Anda di halaman 1dari 13

1

1. Anoa depressicornis (Anoa dataran rendah )

Gambar 1. Anoa dataran rendah (Low-land Anoa)


Status konservasi

Terancam (IUCN)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Hewan, Filum: Chordata, Kelas: Mamalia, Ordo:Artiodactyla,
Famili:Bovidae, Upafamili:Bovinae, Genus: Bubalus, Spesies: B. quarlesi, B. depressicornis
Nama binomial
Bubalus quarlesi, (Ouwens, 1910); Bubalus depressicornis (H. Smith, 1827)

Anoa (Bubalus spp). Anoa disebut juga sapi hutan atau kerbau kerdil. Anoa merupakan satwa
terbesar daratan Sulawesi. Terdapat dua jenis Anoa di Sulawesi, yaitu Bubalus depressicornis
(Anoa dataran rendah) dan Bubalus quarlesi (Anoa dataran tinggi). Makanan Anoa berupa buah-
buahan, tuna daun, rumput, pakis, dan lumut. Anoa bersifat soliter, walaupun pernah ditemui
dalam kelompok. Seperti umumnya sapi liar, Anoa dikenal agresif dan perilakuknya sulit
diramalkan. Karena hanya makan tunas pohon dan buah-buahan yang tidak banyak mengandung
natrium, maka Anoa harus melengkapi makanannya dengan mencari natrium ditempat bergaram.
Pada saat ini, populasi Anoa merosot tajam. Di cagar alam Tangkoko Dua Saudara Bitung
Sulawesi Utar, jumlah Anoa menurun 90% selama 15 tahun dan jenis ini sudah mengalami
kepunahan setempat (Whitten, et al. 1987; Kinnaird, 1997).
Status bubalus spp. Adalah “endangered” (genting) – EN Cl + 2a (IUCN, 2002). Kedua jenis
Anoa ini menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk punah di alam, sebab populasinya diduga
tinggal kurang dari 2500 individu dewasa dan populasi hewan ini terus menurun.
Ciri-ciri Anoa
Tubuh Anoa berukuran sekitar 1 meter dan memiliki berat 150-300 kg serta anak Anoa
dilahirkan sekali setahun. Warna bervariasi dari abu-abu hingga coklat tua dan kaki keputih-
putihan.
Penyebab Kepunahan dari Anoa

Penyebab semakin berkurangnya populasi Anoa karena habitat hidup Anoa semakin terdesak
untuk pembukaan lahan. Pembukaan lahan itu selain untuk permukiman, sawah, ladang, juga
untuk kepentingan manumur lainnya. Selain itu, Anoa banyak diburu untuk diambil kulit, daging,
dan tanduknya. Karena itu, sejak tahun 1960 Anoa telah dinyatakan dalam status terancam.
2

2. Anoa quarlesi (Anoa pegunungan)


Bubalus quarlesi
(Mountain Anoa, Mountain Anoa)

Gambar 2. Anoa quarlesi Gambar 3. Anoa quarlesi


( B. quarlesi) (B. quarlesi)

Klasifikasi ilmiah

Domain: Eukaryota - Whittaker & Margulis,1978, Kingdom: Animalia - Linnaeus, 1758 -


animals , Subkingdom: Bilateria (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983 , Branch:
Deuterostomia - Grobben, 1908, Infrakingdom: Chordonia - (Haeckel, 1874) Cavalier-Smith,
1998 , Phylum: Chordata - Bateson, 1885 - Chordates , Subphylum: Vertebrata - Cuvier, 1812 -
Vertebrates ,

Infraphylum: Gnathostomata - Auct. - Jawed Vertebrates , Superclass: Tetrapoda - Goodrich,


1930, Class: Mammalia - C. Linnaeus, 1758 – Mammals, Subclass: Theriiformes - (Rowe,
1988) M.c. Mckenna & S.k. Bell, 1997, Infraclass: Holotheria - (Wible Et Al., 1995) M.c.
Mckenna & S.k. Bell, 1997, Superlegion: Trechnotheria - Mckenna, 1975, Legion: Cladotheria
- Mckenna, 1975, Sublegion: Zatheria - Mckenna, 1975 , Infralegion: Tribosphenida -
(Mckenna, 1975) M.c. Mckenna & S.k. Bell, 1997, Supercohort: Theria - (Parker & Haswell,
1897) M.c. Mckenna & S.k. Bell, 1997, Cohort: Placentalia - (Owen, 1837) M.c. Mckenna &
S.k. Bell, 1997, Magnorder: Epitheria - (Mckenna, 1975) M.c. Mckenna & S.k. Bell, 1997, ,
Superorder: Preptotheria - (Mckenna, 1975) Mckenna, in Stucky & Mckenna, in Benton, Ed.,
1993, Grandorder: Ungulata - (C. Linnaeus, 1766) Mckenna, 1975, Mirorder: Eparctocyona -
Mckenna, 1975, Order: Artiodactyla - Owen, 1848 - Even-Toed Ungulates, Suborder:
Ruminantia - Scopoli, 1777, Superfamily: Bovoidea - (Gray, 1821) Simpson, 1931, Family:
Bovidae - Gray, 1821, Subfamily: Bovinae , Tribe: Bovini, Genus: Bubalus - C.H. Smith in
Griffith et al., 1827, Specific name: quarlesi - (Ouwens, 1910), Scientific name: - Bubalus
quarlesi (Ouwens, 1910)

Habitat

Bioma: Terrestrial

Sedikit sekali pengetahuan kita mengenai ekologi dan kehidupan Anoa (Burton dkk.
2005). Hewan ini sering kali didapati pada hutan yang rapat yang sangat berbeda dengan habitat
sub alpin yang relatif terbuka, dan lebih menyenangi habitat dibawah naungan vegetasi yang
3

rapat.(Foead, 1992; Sugiharta, 1994; G. Semiadi pers.comm. 2006). Anoa pegunungan ini
menyenangi tempat dengan air yang cukup, dan jauh dari aktifitas manumur. Seperti halnya
kerbau liar, Anoa senang berendam di genangan air yang berlumpur. Hal ini dilakukan
kemungkinan untuk mendapatkan mineral yang dibutuhkan dengan cara menjilat (lick) ,
meskipun juga dilaporkan Anoa sering juga meminum air laut, untuk mendapatkan cukup
mineral yang diperlukan pada daerah yang dirasakan kurang mineral. Hewan ini hidup soliter
dan pemakan hijauan/dedaunan (browser), tetapi seringng kali merumput di padangan dan
memakan tanaman lainnya (Whitten et al.,1987; Foead, 1992). Anoa dapat hidup dipenangkaran
sampai berumur 20 – 30 tahun, dengan masak kelamin (sexual maturity) di penangkaran umur 2
– 3 tahun, dan beranak sekali setahun (NRC, 1983; Jahja, 1987), meskipun di habitat alaminya,
keadaannya tidak sebaik itu.

Termasuk dalam jenis Bubalus, ada 17 spesies, yaitu:


B. brachyceros · B. bubalis (Asian Buffalo) · B. bubalis arnee · B. bubalis bubalis · B. bubalis
fulvus · B. bubalis hosei · B. bubalus · B. depressicornis (Anoa) · B. depressicornis
depressicornis · B. mephistopheles (Short-Horned Water Buffalo) · B. mindorensis
(Tamarau) · B. palaeindicus · B. palaeokerabau · B. quarlesi (Mountain Anoa) · B. teilhardi
· B. wansjocki · B. youngi

Perilaku makan dan vegetasi pakan Anoa


Pujaningsih (2008) menyatakan dalam blognya, bahwa Fadjar (1973) mendapati di tempat
penangkarannya di Kebun Binatang Ragunan Jakarta anoa diberi makan rumput, dedaunan dan
buah-buahan. Pemberian jenis pakan tersebut berdasarkan informasi dari penduduk asal anoa
ditangkap (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara). Whitten et al. (1987) menginformasikan
bahwa anoa mengkonsumsi biji dari tumbuhan Lithocarpus sp, Castanopsis sp dan
Leptospermum sp. Para peneliti Jerman yang berkolaborasi dengan peneliti dari Institut Pertanian
Bogor dan Universitas Tadulako pada periode tahun 2000-2003 menduga bahwa anoa turut
berperan dalam penyebaran spesies tumbuhan tersebut melalui biji yang dimakan tetapi tidak
tercerna dan terekskresikan pada proses defekasi anoa.
Penelitian tentang ekologi dan konservasi anoa dataran rendah telah dilakukan oleh
Mustari (1996) di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 33 spesies vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa di lokasi
tersebut. Bagian vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa meliputi dedaunan dan batang
tanaman muda, buah-buahan masak dan umbi tanaman.
Winenang (1996) menyatakan bahwa belum banyak penelitian yang dilakukan tentang
Perilaku makan dan jenis pakan anoa. Pengamatan langsung yang dilakukan di Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara menginformasikan dugaan bahwa anoa di habitatnya
mengkonsumsi dedaunan dari semak-semak muda, sedangkan di tempat penangkaran beradaptasi
dengan pakan berupa rerumputan. Kebutuhan nutrisi anoa di Kebun Binatang Ragunan Jakarta
diteliti oleh Mustari (1997) dengan metode penghitungan konsumsi pakan
Analisis komposisi pakan anoa di TNLL Sulawesi Tengah dilakukan oleh Labiro (2001)
menggunakan metode pengamatan langsung berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak
kaki anoa yang terdapat di lokasi vegetasi. Informasi yang diperoleh merekomendasikan bahwa
TNLL memiliki potensi cukup besar dalam menyediakan vegetasi pakan untuk anoa. Pada tahun
1992 Foead juga telah mencoba mengidentifikasi jenis pakan alami anoa di Taman Nasional
Lore Lindu dengan menggunakan kombinasi pengamatan langsung dan analisis faecal. Tetapi
4

karena terbatasnya Daftar Pustaka sampel epidermis vegetasi maka informasi direkomendasikan
sebatas prosentase vegetasi dikotil dan monokotil yang teridentifikasi dikonsumsi oleh anoa.
Mustari (2003b) dalam disertasinya menggunakan metode langsung dan tidak langsung
untuk mendapatkan informasi jenis pakan anoa di habitatnya di Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa dan Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Metode langsung dilakukan melalui
pengamatan vegetasi di habitat anoa berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak kaki anoa,
sedangkan metode tidak langsung dengan menganalisis kotoran anoa untuk mengidentifikasi
vegetasi yang telah dikonsumsi oleh satwa tersebut. Identifikasi pakan anoa dengan metode
pengamatan langsung di Desa Toro wilayah TNLL Sulawesi Tengah dan identifikasi teknologi
pengolahan pakan anoa dilakukan oleh Pujaningsih et al. (2005).

Gambar 4. Bentuk kotoran anoa dibandingkan ukuran GPS.(Pujaningsih, 2008)

Berdasarkan informasi tentang identifikasi pakan anoa di berbagai daerah di pulau Sulawesi
dapat diambil kesimpulan sementara bahwa anoa mengkonsumsi pakan dengan kadar protein
rendah, kandungan serat kasar tinggi dan kandungan air yang relatif tinggi. Anoa juga mudah
diadaptasikan dengan pakan yang terdapat di sekitar satwa tersebut tinggal (in situ maupun ex
situ). Meskipun demikian kontinyuitas kualitas dan kuantitas pakan sangat diperlukan anoa untuk
menjamin kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksinya dalam potensinya sebagai satwa
budidaya. Didukung oleh informasi yang ada maka penelitian tentang teknologi penyediaan dan
pengolahan pakan anoa yang aplikatif perlu dilakukan untuk membantu upaya penyediaan pakan
dalam rangka konservasi anoa dan pemanfaatannya sebagai satwa budidaya. Kebutuhan pakan
yang tepat dan kontinyu baik kualitas maupun kuantitas bagi anoa akan sangat membantu
penampilan fisik dan proses reproduksinya.

Daftar Pustaka:
Pujaningsih, R.I. (2008). Perkembangan Penelitian di bidang vegetasi pakan
alami Anoa. http://research-ardhana.blogspot.htm, diakses pada 30
Juni 2008

3. Babyrousa babyrussa (Babirusa)


5

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata,Kelas: Mammalia, Ordo:Artiodactyla,
Famili: Suidae, Genus: Babyrousa, Spesies: B. babyrussa
Status Konservasi
Rentan (IUCN)
Nama binomial: Babyrousa babyrussa, Linnaeus, 1758

Gambar 6. Spesimen Babirusa di


Museum Sejarah Alam Field, Chicago

Status Konservasi:
Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge,
Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini
gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya
berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering
menyerang.

Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80
sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada
umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai
pemimpinnya.

Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas,
berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor
satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu
akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama
setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Umur dewasa seekor babirusa lima hingga
10 bulan, dan dapat bertahan hingga umur 24 tahun.

Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak
lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit
hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000
ekor dan hanya terdapat di Indonesia.

Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan
CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara.
6

Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah
daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan
program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan
habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar.

Keterangan tambahan:
Babirusa tergolong kingdom Animalia, yang artinya Babirusa bersifat :
1. Multiselluler
2. Eukariotik
3. Heterotroph
4. Dapat berpindah tempat

Sebagai bagian kingdom Animalia, babirusa tergolong hewan chordata, atau hewan berangka,
tergolong dalam subfillum vertebrata - hewan bertulang belakang – di mana kembali babirusa ini
diklasifikasikan sebagai mammalia.

4. Cynophitecus niger (Monyet Hitam Sulawesi, Celebes Crested Macaque)

Gambar 36 . Cynophitecus niger (Kera Hitam Sulawesi)

Kera hitam ini dilindungi berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI
No.7 Tahun 1999.

Monyet atau kera yang dilindungi pemerintah adalah kera jenis Kera Hitam Sulawesi. Kera
Hitam Sulawesi ini sesuai dengan namanya, dia berciri khas yaitu berwarna hitam di sekujur
tubuh kecuali punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang. Uniknya berbeda dengan
kera biasanya, kepala kera hitam ini berkepala hitam dan berjambul, muka tidak berambut,
moncong lebih menonjol, dan mempunyai panjang tubuh hingga 44,5-60 cm serta panjang ekor
20 cm dengan berat 15 kg.

Namun jika anda ingin melihat bagaimana bentuk kera hitam ini anda bisa melihatnya di Cagar
Alam Tangkoko Batuangus & Dua Saudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan
Tangale.

5. Dendrolagus spp. (Kanguru pohon, Tree Kangaro)


7

Gambar 37 . Buergers' Tree-kangaroo, Dendrolagus goodfellowi buergersi

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mammalia, Infrakelas: Marsupialia,
Ordo:Diprotodontia, Familia: Macropodidae, Upafamila:Macropodinae,
Genus:Dendrolagus
Müller, 1840,Spesies: Dendrolagus ursinus Müller, 1840
Spesies : yang termasuk dalam Genus Dendrolagus ada 12 spesies yaitu

1) Grizzled Tree-kangaroo, Dendrolagus inustus; terdapat di bagian utara dan barat


Papua termasuk P. Yapen, dan mungkin P. Salawati dan Waigeo.
2) Lumholtz's Tree-kangaroo, Dendrolagus lumholtzi; Queensland, Australia.
3) Bennett's Tree-kangaroo, Dendrolagus bennettianus; Queensland, Australia.
4) Ursine Tree-kangaroo, Dendrolagus ursinus; jasirah Kepala Burung, Papua.
5) Matschie's Tree-kangaroo, Dendrolagus matschiei; Jasirah Huon Papua.
6) Doria's Tree-kangaroo, Dendrolagus dorianus; Papua bagian barat, tengah dan
tenggara.
7) Seri's Tree-kangaroo, Dendrolagus stellarum; dataran tinggi bagian tengah dan barat
Papua.
8) Goodfellow's Tree-kangaroo, Dendrolagus goodfellowi; bagian tengah dan tenggara
Papua.
9) Golden-mantled Tree-kangaroo, Dendrolagus pulcherrimus; Foja dan Gunung
Torricelli Papua.
10) Lowlands Tree-kangaroo, Dendrolagus spadix; dataran rendah barat daya Papua
Nugini
11) Dingiso, Dendrolagus mbaiso; dataran tinggi bagian barat dan tengah Papua.
8

12) Tenkile, Dendrolagus scottae; Propinsi Sandaun Papua Nugini.

Kanguru pohon ini adalah macropoda yang beradaptasi untuk hidup di pepohonan. Didapati di
hutan hujan tropis Papua dan Papua Nugini, di bagian timur laut Queensland dan pulau-pulau
disekitarnya, seringkali di daerah pegunungan. Meskipun sebagian besar terdapat di daerah
pegunungan, beberapa spesies terdapat di dataran rendah, sehingga tepat sekali diberi nama
Lowland Tree-Kangaroo (Kanguru pohon dataran rendah).

Evolusi

Diketahui bahwa Kanguru pohon itu dikembangkan dari bentuk yang sama ke bentuk Kanguru
modern dan Wallaby, ditandai dengan tetap dipertahankannya adaptasi macropoda yang standar
untuk hidup di tanah ditandai dengan kaki belakang yang besar dan panjang, tapak kaki yang
sempit yang memudahkan untuk berjalan cepat dan efisien di tanah. Kanguru pohon mempunyai
ekor yang panjang untuk keseimbangan dan kaki depan untuk memanjat. Tapak kaki pendek dan
lebar, dan mempunyai cakar yang panjang pada setiap kakinya dan mempunyai tapak kaki
dengan bantalan lunak untuk memudahkan mencengkeram di pohon. Tidak seperti macropoda
pada umumnya, yang hanya dapat berpindah atau meloncat dengan menggunakan kaki
belakangnya bersamaan, sedangkan kanguru pohon dapat menggerakkan kakinya secara bebas
(tidak selalu bersamaan)

Nenek moyang kanguru dipercaya adalah hewan marsupial arboreal seperti yang terdapat di
Australia yang dikenal sebagai Possum. Macropoda yang paling awal berpisah pada garis
keturunan dan hidup di tanah dan tubuhnya beradaptasi untuk dapat bergerak cepat di tanah dan
bebatuan. Sedangkan bagaimana nenek moyang (tetua) kanguru pohon kembali hidup di pohon
belum diketahui.

Kanguru pohon berjalan lambat dan agak canggung di tanah. Mereka bergerak seperti antara
melangkah dan melompat dengan kaku, mencondongkan tubuhnya kedepan untuk mengimbangi
ekornya yang berat. Tetapi di pohon hewan ini cekatan dan tangkas, Mereka memanjat dengan
memeluk batang pohon dengan kaki depannya dan meloncat dengan dengan kaki belakangnya
yang kuat mengikuti kaki depannya untuk meluncur. Hewan ini merupakan pelompat yang hebat,
pernah tercatat dapat melompat sejauh 9 meter dari satu pohon ke pohon lainnya, dan dapat
meloncat ketanah dari pohon sejauh 18 m atau lebih tanpa terluka.
9

Anatomi

Gambar 38. Back and tail of a Buergers' Tree-kangaroo (D. g. buergersi)

Makanan

Makanannya sebagian besar terdiri dari dedaunan dan buah-buahan, yang diambil dari atas
pohon dan di tanah, tetapi makann lainnya juga dinakan bila ada, seperti biji-bijian, bunga-
bungaan, getah dari tumbuhan, kulit kayu, telur dan anak burung. Giginya diadaptasikan untuk
menyobek dedaunan dari pada untuk memotong rerumputan. Mempunyai lambung besar yang
berfungsi untuk tempat fermentasi yang berfungsi mirip dengan ruminansia, dimana bakteri
menghancurkan serat dedaunan dan rerumputan. Meskipun susunan dari lambung kanguru
berbeda dengan bangsa ruminansia, tetapi hasil akhirnya sama.

Gambar 39. Lumholtz's Tree-kangaroo

Taksonomi hewan ini, terutama Dendrolagus dorianus dan Dendrolagus goodfellowi


superspecies sangat rumit. Taksonomi D. stellarum dikelompokkan sebagai subspesies dari D.
dorianus, tetapi beberapa ahli akhir-akhir ini menyatakan bahwa D. stellarum tersebut sebagai
spesies tersendiri didasarkan atas penelitian yang mendalam. Selanjutnya mengenai taksonomi
dari D. mayri diketahui merupakan sebuah spesimen (contoh) lama, mungkin merupakan spesies
yang benar-benar ada, walaupun sekarang jarang diketemukan, sedangkan beberapa ahli tetap
berpendapat bahwa D. mayri tersebut merupakan subspesies dari D. dorianus. Hal serupa dapat
dibandingkan pada D. pulcherrimus dengan D. stellarum, tadinya dianggap bahwa D.
pulcherrimus merupakan subspesies dari D. goodfellowi, tetapi penelitian yang terachir
10

menyatakan bahwa D. pulcehrrimus merupakan spesies tersendiri. Suatu populasi Tenkile (D.
scottae) yang diketemukan baru-baru ini di Pegunungan Bewani Papua Nugini mungkin
merupakan subspesies yang tidak pernah diketahui.

Daftar Pustaka
1. Groves, C. (2005-11-16). in Wilson, D. E., and Reeder, D. M. (eds): Mammal Species of
the World, 3rd edition, Johns Hopkins University Press, 59-61. ISBN 0-801-88221-4.
2. Flannery, T. 1995. Mammals of New Guinea. Reed Books. ISBN 0 7301 0411 7
3. Nowak, R. (ed) 1999. Walker's Mammals of the World. 6th edition. John Hopkins
University Press. ISBN 0-8018-5789-9
4. Wondiwoi Tree Kangaroo Tenkile Conservation Alliance
5. Tenkile Tree Kangaroo Tenkile Conservation Alliance

 Flannery, Timothy Fridtjof, et al. 1996. Tree Kangaroos: A Curious Natural History.
Reed Books, Melbourne. ISBN 0-7301-0492-3

6. Macaca maura (Monyet Sulawesi)


Klasifikasi Monyet Sulawesi

Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mammalia, Ordo:Primata, Famili:


Cercopithecidae, Genus: Macaca, Spesies: Macaca brunnescens
Morfologi Monyet Sulawesi
Penelitian mengenai monyet Sulawesi kebanyakan terfokus pada pertanyaan mengapa lebih
banyak jenis monyet marga Macaca di Sulawesi dibanding dengan keseluruhan monyet di Asia.
Padahal yang jauh lebih menarik adalah pertanyaan bagaimana monyet tersebut berada dan
menyebar di Sulawesi dan bagaimana bentuk morfologi yang berlainan tersebut terbentuk. Luas
pulau Sulawesi hanya 2% dari luas penyebaran jenis-jenis marga Macaca, namun jenis yang
terdapat melebihi 25% dari keanekaragaman dari marga (Albrecht, 1978).
Taksonomi monyet Sulawesi sampai saat ini masih sangat membingungkan. Fooden (1969)
mendeskripsi ada 7 jenis monyet Sulawesi (M. maura di Sulawesi Selatan, M. tonkeana di
Sulawesi Tengah, M. hecki di Sulawesi tengah-utara, M. nigrescens di dekat Gorontalo-
Kotamubagu, M. nigra di Sulawesi Utara, M. ochreata di Sulawesi tenggara dan M.
brunnescens di pulau Muna dan Buton) yang merupakan hasil revisi dari yang telah diusulkan
oleh Napier dan Napier {1967). Mereka mengusulkan taksonomi monyet Sulawesi menjadi 2
marga yaitu Cynopithecus dengan 1 jenis yaitu cynopithecus nigra, dan Macaca yaitu Macaca
maura. Setahun setelah publikasi Fooden, Thorington dan Groves (1970) menyatakan bahwa
monyet. Sulawesi mungkin satu spesies yang "Polytypic" (banyak variasi morfologi) dan
bervariasi secara "Clinal" (berubah bentuk sejalan dengan jarak).
Pendapat lain yaitu Groves (1980) yang menyatakan hanya ada 4 spesies monyet Sulawesi (M.
maura, M. tonkeana, M. nigra dan M. ochreata) dan subspecies (M. tonkeana hecki, M. nigra
11

nigrescens dan M. ochreata brunescens). Pendapat ini tidak mendapat banyak sokongan. Hasil
penelitian intensif oleh banyak peneliti dengan memakai berbagai metoda seperti morfologi,
genetik dan dermatografik menyimpulkan paling tidak ada 7 spesies monyet Sulawesi (Albrecht,
1978; Kawamoto et al. 1985; Takenaka et al. 1987; Campario-Ciani et al. 1987; Watanabe &
Brotoisworo 1982, 1989; Supriatna et al. 1990). Bahkan Froehlich dan Supriatna {1992)
mengusulkan monyet Togian (M. tonkeana togeanus) menjadi spesies tersendiri yang disebut
Macaca togeanus, sehingga jumlah spesies monyet Sulawesi diperkirakan ada 8 spesies.

Seperti namanya, monyet sulawesi (Macaca brunnescens) hanya terdapat di Pulau Sulawesi.
Habitat terbanyak ada di hutan hujan tropis Sulawesi tepatnya pulau Buton. Tapi mereka juga
dapat ditemui di beberapa pulau Sulawesi, yaitu di kepulauan kecil, hutan atau tanah berumput.
Monyet sulawesi jantan bisa mencapai bobot 9-10 kilogram, sementara betinanya hanya bisa
mencapai berat lima kilogram. Ekornya relatif pendek dibanding dengan ekor monyet jenis lain.
Daun dan buah adalah makanan kesukaan monyet yang dinamakan moor macaca di mancanegara
ini. Masyarakat setempat menyebutnya kera hitam dare atau monyet hitam karena bulunya
berwarna cokelat kehitaman.

Mereka suka hidup berkelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5-25 ekor. Saat hidup
berkelompok, mereka membaur antara jantan dan betina. Namun ketika memasuki masa dewasa,
baik jantan maupun betina memisahkan diri untuk membentuk kelompok sendiri. Mayoritas
kelompok mereka dipimpin oleh monyet betina. Dan kelompok mereka hanya mau menerima
anggota dari spesies yang sama. Cara mereka berkomunikasi adalah saling berteriak.

Seorang ahli primata dari Inggris, Estes, pada tahun 1991 mempelajari gerakan visual monyet
sulawesi sebagai isyarat berkomunikasi. Menurut Estes, jika monyet ini merapatkan gigi dan
menggertakkannya berulangkali berarti tanda agar lawan bicaranya mundur. Apabila mereka
membuka mulutnya lebar-lebar maka itu berarti sebuah ancaman. Monyet sulawesi betina
biasanya melahirkan hanya sampai keturunan kedua, yaitu cucu. Setelah itu, reproduksi mereka
biasanya berhenti. Hal ini membuat populasi monyet yang pertama kali diamati oleh Schin pada
tahun 1825 ini tergolong langka.

Di Indonesia, monyet sulawesi dilindungi oleh pemerintah. Sebagai warga spesies dunia, mereka
juga masuk ke dalam draft CITES golongan appendix II. Sementara IUCN menggolongkan
mereka sebagai spesies yang terancam punah.
12

Gambar 77. Monyet Sulawesi Gambar 78. Monyet Sulawesi

Perilaku Monyet Sulawesi


Makanan utama monyet ini adalah buah-buahan seperti pepaya, mentimun serta buah-buahan
hutan lainnya. Ia juga mengonsumsi serangga. Mereka mencari makan dari pohon ke pohon
dengan cara berayun, tapi terkadang ia juga melakukannya di atas tanah. Sayangnya, kelompok
ini kerap merusak ladang pertanian jika sedang mencari makan. Kawanan ini menghabiskan
hampir seluruh waktunya untuk berkeliaran mencari buah-buahan, yang merupakan 70 % menu
makanannya.  Untuk memenuhi kebutuhan protein, hewan ini memakan serangga. Monyet ini
menyimpan makannya dalam kantung khusus di pipinya. Pada saat berjalan, hewan ini kadang
mengeluarkan simpanan makanan dari kantungnya, mengunyah, menelan daging buah, dan
membuang bijinya (Kinnaird, 1997). 

Seperti monyet lain, betina monyet ini tinggal bersama kelompok yang sama sepanjang
hidupnya. Sementara monyet jantan selalu berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Masa
reproduksi monyet berjambul sangat tergantung pada persediaan makanan. Saat si betina
memasuki masa reproduksi maka pantatnya akan membengkak dan berubah warna dari pink ke
merah. Bayi monyet akan lahir dengan mata tertutup dan kemudian membuka dua jam
kemudian. Saat ini, hanya sekitar 144 ribu spesies monyet ini yang tersisa di alam bebas.
Populasi menurun akibat aktivitas manumur, seperti pembukaan ladang dan penebangan hutan.
Namun penurunan populasi juga di terjadi karena mereka diburu untuk makanan saji restoran. Di
beberapa tempat, monyet Sulawesi juga diburu untuk diperdagangkan. Padahal sejak tahun
1970, spesies ini dilindungi dengan Keputusan Menteri Pertanian No 421/Kpts/Um/8/1970.

7. Macaca maura (Monyet Sulawesi/Moor Macaque)

Macaca maura adalah monyet dengan warna bulu tubuhnya coklat / hitam dengan bulu pantat
hewan pucat dan warna oranye kulit pantat hewan. Tinggi 50-58,5 cm dan makan tanaman,
bibit bambu, invertebrata dan sereal di hutan hujan tropis. Hewan ini sering kali disebut sebagai
"kera anjing“ karena mukanya seperti moncong anjing, walaupun hewan tidak lagi terkait erat
dengan jenis kera seperti jenis kera dunia lama yang merupakan hewan endemik di Pulau
Sulawesi di Indonesia.
13

Macaca maura adalah sebagian besar terancam punah karena kehilangan habitat dari populasi
manumur yang berkembang dan deforestasi untuk meningkatkan lahan pertanian daerah. Sampai
saat ini diperkirakan Macaca maura hanya berjumlah 1000 ekor di pulau Sulawesi. Karena
beberapa spesies yang terancam punah, maka usaha konservasi dirancang untuk mendapatkan
informasi tentang ekologi dan perilaku hewan ini.

Gambar 79. Macaca maura

Gambar 80. Penyebaran Macaca maura (daerah penyebaran warna merah)

Daftar Pustaka
Groves, C. (2005-11-16). Wilson, D. E., and Reeder, D. M. (eds). ed.. Mammal Species of
the World (3rd edition ed.), Johns Hopkins University Press. pp. 162-163. ISBN 0-801-
88221-4, http://www.bucknell.edu/ msw3/browse.asp?id=12100550.
Eudey, A. & Members of the Primate Specialist Group (2000). Macaca maurus.
2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2007. Retrieved on 2008-04-20.

Anda mungkin juga menyukai