Anda di halaman 1dari 9

5

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Abalon (Haliotis squamata)
Menurut Geiger (1999), klasifikasi abalon (Haliotis squamata) adalah :
Kingdom

: Animalia, C. Linnaeus,1758

Superphylum

: Eutrochozoa

Phylum

: Mollusca, C. Linnaeus,1758

Class

: Gastropoda Cuvier, 1795

Subclass

: Orthogastropoda, Ponder & Lindberg, 1996

Superordo

: Vetigastropoda, Salvini-Plawen, 1980

Ordo

: Archaeogastropoda

Superfamily

: Haliotoidea, C.S. Rafinesque, 1815

Family

: Haliotidae, C.S. Rafinesque, 1815 - Abalones

Genus

: Haliotis, C. Linnaeus, 1758

Spesies

: Haliotis squamata, Reeve, 1846

Gambar 1 Hewan uji (Abalon, Haliotis squamata)


Abalon memiliki jumlah spesies kurang lebih seratus spesies dan semuanya
tergolong dalam genus Haliotis, namun yang telah berhasil dibudidayakan hanya
beberapa spesies saja. Di Jepang ada tujuh spesies yang dibudidayakan, yaitu
Haliotis gigantean, H. sieboldii, H. discus, H. discus hannai, H. diversicolor, H.
asinina dan H.supertexta (Geiger 1999). Abalon H. asinina mempunyai cangkang
yang memanjang, rata tidak simetris dengan daging yang sangat besar. Abalon
memiliki cangkang tunggal atau monovalve dan menutupi hampir seluruh
tubuhnya. Pada umumnya berbentuk oval. Dengan sumbu memanjang dari
depan (anterior) ke belakang (posterior) bahkan beberapa spesies berbentuk
lebih lonjong. Sebagaimana umumnya siput, cangkang abalon berbentuk spinal

namun tidak membentuk kerucut akan tetapi berbentuk pipih (Fallu 1991). Abalon
memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang tersebut
terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalon,
semakin besar ukuran kerang abalon maka semakin banyak lubang yang
terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai dari ujung
depan hingga belakang cangkang. Kerang abalon juga mempunyai mulut dan
sungut yang terletak dibawah cangkang serta sepasang mata (Freeman 2001)
Kepala berwarna kecoklatan, sekeliling pinggir daging atau otot tubuhnya
berwarna cream dengan bintik hijau gelap dan coklat. Kaki-kakinya berwarna
cream dengan bintik kecoklatan. Haliotis squamata tidak mempunyai operkulum,
mempunyai satu baris lubang-lubang dan sebagian lubang di bagian depannya
terbuka yang berfungsi untuk menghembuskan air, abalon juga mempunyai
mata, mulut dan sungut yang terletak di bawah cangkang.
Habitat dan Distribusi
Di Indonesia Abalon ditemukan di perairan Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara dan laut Flores. Haliotis squamata
juga ditemukan di sebelah selatan Jepang, Korea dan Autralia (Susanto et al.
2008). Hidup di bawah terumbu karang pada siang hari dan muncul dipermukaan
pada malam hari. Kerang abalon biasa ditemukan pada daerah yang berkarang
yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Kerang abalon
bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki.
Gerakan kaki yang sangat lambat sangat memudahkan predator untuk
memangsanya (Fallu 1991).
Pada siang hari atau suasana terang, kerang abalon lebih cenderung
bersembunyi di karang-karang dan pada suasana malam atau gelap lebih aktif
melakukan gerakan berpindah tempat. Ditinjau dari segi perairan, kehidupan
abalon sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Secara umum, spesies abalon
mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-beda, contoh H.
kamtschatkana dapat hidup dalam air yang lebih dingin sedangkan H. asinina
dapat hidup dalam air yang bersuhu tinggi (30oC) (Fallu 1991). Dalam karang
yang ditinggali, abalon memperoleh perlindungan sepanjang hari di bawah batu
atau dalam sebuah celah, yang akan muncul kembali pada malam hari dan akan
bersembunyi kembali menjelang subuh (Cenni et al. 2009). Abalon banyak
ditemukan di perairan pantai yang landai, berkarang, berbatu di laut terbuka

mulai dari tepi perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20-50 meter
serta di kawasan itu banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput laut seperti Ulva sp,
Gracilaria sp, Paddina sp Eucheuma sp, Dyctiota sp (Brotowidjoyo et al. 1995
dan Setiawati et al. 1995 diacu dalam Susanto et al. 2008).
Distribusi abalon sepanjang garis pantai dunia. Abalon tersebut ditemukan
dari intertidal sampai kedalaman sekitar 80-90 meter, dari tropis ke perairan
dingin (Fleming 1996). Sebagian besar spesies Australia ditemukan di perairan
Selatan, mulai dari pantai New South, sekitar Tasmania dan sepanjang Utara
Shark Bay. Spesies tersebut sebagian besar ditemukan pada substrat dari granit
dan batu kapur (Joll 1996).
Kebanyakan abalon di dunia ditemukan di seluruh lautan beriklim sedang
mereka hidup pada substrat berbatu dekat pantai, terumbu karang dan celahcelah karang (Leighton 2000). Spesies terbesar dari genus ini ditemukan didekat
pantai Jepang, Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, Afrika dan Amerika
Utara bagian barat (Leighton 2000).
Kebiasaan Makan
Di alam pada stadia larva memakan diatom bentik, sedangkan abalon
dewasa dapat memakan makroalga (seaweed) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu
alga coklat, hijau dan merah (Fallu 1991). Abalon remaja memakan mikrofora
bentik, sedangkan yang lebih dewasa memakan ganggang laut yang lebih besar
seperti Macrocystis dan Nereocystis spp, yang melayang dan ganggang merah
understory (Leighton 2000). Pemberian pakan tunggal rumput laut pada abalon
tidak cukup menyediakan nutrisi yang seimbang (Eday & Fleming 1992). Lebih
lanjut Viana et al. (1996) mengatakan di alam abalon makan berbagai spesies
makroalga sehingga satu dengan yang lain akan saling melengkapi. Abalon
bersifat nokturnal yaitu melakukan aktivitas di malam hari dan beristirahat di
siang hari.

Begitu pula dengan waktu makan yang kebanyakan malam hari,

meskipun siang hari abalon juga makan tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit
(Fallu 1991). Uki (1981 diacu dalam Susanto et al. 2008) menyebutkan, dari hasil
penelitian diketahui abalon makan pada malam hari, dari waktu petang hingga
tengah malam.
Oktarina (2006) diacu dalam Susanto et al (2008) menyatakan bahwa,
ketika abalon (H.asinina) berada dalam kondisi 24 jam terang memiliki laju
pertumbuhan paling rendah, sementara ketika berada pada kondisi 24 jam gelap

abalon mengalami peningkatan pertumbuhan secara signifikan bahkan melebihi


pertumbuhan abalon dalam kondisi 12 jam terang, 12 jam gelap.

Penelitian

serupa pernah juga dilakukan di Amerika Serikat, dengan spesies yang berbeda.
Pertumbuhan H. rufescens paling baik dalam kondisi gelap total tanpa adanya
periode terang sama sekali (Fallu 1991).
Lundelius & Freeman (1986) menyatakan bahwa sinyal fotoreseptor
diterima fotoreseptor yang terdapat di ganglion otak, selanjutnya sinyal
mengaktifkan neurosecretory dalam ganglion otak sehingga merangsang
perkembangan organ reproduktif abalon. Diduga bahwa proses ini juga
berlangsung dalam proses kebiasaan makan abalon. Sinyal fotoreseptor dalam
ganglion otak yang menerima kondisi gelap akan merangsang abalon untuk aktif
makan. Singhagraiwan & Doi (1993) melaporkan bahwa H. asinina yang
dibudidayakan memiliki rasio persentase berat daging terhadap berat total
sebesar 85% dibandingkan dengan rasio 40% dan 30% masing-masing untuk H.
ovina dan H. varia liar. Selanjutnya Tanawansombat (1992) melaporkan rasio
yang sama untuk H. ovina (51%). Dia juga mengamati bahwa warna orange
pada kaki abalon betina signifikan dibandingkan abalon jantan.
Gracilaria juga diakui sebagai pakan terbaik selama fase pembesaran
untuk H. diversicolor supertextu (Chen 1984, 1989). Abalon merupkan hewan
herbvora, yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan pada
suasana gelap. Jenis makanannya adalah rumput laut (seaweed) yang biasa
disebut makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh dilaut sangat beraneka
ragam. Secara garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup dilaut, yaitu 1)
makro alga merah (Red seaweeds), 2) Alga coklat (Brown Seaweeds), dan 3)
Alga hijau (Green Seaweeds). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa
jenis dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat
dimanfaatkan abalon sebagai makanannya. Berikut ini spesies rumput laut yang
dapat dimanfaatkan kerang abalon sebagai makanannya, yaitu: a) makro alga
merah, yaitu Corralina, Lithothamnium, Gracilaria, Jeanerettia, dan Porphyta; b)
Makro alga coklat, yaitu Ecklonia, Laminaria, Macrocystis, Undaria, dan
Sargassum; c) Makro alga hijau yaitu ulva (Freeman 2001). Selain itu, budidaya
tokobushi dalam karamba jaring apung yang diberi pakan makroalga dapat
memberikan manfaat bagi lingkungan berbeda jika diberikan pellet yang dapat
menghasilkan orthophosphate dan nitrat dalam jumlah besar (Qian Wu & Ni
2001).

Ekologi Abalon
Abalon adalah termasuk

ke dalam hewan herbivora sebagai produsen

tingkat pertama, abalon memakan klekap, alga, bahkan phytoplankton dan


diatomae. Abalon berintraksi dengan lingkungan menggunakan otot perut yang
berfungsi sebagai kaki dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kakinya
tidak cocok untuk kondisi dasar berpasir karena abalon tidak dapat melekat atau
menempel. Di dasar yang berpasir, abalon mudah diserang oleh predator seperti
kepiting, lobster, gurita, bintang laut, dan bulu babi, karena itu abalon banyak
ditemukan di daerah berkarang. Abalon menghindari cahaya, pada saat terang
mereka bersembunyi/menempel dibawah karang (Buen 2007). Abalon hidup di
perairan

dengan kualitas air yang ditentukan oleh kondisi lingkungan awal

tempat hidupnya yang dipengaruhi air laut dengan salinitas 30 hingga 35 ppt.
Abalon Greenlip remaja dikenal aktif makan dengan pakan yang diberikan
sepanjang malam. Fleming (1996) menemukan bahwa pada waktu tertentu
selama periode 24 jam, setidaknya 4-10% abalon akan beristirahat. Periode
paling aktif terjadi antara pukul 20.00 dan tengah malam 26-31% aktif. Namun,
aktivitas menurun dari tengah malam hingga 8 pagi 7-15% aktif dan tidak ada
gerakan yang diamati antara siang dan malam. Demikian pula, abalon makan,
sering terjadi antara 20:00 dan tengah malam (25-31%). Namun ini menurun
secara bertahap antara tengah malam dan 8:00 (dari 14% menjadi 4%). Sekali
lagi pola makan tidak terjadi pada pukul 08:00-20:00.
Penggantian air
Sistem penggantian air merupakan alternatif yang tepat dan sangat penting
untuk keberhasilan baik teknis maupun ekonomis. Berbagai biofiltrasi tersedia
dan variabilitas kondisi di mana platform biofiltrasi diharapkan untuk melakukan
bakteri nitrifikasi yang sensitif terhadap strategi manajemen kualitas air. Secara
umum tingginya kadar amonia bersifat racun, menimbulkan penyakit kronis
sehingga berdampak pada gangguan pertumbuhan dan tujuan produksi secara
komersial (Manthe et al. 1985; Cheng et al. 2004; Svobodova et al. 2005).
Dalam sistem penggantian air mengacu penghapusan amonia (NH3 dan
NH4+)

oleh nitrifikasi, pembuangan lumpur oleh sedimentasi atau filtrasi mekanik,

dan pertukaran air merupakan bentuk penting dari pengolahan air (Van Rijn
1996). Seringkali 5-10% dari volume sistem penggantian air setiap hari dengan
air baru untuk mencegah akumulasi nitrat dan padatan organik terlarut (Masser

10

et al. 1999). Upaya peningkatan sistem penggantian air sekarang diarahkan


dalam kontrol nitrat. Sistem penggantian air dilakukan untuk melepas langsung
efek toksik pada ikan.
Shelter
Shelter

merupakan

tempat

naungan

bagi

organisme

hewan

uji.

Sehubungan dengan itu bahwa dalam teknik budidaya pembesaran harus


disesuaikan untuk memperoleh abalon dengan kesehatan dan pertumbuhan
yang maksimal (Huchette et al. 2003). Hal ini sangat penting untuk memperoleh
pengetahuan tentang tingkah laku suatu spesies. Perubahan tingkah laku dalam
kenyataannya dapat digunakan sebagai indicator atau peringatan dalam kondisi
budidaya yang suboptimal. Dasar dari informasi tentang sifat biologis spesies di
alam dan di laboratorium menggunakan behaviour sheltering sebagai proxy
individual yang baik. (Cenni et al. 2009), Penelitian terhadap beberapa spesies
Haliotis, ada beberapa spot karang yang paling sering ditempati sebagai shelter
(tempat persembunyian) mungkin disebabkan karena di tempat itu memberikan
perlindungan yang lebih baik dari pemangsa (Tarr 1995). Penelitian laboratorium
pada H. rubra (Leach) (Huchette et al. 2003) dan H. tuberculata (Cenni et al.
2009) menunjukkan bahwa abalon tidak tersebar pada daerah sheltering yang
disediakan dalam tangki, tapi berkumpul pada spot khusus, yang menyarankan
bahwa fenomena ini, sheltering juga cocok pada spot yang terjadi pada
lingkungan buatan.
Kualitas air
Menurut Pillay et al. (2005) perkembangan dan pertumbuhan abalon dalam
wadah bak pada suhu air laut 12-18 C, pH sekitar 9,1 dan salinitas diatas 20
ppt. Selanjutnya kisaran suhu dan salinitas optimal yang terbaik untuk
pertumbuhan abalon (Haliotis asinina) adalah 24-30 oC dan 30-35 ppt (Susanto
et al. 2008).
Menurut Irwan (2006), suhu yang optimal untuk abalone berkisar antara 24o

30 C, sedangkan salinitas optimal antara 30-35 ppt.

Menurut Fallu (1991),

kisaran salinitas normal yang cocok untuk pertumbuhan abalon yaitu berkisar
antar 33-35 ppt dan pertumbuhan hewan laut tidak optimal pada salinitas di atas
35 ppt. Selanjutnya Singhargaiwan et al. (1993) menyatakan bahwa salinitas
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup H. asinina.

11

Abalon spesies H.asinina remaja dapat bertahan

hidup dan menghasilkan

tingkat pertumbuhan yang baik pada salinitas 22.5 dan 32.5 ppt dan tingkat
pertumbuhan sedikit menurun pada kisaran salinitas yang lebih rendah.
Tingkat pertumbuhan H. diversicolor supertexta remaja juga mengalami
penurunan jika hidup pada kolam dengan salinitas rendah (Chen 1989). Chen
melaporkan bahwa abalon remaja mati setelah 60 hari pada salinitas 25 ppt dan
mati setelah 30 hari pada salinitas 20 ppt. Salinitas antara 32 dan 35 ppt
dianggap optimal untuk H.diversicolor supertexta pada kolam grow-out.
Selanjutnya dikatakan bahwa parameter kualitas air yang lainnya yaitu, pH
antara 7-8, salinitas 31-32 ppt, H2S dan NH3 kurang dari 1ppm serta oksigen
terlarut lebih dari 3 ppm (Fallu 1991).
Abalon Greenlip (H. laevigata) dan Blacklip (H. rubra) dapat mentolerir
tingkat salinitas dalam kisaran 23-40 ppt (Boarder et al. 2000). Selain itu, Boarder
dan Maguire (1998) diacu dalam Freeman (2001) menemukan bahwa abalon
Greenlip dapat bertahan 96 jam pada salinitas 28 ppt dan tergantung pada
kebiasaan pakan pada salinitas 23 ppt. Dalam budidaya sangat penting untuk
memiliki aerasi untuk mempertahankan tingkat oksigen. Deplesi oksigen dapat
terjadi cukup cepat selama periode aliran air rendah atau suhu tinggi (Mozqueira
1996).
Pertumbuhan berkurang secara signifikan di kedua abalon Greenlip dan
Blacklip ketika kualitas air mengandung amonia tinggi (5-197 mg/L) dan sub
saturation DO (4,3-7,2 mg/L) selama periode 8 minggu (Hindrum et al. 1999).
Parameter kualitas air berada dalam rentang: pH 7,1 7,7; DO 6.24 7,17 mg/L
dan salinitas 32,3 35,0 ppt. Memonitor laju pertumbuhan (berat dan panjang)
dilakukan pada 30 sampel acak setiap bulan (kecuali dalam beberapa kasus).
Parameter kualitas air sebagai berikut: pH 7,91 8,46, DO 5,99 7,19 mg/L,
salinitas 31,8 34,0 ppt dan suhu 11oC (Februari) 28 oC (Agustus). Experimen
dilakukan dari Juli 2002 sampai Juni 2004 (Alcantara & Noro 2006). Selanjutnya
dikatakan bahwa parameter kualitas air yang lainnya yaitu, pH antara 7-8,
salinitas 31-32 ppt, H2S dan NH3 kurang dari 1ppm serta oksigen terlarut lebih
dari 3 ppm (Fallu 1991). Kemudian menurut Rusdi et al. 2010 pertumbuhan
Haliotis squamata memerlulakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan,
kelangsungan hidup dan proses pematangan gonad dengan salinitas 34-35 ppt,
suhu 27,8-28,9 oC, pH 8,0-8,4 dan oksigen terlarut 4,3-5,7 mg/L.

12

Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah pertambahan jaringan yang diakibatkan oleh
pembelahan sel secara mitosis. Hal itu terjadi apabila ada kelebihan input energi
dan asam amino (protein) yang berasal dari pakan (Effendie 1979). Oleh karena
itu, pemberian yang tepat dan mengandung nutrisi yang cukup merupakan
pendukung utama dalam pertumbuhan abalon.
Menurut Eday dan Fleming (1992) pertumbuhan dan umur abalon
menunjukkan variasi yang besar pada spesies berbeda. Selanjutnya generalisasi
yang dibuat tentang pertumbuhan abalon, seperti: 1) tingkat pertumbuhan abalon
sangat bervariasi terhadap daerah, musim dan perubahan suhu, 2) tingkat
pertumbuhan dapat berbeda secara luas bahkan antar individu yang menempati
daerah yang sama, secara umum mengalami peningkatan panjang cangkang
sekitar satu inci pertahun di bawah kondisi yang optimal (Leighton 2000).
Shepherd et al. (2001) dan Freeman (2001) menyatakan bahwa rata-rata laju
pertumbuhan greenlip abalon adalah 1,69 mm/bln dan laju pertumbuhan ini linear
selama 5 tahun pertama. Hasil ini berdasarkan data dari individu-individu dengan
ukuran berkisar 0,5-2,0 mm dan 30-70 mm. Namun, setelah periode ini laju
pertumbuhan ditemukan menurun dengan meningkatnya panjang.
Tingkat pertumbuhan abalone sangat bervariasi tergantung pada kualitas
dan kuantitas makanan yang diberikan (Joll 1996). Namun, diharapkan bahwa
individu budidaya dengan pasokan makanan konstan akan memiliki pertumbuhan
terbesar selama bulan-bulan hangat. Tingkat pertumbuhan dipengaruhi oleh
beberapa variabel, termasuk genotipe), kepadatan, jenis dan jumlah pakan
(Brown 1991), aliran air, kualitas air

dan teknik penanganan (Higham et al.

1998). Tingkat pertumbuhan juga dapat bervariasi antara substrat dan budidaya
berbasis laut. Pertumbuhan tertekan lebih rendah dari suhu air optimal karena
metabolisme diatur oleh suhu. Sebuah penyerapan makanan efisiensi 80%
(bahan kering) tercatat untuk suhu antara 14,0 C dan 27,0 C, tapi efisiensi
penyerapan hanya 21% pada 9,8 C (Peck 1989).
Suhu air mempengaruhi metabolik abalon dan selanjutnya mempengaruhi
laju pertumbuhan, hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan tokobushi yang lebih
tinggi pada suhu 17oC dibandingkan pada suhu 12 oC. (Lopez Tyler & Viana
1998). Di Taiwan, abalon H. diversicolor tumbuh secara optimal pada suhu 24-30
o

C (Chen 1984,1989). Beberapa penelitian melaporkan bahwa abalon tumbuh

dengan cepat pada musim panas (April - September) dibanding pada musim

13

dingin (Oktober sampai Maret) (Britz Hecht & Mangold 1997; Hoshikawa et al.
1998; Lopez et al. 1998; Kelly & Owen 2002). Suhu merupakan faktor lingkungan
utama yang menentukan tingkat metabolisme hewan poikilothermic (Fry 1971
diacu dalam Yearsley 2007). Oleh karena itu, dalam konteks budidaya abalone,
temperatur air

adalah bagian penting dari lingkungan abalones.

Dalam

pertumbuhan abalon greenlip (Haliotis laevigata), menurunnya pertumbuhan 5%


berdasarkan seluruh berat) terjadi pada pH ekstrim 7.78 dan 8.77 dan
(menurunnya pertumbuhan 50%) terjadi pada pH 7.4. Untuk abalon blacklip
ekstrem terjadi pada pH 7.93 dan 8.46, dan terjadi pada 7.37 dan 9.02 (Harris et
al. 1999). Selain itu, mortalitas yang signifikan untuk kedua spesies terjadi pada
pH lebih rendah dari 7.16 atau lebih besar dari 9.01 (Harris et al. 1999). Stoner
(1989); (Mgaya & Mercer 1995) melaporkan bahwa konsumsi pakan abalon,
ketika keluar dari tempat persembunyian (shelter), bergerak untuk makan,
dipengaruhi oleh individu lain dan persediaan rumput laut yang dikonsentrasikan
dalam lingkungan budidaya dengan densitas tinggi.
Uji Penilaian Organoleptik dan Hedonik abalon
Uji skoring dimaksudkan untuk menilai suatu sifat organoleptik

abalon

yang spesifik. Uji ini dapat digunakan untuk menilai sifat hedonik atau sifat mutu
hedonik dengan memberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu
jenjang mutu (Soekarto 1985).
Tujuan uji penilaian (skoring) adalah memberikan suatu nilai atau skor
tertentu terhadap suatu karakteristik mutu.

Pemberian skor dapat dikaitkan

dengan skala hedonik dan jumlah skala tertentu pada tingkat kelas yang
dikehendaki. Jumlah panelis agak terlatih yang dibutuhkan pada uji ini adalah 1525 panelis (Rahayu 1998).
Menurut Sukarni dan Kusno (1980), yang termasuk faktor-faktor rupa
diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk. Selanjutnya
Lowe 1955, diacu dalam Rosdiana (2002) berpendapat bahwa hal pertama yang
dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihatan, yaitu warna,
bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai