Anda di halaman 1dari 25

LCA Green Material

Ekologi Material Bangunan


Tiap-tiap bangunan akan mengkonsumsi jumlah sumber daya alam yang sangat banyak
dalam konstruksinya. Sebuah bangunan itu sendiri secara langsung akan memberi dampak
pada lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Dampak ini seringkali diabaikan karena
memang tidak langsung jelas terlihat. Namun pada kenyataannya ada banyak sekali dampak
yang ada. “There are more impacts than we could possibly know. Building projects may
impact on natural environments that are far removed from the site and may be accumulative
and long-term” (Graham, 2003). Terdapat lebih banyak dampak dari yang mungkin kita
bayangkan. Suatu proyek bangunan dapat memberi dampak pada lingkungan hidup yang
berada jauh dari tapak dan dampak tersebut bersifat akumulatif dan dalam jangka panjang.

Berdasarkan buku Building Ecology (2003) oleh Peter Graham, dalam mendukung
sustainable development diperlukan pengetahuan tentang daur hidup bahan. Life Cycle
Assesment (nilai daur hidup) atau yang sering disingkat dengan LCA merupakan suatu
pendekatan evaluasi yang bertujuan untuk memahami daur hidup lingkung bangun dan
dampaknya terhadap lingkungan melalui aplikasi material pada bangunan. Adapun kriteria
yang menjadi perhitungan dalam LCA diantaranya:

1. Pengambilan, proses, dan transportasi material mentah;


2. Produksi, transportasi, dan distribusi dari produk yang dihasilkan;
3. Penggunaan, penggunaan kembali dan perawatan;
4. Daur ulang dan pembuangan akhir.

Tujuan dari penerapan LCA:

1. Mengevaluasi beban lingkungan berkaitan dengan produk, proses, atau aktivitas,


mengidentifikasi dan memperhitungkan penggunaan energi, material, dan jumlah
sampah/limbah yang dilepaskan ke lingkungan;
2. Mengetahui dampak penggunaan sumber daya dan pembuangan limbah serta dampak
terhadap lingkungan;
3. Melakukan evaluasi dan menerapkannya memberikan kemungkinan untuk perbaikan.

Froschle (1999) dalam artikel “Environmental Assessment and Specification of Green


Building Materials” mengklasifikasikan kriteria material bangunan dalam pembangunan
berkelanjutan, diantaranya:

Tabel 1. Kriteria material bangunan dalam pembangunan berkelanjutan

No Kriteria/Variabel Deskripsi

1 Kadar racun rendah Bahan dengan tingkat toksisitas atau konsentrasi racun
rendah

2 Emisi minimal Bahan tanpa emisi kimia atau emisi kimia rendah
(VOC/Volatile organic compounds dan
CFC/Chlorofluorocarbons)

3 Konsentrasi VOCs Bahan yang dapat mengurangi jumlah kontaminan udara


rendah dalam ruangan

4 Kandungan hasil Produk dengan identifikasi konten daur ulang


daur ulang

5 Sumber daya yang Produk yang diproduksi dengan konsumsi energi dan
efisien limbah yang sedikit

6 Bahan daur ulang Bahan yang dapat didaur ulang di akhir masa pakainya

7 Komponen yang Komponen bangunan yang dapat digunakan kembali


dapat digunakan atau diselamatkan
kembali

8 Sumber Bahan-bahan alami terbarukan yang dibuat


berkelanjutan menggunakan sumber yang berkelanjutan

9 Bahan tahan lama Bahan yang kualitasnya sebanding dengan bahan


tradisional dengan harapan hidup yang panjang

10 Tahan kelembaban Produk yang tahan terhadap kelembaban atau


menghambat pertumbuhan kontaminan

11 Hemat energi Bahan yang membantu mengurangi konsumsi energi


pada bangunan

12 Pelestarian air Produk dan sistem yang dapat membantu mengurangi


konsumsi air

13 Meningkatkan IAQ Sistem atau peralatan yang menghasilkan IAQ yang


(Indoor Air Quality) sehat

14 Pemeliharaan yang Bahan yang memerlukan pembersihan sederhana dan


sehat tidak beracun

15 Produk lokal Bahan lokal sehingga menghemat energi untuk


transportasi ke lokasi proyek

16 Bahan terjangkau Biaya pembuatan bangunan sebanding pembuatan


dengan bahan konvensional

Sumber: Environmental Assessment and Specification of Green Building Materials (Froschle,


1999)
- Material yang dapat digunakan kembali dan memperhatikan sampah bangunan pada saat
pemakaian

Pemanfaatan kembali material dari bangunan lama menjadi lebih ekonomis dibandingkan
dengan biaya pembuangan yang semakin tinggi, peraturan yang semakin ketat, dan harga
material yang semakin tinggi.

- Material daur ulang

Memilih material bangunan yang dapat didaur ulang lebih diutamakan karena memberikan
keuntungan yang sangat besar terhadap alam. Kemampuan material untuk diolah kembali
dapat dilihat pada saat setelah material digunakan atau setelah material dihasilkan.

- Keaslian material

Apakah material tersebut datang dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui? Perkiraan
jarak dari sumber dan produk ke lokasi pembangunan juga harus diperhatikan. Memakai kayu
dari sumber yang jauh lebih dekat ke lokasi bangunan akan mengurangi biaya dan pengaruh
pengangkutan pada lingkungan, serta membantu ekonomi daerah setempat.

- Energi yang diwujudkan

Metode yang memperhitungkan seluruh energi dan biaya yang tidak terlihat namun
dibutuhkan pada saat memproduksi material. Energi tersebut dihitung mulai dari produksi
awal material, yaitu pengambilan material utama dan fabrikasi yang diperlukan, pengepakan
material, transportasi ke site, sampai ke pemasangan bangunan.

- Material yang mengandung racun

Bangunan dengan material yang mengeluarkan zat beracun secara lambat dengan campuran
lem, resin, dan campuran minyak dalam cat serta kandungan bahan organik dalam udara yang
dipakai sebagai campuran dalam material bangunan. Perancang sebaiknya menghindari
pemakaian bahan yang dapat menghasilkan formaldehyde, larutan organik, kandungan bahan
kimia dalam udara, klorofuorkarbon. Kandungan bahan kimia dalam udara dapat
mengakibatkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, sakit kepala dan iritasi
dermatologis dan beberapa penyakit lain.

- Memprioritaskan material alami

Material alami seperti batu, kayu, dan tanah umumnya menggunakan energi yang sedikit
untuk diproduksi, menghasilkan racun dan polusi yang lebih sedikit terhadap lingkungan.

- Mempertimbangkan durabilitas dan umur produk

Material yang berkelanjutan termasuk material yang tidak membutuhkan perawatan yang
tinggi dan tidak secara konstan diganti.
Klasifikasi Material Bangunan secara Ekologis

Heinz Frick (1998) di dalam bukunya Ilmu Bahan Bangunan, mengklasifikasikan


material bangunan berdasarkan penggunaan bahan mentah dan tingkat transformasi
(perubahan wujud fisik) yang terjadi dalam daurnya. Berikut adalah klasifikasi tersebut:

1. Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif)

Bahan bangunan organik nabati dan hewani yang dapat diaplikasikan langsung, tanpa
transformasi adalah jenis bahan bangunan ini. Contoh: kayu, rotan, rumba, alang-alang, kulit
binatang, dll. Bahan bangunan ini memiliki daur hidup alami (kemampuan budidaya), oleh
karena itu daurnya bersifat tertutup. Sehingga relatif tidak memiliki dampak negatif secara
ekologis. Dalam penggunaannya juga hanya membutuhkan energi yang sangat kecil.
Walaupun sifatnya regeneratif namun penggunaannya tetap harus dijaga agar tidak melebihi
kemampuannya beregenerasi secara alami.

Sebagai contoh bahan bangunan ini adalah kayu. Berikut jenis-jenis kayu berdasarkan buku
Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999):

- Kayu jati (Tectona grandis)

Tempat tumbuh: Jawa, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku, Lampung, dan Madura.

Tinggi mencapai 45 m, panjang bebas cabang 15-20 m. Gemang batang mencapai 2,20 m

Warna: Kayu teras cokelat kekuning-kuningan, cokelat kelabu sampai cokelat tua atau merah
cokelat.

- Kayu Kamper (Dryobalanops spp)

Tempat tumbuh: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kalimantan

Tinggi 35-45 m dan dapat mencapai 60 m, panjang batang bebas 25-30 m. Gemang batang
80-100 cm, bentuk batang sangat baik.

Warna: Kayu teras merah cokelat, merah kelabu, merah. Kayu gubal hampir putih sampai
cokelat kuning muda.
- Kayu Mahoni (Swietenia Mahagoni spp)

Tempat tumbuh: Jawa

Tinggi 35 m, bentuk silindris, tajuk bulat

Warna: Kayu teras cokelat muda kemerah-merahan atau kekuning-kuningan sampai cokelat
tua kemerah-merahan

Tabel 2. Kelas kayu menurut keawetannya

Kelas (tingkat) keawetan kayu I II III IV V

Selalu berhubungan dengan 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Sangat


tanah lembap pendek pendek

Tidak terlindung, tetapi 20 15 tahun 10 tahun Beberapa Sangat


dilindungi dari pemasukan air tahun tahun pendek

Tidak berhubungan dengan Tak Tak Sangat Beberapa Pendek


tanah lembap, di bawah atap dan terbatas terbatas lama tahun
dilindungi dari kelemasan beban
Seperti diatas tetapi selalu Tak Tak Tak
dipelihara terbatas terbatas terbatas 20 tahun 20 tahun

Agak Sangat Sangat


Serangan rayap Tidak Jarang cepat cepat cepat

Serangan bubuk kayu kering dan Hampir Tak Sangat


sebagainya Tidak Tidak tidak seberapa cepat

Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)

Tabel 3. Kelas kayu menurut kekuatannya

Berat jenis kering Keteguhan lentur Keteguhan tekan


Kelas kuat udara (kg/dm3) mutlak (kg/dm3) mutlak (kg/cm3)

I >0.90 >1100 >650

II 0.90 – 0.60 1000 – 725 650 – 425

III 0.60 – 0.40 725 – 500 425 – 300

IV 0.40 – 0.30 500 – 360 300 – 215

V <0.30 <360 <215

Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)

Seperti yang dijelaskan dalam buku Ilmu Bahan Bangunan, terdapat pula bahan perkayuan
seperti vinir dan kayu lapis (tripleks dan multipleks). Vinir adalah lembaran kayu tipis yang
diperoleh dengan cara mengupas atau mengiris dari dolok kayu jenis tertentu. Kayu yang
biasa untuk membuat vinir dari jenis kayu yang lunak, ringan, kelas kuat dan kelas awetnya
sekitar II – IV dan bila dikupas tidak mudah pecah/retak.

Kayu lapis adalah papan / panel buatan yang terdiri dari susunan beberapa lapisan vinil yang
mempunyai arah serat bersilangan tegak lurus dengan diikat oleh perekat tertentu, serta
jumlah lapisan harus ganjil. Penggunaan kayu lapis pada bangunan misalnya bekisting, daun
pintu, dinding penyekat, plafon, lapisan dasar lantai parket. Selain itu dapat diaplikasikan
sebagai perabot rumah tangga seperti lemari, tempat tidur, meja dan kursi.

2. Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali

Bahan organik bukan nabati atau hewani yang dapat langsung diaplikasikan pada
bangunan adalah jenis klasifikasi bahan bangunan ini, seperti: tanah liat, pasir, batu alam, dll.
Bahan bangunan ini sifatnya terbarukan, namun dapat dipergunakan berulang kali dengan
proses sederhana.
3. Bahan bangunan buatan yang dapat digunakan kembali

Klasifikasi bahan bangunan ini adalah bahan bangunan yang didapat sebagai limbah,
potongan, sampah, ampas, dan sebagainya dari perusahaan industri dalam bentuk bahan
bungkusan, mobil bekas, ban mobil bekas, serbuk kayu, potongan bahan sintetis, kaca, seng,
atau bermacam-macam kain.

Kaleng aluminium bekas memiliki ketinggian sekitar 130 mm, hampir sama dengan
ketebalan dinding batu-bata. Berdasarkan buku Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)
dikatakan bahwa kaleng aluminium bekas dapat dimanfaatkan untuk dinding bangunan.
Penyusunan kaleng bekas dilakukan secara teratur sehingga sisinya dengan bukaan kaleng
akan dapat diplester. Oleh karena aluminium akan beroksidasi bila terkena adukan/plesteran
semen, maka bagian-bagian lain yang tidak diplester harus segera dibersihkan.

4. Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana

Klasifikasi bahan bangunan ini adalah material yang bahan mentahnya berasal dari
alam, kemudian mengalami pengolahan yang mengakibatkan perubahan pada wujud
(transformasi) bahan. Contoh: batu bata dari tanah liat, genteng dari tanah liat, keramik,
logam dari bijih logam, seng, kaca dari pasir kuarsa, dll. Bahan mentah yang digunakan
sifatnya tidak terbarukan, namun bahan bangunan dapat digunakan kembali dengan perlakuan
tertentu.

Salah satu contoh bahan bangunan ini adalah keramik. Bahan keramik sebagai ubin keramik
adalah unsur bangunan yang dipergunakan untuk melapisi lantai ataupun dinding, biasanya
berbentuk pelat persegi dan tipis yang dibuat dari tanah liat atau campuran tanah liat dan
bahan mentah keramik lainnya, dibakar sampai suhu sedemikian tinggi, sehingga mempunyai
sifat-sifat fisik khusus. (Frick, 1999). Pada dasarnya hanya ada 2 jenis keramik yaitu:

a. Keramik yang mempunyai lapisan glazur (glazed)

Jenis keramik yang paling banyak di pasaran untuk aplikasi lantai maupun dinding. Lapisan
glazur diaplikasikan dengan temperature tinggi sehingga menyatu dengan badan keramik.
Lapisan inilah yang membuat motif desain dan tekstur keramik. Lapisan glazur membuat
keramik tahan air, tahan api dan mudah dibersihkan karena sangat padat dan tidak berpori.

b. Keramik homogenious tanpa lapisan glazur (unglazed)

Jenis keramik ini sekarang semakin trend dengan bermacam-macam desain. Tidak ada
lapisan apapun yang diaplikasikan pada keramik. Pencampuran bahan utama dan motif
keramik dilakukan sejak awal sebelum pembentukan body sehingga ada kesatuan warna
antara bagian permukaan dan belakang. Permukaan keramik mengkilat dengan cara dipolish.
Keramik jenis ini biasanya lebih tebal, keras dan lebih tinggi kekuatannya dari pada glazed
ceramic. Dikutip dari Rumah Ide (Online), ada beberapa jenis permukaan keramik baik yang
memakai lapisan glazur ataupun tidak, diantaranya:

a. Mengkilat dan licin. Biasa dipakai untuk keramik dinding ataupun keramik lantai
dalam ruangan. Tidak cocok untuk lantai yang sering terkena air atau area servis
dengan loading yang tinggi karena biasanya tidak tahan goresan.
b. Doff/Matte. Cocok untuk berbagai macam aplikasi hanya tidak licin dan mengkilat.
Biasa dipakai di rumah dengan desain minimalis. Lebih tahan terhadap goresan.

c. Bertekstur kasar. Cocok dipakai untuk lantai kamar mandi, carport atau ruang terbuka
yang sering terkena panas dan hujan. Jenis keramik ini tidak licin walaupun terkena
air.

d. Cutting edge. Permukaan keramik yang sangat siku pada keempat sisinya. Keramik
jenis ini dipotong setelah proses pembakaran. Dari segi harga pasti lebih mahal dari
pada keramik yang bukan cutting.
Contoh lain dari bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana
adalah seng. Di Indonesia, atap seng gelombang masih sering digunakan karena harganya
agak murah untuk atap yang kedap air hujan dan tahan lama dengan pengecualian pada
daerah yang mengalami udara tercemar sulfur (dekat gunung api, dsb).

Kaca merupakan salah satu bahan bangunan alam yang mengalami perubahan
transformasi sederhana. Material kaca dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain:

a. Kaca Tempered. Jenis kaca yang telah melalui suatu proses pemanasan hingga pada
tingkat suhu tertentu dan kemudian didinginkan seketika, sehingga menghasilkan
kaca yang mempunyai kekuatan dan kelenturan yang baik terhadap tekanan pada
kedua sisi permukaan kaca. Jenis ini biasa digunakan sebagai pintu shower, railing
tangga/balkon, dinding kaca ruangan, skylight.
b. Kaca Laminated. Lembaran kaca yang terdiri dari 2 lapisan kaca yang direkatkan,
sehingga dapat berfungsi untuk mencegah kemungkinan jatuh atau hancurnya kaca
akibat benturan pada salah satu sisinya. Kaca laminated juga dapat digunakan
sebagai skylight karena sifatnya yang dapat meredam sinar UV dan juga digunakan
untuk partisi dinding kaca suatu ruangan.

c. Kaca Polos dan Rayban. Kaca polos atau juga disebut kaca bening biasa yang
kemudian biasa dikembangkan menjadi kaca tempered, kaca laminated, kaca
double, dll. Kaca rayban adalah kaca gelap namun masih dapat tembus pandang,
umumnya dengan ketebalan 3 mm dan 5 mm.

d. Kaca Double Glass. Kaca yang dibentuk/digabung oleh 2 panel kaca dengan
terciptanya ruang antara panel yang memiliki ketebalan beberapa milimeter. Ruang
antara panel bersifat kedap udara dan memiliki kelembapan yang rendah, sehingga
pemasangan kaca double glassing pada sebuah ruangan menyebabkan ruangan
tersebut kedap suara dan suhu ruangan dapat terjaga dengan baik/stabil.
e. Kaca Reflective. Kaca yang hanya memiliki daya tembus pandang satu arah saja
sehingga dari bagian luar tidak dapat melihat bagian dalam suatu ruangan. Kaca
reflective biasa digunakan untuk eksterior gedung.

f. Kaca Bevel. Kaca yang sisinya memiliki tepi miring. Teknik bevel kaca digunakan
untuk menambah gaya dekoratif kaca karena dapat meningkatkan dampak visual
pada kaca.
5. Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan transformasi

Bahan bangunan jenis ini adalah material yang menggunakan bahan mentah fosil
(minyak bumi, arang, dan gas). Material yang dihasilkan berupa material sintetis seperti:
plastik, epoksi, polikarbonat, pvc, dll. Bahan sintetis merupakan bahan yang dinilai tidak baik
secara ekologis, karena; 1. Sulit di daur ulang, membutuhkan energi dan biaya yang besar; 2.
Pengolahan harus melalui beberapa proses yang tidak dapat dibalik (irreversible); 3.
Menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui (bahan mentah fosil).

Material bangunan merupakan salah satu sumberdaya proyek yang cukup dominan
dalam menentukan kualitas hasil konstruksi. Pemilihan material untuk digunakan pada
bangunan sama pentingnya dengan rancangan bangunan itu sendiri. Penggunaan material
yang tepat akan meningkatkan aspek estetika pada bangunan. Sebaliknya, penggunaan
material yang kurang atau tidak tepat kemungkinan besar akan menurunkan rancangan yang
dihasilkan secara keseluruhan (Ervianto, 2012).

Di samping aspek estetika, pemilihan material yang dapat mendorong penghematan


penggunaan energi sebaiknya terus dikembangkan. Menurut Mediastika (2013) kegiatan
konstruksi ternyata berandil besar dalam hal polusi gas buang yang secara tidak langsung
juga menunjukkan besarnya pemanfaatan energi pada kegiatan ini. Penggunaan energi pada
bangunan dapat dihitung sejak awal penyediaan material bangunan, proses pembangunan,
sampai saat bangunan ditempati. Penghematan energi pada tahap awal pemilihan material
dapat dilakukan dengan penggunaan material yang tersedia secara lokal. Selain dari sisi
konsumen, aspek penghematan juga ditinjau dari sisi penjual dan produsen. Penghematan
dari sisi penjual dan produsen terjadi manakala toko material juga mendapatkan pasokan
material dari daerah sekitarnya.

Mediastika (2013) mengklasifikasikan material bangunan berdasarkan aspek hemat


energi dan ramah lingkungan terdiri atas material alami lokal khas Indonesia dan material
bekas. Penerapan material alami lokal akan mendukung tumbuhnya ekonomi masyarakat,
menghemat biaya dan tenaga angkut. Penghematan dan pelestarian alam pun semakin
meningkat manakala digunakan material bekas atau material daur ulang.

a. Material Alami Lokal Khas Indonesia

Sebagai negara tropis yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia memiliki beragam
material mentah untuk diolah menjadi bahan bangunan yang berkualitas. Namun, tanpa
pertimbangan yang bijaksana, penggunaan material alami justru dapat menyebabkan
kepunahan dan terjadinya bencana alam. Sumber daya alam lokal yang sering dimanfaatkan
sebagai material bangunan adalah kayu. Permintaan yang tinggi akan kayu-kayu berkualitas
telah menyebabkan penebangan hutan secara serampangan. Beberapa jenis pohon yang
menghasilkan kayu berkualitas kini telah dilindungi dan dilarang ditebang. Begitupun dengan
permintaan yang tinggi akan batu alam yang telah menyebabkan terjadinya penambangan
batu alam ilegal di beberapa tempat (Mediastika, 2013).
Tabel 2.4. Material alami Indonesia

Bahan
Mentah/Asal Material Bangunan Daerah Penghasil

Merata di beberapa daerah di Indonesia


Pohon bambu Batang bambu

Jepara, Cepu, Bojonegoro


Pohon jati Kayu jati

Kebumen, Karang Pilang (Surabaya)


Tanah liat Genteng

Pohon kelapa Kayu kelapa (gelugu) Pantai Sulawesi dan Kalimantan

Pasir, semen Batako Merata di beberapa daerah di Indonesia

Lantai/dinding
Batu marmer marmer Tulungagung, Jawa Timur

Batu templek,
Berbagai jenis salagedang, Berbagai daerah di Jawa Barat
batu alam palimanan, batu paras,
batu andesit, batu
candi, batu kora/telur

Penutup atap Ijuk, rumbia, alang-


alang Berbagai daerah di Indonesia

Sumber: Mediastika (2013)

Secara umum dapat dipaparkan empat kelebihan penggunaan material alami atau
buatan lokal, yaitu:

1. Menghemat biaya angkut;

2. Lebih sesuai dengan iklim/keadaan setempat;

3. Material lokal dapat menambah nilai estetika bangunan melalui ide-ide kreatif;

4. Memberikan dukungan bagi pertumbuhan industri setempat.

Adapun kelemahan material lokal yakni kualitasnya mungkin kurang memadai.

b. Material Bekas

Selain penggunaan material lokal yang akan menghemat banyak energi dan
penggunaan material yang menjaga kelestarian alam, penggunaan material bekas atau
material daur ulang akan sekaligus memenuhi aspek hemat dan lestari. Menurut Ervianto
(2012) material bekas merupakan sisa material konstruksi dan sampah lain yang bersumber
dari aktivitas konstruksi, pembongkaran, dan pembersihan lahan di awal pelaksanaan proyek.
Efek jangka pendek dari material bekas dapat menghemat biaya pembangunan, sementara
efek jangka panjang yakni dapat membantu program pelestarian lingkungan yang hemat
energi. Beberapa pakar Sustainable Construction di Indonesia, seperti Achmad Deni
Tardiyana, Adi Purnomo, dan Eko Prawoto menyatakan bahwa penggunaan material bekas
merupakan salah satu gerakan sustainable karena memanfaatkan kembali barang bekas
merupakan upaya untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.

Menurut Skoyles (1976) dalam Asnuddin (2012) material bekas merupakan bagian dari
limbah konstruksi. Berdasarkan penyebabnya, limbah konstruksi dapat digolongkan
menjadi dua kategori, yaitu indirect waste dan direct waste. Indirect waste adalah sisa
material yang terjadi dalam bentuk pemborosan (moneter loss) akibat kelebihan pemakaian
volume material dari yang direncanakan dan tidak terlihat sebagai limbah di lapangan.
Sedangkan direct waste adalah sisa material yang timbul di proyek konstruksi karena rusak
dan tidak dapat diperbaiki dan digunakan kembali selama proses konstruksi.

Menurut Tchobanoglous dkk (1976) dalam Devia dkk (2010), sisa material konstruksi
yang timbul selama pelaksanaan konstruksi dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu:

1. Demolition waste adalah sisa material yang timbul dari hasil pembongkaran atau
penghancuran bangunan lama.

2. Construction waste adalah sisa material konstruksi yang berasal dari pembangunan
atau renovasi bangunan milik pribadi, komersil dan struktur lainnya. Sisa material tersebut
berupa sampah yang terdiri dari beton, batu bata, plesteran, kayu, sirap, pipa dan komponen
listrik.

Sehubungan dengan pembagian kategori sisa material bekas oleh Tchobanoglous dkk
terjadinya sisa material konstruksi dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari beberapa
sumber dan penyebab. Berikut adalah tabel sumber dan penyebab terjadinya sisa material
konstruksi menurut Gavilan dan Bemold (1994) dalam Devia dkk (2010):

Tabel 2.5. Sumber dan penyebab terjadinya sisa material konstruksi

Sumber Penyebab

 Kesalahan dalam dokumen kontrak


DESAIN  Ketidaklengkapan dokumen kontrak
 Perubahan desain
 Memilih spesifikasi produk
 Memilih produk yang berkualitas rendah
 Kurang memperhatikan ukuran dari produk yang
digunakan
 Desainer tidak mengenal dengan baik jenis-jenis produk
yang lain
 Pendetailan gambar yang rumit
 Informasi gambar yang kurang
 Kurang berkoordinasi dengan kontraktor & kurang
berpengetahuan tentang konstruksi
 Kesalahan pemesanan, kelebihan, kekurangan, dsb
Pengadaan  Pesanan tidak dapat dilakukan dalam jumlah kecil
 Pembelian material yang tidak sesuai dengan spesifikasi
 Pemasok mengirim barang tidak sesuai dengan spesifikasi
 Kemasan kurang baik, menyebabkan terjadi kerusakan
dalam perjalanan

 Material yang tidak dikemas dengan baik


Penanganan  Material yang terkirim dalam keadaan tidak padat/kurang
 Membuang atau melempar material
 Penanganan material yang tidak hati-hati pada saat
pembongkaran untuk dimasukkan ke dalam Gudang
 Penyimpanan material yang tidak benar menyebabkan
kerusakan
 Kerusakan material akibat transportasi ke/di lokasi proyek

 Kesalahan yang diakibatkan oleh tenaga kerja


Pelaksanaan  Peralatan yang tidak berfungsi dengan baik
 Cuaca yang buruk
 Kecelakaan pekerja di lapangan
 Penggunaan material yang salah sehingga perlu diganti
 Metode untuk menempatkan pondasi
 Jumlah material yang dibutuhkan tidak diketahui karena
perencanaan yang tidak sempurna
 Informasi tipe dan ukuran material yang akan digunakan
terlambat disampaikan kepada kontraktor
 Kecerobohan dalam mencampur, mengolah, dan kesalahan
dalam penggunaan material sehingga perlu diganti
 Pengukuran di lapangan tidak akurat sehingga terjadi
kelebihan volume

 Sisa pemotongan material tidak dapat dipakai lagi


Residual  Kesalahan pada saat memotong material
 Kesalahan pesanan barang, karena tidak menguasai
spesifikasi
 Kemasan
 Sisa material karena proses pemakaian

 Kehilangan akibat pencurian


Lain-lain  Buruknya pengontrolan material di proyek dan
perencanaan manajemen terhadap sisa material

Sumber: Jurnal Rekayasa Sipil. Vol.4, No.3, ISSN 1978-5658 (2010): 195-203
Tabel 2.6. Jenis sampah asal kegiatan pembangunan dan cara pengelolaannya

Sampah yang Diolah kembali Didaur ulang Digunakan kembali


berasal dari
kegiatan
pembangunan

Bahan organik: Dibakar dan abunya Konstruksi atap Kusen, jendela, dan
Kayu diserap kembali oleh kayu menjadi kusen pintu yang masih
akar tumbuhan dsb dalam keadaan baik

Kayu lapis Dibakar dan abunya Bekisting beton


diserap kembali oleh kayu lapis dapat
akar tumbuhan menjadi pelat untuk
(mengandung fenol langit-langit
formaldehide,
senyawa kimia
berbahaya)

Bambu Dibakar dan abunya


diserap kembali oleh
akar tumbuhan

Kertas/kardus Dikumpulkan dan Pembungkus barang-


diproses ulang barang
menjadi kertas
kembali (menghemat
± 50% energi)

Bahan anorganik: Tanah timbunan


Tanah galian

Tanah liat Dicetak dan dibakar Dicetak menjadi


menjadi batu bata, batu tanah liat
genteng, tanah liat,
dsb

Pasir/kerikil Dicampur semen Lapisan kersik untuk


menjadi beton jalan

Ubin/genteng beton Digiling menjadi Lapisan pecahan


pasir batu untuk jalan

Batu bata, genteng Digiling menjadi


tanah liat semen merah

Kaca Dilebur menjadi Dipasang pada


kaca baru jendela yang lain

Logam (besi, baja, Dilebur menjadi Dipotong/dilas dan Digunakan sebagai


kaleng, dsb) logam baru dibentuk baru tulangan dalam
beton

Bahan sintetis: Pipa Diproses lagi Dipotong/dilem


plastik, dsb menjadi bahan disambung pipa
sintetis berkualitas
rendah

Cat sintetik Sisa digunakan pada


tempat lain

Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 2010)

Siklus Material Bangunan

Pada prinsipnya, setiap material bangunan mempunyai siklus hidup, dimulai dari
pengambilan bahan baku di tempat asal dan berakhir di tempat pembuangan (Ervianto, 2012).
Dalam konsep bangunan yang ramah lingkungan, siklus hidup material tidak boleh berakhir
di tempat pembuangan begitu saja, namun material tersebut sedapat mungkin dimanfaatkan
kembali dengan cara digunakan kembali (reuse), diolah kembali (recycling), dan apabila
memang tidak dapat untuk kedua hal tersebut di atas maka harus dibuang dengan cara yang
ramah lingkungan. Adapun siklus hidup material bangunan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.6. Siklus hidup material bangunan

Sumber: Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau (Ervianto, 2012)

A. Daur Ulang
1. Pengertian Daur Ulang

Daur ulang merupakan tindakan mengembalikan sesuatu yang telah digunakan kepada
suatu siklus atau daurnya sehingga pada akhirnya sesuatu itu dapat digunakan kembali
(David, 1992). Menurut pengertian tersebut, suatu kegiatan dapat didefinisikan sebagai
kegiatan daur ulang jika mencakup tiga jenis proses, yaitu:

 Collection, yakni kegiatan mengumpulkan material-material yang tidak digunakan


lagi.
 Manufacturing, yakni kegiatan produksi dengan menggunakan material bekas sebagai
bahan mentah untuk menghasilkan produk baru.
 Consumption, yakni kegiatan memakai produk baru yang diolah dari material bekas.

Menurut Berge (2000) dalam bukunya The Ecology of Building Materials, ada tiga
tingkatan hierarkial daur ulang sesuai dengan manfaat yang diperoleh, yaitu:

1. Re-use

Re-use atau penggunaan kembali ialah tingkatan tertinggi dalam daur ulang, yaitu
menggunakan kembali barang yang sudah dipakai namun masih memiliki sisa umur. Ia
merupakan tingkatan tertinggi karena tidak memerlukan energi untuk merubah bentuknya
atau mengolahnya menjadi bahan layak pakai. Kalaupun diperlukan, energi tersebut dipakai
hanya untuk mengangkut atau memindahkan material tersebut. Material yang di re-use adalah
material yang siap pakai namun tidak lagi dipakai oleh pengguna sebelumnya.

2. Recycling

Recycling adalah proses daur ulang yang memerlukan energi dan proses untuk
menjadikan material bekas pakai menjadi material yang layak pakai. Energi yang digunakan
dalam proses pengubahan ini haruslah sebanding dengan fungsi yang bisa diembannya kelak.
Adakalanya material layak pakai hasil daur ulang tidak tahan lama saat digunakan dan
terkesan menyia-nyiakan energi yang sudah dikeluarkan saat proses recycling. Pada material
tertentu, recycling menghasilkan material dengan mutu lebih rendah, seperti PVC menjadi
pot bunga, balok beton menjadi agregat atau campuran adukan semen untuk lantai, dsb.

3. Energy recovery

Energy recovery merupakan jenjang terendah dalam daur ulang. Semua material yang
sudah tidak mungkin dipakai dibakar untuk memperoleh energi potensial yang masih terdapat
dalam material melalui proses pembakarannya. Contoh yang paling umum yaitu membakar
kayu bekas untuk penghangat pada perapian atau memasak. Dalam hal ini, material bekas
tidak lagi dapat dipertahankan fungsinya ataupun sudah habis masa pakainya.

Re-use dapat dibedakan menjadi tiga: (a) building reuse, (b) component reuse, (c)
material reuse (Saleh T.M., 2009). Reuse sebuah bangunan dapat terjadi manakala seluruh
bangunan dapat diselamatkan tanpa proses penghancuran melainkan melalui proses relokasi
dan renovasi. Reuse sebuah bangunan harus berurusan dengan perencanaan dan desain yang
kompleks untuk mendapatkan manfaat maksimal dari aspek lingkungan dan ekonomi. Hal ini
dapat menghemat pemakaian sumberdaya alam termasuk didalamnya bahan baku, energi, dan
air. Selain itu, reuse bangunan mampu mencegah tirnbulnya polusi yang disebabkan oleh
pengambilan material, produksi, transportasi dan mencegah timbulnya limbah padat yang
berakhir di tempat pembuangan (Saleh T.M., 2009).

Re-use komponen bangunan diutamakan untuk bagian interior non struktur, seperti
dinding interior, pintu, lantai, plafon yang akan digunakan untuk hal yang sama atau untuk
hal lain sampai habis umur pakai komponen tersebut. Agar komponen dapat digunakan
kernbali perencana dan arsitek ikut berperan untuk menciptakan desain inovatif yang
memungkinkan untuk dipasang dan dibongkar tanpa mengalami kerusakan agar dapat
dipasang pada bangunan lain (McGraw-Hill Construction dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S.,
Muhamad, A., dan Surjamanto, 2012). Reuse material hasil dekonstruksi struktur bangunan
dalam bangunan baru sangat dianjurkan guna mempertahankan nilai ekonomis, mengurangi
energi yang dibutuhkan dalam proses daur ulang, dan meminimalkan kebutuhan cetakan dan
sumberdaya alam terutama pengurangan terjadinya CO2.

Menggunakan material sampai habis umur pakainya menjadi prioritas utama bagi
arsitek dan perencana dalam memillih jenis material yang akan digunakan. (Chini, A. R.,
dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S., Muhamad, A., dan Surjamanto, 2012).

Re-use adalah menggunakan kembali berbagai material dengan cara:

 Dekonstruksi, material digunakan kembali dalam bentuk yang sama


 Limbah material yang tetap digunakan sama dengan fungsi sebelumnya

Sementara proses daur ulang dengan metode recycle memiiki karakteristik sebagai berikut:

 Dalam proses daur ulang bahan mengalami perubahan wujud fisik


 Proses daur ulang membutuhkan teknologi yang relatif tinggi
 Membutuhkan energi yang relatif besar
 Biasanya dilakukan secara massal/bersifat pabrikasi
 Membutuhkan modal yang besar
 Proses melibatkan proses fisika dan/atau kimia

Salah satu kekurangan dari proses ini adalah besarnya jumlah energi yang dibutuhkan
dalam proses daur ulang. Selain energi yang dipakai dalam proses daur ulang energi
kandungan bahan (embodied energy) juga relatif tinggi. Hal ini disebabkan proses recycle ini
memiliki output berupa bahan yang belum siap pakai, masih harus melalui beberapa proses
lagi di dalam daur bahannya sebelum benar-benar bisa diaplikasikan pada bangunan. Proses
ini paling tidak efisien dalam pemanfaatan energi (Smith, 2007).

Oleh karena itu, proses ini dapat dikatakan baik secara ekologis apabila total energi
yang digunakan dalam proses daur ulang tidak lebih besar apabila dibandingkan dengan total
energi yang digunakan dalam ekstraksi sumber daya alam mentah menjadi material bangunan
tersebut. Namun proses ini tetap akan lebih baik secara ekologis apabila dilihat dari sudut
pandang konservasi sumber daya alam terutama sumber daya alam yang tak terbarukan. Hal
ini disebabkan bahan mentah dalam proses daur ulang tidak lagi diambil dari alam melainkan
dengan memanfaatkan sampah. Proses ini biasanya diterapkan pada material-material bekas
yang secara fisik tidak memadai lagi, namun secara materi material-material ini masih
memiliki nilai. Misalnya baja yang sudah berkarat, kayu yang sudah lapuk, kaca yang telah
pecah, dll. Dalam daur ulang bahan, proses ini dapat mengembalikan material (dalam bentuk
produk) kepada bentuk dasarnya.

Salah satu contoh penerapan recycle adalah pada proses daur ulang bahan kaca jendela.
Dalam proses pengolahan kembali kaca mengalami perubahan wujud dari padat menjadi cair
dalam proses peleburan. Peleburan ini akan dilakukan dengan melakukan pemanasan pada
kaca dengan suhu yang sangat tinggi. Energi yang besar dibutuhkan dalam proses peleburan
ini. Proses daur ulang dengan recycle ini membutuhkan teknik-teknik tertentu yang
menyebabkan proses ini tidak dapat dilakukan secara mudah.

Dalam melakukan proses daur ulang pada bangunan dibutuhkan ketelitian dalam
melihat potensi yang terdapat pada material-material bekas/sisa dan juga ketelitian dalam
memutuskan metode daur ulang yang akan dilakukan pada material. Begitu banyak material
bekas yang dapat didaur ulang sehingga dapat diaplikasikan kembali pada bangunan.
Berbagai karakteristik yang ada pada cakupan daur ulang perlu dipahami untuk menghindari
kegiatan daur ulang yang tidak tepat guna pada material. Tindakan daur ulang yang tidak
tepat dapat mengakibatkan pemanfaatan materi yang tidak optimal dan efisien. Akibatnya
dapat memberi dampak buruk bagi lingkungan.

B. Pengolahan Material Daur Ulang

Bahan baku dapat diperoleh melalui mekanisme yang terbentuk secara alamiah dimana
pemulung merupakan ujung tombaknya. Adapun mekanisme untuk mendapatkan bahan baku
berupa barang bekas sampai pada level industri adalah sebagai berikut:

Gambar 2.7. Mekanisme pengadaan bahan baku dalam proses daur ulang

Sumber: Ervianto dkk dalam Jurnal Teknik Sipil. Vol. 12, No.1 (2012): 18-27.

Pengolahan bentuk material habis pakai dapat dibagi menjadi dua kemungkinan. Yang
pertama, material akan diolah di tempat pengepul untuk tahap penyeleksian dan perbaikan
material (sesuai kriteria), sedangkan untuk pengolahan cara kedua dilakukan di lapangan
dimana pengolahan material seperti yang dilakukan pada material-material baru untuk
diterapkan pada bangunan.
Pengepul dapat dibedakan menjadi pengepul lokal, pengepul wilayah dan pengepul
yang mempunyai akses ke industri. Pengepul adalah pengumpul material bekas yang
dihasilkan oleh pemulung. Tingkatan tertinggi dari pengepul ini apabila pengepul tersebut
mempunyai akses untuk memasok material bekasnya ke industri yang membutuhkan.
Pengepul pada tingkatan ini mempunyai pendapatan yang lebih besar bila dibandingkan
dengan pengepul-pengepul yang memasoknya. Pengepul material bekas bangunan banyak
dijumpai di beberapa kota besar diantaranya adalah Surabaya di daerah Dupak, Semarang di
Jalan Kokrosono dan Barito, beberapa lokasi di Surakarta, di Yogyakarta dapat dijumpai di
jalan lingkar utara dan selatan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Wulfram (2012) terhadap beberapa pengepul


material bekas, untuk membuka usaha ini syarat utamanya adalah tersedianya lahan yang
cukup luas agar dapat menampung bongkaran bangunan sebanyak mungkin. Pertimbangan
utamanya adalah agar dapat melayani pembeli secara maksimal sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Hal ini penting karena semakin luas lahan maka semakin mudah untuk
memasang semua material bekas berupa komponen bangunan sehingga mudah ditemukan.

C. Penerapan Material Bekas pada Bangunan

Pada pembongkaran bangunan dan renovasi bangunan, komponen bangunan yang


masih mempunyai nilai dapat digunakan kembali pada proyek tersebut, atau disimpan dan
digunakan kembali pada proyek tersebut, atau disimpan dan digunakan kembali pada proyek
lain, atau dijual untuk tetap digunakan sesuai fungsinya maupun beralih fungsi lain. Menurut
Mediastika (2013) dalam bukunya yang berjudul Hemat Energi & Lestari Lingkungan
Melalui Bangunan, penggunaan material bekas untuk konstruksi bangunan dan pengolahan
lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Material bekas bangunan atau sisa-sisa material bangunan untuk material bangunan.

2. Material bekas selain dari bangunan untuk material bangunan.

Mediastika (2013) menjelaskan bahwa pada jenis yang pertama dapat diambil contoh
pemakaian kayu bekas, besi bekas, genteng bekas, atau sisa/pecahan lantai keramik dari
renovasi rumah yang tidak terpakai, kemudian digunakan oleh para pekerja konstruksi untuk
membangun atau memperbaiki rumahnya sendiri. Contoh pemanfaatan material bekas
lainnya adalah sebuah bengkel kerja karya dan milik Paulus Mintarga di Colomadu,
Karanganyar, Solo, Jawa Tengah. Bengkel atau studio ini dinamai “Rempah” kependekan
dari remukan sampah karena memang didirikan dengan 90% material bekas, baik itu
sisa/potongan besi kanal, sisa kayu, kulit kayu, anyaman bambu, dan sebagainya.
Gambar 2.8. Bengkel kerja “Rempah”

Sumber: http//unik.kompasiana.com

Sementara pada jenis yang kedua adalah pemanfaatan material non-bangunan untuk
konstruksi bangunan, seperti botol, kaleng, dan sebagainya. Botol dan kaleng bekas dapat
digunakan pada tata lanskap, misalnya sebagai pembatas antara area tanaman (taman) dengan
area perkerasan. Botol dan tutupnya (baik tutup aluminium, plastik, maupun gabus) juga
dapat digunakan untuk memberikan keunikan pada perkerasan ruang luar.

Gambar 2.9. Dinding dari botol

Sumber: www.gmtproperty.com

Salah satu contoh penerapan material bekas sebagai elemen interior bangunan terdapat
pada Rumah Heinz Frick yang akan dijelaskan sebagai berikut:

- Rumah “Tropis” Heinz Frick


Rumah ini terletak di atas bukit Simongan dekat sebuah kawasan industri di sisi selatan
Semarang. Bukit ini memiliki jenis tanah yang kurang subur sehingga ideal menjadi tempat
tinggal bagi Dr. Heinz Frick, karena tidak mengurangi lahan produktif pertanian. Bukit ini
telah terpapras sebagian untuk reklamasi pantai Semarang dan kondisi ini mengancam
kelangsungan komunitas yang tinggal di bukit tersebut. Maka dari itu, rumah ini dibangun
untuk melakukan advokasi untuk komunitas tersebut dalam mempertahankan lingkungan.

Rumah karya Dr. Heinz Frick yang terletak di Jalan Srinindito, Simongan, Semarang
menerapkan prinsip desain ramah lingkungan sekaligus tetap terjangkau. Rumah yang
memiliki luas 140 meter persegi (luas bangunan 88 m2 dan luas teras 43.6 m2) yang terletak di
atas lahan seluas 350 meter persegi ini telah menjadi perhatian publik karena desainnya yang
ramah lingkungan dan unik serta menerapkan material bekas yang dimanfaatkan kembali
sebagai bahan material pada bangunannya. Bangunan ini berdiri sejak tahun 1999, biaya
pembangunan rumah mencapai Rp. 150 juta. Hal ini menunjukkan bahwa desain rumah yang
ramah lingkungan dan terjangkau menjadi jawaban bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas merupakan masyarakat menengah ke bawah. (Tanuwidjaja, 2012).

Gambar 2.10. Rumah Heinz Frick Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63.
ISSN 1410-6094

Desain rumah menggunakan tenaga lokal dan material lokal sesuai dengan sub-aspek
material bangunan yang berkelanjutan seperti material batako, batu alam, kayu daur ulang,
atap genteng serta baja. Selain itu, limbah daur ulang berupa ubin bekas, limbah kertas,
limbah kayu, dan besi beton juga digunakan.

Gambar 2.11. Pagar teras dari kayu bekas dan dinding pecahan keramik bekas Sumber:
Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Kayu bekisting yang digunakan dalam pengecoran rumah ini berasal dari Kalimantan.
Sementara, kayu usuk Bangkirai (5x7cm) dari sumber yang sama dimanfaatkan untuk
konstruksi rangka langit-langit dan pagar teras. Pecahan keramik dari UNIKA digunakan
ulang secara kreatif untuk finishing dinding dan lantai kamar mandi tamu. Plafon pada rumah
ini didesain dengan banyak material bekas. (1) Papan-papan akustik dari vermikulit yang
dibongkar oleh Pelatihan Industri Kayu Atas (PIKA) dari tempat lain, dimanfaatkan sebagai
langit-langit di dapur, teras, ruang makan, dan ruang keluarga. (2) Papan bekas peti kemas
uang digunakan untuk langit-langit selasar. (3) Kayu-kayu bekas PIKA yang juga digunakan
untuk membuat lubang penghawaan pada langit-langit dapur.

Gambar 2.12. Plafon dari papan akustik bekas Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1).
pp. 44-63. ISSN 1410-6094

Gambar 2.13. Plafon dari kayu peti kemas bekas Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11
(1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094

Tangga pada teras barat rumah ini, yang menuju ke tangki air atas, dibangun
menggunakan tiang lstrik bekas sebagai balok tangga, lempengan besi sebagai anak
tangganya, dicor dengan beton dan difinishing dengan batu alam.

Gambar 2.14. Tangga dari bahan tiang listrik bekas Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11
(1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Desain rumah karya Dr.Heinz Frick, Semarang merupakan rumah tropis yang ideal dan
memiliki fitur-fitur desain yang ramah lingkungan sekaligus tetap terjangkau karena
memanfaatkan kembali material bekas maupun lokal sebagai elemen arsitekturnya.

Anda mungkin juga menyukai