Anda di halaman 1dari 13

Konsistensi Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Perjalanan Sejarah Bangsa Indonesia

5 Desember 2009 Disimpan dalam Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Sejarah Bahasa

Penulis: Anwar. Dimuat di situs Pusat Bahasa.

Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 13.667 pulau. Penduduknya memiliki bahasa dan dialek lisan dan tertulis sekitar 250 jenis (Asmito, 1988: 48; Poesponegoro, 1984: 283; Alisjahbana, 1988: 203). Sebelum Indonesia merdeka Bahasa Indonesia perperan sebagai bahasa pemersatu antar etnis di Nusantara, dan secara historis Bahasa Indonesia merupakan bagian dari Bahasa Austronesia. Menurut Pater Wilhelm Schmidt bahwa di Asia Tenggara terdapat satu induk bahasa yang besar yakni Austro-Asia dan keluarga Bahasa Austronesia, terdiri atas: (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Melanesia, (3) Bahasa Polinesia, dan (4) Bahasa Mikronesia. Bahasa Indonesia dipakai di segenap Wilayah Nusantara, termasuk daerah-daerah di luarnya seperti Philipina, Campa, Kamboja, Madagasakan, dan Fiji (Asmito, 1988: 48).

Terdapat suatu mata rantai aktivitas masyarakat Nusantara yang mengantarkannya untuk mengadopsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dunia bisnis, pendidikan, politik, dan agama. Perkembangan Bahasa di daerah-daerah Melayu menjadi Bahasa Indonesia diawali dengan pula bahasa dalam

perdagangan

pelabuhan

Nusantara,

kemudian

dipergunakan

penyebaran agama Islam. Pertentangan-pertentangan setempat yang timbul sehubungan dengan kedatangan kaum kolonialis Eropa dan berakhir dengan perjanjian dagang maupun politik juga menggunakan Bahasa Melayu di samping Bahasa Belanda (Poesponegoro, 1984: 279).

Di bidang pendidikan, setelah didirikannya sekolah bumiputra oleh Pemerintah Hindi Belanda pada mulanya menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. tetapi sejak abad XX. Untuk kepentingan daerah jajahan yang memerlukan tenaga rendahan yang mengerti Bahasa Belanda, akhirnya mengeser Bahasa Melayu. Meskipun terjadi persaingan dalam merebut pengaruh, tetapi karena sesuai dengan jiwa dan semangat nasionalisme dan patriotisme, justru Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan, artinya pemanfaatan Bahasa Indonesia menunjukkan suatu perjuangan untuk melawan kaum penjajah yang memaksakan kehendaknya melalui penyebaran Bahasa Belanda. Dalam persaingan tersebut, Bahasa Indonesia berhasil menarik simpati

masyarakat Indonesia, dan menempatkannya sebagai alat pemersatu untuk berjuang secara politik, ideologi, dan budaya.

Proses Persebaran Bahasa Indonesia


Dinamika individu dan kelompok-kelompok tertentu suku bangsa yang melakukan pelayaran niaga antar pulau bagaikan membangun jembatan terapung antar pulau dan suku bangsa yang ada. Mereka membawa inovasi budaya yang dikomunikasikan melalui Bahasa Indonesia. Peran pelayar niaga antar pulau ini mulai tumbuh di Asia Tenggara sejak abad pertama masehi. Pada masa itu telah dikenal dua jalur perdagangan, yaitu: (1) jalur sutera atau jalur darat yang sudah ada sejak abad V SM, menghubungkan Asia Timur, Asia Barat Daya, Asia Selatan dan Eropa, (2) jalur rempah-rempah atau jalur laut yang mulai berkembang sejak abad I M, menghubungkan antara Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat Daya, Afrika, dan Eropa (Moehadi, 1986: 195).

Menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan perkembangan Bahasa Indonesia adalah perdagangan melalui laut yang banyak dimainkan oleh para pedagang nusantara sejak abad VII M, ditandai dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kemudian semakin berkembang pada abad XIII sampai dengan abad XVII periode perkembangan agama dan kerajaan-kerajaan Islam hingga menjelang datangnya bangsa-bangsa Imperialis Eropa di Nusantara. Kurung waktu yang panjang itu pusat perdagangan di Asia Tenggara berada di sekitar Selat Malaka (asal Bahasa Melayu). Kekuasaan Sriwijaya atas Selat Malaka baik di Kepulauan Maupun di Semenanjung Melayu antara abad VII-XII, bahkan sampai di Tanah Genting Kra (Thailan), Tongkin dan Srilangka, menempatkan Bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan, politik, dan budaya. Peran tersebut dilanjutkan oleh Kerajaan Melayu di Jambi kemudian pindah di Minangkabau, dan selanjutnya Kerajaan Johor. Pada abad XIV muncul kerajaan Malaka sebagai pemegang kunci perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, sekali lagi Bahasa Melayu memegang peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat dinamis yang melakukan aktivitas di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu.

Pada periode tersebut para pedagangan Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti Cina, India, Philipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskan Afrika Selatan (Moehadi, 1986: 196). Aktivitas perdagangan tersebut menguntungkan perkembangan Bahasa Indonesia yang mengakar pada Bahasa Melayu dan merupakan milik masyarakat yang ada di pesisir pantai dan pulau-pulau di sekitar Selat Malaka. Para pelayar niaga yang melakukan kegiatan perdagangan di daerah ini dituntut untuk memahami Bahasa Melayu sebagai pengantar dalam transaksi dagang, maka tumbuh dan berkembanglah Bahasa Melayu sebagai bahasa bisnis, selanjutnya para pedagang tersebut dalam perjalanan dan trasaksi di daerah lain Nusantara termasuk di daerah-daerah pesisir

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau di Kawasan Timur Nusantara, sampai di Philipina Selatan, tetap menggunakan Bahasa Indonesia.

Di setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus makhir berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi. Peran pedagang Bugis, Buton, Makassar, dan Mandar (BBMM) dalam mentrasformasikan pemakaian Bahasa Indonesia di wilayah-wilayah kerajaan pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara untuk selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Anwar, 2000: 699; Zuhdi, 1997: 5). Para pedagang BBMM sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten mempertahankan Bahasa Indonesia, selain Bahasa Bajo (Anwar, 2003: 214).

Aktivitas perdagangan suku BBMM dan Bajo dapat dikatakan dominan sejak abad XIV dan secara faktual ditemukan beberapa kerajaan pantai didirikan oleh pelayar/perantau Bugis/Makassar, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, di Semenanjung Melayu, di Kesultanan Yogyakarta dikenal pasukan Bugis, di Cirebon bagian dari kesatuan pertahanan Kesultanan Cirebon, juga dikenal Pasukan Bugis yang dapat menyamar di wilayah musuh. Dengan demikian para perantau Bugis/Makassar telah ikut memainkan peran penting dalam penyebaran Bahasa Indonesia atau berfungsi sebagai change agent yang berhasil mentrasformasikan keterampilan berbahasa Indonesia ke berbagai wilayah yang dikunjunginya di Nusantara dan Asia Tenggara.

Di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan para pengajar di sekolah bumiputra menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia penggunaan Bahasa Indonesia sebagai media utama dalam komunikasi edukatif baik secara lisan maupun tulisan. Ditemukannya naskah-naskah kuno di beberapa kerajaan Nusantara, khususnya yang bercorak Islam menggunakan aksara Arab Melayu atau Bahasa Indonesia (Melayu).

Dalam bidang pendidikan keagamaan, Bahasa Indonesia bersaing dengan Bahasa Arab, sehingga di beberapa daerah istilah Melayu sama artinya dengan Islam (Alisjahbana, 1988: 209). Misalnya, Orang Dayak yang beralih dari kepercayaan kaharingan (animisme) menjadi pemeluk agama Islam, selanjutnya menamakan dirinya Suku Melayu, sedangkan yang beragama Kristen atau aliran kepercayaan tetap disebut Dayak.

Dalam

aspek

politik,

bahasa

Indonesia

telah

memainkan

peran

yang

cukup

besar

baik

prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Para raja khususnya di daerah-daerah pesisir, memahami dan mengaplikasikan bahasa Indonesia dalam sistem komunikasi perpolitikan negara, di beberapa kerajaan terdapat jabatan Juru Bicara Pemerintah, pemangku jabatan ini harus memahami beberapa bahasa terutama Bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia pada saat itu dipahami sebagian besar para pedagang yang berkunjung ke kerajaan tersebut. Peran ini cukup signifan dalam perkembangan pemakaian bahasa Indonesia lebih lanjut kepada masyarakat luas pada masa prakemerdekaan. Ekspansi kerajaan-kerajaan Besar seperti Sriwijaya yang menguasan sebagian Besar wilayah Nusantara bagian Barat dan Semenanjung Melayu, disusul Kerajaan Melayu, Kerjaan Johor, Kerajaan Malaka, Kerjaan Makassar, secara tidak langsung juga menyebarkan pemakaian Bahasa Indonesia di wilayah-wilayah taklukannya atau wilayah mitra bisnisnya.

Pada masa pergerakan nasional organisasi pergerakan nasional seperti, Budi Utomo, Saerakat islam, dan Indische Partij, ikut berjasa dalam menyebarkan Bahasa Indonesia. Budi Utomo dan Indische Partij dalam kongres dan publikasinya mempergunakan Bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda, Sarekat Islam menggunakan Bahasa Melayu dan Jawa.

Pada awal pendudukan Jepang, dalam usahanya untuk secepatnya menggerakkan seluruh bangsa Indonesia untuk membantu dalam Perang Asia Timur Raya, maka mereka membawa Bahasa Indonesia sampai ke desa-desa (Alisjahbana, 1988: 206). Demikian pula perubahan nama dan istilah-istilah dari Bahasa Belanda kepada nama dan istilah dalam Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menguntungkan dalam perkembangan Bahasa Indonesia, baik penyebarannya maupun pemanfaatannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Peranan Bahasa Indonesia dalam Pencerdasan Bangsa


Bahasa Indonesia dalam rangkaian perjalanan sejarah Bangsa Indonesia telah memainkan peran penting dalam rangka pencerdasan bangsa. Istilah pencerdasan dalam tulisan ini tidak hanya terbatas pada domain kognitif, tetapi juga pada domain afektif dan psikomotorik. Dalam domain afektif dijumpai dari kasus perubahan nama suku Dayak yang bergama Islam menjadi Suku Melayu, ini menunjukkan bahwa mereka telah lentur dengan budaya Melayu termasuk di dalamnya Bahasa Melayu dan agama Islam sebagai agama orang Melayu. Domain psikomotorik, dapat dijumpai dari kemampuan menggunakan dan mengembangkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan bahasa-bahasa etnis yang ada di Nusantara. Dengan demikian, berkembanglah Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu identitas bangsa yang mendiami wilayan Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Perserikatan Pelajar Indonesia dalam kongresnya tahun 1918 di Negeri Belanda mengusulkan penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia

(Poesponegoro, 1984: 280). Di Indonesia sendiri, baik sebagai upaya pencerdasan bangsa maupun sebagai alat politik/perjuangan, pers berbahasa Melayu sangat besar peranannya, karena dapat menjangkau penduduk bumiputra dalam jumlah yang besar, di samping orang Belnada dan Cina. Medan Prijaji, meingguan kemudian menjadi harian, adalah yang terpenting dari rangkaian perkembangan awal pers Indonesia. Bukan saja karena pemilik modal dan pengelolanya orang Indonesia, tetapi isinya juga menunjukkan kesadaran penggunaan Bahasa Melayu sebagai media untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai aspek kedidupan masyarakat pada saat itu. Melihat perkembangan Bahasa Melayu yang begitu cepat, akhirnya pemerintah Hindia Belanda bereaksi khususnya terhadap pers yang berbahasa Indonesia, misalnya larangan penerbitannya.

Melalui pendidikan persekolahan, NIS Kayu Tanam dan Taman Siswa konsisten dalam mengajarkan Bahasa Melayu, selain Bahasa Daerah dan Bahasa Belanda. Suatu Kongres Bahasa di Surakarta tahun 1938 antara lain memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga dan sebuah fakultas untuk mempelajari Bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia hendaklah dipakai sebagai bahasa hukum, dan sebagai alat dalam tukar-pikiran di dewan perwakilan. M. Husni Thamrin dalam pidatonya di Dewan Rakyat Hindia Belanda menggunakan Bahasa Indonesia, ini mendapat rekasi dari pemerintah Hindia Belanda.

Penutup
Bahasa Indonesia yang semula terbatas pada Etnis Melayu, kemudian berkembang menjadi bahasa golongan masyarakat yang silih berganti muncul dan berkembang sepanjang sejarah Indonesia. Dari bahasa pergaulan kemudian menjadi bahasa perdagangan, bahasa untuk menyebarkan agama, bahasa perjanjian dagang dan politik, bahasa pers, sastra dan politik. Selanjutnya atas dorongan pemuda dan elit Indonesia baru menjadi bahasa pembinaan nasional Indonesia.

Bagi Bangsa Indonesia yang sampai sekarang tetap konsisten menggunakan Bahasa Indonesia dalam berbagai dimensi kehidupannya, patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dikarunia bahasa sebagai alat pemersatu. Jika tidak ada Bahasa Indonesia, maka perjalanan sejarah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara akan lain, dan secara faktual Bahasa Indonesia telah membawa rahmat bagi bangsa Indonesia berupa kedamaian karena perannya sehingga mereka dapat saling mengakui kesamaan dan saling memahami perbedaan.

Daftar Pustaka

1. Alisjahbana, S.T. 1988. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. 2. Anonim. Lontarak Asal-Usul Suku Bajo. 3. Anwar. 2000. Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.27. Th. V. Jakarta: Balibang Depdiknas. (hal. 694-710). 4. Anwar. 2003. Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Keluarga Nelayan Suku Bajo. Disertasi Doktor pada PPs UPI. Bandung, tidak diterbitkan. 5. Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: P2LPTK Depdikbud. Kendari Kespres, 22 September 2004. 6. Moehadi. 1986. Sejarah Indonesia Modul 1-3. Jakarta: Universitas Terbuka. 7. Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: alai Pustaka. 8. Zuhdi, S. 1997. Sulawesi Tenggara dalam jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad XVII-XVIII. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Kendari, 8-9 September 1997.

http://polisieyd.wordpress.com/2009/12/05/konsistensi-penggunaan-bahasa-indonesiadalam-perjalanan-sejarah-bangsa-indonesia/

Benarkah Berbahasa Indonesia Kurang Bergengsi????


OPINI | 02 January 2011 | 15:26 578 70 4 dari 7 Kompasianer menilai Bermanfaat

Ilustrasi/Admin (www.duniapustaka.com)

Pada akhir tahun yang baru berlalu ada sesuatu yang agak menyentak perasaan saya yaitu ketika seorang teman bertanya pada saya padanan bahasa Inggrisnya sebuah kata. Teman itu ingin membalas surat pelanggannya dan merasa kurang elok kalau keseluruhan kalimat suratnya itu hanya berisi kata-kata bahasa Indonesia. Sebuah pertanyaan besar apakah memang bila kita tidak menyisipkan bahasa asing terutama bahasa Inggris ke kalimat-kalimat maka akan terlihat kurang moderen atau kurang bergengsi? Sebenarnya sudah lama pertanyaan ini memenuhi hati dan pikiran. Mengapa banyak yang gengsi menggunakan bahasa Indonesia padahal pemakai bahasa itu lebih dari 200 juta orang. Sebuah bahasa yang telah berhasil mempersatukan lebih dari 300 suku bangsa yang menghuni nusantara. Kira-kira 20 tahun yang lalu seorang teman, yang lama tinggal di berbagai belahan dunia lain (karena ia mengikuti ayahnya yang bertugas di Depertemen Luar Negeri) bercerita betapa lucunya ketika adiknya berbantah-bantahan dengan seorang warga India tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing bangsa. Katanya, setelah adiknya itu berseteru dengan teman Indianya agak lama ia bingung mencari hal yang bisa dibanggakan tentang Indonesia. Namun tiba-tiba adik teman saya itu mengatakan kepada lawan bicaranya ada satu hal yang tidak bisa ditandingi oleh bangsa India yaitu BAHASA INDONESIA . Sebuah bahasa yang bisa mempersatukan banyak sekali suku bangsa yang terpencarpencar di ribuan pulau dan dipisahkan oleh lautan luas. Setelah mendapat sangahan jitu itu si India akhirnya diam dan menyerah.

Hampir semua media massa sangat tidak konsisten dalam berbahasa. Banyak mata acara diberi judul dengan bahasa asing padahal acara itu sesungguhnya disuguhkan dalam bahasa Indonesia. Sebuah ironi yang menunjukkan perasaan rendah diri kita sebagai bangsa yang jumlahnya sangat besar. Anehnya malah penyiar-penyiar yang berbasis di luar negeri memberikan laporannya dalam bahasa Indonesia utuh, lihatlah para penyiar VOA (Voice Of America) seksi Indonesia jarang menyisipkan bahasa Inggris padahal jelas-jelas bosnya berbahasa Inggris. Aneh pula Kompasiana yang nyata-nyatanya milik bangsa Indonesia masih memakai bahasa Inggris, bacalah mottonya sharing and connecting, apa tidak bisa diganti dengan kata berbagi dan berhubungan atau sinonim lain yang lebih enak. Sementara situs asing berlomba-lomba menterjemahkan seluruh isinya ke dalam bahasa Indonesia. Mereka sadar bahwa Indonesia itu adalah pasar yang sangat luas dan potensial, mengapa Kmpasiana tidak mendahului mereka? Sementara itu Kompasianer yang berdomisili di luar negri juga jarang menggunakan istilah asing dibandingkan yang tinggal di Indonesia. Saya tidak anti bahasa asing, juga tidak benci bahasa Ingris. Saya juga menyesal tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Saya sadar bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Saya hanya prihatin saja, bagaimana akan memiliki pemahaman yang baik bila kita hanya mengerti sepotong-sepotong. Bahasa Inggris kurang lancar, bahasa Indonesiapun tidak paham . Padahal kelancaran berbahasa juga menunjukkan logika si pengguna bahasa. Sehingga bila terbiasa menggunakan kalimat atau ungkapan campur aduk maka audiensi atau lawan bicara akan sulit memahaminya. Saya teringat kekhawatiran seorang profesor dan guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; Bapak Slamet Imam Santoso (alm) terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Berkali-kali beliau menyesalkan mengapa penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin hari semakin berkurang baik lisan maupun tulisan. Beliau telah lama wafat, seandainya beliau masih hidup saya yakin bahwa kegelisahan beliau itu pasti akan bertambah-tambah. Hampir semua jurnalis stasiun televisi yang mengudara di Indonesia membawakan acaranya dengan bahasa campur aduk. Hanya stasiun Daai TV saja yang saya perhatikan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (termasuk dalam penggunaan tanda baca dan intonasi suara). Stasiun yang sering mengkritisi keadaan sosial politik Indonesia juga bangga sekali dengan ungkapan-ungkapan asing, padahal mereka juga telah mengisi sebagian slot acaranya dengan bahasa asing seperti Inggris dan Mandarin. Apakah kedua slot itu tidak cukup? Mengapa pula dalam mata acara lain tetap menggunakan bahasa campur aduk? Lihat acara hiburan (infotainment) di televisi, sering artis/aktor menyelipkan bahasa Inggris dalam pernyataan-pernyataan mereka dengan penuh percaya diri, padahal bahasa Inggisnya juga tidak benar. Juga lihat para politisi sering sok berbahasa asing, tapi sering pula bahasa asing yang dipakai salah. Sebuah fenomena yang aneh tapi nyata. Terkadang saya berpikir mengapa kita tidak menyewa saja orang asing untuk memimpin dan mengatur negara barangkali negara ini akan lebih maju. Toh selama ini kita selalu tidak percaya diri dengan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kita baru mengamuk dan menunjukkan

nasionalisme bila karya kita dicuri asing. Apakah kita juga akan bangga berbahasa Indonesia setelah bahasa ini di klaim bangsa asing ;(( Saya hanya berharap di awal tahun 2011 ini timbul kesadaran pada semua pihak terutama yang berkecimpung di bidang media massa agar kembali menggalakkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengapa saya sering menyebut media massa dalam artikel yang saya tulis. Jawabannya adalah karena dari media massa inilah penyebaran informasi bermula dan sangat mempengaruhi hampir setiap anggota masyarakat. Konsistensi berbahasa akan menunjukkan jati diri sebenarnya. Saya rasa orang asing akan mencibir bila kita berbahasa Indonesia setengah - setengah tapi berbahasa asing juga tidak becus. Apalagi yang bisa kita banggakan? Semoga menjadi bahan renungan yang bermamfaat.

http://bahasa.kompasiana.com/2011/01/02/benarkah-berbahasa-indonesia-kurangbergengsi/

Definisi Bahasa Indonesia Secara definitif, bolehlah dikatakan bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakatIndonesia sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, atau gagasan kepada lawan bicaranya. Caranya bisa secara langsung, atau melalui berbagai media seperti dalam bentuk tulisan. Intinya masyarakat Indonesia berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sebetulnya, kita dihadapkan pada permasalahan klise tentang bahasa.Alah bisa karena biasa, begitu pepatah mengatakan. Maka, boleh pula kita anggap bahwa bahasa Indonesia adalah sesuatu yang mutlak dikuasai oleh orang yang tinggal di Indonesia. Artinya, masyarakat Indonesia-lah yang harus belajar bahasa Indonesia, sesuai dengan kurikulum yang telah ada sejak dari tingkat SD. Setidaknya, bagi orang yang pernah menetap selama beberapa tahun. Namun, benarkah demikian? Dilema Pengguna Bahasa Ajip Rosidi, seorang budayawan dan pemerhati bahasa Indonesia menuangkan opininya dalam beberapa tulisannya dalam sebuah media cetak harian. Betapa bahasa Indonesia masih membutuhkan lebih banyak perhatian dalam perkembangannya. Bahkan, tampak bahwa para duta bahasa Indonesia yang berkewajiban memberikan sosialisasi secara tidak langsung malah berkontribusi merusak kaidah. Seharusnya ini tidak hanya menjadi bahan perenungan, tetapi menjadi permasalahan yang harus segera dipecahkan. Ada kecemburuan beberapa penulis ketika mengetik menggunakan program pengolah kata berbasis windows. Dalam program ini terdapat alat proofing sebagai spell and grammar checker alat pemeriksa ketepatan ejaan dan tata bahasa. Ternyata, setelah ditelaah lebih dalam, kita dapat melihat bahwa di sana diberikan penjelasan ketatabahasaan yang cukup dapat dipahami ketika bahasa yang digunakan, dalam hal ini tentu bahasa Inggris, kurang tepat. Misalnya, jika kita menggunakan kata yang tidak dikenal dalambahasa Inggris, akan muncul garis di bawah kata tersebut. Atau, ketika urutan kalimat yang ditulis tidak tepat atau secara tata bahasa kalimat tersebut tidak tepat, akan muncul garis hijau. Ketika diklik kanan, akan muncul menu untuk melihat apa yang salah dalam penulisan kita.

Ini adalah satu langkah konkret yang sangat mendukung proses sosialisasi ketepatan kaidah. Apalagi, jutaan orang berbahasa Inggris melalui tulisan dengan bantuan Microsoft. Betapa terbantunya pengguna bahasa yang ketika menulis diberi koreksi langsung yang akan membuatnya lebih peka terhadap konsistensi berbahasa. Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris Ini bukanlah sebuah pujian atau upaya pendeskreditan satu bahasa terhadap bahasa lainnya. Pada dasarnya, setiap bangsa diciptakan memiliki potensi berbahasa yang sama. Semua bahasa memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang seyogianya dapat diterima dengan lapang dada oleh penggunanya masing-masing. Tidak ada yang lebih sulit, tidak ada yang lebih mudah. Bahasa adalah sesuatu yang bersifat praktikal yang dapat dipelajari oleh bangsa mana pun. Apalagi, oleh penggunanya sendiri. Tampaknya, pengguna bahasa Inggris, khususnya para ahli bahasa dan pemerhati bahasanya begitu peduli terhadap perkembangannya. Mereka berupaya agar bahasa Inggris dikenal dan diakrabi tidak hanya oleh penggunanya sendiri, tetapi oleh banyak bangsa lain dengan memberikan langkah-langkah mudah dalam mempelajarinya. Pembelajar dan pengguna bahasa Inggris dimanjakan dengan fasilitasyang sangat akrab dengan keseharian seperti contoh di atas. Jika perlu, setiap detik pengguna dan pembelajar bahasa selalu dipalingkan kepada ketepatan kaidah berbahasa. Hal ini membuat bahasa Inggris seolah-olah bisa lebih mudah dikuasai. Software Bahasa Indonesia Dulu, sempat terdengar kabar bahwa ada program semacam spell and grammar checker untuk bahasa Indonesia. Namun, kelihatannyaprogram tersebut kurang populer sehingga masyarakat pengguna bahasa Indonesia kurang (baca: tidak) mengenalnya. Seandainya itu ada, lalu semua pihak yang berkepentingan menyosialisasikannya, setidaknya kerusakan bahasa Indonesia berubah menjadi perkembangan yang positif sekalipun lambat. Apalagi, dengan adanya software ini, proses belajar bahasa Indonesia tentu akan jauh lebih mudah. Memang bahasa berkembang setiap saat, seiring dengan perkembangan penggunanya. Perilaku bahasa pun bergantung pada perilaku penggunanya.

Namun demikian, perlulah kiranya diletakkan dasar-dasar tata bahasa yang kuat dalam otak pengguna bahasa tersebut. Bahasa mencerminkan penggunanya. Sebagai pengguna bahasa Indonesia, dalam diri kita telah tumbuh kemampuan dasar berbahasa Indonesia sebagai sebuah bawaan sejaklahir. Ibu kita memberikan pengajaran berbahasa Indonesia, lingkungan memberikan pembelajaran bahasa Indonesia, dan banyak unsur lain pun demikian. Namun, telah optimalkah upaya untuk menertibkannya? Langkah Konkret Belajar Bahasa Indonesia Membudayakan bahasa sendiri berkesan mudah, tapi kenyataannya tidak juga. Sangat sedikit masyarakat kita yang mau belajar bahasa Indonesia dengan baik. Sangat sedikit yang mau masuk jurusan Sastra Indonesia dibanding Sastra Inggris saat kuliah. Namun, ada langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan agar bahasa Indonesia lebih dikenal oleh masyarakatnya sendiri adalah:

Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar meski tidak terlalu formal sekalipun secara lisan. Membuat tulisan di blog, sms, atau status pada social mediatertentu berdasarkan kaidah bahasa Indonesia yang benar. Tidak masalah kalau harus disingkat-singkat. Mengurangi atau bahkan tidak lagi menggunakan bahasa-bahasa alay atau gaul yang makin merusak tatanan bahasa Indonesia. Paling tidak, kita harus menghargai upaya para pendahulu kita yang telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sehingga Indonesia memiliki identitas yang bisa dibanggakan.

http://www.anneahira.com/belajar-bahasa-indonesia.htm

Konsistensi Berbahasa
Fenomena penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang terjadi di masyarakat sekarang ini sungguh beragam. Mulai dari pencampuradukan penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang digunakan di media massa, di papan reklame maupun nama tempat usaha sampai pada penggunaan kosakata bahasa Inggris tanpa padanan bahasa Indonesianya. Perhatikan contoh berikut. (1) Pencampuradukan kosakata bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia pada papan reklame yang berbunyi Discount Spesial untuk Pemegang Kartu, Kenali Merchant Kami. Kata discount sebaiknya diganti dengan kata diskon dan kata merchant diganti dengan kata produk. Pesan pada papan reklame tersebut menjadi Diskon Spesial untuk Pemegang Kartu. Kenali Produk Kami. (2) Pencampuradukan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kata. Sering kita temukan istilah mendownload atau diupload. Sebaliknya, dalam prinsip konsistensi kita menggunakan istilah bahasa Indonesianya. Kata download dipadankan menjadi unduh dan kata upload dipadankan menjadi unggah. Kedua istilah tersebut menjadi mengunduh dan diunggah. (3) Penggunaan bahasa Inggris di dalam media cetak yang terkadang dalam menggunakan bahasa Inggris tanpa mencantumkan padanan bahasa Indonesianya. Seperti dikutip dari Kompas (tanggal 27 Mei 2008, halaman 36), kata platform dalam kalimat Pagi buta itu dari sebuah platform beratap sirap di tengah hutan saya menyaksikan keajaiban berupa seekor burung cantik.. Kata platform mungkin sudah umum tetapi sebaiknya disertai dengan padanan bahasa Indonesianya yakni panggung yang ditulis di dalam kurung setelah kata platform. Penggunaan bahasa yang kurang tepat hendaknya menjadi pusat perhatian kita karena bagian dari proses pembelajaran masyarakat. Kita diharapkan tidak boleh melakukan kesalahan berbahasa. Apabila kita melakukan kesalahan berbahasa, masyarakat akan mudah meniru kesalahan berbahasa tersebut. Walaupun kita kritis tetapi tidak mengungkapkannya, kesalahan tersebut tetap tertanam dalam pikiran masyarakat. Apalagi kita tidak bisa menolak pengaruh besar dari globalisasi yang mulai menenggelamkan keberadaan bahasa Indonesia. Pernah tercatat dalam data Pusat Bahasa bahwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, hanya sekitar 18,7 persen atau sebanyak 32,607 juta jiwa sebagai pemakai bahasa Indonesia. (www.kompas.com, 16 November 2007). Walaupun demikian, kuncinya tetap pada konsistensi kita dalam menggunakan bahasa apapun sesuai dengan fungsinyabahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa Daerah sebagai bahasa ibu. Sejurus dengan semangat 100 tahun kebangkitan nasional, kita harus lebih menguatkan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kita harus bangga terhadap apa yang kita miliki. Jangan sampai kita baru sadar setelah milik kita diambil orang lain. Hidup bangsa dan negara Indonesia! Merdeka!

http://ezrafaiqakirasaputra.blogspot.com/2008/09/konsistensi-berbahasa.html? zx=54fe266a47b36a0e

Anda mungkin juga menyukai