Ada tiga faktor penyebab yang tali-temali. Pertama, karena kesibukan yang tidak
pernah diam di kota-kota bandar dan seluruh penjuru lautan Nusantara oleh
kehidupan perdagangan dan perniagaan. Kedua, karena sifat eklektisisme[3]
yang besar, yang dimiliki oleh bahasa Melayu Pasar tersebut sebagai lingua-
franca. Ketiga, karena tugas dan peranan yang didukung oleh bahasa itu yang
semuanya merupakan faktor-faktor penentu untuk pembentukan watak baginya.
Bahasa yang berasal dari kerajaan Melayu Lama itu dalam banyak hal mampu
menanggalkan ketegaran watak feodal, dan sebaliknya memiliki unsur-unsur
watak demokratis. Berbeda dengan bahasa Jawa yang didukung oleh
sukubangsa terbesar di Indonesia. Tetapi, walaupun demikian, sebagai akibat
“adanya garis-garis batas antara klas-klas masyarakat tinggi dan rendah”,
demikian Thomas Stamford Raffles, “maka penduduk di pulau-pulau Jawa,
Madura dan Bali, di samping mengenal bahasa-bahasangoko, kromo, mereka
juga mengenal bahasa kawi, yaitu bahasa puitik atau bahasa klasik.[5]
Secara negatif Perang Salib telah “mematikan” Venesia sebagai kota pelabuhan
transito benua Eropa, untuk barang-barang dagangan hasil bumi negeri-negeri
Timur Dekat dan Timur Jauh. Tetapi sebaliknya secara positif peperangan itu
sendiri telah “memperluas cakrawala”, baik bagi dunia Timur maupun bagi dunia
Barat. Perang Salib telah mendorong perdagangan negeri-negeri Barat ke
negeri-negeri di sebelah timur Laut Tengah.[7]
Sebagai bangsa bahari tua yang bertanahair subur, maka sudah sejak ratusan
tahun lalu bangsa Indonesia menjadi subjek sederajat dalam hubungan
antarnegara dengan negeri-negeri tetangganya di benua Asia dan Afrika. Tetapi
sejak Perang Salib berakhir, bersamaan dengan waktu dengan ekspansi Islam
ke timur serta ke barat, juga negeri-negeri Eropa di seberang Laut Tengah dan di
sepanjang pesisir Lautan Atlantika, malahan juga Amerika dan Jepang di timur,
semuanya mulai mengadakan hubungan langsung dengan Indonesia.[8]
Dalam pada itu Indonesia perlahan-lahan mulai dan semakin terdesak dalam
hubungan antarnegara itu, khususnya terhadap negara-negara Eropa. Lumpuh
dari kedudukannya sebagai subjek, dan berubahlah menjadi objek. Arus-balik
telah bertiup ke Nusantara, dari barat, timur dan utara, lalu berpadu dalam arus
puting-beliung dan menyeret Indonesia dalam mata-pusaran sejarah dunia. Dan
bersamaan dengan proses tersebut syarat-syarat baru sudah diciptakan bagi
perkembangan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dari suatu bangsa.
“We, the Batavians,” says Mr. Hogendorp, “or rather our good and heroic
ancestors, conquered these countries by force or arms. The Javans, who are
immediately under our jurisdiction, acknowledge the Batavian nation or the East
Indian Company as their lord and sovereign; but by so doing, although they
resigned their political rights, they still retain their civil and personal liberty, at
least their right thereto.”[10]
“the interior is possessed by the natives, collected under leaders who have taken
advantage of the great extent of the country, in proportion to its population, to
render themselves independent of the lawful sovereign; that the coast is
occupied in many places, either by pirates, by some of the ruder tribes whom it is
dangerous to invade, or by adventurous traders, chiefly ‘Malayas’ and ‘Bugis’”.
[12]
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, harus juga dikemukakan adanya
dua faktor penting lain lagi. Pertama, bahwa invasi bangsa-bangsa Eropa ke
Nusantara itu terjadi dalam satu periode yang sama dengan penetrasi Islam dan
Kristen; dan, kedua, bahwa dalam usaha untuk menguasai pasar Nusantara
bangsa-bangsa Eropa juga menggunakan bangsa-bangsa Tionghoa dan Arab
sebagai alat.[13]
Dengan demikian bahasa Melayu yang sudah tumbuh sebagai lingua-franca bagi
seluruh nasion itu pun bukannya menjadi terdesak kedudukannya, tetapi
malahan sebaliknyalah, justru telah diperkokoh dan dikembangkan peranannya.
Lingua-franca itu, disamping tetap hidup sebagai “bahasa dagang” atau “bahasa
pasar”, juga mulai semakin intensif dipergunakan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat luas. Bahasa tersebut mulailah tidak sekedar mendukung peranan
ekonomis saja, tetapi juga peranan sosio-kultural dan bahkan peranan politik
sekaligus. Tentang hal ini bisa dibuktikan dengan betapa luas dan banyak
ragamnya peristilahan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa-
bahasa asing. Dari kata-kata “sahaja”, “niaga” dan “kerja” sampai ke kata-kata
“pujangga”, “negara” dan “dewa-dewi” – Hindu. Dari “menara”, “filsafat” dan
“kimia” sampai pada “masyarakat”, “kuat”, dan “kitab” – Arab. Dari “cukai” dan
“kedai” – Tamil – sampai ke “kertas” dan “bebas” – Parsi. Dari “teh”, “kongsi” dan
“kuli” sampai kepada “”taoco”, “sampan” dan “taoge” – Tionghoa. Dari “sekoci”
dan “duit” sampai ke “Kakus” – Belanda.
Sedangkan dari bahasa Portugis bahasa Melayu bukan saja memperoleh kata-
kata yang banyak diucapkan di tengah-tengah pasar, tetapi juga kata-kata yang
hidup di luar pasar. Misalnya kata-kata “mahardika”, “bendera”, “serdadu”,
“lentera”, “jendela” dan lain sebagainya.
“In many of these islands the nations having no written character of their own,
have been instructed in the Roman character, and taught to read Malayan and
other dialects in it.”[17]
Dengan cara demikian itulah bahasa pasar bahasa Melayu telah mendapatkan
syarat positif yang lain pula bagi pembentukan hari depannya. Bahasa itu telah
didorong untuk melakukan kontak sosial yang lebih luas lagi, baik ditinjau dari
sudut perluasan daerah pendukungnya maupun apabila ditinjau dari sudut
peranannya yang harus didukung olehnya.
Ada faktor lain pula, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan geografis
Indonesia sendiri yang terdiri atas ribuan pulau-pulau besar dan kecil itu.
Keadaan alam yang penuh dengan hutan belantara, gunung-gunung dan sungai-
sungai besar, merupakan paksaan alami bagi penghuninya untuk hidup dalam
kelompok-kelompok yang saling terpisah-pisah antara yang satu dengan yang
lain. Keadaan seperti tersebut di atas merupakan dasar materiil bagi timbulnya
variasi-variasi dalam bahasa. Timbulnya kebhinekaan dalam adat dan dalam
kultur pada umumnya.
Berjalin dengan faktor luar yang ditimbulkan oleh politik kolonial Belanda dalam
pembangunan prasarana, ekonomi, pendidikan yang semata-mata diabdikan
demi perluasan pasar kapital serta intensifikasi eksploitasi kolonialnya, maka
terjadilah proses peleburan atau integrasi di satu pihak, sebaliknya juga terjadi
proses pemisah-misahan atau disintegrasi pada pihak lain. Kedua-dua proses ini
berjalan, baik secara “sukarela” maupun secara paksa. Maka melatar-belakangi
proses kejadian tersebut timbullah pula berbagai masalah historis, ekonomis dan
sosiologis. Di antaranya ialah penciptaan watak politik yang istimewa dan jelas
bagi bahasa Melayu, yang merupakan lingua-franca sukubangsa-sukubangsa
yang tinggal di Nusantara itu. Dalam arti kata sesungguhnya, di atas telah
dinyatakan bahwa lingua-franca itu sudah dipaksa oleh kolonialisme untuk
melakukan kontak sosial seluas-luasnya dan sejauh-jauhnya. Secara kias benar
jugalah, bahwa kontak sosial yang harus dimainkan oleh lingua-franca tersebut
kiranya akan “sejauh dan seluas blorong kolonialisme menancapkan kuku-kuku
penindasannya, serta gerigi-gerigi pengisapannya.”
Jalan-jalan baru ke arah kekuasaan telah dibuka. Kedok-kedok baru pun telah
mereka pakai di wajah sendiri. Namun, seperti kearifan pepatah Perancis
mengatakan: “plus ça change, plus c’est la même chose”.
Perjuangan melawan kolonialisme Belanda terus-menerus berkobar di
Indonesia, baik perjuangan bersenjata, politik, ekonomi maupun perjuangan
yang bersifat kultural. Babak-babak sejarah Indonesia penuh dengan kisah-kisah
pemberontakan rakyat dari berbagai sukubangsa dan penjuru Nusantara. Dapat
dikatakan tidak ada satu sukubangsa pun di Indonesia yang tidak pernah
melakukan pemberontakan melawan kolonialisme. Keadaan ini merupakan
syarat yang mempercepat dan memperkuat hasrat bersatu dari sukubangsa-
sukubangsa di Indonesia.
Dari ikhtisar yang dikemukakan oleh kedua ilmuwan itu kita bisa melihat adanya
sukubangsa-sukubangsa yang “penting”, yang masing-masing memiliki bahasa
dan pola serta palaran kebudayaannya yang telah mengakar. Sementara itu
terdapat juga sukubangsa-sukubangsa lain, misalnya Lampung Abung,
Semendo, Komering, Ogan dan keturunan asing seperti Tionghoa, Arab, India,
Belanda, Erasia dan lain-lain. Di Kalimantan Barat, umpamanya, hampir
sepertiga penduduk ialah – meminjam istilah Bung Karno – “sukubangsa
Tionghoa” yang terdiri dari keturunan Tionghoa yang telah membaurkan diri
dengan kehidupan sukubangsa-sukubangsa setempat.
Prinsip-prinsip baru yang dilahirkan oleh revolusi Agustus 1945 ini, selama tidak
disalah-jalankan, justru akan memperkuat dan memberikan kemungkinan-
kemungkinan baru kepada bahasa Indonesia. Bahkan prinsip-prinsip baru itulah
yang akan membuat bahasa Indonesia bisa berkembang dan maju lebih pesat,
lebih “kaya” dan lebih “berwarna”, lebih “tinggi derajadnya”, kata Bung Hatta.[21]
Sebagai bahasa yang hingga kini masih di dalam proses pertumbuhan, bahasa
Indonesia hidup bersama-sama dengan bahasa-bahasa sukubangsa yang telah
berabad-abad lamanya melalui proses kehidupan dalam sejarah masing-masing.
“This variety, which gives so much refinement to the language, does not
however make it difficult to be spoken, because it is subjected to rules, which are
fixed and easy; nor do we know any language that is more regular and
methodical.”[23]
Kesadaran itu pada pihak lain juga akan berwujud sebagai keyakinan seluruh
sukubangsa tentang pentingnya bahasa nasional, sebagai salah satu syarat
eksistensi bahasa, dan oleh karena itu tidak boleh melarut di dalam acuan
pengaruh segala bahasa dunia apa pun. Dan dengan kesadaran demikian, maka
baik bahasa nasional maupun masing-masing bahasa sukubangsa, kedua-
duanya digunakan dan dikembangkan secara simultan. Dewasa ini tidak ada di
antara sukubangsa-sukubangsa yang berpuluh-puluh jumlahnya itu, yang
menganggap bahasa Indonesia sebagai bukan milik mereka. Walaupun di sudut-
sudut banyak desa di sana, bahasa Indonesia memang belum menjadi milik
mereka. Bahasa Indonesia telah merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari
bagi masyarakat kota – di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Tetapi
memang tidak – atau belum – demikianlah keadaannya bagi masyarakat di
setiap pelosok.
Adanya jaminan hak sama bagi semua sukubangsa, baik yang besar maupun
yang kecil, serta kesadaran kebangsaan rakyat Indonesia yang tumbuh dan
berkembang dalam proses sejarah, dimatangkan pula dalam perjuangan
kemerdekaan nasional, membuat seluruh bangsa Indonesia merasa bangga
terhadap bahasanya. Perasaan kebanggaan demikian, yang bukan masalah
linguistik, perlu dipupuk dan dikembangkan karena ia merupakan faktor penting
sebagai penjamin kesatuan jiwa dan kesatuan bangsa.
Bahasa indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia (RI) yang tercantum dalam Pasal 36
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Di dalam UUD 1945 tertulis bahwa “Bahasa
Negara ialah BahasaIndonesia”. Bahasa Indonesia juga disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 pada bagian
ketiga yang berbunyi“kami poetra dan poetri indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa in
donesia”.
Faktor ideal berkaitan dengan cita-cita bangsa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda 1928. Dengan
adanya faktor idial bahasa Indonesia tidak tergugat kedudukannya kerena secara nyata berkait erat
dengan cita-cita mewujudkan kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini Indonesia menjadi pilar ketiga yang
menopang kebangsaan Indonesia.
Setiap ancaman terhadap kedudukan bahasa Indonesia dapat diperhadapkan dengan Sumpah Pemuda
1928. Pengingkaran terhadap bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap sumpah
suci para pemuda itu. Selama manusia Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia ia tidak
dapat mengingkari tuntutan sumpah suci itu untuk “Menjunjung bahasa kesatuan, bahasa Indonesia”.
Faktor pertama disebut faktor idial karena faktor ini menyerap cita-cita kebangsaan yang terbentuk
dalam pengalaman perlawanan terhadap penjajah. Cita-cita bangsa yang memungkinkan berbagai suku
dengan berbagai latar belakang budaya dan agama bersatu menghadapi ancaman dari kolonialisme dan
menjadi senjata ampuh bagi pejuang kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Dengan memahami
dan menghayati cita-cita kebangsaan, kita akan merasa betapa pentingnya bahasa Indonesia itu.
Faktor idial ini menjadi dasar kuat bagi kedudukan bahasa Indonesia diantara bahasa-bahasa nusantara.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa selepas dicetusnya Sumpa Pemuda 1928 berlangsung polemik
kebudayaan pada awal 1930-an. Polemik yang mempersalahkan pengembangan kebudayaan nasional
itu berlangsung dalam bahasa Indonesia dan melibatkan berbagai kelompok suku bangsa dengan
beragam orientasi pemikirannya. Polemik kebudayaan tersebut dapat dianggap sebagi uji coba bagi
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antar budaya dan atar suku. Polemik itu membuktikan
bahwa bahasa Indonesia dapat berfungsi dengan baik sebagai alat pengungkap gagasan yang andal
untuk menjembatani pertukaran pikiran yang berkmbang dalam masyarakat. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa kedudukan bahasa Indonesia diperkuat kedudukannya oleh peristiwa sejarah
pemikiran bangsa yang berlangsung ketika semangat perjuangan kebangsaan memasuki tahap yang
menentukan.
Faktor konstitusional itu amat penting karena memberikan peluang bagi terselenggaranya upaya
pengembangan bahasa Indonesia. Dapat dikatakan faktor konstitusional memperhadapkan kita dengan
keharusan memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia agar segala fungsi bahasa Indonesia
dapat terselenggara dengan baik. Untuk itu, kita dituntut untuk bersikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Sikap positif itu, antara lain, dapat diwujudkan dalam bentuk kesediaan kita mengadakan
berbagai upaya pembinaan dan pengembangan bahasa.
UUD 1945 sebagai faktor konstitusional yang memberikan landasan konstitusi bagi kedudukan bahasa
Indonesi. Hal ini bahwa untuk keperluan pengembangan bahasa ada titik pangkal yang memiliki
kekuatan yuridis yang tidak tergugat. Yang penting adalam kesadaran peyelenggara negara untuk dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya fungsi bahasa Indonesia dengan baik. Landasan
ini tentulah dapat diperkongkrit lagi dengan putusan-putusan yang lebih operasional yang dapat
melandasi kebijakanaan pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.
Tentulah faktor UUD 1945 ini tidak akan mempunyai arti kalau penyelengagaran negara dan penampung
suara rakyat dalam lembaga legislatif tidak tanggap akan adanya faktor yang sangat penting ini.
Segalanya terpulang kepada manusia yang menjalankan konstitusi itu.
Faktor kebahasaan melekat pada bahasa Indonesia sendiri. Faktor kebahasaan berupa kenyataan bahwa
bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa perhubungan sejak berabad-
abad yang lalu. Faktor menempatkan bahasa Indonesia mempunyai wilayah persebaran yang lebih luas
dibandingkan dengan bahasa nusantara lainnya. Barangkali dasar faktor yang menjadi alasan mengapa
bahasa Melayu dipilih untuk menjadi bahasa persatuan dan dinyatakan sebagai bahasa Indonesia.
Meluasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia tentulah tidak dapat dilepaskan dari karakter penutur
bahasa Melayu yang dikenal suku bangsa perantau. Selain itu, tentulah bahasa relatif lebih mudah
dipelajari dibandingkan dengan bahasa nusantara lainnya. Meluasnya wilayah pemakaian bahasa
Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu, antara lain, dikemukakannyan berbagai dialek
bahasa tersebut, seperti Melayu Banjar, Melayu Menado, dan Melayu Betawi.
Tadi dinyatakan bahwa bahasa Indonesia relatif lebih mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa
nusantara yang lainnya. Hal ini memang relatif, tetapi untuk menyebutkan salah satu contoh adalah
dalam hal tidak dikenalnya dalam bahasa Indonesia tingkat tutur bahasayang dikenal dalam bahasa Jawa
dan Sunda yang memiliki pendukung jauh lebih banyak. Fakta menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa berwatak demokratis. Berdasarkan faktor kebahasaan yang telah diuraikan dapat disimpulkan
bahwa bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang mantap. Jadi, dapatlah dinyatakan bahwa
faktor kebahasaan turut memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Dari studi kekerabatan
bahasa tampak kata-kata Melayu menyebarkan di dalam kata bahasa nusantara lainnya.
Beberapa faktor yang mendukung kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai yang diuraikan di
atas tentulah masih dapat diperluas lagi, misalnya dengan menyebut pemakaiaan bahasa Indonesia
dalam dunia pergerakan politik pada masa pergerakan nasional dan juga pemakaiaan bahasa itu dalam
media massa pada zaman pergerakan. Tentulah faktor kesejarahan turut memperkuat kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia. Demikian juga sikap pemerintahan penduduk Jepang dalam penggunaan
bahasa Indonesia pada masa pendudukan turut mematangkan dan sekaligus memantapkan kedudukan
dan Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Kalau Anda menyimak pembicaraan tentang faktor-faktor yang memperkuat kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Anda dapat merumuskan secara singkat
faktor-faktor tersebut sebagai berikut.
1. Sumpah Pemuda 1928 merupakan faktor ideal yang memperkuat kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional.
2. UUD 1945 Bab XV Pasal 36 merupakan konstitusional yang memperkuat kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
3. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang sudah menjadi lingua franca selama berabad-
abad sehingga daerah penyebarannya sangat luas.
4. Bahasa Indonesia memiliki watak demokratis sebagaimana bahasa Melayu sehingga relatif lebih
mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa serumpun yang memiliki tingkat tutur.
Daftar Kata Baku - Tidak Baku
imbau himbau
andal handal
risiko resiko
praktik praktek
utang hutang
izin ijin
aktivitas aktifitas
analisis analisa
antre antri
asas azas
atlet atlit
besok esok
bus bis
cedekiawan cendikiawan
ekstrem ekstrim
hafal hapal
embus hembus
telanjur terlanjur
Anda (A besar) anda
sampaikan haturkan
ijazah ijasah
Februari Pebruari
November Nopember
sekadar sekedar
kata baku: nasihat kata tidak baku: nasehat
penasihat penasehat
istri isteri
selebritas selebriti
wali kota (dipisah) walikota
paham faham
pikir fikir
hafal hapal
silakan silahkan
napas nafas
isap hisap
karier karir
khotbah khutbah
konkret kongkrit
kompleks komplek
Mengapa kalimat (1) dan (2) di atas tergolong bahasa yang baik tetapi tidak
benar? Jika demikian, apakah ada bahasa Indonesia yang tidak baik tetapi
benar? Apakah ada bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar?
Pertanyaan itu kerap disampaikan oleh siswa kepada guru bahasa Indonesia.
Guru menjawab, “Ya, bentuk-bentuk yang Anda tanyakan tersebut ada dalam
bahasa Indonesia.” Pertanyaan itu muncul karena para siswa pada umumnya
lebih akrab dengan slogan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Jika bahasa sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi
lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang
diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita
saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, dapat dengan
lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang
tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang
dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar.
(4) Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah Abang dan berapa
ongkosnya?
Contoh di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang benar, tetapi tidak baik
karena tidak cocok dengan situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Untuk
situasi seperti di atas, kalimat (5) dan (6) berikut akan lebih tepat.
(5) Berapa nih, Bu, bayemnya?
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa
seperti ini hari merupakan bahasa yang baik di kalangan para makelar karcis
bioskop, tetapi bentuk ini bukan merupakan bahasa yang benar karena letak
kedua kata dalam frasa ini terbalik.Karena itu, anjuran agar kita “berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa
yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah
bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar”
mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan
dan kebenaran. (Sumber: Alwi, Hasan et al. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas & Balai Pusataka.)
Contoh kalimat yang baik tetapi tidak benar :