Anda di halaman 1dari 22

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang berakar di pantai timur

Sumatera. Karena sejarah perkembangan kehidupan ekonomi, bahasa Melayu


kemudian mampu memperluas batas-batas wilayahnya sendiri dari batas-batas
regional menjadi batas nasional, dan atas dasar itu bahasa Melayu diperkaya
baik dalam logat atau dialek maupun dalam peristilahan, idiom dan sintaksis.
Dalam perkembangannya kemudian bahasa Melayu sebagai lingua-franca tidak
sekedar mendukung peranan ekonomis saja, tetapi juga peranan-peranan sosio-
kultural dan politik, akhirnya tumbuh sebagai lingua-franca bagi seluruh nasion
Indonesia.

Sesungguhnya sangat menarik mempelajari sejarah dan peranan Bahasa


Indonesia yang unik itu. Dengan menunjuk kepada D. de Vries dalam
bukunya Culturele Aspecten in de Verhouding Nederland – Indonesië, Dr. Justus
M. Van der Kroef berkata antara lain: “Kesusasteraan Indonesia modern
menggunakan suatu bahasa yang asal dan perkembangannya kiranya paling
unik di dunia”.[1]

Sebagaimana dunia ilmupengetahuan telah bersepakat, sejarah bahasa


Indonesia yang kita kenal sekarang berakar di jantung tanah Melayu. Dalam hal
ini perlu ditegaskan, bahwa daerah yang disebut tanah Melayu, daerah asal
bahasa Indonesia itu, bukanlah Semenanjung Malaya sekarang, melainkan
sebuah kerajaan Melayu Kuno yang terletak di pantai timur Sumatera dan yang
mempunyai daerah-daerah pengaruh di Semenanjung Melayu itu.

Dalam menelusuri sejarah hidupnya Prof. Dr. Slametmulyono menulis: “Ujud


bahasa Indonesia / Melayu tertulis yang paling tua terdapat pada piagam
Sriwijaya dari abad ketujuh.” Seterusnya dikatakan, “sudah pasti bahwa bahasa
tersebut telah dipakai pula dalam masa kerajaan Melayu lama yang telah berdiri
sebelum timbulnya kerajaan Sriwijaya.”[2]
Sebagai suatu imperium yang dalam masa jayanya tiada berbanding serta
berkuasa atas bagian barat perairan Nusantara dan lalu-lintas perniagaannya,
maka bahasa Melayu itu pun memperoleh watak dan merebut kedudukan
sebagai lingua-franca bagi seluruh penjuru kepulauan Nusantara itu. Baik ditinjau
dari segi geografis maupun historis, mudah dipahami apabila belahan timur
kepulauan Nusantara harus berorientasi dan bahkan bergantung kepada
belahan barat pulau-pulau itu.

Sebagai lingua-franca sudah barang tentu di satu pihak bahasa Melayu


mempunyai berbagai macam logat atau dialek yang sangat berbeda-beda dan
sangat kaya, namun di pihak lain bahasa Melayu ketika itu pun belum
mempunyai kesempurnaan bentuk yang tertentu. Oleh karenanya bahasa
Melayu pada masa itu pun, sebagai konsekuensi daripadanya, belum mampu
menjadi sarana perkembangan artistik bahasa. Lingua-franca yang juga oleh
banyak pengarang disebut sebagai bahasa Melayu Pasar, sekarang terbukti
telah dapat tetap hidup dan malahan semakin tumbuh dan berkembang. Faktor-
faktor apakah yang menyebabkannya?

Ada tiga faktor penyebab yang tali-temali. Pertama, karena kesibukan yang tidak 
pernah diam di kota-kota bandar dan seluruh penjuru lautan Nusantara oleh
kehidupan perdagangan dan perniagaan. Kedua, karena sifat eklektisisme[3]
yang besar, yang dimiliki oleh bahasa Melayu Pasar tersebut sebagai lingua-
franca. Ketiga, karena tugas dan peranan yang didukung oleh bahasa itu yang
semuanya merupakan faktor-faktor penentu untuk pembentukan watak baginya.

Bahasa Melayu telah memperlebar batas-batas tanahairnya sendiri, dari batas=-


batas regional menjadi berbatas nasional. Bersama dengan itu Bahasa Melayu
juga memperluas pendukungnya, dari sementara sukubangsa-sukubangsa di
belahan barat kepulauan Nusantara, sampai kepada sukubangsa-sukubangsa
yang hidup di belahan timur seluruhnya.[4] Atas dasar itu bahasa Melayu
menjadi diperkaya, tidak saja di dalam logat atau dialek, tetapi malahan juga
dalam hal peristilahan, idiom dan sintaksis.
Bahwa akhirnya Bahasa Melayu ini telah menjadi lingua-franca bagi seluruh
bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara, sesungguhnya merupakan suatu hasil
keharusan sejarah, pertama-tama dan terutama karena dituntut oleh
perkembangan sejarah kehidupan perekonomian bangsa-bangsa se-Nusantara
itu.

Watak dan latar belakang politik

Secara selintas telah dikemukakan di atas tentang sejarah lahirnya bahasa


nasional dan latar belakangnya, sebagai suatu bahasa baru yang tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu Pasar. Karena proses sejarah yang demikian
itulah pula apabila bahasa Melayu memiliki, sebagaimana yang kemudian
ternyata, watak-watak khas dan istimewa, dibandingkan dengan bahasa-bahasa
daerah atau sukubangsa yang lain dan mana pun di Indonesia.

Bahasa yang berasal dari kerajaan Melayu Lama itu dalam banyak hal mampu
menanggalkan ketegaran watak feodal, dan sebaliknya memiliki unsur-unsur
watak demokratis. Berbeda dengan bahasa Jawa yang didukung oleh
sukubangsa terbesar di Indonesia. Tetapi, walaupun demikian, sebagai akibat
“adanya garis-garis batas antara klas-klas masyarakat tinggi dan rendah”,
demikian Thomas Stamford Raffles, “maka penduduk di pulau-pulau Jawa,
Madura dan Bali, di samping mengenal bahasa-bahasangoko, kromo, mereka
juga mengenal bahasa kawi, yaitu bahasa puitik atau bahasa klasik.[5]

Untuk memperoleh gambaran tentang seberapa luas dan dalam watak


masyarakat Jawa feodal yang anti demokrasi itu tersirat di dalam bahasanya,
perlu diketahui tentang adanya tatakrama yang mutlak berlaku dalam bahasa
Jawa. Pada pokoknya ada 4 (empat) tingkat-tingkat tatakrama bahasa Jawa:
(1) ngoko, (2) madya, (3) krama , dan (4) bagonganatau bahasa istana.[6]

Secara negatif Perang Salib telah “mematikan” Venesia sebagai kota pelabuhan
transito benua Eropa, untuk barang-barang dagangan hasil bumi negeri-negeri
Timur Dekat dan Timur Jauh. Tetapi sebaliknya secara positif peperangan itu
sendiri telah “memperluas cakrawala”, baik bagi dunia Timur maupun bagi dunia
Barat. Perang Salib telah mendorong perdagangan negeri-negeri Barat ke
negeri-negeri di sebelah timur Laut Tengah.[7]

Sebagai bangsa bahari tua yang bertanahair subur, maka sudah sejak ratusan
tahun lalu bangsa Indonesia menjadi subjek sederajat dalam hubungan
antarnegara dengan negeri-negeri tetangganya di benua Asia dan Afrika. Tetapi
sejak Perang Salib berakhir, bersamaan dengan waktu dengan ekspansi Islam
ke timur serta ke barat, juga negeri-negeri Eropa di seberang Laut Tengah dan di
sepanjang pesisir Lautan Atlantika, malahan juga Amerika dan Jepang di timur,
semuanya mulai mengadakan hubungan langsung dengan Indonesia.[8]

Dalam pada itu Indonesia perlahan-lahan mulai dan semakin terdesak dalam
hubungan antarnegara itu, khususnya terhadap negara-negara Eropa. Lumpuh
dari kedudukannya sebagai subjek, dan berubahlah menjadi objek. Arus-balik
telah bertiup ke Nusantara, dari barat, timur dan utara, lalu berpadu dalam arus
puting-beliung dan menyeret Indonesia dalam mata-pusaran sejarah dunia. Dan
bersamaan dengan proses tersebut syarat-syarat baru sudah diciptakan bagi
perkembangan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dari suatu bangsa.

Memperoleh peranan politik

Politik imperialisme ortodoks yang dijalankan oleh bangsa-bangsa Spanyol dan


Portugis, serta kemudian diteruskan dengan politik imperialisme semi-ortodoks,
dan di abad ke-19 dengan “politik etis” Belanda atas Indonesia,[9] tidak saja
berpengaruh langsung terhadap kehidupan bangsa Indonesia secara materiil,
akan tetapi juga secara spiritual. Runtuhnya satu demi satu pusat-pusat kerajaan
dan bandar-bandar di Indonesia, seperti juga pusat-pusat kebudayaan feodal
dan pusat-pusat pertukaran barang-barang antarpulau dan antarnegara, satu
demi satu jatuh ke tangan pedagang-pedagang Barat. Tetapi yang perlu
diperhatikan, bahwa yang demikian itu bukanlah suatu pertanda adanya
keruntuhan bangsa. Proses pembentukan suatu bangsa secara konsepsional
politik dan kultural bahkan sedang pada awal penjadiannya.

Baik Gubernur Jenderal Hogendorp maupun Raffles dengan kata-kata yang


terang menyatakan antara lain sebagai berikut:

 “We, the Batavians,” says Mr. Hogendorp, “or rather our good and heroic 
ancestors, conquered these countries by force or arms. The Javans, who are
immediately under our jurisdiction, acknowledge the Batavian nation or the East
Indian Company as their lord and sovereign; but by so doing, although they
resigned their political rights, they still retain their civil and personal liberty, at
least their right thereto.”[10]

Di bagian lain berkata pula Raffles:

“Their greatest resistance appears to have been made against European


influence. They maintain with pride, that although virtually conquered, they still,
as a nation and as individuals, pertinaciously adhere to their ancient institutions,
and leave a national feeling, very different from that which is usually to be found
among a conquered people.”[11]

Di samping beberapa bandar yang sudah dirampas oleh orang-orang Eropa ,


Raffles dalam pada itu mengakui, bahwa:

“the interior is possessed by the natives, collected under leaders who have taken
advantage of the great extent of the country, in proportion to its population, to
render themselves independent of the lawful sovereign; that the coast is
occupied in many places, either by pirates, by some of the ruder tribes whom it is
dangerous to invade, or by adventurous traders, chiefly ‘Malayas’ and ‘Bugis’”.
[12]
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, harus juga dikemukakan adanya
dua faktor penting lain lagi. Pertama, bahwa invasi bangsa-bangsa Eropa ke
Nusantara itu terjadi dalam satu periode yang sama dengan penetrasi Islam dan
Kristen; dan, kedua, bahwa dalam usaha untuk menguasai pasar Nusantara
bangsa-bangsa Eropa juga menggunakan bangsa-bangsa Tionghoa dan Arab
sebagai alat.[13]

Dengan demikian bahasa Melayu yang sudah tumbuh sebagai lingua-franca bagi
seluruh nasion itu pun bukannya menjadi terdesak kedudukannya, tetapi
malahan sebaliknyalah, justru telah diperkokoh dan dikembangkan peranannya.
Lingua-franca itu, disamping tetap hidup sebagai “bahasa dagang” atau “bahasa
pasar”, juga mulai semakin intensif dipergunakan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat luas. Bahasa tersebut mulailah tidak sekedar mendukung peranan
ekonomis saja, tetapi juga peranan sosio-kultural dan bahkan peranan politik
sekaligus. Tentang hal ini bisa dibuktikan dengan betapa luas dan banyak
ragamnya peristilahan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa-
bahasa asing. Dari kata-kata “sahaja”, “niaga” dan “kerja” sampai ke kata-kata
“pujangga”, “negara” dan “dewa-dewi” – Hindu. Dari “menara”, “filsafat” dan
“kimia” sampai pada “masyarakat”, “kuat”, dan “kitab” – Arab. Dari “cukai” dan
“kedai” – Tamil – sampai ke “kertas” dan “bebas” – Parsi. Dari “teh”, “kongsi” dan
“kuli” sampai kepada “”taoco”, “sampan” dan “taoge” – Tionghoa. Dari “sekoci”
dan “duit” sampai ke “Kakus” – Belanda.

Sedangkan dari bahasa Portugis bahasa Melayu bukan saja memperoleh kata-
kata yang banyak diucapkan di tengah-tengah pasar, tetapi juga kata-kata yang
hidup di luar pasar. Misalnya kata-kata “mahardika”, “bendera”, “serdadu”,
“lentera”, “jendela” dan lain sebagainya.

“Sejarah pemerintah kolonial Belanda – dan Belanda adalah bapak bangsa


kapitalis di dalam abad ke-17”, demikian Karl Marx, yang selanjutnya mengutip
kata-kata Raffles sebagai berikut: “… is one of the most extraordinary relations of
treachery, bribery, massacre and meanness.”[14] Sistem kolonialisme ortodoks
bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis, yang diteruskan dengan sistem semi-
ortodoks kaum kolonialis Belanda, bukan hanya sudah menebangi batang-
batang pohon pala yang tumbuh di atas tanah dan air Indonesia, tetapi mereka
itu pun menebasi batang leher para patriot yang tegak berdiri di atas
tanahairnya. “Di mana pun mereka menginjakkan kaki”, kata Karl Marx,
“pembasmian dan pembinasaan penduduk mengikut serta mereka. Di
Banyuwangi, suatu daerah di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari
80.000 jiwa. Tetapi dalam tahun 1811 tinggal 18.000 orang belaka. Perdagangan
yang manis nian!”[15]

Sementara menjalankan politik pemusnahan sukubangsa-sukubangsa berikut


dengan kebudayaan mereka, kaum kolonialis juga dengan amat ketat
memonopoli perdagangan hasil bumi dari Timur ke Barat, sebaliknya dengan
amat ketat pula memonopoli hasil perkembangan kultur dan peradaban Barat
yang mengalir ke Timur.[16]

Terlampau mahal harga ilmupengetahuan dunia Barat sebagai produk


perkembangan sejarah, dari masyarakat lama ke masyarakat baru untuk
diajarkan kepada rakyat jajahan. Karena itu bukanlah merupakan tuduhan yang
dilontarkan oleh seorang patriot, tetapi adalah pengakuan terang-benderang dari
seorang Gubernur Jenderal pemerintah jajahan di Indonesia, yang mengatakan
bahwa:

“In many of these islands the nations having no written character of their own,
have been instructed in the Roman character, and taught to read Malayan and
other dialects in it.”[17]

Dengan cara demikian itulah bahasa pasar bahasa Melayu telah mendapatkan
syarat positif yang lain pula bagi pembentukan hari depannya. Bahasa itu telah
didorong untuk melakukan kontak sosial yang lebih luas lagi, baik ditinjau dari
sudut perluasan daerah pendukungnya maupun apabila ditinjau dari sudut
peranannya yang harus didukung olehnya.

Ada faktor lain pula, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan geografis
Indonesia sendiri yang terdiri atas ribuan pulau-pulau besar dan kecil itu.
Keadaan alam yang penuh dengan hutan belantara, gunung-gunung dan sungai-
sungai besar, merupakan paksaan alami bagi penghuninya untuk hidup dalam
kelompok-kelompok yang saling terpisah-pisah antara yang satu dengan yang
lain. Keadaan seperti tersebut di atas merupakan dasar materiil bagi timbulnya 
variasi-variasi dalam bahasa. Timbulnya kebhinekaan dalam adat dan dalam
kultur pada umumnya.

Berjalin dengan faktor luar yang ditimbulkan oleh politik kolonial Belanda dalam
pembangunan prasarana, ekonomi, pendidikan yang semata-mata diabdikan
demi perluasan pasar kapital serta intensifikasi eksploitasi kolonialnya, maka
terjadilah proses peleburan atau integrasi di satu pihak, sebaliknya juga terjadi
proses pemisah-misahan atau disintegrasi pada pihak lain. Kedua-dua proses ini
berjalan, baik secara “sukarela” maupun  secara paksa. Maka melatar-belakangi
proses kejadian tersebut timbullah pula berbagai masalah historis, ekonomis dan
sosiologis. Di antaranya ialah penciptaan watak politik yang istimewa dan jelas
bagi bahasa Melayu, yang merupakan lingua-franca sukubangsa-sukubangsa
yang tinggal di Nusantara itu. Dalam arti kata sesungguhnya, di atas telah
dinyatakan bahwa lingua-franca itu sudah dipaksa oleh kolonialisme untuk
melakukan kontak sosial seluas-luasnya dan sejauh-jauhnya. Secara kias benar
jugalah, bahwa kontak sosial yang harus dimainkan oleh lingua-franca tersebut
kiranya akan “sejauh dan seluas blorong kolonialisme menancapkan kuku-kuku
penindasannya, serta gerigi-gerigi pengisapannya.”

Jalan-jalan baru ke arah kekuasaan telah dibuka. Kedok-kedok baru pun telah
mereka pakai di wajah sendiri. Namun, seperti kearifan pepatah Perancis
mengatakan: “plus ça change, plus c’est la même chose”.
Perjuangan melawan kolonialisme Belanda terus-menerus berkobar di
Indonesia, baik perjuangan bersenjata, politik, ekonomi maupun  perjuangan
yang bersifat kultural. Babak-babak sejarah Indonesia penuh dengan kisah-kisah
pemberontakan rakyat dari berbagai sukubangsa dan penjuru Nusantara. Dapat
dikatakan tidak ada satu sukubangsa pun di Indonesia yang tidak pernah
melakukan pemberontakan melawan kolonialisme. Keadaan ini merupakan
syarat yang mempercepat dan memperkuat hasrat bersatu dari sukubangsa-
sukubangsa di Indonesia.

Dengan demikian sejarah rakyat Indonesia telah melahirkan syarat-syaratnya


sendiri yang positif untuk perjuangan penyatuan ekonomi dan penyatuan politik,
penyatuan wilayah dan penyatuan kebangsaan. Dan dalam hubungan dengan
penyatuan wilayah dan kebangsaan itu terkandung di dalamnya penyatuan jiwa
serta penyatuan bahasa pada khususnya.

Hubungan bahasa persatuan dengan bahasa-bahasa sukubangsa

Disamping bahasa Indonesia yang digunakan di seluruh wilayah tanahairnya,


terdapat tidak kurang dari 200 (duaratus) bahasa-bahasa daerah.[18] Seperti
telah dinyatakan dalam kalimat-kalimat terdahulu, bahwa bangsa Indonesia
terdiri dari banyak sukubangsa. Secara tepat sukar untuk dikemukakan, karena
tentang ini data-data resmi belum tersedia. Namun sehubungan dengan ini bisa
ditunjuk catatan yang dikemukakan oleh R. Kennedy,[19] dan juga oleh W.F.
Wertheim.[20]

Dari ikhtisar yang dikemukakan oleh kedua ilmuwan itu kita bisa melihat adanya
sukubangsa-sukubangsa yang “penting”, yang masing-masing memiliki bahasa
dan pola serta palaran kebudayaannya yang telah mengakar. Sementara itu
terdapat juga sukubangsa-sukubangsa lain, misalnya Lampung Abung,
Semendo, Komering, Ogan dan keturunan asing seperti Tionghoa, Arab, India,
Belanda, Erasia dan lain-lain. Di Kalimantan Barat, umpamanya, hampir
sepertiga penduduk ialah – meminjam istilah Bung Karno – “sukubangsa
Tionghoa” yang terdiri dari keturunan Tionghoa yang telah membaurkan diri
dengan kehidupan sukubangsa-sukubangsa setempat.

Haruslah diingat, bahwa “cultural surroundings” bangsa Indonesia telah


mengalami banyak perubahan yang secara cepat telah terjadi semenjak revolusi
Agustus 1945. Revolusi itu telah membentuk manusia Indonesia menjadi “the
new typical Indonesian”, baik yang hidup di kota-kota bahkan pun yang di desa-
desa. Timbullah situasi dan kondisi baru di bidang kehidupan politik, ekonomi
dan kebudayaan. Perubahan-perubahan telah terjadi di seluruh bidang
kehidupan bangsa pada umumnya, bahkan juga di dalam adat-istiadat.

Di atas dasar prinsip-prinsip baru di dalam kehidupan sosial-politik, ekonomi dan


kebudayaan itu, bahasa sukubangsa-sukubangsa yang ada harus tetap
memperoleh kedudukan yang wajar. Sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
diikrarkan, menjadi jelaslah bahwa secara politik bahasa Indonesia adalah
bahasa pemersatu bangsa, yang terdiri dari berbagai sukubangsa dengan
bahasa mereka masing-masing itu. Maka oleh karenanya harus ditegaskan,
bahwa demi persatuan tersebut samasekali tidak bolehdicapai dengan
penghapusan atas sukubangsa-sukubangsa berikut bahasa masing-masing.
Bahasa Indonesia adalah senjata kemerdekaan bangsa. Maka pemerdekaan
sukubangsa-sukubangsa dari penjajahan dan keterbelakangan, harus tidak
berarti membawanya ke arah pemisahan kehidupan mereka dari akar
kebudayaan, termasuk dari bahasa mereka masing-masing.

Prinsip-prinsip baru yang dilahirkan oleh revolusi Agustus 1945 ini, selama tidak
disalah-jalankan, justru akan memperkuat dan memberikan kemungkinan-
kemungkinan baru kepada bahasa Indonesia. Bahkan prinsip-prinsip baru itulah
yang akan membuat bahasa Indonesia bisa berkembang dan maju lebih pesat,
lebih “kaya” dan lebih “berwarna”, lebih “tinggi derajadnya”, kata Bung Hatta.[21]
Sebagai bahasa yang hingga kini masih di dalam proses pertumbuhan, bahasa
Indonesia hidup bersama-sama dengan bahasa-bahasa sukubangsa yang telah
berabad-abad lamanya melalui proses kehidupan dalam sejarah masing-masing.

Masing-masing bahasa sukubangsa itu memiliki kelebihan dan kekurangannya,


baik di dalam kekayaan kata, peristilahan, “warna bahasa” maupun dalam
kemampuan ekspresi. Bahasa Jawa, misalnya, dikatakan oleh Raffles antara lain
sebagai “petunjuk kuat tentang adanya suatu peradaban yang dahulu telah maju,
dan dalam tingkatan tertentu menunjukkan karakter rakyatnya sekarang. Bahasa
yang kaya dan sopan, kayaraya dengan sinonim-sinonim dan pembedaan-
pembedaan yang cermat; mudah dibentuk dan diramu serta cocok dengan
segala keadaan; pernah mencapai taraf tinggi, merupakan ungkapan yang
lemah-lembut dan kuat sekaligus.[22] Pada catatan kakinya ia menegaskan,
bahwa:

 “This variety, which gives so much refinement to the language, does not
however make it difficult to be spoken, because it is subjected to rules, which are
fixed and easy; nor do we know any language that is more regular and
methodical.”[23]

Bahasa ini pun, antara lain, mempunyai kekuatan ekspresi melukiskan


kehidupan dengan “bunyi”, yang hal ini kurang dimiliki oleh bahasa persatuan.
[24] Sebaliknya di dalam persoalan ekspresi dan peristilahan baru yang rasional,
bahasa Indonesia mempunyai kelebihan-kelebihan yang belum dimiliki oleh
bahasa sukubangsa Jawa dan yang lain, misalnya pada bahasa-bahasa Sunda,
Madura, Bali, Minangkabau, Lampung, Toraja, Dayak dan sebagainya.
Kekurangan mereka itu adalah sebagai akibat kemiskinan dan keterbelakangan
kehidupan mereka selama ini, di bawah penderitaan penindasan yang panjang.
Kelebihan dan kekayaan bahasa-bahasa sukubangsa, yang diperoleh “dahulu”
terutama tatkala “peradabannya telah berkembang”, seperti dikatakan Raffles itu,
akan merupakan reservoar perbendaharaan kata, ekspresi dan warna-bahasa
bagi bahasa persatuan. Walaupun dalam pertumbuhannya sekarang belum
semua kekayaan bahasa-bahasa sukubangsa dapat ditransfusikan ke dalam
bahasa nasional, tetapi dalam proses perkembangannya lebih lanjut pastilah,
dan akan selalu, terjadi hubungan timbal-balik yang saling memperkaya. Dewasa
ini secara resmi ada kecenderungan pengabaian terhadap pengembangan
bahasa-bahasa sukubangsa, namun sebaliknya secara tidak resmi ada
kecenderungan transfusi paksa, dari Jawa khususnya, atas bahasa nasional.
Sementara bahasa nasional itu sendiri, karena tidak ditopang di atas
pengembangan bahasa-bahasa daerah dan atau sukubangsa, sedang semakin
kehilangan kekhususan ciri-cirinya, kehilangan ‘identitas’ nasionalnya.

Prospek bahasa nasional harus diarahkan untuk menjadi pendukung segala


kekayaan kata, warna dan ekspresi paling baik dan paling dinamis dan unsur-
unsur bahasa maupun logat sukubangsa dan atau daerah. Kesedaran akan
kedudukan sebagai basis yang ada pada bahasa maupun logat sukubangsa dan
atau daerah yang demikian itu, akan membuka keyakinan bahwa pemeliharaan
dan pengembangan bahasa serta logat sukubangsa dan atau daerah itu menjadi
masalah yang penting untuk segera dijawab. Dan kesadaran serta keyakinan itu
bukanlah masalah linguistik semata-mata. Karena ia, pertama-tama dan
terutama, akan berwujud di dalam usaha-usaha pelaksanaan kebijakan yang
sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti yang dikehendaki oleh
Pancasila dan UUD 45.

Kesadaran itu pada pihak lain juga akan berwujud sebagai keyakinan seluruh
sukubangsa tentang pentingnya  bahasa nasional, sebagai salah satu syarat
eksistensi bahasa, dan oleh karena itu tidak boleh melarut di dalam acuan
pengaruh segala bahasa dunia apa pun. Dan dengan kesadaran demikian, maka
baik bahasa nasional maupun masing-masing bahasa sukubangsa, kedua-
duanya digunakan dan dikembangkan secara simultan. Dewasa ini tidak ada di
antara sukubangsa-sukubangsa yang berpuluh-puluh jumlahnya itu, yang
menganggap bahasa Indonesia sebagai bukan milik mereka. Walaupun di sudut-
sudut banyak desa di sana, bahasa Indonesia memang belum menjadi milik
mereka. Bahasa Indonesia telah merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari
bagi masyarakat kota – di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Tetapi
memang tidak – atau belum – demikianlah keadaannya bagi masyarakat di
setiap pelosok.

Adanya jaminan hak sama bagi semua sukubangsa, baik yang besar maupun
yang kecil, serta kesadaran kebangsaan rakyat Indonesia yang tumbuh dan
berkembang dalam proses sejarah, dimatangkan pula dalam perjuangan
kemerdekaan nasional, membuat seluruh bangsa Indonesia merasa bangga
terhadap bahasanya. Perasaan kebanggaan demikian, yang bukan masalah
linguistik, perlu dipupuk dan dikembangkan karena ia merupakan faktor penting
sebagai penjamin kesatuan jiwa dan kesatuan bangsa.
Bahasa indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia (RI) yang tercantum dalam Pasal 36
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Di dalam UUD 1945 tertulis bahwa “Bahasa
Negara ialah BahasaIndonesia”. Bahasa Indonesia juga disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 pada bagian
ketiga yang berbunyi“kami  poetra  dan  poetri  indonesia  mengjoenjoeng  bahasa  persatoean,  bahasa  in
donesia”.

Sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan karena didorong beberapa


faktor yang memperkuat kedudukan dan Fungsi bahasa Indonesia. Faktor-faktor yang memperkuat
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu antara lain:

2.1.1 Faktor Idial

Faktor ideal berkaitan dengan  cita-cita bangsa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda 1928. Dengan
adanya faktor idial bahasa Indonesia tidak tergugat kedudukannya kerena secara nyata berkait erat
dengan cita-cita mewujudkan kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini Indonesia menjadi pilar ketiga yang
menopang kebangsaan Indonesia.

Setiap ancaman terhadap kedudukan bahasa Indonesia dapat diperhadapkan dengan Sumpah Pemuda
1928. Pengingkaran terhadap bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap sumpah
suci para pemuda itu. Selama manusia Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia ia tidak
dapat mengingkari tuntutan sumpah suci itu untuk “Menjunjung bahasa kesatuan, bahasa Indonesia”.

Faktor pertama disebut faktor idial karena faktor ini menyerap cita-cita kebangsaan yang terbentuk
dalam pengalaman perlawanan terhadap penjajah. Cita-cita bangsa yang memungkinkan berbagai suku
dengan berbagai latar belakang budaya dan agama bersatu menghadapi ancaman  dari kolonialisme dan
menjadi senjata ampuh bagi pejuang kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Dengan memahami
dan menghayati cita-cita kebangsaan, kita akan merasa betapa pentingnya bahasa Indonesia itu.

Faktor idial ini menjadi dasar kuat bagi kedudukan bahasa Indonesia diantara bahasa-bahasa nusantara.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa selepas dicetusnya Sumpa Pemuda 1928 berlangsung polemik
kebudayaan pada awal 1930-an. Polemik yang mempersalahkan pengembangan kebudayaan nasional
itu berlangsung dalam bahasa Indonesia dan melibatkan berbagai kelompok suku bangsa dengan
beragam orientasi pemikirannya. Polemik kebudayaan tersebut dapat dianggap sebagi uji coba bagi
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antar budaya dan atar suku. Polemik itu membuktikan
bahwa  bahasa Indonesia dapat berfungsi dengan baik sebagai alat pengungkap gagasan yang andal
untuk menjembatani pertukaran pikiran yang berkmbang dalam masyarakat. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa kedudukan bahasa Indonesia diperkuat kedudukannya oleh peristiwa sejarah
pemikiran bangsa yang berlangsung ketika semangat perjuangan kebangsaan memasuki tahap yang
menentukan.

2.2.2 Faktor Konstitusional


 Faktor kedua yang memperkuat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia adalah UUD 1945. Dengan
dicantumkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam undang-undang dasar negara itu,
kukuhlah kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu. Pencantuman bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara dalam konstitusi itu amat besar pengaruhnya terhadap upaya pengembangan bahasa.
Tercancumnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari
adanya pernyataan bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928.

Faktor konstitusional itu amat penting karena memberikan peluang bagi terselenggaranya upaya
pengembangan bahasa Indonesia. Dapat dikatakan faktor konstitusional memperhadapkan kita dengan
keharusan memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia agar segala fungsi bahasa Indonesia
dapat terselenggara dengan baik. Untuk itu, kita dituntut untuk bersikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Sikap positif itu, antara lain, dapat diwujudkan dalam bentuk kesediaan kita mengadakan
berbagai upaya pembinaan dan pengembangan bahasa.

UUD 1945 sebagai faktor konstitusional yang memberikan landasan konstitusi bagi kedudukan bahasa
Indonesi. Hal ini bahwa untuk keperluan pengembangan bahasa ada titik pangkal yang memiliki
kekuatan yuridis yang tidak tergugat. Yang penting adalam kesadaran peyelenggara negara untuk dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya fungsi bahasa Indonesia dengan baik. Landasan
ini tentulah dapat diperkongkrit lagi dengan putusan-putusan yang lebih operasional yang dapat
melandasi kebijakanaan pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.

Tentulah faktor UUD 1945 ini tidak akan mempunyai arti kalau penyelengagaran negara dan penampung
suara rakyat dalam lembaga legislatif tidak tanggap akan adanya faktor yang sangat penting ini.
Segalanya terpulang kepada manusia yang menjalankan konstitusi itu.

2.2.3 Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan melekat pada bahasa Indonesia sendiri. Faktor kebahasaan berupa kenyataan bahwa
bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa perhubungan sejak berabad-
abad yang lalu. Faktor menempatkan bahasa Indonesia mempunyai wilayah persebaran yang lebih luas
dibandingkan dengan bahasa nusantara lainnya. Barangkali dasar faktor yang menjadi alasan mengapa
bahasa Melayu dipilih untuk menjadi bahasa persatuan dan dinyatakan sebagai bahasa Indonesia.

Meluasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia tentulah tidak dapat dilepaskan dari karakter penutur
bahasa Melayu yang dikenal suku bangsa perantau. Selain itu, tentulah bahasa relatif lebih mudah
dipelajari dibandingkan dengan bahasa nusantara lainnya. Meluasnya wilayah pemakaian bahasa
Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu, antara lain, dikemukakannyan berbagai dialek
bahasa tersebut, seperti Melayu Banjar, Melayu Menado, dan Melayu Betawi.
Tadi dinyatakan bahwa bahasa Indonesia relatif lebih mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa
nusantara yang lainnya. Hal ini memang relatif, tetapi untuk menyebutkan salah satu contoh adalah
dalam hal tidak dikenalnya dalam bahasa Indonesia tingkat tutur bahasayang dikenal dalam bahasa Jawa
dan Sunda yang memiliki pendukung jauh lebih banyak. Fakta menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa berwatak demokratis. Berdasarkan faktor kebahasaan yang telah diuraikan dapat disimpulkan
bahwa bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang mantap. Jadi, dapatlah dinyatakan bahwa
faktor kebahasaan turut memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Dari studi kekerabatan
bahasa tampak kata-kata Melayu menyebarkan di dalam kata bahasa nusantara lainnya.    

Beberapa faktor yang mendukung kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai yang diuraikan di
atas tentulah masih dapat diperluas lagi, misalnya dengan menyebut pemakaiaan bahasa Indonesia
dalam dunia pergerakan politik pada masa pergerakan nasional dan juga pemakaiaan bahasa itu dalam
media massa pada zaman pergerakan. Tentulah faktor kesejarahan turut memperkuat kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia. Demikian juga sikap pemerintahan penduduk Jepang dalam penggunaan
bahasa Indonesia pada masa pendudukan turut mematangkan dan sekaligus memantapkan kedudukan
dan Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.

Kalau Anda menyimak pembicaraan tentang faktor-faktor  yang memperkuat kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Anda dapat merumuskan secara singkat
faktor-faktor tersebut sebagai berikut.

1.        Sumpah Pemuda 1928 merupakan faktor ideal yang memperkuat kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional.

2.        UUD 1945 Bab XV Pasal 36 merupakan konstitusional yang memperkuat kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

3.        Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang sudah menjadi  lingua franca  selama berabad-
abad sehingga daerah penyebarannya sangat luas.

4.        Bahasa Indonesia memiliki watak demokratis sebagaimana bahasa Melayu sehingga relatif lebih
mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa serumpun yang memiliki tingkat tutur.
Daftar Kata Baku - Tidak Baku

KATA BAKU KATA TIDAK BAKU

imbau himbau
andal handal
risiko resiko
praktik praktek
utang hutang
izin ijin

aktivitas aktifitas
analisis analisa
antre antri
asas azas
atlet atlit

besok esok
bus bis
cedekiawan cendikiawan
ekstrem ekstrim
hafal hapal

embus hembus
telanjur terlanjur
Anda (A besar) anda
sampaikan haturkan
ijazah  ijasah 

Februari Pebruari
November Nopember
sekadar sekedar
kata baku: nasihat kata tidak baku: nasehat
penasihat penasehat

istri isteri
selebritas selebriti
wali kota (dipisah) walikota

paham faham
pikir fikir
hafal hapal
silakan silahkan

napas nafas
isap hisap
karier karir
khotbah khutbah
konkret kongkrit
kompleks komplek

kata baku: ubah, mengubah kata tidak baku: rubah, merubah


Dalam situasi santai kita tidak ”diharamkan” berbahasa Indonesia yangbaik
tetapi tidak benar. Berikut ini contohnya.
(l)     Berapa nih, Bu, bayemnya?

(2)    Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?

Mengapa kalimat (1) dan (2) di atas tergolong bahasa yang baik tetapi tidak
benar? Jika demikian, apakah ada bahasa Indonesia yang tidak baik tetapi
benar? Apakah ada bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar? 
Pertanyaan itu kerap disampaikan oleh siswa kepada guru bahasa Indonesia.
Guru menjawab, “Ya, bentuk-bentuk yang Anda tanyakan tersebut ada dalam
bahasa Indonesia.” Pertanyaan itu muncul karena para siswa pada umumnya
lebih akrab dengan slogan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Jika bahasa sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi
lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang
diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita
saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, dapat dengan
lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang
tidak.  Pemakaian bahasa yang  mengikuti kaidah yang  dibakukan atau yang
dianggap baku  itulah yang merupakan bahasa yang benar. 

Jika orang masih membedakan pendapat tentang benar   tidaknya suatu


bentuk bahasa, perbedaan paham itu menandakan tidak atau belum adanya
bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin
berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan; atau
yang sebagiannya sudah baku,  sedangkan bagian yang lain masih dalam
proses pembakuan; ataupun yang semua bagiaanya belum atau tidak akan
dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya, termasuk golongan yang kedua.
Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan; kaidah
pembentukan kata yang sudah tepat dapat dianggap baku, tetapi
pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan.sehari-hari belum mantap.

Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya


mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap telah dapat berbahasa
dengan efektif. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi
dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Di atas sudah diuraikan
bahwa orang yang berhadapan dengan sejumlah lingkungan hidup harus
memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam
yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa
itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus
mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-
menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan
kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjillah bila dalam tawar-
menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku
seperti
(3)   Berapakah ibu mau menjual bayam ini?

(4)  Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah  Abang dan berapa
ongkosnya?           

Contoh di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang benar, tetapi tidak baik
karena tidak cocok dengan situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Untuk
situasi seperti di atas, kalimat (5) dan (6) berikut akan lebih tepat.
(5) Berapa nih, Bu, bayemnya?

(6) Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?

Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa
seperti ini hari merupakan bahasa yang baik di kalangan para makelar karcis
bioskop, tetapi bentuk ini bukan merupakan bahasa yang benar karena letak
kedua kata dalam frasa ini terbalik.Karena itu, anjuran agar kita “berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa
yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah
bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar”
mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan
dan kebenaran. (Sumber: Alwi, Hasan et al. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas & Balai Pusataka.)
Contoh kalimat yang baik tetapi tidak benar :

1. Ke pasar kemiri bang, berapa?


2. Ia menduduki juara pertama.
3. Budi membawa mobil ke kampus.
4. Berapa nih, bang, rotinya?
5. Angkot itu menaiki penumpang.

Contoh kalimat yang baik dan benar :

1. Berapa harganya sayur bayem ini bu?


2. Ia menjadi juara pertama.
3. Apakah abang becak bersedia mengantar saya ke pasar kemiri dan ongkosya berapa?
4. Budi pergi ke kampus dengan mengendarai sepeda motor.
5. Ia membelikan adiknya sepeda motor.

Anda mungkin juga menyukai