(KEP)
Nama:
TINGKAT 2A
2019/2020
RESUME JURNAL TENTANG KEP
Gangguan gizi ini sering terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun (balita), ibu yang
sedang mengandung atau menyusui. Berdasarkan pengukuran antropometri, dapat dinilai
status gizi seseorang. Jika berat badan (BB) seorang anak <-3SD pada kurva WHO, anak
tersebut dikatakan sebagai penderita gizi buruk. Ada 3 tipe KEP, yaitu marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. KEP dan status gizi yang buruk dapat
menyebabkan penderita rentan terkena penyakit, seperti batuk. Batuk yang tidak kunjung
sembuh merupakan salah satu gejala yang ada pada penyakit TB.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita adalah diare dan gejala infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksa, seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura .Sebagian besar dari infeksi saluran pernafasan hanya
bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik,
namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru tidak diobati dengan
antibiotik dapat mengakibatkan kematian. Malnutrisi akan menyebabkan rentannya
penderita terhadap infeksi seperti ISPA dan ISPA akan memperburuk keadaan
malnutrisi.Anak yang kurang gizi dalam perjalanan hidupnya lebih peka terhadap ISPA
(Depkes RI, 2000).Disamping penyebab, perlu juga diperhatikan faktor resiko yang
mempengaruhi dan atau memudahkan terjadinya penyakit ISPA, antara lain gizi
kurang,,tidak mendapat air susu ibu yang memadai, polusi udara, tempat tinggal padat,
imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kejadian terjadinya ISPA diantaranya yaitu :umur, Kekurangan Energi Protein (KEP),
defisiensi vitamin A, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, malnutrisi dan infeksi saling
berinteraksi (timbal balik). Gejala ISPA yang ditibulkan dapat berupa batuk, sesak nafas dan
demam sehingga dapat menyebabkan balita kurang tidur dan mengganggu aktivitas sehari-
hari. Upaya untuk menurunkan kejadian ISPA pada balita KEP yaitu memperbaiki status gizi
balita melalui pemenuhan asupan nutrisi pada balita sehingga daya tahan tubuh meningkat
dan tidak rentan terhadap penyakit infeksi.Dalam pelaksanaan upaya pencegahan tersebut
diperlukan kerjasama antara petugas kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan yaitu
memberikan pengetahuan dan pendekatan dengan melakukan penyuluhan untuk menjaga
kesehatan balita dari penyakit infeksi dengan memberikan asupan nutrisi yang adekuat
sehingga tidak terjadi malnutrisi.
Diare juga merupakan salah satu penyakit infeksi yang berperan dalam kejadian
malnutrisi. Diare disertai dengan gejala mual dan muntah dapat mmeningkatkan kehilangan
cairan tubuh yang berdampak pada dehidrasi dan penurunan berat badan seseorang dan
apanila berlangsung dalam jangka panjangakan memperparah kondisi gizi kurang dan
meningkatkan terjadinya kondisi gizi buruk balita.
Pasien yang mengalami kekuranagn energi protein tipe marasmus sering mengalami
muntahmuntah dan mencret sejak usia 3 bulan. Biasanya, hal ini akan sembuh sendiri
dalam waktu 1-2 hari. Frekuensi muntah dan mencret sempat sangat sering ketika pasien
berusia 1 tahun 1 bulan, berat badan pasien turun 0,5 Kg saat mengalami penyakit tersebut,
dari 6,9 Kg menjadi 6,4 Kg. Saat itu, pasien dibawa ke bidan untuk pengobatan. Dalam 8
hari, pasien sembuh. Namun, sejak setelah diare tersebut, berat badan pasien tidak pernah
melebihi berat tertingginya (6,8 Kg).
Selain itu, sudah sejak lama pasien mengalami batuk, sejak pasien berusia 6 bulan.
Batuk tidak berdahak dan tidak berdarah. Tidak ada faktor pemicu batuk, batuk muncul
dalam cekung. Dilakukan pemeriksaan darah dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Dilakukan
juga pemeriksaan kimia darah, dan hasilnya tidak ada gangguan elektrolit. Pada
pemeriksaan feses dan urine rutin tidak ada tanda-tanda infeksi; baik bakteri, virus ataupun
parasit. Pemeriksaan thorax dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran radiologi
dari jantung-paru pasien, dan dari hasil rontgennya, diketahui bahwa pasien menderita TB
paru primer.
Pada keadaan marasmus yang menyolok ialah pertumbuhan yang kurang atau
terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada mulanya kelainan
demikian merupakan suatu proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh
memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan. Kebutuhan ini tidak
terpenuhi pada intake yang kurang, karena itu untuk pemenuhannya digunakan cadangan
protein tubuh sebagai sumber energi. Marasmus bermanifestasi sebagai gejala klinis berikut
: • Tampak sangat kurus, hanya tulang berbungkus kulit.
• Cengeng, rewel.
• Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
• Perut cekung.
• Iga gambang.
• Sering disertai penyakit infeksi kronis berulang, diare kronik, atau susah buang air
besar.
Permasalahan yang sering ditemui pada anak dengan gizi buruk dan TB adalah sulit untuk
senbuh sempurna. Sehingga disarankan pada pasien untuk memperbaiki pola makan,
misalnya bagaimana cara membuat makanan dengan kandungan energi dan zat gizi yang
cukup dan sesuai dengan umur anak dan makan bersama untuk meningkatkan ikatan
antara orangtua-anak. Juga diberikan edukasi cara meminum obat TB, tidak boleh putus
dan secara teratur.
Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah KEP. Proporsi anak yang gizi
kurang dan KEP berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan
penduduk, semakin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi, semakin tinggi
pendapatan semakin kecil persentase anak yang menderita KEP. KEP berpotensi sebagai
penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas.
Masalah gizi disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah asupan
makanan (energi dan protein) dan penyakit penyerta. Sedangkan faktor tidak langsung
adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial
budaya, ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan.
Ibu merupakan pelaku yang pertama dan utama bagi anak. Pendidikan
mempunyai peran yang cukup dominan dalam mendukung kesehatan anak dan tumbuh
kembangnya balita. Faktor pendidikan dapat menjadi penyebab KEP karena berpengaruh
terhadap pengetahuan ibu baik dalam pemenuhan gizi, maupun pemberian makanan pada
Balita. Pengetahuan dan keterampilan yang kurang di bidang memasak, konsumsi anak,
keragaman bahan yang diolah, dan jenis makanan akibat rendahnya pengetahuan ibu dapat
mempengaruhi kejiwaan anak, misalnya kebosanan. Apabila anak sudah mengalami
kebosanan ibu akan kesulitan dalam memberikan makanan, anak menjadi susah makan jika
keadaan tersebut tidak disadari dan berlangsung secara terus menerus maka keadaan ini
dapat mengakibatkan KEP meskipun dalam keluarga tersebut mampu menyediakan bahan
makanan yang bermutu dan bergizi sesuai dengan kebutuhan Balita.
Balita tidak mendapat makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik
bagi bayi yaitu Air Susu Ibu (ASI) dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitasnya maka akan
berpengaruh terhadap status gizi bayi dan Balita. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan
dan pengetahuan yang rendah seringkali anak harus puas dengan makanan seadanya yang
tidak memenuhi kebutuhan gizi Balita karena ketidaktahuan orang tua.
Pemberian makanan yang seimbang dan bergizi tidak selalu identik dengan
memberikan bahan makanan yang mahal dan tidak terjangkau. Penggunaan bahan lokal
yang nilai gizinya baik perlu diutamakan, karena keterjangkauan dan ketersediaannya
sangat membantu dalam pemenuhan gizi yang baik. Beberapa aspek yang terkait dalam
pemberian makanan pada balita diantaranya nilai gizi makanan, pola pemberian, pemilihan
bahan makanan cara pengolahan, kebersihan serta keamanannya.
Nurwijayanti. (2016). Keterkaitan kekurangan energi protein (kep) dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan akut (ispa) pada balita usia (1-5 tahun). Jurnal Care Vol. 4, No.3
Putri halimu H, sri H, Giri Satria H. (2015). Gambaran pola makan balita kurang energi
protein (KEP) di wilayah puskesmas Selogiri.
Sylvia Victoria. (2015). Protein energy deficiency type marasmus with pulmonary
tuberculosis. Agromed Unila 2015; 2(1):47-51
Sukesi Niken. (2015). Perilaku ibu dalam penanganan kep pada anak balita di Puskesmas
Ngemplak Simongan Semarang.
Diniyyah dan Nindya . (2017). Asupan energi, protein, dan lemak dengan kejadian gizi
kurang pada balita usia 24-59 bulan di desa Suci, Gresik. Amerta nutr 341-350
Azizah dan Adriani. (2017). Tingkat kecukupan energi protein pada ibu hamil trimester
pertama dan kejadian kekurangan energi kronis. Media Gizi Indonesia. Vol. 12, No. 1
Januari–Juni 2017: hlm. 21–26