan nutrisi yang cukup. Meskipun anemia
memiliki beberapa penyebab lain seperti kanker darah,hipotiroidisme.gagal ginjal dll.
gejala anemia sendiri meliputi lemas, mudah lelah, dan pucat. Selain dari anamnesis
sendiri ada pemeriksaan penunjang pemeriksaan seperti MCV, MCHC, MCH, Hb, dan
TIBC terkadang diperlukan juga untuk menegakkan diagnosis. Anemia Defisiensi Besi
sendiri dapat diboati dengan beberapa obat seperti Sulfate Ferrous. Asam Folat, dan B12.
B. Saran
Pada tutorial skenario 1 pada blok 4 ini telah berjalan dengan baik, akan tetapi
diharapkan untuk mahasiswa lebih aktif lagi dalam proses diskusi dan lebih banyak
membaca referensi terbaru yang bertujuan agar suasana dari proses diskusi berjalan lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing; 2014.
Bakta Made I. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2012.
Freund Mathias. Atlas Hematologi Heckner Edisi 11. Jakarta: EGC; 2009.
Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena
IDG, Windiastuti E, Abdul salam M, penyunting. Buku ajar hematologi Onkologi Anak.
Jakarta:BPIDAI;2005.hal.30-43.
Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari
Pediatri. 2002;4(2):74- 7.
Amalia, Ajeng. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi. Desember 2016.
Diakses tanggal 23 Februari 2021. Tersedia dari : juke.kedokteran.unila.ac.id
Komariah, Maria. Makalah Ilmiah Metabolisme Eritrosit. 2009. Diakses pada tanggal 25
Februari 2021. Tersedia dari : pustaka.unpad.ac.id
Artha, I Gede Putu Widya. Transfusi Darah Pasca Bedah. 2017. Diakses tanggal 26
Februari 2021. Tersedia dari : simdos.unud.ac.id