Anda di halaman 1dari 35

KETUBAN PECAH DINI

NI’MATUL MUTHMAINNAH
Definisi

 Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai


pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
persalinan.
 Ketuban pecah dini preterm adalah pecah
ketuban yang terbukti dengan vaginal pooling,
tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia
<37 minggu sebelum onset persalinan.
Insidensi

 Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6%


kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi
pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan
7,4% dari kehamilan kembar2.
 PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari
semua kelahiran prematur, yang telah meningkat
sebanyak 38% sejak tahun 1981.
Faktor predisposisi

 Riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan


sebelumnya
 Infeksi traktus genital
 Perdarahan antepartum
 Merokok
Klasifikasi

 KPD aterm atau premature rupture of membranes


(PROM) usia gestasi >= 37 mggu
 KPD preterm atau preterm premature rupture of
membranes (PPROM)  34- <37 minggu
 KPD sangat preterm 24 - < 34 minggu
Patofisiologi

 Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan


proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks
ektraselluler amnion, korion dann apoptosis membran
janin. Membran janin dan desidua beraksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban
dengan memproduksi mediator spti Prostaglandin,
sitokini dan protein hormon yang merangsang aktivitas
“matrix degrading enzym”
 Prostaglandin mengganggu sintesis kolagen pada selaput
ketuban dan meningkatkan aktivitas matriks MMP
Patofisiologi

 Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen,


sampai infeksi (sampai 65%).
 High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.
 Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas,
jaringan retikuler korion dan trofoblas.
 Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan
prostaglandin.
 Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas
IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, 
terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion /
amnion selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah
spontan.
Patofisiologi

 Mekanisme pecah ketuban yang terjadi sebelum


aterm terjadi oleh karena berbagai faktor yang
akhirnya mempercepat lemahnya membran ketuban.
 peningkatan sitokin-sitokin lokal dan
ketidakseimbangan dalam interaksi antara
matrix metalloproteinase (MMP) dan tissue
inhibitor matrixmetyalloproteinase (TiMP),
peningkatan aktivitas-aktivitas kolagenase dan
protease, peningkatan tekanan intrauterin
(misalnya : Polyhydramnios).
Patofisiologi

 MMP ini merupakan suatu grup enzim yang dapat


memecah komponenkomponen matriks
ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam
selaput ketuban.
 MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan
tripel heliks dari kolagen fibrin (tipe I dan III), dan
selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9
yang juga memecah kolagen tipe IV.
 penghambat MMP  TIMP
Patofisiologi

 Faktor tambahan: gangguan jaringan ikat (misalnya


pada sindrom Ehlers-Danlos).
 Asending infeksi melalui kolonisasi bakteri juga
dapat menyebabkan lokal respon inflamasi
termasuk memproduksi sitokin-sitokin,
prostaglandin, dan MMP  melemahnya dan terjadi
degradasinya dari membran ketuban
Diagnosis
Anamnesis.
 penderita merasa keluar cairan yang banyak secara
tiba-tiba.
Pemeriksaan inspekulo
 pemeriksaan inspekulo 1 x dengan spekulum steril
untuk melihat adanya cairan yang keluar dari serviks
atau menggenang di forniks posterior. Jika tidak
ada, gerakkan sedikit bagian terbawah janin, atau
minta ibu untuk mengedan/batuk.
Tatalaksana

 Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk


mencegah mortalitas dan morbiditas perinatal pada
ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi
atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan
dibawah 37 minggu.
Tatalaksana

 Manajemen ekspektatif penanganan dengan


pendekatan tanpa intervensi
 Manajemen aktif mengintervensi persalinan.
Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu

 penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan


kehamilan adalah pilihan yang lebih baik.
 Resiko morbiditas minor neonatus seperti
hiperbilirubinemia dan takipnea transien lebih besar
jika dilahirkan
KPD usia kehamilan 34-38 minggu

 Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu,


mempertahankan kehamilan akan meningkatkan
resiko korioamnionitis dan sepsis
 penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan
kehamilan lebih buruk dibanding melakukan
persalinan.
KPD memanjang (>24 jam)

 Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD


preterm  mengurangi morbiditas maternal dan
neonatal dengan menunda kelahiran yang akan
memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
kortikosteroid prenatal.
 Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan
terbaik.
Manajemen Aktif

 Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi


awal.
 oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan
prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan
pada kasus KPD  me↓ risiko korioamnionitis dan
infeksi neonatal dibanding induksi pervaginam
 (+) kortikosteroid antenatal pada wanita dengan
KPD preterm menurunkan risiko respiratory
distress syndrome
 Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak
direkomendasikan
Medikamentosa yang digunakan pada KPD
Komplikasi

 Komplikasi Ibu
 Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa
infeksi intrauterin.
 Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis,
maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis.
Komplikasi

 Komplikasi Janin
 Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi
adalah persalinan prematur
 Neonatus yang lahir hidup dapat mengalami sekuele
seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan
neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom
distress pernapasan
Korioamnionitis
Definisi

 Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan


amnion
 Korioamnionitis dapat terjadi akibat invasi mikroba
ke cairan amnion dimana bakteri yang mencapai
rongga amnion menyebabkan terjadinya infeksi serta
inflamasi di membran plasenta dan umbilical cord
Etiologi

 Korioamnionitis dapat menyebabkan bakteremia


pada ibu, menyebabkan kelahiran prematur dan
infeksi yang serius pada bayi
 Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah bakteri
yang ascending dari saluran kemih ataupun genital
bagian bawah atau vaginitis
 Organisme penyebab organisme normal di vagina,
termasuk Eschericia coli, selain itu Streptokokus
grup B, Chlamydia trachomatis
Jalur infeksi

 Naik dari vagina dan


serviks
 Penyebaran hematogen
melalui plasenta (infeksi
transplasenta)
 Retrograde dari rongga
peritoneum melalui tuba
falopi
 Accidental pada waktu
melakukan prosedur
invasif, seperti
amniosentesis,
percutaneus fetal blood
sampling, chorionic
villous sampling, atau
shunting
Stadium Ascending Infeksi Intrauterin

Dibagi atas 4 stadium:


1. Terjadi perubahan flora normal di vagina/serviks atau
adanya organisme patologis (cth: Neisseria gonorrhoea)
di serviks. Beberapa bentuk bacterial vaginosis juga
dapat dijumpai pada manifestasi awal stadium
2. Organisme sudah masuk ke rongga intrauterin dan
berada di desidua  reaksi inflamasi lokal  desiduitis.
3. Mikroorganisme selanjutnya masuk ke korion dan
amnion  Infeksi menyebar ke pembuluh darah fetus
(koriovaskulitis) atau melalui amnion (amnionitis) ke
dalam ruang amnion, invasi mikroba pada ruang
amnion atau infeksi intra amnion.
4. Setelah masuk ke kantong amnion, bakteri dapat masuk
ke fetus melalui berbagai jalur.
Stadium Ascending Infeksi Intrauterin
Gejala klinis

 Gejala korioamnionitis dapat asimtomatik dan


berbeda-beda pada setiap wanita, meskipun
demikian, gejala yang umum didapati dapat berupa
demam, peningkatan denyut jantung ibu dan
janin, uterus yang lembut dan nyeri, serta
cairan amnion yang bau.
Diagnosis

Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang


ditegakkan bila ditemukan demam >380C dengan 2
atau lebih tanda berikut ini:
 leukositosis >15.000 sel/mm3
 denyut jantung janin >160 kali/menit
 frekuensi nadi ibu >100 kali/menit
 nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi
 cairan amnion berbau
Tatalaksana
Tatalaksana Umum
 Rujuk pasien ke rumah sakit.
 Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g IV tiap 6 jam
ditambah gentamisin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam.
 Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara
persalinan:
• Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan
dengan oksitosin
• Jika serviks belum matang: matangkan dengan
prostaglandin dan infus oksitosin, atau lakukan
seksio sesarea
 Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika
setelah persalinan. Jika persalinan dilakukan dengan seksio
sesarea, lanjutkan antibiotika dan tambahkan
metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam
selama 48 jam.
Tatalaksana

Tatalaksana Khusus
 Jika terdapat metritis (demam, cairan vagina
berbau), berikan antibiotika
 Jika bayi mengalami sepsis, lakukan pemeriksaan
kultur darah dan beri antibiotika yang sesuai selama
7-10 hari
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai