Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL

ILMU MATA

SKENARIO 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

Tutor :
Winawati Eka Putri, dr., Sp.KK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2017-2018
1

KELOMPOK PENYUSUN

BADIATUL KHILQOH 6130014011


CLAUDIA NARINDA RAHMA PUTRI 6130014012
DINDA MUTIARA SUKMA PRASTIKA 6130014013
MAIMUNAH FAIDZIN 6130014014
ELSA KUSUMAWATI 6130014015
NURIS UMI RIZQI 6130014016
HESSTY ROCHENDAH ONJIAH 6130014017
SRI SAFARIAWATI MAA 6130014018
LUTHFI KALINDRA PARAHITA 6130014019
AANISAH IKBAAR SAYYIDAH 6130014020
2

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial berjudul “ILMU MATA” telah melalui konsultasi dan


disetujui oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 16 April 2018


Pembimbing

Winawati Eka Puti, dr., Sp.KK


NPP. 15061016K
3

Skenario
Laki-laki 40 tahun dengan keluhan kabur saat melihat jauh dan saat
membaca dekat. Rpd tidak pernah pakai kacamata. Tidak ada diabet dan
hipertensi.

Data tambahan:
 Pemeriksaan fisik :
- VOD 1/300 Tensi OD n/palpasi
- VOS 6/20 Tensi OS n/palpasi
 Pemeriksaan mata luar
- Palpebra
- Konjungtiva
- Kornea
- Bilik mata depan : dbn
- Iris : dbn
- Pupil : dbn
- Lensa : dbn
- Fundus refleks + normal
 Pemeriksaan refraksi
- Visus ODS dikoreksi
- Cilindris -1, 00 6/6
- Karena usia 40, ditambah addisi +1.00
- Dengan kartu jagger terang
- Diagnosa ODS astigmatisma
- Presbiopia
4

STEP 1
Identifikasi Kata Sulit : -
Kata Kunci

1. Laki-laki 40 tahun
2. Mata kabur saat melihat jauh dan membaca dekat
3. OD = 6/15
4. OS = 6/15
5. Pemeriksaan refraksi
- Visus ODS dikoreksi
- Cilindris -1, 00 6/6
- Karena usia 40, ditabah addisi +1.00 dengan kartu jagger terang

STEP 2
Identifikasi Masalah
1. Apa diagnosa dan diagnosa banding kasus dari skenario tersebut?
2. Apa saja etiologi dan faktor resiko kasus dari skenario tersebut?
3. Apa saja manifestasi klinis dari skenario tersebut?
4. Bagaimana pemeriksana penunjang dari skenario tersebut?
5. Bagaimana tatalaksana dari skenario tersebut?
6. Bagaimana komplikasi dan prognosis dari skenario tersebut?

STEP 3
Jawaban Rumusan Masalah
Jawaban Rumusan Masalah

1. Diagnosa : Presbiopi dan astigmatisma


Diagnosa Banding : presbiopi, astigmatisma, miopi, hipermetropi
2. Etiologi :
₋ Kelemahan otot akomodasi
₋ Sklerosis lensa (elastisitas lensa berkurang)
5

Faktor resiko :
₋ Usia
₋ Life style
₋ Nutrisi
3. Manifestasi klinis :
₋ Mata lelah berair
₋ Mata perih
₋ Kabur melihat jauh
₋ Kabur membaca dekat
₋ Pusing
4. Pemeriksaan penunjang :
₋ Kartu Snellen
₋ Pemeriksaan refraksi astigmatisma
₋ Tes Douchrome
₋ Kartu Jagger
5. Tatalaksana :
₋ Kacamata
₋ Lasik
₋ Lensa
₋ Perubahan life style
₋ Konseling dan edukasi
6. Komplikasi :
₋ Ablasio retina
₋ Strabismus
Prognosis :
₋ Ad vitam : Bonam
₋ Ad functionam : Bonam
₋ Ad sanationam : Bonam
6

STEP 4
Mind Mapping

Laki-laki, 40 tahun Kabur saat melihat jauh


membaca dekat

- Presbiopi
- Astigmatisma
- Hiperpetropi - Visus ODS
- Miopi dikoreksi
- Cilindris -1, 00
6/6
- Karena usia 40,
Presbiopi + ditambah addisi
Astigmatisma +1.00
-

Tatalaksana

Hipotesis
Seorang laki- laki 40 tahun dengan keluhan mata kabur saat melihat jauh
dan membaca dekat. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien
tersebut diduga pasien tersebut mengalami presbiopi dan astigmatisma.
7

STEP 5
Learning Objective
1. Mengetahui fisiologi penglihatan
2. Mengetahui diagnosa dan diagnosa banding kasus dari skenario tersebut
3. Mengetahui etiopatofisiologi dari skenario tersebut
4. Mengetahui faktor resiko manifestasi klinis dari skenario tersebut
5. Mengetahui tatalaksana dari skenario tersebut
6. Mengetahui pemeriksana penunjang dari skenario tersebut
7. Mengetahui komplikasi dan prognosis dari skenario tersebut
8. Mengetahui peresepan kacamata
9. Mengetahui pandangan islam dari skenario tersebut

STEP 6
Belajar Mandiri

1. Fisiologi Penglihatan
Proses fisiologi visual (penglihatan) dimulai saat cahaya memasuki mata,
terfokus pada retina dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik.
Ketika dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih
banyak dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini
sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang
terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial
kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai
myoepithelial cells (Saladin, 2006).
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan
pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi
pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita
memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat atau jauh.
Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan
pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006).
8

Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humour


(n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak
dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang
ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya
mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam
proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat
diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina (Saladin,
2006).
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory
retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin
yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu matriks hitam
yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan
mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga
lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari
setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai
lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan
ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel
bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006).

Gambar 1. Jaras Penglihatan (Khurana, 2007)

Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang
terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral
geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks serebri (Seeley, 2006).
9

Gambaran jaras penglihatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada
gambar 1.

2. Diagnosis banding dan Diagnosis


Berdasarkan keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien tersbeut , yaitu
mata tidak merah dengan penurunan visus perlahan dan mengalami perbaikan
setelah dilakukan koreksi, maka kami mengambil beberapa kelainan mata sebagai
differential diagnosis, yaitu kelainan refraksi mata yang terdiri dari myopi,
hipermetropi, astigmatisme, dan presbiopi. Maka diagnosis yang kami ambil
adalah Astigmatisma dengan presbiopi, dikarenakan umur pasien 40 tahun denga
keluhan mata kabur saat melihat jauh dan saat membaca dekat, pada riwayat
penyakit dahulu tidak pernah memakai kacamata dan tidak ada riwayat diabetes
mellitus dan hipertensi, dengan VOD dan VOS 6/15 dan tensi OD n/palpasi, OS
n/palpasi.

Diagnosis Banding
1. Miopi
Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis kerusakan
mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang atau
kelengkungan kornea yang terlalu cekung. Pada miopia panjang bola mata
anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu
kuat.pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan
melihat jauh akan kabur atau disebut rabun jauh (Sidarta, 2013).
Gejala pada pasien miopia adalah sakit kepala sering disertai dengan juling dan
celah kelopak mata yang sempit, kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Sidarta, 2013).
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit
yang terlihat pada polus posterior fundus. Pada miopia tinggi akan terdapat pula
kelainan fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi perifer retina
(Sidarta, 2013).
10

Pengobatan miopia dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang


memberikan ketajaman penglihatan maksimal.komplikasi yang dapat timbul
adalah ablasi retina dan juling.
Beberapa bentuk miopia, antara lain: (Sidarta, 2013)
a. Miopia Refraktif
Sama seperti miopia bias atau miopia indeks, yaitu miopia yang terjadi akibat
bertambahya indeks bias media penglihatan kornea dan lensa dimana lensa
menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
b. Miopia Aksial
Miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan lensa dan
kornea yang normal.
Berdasarkan derajatnya : (Sidarta, 2013)
a. Miopia ringan : 1 – 3 D
b. Miopia sedang : 3 – 6 D
c. Miopia tinggi : 6 – 10 D
Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara klinis dapat
terbagi lima yaitu: (David, 2006)
a. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu
tinggi.
b. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekeliling
kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi
terhadap tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya
adalah pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak
cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia.
c. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap
mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot – otot siliar
yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu,
karena memang sifat myopia ini hanya sementara sampai kekejangan
akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh buru – buru
memberikan lensa koreksi.
11

d. Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia


maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat tinggi dan
tajam penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah mendapat
koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu.
e. Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat – obatan,
naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan
sebagainya.
Secara klinis miopia dibedakan menjadi (Sidarta, 2013):
a. Miopia Stationer
Miopia yang menetap setelah dewasa.
b. Miopia Progresif
Miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambahnya panjang
bola mata. Pada pasien 1 di skenario ini, mungkin pasien menderita myopia
progresif, di mana pasien mengalami pertambahan penurunan visus.
c. Miopia Maligna
Miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan
kebutaan.miopia ini biasanya lebih dari 6 dioptri dan disertai kelainan pada
fundus okuli serta pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma
postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada myopia adalah: (Sidarta, 2013)
a. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D sekitar
1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat menjadi
1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain
penambahan faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan
miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sidarta, 2013).
b. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan
2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahanlahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia
tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada
12

tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada


keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak
dengan retina. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk
terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment
pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat
memanjangnya bola mata (Sidarta,2007).
c. Miopik makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah
kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan
pandang berkurang.Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang
bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid
atau degenerasi macular miopia juga merupakan konsekuensi dari
degenerasi makular normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang
abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina (Sidarta, 2013)
d. Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada myopia
sedang4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur
jaringan ikat penyambung pada trabekula (Sidarta, 2013).
e. Katarak
Lensa pada miopia kehilangan transparansi.Dilaporkan bahwa pada orang
dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat (Sidarta, 2013).
Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah dari kelainan mata sejak dari
anak dan menjaga jangan sampai kelainan mata menjadi parah.

2. Hipermetropi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang macula lutea. Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan
refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu
mata tanpa akomodasi difokuskan di belakang retina (Sidarta, 2013).
13

Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan


bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak
sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga
titik focus sinar terletak di belakang retina. Terdapat berbagai gambaran klinik
hipermetropia seperti: (Sidarta, 2013)
a. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik
dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kaca mata maksimal.
b. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya
mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata.
Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal, maka
otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang
masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
c. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengana
komodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.
Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropi absolut.
d. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (otot
yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin
muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Hipermetropia
total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia.

Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih


pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di
belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas;
(Sidarta, 2013)
14

a. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola


mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
c. Hipermetropia indeksrefraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistemoptik mata.
Hipermetropi menimbulkan gejala-gejala berupa: sakit kepala terutama
daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau melihat ganda, mata leleh,
penglihatan kabur melihat dekat. Sering mengantuk, mata berair, pupil
agakmiosis, dan bilik mata depan lebih dangkal. Mata dengan hipermetropia akan
memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata.
Koreksi hipermetropia adalah di berikan koreksi lensa positif maksimal yang
memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca
mata lensa positif terbesar yang masih member tajam penglihatan maksimal
(Sidarta, 2013).

3. Presbiopi
Dengan bertambahnya usia sekitar ≥ 40 tahun , maka akan berkurang pula
daya akomodasi akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar
mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut
presbiopia. Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat: (1)
Kelemahan otot akomodasi; (2) Lensa mata tidak kenyal atau berkurang
elastisitasnya akibat sklerosis lensa (Sidarta, 2013).
Pada pasien presbiopia, kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat
yang berkekuatan tertentu, biasanya: (Sidarta, 2013)
 +1.0D untuk usia 40 tahun
 +1.5D untuk usia 45 tahun
 +2.0 untuk usia 50 tahun
 +2.5 untuk usia 55 tahun
 +3.0 untuk usia 60 tahun
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.0 dioptri adalah lensa
positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak
15

melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca
terletak pada titik api lensa +3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar
(Sidarta, 2013).

Gambar 2. Far Point Emmetropi, Hipermetropi, Dan Miopi (Khurana, 2007)

4. Astigmatisme
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam
pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api pada dua garis titik api yang saling
tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea. Bentuk
astigmatisma: (Sidarta, 2013)
a. Astigmatisma regular : Astigmatisma yang memberikan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke
meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisma regular dengan
bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran
b. Astigmatisma ireguler : Astigmatisma yang terjadi tidak mempunyai 2
meridian saling tegak lurus. Astigmatisma ireguler dapat terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan
menjadi ireguler. Astigmatisma ireguler terjadi akibat infeksi kornea, trauma,
dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lenda yang berbeda.
16

Penyebab astigmatisme antara lain : (Sidarta, 2013)


a. Kelainan kornea (90%), yaitu perubahan kelengkungan cornea, tindakan
operasi, dan trauma.
b. Kelainan lensa

Jenis astigmatisme: (Sidarta, 2013)


a. Ast. Myopic simplex : koreksi Cyl. (-)
b. Ast. Myopic complex : koreksi Sp (-) & Cyl (-)
c. Ast. Hypermetropic simplex : koreksi Cyl (+)
d. Ast. Hypermetropic complex : koreksi Sp (+) & Cyl (+)
e. Astigmatisma Mixtus : koreksi Sp (-) & Cyl (+); Sp (+) & Cyl (-)
Pengobatan dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa
kontak lembek bila disebabkan infeksi, trauma, dan distrofi untuk memberikan
efek permukaan yang irregular (Sidarta, 2013).

Gambar 3. Jenis Astigmatisma (Khurana, 2007)


17

3. Etiopatofisiologi pada kasus scenario (Astigmatisma dan Presbiopi)

Etiopatofisiologi Astigmatisma

Penyebab umum astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea. Lensa


kristalina juga dapat berperan untuk timbulnya astigmatisma. Astigmatisma paling
sering disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea pada salah satu
bidangnya. Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu
erat (James, 2005)

Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan


memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada
semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan.
Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain
difokuskan di belakang retina (American Academy of Opthalmology Section 5,
2009-2010).

Etiopatofisiologi Presbiopi

Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :

a. Kelemahan otot akomodasi


b. Lensa mata yang tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sclerosis lensa
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi
mata karena adanya perubhan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan
kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa
menjadi lebih keras (sklerotik) dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi
cembung, dengan demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang (Ilyas,
2013).
18

4. Faktor resiko pada kasus scenario (Astigmatisma dan Presbiopi)


Faktor Risiko Presbiopia
Usia adalah faktor risiko utama untuk pengembangan presbiopia, penyakit
sistemik, penyakit kardiovaskular, atau efek samping obat. Faktor risiko umum
dijelaskan pada Tabel 1.
Table 1. (American Optometric Association, 2011)
Factor resiko umum untuk presbiopia
Usia Biasanya memengaruhi fungsi pada atau setelah
usia 40 tahun
Hyperopia Tambahan permintaan akomodatif (jika tidak
dikoreksi)
Okupasi Tuntutan pekerjaan, sekretaris misalnya
Jenis kelamin Onset dini pada wanita (perawakan pendek,
menopause)
Trauma atau ocular disease Pengangkatan atau kerusakan lensa, zonulus, atau
otot siliaris
Penyakit sistemik Diabetes mellitus (lensa, efek bias); multiple
sclerosis (gangguan persarafan); kecelakaan
kardiovaskular (gangguan persarafan akomodatif);
insufisiensi vaskular; myasthenia gravis; anemia;
influensa; campak
Obat-obatan Penurunan akomodasi adalah efek samping dari
obat yang tidak diresepkan dan yang diresepkan
(misalnya, alkohol, klorpromazin, hidroklorotiazid,
agen anti ansietas, antidepresan, antipsikotik,
antispasmodik, antihistamin, diuretik)
Factor iatrogenic Scatter (panretinal) fotokoagulasi laser; operasi
intraokular
Factor geografi Jarak ke khatulistiwa (suhu tahunan rata-rata lebih
tinggi, paparan radiasi ultraviolet lebih besar)
Lainnya Nutrisi buruk; penyakit dekompresi; suhu
lingkungan
19

Faktor Risiko Astigmatisma


- Anak-anak semuda usia prasekolah dapat menunjukkan defisit visual yang
disebabkan oleh astigmatisme.
- prevalensi meningkat seiring usia di antara orang-orang Kaukasia dari
28% di antara individu di usia 40 hingga 38% di antara individu di usia
80-an
- prevalensi astigmatisme telah dilaporkan 20% lebih tinggi di antara pria
daripada wanita tetapi tidak dikaitkan dengan jumlah tahun pendidikan
formal
- Ada data yang bertentangan tentang asosiasi astigmatisme dengan
prematuritas atau berat lahir rendah, dan dengan retinopati premature
- Faktor panjang bola mata dan kerataan kornea serta dikaitkan dengan
pembiasan hiperopik (Goggin, 2012).

5. Manifestasi klinis pada kasus skenario (Astigmatisma dan Presbiopi)


Manifestasi Klinis Presbiopia
Onset presbyopia berangsur-angsur. Penglihatan kabur dan ketidakmampuan
untuk melihat detail halus pada jarak dekat yang biasa digunakan adalah ciri khas
dari presbyopia. Gejala umum lainnya adalah keterlambatan dalam fokus pada
jarak dekat atau jarak, ketidaknyamanan mata, sakit kepala, asthenopia,
menyipitkan mata, kelelahan atau mengantuk dari kerja dekat, jarak kerja yang
meningkat, kebutuhan akan cahaya yang lebih terang untuk membaca, dan
diplopia (American Optometric Association, 2011).
Kesulitan melihat pada jarak dekat kerja yang biasa dan mengubah atau
mempertahankan fokus dijelaskan oleh penurunan amplitudo akomodasi. Cahaya
yang lebih terang untuk membaca bermanfaat bagi pasien dengan menyebabkan
konstriksi pupil, sehingga meningkatkan kedalaman fokus. Kelelahan dan sakit
kepala berkaitan dengan kontraksi otot orbikularis atau bagian dari otot
occipitofrontalis dan diduga terkait dengan ketegangan dan frustrasi atas
ketidakmampuan untuk mempertahankan visi yang jelas. Mengantuk telah
dikaitkan dengan usaha fisik yang dikeluarkan untuk akomodasi selama jangka
waktu yang lama. Diplopia dapat terjadi sebagai akibat eksotropia yang
20

berhubungan dengan peningkatan eksofora dan penurunan amplitudo verusif


fusional positif, keduanya umum terjadi pada presbyopia (American Optometric
Association, 2011).

Manifestasi Klinis Astigmatisma


Distorsi atau pengaburan gambar pada semua jarak adalah salah satu gejala
astigmatisme yang paling umum. Ini mungkin terjadi secara vertikal, horizontal,
atau diagonal. Mungkin ada objek yang tidak jelas, lingkaran menjadi memanjang
menjadi oval dan titik cahaya mulai menghilang. Gejala ketegangan mata seperti
sakit kepala (Kaimbo Wa Kaimbo & Missotten, 2003), fotofobia, dan kelelahan
juga merupakan gejala astigmatisme yang paling umum. Membaca cetakan kecil
sulit dilakukan dengan astigmatisme. Gejala lain mungkin termasuk: menyipitkan
mata, ketidaknyamanan mata, iritasi, mata sakit atau lelah, distorsi di bidang
visual, diplopia monokular, silau, kesulitan mengemudi di malam hari (Goggin,
2012).

6. Pemeriksana penunjang dari skenario tersebut


1. Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil (pin hole) ini dilakukan untuk mengetahui apakah
berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau
kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila
ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada
pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila
ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan
media penglihatan atau pun retina yang menggangu penglihatan (Olver,
2014).
2. Uji refraksi
a. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda trial and
error Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu
Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu
21

persatu dibiasakan mata kanan terlebih dahulu Ditentukan visus / tajam


penglihatan masing- masing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi
dengan lensa sferis positif, bila dengan lensa sferis positif tajam
penglihatan membaik atau mencapai 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien
dikatakan menderita hipermetropia, apabila dengan pemberian lensa
sferis positif menambah kabur penglihatan kemudian diganti dengan
lensa sferis negatif memberikan tajam penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20
maka pasien menderita miopia. Bila setelah pemeriksaan tersebut
diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan maksimal mungkin pasien
mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada keadaan ini lakukan uji
pengaburan (fogging technique) (Deborah, 2008).
b. Objektif
 Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi
dengan menggunakan komputer. Penderita duduk di depan
autorefractor, cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap
cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan refraksi
yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan waktu
beberapa detik (Deborah, 2008).
 Keratometri
Pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea. Keratometer dipakai klinis secara luas dan
sangat berharga namun mempunyai keterbatasan (Deborah, 2008).
3. Uji pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam
penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam
penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi juring
astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis
juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu
lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°.
Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan sampai garis
22

juring kisi-kisi astigmatisme vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan


juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa
silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat
kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien
melihat jelas (Deborah, 2008).
4. Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan
astigmatisme. Pemeriksa memerhatikan imej “ring “ pada kornea pasien.
Pada astigmatisme regular, “ring” tersebut berbentuk oval. Pada
astigmatisme irregular, imej tersebut tidak terbentuk sempurna (Deborah,
2008).

7. Peresepan kacamata

Pada resep minimal yang harus dicantumkan adalah (Vaughan, 2000):


1. Tempat dan tanggal penulisan resep
2. Resep untuk kacamata melihat jauh/dekat
3. Mata kanan atau mata kiri
4. Gambar/busur aksis untuk lensa silindris
5. Bila untuk melihat jauh, maka tulislah ukuran sferis pada barisan paling
atas
6. Bila untuk melihat dekat, tulislah ukuran dibawah baris ukuran untuk
melihat jauh
7. Bila memerlukan lensa silindris, tulis ukuran sferis, beserta aksisnya
8. Bila memerlukan lensa prisma, tulis disebelah ukuran silindris beserta
basisnya
9. Jarak kedua pupil untuk melihat jauh dan dekat
10. Kepada/pro(nama penderita)
11. Umur penderita
12. Tanda tangan
23

8. Komplikasi dan prognosis dari skenario tersebut

Komplikasi

1. Strabismus
Strabismus atau mata juling adalah suatu kondisi dimana kedua
matatampak tidak searah atau memandang pada dua titik yang berbeda.
Dalam keadaan normal, kedua mata kita bekerja sama dalam memandang
suatu obyek. Otak akan memadukan kedua gambar yang dilihat
oleh kedua mata tersebut menjadi satu gambaran tiga dimensi yang
memberikan persepsi jarak, ukuran dan kedalaman (depth perception)
(Bruce James, 2006).
Ada beberapa jenis strabismus yang bisa kita amati langsung
dengan meminta pasien memandang lurus ke depan. Ketika satu mata
memandang lurus ke depan maka mata sebelahnya dapat saja memandang
ke dalam (esotropia), ke luar (exotropia), ke bawah (hipotropia) atau
ke atas (hipertropia) (Bruce James, 2006).
2. Ablasio retina
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
batang retina dari sel epitel pigmen retina. Lepasnya retina atau sel kerucut
dan batang dari koroidatau sel pigmen epitel akan mengakibatkan
gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung
lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap (Ilyas, 2013).
3. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah peningkatan tekanan intraokular yang terjadi
sebagai suatu manifestasi dari penyakit mata lain (Riordan, 2009).
4. Kebutaan

Prognosis
Prognosis cukup jelek karena kelainan ini disebabkan karena proses
degenerasi (Riordan, 2009).
24

9. Pandangan islam dari skenario tersebut

Pandangan islam penglihatan

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya” [QS. An-Nuur : 30].
25

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Lens and Cataract Section 5.


United State of America: American Academy of Ophthalmology

American Optometric Association. Optometric Clinical Practice Guideline Care


Of The Patient With Presbyopia. 2011. USA, Lindbergh Blvd., St. Louis,
MO 63141-7881
Bruce James, Chris Chew, Anthony Brown. 2006. Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
Edisi 9.

David A et al. 2006. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Patient
with Myopia.
Dieudonne Kaimbo Wa Kaimbo (2012). Astigmatism – Definition, Etiology,
Classification, Diagnosis and NonSurgical Treatment, Astigmatism - Optics,
Physiology and Management, Dr. Michael Goggin (Ed.), ISBN: 978- 953-
51-0230-4, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/astigmatism-optics-physiology-
ndmanagement/astigmatism-definition-etiology-classification-diagnosis-
and-non-surgical-treatment

Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6th 


Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-


100,2008.

Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu Penyakit Mata: Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
James, Bruce,Chris C., Anthony B. 2005. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta :
Erlangga
Khurana AK, Diseases of The Lens. Comprehensive Ophthalmology Fourth
Edition. India : Newage International Publishers.2007

Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmology : Fourth edition. New Delhi


: New Age International Publisher
26

Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
Ophtalmology at a Glance 2nd New York: Blackwell Science, 2014; 22-23.

Riordan Paul, Eva. 2009. Vaugan & Asbury’s General Opthalomologi. Jakarta :
EGC. Edisi 17.

Saladin, K.S., 2003. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. 3rd
ed. New York: McGraw-Hill.

Seeley, Stephens. 2006. Anatomy & Physiology. New York: McGraw Hill
International

Vaughan, Dale. Oftalmologi Umum. Alih bahasa Jan Tambajong dan Brahm U.
Ed.14. Jakarta : Widya Medika ; 2000.

Anda mungkin juga menyukai