Anda di halaman 1dari 10

Ikkel Pasmawita Siska

1707101030069
Summary, Vignette dan Brain Mapping

Seorang perempua usia 27 tahun G2P1A0 datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan keluhan
keluar cairan dari vagina sejka 3 hari yang lalu berbau. Ada pemeriksaan fisik dijumpai TD: 120/70
mmHg, Nadi 120x/menit, pernapasan: 22x/menit, suhu 38,6 C. Pada palpasi abdomen terdapat nyeri
dibagian fundus. Pada pemeriksaan DJJ didapat frekuensi 170-175 dpm
Apa yang terjadi pada kasus diatas ?

Apa tatalaksana yang harus dilakukan pada pasien?


Infeksi Intra Uterin Korioamnionitis

Definisi

Korioamnionitis merupakan infeksi yang terjadi pada membran (korion) dan cairan
amnion. Beberapa buku obstetri memperlihatkan insidens berkisar 1% dari seluruh persalinan. Di
negara berkembang dimana asuhan prenatal dan nutrisi ibu yang buruk selama kehamilan
mempunyai insidens yang lebih tinggi dalam hal terjadinya korioamnionitis.
Korioamnionitis dapat terjadi akibat invasi mikroba ke cairan amnion dimana bakteri yang
mencapai rongga amnion menyebabkan terjadinya infeksi serta inflamasi di membran plasenta
dan umbilical cord. Infeksi amnion dapat terjadi baik pada membran yang masih utuh maupun
pada membran yang telah ruptur dan lamanya ruptur dari membran secara langsung berhubungan
dengan perkembangan korioamnionitis.
Korioamnionitis dapat menyebabkan bakteremia pada ibu, menyebabkan kelahiran
prematur dan infeksi yang serius pada bayi. Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah bakteri
yang ascending dari saluran kemih ataupun genital bagian bawah atau vaginitis.
Organisme yang dapat menyebabkan terjadinya korioamnionitis adalah organisme normal
di vagina, termasuk Eschericia Coli, selain itu Streptokokus grup B juga sering berperan sebagai
penyebabinfeksi.
Jalur Ascending Infeksi Intrauterin
Mikroorganisme dapat memasuki kantong amnion dan fetus melalui jalur:
1. Naik dari vagina dan serviks.
2. Penyebaran hematogen melalui plasenta (infeksi transplasenta)
3. Retrograde dari rongga peritoneum melalui tuba falopi
4. Accidental pada waktu melakukan prosedur invasif, seperti amniosentesis,
percutaneus fetal blood sampling, chorionic villous sampling, atau shunting.

Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah melalui jalur pertama yaitu bakteri naik dari
vagina dan serviks. Korioamnionitis secara histologi didapati lebih sering dan lebih berat pada
daerah dimana terjadi ruptur membran dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti placental
chorionic plate atau umbilical cord. Identifikasi bakteri pada kasus ini mirip dengan bakteri yang
terdapat di saluran genital bagian bawah. Bila terjadi infeksi kantong amnion selalu terlibat.
Stadium Ascending Infeksi Intrauterin.
Infeksi intrauterin secara ascending dibagi atas 4 stadium:

1. Terjadi perubahan flora normal di vagina/serviks atau adanya organisme patologis


(cth: Neisseria gonorrhoea) di serviks. Beberapa bentuk bacterial vaginosis juga
dapat dijumpai pada manifestasi awal stadium 1.
2. Organisme sudah masuk ke rongga intrauterin dan berada di desidua, terjadi reaksi
inflamasi lokal yang menyebabkan desiduitis.
3. Mikroorganisme selanjutnya masuk ke korion dan amnion. Infeksi selanjutnya
menyebar ke pembuluh darah fetus (koriovaskulitis) atau melalui amnion
(amnionitis) ke dalam ruang amnion, menyebabkan invasi mikroba pada ruang
amnion atau infeksi intra amnion. Ruptur membran bukan menjadi syarat untuk
bisa terjadi infeksi intra amnion oleh karena mikroorganisme mampu melewati
membran yang utuh.
4. Setelah masuk ke kantong amnion, bakteri dapat masuk ke fetus melalui berbagai
jalur.

Gambar 1: Stadium ascending infeksi intrauterin


Korioamnionitis dan Mediator Infalamasi
A. Sitokin
Peningkatan pelepasan sitokin sebagai akibat dari suatu infeksi cairan amnion yang akan
didapati beberapa kadar yang meningkat seperti interleukin I (IL-I), IL6, tumor necrosis faktor-α
(TNF-α), IL8, colony-stimulating factor, macrophage activation protein-I-α, dan platelet-
activating factor di dalam cairan amnion selama infeksi intrauterin.
B. Fagosit
Inflamasi dari korioamnionitis akan juga melibatkan fagosit yang diaktivasi oleh
lipopolisakarida. Terutama lipoposakarida yang berikatan dengan protein dan larut di cairan
amnion.
Sedangkan pada bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis pada plasma bayi terdapat
kadar yang meninggi seperti lipokalin, marker aktivasi neutrofil, dan lizosim, marker aktivasi
monosit dan makrofag.
C. Metalloproteinases
Peninggkatan konsentrasi MMP-7 dan MMP-9 akan terjadi selama invasi mikroba ke
rongga amnion selama kehamilan. Sedangkan MMP-8 akan berperan inflamasi pada
serebrospinal, cairan amnion, dan menjadi indikator mengenai kondisi janin. Akan tetapi MMP-8
dapat menjadi prognosis yang buruk pada janin.

Hubungan Korioamnionitis dengan Palsi Serebral.

Palsi serebral menggambarkan berbagai gangguan fungsi motorik bersifat kronik, non
progresif, dan dikarakteristikkan dengan adanya perubahan pada tonus otot serta mempengaruhi
gerakan, kekuatan otot, keseimbangan, dan koordinasi.

Reaksi inflamasi dicetuskan oleh iskemik pada sistem susunan saraf pusat (SSP) yang
terdiri dari peningkatan jumlah leukosit, termasuk sel polimorfonuklear (PMN) yang diikuti oleh
monosit, aktivasi mikroglia, dan membutuhkan ekspresi molekul adhesi spesifik dan faktor
kemotaktik. Tingginya kadar sitokin proinflamasi ini seperti yang didapati pada korioamnionitis
bertanggung jawab untuk terjadinya cedera otak.

Banyak bukti yang mendukung adanya hubungan antara korioamnionitis dengan terjadinya
palsi serebral pada anak. Didapati hubungan yang kuat antara beberapa sitokin (IL-6, IL-1, IL-
8, TNF-) di cairan amnion dengan terjadinya palsi serebral. Namun, masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme terjadinya palsi serebral pada anak setelah
terjadi korioamnionitis.

Diagnosis Korioamnionitis

1. Demam suhu diatas 38C (100.4°F) atau lebih tinggi disertai ruptur membran menandakan
adanya infeksi.
2. Leukositosis yaitu didapatkannya angka leukosit di atas 16.000 /mm3.
3. Takikardia ibu (100x/menit)
4. takikardia fetus (160x/menit)
5. Uterus teraba tegang
6. Vaginal discharge yang berbau.
7. Hipotensi
8. Diaforesis
9. Kulit teraba dingin

Tatalaksana
Korioamnionitis merupakan infeksi polimikroba, terapi kombinasi dengan ampisilin dan
gentamisin sangat efektif. Terapi agen tunggal dengan cephalosporin generasi kedua atau ketiga
atau penicillin spektrum luas belum menunjukkan bukti efektif. Penambahan clindamycin
direkomendasikan pada pasien yang melakukan persalinan perabdominam, hal ini bertujuan
untuk menurunkan angka kejadian endometritis postpartum.10 Pemilihan antibiotik yang
berspektrum luas yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hari, dan
metronidazol 3 x 500 mg. Pada individu yang alergi terhadap antibiotik β laktam dapat diberikan
vancomycin 4 x 500 mg atau 2 x 1 gram atau erythromycin 4 x 1 gram atau clinddamycin 3 x
900 mg. Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik paska persalinan. Hal ini akan
mencegah atau menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada
dinding uterus.

Apabila korioamnionitis ditemukan pada pasien dengan ketuban pecah dini, lakukan
terminasi kehamilan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Apabila pasien belum inpartu,
dilakukan induksi persalinan untuk mempercepat persalinan. Bila janin telah meninggal
upayakan persalinan pervaginam, tindakan persalinan perabdominam (seksio sesarea) cenderung
menyebabkan sepsis.

Komplikasi
Faktor dari fetus biasanya abnormalitas kromosom dan kongenital.
Faktor dari ibu berhubungan dengan infeksi seperti vaginosis bakteri, infeksi intra amnion,
plasenta, faktor imunologik,trombophilia dan penyakit akut yang berat. Faktor infeksi terjadi 10-
25% pada kehamilan trimester kedua.
Korioamnionitis tidak berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan neurologis
secara umum. Faktor resiko neurologis terjadi pada bayi prematur >32minggu gestasitidak
signifikan.
Dampak neurologis yang merugikan berhubungan dengan ventilasi mekanik, pertumnuhan
pasca kelahiran jelek,.
Korioamnionitis dan preeklampsia akan berdampak buruk pada bayi prematur.
Daftar Pustaka

1. Cunningham, Leveno, Hauth B, Rouse, Spong. Obstetri Williams Vol 1 Ed 23. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2014.
2. Errol Norwitz, John Schorge. At a Glance Obstetri dan Ginekologi edisi kedua. Erlangga
Medical series. Jakarta: 2007.
3. Ratanawongsa B. Cerebral palsy. Diunduh dari: URL: http://www.emedicine.com/-
neuro/topic533.htm.
4. Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and chorioamnionitis: a review
of literature. J Midwifery Womens Health. 2008;53(3);227-235
5. Sherman MP. Chorioamnionitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/973237-overview. 8june 2015.
Brainmapping
Vingette

Seorang perempuan usia 25 tahun, G3P2A0 hamil 9 bulan datang instalasi gawat darurat
dengan keluhan keluar cairan berbau sejak 2 hari yang lalu. Ada pemeriksaan fisik dijumpai TD:
110/70 mmHg, Nadi 115x/menit, pernapasan: 21x/menit, suhu 38,8 C. Pada palpasi abdomen terdapat
nyeri dibagian fundus. Pada pemeriksaan DJJ didapat frekuensi 174 dpm.
1. Apa diagnosis pada kasus diatas?
a. Atonia uteri
b. Inpartu kala II
c. Korioamnionitis
d. Ketuban pecah dini
Jawaban: C
2. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat dilakukan?
a. Leukositosis
b. SGOT/SGPT
c. Haeoglobin
d. Urinalisa
Jawaban: A

Anda mungkin juga menyukai