Anda di halaman 1dari 42

Bagian Obstetri dan Ginekologi Refleksi Kasus

G4P2A1 GRAVID ATERM + POST SC ANAK KE 2+ CALON AKSEPTOR


KONTAP

Disusun Oleh :

Amalia Anisa
N 111 18 069

Pembimbing Klinik :
dr.Ni Made Astijani Giri, Sp.OG

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Seorang perempuan menjadi subur dan dapat melahirkan segera setelah ia


mendapatkan haid yang pertama (menarke), dan kesuburan seorang perempuan akan
terus berlangsung sampai mati haid (menopause).1

Kehamilan dan kelahiran yang terbaik, artinya risikonya paling rendah untuk ibu
dan anak, adalah Antara 20-35 tahun sedangkan persalinan pertama dan kedua paling
rendah risikonya bila jarak Antara dua kelahiran adalah 2-4 tahun.2

Dari data WHO di dapatkan bahwa di seluruh dunia terjadi lebih dari 100 x 10 (6)
senggama setiap harinya dan terjadi 1 juta kelahiran baru per hari di mana 50% di
antaranya tidak direncanakan dan 25 % tidak diharapkan. Dari 150.000 kasus abortus
provokatus yang terjadi per hari, 50.000 diantaranya abortus illegal dan lebih dari 500
perempuan meninggal akibat komplikasi abortus tiap harinya.3

Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan.


Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan permanen. Kontrasepsi yaitu
pencegahan terbuahinya sel telur oleh sperma (konsepsi) atau pencegahan
menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan permanen. Kontrasepsi yaitu
pencegahan terbuahinya sel telur oleh sperma (konsepsi) atau pencegahan
menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim.1
2.2 Efektivitas kontrasepsi
Efetivitas atau daya guna suatu cara kontrasepsi dapat dinilai pada 2 tingkat,
yaitu :1
a. Daya guna teoritis yaitu kemampuan suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila kontrasespsi tersebut
digunakan dengan mengikuti aturan yang benar.
b. Daya guna pemakaian yaitu kemampuan kontrasepsi dalam keadaan sehari-
hari dimana pemakaiannya di pengaruhi oleh factor-faktor seperti pemakaian
yang tidak hati-hati, kurang disiplin dengan aturan pemakaian dan sebagainya.
2.3 Memilih metode kontrasepsi
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih kontrasepsi.
Metode kontrasepsi yang baik ialah kontrasepsi yang memiliki syarat-syarat
sebagai berikut :2
a. Aman atau tidak berbahaya
b. Dapat diandalkan
c. Sederhana
d. Murah
e. Dapat diterima oleh orang banyak
f. Pemakaian jangka lama (continuation rate tinggi)
Faktor-faktor dalam memilihh metode kontrasepsi yaitu :
a. Faktor pasangan
1) Umur
2) Gaya hidup
3) Frekuensi senggama
4) Jumlah keluarga yang diinginkan
5) Pengalaman dengan kontrasepsi yang dulu
6) Sikap kewanitaan
7) Sikap kepriaan
b. Faktor kesehatan
1) Status kesehatan
2) Riwayat haid
3) Riwayat keluarga
4) Pemeriksaan fisik
5) Pemeriksaan panggul
2.3 Jenis-jenis kontrasepsi
1. Kontrasepsi non hormonal
a) Senggama terputus (koitus interuptus)
Cara ini mungkin merupakan cara kontrasepsi tertua yang dikenal
manusia, dan mungkin masih merupakan cara terbanyak yang dilakukan
hingga kini. Walaupun cara ini merupakan cara dengan banyak
kegagalan, koitus interruptus merupakan cara utama dalam penurunan
angka kelahiran di Prancis abad ke-17 dan abad ke-18.1
Senggama terputus ialah penarikan penis dari vagina sebelum
terjadinya ejakulasi. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa akan
terjadinya ejakulasi disadari sebelumnya oleh sebagian besar laki-laki,
dan setelah itu masih ada waktu kira kira “detik” sebelum ejakulasi
terjadi. Waktu yang singkat ini dapat digunakan untuk menarik penis
keluar dari vagina. Keuntungan, cara ini tidak membutuhkan biaya, alat-
alat ataupun persiapan, tetapi kekurangannya adalah untuk
menyukseskan cara ini dibutuhkan pengendalian diri yang besar dari
pihak laki-laki. Beberapa laki-laki karena faktor jasmani dan emosional
tidak dapat mempergunakan cara ini. Selanjutnya, penggunaan cara ini
dapat menimbulkan neurasteni.
Efektivitas cara ini umumnya di anggap kurang berhasil,
penyelidikan yang dilakukan di Amerika dan Inggris membuktikan
bahwa angka kehamilan dengan cara ini hanya sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan cara yang mempergunakan kontrasepsi mekanis
atau kimiawi. Kegagalan dengan cara ini dapat disebabkan oleh (1)
adanya pengeluaran air mani sebelum ejakulasi (praejaculatory fluid),
yakni dapat mengandung sperma,apalagi pada koitus yang berulang
(repeat coitus),(2) terlambatnya pengeluaran penis dari vagina,dan (3)
pengeluaran semen dekat pada vulva (petting), oleh karena adanya
hubungan antara vulva dan kanalis servikaslis uteri melalui benang
lender serviks yang pada masa ovulasi mempunyai spinnbarkeit yang
tinggi.1
b) Pembilasan pascasenggama (postcoital doucher)
Pembilasan vagina dengan air biasa dengan atau tanpa tambahan
larutan obat (cuka atau obat lain) segera setelah koitus merupakan suatu
cara yang telah lama sekali dilakukan untuk tujuan kontrasepsi.
Maksdunya ialah untuk mengeluarkan sperma secara mekanik dari
vagina. Penambahan cuka ialah untuk memperoleh efek spermisida serta
menjaga asiditas vagina. Efektivitas cara ini mengurangi kemungkinan
terjadinya konsepsi hanya dalam batas-batas tertentu karena sebelum
dilakukannya pembilasan spermatozoa dalam jumlah besar sudah
memasuki serviks uteri.1
c) Pantang berkala (Rhythm method)
Cara ini mula-mula diperkenalkan oleh Kyusaku Ogino dari Jepang
dan Hermann Knaus dari Jerman, kira-kira pada waktu yang bersamaan,
yaitu sekitar tahun 1931. Oleh karena itu, cara ini sering disebut cara
Ogino-Knaus. Mereka bertitik tolak dari hasil penyelidikan mereka
bahwa seorang perempuan hanya dapat hamil selama beberapa hari saja
dalam daur haidnya. Masa subur yang juga disebut fase ovulasi mulai 48
jam sebelum ovulasi dan berakhir 24 jam setelah ovulasi. Sebelum dan
sesudah masa itu, perempuan tersebut berada dalam masa tidak subur. 1,2
Kesulitan cara ini ialah sulit untuk menentukan waktu yang tepat dari
ovulasi, ovulasi umumnya terjadi 14 + 2 hari sebelum hari pertama haid
yang akan datang. Dengan demikian, pada perempuan dengan haid yang
tidak teratur,sangat sulit atau sama sekali tidak dapat diperhitungkan
saat terjadinya ovulasi. selain itu, pada perempuan dengan haid teratur
pun ada kemungkinan hamil, salah satu sebab (misalnya karena sakit)
ovulasi tidak datang pada waktunya atau sudah datang sebelum saat
semestinya.2
2. Kontrasepsi sederhana
a) Difragma Vaginal
Pada tahun 1881 Mensinga dari Flensburg (belanda) untuk pertama
kalinya telah menciptakan diafragma vaginal guna mencegah
kehamilan. Dalam bentuk aslinya diafragma vaginal ini terbuat dari
cincin karet yang tebal, dan diatasnya diletakkan selembar karet tipis.
Kemudian dilakukan modifikasi dengan semacam per arloji di atasnya
diletakkan karet tipis yang berbentuk kubah (dome). 4
Diafragma dimasukan ke dalam vagina sebelum koitus untuk
menjaga jangan sampai sperma masuk kedalam uterus. Unttuk
memperkuat khasiat diafragma, obat spermatisida dimasukkan kedalam
mangkuk dan dioleskan pada pinggirnya. Diafragma vagianl sering
dianjurkan pemakaiannya dalam hal-hal seperti berikut:4
- Keadaan dimana tidak tersedia cara yang lebih baik
- Jika frekuensi koitus tidak seberapa tinggi, sehingga tidak dibutuhkan
perlindungan yang terus menerus.
- Jika pemakaian pil, IUD atau cara lain harus dihentikan untuk
sementara waktu oleh karena suatu sebab.
Cara pemakaian diafragma vaginal
Tentukan ukuran diafragma yang akan di pakai, dengan mengukur
jarak Antara simfisis bagian bawah dan forniks vagina posterior dengan
menggunakan jari telunjuk serta jari tengah tangan dokter, yang
dimasukkan kedalam vagina akseptor. Kemudian, kepadanya
diterangkan anatomi alat-alat vaginal bagian dalam dari perempuan, dan
dijelaskan serta didemonstrasikan cara memasang diafragma vaginal.
Pinggir mangkuk dijepit Antara ibu jari dan jari telunjuk, dan diafragma
dimasukan ke dalam vagina sesuai dengan sumbunya. Setelah
pemasangan selesai, akseptor harus meraba dengan jarinya bahwa porsio
servis uteri terletak di atas mangkuk, pinggir atas diafragma di fornika. 4
b) Kontrasepsi dengan obat-obatan spermitisida
Penggunaan obat-obat spermatisida untuk tujuan kontrasepsi telah
dikenal sejak zaman dahulu. Obat spermatisida yang di pakai untuk
kontrasepsi terdiri atas 2 komponen, yaitu zat kimiawi yang mampu
mematikan spermatozoon, dan vehikulum yang non aktif dan yang
diperlukan untuk membuat tablet atau cream jelly. Makin erat hubungan
Antara zat kimia dan sperma semakin tinggi efektivitas obat. Oleh sebab
itu, obat yang paling baik adalah yang dapat membuat busa setelah di
masukan ke dalam vagina, sehingga kelak busanya dapat mengelilingi
serviks uteri dan menutup ostium uteri eksternum. Cara kontrasepsi
dengan obat spermatisida umumnya digunakan bersama sama dengan
cara lain (diafragma vaginal) atau apabila ada kontraindikasi terhadap
cara lain. Efek samping jarang terjadi dan umumnya berupa reaksi
alergik.4
3. Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal merupakan metode kontrasepsi atau pencegahan
kehamilan setelah hubungan seksual dengan menghambat sperma mencapai
ovum dengan mencegah ovum yang dibuahi tertanam pada endometrium
dengan menggunakan preparat kombinasi estrogen dan progesteron atau
preparat progesteron saja.5
Kontrasepsi dapat reversible (kembali) atau permanent (tetap).
Kontrasepsi yang reversible adalah metode kontrasepsi yang dapat
dihentikan setiap saat tanpa efek lama di dalam mengembalikan kesuburan
atau kemampuan untuk mempunyai anak lagi. Kontrasepsi permanen adalah
kontrasepsi yang tidak dapat mengembalikan kesuburan karena melibatkan
tindakan operasi.5
Kontrasepsi hormonal memiliki mekanisme kerja:6
1. Mencegah ovulasi sehingga tidak ada ovum yang dihasilkan. Mekanisme
ini merupakan mekanisme utama dari kontrasepsi hormonal.
2. Mencegah fertilisasi dengan cara mengubah konsistensi sekresi mukus
vagina sehingga sperma lebih sulit untuk mencapai ovum.
3. Mencegah implantasi embrio pada uterus dengan cara membuat
endometrium tetap tipis. Hal ini mengakibatkan kematian dan ekspulsi
dari embrio. Beberapa ahli berpendapat bahwa hal ini dapat terjadi
walaupun tidak jelas seberapa sering frekuensinya.
Kontrasepsi hormonal dapat diberikan secara oral (pil), transdermal
(kontrasepsi patch), sistemik (kontrasepsi injeksi) dan pervaginam (vaginal
ring). Kontrasepsi hormonal dapat digolongkan menjadi kontrasepsi
hormonal kombinasi yang terdiri dari estrogen dan progestin, dan
kontrasepsi hormonal hanya progestin. 1
Estrogen mempunyai khasiat kontrasepsi dengan jalan mempengaruhi
ovulasi, perjalanan ovum atau implantasi. Estrogen alamiah adalah estradiol,
estron, dan estriol. Ovulasi dihambat melalui pengaruh estrogen terhadap
hypothalamus dan selanjutnya menghambat FSH dan LH. Ovulasi tidak
selalu dihambat oleh pil kombinasi yang mengandung estrogen 50 mcg,
meskipun dengan dosis tinggi efek menghambat ovulasi sekitar 95-98%. Hal
ini dipengaruhi oleh efek dari progesterone disamping estrogen. 1
Estrogen merupakan hormon seks yang bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tuba falopi, ovarium, uterus, dan alat
kelamin eksternal serta karakteristik seks sekunder. Hormon tersebut
berkaitan dengan perubahan siklus normal yang terjadi pada endometrium
selama siklus haid. Estradiol merupakan estrogen alami utama yang
diproduksi oleh ovarium disamping beberapa estrogen yang diproduksi
secara metabolik di hati. Beberapa sediaan estrogen alami atau sintetik
dikembangkan untuk pemakaian oral, parenteral, maupun topikal. Absorpsi
oleh membran mukosa saluran kelamin dan pencernaan biasanya baik dan
absorpsi melalui kulit juga bisa menimbulkan efek sistemik. 5
Progesteron adalah suatu steroid C21 yang disekresikan oleh korpus
luteum, plasenta (dalam jumlah kecil) dan folikel. Progesteron secara alami
diproduksi oleh korpus luteum dan plasenta yang berperan dalam reproduksi
dengan mempersiapkan endometrium untuk implantasi telur dan membantu
perkembangan kelenjar mammary. Di samping efek progestationalnya,
progestin sintetik tertentu memiliki efek anabolik, androgenik, dan
estrogenik (biasanya lemah). Progesteron merupakan progestin alami yang
paling banyak yang selain memiliki efek prazat untuk hormon, juga memiliki
efek prazat untuk produksi berbagai androgen, kortikosteroid, dan estrogen
secara endogen. 5
Beberapa jenis turunan progesteron dapat bekerja langsung pada reseptor
progesteron misalnya levonogestrel dan norethindrone dan beberapa jenis
turunan lain harus melalui proses bioaktivasi misalnya desogestrel menjadi
etonogestrel. Beberapa derivat progesteron lain juga bekerja pada reseptor
lain misalnya drospirenon yang juga memiliki efek anti mineralokortikoid
sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan menekan androgen pada
PCOS. 4
A. Jenis Kontrasepsi Hormonal
1. Kontrasepsi Pil
Pil oral akan menggantikan produksi normal estrogen dan
progesteron oleh ovarium. Pil oral akan menekan hormon ovarium
selama siklus haid yang normal, sehingga juga menekan releasing
factors di otak dan akhirnya mencegah ovulasi. Pemberian Pil Oral
bukan hanya untuk mencegah ovulasi, tetapi juga menimbulkan
gejala-gejala pseudo pregnancy (kehamilan palsu) seperti mual,
muntah, payudara membesar, dan terasa nyeri.6
 Jenis-jenis Pil KB, yaitu:
 Monofasik: pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung
hormon aktif estrogen atau progestin, dalam dosis yang sama dengan
7 tablet tanpa hormon aktif jumlah dan porsi hormonnya konstan
setiap hari.
 Bifasik: pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung
hormon aktif estrogen, progestin, dengan dua dosis berbeda 7 tablet
tanpa hormon aktif, dosis hormon bervariasi.
 Trifasik: pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung
hormon aktif estrogen atau progestin, dengan tiga dosis yang berbeda
7 tablet tanpa hormon aktif, dosis hormon bervariasi setiap hari.
 Minipil: yaitu pil hormon yang hanya mengandung progesterone
dalam dosis kecil yang harus diminum setiap hari termasuk pada saat
haid terdiri dari 21-22 tablet. Minipil bukan merupakan pengganti
dari pil oral kombinasi, tetapi hanya sebagai suplemen/tambahan
yang digunakan oleh wanita yang ingin menggunakan kontrasepsi
oral tetapi sedang menyusui.8
 Pil kontrasepsi darurat (Morning after pill, pil pasca senggama). Pil
ini merupakan pil untuk metode kontrasepsi yang diberikan 72 jam
setelah hubungan seksual yang tidak terproteksi. Pil ini mengandung
ethynil estradiol dan sekarang berupa pil progestin yang mengandung
75 mikrogram levonorgestrel dapat mengurangi resiko kehamilan
setelah hubungan intim yang tidak dijaga.1
2. Kontrasepsi Injeksi
Kontrasepsi injeksi merupakan salah satu kontrasepsi yang cukup
popular. Jenis dari kontrasepsi injeksi:
a. Progestin-Only Injectable Contraceptives (DMPA, NET-EN)
Kontrasepsi ini mengandung progestin sintetik yang mirip
dengan progesterone pada tubuh wanita. DMPA (Depot
Medroxyprogesterone Acetate, Depo Proveral®) dan NET
(Noerethindrone Enanthate, Noristerat®) adalah yang paling
sering digunakan.
 DMPA: Tiap injeksi terdiri dari 150 mg DMPA yang diberikan
setiap 3 bulan dengan cara suntikan intramuskular (IM) atau
104 mg untuk suntikan subkutan. MPA adalah 17-acetoxy-6-
methylprogestin yang memiliki aktivitas prostogenik pada
manusia. Karena MPA tidak dimetabolisme secara cepat seperti
komponen progesteron alami, hormon ini dapat diberikan
dalam dosis yang lebih kecil dari progesterone dengan efek
progestasional yang setara. DMPA, formula suntikan jangka
panjang dari MPA, terdiri dari suspensi kristal. Dosis IM untuk
DMPA 150 mg yang diberikan secara injeksi di m.deltoideus
atau m.gluteus. Setelah disuntikan, progestin dilepaskan secara
perlahan ke dalam sirkulasi sistemik. Area injeksi sebaiknya
jangan diurut sehingga obat dapat dilepaskan secara perlahan
ke dalam sirkulasi dan mempertahankan efek dari kontrasepsi
paling kurang 4 bulan. Formulasi untuk penyuntikan
subkutaneus (SC) yang terbaru terdiri atas 104 mg DMPA
dalam 0.65 mL diluent dan diinjeksikan secara SC di paha
anterior atau dinding perut.
Depo-subQ Provera 104, adalah jenis DMPA untuk
penyuntikan subkutan, pertama kali diterima PDA tahun 2005.
Dosisnya 30% lebih rendah dibanding DMPA IM. Karena
penyuntikan secara subkutan, kadarnya dalam darah adekuat
untuk menahan ovulasi 13 minggu pada subyek yang diteliti,
dengan waktu rata-rata sekitar 30 minggu untuk
mengembalikan fungsi ovulasi yang normal. Kadar dalam
darah lebih rendah pada wanita dengan berat badan berlebih
tetapi masih tetap efisien untuk menekan ovulasi dengan baik.
Perempuan seharusnya dikonselingkan mengenai kemungkinan
munculnya perdarahan abnormal atau amenorrhea selama
penggunaan DMPA sebelum menerima injeksi pertama. Wanita
yang menginginkan kehamilan dan menghentikan penggunaan
DMPA seharusnya diberitahukan bahwa akan terdapat
penundaan kesuburan (fertilitas) hingga obat hilang dari
sirkulasi. Penggunaan DMPA tidak mencegah kembalinya
kesuburan, DMPA hanya menunda kembalinya kesuburan
secara cepat. Setahun setelah injeksi DMPA terakhir, 94,7%
wanita yang menerima DMPA secara IM dan 97.4% secara SC
mengalami ovulasi. Beberapa peneliti menemukan bahwa
waktu rata-rata terjadinya konsepsi setelah penghentiaan
DMPA bervariasi menurut berat badan. Peningkatan berat
badan memilki hubungan dengan peningkatan waktu rata-rata
dari konsepsi, dan hal ini disebabkan obat diabsorpsi dalam
jaringan adiposa sehingga tidak dapat dieliminasi secara cepat.
Injeksi awal sebaiknya diberikan pada hari kelima dari siklus
untuk mencegah ovulasi. Karena salah satu efek kontrasepsi ini
menghambat aktivitas thrombogenik, injeksi pertama sebaiknya
diberikan 5 hari postpartum pada ibu yang tidak menyusui,
tetapi bila ibu ingin menyusui injeksi pertama sebaiknya
ditunda hingga 6 minggu postpartum. DMPA tidak
mempengaruhi kuantitas atau kualitas ASI atau kesehatan bayi
yang disusui. Perempuan yang tidak haid sebaiknya
memeriksakan hormon HCG, dan bila negatif, yang
menandakan perempuan tersebut tidak hamil, injeksi DMPA
dapat dilakukan. Akan tetapi, bila terdapat keraguan, dapat
dianjurkan penggunaan kontrasepsi metode barrier selama 2
minggu kemudian dilakukan pemeriksaan HCG ulangan, dan
bila tetap negatif dapat dilakukan penyuntikan. Hal yang sama
juga berlaku pada wanita yang sebelumnya mendapat DMPA
tetapi terlambat 13 minggu untuk injeksi berikutnya dan tetap
amenorrhea. Bila timbul kehamilan tidak terduga, tidak
terdapat bukti bahwa DMPA menimbulkan efek teratogenik
pada bayi.
Efek samping: 3
a) Dapat terjadi perdarahan yang tidak teratur terutama pada 3
bulan pertama pemakaian
b) Amenorea dapat terjadi pada 50% wanita
c) Ledakan ovulasi dapat terjadi pada bulan ke 18 pemakaian
 NET (Noerethindrone Enanthate, Noristerat®)
Norethindrone enanthate (NET-EN) adalah kontrasepsi injeksi
yang digunakan di lebih dari 40 negara tetapi penggunaannya
tidak diterima di USA. Kontrasepsi ini memiliki
farmakodinamik yang berbeda dari DMPA. Karena durasi aksi
yang lebih pendek, NET diberikan setiap 60 hari selama 6
bulan pertama dan setidaknya tidak lebih dari 12 minggu dalam
bulan berikutnya.
 Kontrasepsi injeksi kombinasi
Mekanisme kerjanya sama dengan DMPA. Penambahan
estrogen dimaksudkan agar endometrium berada dalam
keadaan yang sama dengan siklus haid normal. Kontrasepsi ini
meliputi Cyclofem yang mengandung 50 mg
medroksiprogesterone asetat dan 10 mg estradiol sipionat yang
diberikan secara IM sebulan sekali.4
Kontraindikasi yang dapat timbul umumnya sama pada
pemakaian DMPA6
Efek samping:6
1) gangguan haid berupa amenore, perdarahan
bercak,menometroragi
2) berat badan yang bertambah
3) sakit kepala
3. Kontrasepsi Implant
Implant adalah alat kontrasepsi yang dimasukkan di bawah kulit
dan memiliki keefektivan yang cukup tinggi dan merupakan efek
kontrasepsi jangka panjang serta efek perdarahan lebih ringan.
Mekanisme kerja dari kontrasepsi ini adalah menekan ovulasi,
membuat getah serviks menjadi kental dan membuat endometrium
tidak sempat menerima hasil konsepsi.4
a. Norplant
Terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4
cm dan diameter 2,4 mm yang diisi dengan 36 mg levonogestrel
yang dipasang secara subdermal dan lama kerjanya 5 tahun.
Norplant mencegah kehamilan dengan menyebabkan pengentalan
lendir serviks sehingga tidak dapat ditembus oleh sperma.10
b. Jadena (Indoplant)
Terdiri dari 2 batang yang diisi dengan 75 mg levonogestrel
dengan lama kerja 3 tahun.5
c. Implanon
Terdiri dari satu batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40
mm, dan diameter 2 mm, yang diisi dengan 68 mg etonogestrel
yang merupakan metabolik aktif dari desogestrel yang dipasang
secara subdermal dan lama kerjanya 3 tahun. Hormon ini
dilepaskan secara perlahan sebanyak 67 mikrogram per hari dan
berkurang menjadi 20 mikrogram perhari setelah penggunaan
selama 2 tahun. Implan jenis ini bersifat biodegradable sehingga
dapat diabsorbsi tubuh. Implanon mencegah kehamilan dengan
menghambat ovulasi, mengentalkan lendir serviks, juga
mempunyai efek endometrium. Kesuburan dapat segera kembali
setelah implant dilepas.6,10
Mekanisme kerja kontrasepsi implant10
Laju pelepasan progestin pada implan ditentukan pada densitas
progestin per luas implan dan efektivitasnya menurun setiap
tahun. Dalam 24 jam pertama hingga 12 bulan pertama, Norplant
melepaskan 86 mikrogram levonogestrel dan pada 9 bulan
berikutnya hanya melepaskan 50 mikrogram dan seterusnya
sebanyak 30 mikrogram. Berat badan mempengaruhi efektivitas
implan terutama dengan berat badan lebih dari 70 kg.10
Indikasi:10
1) Ingin mencegah kehamilan 2-3 tahun
2) Menginginkan metode kontrasepsi jangka panjang
3) Tidak dapat mengonsumsi kontrasepsi yang mengandung
estrogen
4) Mempunyai kesulitan untuk mengingat waktu mengonsumsi pil
tiap harinya,atau kesulitan menggunakan IUD
5) Memiliki anak dengan jumlah cukup tetapi tidak siap untuk
kontrasepsi permanen
6) Memiliki riwayat anemia dengan perdarahan menstruasi yang
berat
7) Ingin menyusui selama 1 atau 2 tahun
8) Memiliki penyakit serius yang tidak memperbolehkan hamil
Keuntungan Kontrasepsi:10
1) Daya guna tinggi
2) Perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun)
3) Pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah pencabutan
4) Tidak memerlukan pemeriksaan dalam
5) Bebas dari pengaruh estrogen
6) Tidak mengganggu kegiatan senggama
7) Tidak mengganggu ASI
8) Klien hanya perlu kembali ke klinik bila ada keluhan
9) Dapat dicabut setiap saat sesuai dengan kebutuhan
Waktu memulai penggunaan implant10
1) Setiap saat selama siklus haid hari ke-2 sampai hari ke-7. Tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
2) Insersi dapat dilakukan setiap saat asal tidak ada kehamilan dan
gangguan menstruasi abnormal. Insersi dapat dilakukan
kapanpun. Pada ibu hamil yang tidak menyusui, pemasangan
dapat dilakukan hingga maksimal 3 minggu post partum dan
pada ibu hamil yang menyusui bisa hingga 3 bulan post partum.
3) Pasca keguguran, implant dapat segera diinsersikan.
Kontraindikasi Absolut:10
1) Penyakit thrombophlebitis atau thromboemboli akut
2) Perdarahan genital
3) Penyakit liver akut
4) Tumor liver jinak atau ganas
5) Kanker payudara
6) Riwayat kehamilan ektopik
7) Diabetes Melitus
8) Hiperkolesterolnemia
9) Hipertensi\
Efek Samping:10
1) Sakit kepala
2) Akne
3) perubahan berat badan
4) mastalgia
5) hiperpigmentasi di daerah implan
6) hirsutism
7) depresi
8) perubahan mood
9) anxietas
10) kista ovarium
11) galatorhea

4. AKDR Hormonal
AKDR (Alat Kontrasepsi dalam Rahim) hormonal yang saat ini
beredar mengandung sekitar 25% dari kadar hormon progestin yang
digunakan pada kontrasepsi hormonal yaitu sekitar 46-60 mg dengan
pelepasan 20 mcg per hari. AKDR levonorgestrel efektif digunakan
selama 5 tahun. Bentuknya menyerupai AKDR copper Nova-T,
namun tanpa mengandung copper. Komponen vertikalnya
mengandung 52 mg hormon levonorgestrel sintesis. IUD dengan
progesteron/levonorgestrel (Mirena) menghambat ovulasi
menyebabkan penebalan mukus serviks hingga menghambat
penetrasi sperma, juga menyebabkan endometrium menjadi tipis
sehingga sulit terjadi implantasi janin di endometrium dan
progesteron juga menyebabkan endometrium menjadi atrofi. Selain
itu, sama seperti IUD dengan tembaga, Mirena juga menstimulasi
pengeluaran mediator inflamasi yang bersifat spermisidal dan
ovisidal.3,4
Keuntungan dari Mirena6
a. Darah haid berkurang secara drastis ( dapat digunakan sebagai
terapi untuk menorrhagia
b. Mengurangi gejala dysmenorea
c. Mengurangi pertumbuhan fibroid pada uterus
d. Inflamasi pelvik jarang terjadi
e. Mencegah hiperplasia endometrial
f. Angka ekspulsi rendah (2-5%), dan umumnya terjadi pertama
setelah pemasangan
Efek samping yang biasa muncul berupa pendaran atau bercak dalam
3-4 bulan dan terjadi gangguan haid. Kontraindikasi penggunaan
mirena sama misalnya sedang hamil, perdarahan pervaginam yang
tidak diketahui, menderita infeksi genital, kelainan uterus yang
abnormal, gangguan pada panggul(radang). Pasien sebaiknya
melakukan pengecekan 6 minggu setelah pemasangan.6
5. Kontrasepsi Transdermal
Kontrasepsi ini berupa transdermal patch yang dapat
meningkatkan kepatuhan dibandingkan kontrasepsi oral. Kontrasepsi
ini dapat digunakan pada perut, bokong, badan bagian atas, atau
lengan atas bagian luar tetapi hindari penggunaan pada payudara
pada awal siklus menstruasi dan diganti setiap 3 minggu, dengan
mengganti patch 1 minggu 1 kali, diikuti tanpa isi untuk
memungkinkan terjadinya perdarahan berukuran 4,5cmx4.5cm. Patch
mengandung 750µg ethinyl estradiol dan 150µg norelgestromin dan
mengeluarkan 20µg ethinyl norelgestromin setiap hari.
Mekanisme dari kontrasepsi ini sama dengan mekanisme
kontrasepsi oral.
4. Kontrasepsi mantap pada wanita
Metode operatif wanita atau tubektomi dilakukan dengan memotong atau
mengikat saluran tuba fallopi sehingga mencegah pertemuan antara ovum
dan sperma sehingga fertilisasi tidak bisa terjadi. Menurut American College
of Obstetrician and Gynecologist(2003), 27% pasangan di Amerika Serikat
memilih metode ini. Pada pertengahan abad ke 20-an, sterilisasi wanita
mulai mendapatkan popularitas. Banyak modifiaksi dan teknik baru yang
telah dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas, keamanan dan
reversibilitas. Komplikasi serius yang terjadi cuma kurang dari 2% dari
semua prosedur sterilisasi MOW (Metode Operatif Wanita) / Tubektomi atau
juga dapat disebut dengan sterilisasi.7
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas
atau kesuburan perempuan dengan mengokulasi tuba fallopi (mengikat dan
memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum. Jadi dasar dari MOW ini adalah mengokulasi tubafallopi
sehingga spermatozoa dan ovum tidak dapat bertemu.7
 Syarat dilakukan MOW atau sterilisasi
Elemen penting dari layanan sterilisasi berkualitas meliputi konseling
dan penilaian pasien, skrining, informed consent, pencegahan infeksi,
pemilihan prosedur yang tepat, rejimen anestesi yang aman, serta
perawatan dan instruksi pasca operasi. Konseling dan penilaian pasien
serta skrining merupakan prasyarat penting sebelum dilakukan prosedur
sterilisasi. Oleh karena sterilisasi wanita atau tubektomi bertujuan sebagai
metode kontrasepsi yang permanen, ia hanya disarankan kepada wanita
yang telah memutuskan untuk tidak menginginkan lebih banyak anak.
Pasien juga harus diberi konseling atau penjelasan tentang semua metode
kontrasepsi yang tersedia sebelum memutuskan untuk disterilisasi.7
Ahli bedah harus memverifikasi bahwa klien telah menandatangani
formulir informed consent sebelum memulai prosedurnya. Tujuan utama
daripada penandatanganan informed consent adalah sebagai bukti bahwa
tindakan yang akan dilakukan telah mendapat persetujuan daripada
pasien, namun fokus utamanya adalah untuk memastikan bahwa pasien
telah mendapatkan informasi yang benar dan jelas mengenai prosedur
sterilisasi sebelum bersetuju.9
Skrining preoperatif harus dilakukan terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa kondisi fisik dan emosi pasien sesuai untuk
melakukan prosedur sterilisasi. Selain itu, skrining juga bertujuan untuk
mengetahui karakteristik pasien seperti umur, bilangan dan umur anak
hidup, serta untuk menyingkirkan sebarang faktor resiko fisik atau medis
yang dapat diidentifikasi. Penilaian pasien meliputi pengambilan riwayat
kesehatan serta riwayat kehamilan dan ginekologi, dan juga pemeriksaan
fisik (tanda-tanda vital, jantung paru, abdomen, pelvik dan pemeriksaan
dalam.9
Selain dari itu, pasien juga harus melakukan pemeriksaaan
laboratorium untuk mendeteksi anemia dan untuk memastikan pasien
tidak hamil. Untuk meminimalkan kemungkinan kehamilan sewaktu
prosedur, terdapat kriteria bahwa pasien tidak hamil (melakukan sebarang
prosedur dalam waktu 10 hari daripada hari pertama haid terakhir, dalam
7 hari setelah aborsi, sekitar 7 hari setelah kelahiran bayi aterm per
vagina, atau pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi yang
berkesan.9
Oleh sebab itu, tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum, semasa
dan selepas operasi. Penilaian kondisi pasien, menentukan pendekatan
bedah yang akan dilakukan, tempat tindakan operasi dilakukan serta
operator yang kompetens dapat menjamin operasi berjalan dengan aman
dan efektif.9
 Waktu pelaksanaan MOW
Waktu untuk dilakukan prosedur sterilisasi merupakan pertimbangan
penting dalam pemilihan pendekatan prosedur yang akan dilaksanakan.
Prosedur sterilisasi wanita dapat dilakukan bersamaan dengan proses
melahirkan (segera setelah persalinan per vaginam atau bersamaan
dengan operasi sesar yang dilakukan atas indikasi), segera setelah aborsi
trimester pertama tanpa komplikasi, atau sewaktu pasien bebas hamil.
1. Pasca persalinan.
Prosedur yang dilakukan pasca persalinan (mini laparotomi
subumbilikal) biasanya dilakukan pada 48 jam pertama sebaik saja
persalinan per vaginam, atau dengan perawatan khusus 3-7 hari setelah
melahirkan. Prosedur sterilisasi sebaiknya tidak dilakukan antara 8 dan
41 hari pasca persalinan iaitu sebelum uterus kembali kepada ukuran
sebelum hamil karena terdapat peningkatan resiko untuk belaku
komplikasi. Minilaparatomi direkomendasikan sebagai pendekatan
teraman dan termudah untuk sterilisasi pasca melahirkan karena
selama periode postpartum rahim membesar dan saluran tuba mudah
dijangkau sewaktu operasi. Laparoskopi tidak direkomendasikan
untuk prosedur pasca persalinan, karena pembesaran uterus
postpartum membuatkan operasi laparoskopi sulit dilakukan dan
kemungkinan untuk cedera tinggi. Sterilisasi juga dapat dilakukan
dengan ligasi dan eksisi sebagian tuba falopi selama operasi caesar.
Namun, operasi caesar tidak boleh dilakukan semata-mata untuk
tujuan sterilisasi.9
2. Pasca keguguran
Pada saat prosedur aborsi trimester pertama tanpa komplikasi,
prosedur seperti sterilisasi laparoskopi dan interval minilaparotomi
dapat dilakukan.
3. Masa interval/Tidak berhubungan dengan kehamilan
Sterilisasi interval dilakukan pada minggu ke 6 atau lebih selepas
melahirkan (selepas uterus kembali involusi) atau pada waktu lain
yang tidak terkait dengan kehamilan. Pendekatan yang dapat diterima
termasuk minilaparatomi, laparoskopi, atau laparatomi.
 Indikasi MOW8
1. Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat jika
wanita tersebut hamil lagi, seperti tuberkulosis paru, penyakit jantung,
penyakit ginjal maupun skizofrenia.
2. Indikasi medis obstetrik
Adanya riwayat toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea
berulang dan histerektomi obstetrik.
3. Indikasi medis ginekologik
Pada waktu melakukan operasi ginekologik, dapat dipertimbangkan
untuk dilakukannya sterilisasi.
4. Indikasi kontrasepsi
Indikasi yang murni ingin menghentikan/mengakhiri kesuburan,
artinya pasangan tidak menginginkan kelahiran anak lagi meskipun
tidak terdapat keadaan lain yang membahayakan keselamatan ibu
seandainya ia hamil kembali. Inidikasi ini berhubungan dengan
indikasi sosial ekonomi yaitu berdasarkan beban sosial ekonomi
keluarga yang tidak mampu menampung jumlah anak yang banyak.
 Kontraindikasi MOW7
1. Hamil sudah terdeteksi atau dicurigai
2. Pedarahan pervaginal yang belum jelas penyebabnya
3. Infeksi sistemik atau pelvik yang akut hingga masalah itu
disembuhkan atau dikontrol.
4. Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas dimasa depan.
5. Belum memberikan persetujuan tertulis.
 Keuntungan MOW8
Keuntungan dari kontrasepsi mantap ini antara lain:
1. Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi.
2. Sangat efektif (0.5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun
pertama penggunaan).
3. Tidak mengganggu kehidupan suami istri
4. Tidak ada perubahan fungsi seksual
5. Tidak mempengaruhi ASI
6. Lebih aman (keluhan lebih sedikit), praktis (hanya memerlukan satu
kali tindakan), lebih efektif (tingkat kegagalan sangat kecil), lebih
ekonomis.
7. Baik bagi pasien apabila kehamilan akan menjadi resiko kesehatan
yang serius.
 Prosedur MOW
Teknik pendekatan abdominal
1. Minilaparotomi
Metode ini merupakan penyederhanaan laparotomi terdahulu,
hanya diperlukan sayatan kecil (sekitar 5 cm) baik pada daerah perut
bawah (suprapubik) untuk prosedur interval setelah tempoh hamil
maupun subumbilikal (pada lingkar pusat bawah) untuk prosedur 48
jam setelah postpartum10. Abdomen diinsisi lapisan demi lapisan
dengan berhati-hati untuk mengelakkan daripada terkena struktus di
bawahnya seperti uterus, usus dan kandung kemih. Oklusi tuba biasa
dilakukan di bawah anestesi local, dengan atau tanpa sedasi. Fasia
bisa ditutup dengan menggunakan 2-0 atau 0 dengan benang yang
da[at diserap. Untuk menutup subkutaneus, kulit ditutup ditutup
dengan 3-0 atau 4-0 benang yang dapat diserap dengan teknik
subkutikular10. Teknik ini juga biasa dilakukan sebagai rawat jalan.
Pasien bisa pulang setelah selesai prosedur. Insisi yang kecil,
penyempurnaan teknik bedah dan penggunaan lokal anestesi
menjadikan lebih banyak wanita yang bersetuju untuk melakukan
MOW sewaktu periode interval.9
Minilaparotomi mempunyai beberapa kelebihan : pertama, ia
bisa dilakukan sewaktu periode interval atau sewaktu prosedur
postpartum di bawah anestesi lokal. Selain itu, di bawah lokal
anestesi, minilaparotomi juga bisa dilakukan oleh dokter umum dan
bidan yang sudah dilatih di rumah sakit yang fasilitasnya sederhana,
di mana anestesi umum atau anestesi regionalnya tidak ada. Justeru,
minilaparatomi dengan anestesi lokal sesuai dilakukan pada pasien
yang tidak ada kontraindikasi pembedahan dan pada pasien yang
cukup dengan anestesi lokal dan sedasi ringan. 9
2. Laparoskopi
Laparoskopi terdiri daripada teleskop kecil dan lampu yang
dapat membantu operator untuk memvisualisasi isi pelvis dan dan
mengidentifikasi tuba fallopi. Teleskop dan alat oklusi tuba
dimasukkan melewati kavitas abdominal melalui insisi di bawah
umbilicus.9
Laporoskopi bisa dilakukan dengan anestesi umum, regional
atau lokal dengan sedasi ringan. Laparoskopi selamat dilakukan
setelah abortus trimester pertama tanpa komplikasi atau pada waktu
pasien tidak hamil. Namun, laparoskopi tidak dianjurkan untuk
dilakukan sebaik sahaja melahirkan karena resiko lebih tinggi pada
uterus postpartum dan juga visibilitas dan akses ke tuba fallopi
adalah terbatas. Resiko untuk terjadi komplikasi lebih tingi yaitu 30-
50% pada laparoskopi berbanding minilaparotomi.9,10
3. Laparotomi
Laparotomi adalah teknik MOW yang memerlukan insisi yang
lebih panjang (>5cm) dan dilaksanakan di bawah anestesi umum atau
anestesi regional. Komplikasi lebih tinggi dan masa penyembuhan
lebih lama berbanding minilaparotomi atau laparoskopi. Pasien
laparotomi harus dirawat inap supaya bisa diobservasi. 9
Laparotomi tidak dianjurkan untuk tujuan utama sterilisasi.
Biasanya sterilisasi dilakukan apabila laparotomi dilakukan atas
indikasi sectio caesarean karena indikasi obstetric, atau apabila
salpingektomi dilakukan untuk kehamilan ektopik atau sistektomi
ovarian. (10)
Teknik pendekatan transvaginal.
Akses ke tuba fallopi melalui vagina dilakukan dengan insisi kecil
pada bawah serviks, pada dinding posterior vagina, sama ada melalui
visualisasi direk (kolpotomi) atau dengan menggunakan skop yang
didesain khusus (kuldoskop). MOW pada wanita dengan teknik
pendekatan transvaginal jarang dilakukan karena resiko infeksi yang
tinggi dan juga karena akses ke tuba fallopi lebih sulit. Komplikasi juga
lebih tinggi dengan teknik ini. Justru, teknik ini tidak dianjurkan untuk
sterilisisasi tubal.
a. Memblokir Tuba Fallopi
1. Metode ligasi dan eksisi
Ligasi dilakukan untuk mengikat tuba fallopi dengan
menggunakan suture dan setelah itu baru dipotong. Metode ini
dipanggil salpingektomi parsial, yang digunakan bersamaan dengan
minilaparotomi (interval atau postpartum), laparotomi dan
kolpotomi. Metode ini tidak boleh digunakan sewaktu laparaskopi
tanpa teknik dan alat yang khusus.
Metode yang paling sering dipakai adalah teknik Pomeroy dan
Parkland. Teknik Pomeroy ini melingkupi dari identifikasi tuba
fallopi, mengikat simpul 2 sentimeter dari midportion tuba, dan
memotong bagian tuba di atas simpul. Benang yang digunakan
adalah benang yang mudah diserap (absorbable suture), supaya sisa
tuba fallopi yang dipotong itu bisa terpisah apabila benang telah
terserap. Pada teknik Parkland, tuba diikat pada dua bagian dan
dipotong pada bagian tengah antara dua ikatan, sehingga terjadi
pemisahan langsung tuba fallopi.
Teknik ini sangat efektif, kadar komplikasi yang rendah, tidak
mahal dan tidak memerlukan spesialis bedah. Teknik ini lebih
disukai berbanding teknik Uchida dan Irving (lebih sulit dan
mengambila masa yang lama) dan juga daripada fimbriektomi atau
dipanggil teknik Kroener (lebih tinggi kadar komplikasi dan
kegagalan).
Dokter bedah bisa menggunakan oklusi mekanik dari bagian
luar tuba fallopi untuk menutup saluran tuba tanpa harus membuang
segment tuba. Metode ini biasa diguna dengan laparoskopi, dan
juga biasa pada laparotomi dan minilaparotomi sewaktu periode
interval. Alat mekanis ini lebih menghemat waktu dan
mengurangkan kerusakan tuba.
Oklusi mekanis dibagi kepada dua yaitu; cincin silastik, pita
dan klip. Untuk memasang cincin silastik ( cincin Falope atau
cincin Yoon), ahli bedah harus menggunakan aplikator khusus
untuk meregangkan pita elastic ke atas simpul tuba fallopi. Klip
(klip Filshie atau klip Hulka) dipasang dengan menggunakan
aplikator khusus, menekan segmen kecil daripada tuba fallopi.
2. Metode listrik
Metode listrik menggunakan kauter untuk membakar sebagian
tuba fallopi. Metode ini biasa digunakan dengan laparoskopi dan
koagulasi bipolar untuk menutup tuba fallopi. Arus bipolar telah
menggantikan elektrokoagualsi unipolar untuk mengurankan resiko
cedera termal. Metode listrik ini memerlukan alat khusus dan perlu
dilakukan di rumah sakit yang lengkap.

Gambar : Metode oklusi tuba fallopi(9)


Teknik – Teknik Tubektomi
1. Teknik Pomeroy
Teknik pomeroy merupakan metode yang paling disukai untuk
salpingektomi parsial bilateral. Hal ini karena teknik ini lebih mudah
dan lebih terjamin kadar keberhasilannya. Setelah tuba fallopi
diidentifikasi, klem Babcock ditempatkan di sekitar bagian proksimal
dari tuba ampula dan setelah itu tuba dinaikkan supaya suplai
vaskular mesosalpinx bisa diperlihatkan. Benang dari bahan jahitan
yang mudah diserap (1-0 catgut polos) ditempatkan di sekitar
lingkaran tuba fallopi dan diikat dengan erat. Setelah itu tuba fallopi
diligasi dan sekaligus pembuluh darah akan tersumbat. Hemostat
kemudian ditempatkan pada bagian distal daripada simpulan tuba
fallopi dan lebihan dari benang jahitan dipotong. Sementara itu,
traksi pada tuba fallopi yang telah ditinggikan tetap dipertahankan
dan kira-kira 1 cm tuba dipotong dengan menggunakan gunting
metzenbaum.10
Tuba yang telah dipotong dilabel dan dihantar ke laboratorium
patologi untuk didokumentasikan. Dengan kontraksi daripada
muskularis, tampak endosalpinx avascular pada bagian tengah setiap
segmen yang dipotong. Namun, ujung endosalpinx tersebut bisa
dikauter untuk mengelakakkan terjadi perdarahan. Setelah itu, tuba
fallopi dikembalikan ke dalam rongga perut dan prosedur diulang
pada tuba fallopi yang berlawanan.
Penggunaan bahan suture yang mudah diserap merupakan
faktor penting untuk memastikan diskontinuitas tuba fallopi terjadi.
Dasar untuk teknik ini adalah setelah terjadi penyerapan benang
jahitan bagian ujung tuba fallopi yang dipotong, sekaligus akan
ditutup dengan reperitonealisasi spontan dan fibrosis. Maka akan
tersisa celah sekitar 2-3cm antara segmen proksimal dan distal dari
tuba fallopi yang dipotong. Faktor ini berhubungan dengan tingkat
kegagalan yang rendah di antara semua teknik sterilisasi.10
Selain itu, kelebihan penggunaan teknik pomeroy ini adalah
karena teknik ini mudah diajarkan, mudah dilakukan dan sangat
efektif. Penggunaannya sebagai teknik sterilisasi sewaktu puerperal
dan interval cukup tinggi. Teknik ini juga bisa dilakukan melalui
abdomen maupun vaginal, selain komplikasinya minimal dan tidak
memberikan kerugian yang besar. Tingkat kehamilan yang bisa
terjadi setelah dilakukan teknik pomeroy ini adalah dua hingga empat
kehamilan daripada 1000 prosedur.10

Gambar : Teknik Pomeroy

2. Teknik Uchida
Pada teknik Uchida, cairan saline-epinefrin diinjeksikan ke
dalam area subserosal tuba supaya bagian muskular tuba terpisah
daripada serosa. Bagian serosa yang menggelembung diinsisi dengan
gunting, dan dikeluarkan bagian muskular. Bagian proksimal
muskular tuba diligasi dan dieksisi sepanjang 5cm. Bagian proksimal
tuba yang telah dieksisi dilepaskan ke dalam serosa. Manakala pada
bagian distal muskular tuba dijahit dengan jahitan purse-string dan
diikat. Jahitan tambahan mungkin diperlukan untuk menutup bagian
mesosalpinx dan ligament yang diinsisi pada awal prosedur.
Teknik Uchida lebih kompleks berbanding semua prosedur.
Namun, teknik ini merupakan teknik yang tinggi kadar
keberhasilannya.

Gambar : Teknik Uchida

3. Teknik Irving10
Prosedur Irving diperkenalkan sebagai teknik untuk ligasi dan
pembagian saluran telur pada saat operasi caesar. Teknik ini
dikembangkan karena tingkat kegagalan yang lebih tinggi pada
sterilisasi tuba tradisional saat dilakukan pada operasi Caesar yang
kemungkinan terjadi disebabkan oleh peningkaan hipertrofi dan
vaskularitas tuba fallopi pada periode postpartum.
Pada teknik ini, tuba dibagikan di antara ampulla dan isthmic.
Bagian ujung jahitan sengaja dibiarkan panjang, bagian tuba posterior
ditanam di dalam substansi myometrium di bagian anterior uteri tepat
di atas bagian insersi ligament. Namun, tuba bisa juga ditanam di
bagian posterior uteri. Apabila prosedur ini dilakukan sewaktu
operasi Caesar, saat uterus mengamalami involusi, ujung proksimal
tuba yang tertanam akan menjadi lebih terkompresi dan akhirnya
menghilang. Justru teknik Irving ini tidak dianjurkan untuk dilakukan
pada waktu interval, karena ia lebih efektif dan kurang kadar
kegagalan jika dilakukan pada waktu puerperal dengan kadar
kegagalan adalah 1 kasus daripada 1000 pasien.

Gambar : Teknik Irving

4. Teknik Kroener10
Cara ini dilakukan dengan mengangkat fimbria dan mengikat
dengan benang sutera pada bagian avaskular mesosalping di bawah
fimbria dengan dua kali lilitan serta pada bagian proksimal dari
ikatan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong (fimbriektomi) dan
dikembalikan ke dalam rongga perut setelah perdarahan berhenti.
Meskipun angka kegagalannya sangat kecil bahkan tidak akan terjadi
kegagalan, namun cara ini kurang disukai karena kesuburan tidak
dapat dipulihkan kembali dan kemungkinan terjadinya perdarahan
disfungsional di kemudian hari lebih besar.

Gambar : Teknik Kroener Konseling Post Operatif MOW

 Konseling post operatif MOW terdiri dari :7


1. Istirahat selama 2-3 hari
2. Hindari mengangkat benda-benda berat dan bekerja keras selama
1minggu.
3. Dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas seksual selama 1
minggu, dan apabila setelah itu masih merasa kurang nyaman, tunda
kegiatan tersebut.
4. Jadwal kunjungan ulang tubektomi dilakukan minimal 2 kali yaitu
seminggu pasca tubektomi dan dua minggu pasca tubektomi.
Pemeriksaan meliputi daerah operasi, tanda-tanda komplikasi atau
hal lain yang dikeluhkan klien.
BAB III

LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 31 Januari 2020


Ruangan : Matahari RSUD Undata
Jam : 17.00 WITA
I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 41 tahun
Alamat : Jln Jendral Sudirman
Pekerjaan : Guru
Agama : Kristen
Pendidikan : S1

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dengan G4P2A1 masuk IGD Kebidanan RSUD undata dengan keluhan
nyeri perut bagian bawah yang menjalar kebelakang. Keluhan dialami sejak 2
hari sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat
ketika beraktivitas. Ketika nyeri perut muncul, disertai pelepasan air berwarna
jernih (+), lendir (-), darah (-), Mual (+), muntah (+), demam (-), sakit kepala
(+), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar, HPHT 25 April 2020.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+), Penyakit Jantung (-), Diabetes Mellitus (+), Asma (+).
Riwayat penyakit keluarga :
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Diabetes melitus : +

Riwayat haid:
Menarche = 13 tahun
Siklus haid = Teratur
Lama haid = 6 hari
mengganti pembalut 3 kali sehari.
Sering mengalami Disminorea

Riwayat KB:
Riwayat Pasien menggunakan kontrasepsi IUD selama 1 tahun

Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, usia pernikahan ± 21tahun

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:

Umur
Hamil Tahun Jenis Hidup
No JK Kehamila Penolong
ke Persalinan Persalinan / Mati
n
1 1 1998 P Aterm Normal RS Hidup
Tinatapura
Bidan
2 2 2006 P Aterm SC RS Care She Hidup
dukun
3 3 2011 - 4 minggu Abortus -
Rumah

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah :110/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6ºC

Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris
P : Vocal Fremitus kanan=kiri
P : Sonor pada kedua lapang paru, batas jantung DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Bunyi jantung I/II murni Regular

Pemeriksaan Obstetri :
Leopold 1 TFU: 35 cm
Leopold 2 Punggung kiri
Leopold 3 Presentasi Kepala
Leopold 4 Belum masuk pintu atas panggul
BJF: 148 x/m

Genitalia :
Pemeriksaan dalam: Perdarahan (-), Pembukaan (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 30 Januari 2020
WBC : 6,9 x 103/ul Urea : 11.2 mg/dl
HGB : 11,3 gr/dl Cholesterol : 259 mg/dl
PLT : 228 x 103/ul Trigliserida : 359 mg/dl
RBC : 3,89 x 106/ul HDL : 67 mg/dl
HCT : 34,9 % HbSAg: Non Reaktif
GDS : 93 mg/dl Anti HCV : Non Reaktif
Creatinin : 0.70 mg/dl B-HCG : (+) positif

V. RESUME
Pasien dengan G4P2A1 masuk IGD Kebidanan RSUD undata dengan keluhan
nyeri perut bagian bawah yang menjalar kebelakang. Keluhan dialami sejak 2
hari sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat
ketika beraktivitas. Ketika nyeri perut muncul, disertai pelepasan air berwarna
jernih (+), lendir (-), darah (-), Mual (+), muntah (+), demam (-), sakit kepala
(+), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar, HPHT 25 April 2020. Pemeriksaan tanda
vital TD 110/70 mmHg, Nadi 72x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,6oCelcius.
Menarche pada usia 13 tahun, siklus haid teratur, lama haid 6 hari, mengganti
pembalut 3 kali sehari.
Pemeriksaan laboratorium: WBC 6,9 x 103/ul, HGB 11,3 gr/dl, PLT 228 x
106/ul, Cholesterol : 259 mg/dl, Trigliserida : 359 mg/dl, HbSAg non reaktif,
Anti HCV non reaktif dan B-HCG positif.

VI. DIAGNOSIS
G4P2A1Gravid Aterm + Post SC Anak Ke- 2+ Akseptor Kontak

VII.PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 20 tpm
 Rencana SC dan Akseptor Kontap 03-02-2020
VIII. FOLLOW UP
FOLLOW UP Hari Pertama
Tanggal 1 Februari 2020
S : Nyeri perut (-), pelepasan (-)
O :Ku : Sakit Sedang
Ks : Compos mentis
TD : 100/70 mmHg R: 20x/menit
N : 86x/menit S: 36,5’C
BJF : 132x/m
A : GIVPIIAI gravid Preterm + post SC anak ke 2 + Calon Akseptor
Kontap
P : IVFD RL 28 tpm
Histolan 3x1 tab
Rencana SCTP + Kontap tanggal 03/02/2020
Konsul Anestesi
Konsul Interna
Konsul Jantung
Siapkan darah 3 labu
FOLLOW UP Hari Kedua
Tanggal 2 Februari 2020
S : Nyeri Perut (-), Pelepasan (-)
O :Ku : Sakit Sedang
Ks : Compos mentis
TD : 110/70 mmHg R: 20x/menit
N : 84x/menit S: 36,5’C
BJF : 138x/m
A : GIVPIIAI gravid Preterm + post SC anak ke 2 + Calon Akseptor Kontap
P : IVFD RL 28 tpm
Histolan 3x1 tab
FOLLOW UP Hari Ketiga
Tanggal 3 Februari 2020
S : Nyeri Perut (-), Pelepasan (-), Pergerakan Janin (+)
O :Ku : Sakit Sedang
Ks : Compos mentis
TD : 100/60 mmHg R: 20x/menit
N : 70x/menit S: 36,5’C

Laboratorium Post Operasi


WBC : 15 x 103/ul
HGB : 11,9 gr/dl
PLT : 230 x 103/ul
RBC : 3,69 x 106/ul
HCT : 34,3 %
A : Post SC atas Indikasi bekas SC anak ke 2 + Tubektomi Bilateral atas
indikasi cukup anak
P : Drips oxytocin 1 amp dalam 500 cc RL 24 tpm
Inj. Cefuroxime 750 mg/12 jam/Iv
Drips Metronidazole 500 mg/8 jam/IV
Injeksi Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Injeksi Omeprazole 40 mg/24 jam/ IV
Injeksi Asam Tranexamat 1 amp/8 jam/IV
FOLLOW UP Hari Keempat
Tanggal 4 Februari 2020
S : Nyeri perut bekas op (+), Gatal dan merah pada badan (+), Sesak Napas
(+)
O :Ku : Sakit Sedang
Ks : Compos mentis
TD : 90/60 mmHg R: 24x/menit
N : 90x/menit S: 36,8’C
A : Post SC atas Indikasi bekas SC anak ke 2 + Tubektomi Bilateral atas
indikasi cukup anak + Asma Bronchial+ Alergi Obat
P : IVFD RL 20 tpm
Inj. Cefuroxime 750 mg/12 jam/Iv
Metronidazole 3x1 Tablet
Metilprednisolon 2x1
Paracetamol 3x1
Sulfus Ferrous 1x1
FOLLOW UP Hari Kelima
Tanggal 5 Februari 2020
S : Nyeri perut bekas op (+) berkurang, Gatal dan merah pada badan (-), Sesak
Napas
O :Ku : Sakit Sedang
Ks : Compos mentis
TD : 90/60 mmHg R: 24x/menit
N : 90x/menit S: 36,8’C
A : Post SC atas Indikasi bekas SC anak ke 2 + Tubektomi Bilateral atas
indikasi cukup anak + Asma Bronchial+ Alergi Obat
P : IVFD RL 20 tpm
Metronidazole 3x1 Tablet
Metilprednisolon 2x1
Paracetamol 3x1
Sulfus Ferrous 1x1
Cefadroxyl 2x500 mg
Rawat luka post operasi
BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini wanita, 41 tahun dengan diagnosa G4P2A1Gravid Aterm +


Post SC Anak Ke- 2+ Akseptor Kontak. Dalam kasus ini, diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
disesuaikan dengan literatur.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien masuk rumah sakit Undata dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah yang menjalar kebelakang. Keluhan dialami sejak
2 hari sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat
ketika beraktivitas. Ketika nyeri perut muncul, disertai pelepasan air berwarna jernih.
Pasien sebelumnya memakai kontrasepsi spiral yang digunakan selama 1 tahun
sebelum hamil anak ke 3. Pasien mengeluh sudah memakai kontrasepsi tetapi bisa
hamil lagi. Pasien mengaku kesulitan memilih kontrasepsi yang tepat. Dari keluhan
pasien, pasien di sarankan kontasepsi mantap atau tubektomi. Hal ini sesuai teori
sebagaimana pasien sudah mempunyai cukup anak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital Tekanan Darah
110/70mmHg, Nadi 72x/menit, Suhu 36.6°C, Pernapasan 20x/menit, Dari
pemeriksaan obstetri, inspeksi perut tampak membesar. Dari pemeriksaan obstetri,
inspeksi menjelaskan tanda- tanda kehamilan pada pasien ini, Ukuran tinggi fundus
uteri 35 cm, DJJ 148x/m, punggung kiri. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan
pemeriksaan darah rutin pada pasien yaitu WBC : 6,9, HGB : 11,3, PLT :
228, GDS : 93, Cholesterol : 259, Trigliserida : 359.
Pada pasien ini dilakukan tindakan tubektomi dengan memotong atau
mengikat saluran tuba fallopi sehingga mencegah pertemuan antara ovum dan sperma
sehingga fertilisasi tidak bisa terjadi. Konseling dan penilaian pasien serta skrining
merupakan prasyarat penting sebelum dilakukan prosedur sterilisasi. Oleh karena
sterilisasi wanita atau tubektomi bertujuan sebagai metode kontrasepsi yang
permanen, ia hanya disarankan kepada wanita yang telah memutuskan untuk tidak
menginginkan lebih banyak anak. Pasien juga harus diberi konseling atau penjelasan
tentang semua metode kontrasepsi yang tersedia sebelum memutuskan untuk
disterilisasi. Pada pasien ini, keluarga dan pasien sendiri sudah bersedia dilakukan
tindakan tubektomi mengingat jumlah anak yang sudah cukup dan usia pasien yang
sudah beranjak 40 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Benson, Penrol. Contraception. In: Obstetrics and Gynecology. 10th edition. New
York : Medical Publishing Division, 2014 p. 727-41.
2. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi. Kontrasepsi. dalam: Ilmu
Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2013. p. 436.
3. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi dan
Analisis Keluarga Berencana. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. (2014). http://www.pusdatin.kemkes.go.id
4. Johnson S, Pion C, Jennings V. Current methods and attitudes of women towards
contraception in Europe and America. Reproductive Health. Vol. 10: 7. 2013. p.
2-9. www.reproductive-health-journal.biomedcentral.com.
5. Tulsiani D. Department of Obstetrics and Gynecology, Vanderbilt University
School of Medicine, Nashville, USA .New Approaches to Male Contraception.
Gynecol Obstet (Sunnyvale). Vol. 6 e114. 2016. www.omicsonline.org.
6. Mujiati I, Budijanto D, Khairani. Situasi Keluarga Berencana di Indonesia.
Buletin Jendela: Data dan Informasi Kesehatan. Kepala Pusat Data dan Informasi.
Kementerian Kesehatan RI. ISSN-2088-270x. 2013.
7. Mengenal Jenis Kontrasepsi. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2017.
www.pkbijateng.or.id.
8. Plana O. Male Contraception: Research, New Methods, and Implications for
Marginalized Populations. American Journal of Men’s Health. Vol. 11(4).2017.p.
1182–9. www.journals.sagepub.com
9. Edelman,A & Micks, E. Benefits and Risks of Sterilization. Practice Bulletin
Clinical Management Guidelines For Obstetrician-Gynecologist, Vol 133. 2013.
p.1-13.
10. Speroff L, Fritz MA. Contraception. In: Clinical Gynecologic Endocrinology &
Infertility, 7th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins, 2015. p. 968-951.

Anda mungkin juga menyukai