Anda di halaman 1dari 162

Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DISKURSUS PEMIKIRAN ORIENTALIS TENTANG TAFSIR HADIS


Sebuah Over View
Abdul Karim

PENULISAN & KODIFIKASI HADIS


MENURUT MUHAMMAD MUSTAFA AL-A'ZAMI
Umma Farida

INTERPRETASI KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED


Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman
Lien Iffah Naf'atu Fina

RAHASIA PENGULANGAN REDAKSI DALAM


SURAT AL-RAHMAN
Ahmad Atabik

PEMIKIRAN POLITIK DALAM TAFSIR FATH AL-QADIR


Pembacaan atas Konsep Ketatanegaraan dalam al-Quran yang Ditulis
al-Shawkany
Yusuf Hanafi

KIAMAT DALAM AL-QUR'AN DAN PESAN MORAL


Efa Ida Amaliyah

MAHASIN AL-TA'WIL FI TAFSIR AL-QUR'AN AL-KARIM


KARYA AL-QASIMI
Aat Hidayat

MENELISIK REBOISASI DALAM HADIS


Upaya Menemukan Ideal Moral dalam Hadis tentang Anjuran Menanam
Ahmad Suhendra
Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Jurnal Berkala Program Studi Tafsir Hadis


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
Pelindung
Ketua STAIN Kudus

Penanggung Jawab
Fathul Mufid

Penyunting Ahli/Mitra Bestari


Muhibbin Noor (IAIN Walisongo Semarang)
Sahiron Syamsuddin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Ahmad Hakim (IAIN Walisongo Semarang)

Pemimpin Redaksi
Nur Said

Sekretaris Redaksi
Ahmad Atabik

Redaktur Pelaksana
Umma Farida

Editor
Ulya
Nur Mahmudah

Desain Grafis & Lay Out


M. Nuruddin
Efa Ida Amaliyah
Abdul Karim
Anas Marzuki

Sekretariat
Muhammadun
Nur Cholis
Dwi Sulistiono
Muhamad Zaenal Abidin
Ahmad Anif

Alamat Redaksi
Kantor Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis STAIN Kudus
Jl.Conge Ngembalrejo PO Box 51 Telp (0291) 432677 Fax, 441613
Kudus 59322 Website: www.stainkudus.ac.id
Email: hermeneutik_kudus@yahoo.co.id

Hermeneutika terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima tulisan yang berhubungan dengan kajian tafsir
hadis. Tata aturan tulisan sesuai dengan karya ilmiah meliputi: abstrak, kata kunci dan pengutipan model
footnote. Tulisan yang sudah masuk menjadi milik redaksi dan isi merupakan tanggungjawab penulis.
Redaksi berhak menyunting tanpa merubah substansi.
iii

KATA PENGANTAR

Bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīmi.


Alḥamdulillāh, Jurnal HERMENEUTIK Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
hadir kembali menyapa pembaca yang budiman yang selalu haus dengan
perkembangan pemikiran ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Pada edisi ini sekaligus
masa transisi sehubungan perubahan nama Prodi Tafsir Hadis (TH)
menjadi prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT) sebagai konsekwensi adanya
penataan nomenklatur prodi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal
Pendidikan Islam, Nomor : 1429 Tahun 2012, tentang Penataan Program
Studi Di Perguruan Tinggi Agama Islam Tahun 2012 yang mengharuskan
prodi TH memilih satu diantara dua yaitu prodi IQT atau Ilmu Hadis (IH).
Dengan pertimbangan kesediaan Sumber Daya Manusia (SDM)
dan akar budaya keilmuan di pesisir utara terutama di Kudus, maka
pihak pimpinan STAIN Kudus lebih memilih perubahan dari prodi TH
menjadi prodi IQT. Sebagai konsekwensinya mulai tahun 2013 Jurnal
HERMENEUTIK juga akan mengalami pergeseran visi keilmuan dari TH
menjadi lebih fokus kepada IQT, meskipun pada edisi Juli 2012 ini masih
tetap pada konsentrasi semula yakni keilmuan TH. Namun tetap tak bisa
dipungkiri bahwa kajian IQT bagaimanapun tetap berkait kelindan dengan
hadis sebagai penjelas pembantu al-Qur’an yang paling otoritatif setelah
al-Qur’an itu sendiri. Karena itu perubahan fokus keilmuan bukan berarti
‘memutus hubungan’ dengan disiplin-disiplin ilmu lain karena sejak awal
redaktur HERMENEUTIK juga sadat bahwa adanya jejaring hubungan
yang kuat (interconnected) antara disiplin ilmu satu dengan disiplin ilmu
lain bagai –meminjam istilah Amin Abdullah- jaring laba-laba yang saling
mengikat atau meminjam istilah Capra kalau dihubungkan dengan realitas
kehidupan sebaga the web of life.
iv

Telah disepakati oleh jumhur ulama bahwa al-Qur’an merupakan “


kalam Allah” yang azali dan abadi. Demikian pula telah disepakati bahwa
“Hakikat al-Qur’an “ bukanlah teks yang tertulis di antara dua sampul
Mushaf. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang tanpa huruf dan tanpa suara.
Kemudian apa bedanya antara “kalam Allah“ dengan teks kalam
Allah. Pertanyaan ini muncul karena yang dihadapi dalam tafsir adalah
“teks tentang al-Qur’an. Itulah sebabanya maka Teks al-Qur’an disebut
sebagai dalil/tanda/ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang Maha Mutlaq, kemudian
direkamkan kepada Manusia (Muhammad SAW). Lalu menjelma kedalam
lisan arab yang bersifat budaya. Maka untuk menjamin kebenaran kalam
Allah itu, Nabi Muhammad haruslah ma’ṣum dan ummī.
Para Teolog sepakat bahwa bahasa wahyu pada mulanya bukanlah
bahasa tulis, tetapi karena harus dikomunikasikan kepada manusia, maka
harus dituangkan ke dalam simbul-huruf yang bisa difahami oleh manusia,
berupa teks yang bersifat historis.
Demikian pula hadis yang berkaitan dengan pengetahuan tehnis.
Hadis tentang persoalan tehnis ini tidak mengikat, sebab kondisi zaman
Nabi dengan perkembangan kaum muslimin tidak otomatis sama.
Semua ulama sepakat bahwa keberadaan hadis (karena ẓanni al-
wurūd) lebih rendah dibawah al-qur’an (qaṭ’i al-wurūd). Sungguhmpun
demikian sebagian ulama di bawah kepeloporan Imam al-Syafi’i,
berpendapat bahwa sunnah (hadis) tidak boleh dinaskh oleh al-Qur’an.
Sekiranya sebuah sunnah Rasul dinaskh oleh al-Qur’an, maka (menurut al-
Syafi’i) harus ada sunnah baru yang berfungsi menjelaskan ayat tersebut.
Memang banyak sekali persoalan-persoalan yang menggelitik
dan menarik untuk di telaah dan di kritisi dalam ranah kajian tafsir dan
hadis, oleh karena itulah pada edisi Jurnal HERMENEUTIK pada edisi
ini menghadirkan tulisan-tulisan artikel yang mengupas seluk beluk
permasalahan yang berkaitan dengan Al-Qur’`an dan Hadis. Dimulai dengan
kajian tentang; Penulisan dan Kodifikasi Hadis menurut Muḥammad
Muṣṭafā Al-A‘ẓami, oleh Umma Farida; Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath
Al-Qadir: “pembacaan atas konsep ketatanegaraan dalam al-quran yang
ditulis al-shawkany”, oleh Yusuf Hanafi; Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
Upaya Menemukan Ideal Moral dalam Hadis Tentang Anjuran Menanam,
oleh Ahmad Suhendra; Maḥasin Al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm Karya
Al-Qasimi, oleh Aat Hidayat; Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir
v

Hadis, Sebuah Over View, oleh Abdul Karim; Makna Amṡāl (Perumpamaan)
Dalam Al-Qur’an, oleh Istianah; Rahasia Pengulangan Redaksi dalam Surat
Al-Rahman, oleh Ahmad Atabik; Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed,
Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, oleh
Lien Iffah Naf’atu Fina.
Tema-tema tersebut sangat penting untuk dibaca karena
menyuguhkan dan menghadirkan wawasan keilmuan yang sangat berharga.
Karena itu redaktur menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
tinggi kepada semua kontributor artikel tersebut, semoga gagasan-
gagasan segarnya menginspirasi para pembaca yang budiman untuk
mentransformasikan Islam pada tataran empiris.
Akhirnya kritik dan saran sangat redaktur harapkan kepada para
pembaca yang budiman, demi penyempurnaan lebih lanjut pada edisi
yang akan datang. Selamat membaca untuk menginspirasi Indonesia.***

Kudus, Juli 2012


Redaktur
vi
vii

DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Susunan Redaksi ii
Pengantar Redaksi iii
Daftar Isi vii

DISKURSUS PEMIKIRAN ORIENTALIS 151 - 178


TENTANG TAFSIR HADIS
Sebuah Over View
Abdul Karim

PENULISAN & KODIFIKASI HADIS 179 - 194
MENURUT MUḤAMMAD MUṢṬAFĀ� AL-A‘ẒAMI
Umma Farida

INTERPRETASI KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED 195 - 218


Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur
Rahman
Lien Iffah Naf’atu Fina

RAHASIA PENGULANGAN REDAKSI DALAM 219 - 232


SURAT AL-RAHMAN
Ahmad Atabik

PEMIKIRAN POLITIK DALAM TAFSIR FATH AL-QADIR: 233 - 250
Pembacaan atas Konsep Ketatanegaraan
dalam al-Quran yang Ditulis al-Shawkany
Yusuf Hanafi
viii

KIAMAT DALAM AL-QUR’AN DAN PESAN MORAL 251 - 264


Efa Ida Amaliyah

MAḤĀ� SIN AL-TA’WĪ�L FĪ� TAFSĪ�R AL-QUR’Ā�N AL-KARĪ�M 265 - 278


KARYA AL-QASIMI
Aat Hidayat

MENELISIK REBOISASI DALAM HADIS 279 - 304


Upaya Menemukan Ideal Moral
dalam Hadis tentang Anjuran Menanam
Ahmad Suhendra
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
151

DISKURSUS PEMIKIRAN ORIENTALIS TENTANG


TAFSIR HADIS
Sebuah Over View

Oleh: Abdul Karim


(Dosen Ushuluddin STAIN Kudus, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Abstract

The challenges facing Muslims today is actually not a form of


economic, political, social and cultural rights, but the challenge
of thinking. Because the problems posed by areas of economics,
political, social and cultural thought was sourced from. And from
among the most serious challenge current thinking is in the field
of religious thought. The challenge that has long we realize is an
internal challenge in the form of stagnation, fanaticism, dogmatic,
heresy, superstition, and so on. While the external challenges
we’re facing right now is to understand the entry of liberalism,
secularism, religious pluralism, relativism, and so forth into the
discourse of religious thought. This paper discusses the external
challenges by focusing on the meaning of the liberalization of
Islamic thought in the context of liberalization in various fields is
initiated by misionarisme, Western colonialism and orientalism.

Keywords: the challenge of thinking, liberalism, misionarisme

A. Pendahuluan
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan
oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun baru
pada abad ke 18 gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme.1
1
Lihat: The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal. 200. “Orientalisme”
152 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan


pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan
untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework
dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan
sementara cendekiawan Muslim.
Mereka berfikiran bahwa dengan cara itu bisa mengambil jalan
pintas untuk mereformasi, melakukan pembaharuan atau liberalisasi
pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama tradisional, pemikiran
hasil adopsi itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah
intelektual Islam. Padahal, sifat barunya tidak memiliki unsur tajdid, karena
seringkali berseberangan dan terlepas dari fondasi asalnya yaitu wahyu.
Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara
komprehensif, kreatif, inovatif dan apresiatif sehingga kehilangan daya kritis
mereka terhadap orientalis dan Barat.
Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengoleksi
dan menerjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa
Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya
dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London
dan Mingana Collection di Inggris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip
berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berarti terbit. Secara
geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-
bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda yang berarti pendirian,
ilmu, paham keyakinan dan sistem. Jadi menurut bahasa, “orientalisme” dapat diartikan
sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. Secara terminologis, Istilah
orientalisme mengandung banyak pengertian. Orientalisme bermakna suatu faham atau
aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di
timur beserta lingkungannya. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin
Rais dalam bukunya Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1986, orientalis adalah sarjana
yang menguasai  masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan
sebagainya. Suatu pengertian lainnya tentang orientalisme suatu bidang kajian keilmuan,
atau dalam pengertian sebagai suatu cara, metodologi yang memiliki kecenderungan muatan
integral antara orientalisme dengan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menguasai,
memanipulasi bahkan mendominasi dunia Timur. Orientalis merupakan segolongan sarjana-
sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka
juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadat
dan ilmu-ilmunya. Lihat: A. Hanafi, MA, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hal.
9, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan
mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa
Arab ke bahasa Latin sejak abad pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumnya dipelopori oleh
para teolog Kristen. Untuk lebih jelasnya lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran
Isam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2007), hal. 56,
lihat juga: Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, penj. Agung Prihantoro,
(Yogyakarta: Qalam, 2001), hal. 162. Bandingkan dengan Dr. Hasan Abdul Rauf M. el. Badawiy
dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, penj. H. Andi Subarkah
(Bandung: Rosdakarya, 2007), hal. 3- 4
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
153

Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi


suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang
dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk
departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat.
Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program
Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London
misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas
McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of
Islamic Studies, Universitas Chicago, Universitas Edinburgh, University of
Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle
Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggris mendirikan Centre for the
Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya. Program-program
kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi
yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh di bidang masing-masing.
Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam
beberapa bidang tertentu:
1. Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald,
Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J
McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll.
2. Bidang Hadis Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson,
Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden.
3. Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck,
John Burton,
4. Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington,
Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll.
5. Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf
Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton,
Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.2 Dan masih banyak
yang lainnya.
Orientalisme merupakan suatu cara pandang orang Barat terhadap
bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat yang dimaksud yaitu bangsa-
bangsa Timur Tengah dan Asia dilihat dengan kacamata rasial yang dianggap
penuh “prasangka”. Bangsa-bangsa Timur nampak terlihat mundur dan tidak
sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian
membantu membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan
2
Keith Windschuttle, “Edward Said’s Orientalism revisited” , (The New Criterion Vol.
17, No. 5, January 1999), hal. 5
154 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode


dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian
keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program misionaris Kristen
dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.3 Sejauhmana kebenaran
asumsi tersebut? Maka perlu kita telusuri dan tela’ah lebih jauh pemikiran-
pemikirannya khususnya dalam bidang tafsir hadis.

B. Tafsir Hadis di Mata Orientalis


B.1. Pandangan Orientalis Terhadap Al-Qur`an
Menurut Muir4, dalam bukunya The Life of Muhammad, wahyu dalam
Islam tidak lain hanyalah tipuan/akal-akalan Muhammad. Pendapat ini
didasarkan pada riwayat perjalanan Nabi ke negeri Syam dengan pamannya,
dan perjalanan beliau ke Syam ketika mendapat pekerjaan dari Khadijah
untuk berdagang. Dalam perjalanan tersebut, Nabi melihat Rahib dan Pendeta
sedang beribadah dengan khusuk. Pengalaman inilah -yang pertama kali ia
lihat- memberikan pengaruh sangat kuat kepada Nabi, sehingga ia berusaha
dengan keras untuk menemukan agama yang benar. Dalam usaha menemukan
agama yang benar itu, Nabi mengaku telah menerima wahyu dari Allah.
Sebagai buktinya ia telah berhasil berdagang dengan mendapatkan untung
yang banyak. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menikahi Khadijah.
Muir melihat bahwa wahyu dalam Islam tak lain dan tak bukan
hanyalah tipuan Muhammad saja, dan tidak datang dari Tuhan. Dari sini para
orientalis berpendapat bahwa wahyu dalam Islam tak lain dan tak bukan
hanyalah buatan Muhammad. Menurut mereka Muhammad tidak menerima
wahyu dari Tuhannya (al-waḥyu al-ilāhiy), tapi ia membuat sendiri (al-
waḥyu annafsiy) kemudian menyampaikannya kepada pengikutnya bahwa
itu adalah wahyu.
Selanjutnya kajian orientalis terhadap al-Qur’an juga ternyata
tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya saja sebagai wahyu dari
Tuhan. Tapi lebih dari sekedar itu adalah isu klasik yang selalu bergulir
3
Lihat: Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage, 1979), hal. 1-5.
4
Sir William Muir, (27 April 1819 - 11 Juli 1905) adalah seorang Skotlandia Orientalis
dan administrator kolonial, Buku awal, Life of Mohamet , kritik review kontemporer di The
Times untuk “menulis propagandis” dengan bias Kristen dan untuk “ keaiban theologicum
“. Sejarawan kontemporer EA Freeman memuji buku itu sebagai “pekerjaan besar”, namun
mempertanyakan metodologi bersifat terkaan, Muir berpendapat bahwa Muhammad telah
jatuh di bawah pengaruh inspirasi setan. Tentang pengaruh ini diduga Clinton Bennett
bahwa Muir “memilih untuk menghidupkan kembali teori lain Kristen tua”, lihat: Muir, Life of
Mohamet , (Jakarta: Smith, Penatua, & Co., tahun 1878), vol. 2
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
155

soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam


maupun isi kandungan al-Qur’an “theories of borrowing and influence”. Ada
yang berusaha mengungkapkan segala yang boleh dijadikan bukti bagi teori
pinjaman dan pengaruh tersebut, seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-
Kristian (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain), dan ada pula
yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain
sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-
Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka
anggap lebih akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang
orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A.
Nicholson: “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an]
by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings–largely
consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi walaupun
demikian, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja,
tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas
umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an.
Sejak Islam muncul, kalangan Yahudi dan Kristen telah memusuhi
ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sejak awal, hujatan demi hujatan
terus menerus dilakukan. Mereka menjuluki Rasulullah SAW sebagai Nabi
palsu (psedo propheta); menganggap al-Qur’an sebagai karangan Muhammad
yang isinya penuh dengan kebohongan-kebohongan, dan menyatakan Islam
sebagai agama Yahudi/Kristen yang sesat. Mengingat kajian Orientalis yang
begitu luas terhadap pemikiran Islam mencakup al-Qur’an, Hadits, Sirah
Nabi, Sejarah Islam, Kalam, Fikh dan Usul Fikh, Sufi, Perbandingan Agama,
Sejarah Islam di Nusantara dan lain-lain, maka tulisan ini akan memfokuskan
kepada kajian para Orientalis terhadap al-Qur’an dan hadis.
Ada beberapa karakteristik metodologi yang digunakan para orientalis
dalam mengkaji Al-Qur`an dan hadis, di antaranya adalah:
a. Metode Critical of Historis
Para Orientalis modern menggunakan metode kritis-historis ketika
mengkaji al-Qur’an. Metode tersebut sebenarnya berasal dari studi kritis
kepada Bibel. Metode kritis-historis tersebut karena Bibel memiliki persoalan
yang sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi
teks yang berbeda-beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk
awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut
melahirkan kajian Bibel yang kritis-historis.
156 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti


kajian mengenai studi filologi “philological study”, kritik sastra “literary
criticism”, kritik bentuk “form criticism”, kritik redaksi “redaction-criticism”,
dan kritik teks “textual criticism”. Para Orientalis menggunakan berbagai
jenis kritik tersebut ke dalam studi al-Qur’an. Kajian filologis “philological
study” misalnya, dianggap sangat penting untuk menentukan makna yang
diinginkan pengarang. Kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata,
morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk,
signifikansi, makna bahasa dan sastra.5
Pada tahun 2001, Christoph Luxenberg6 (nama samaran) dengan
menggunakan pendekatan filologis, menyimpulkan bahwa al-Qur’an perlu
dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan Luxenberg, sebagian besar
al-Qur’an tidak benar secara tata bahasa Arab. Al-Qur’an ditulis dalam dua
bahasa, Aramaik dan Arab.7 Luxenberg menulis “Cara membaca al-Qur’an
dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan
kesulitan memahami bahasa al-Qur’an” (Die syro-aramaische Lesart des
Koran. Ein Beitrag zur Entsclusselung der Koransprache).
Dengan menggunakan metode ilmiah filologis, (the scientific method
of philology) Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’an yang lebih jelas
(producing a clearer text of the Qur’an). Ia berpendapat bahwa pada zaman
Muhammad, bahasa Arab bukanlah bahasa yang tertulis. Bahasa komunikasi
yang tertulis adalah bahasa Syiriak. Bahasa Syiriak ini digunakan di Timur
Dekat sejak dari abad kedua hingga abad ketujuh. Syiriak adalah bahasa
5
Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975),
hal. 49.
Christoph Luxenberg adalah nama samaran penulis buku “ Die Siro Aram ische Lesart
6

des Quran: Ein Beitrag zur Entschl sselung der Koransprache”. Judul buku ini menjelaskan
tentang pembacaan kontemporer terhadap Alquran dan subjudul janji-janji kontribusi untuk
decoding dari bahasa Al-Qur’an. Tesis penulis diringkas dalam bukunya (hal. 299-307): Qur’an
tidak ditulis dalam bahasa Arab tapi dalam ‘bahasa Aramaik-Arab campuran’ yang diucapkan
di Mekah pada saat Muharnmad. Mekah awalnya merupakan pemukiman Aram. Ini adalah
‘dikonfirmasi’ oleh fakta bahwa nama Makkah adalah benar-benar bahasa Aramaik, bahasa
campuran ini tercatat dari awal dalam naskah yang rusak yaitu tanpa tanda-tanda vokal.
Poin yang kemudian membedakan b, t, n, y, dll. Penulis menyangkal keberadaan tradisi lisan
paralel bacaan Al-Qur’an. Arab klasik berasal dari tempat lain (tapi kami tidak diberitahu
mana). Orang Arab tidak bisa memahami Al Qur’an, yang dikenal mereka sebagai naskah
defectively yang ditulis, dan menafsirkan kembali dokumen-dokumen ini dengan jelas dalam
bahasa mereka sendiri. ‘Membaca bahasa Aram’ yang diusulkan Qur’an memungkinkan kita
untuk menemukan kembali makna aslinya.
7
François De Blois, Die syro-aramaische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur
Entsclusselung der Koransprache. By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim), Journal of Quranic
Studies 5 (2003), 92-97
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
157

Edesssa, sebuah kota di atas Mesopotamia. Ketika Edessa berhenti menjadi


sebuah entitas politik, orang-orang Kristen masih menggunakan bahasa
tersebut yang kemudian menjadi sebuah budaya. Bahasa tersebut menyebar
ke seluruh Asia sejauh Malabar dan Timur Cina.
Metode kritis-historis menggunakan beberapa jenis kritik tersebut.
Para Orientalis mengklaim metode kritis-historis lebih baik dibanding
dengan dogma yang diyakini oleh kaum Muslimin. Orientalis yang termasuk
paling awal mengaplikasikan metode kritis-historis ke dalam studi al-Qur’an
adalah Theodor Noldeke8 (1836-1930). Kemudian metode tersebut juga
masih terus digunakan oleh para orientalis yang lainnya.
Asumsi dasar dari metode-kritis historis ini adalah teks al-Qur’an,
sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan-
perubahan. Selain tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli
juga telah dirusak (berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan.
Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan
baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang
saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan
fax dari al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan
hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung
dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat.9
Ketika al-Qur’an muncul, bahasa Syiriak masih menjadi
bahasa komunikasi pada umumnya masyarakat Aramaean, Arab dan

8
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semiotik
Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin
Pada tahun 1859 tulisannya tentang “Sejarah Al-Quran” memenangkan penghargaan dari
French Academie des Inscription. Sejak 1977 masuk ke dalam wilayah Hamburg. Ayah
Noldeke adalah wakil kepala Sekolah Menengah di Hamburg, kemudian diangkat menjadi
pengawas sekolah menengah di kota Lingen sejak tahun 1849 hingga 1866. Ketika masih
duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia
memperoleh gelar tingkat serjananya pada tahun 1856 dengan mengajukan risalah yang
berjudul “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Tahun 1858, Noldeke
memengani lomba penelitian tentang Sejarah Al-Qur’an. Tahun 1860, ia menuliskannya
kembali hasil penelitiannya tersebut dibantu muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa
Jerman dengan judul “Geschichte des Korans”. Dan mempublikasikannya dengan beberapa
tambahan di Gottingen. Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen. Tiga
tahun kemudian ia meraih gelar profesor pada tahun 1872, ia aktif di Oriental Languages
di Strassburg dan pensiun pada tahun 1906. Diantara karyanya ialah Geschichte des Qorans
(1860), Zur Grammatik des Klassichen Arabish (1897) dan Neue Beitrage Zur semitischen
Sprachkunde (1911). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni
Drajat dari Mawsu’ah al-Mustasyriqin (Yogyakarta: LKis, 2003), hal. 413- 416
9
Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New York: Russell F. Moore Companya,
1952), hal. 89-90
158 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

sedikit bangsa Persia. Dan yang paling penting diketahui, menurut


Luxenberg, literature Syiriak-Aramaik adalah ekslusifitas Kristen.10
Kajian filologis Luxenberg terhadap al-Qur’an menggiringnya untuk
menyimpulkan:
a) Bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-
kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami kecuali
dengan merujuk pada bahasa Syriak-Aramaik yang konon merupakan
merupakan lingua franca pada masa itu;
b) Bukan hanya kosakatanya berasal dari Syriak-Aramaik, bahkan isi
ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria
(Peshitta);
c) Al-Qur’an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.11
Al-Qur’an jelas bukan merupakan karya tulis, oleh karenanya keinginan
Orientalis untuk menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan
dalam penelitian Bible amatlah keliru. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi
Muhammad untuk seluruh umat, kemudahan membaca al-Qur’an merupakan
salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an. Nabi SAW telah diberi izin untuk
membacakan Al-Qur’an kepada umatnya dengan tujuh huruf.12

b. Literary criticism/ textual criticism


Para Orientalis juga menggunakan kritik sastra “literary criticism”
untuk mengakaji al-Qur’an. Kritik sastra, yang terkadang disebut sebagai
studi sumber (source criticism) berasal dari metodologi Bibel. Dalam kajian
kritis terhadap sejarah Bibel, kritik sastra/sumber telah muncul pada abad
17 dan 18 ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi,
pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka
menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami jika sumber-
sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.13
10
Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg, “Die syro-
aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschusslung der Qur’ansprache.” Hugoye:
Journal of Syiriac Studies, 3. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6No1/
HV6N1PRPhenixhorn.html
11
Lihat: Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, (al-Insani: Ttp,
2005), hal. 19
12
Lihat As-Syekh Muhammad Abdul Az}im az-Zarqani, Manāhilul ‘Irfān Fī ‘Ulūmi al-
Qur’ān, Tahqîq Fawwaz Ahmad Zamarli,  (Beirut: Dār al-Kitāb al-’arabiy, 1995/1415), cet. I,
Juz I, hal. 336
13
Richard N. Soulen and R. Kendal Soulen, Handbook of Biblical Criticism, (London:
Westminster John Knox Press, 2001), 105; 178-79. Lihat aplikasi kritik sastra terhadap Bibel
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
159

Pendekatan sastra ke dalam studi al-Qur’an dilakukan oleh John


Wansbrough14. Wansbrough berpendapat kanonisasi teks al-Qur’an terbentuk
pada akhir abad ke 2 Hijrah. Oleh sebab itu, semua hadits yang menyatakan
tentang himpunan al-Qur’an harus dianggap sebagai informasi yang tidak
dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang
punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat
oleh para fuqaha’ untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak
ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal
Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut
mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (canon) dan karena itu,
tidak bisa lebih dahulu dari abad 3 Hijriah.15
Menurut Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang diterima
dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang
belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur’an baru
menjadi baku setelah tahun 800 M.16 Salah satu jenis kritik yang dilakukan
Orientalis modern ke dalam al-Qur’an adalah kritik teks (textual criticism),
yang akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya adalah
menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses,
yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah
dalam C. Houtman, ‘The Pentateuch,” dalam The World of the Old Testament: Bible Handbook,
ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1989), jilid.
2, hal. 170-71
14
John Wansbrough dilahirkan di Peoria, Illinois pada tanggal 19 Februari
1928. Dia bekerja sebagai seorang sejarawan. Dia meninggal pada Juni 2002 pada
usia 74 tahun dan 4 bulan. Ia adalah seorang sejarawan Amerika yang mengajar di
Universitas London Sekolah Studi Oriental dan Afrika (SOAS). Wansbrough menyelesaikan
studinya di Harvard University, dan menghabiskan sisa karir akademisnya di SOAS.
Dia menyebabkan kehebohan pada tahun 1970 ketika penelitian tentang naskah-naskah
Islam awal, termasuk analisis dari penggunaan berulang citra monoteis agama Yahudi-
Kristen ditemukan dalam Qur’an dipimpin dia untuk mengandaikan bahwa kebangkitan
Islam adalah mutasi dari apa yang awalnya sebuah sekte Yahudi-Kristen berusaha menyebar
di tanah Arab, bukan oleh difusi budaya yang sederhana. Seiring waktu berevolusi agama suci
Yahudi-Kristen yang disesuaikan dengan perspektif Arab dan bermutasi menjadi apa yang
menjadi Al-Qur’an yang dikembangkan selama berabad-abad dengan kontribusi dari berbagai
sumber suku Arab. Penelitian itu menunjukkan bahwa Wansbrough menemukan banyak
sejarah tradisional Islam tampaknya menjadi fabrikasi generasi kemudian mencari untuk
menempa dan membenarkan identitas keagamaan yang unik. Dalam konteks ini, karakter
Muhammad bisa dilihat sebagai mitos diproduksi dibuat untuk menyediakan suku-suku Arab
dengan versi nabi sendiri dari Arab tentang mereka yang beragama Yahudi-Kristen. Lihat:
John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj.
Zakiyuddin Bhaidawy, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002), hal. 1-5.
15
Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an: A Reconsideration of Western Views in
Light of Recent Methodological Developments,” (Der Islam: 78, 2001), hal. 11
16
Dikutip dari Issa J. Boullata, “Book Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation”, (Muslim World 67, 1977), hal. 306-07
160 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang
paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen
adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di
dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.17
Menurut Arthur Jeffery18, seorang orientalis berasal dari Australia, al-
Qur’an menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah
melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap
suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan
komunitas masing-masing agama.yang menjadikan sebuah kitab itu suci.
Penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah Ibn Mas’ud
sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’an). Penduduk
Basra menganggap Mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan Mushaf
Miqdad Ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.19
Pendapat Arthur Jeffery sebenarnya merupakan refleksi dari
pengalaman agama Kristen yang dianutnya. Dalam ajaran Kristen, Bibel
merupakan sebuah persoalan yang tidak mungkin lagi untuk diselesaikan.
Hal ini disebabkan teks asli sudah tidak ada lagi dan terdapat beragam versi
yang tidak mungkin didamaikan. Gereja Timur (Ecclesia Orientalia) dan
Gereja Barat (Ecclesia Occidentalia) berbeda dalam menerima teks standart.
Mereka berbeda dalam menyikapi Bibel yang diinformasikan oleh Matius,
Markus, Lukas, Yohannes, Phillip, Mary, Thomas, Yudas dan Barnabas.
Dengan menggunakan metode kritis-historis, para Orientalis
menganalisa sejarah teks al-Qur’an dari zaman Rasulullah SAW sampai
tercetaknya teks al-Qur’an. Ketika Muhammad hidup, dalam pandangan Aloys
17
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, hal. 156. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai sejarah perkembangan textual criticism di dalam Perjanjian Baru, lihat juga
karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (United
Bible Societies, 1975), dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and
Significance (Oxford; Oxford University Press: 1975)
18
Arthur Jeffery seorang orientalis berasal dari Australia, meninggal tahun 1959.
Mengakui bahwa gagasannya untuk mengkaji sejarah Al-Qur’an secara kritis berasal dari
Pendeta Edward Sell (m.1932). Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis-historis al-Qur’an
sejak tahun 1926. ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan
dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qira’ah, karya-karya filosofis
dan manuskrip. Lihat Adnin Armas, MA, 2004 “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an”,
dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn I No 2, Juni-Agustus, hal. 7-8
19
Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, (Moslem World 40, 1950), hal. 41. Arthur
Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what
was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own
use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid
for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, (Moslem
World 40, 1950), hal. 43-95.
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
161

Sprenger (1813-1893), Hartwig Hirshfeld (m. 1934), dan Arthur Jeffery (m.
1959), menyatakan bahwa sesungguhnya Muhammad tidak berniat untuk
menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah mushaf.20
Mengenai mushaf yang dihimpun pada zaman Abu Bakr dan ‘Umar,
sebagian orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935) dan Friedrich Schwally
(m. 1919) menolak jika pada zaman Abu Bakr, al-Qur’an telah dihimpun.
Menurut Caentani, atsar mengenai mushaf telah dihimpun pada zaman
Abu Bakr bertujuan untuk menjustifikasi tindakan Usman menghimpun
al-Qur’an. Sedikit berbeda dengan kedua orientalis tersebut, orientalis lain
seperti Arthur Jeffery menganggap bahwa Mushaf Abu Bakr ada namun
mushaf tersebut bukanlah mushaf resmi)., namun mushaf pribadi (It was a
private collection made for the first Caliph Abu Bakr).21
Jeffery menegaskan banyak Mushaf lain yang beredar dan beredar di
berbagai wilayah. Diantaranya, Salim ibn Mu‘qib, ‘Ali ibn Abi Talib, Anas ibn
Malik, Abu Musa al-Ash‘ari, Ubay ibn Ka‘b dan Abdullah ibn Mas‘ud. Beragam
mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. Mushaf Miqdad ibn al-Aswad,22
yang berdasarkan kepada Mushaf ibn Mas’ud beredar di Damaskus. Mushaf
Ibn Mas’ud digunakan di Kufah. Mushaf Abu Musa al-Ash‘ari di Basra dan
Mushaf Ubay ibn Ka‘b di Syiria. Pendapat Jeffery yang menganggap mushaf
Abu Bakar adalah mushaf pribadi diikuti oleh para orientalis lain seperti
Richard Bell,23 Régis Blachère,24 dan bahkan pemikir Muslim seperti Mustafa
20
Muhammad sebagai penyampai al-Qur’an untuk orang yang buta huruf bukan
untuk ditulis di atas kertas. Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing
and Authority in Islam’s Scripture (New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 18-
21. Muhammad lebih suka para muridnya menghapal materi wahyu tersebut. Lihat Hartwig
Hirschfeld, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran (London: Royal
Asiatic Society, 1902), hal. 5. Lihat juga: Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of
the Qur’ans, (Leiden: E. J. Birll, 1937), hal. 5-6
Lihat Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, hal. 94
21

Jeffery memberi catatan bahwa mungkin yang dimaksud


22
bukan Miqdad tetapi
Mu‘az ibn Jabal. Hal ini sudah diungkapkan oleh Bergstrasser. Lihat catatan kaki Arthur
Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ans, hal. 374.
Richard Bell (1876-1952) adalah seorang Arabist Inggris di University of
23

Edinburgh. Antara 1937 dan 1939 ia menerbitkan terjemahan Al Qur’an, dan pada tahun
1953 Pendahuluan Al-Qur’an diterbitkan (direvisi pada tahun 1970 oleh W. Montgomery
Watt. Kedua karyanya telah berpengaruh dalam studi Al-Qur’an di barat.
Regis Blachere dilahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blachere melakukan perjalanan
24

bersama orang tuanya ke kawasan Maghribi  pada tahun 1915. Ayahnya ditugaskan dibagian
urusan perdagangan, kemudian ditugaskan sebagai pegawai administrasi di Maroko. Blachere
menempuh  pendidikan menengahnya di Perancis, di gedung putih. Setelah menyelesaikan
sarjana mudanya, ia ditugaskan sebagai pengawas di Madrasah Maula Yusuf di Rabat. Setelah
itu ia meneruskan pendidikan tingkat tingginya di Universitas Al-Jazair, dan memperoleh
162 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Mandur. Dengan kajian historis-kritis, Arthur Jeffery juga menyimpulkan


sebenarnya terdapat Mushaf-Mushaf tandingan (rival codices) yang
menandingi Mushaf Uthmani. Menurut Jeffery, terdapat 15 Mushaf primer
dan 13 Mushaf sekunder.25
Menurut Jeffery, banyaknya Mushaf pra-Usmani menunjukkan bahwa
pilihan Usman terhadap tradisi teks Madinah tidak berarti pilihan terbaik.
Jeffery juga menyimpulkan Ibn Mas’ud menolak untuk menyerahkan
Mushafnya kepada Usman yang mengirim teks standar ke Kufah. Dalam
pandangan Jeffery, Ibn Mas’ud mengeluarkan al-Fatihah, surah al-Nas
dan al-Falaq dari al-Qur’an. Jeffery juga berpendapat Ubay ibn Ka‘ab telah
menambahkan dua ekstra surah yaitu al-Hafd dan al-khala ke dalam al-
Qur’an. 26 Jeffery juga menyalahkan tindakan Usman yang menutup perbedaan
mushaf menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi telah membuat al-Qur’an
baru dan mengecam pembatasan ikhtiyar (the limitation of ikhitiyar) yang
dilakukan oleh sultan Ibn Muqla (m. 940 M) dan sultan Ibn ‘Isa (m. 946 M)
pada tahun 322 H karena desakan dan rekayasa Ibn Mujahid (m. 324/936
M).27 Disebabkan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, Jeffery ingin
menyusun al-Qur’an dengan bentuk yang baru ia sebut sebagai al-Qur’an
edisi kritis (a critical edition of the Qur’an).
Kemudian adanya keragaman bacaan al-Qur’an juga menjadi salah
satu pintu masuk untuk menggulirkan keraguan terhadap otentisitas teks
Al-qur’an (mushaf Utsmani). Salah seorang orientalis yang termasuk paling
awal mengangkat masalah perbedaan qirâ’at dengan ortografi Mushaf
Utsmani adalah Noldeke. Dalam pandangannya, tulisan Arab menjadi
gelar sarjana muda pada tahun 1992. pada tahun berikutnya ia mengikuti kuliah-kuliah yang
disampaikan oleh William Murcia. Pada tahun 1924 diangkat sebagai tenaga pengajar di
Madrasah Maula Yusuf. Lalu ia meneruskan sekolahnya di Universitas Paris, dan pada tahun
1936 berhasil meraih gelar doktor dengan dua karyanya, karya pertama dengan judul “Syair
Arab dari Abad  Keempat Hijriah: Abū at}-T{ayyib al-Mutanabbi”  dan kedua, terjemahan
bahasa Prancis kitab T{abaqāt al-Umam-nya Shaid al-Andalusi, dengan disertasi sejumlah
komentar yang cukup penting. Di antara karya-karya utamanya, selain yang telah disebut
adalah “Sejarah Sastra Arab Sejak Masa Awal hingga Akhir Abad Kelima belas”.  Karya ini
belum sempat selesai, sedangkan tiga jilid yang sudah dikerjakannya terhenti;” Terjemah Al-
Qur’an ke dalam bahasa Prancis”, yang disertai dengan pengantar yang panjang dan tafsir
pendek. Metode terjemahannya disesuaikan dengan asbāb an-Nuzul surat dan ayat. Di sela-
sela kesibukannya menerjamahkan Al-Qur’an , Blachere menulis sebuah karya pendek dengan
judul Le Probeleme de Mahomet, yang mengkaji tulisan-tulisan orientalis tentang biografi
nabi. Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, hal. 93-94  
25
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ans, hal. 14
26
Lihat Arthur Jeffery, A Variant Text of the Fatiha, (Moslem World 29, 1939), hal.
158.
27
Lihat Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, hal. 99
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
163

penyebab perbedaan Qira’at.28 Senada dengan Noldeke, Ignaz Goldziher29


juga demikian. Ia mengatakan bahwa qirâ’at teks al-Qur’ân yang berbeda-
beda kadangkala mencerminkan satu titik orientasi yang mengingatkan
bahwa teks al-Qur’ân yang diterima secara luas sebenarnya bersandar pada
keteledoran penyalin teks naskah sendiri.30

28
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hal. 107
29
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hongaria 1850. Ia terlatih dalam
bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel
“asli” dalam bahasa Ibrani. Saat berusia enam belas tahun, Universitas Budapest menjadi
pilihannya setelah ia lulus dari sekolah, untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno,
bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran
dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913). Arminius Vambery adalah keturunan
Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi
Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Kecerdasan yang ia miliki telah
mengantarkannya menjadi kandiat doktoral pada usianya yang ke-19 di universitas Leipzig
dan Berlin dengan beasiswa penuh dari Departement Pendidikan Hongaria pada tahun 1870.
Setelah berhasil meraih gelar doktor, ia melakukan rihlah ‘ilmiyyah ke Leiden, Belanda dan
tinggal selama enam bulan. Di dalam buku catatannya, Ignaz menghabiskan waktu enam
bulan di Leiden untuk memfokuskan diri mempelajari Islam sehingga menjadikan Leiden
sebagai sekolah kajian Islam terbesar dan terkenal di Eropa. Pada tahun 1872, ia berhasil
meraih ijazah keguruan dari Universitas Budapest. Di universitas, dia menekankan kajian
peradaban Arab. Petualangan ilmiah Golziher belum selesai sampai di sini, pada bulan
September 1873 hingga April 1874, Syria, Palestina dan Mesir menjadi sasaran selanjutnya. Di
sana ia merupakan orang non muslim pertama yang mendapatkan izin untuk menjadi murid
di mesjid Universitas al-Azhar. Ia mencatat semua aktivitasnya di sana, sosialisasinya dengan
kaum muslimin, dan perasaan simpati mendalamnya kepada Islam. Selama tinggal di Kairo,
banyak musibah yang menimpanya. Mulai dari kematian ayahnya, perekonomian keluarganya
yang mengkhawatirkan karena bisnisnya bangkrut, sampai perasaannya sebagai pejabat di
departement pendidikan yang membuatnya bimbang dengan reputasi ilmiahnya di masa
yang akan datang. Akan tetapi, reputasi ilmiahnya ternyata malah melonjak tinggi. Setelah
mempublikasikan hasil penelitiannya yang sangat memuaskan peserta rapat di Akademi
Kerajaan di Vienna, ia telah memulai dirinya untuk diakui dunia sebagai Guru Besar orientalis
dan peletak pertama pengkajian Islam modern di Eropa. Pada tahun 1904, ia diangkat sebagai
guru besar Universitas Budapest, orang Yahudi pertama yang meraih gelar ini. Kemudian,
pada tahun 1914 menjadi ketua jurusan hukum dan institusi Islam di Fakultas Hukum. Tujuh
tahun kemudian, ia meninggal dunia dalam usianya yang ke-71 tepatnya pada tanggal 13
November 1921. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah Aẓ-Ẓāhiriyyah:
Mażhabuhum wa Tārikhuhum, kemudian Dirāsah Islāmiyyah, al-Mu’ammarin. Karangannya
yang paling monumental adalah Muḥāḍarāt fī al-Islām (Heidelberg, 1910) dan Ittijāhāt Tafsīr
Al-Qur’ān ‘inda al-Muslimīn (Leiden, 1920). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, hal.129-
133. Baca juga Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis, Telaah Atas Pandangan
Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht, Benang Merah Press, Bandung, 2004, hal. 92
30
Ignaz Goldziher mengatakan: “ Wa al-Qirā­‘āt al-mukhtalifah li an-naṣṣi al-Qur’āni
tuẓharu aḥyānan muqtaribatan bitaujīhi lā muwāribata fīhi, yuẓkaru anna naṡṡ al-mutalaqqā
bilqubūli ya’tamidu ‘alā ihmālinnaṡṡi, wa anna al-qirā’ata al-mukhālifata al-muqtariḥḥata
taqsudu ilā iqāmati an-naṡṡi al-aṡliyyi al-laẓī afsadahu sahwa an-nussākhi.” Lihat  Ignaz
Goldziher, Maẓāhibu at-tafsīr al-Islāmi, diterjemahkan dari Die Richtungen der Islamischen
Koranauslegung Penj. Dr. Abdul Halim al-Najâr, ( Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1995) hal. 46
164 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Bagi Goldziher, dibakukannya cara baca serta pembukuan Qur’ân oleh


khalifah Utsman bin Affân ra itulah yang memunculkan polemik seputar
otentisitas mushaf Utsmânî. Seperti Noldeke dan Goldziher, di dorong
oleh motivasi mengumpulkan qirâ’at lemah dan menyimpang, Gotthelf
Bergstrasser berupaya mengedit karya Ibn Jinnî dan Ibn Khalâwayh.31
Kemudian dilanjutkan oleh Arthur Jeffery, orientalis asal Australia yang
pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di
Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Qur’ân berdasarkan
Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam
bacaan-bacaan (Qirâ’at) dalam beberapa mushaf tandingan’ (Rival Codices).32
Demikian pendapat Noldeke, Goldziher, Bergstrasser dan Arthur Jeffery.
Orientalis-missionaris ini telah terbiasa dengan kritis Bibel mereka,
misalnya menghimpun varian bacaan Perjanjian Baru, seperti John Mill
yang mengkaji kritis teks (textual criticism) perjanjian Baru dengan cara
menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam
versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat
menghimpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus
recepetus dalam versi bahasa Yunani kuno.33
Persoalannya ialah, adanya adopsi oleh cendekiawan muslim
mengenai varian bacaan pada Perjanjian, khusunya di Indonesia. Dalam buku
Metodologi Studi Al-Qur’an misalnya, menjelaskan bahwa, sebelum al-Qur’an
dikodifikasi dan distandarisasikan Utsman, tidak banyak isu ragam bacaan
yang muncul. Hal ini bisa dimaklumi karena ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak
dihafal ketimbang ditulis. Tapi, setelah ada penyeragaman, isu keberbagaian
versi al-Qur’an tidak bisa lagi dibendung.34 Pemahaman mengenai qira’at
ini jelas keliru. Padahal adanya kodifikasi dan standarisasi yang dilakukan
Utsman bin Affan ra bukan menjadi penyebab munculnya qira’at.

31
Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I (Jakarta: Gema
Insani, 2008), hal. 5
32
Arthur Jeffery, Materials for History of The Text of the Qur’an: the Old Codices
(Leiden: E.J. Brill, 1937), hal. 15
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, hal.107-108, lihat juga: Adnin
33

Armas, Metodologi Bibel, hal. 37


34
Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, Metodologi
Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 17
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
165

B.2. Pandangan Orientalis Terhadap Hadis


I. Pandangan Ignaz Goldziher tentang Otentisitas Hadits dan Hukum
Islam
Dalam pandangan Goldziher, hadits dan sunnah adalah dua hal
yang berbeda. Ia menyatakan bahwa hadits bermakna suatu disiplin ilmu
teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praktis. Satu-satunya
kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara
turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul
dalam ibadah dan hukum, yang diakuui sebagai tata cara kaum muslim
pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikan dinamakan
sunnah atau adat/ kebiasaan keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan
pernyataan tata cara itu disebut hadits atau tradisi.
Dalam kesempatan lain, goldziher menyatakan perbedaan sunnah dan
hadits bukan saja dari makna itu sendiri, tetapi juga melebar pada adanya
pertentangan dalam materi hadits dan sunnah. Dia mengatakan bahwa
memang betul pengertian sunnah dan hadits dibedakan satu dengan lainnya.
Hadits berciri berita lisan yang bersumber dari Nabi, sedangkan sunnah
menurut penggunaan yang lazim di kalangan umat Islam kuno, menunjuk
pada permasalahan hukum atau hal keagamaan; tidak masalah apakah ada
atau tidak berita lisan tentangnya. Suatu kaidah yang terkandung di dalam
hadits lazimnya dipandang sebagai sunnah, tetapi tidak berarti bahwa
sunnah harus mempunyai hadits yang berkessesuaian dan memberikan
pengkukuhan kepadanya. Bahkan mungkin justru sebaliknya, bahwa isi
sebuah hadits justru bertentangan dengan sunnah.35 Di sinilah perbedaan
yang paling fundamental antara sunnah dan hadits yang disodorkan
Goldziher. Hal ini kemudian menjadi kerangka dasar pendangan Goldziher
tentang otentisitas hadits.
Selanjutnya dia menegaskan bahwa kedudukan sunnah yang begitu
berpengaruh dalam dunia Islam, tidaklah dipahami karena ia diperkuat oleh
keabsahan atau otentisitas hadits yang disandarkan kepada Nabi, tetapi
lebih karena sifat yang dimiliki sunnah, yaitu selain sebagai catatan atau
fakta historis dari tradisi bangsa-bangsa Arab, juga kenormatifannya bagi
generasi-generasi sesudahnya. Sebelumnya Goldziher menyatakan bahwa
sunnah pada awalnya telah dipakai oleh orang-orang Arab Jahiliyah yang
memuliakan (sunnah) nenek moyang mereka. Bagi Goldziher, konsep Islam

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, (London: George Alen & Unwim Ltd., 1970), hal.
35

24.
166 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

tentang sunnah adalah sebuah revisi atas adat-istiadat yang terjadi saat itu,
walaupun tidak menguatkan dalam arti keseluruhan.36 Jadi, bagi Goldziher,
hadits tidaklah memiliki kemurnian sama sekali, walaupun tetap memiliki
kedudukan kuat sebagai sumber ajaran Islam.

Ketidakmungkinan Keshahihan Hadits dalam Masyarakat Islam Abad


Pertama
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan otentisitas hadits bukan
saja ketika ia mengemukakan makna hadits dan sunnah yang kemudian
mendapat revisi dan kedudukan dalam Islam. Ia melihat faktor lain tentang
kondisi masyarakat Islam abad pertama Hijriyah di mana hadits saat itu
mulai memasuki perkembangan awal.
Ketika membahas perkembangan hadits pada masa Umayah dan
Abbasiah, atau lebih umumnya pada abad pertama hijriyah, Goldziher
menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki
kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara
ritus-ritus keagamaan yang kompleks. Terlebih lagi, menurutnya, pada
saat itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang
berpusat pada lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata
masih bersifat sekuler dan lepas dari agama.
MM. Azami mengemukakan beberapap alasan yang dipakai Goldziher
untuk membangun image masyarakat Islam abad pertama, yaitu sebagai
berikut:
1. Orang-orang Islam berperang dengan baju Islam. Mereka membangun
masjid-masjid. Tetai di Syam mereka tidak mengetahui shalat lima
waktu yang wajib itu sampai untuk mengetahui hal tersebut mereka
memeriksakan kembali kepada seorang Sahabat Nabi SAW.
2. Orang-orang Islam itu ternyata tidak mengetahui cara-cara mengerjakan
shalat, oleh karena itu tidaklah aneh bila di kalangan suku Bani ‘Abd al-
Asyal hanya terdapat seorang budak yang dapat menjadi imam.
3. Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali, sampai mereka
tidak paham apa yang dimaksud dengan zakat fitrah.
4. Bangsa Arab pada masa itu belum matang dalam pemikiran Islam, hingga
mereka ada keharusan untuk tidak memulai dengan kata assalamu ‘ala
Allah’.
36
Ibid., hal. 25.
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
167

5. Ada orang yang membaca syair di mimbar tetapi ia menyangka dirinya


sedang membaca al-Qur’an.
6. Goldziher menuturkan bahwa bimbingan resmi dan kegiatan penguasa
untuk memalsukan hadits sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.
Begitulah gambaran masyarakat Islam secara keseluruhan pada abad
pertama Hijriyah yang dilukiskan oleh Goldziher. Kondisi ini di jadikan alasan
untuk menyatakan bahwa tidak mungkin pada kondisi tersebut kita akan
mempercayai data otentik tentang hadits, kalaupun ada pasti itu merupakan
produk Islam setelah mencapai tahap perkembangan berikutnya, yaitu abad
kedua dan ketiga Hijriyah.

Implikasi Kondisi Sosial Politik Terhadap Hadits


Para ulama hadits menetapkan lima syarat bagi shahihnya sebuah
hadits. Di antara kelima syarat tersebut, tiga berkenaan dengan sanad dan
dua berkenaan dengan matan. Yang berkenaan dengan sanad, di samping
sanad harus bersambung, semua perawinya juga harus siqat dan dhabit.
Sedangkan yang berkaitan dengan matan adalah keharusan tidak adanya
syadz dan ‘illat pada hadits tersebut. Goldziher memandang bahwa secara
faktual penelitian keabsahan hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kesalahan metode
yang dipakainya. Hal itu karena para ulama, menurutnya, lebih banyak
menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan kritik matan.
Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan metode baru yaitu kritik
matan saja.
Ia menyatakan bahwa untuk memahami dan menetapkan keshahihan
hadits, tidak hanya disandarkan pada analisa terhadap sanad hadits saja,
lebih jauh hal tersebut dilakukan guna menggambarkan sampai sejauh mana
hubungan teks hadits dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi
sosial politik di mana hadits tersebut muncul. Dalam sebuah setting sejarah
perkembangan hadits, seperti yang dikutip oleh Daud Rasyid, Goldziher
menyatakan:
Pada zaman Islam awal, ketegangan telah memuncak antara Umawiyyin
dengan kelompok ulama yang taqwa dan kebejatan serta kebobrokan
merajalela di mana-mana. Untuk memerangi itu para ulama yang
taqwa membuat hadits yang memuji ahl al-bait. Pada waktu yang sama
pemerintahan Umawiyyin tidak tinggal diam. Mereka melakukan hal
yang sama yaitu memalsukan hadits. Praktek pemalsuan hadits tersebut
168 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

tidak saja berlaku dalam lingkup politik saja tetapi juga dalam kawasan
keagamaan.37

Kritik atas matan hadits sendiri dalam khazanah ilmu hadits


sesungguhnya bukanlah merupakan hal yang baru. ‘Aisyah, Umar bin
Khatab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan para Sahabat lainnya telah
melalkukan kritik matan atas hadits-hadits sejak dahulu. Kritik atas matan
yang terjadi di kalangan para Sahabat, menurut para ahli hadits kerapkali
dilakukan untuk meneliti apakah ada ‘illat atau syadz dalam hadits tersebut.
Dan hal ini berbeda dengan apa yang disodorkan oleh Goldziher sebagai
kritik atas matan. Ia menyarankan bahwa studi hadits juga harus diupayakan
untuk mengetahui atau tidak adanya hubungan materi hadits dengan situasi
yang sedang terjadi saat itu.
Kesemua pandangan-pandangan Goldziher tersebut, akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa hadits sebagai corpus yang berisikan perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi SAW., jika dilihat dari sejarah perkembangan yang
kerapkali berbaur dengan kepentingan politik, maka akan sulit meyakinkan
bahwa otentisitas hadits dapat dipertanggungjawabkan.

II. Pandangan Joseph Schact tentang Otentisitas Hadits dan Hukum


Islam
Joseph Schact lahir di Ratibor (sekarang termasuk wilayah Polandia)
pada 15 Maret 1902 dan meninggal di New Jersey pada 1 Agustus 1969.
Karirnya sebgai orientalisl diawali dengan belajar filologi klasik, teologi
dan bahasa-bahasa timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig.
Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika
berumur 21 tahun.
Pada tahun 1947, ia menjadi warga Negara Inggris dan bekerja di radio
BBC London. Sebagai seorang ilmuwan yang menyandang gelar Profesor
Doktor, di Inggris, ia justru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas
Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari
Universitas tersebut. Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar
di Universitas Leiden Negeri Belanda sebagai guru besar sampai tahun 1959.
Kemudian pada musim panas tahun 1953, ia pindah ke Universitas Columbia
New York, dan menjadi guru besar ia meninggal dunia tahun 1969.

37
Daud Rasyid, Goldziher dan Sunnah, (Jurnal Ma’rifah Vol. 1, Tahun 1415 H), hal. 23
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
169

Sunnah dan Konsepsi Arab Kuno


Tidak berbeda dengan pendahulunya Ignaz Goldziher yang
mengatakan bahwa konsep Islam tentang sunnah tidak lebih dari sekedar
revisi atas adat kebiasaan, tradisi dan kebiasaan nenek moyang Arab,
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi Arab kuno yang berlaku
kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam Islam.38 Schacht menilai
bahwa sunnah lebih berarti pada praktek ideal dari komunitas setempat
atau doktrin yang muncul ke permukaan.
Dalam makna yang sama, Fazlur Rahman menyimpulkan makna
sunnah menurut Schacht sebagai tradisi dari Nabi tidaklah ada sama sekali
sampai pertengahan abad II H./ VII M.; bahwa kebiasaan atau sunnah
sebelum waktu itu tidaklah dipandang sebagai sunnah Nabi, tetapi sebagai
sunnah masyarakat, karena sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil
penalaran bebas orang-orang.39

Studi Sanad dan Teori Projecting Back


Dalam mengkaji hadits nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek
sanad (transmisi, silsilah) dari pada aspek matan sebuah hadits. Schacht
menilai bahwa sanad hadits adalah bukti adanya kesewenang-wenangan dan
kecerobohan yang dilakukan para ulama pada saat itu. Schacht menegaskan
bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Penegasan
ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadits-hadots yang
berkenaan dengan hukum Islam, maka hadits tersebut dipastikan adalah
buatan orang-orang yang hidup setelah itu. Ia berpendapat bahwa hukum
Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qadi (hakim agama) yang
dilakukan pada masa Diansti bani Umayyah.40
Kira-kira pada akhir abad kedua Hijriyah, pengangkatan qadi itu
ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan orang
yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis tersebut kian
bertambah, di samping solidaritasnya yang semakin kuat, maka akhirnya
mereka berkembang menjadi kelompok fiqih klasik. Keputusan-keputusan
hukum yang diberikan para qadi tersebut memerlukan legitimasi dari
orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, karena mereka tidak
38
Muhammad Thalib, Sekitar Kritik Terhadap hadits dan sunnah sebagai Dasar
Hukum Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), hal. 24
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Salman, 1984), hal. 57
39

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 21
40
170 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

menisbahkan keputusan itu pada mereka sendiri, melainkan menisbahkannya


pada tokoh-tokoh sebelumnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat tersebut tidak
hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan kepada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan Sahabat, dan pada
akhirnya pada Nabi. Itulah gambaran atau rekonstruksi terjadinya sanad
hadits menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat kepada
tokoh-tokoh di belakang (projecting back). Ia menilai bahwa kebanyakan
hadits pada dasarnya merupakan aplikasi yang tidak berbeda dengan teori
tersebut.
Pada bagian lain, ia menilai bahwa sanad hadits hanya merupakan
semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai
kepercayaan naluriah. Menurutnya juga, munculnya aliran fiqih klasik ini
membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok-kelompok oposisi
yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Pemikiran dasar ahli hadits ini adalah
bahwa hadits yang berasal dari Nabi harus dapat mengalahkan aturan-
aturan yang dibuat oleh ahli-ahlil fiqih. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kelompok oposisi ini membuat penjelasan hadits seraya mengatakan bahwa
hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan oleh Nabi dengan sanad
bersambung dan perawi yang terpercaya. Schacht menyatakan bahwa para
ahli hadits terpaksa menyatakan doktrin-doktrin mereka sendiri dalam
tradisi yang konon berasal dari Nabi SAW.
Kesimpulan dari gambaran di atas, baik kelompok aliran fiqih klasik
maupun ahli-ahli hadits, sama-sama memalsukan hadits, dan oleh karena
itu maka keabsahan dan otentisitas hadits Nabi tetap saja harus diragukan,
walaupun hadits tersebut dilengkapi sanad.

III. Kritik Terhadap Tesis Keraguan Otentisitas Hadits Goldziher dan


Schacht
Banyak karya-karya tulis ilmiah yang menanggapi keraguan otentisitas
hadits yang dilontarkan dua tokoh orientalis tersebut. Di antaranya, Fazlur
Rahman mengembangkan kritiknya terhadap tesis Golziher dan Schacht
tersebut. Menurut Rahman, mereka gagal menemukan perbedaan penting
antara hadits dan sunnah, akibatnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa
sunnah Nabi dalam kenyataannya bukanlah dari Nabi, tapi merupakan
tradisi umum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat Islam.
Ada beberapa asumsi yang dianggap Goldziher dan Schacht sebagai
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
171

dasar kesimpulannya tentang keraguan terhadap hadits, di antaranya


bahwa mereka menganggap masyarakat Islam sebelum abad kedua dan
ketiga Hijriyah adalah masyarakat yang belum memahami dogma-dogma
keagamaan, memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin
keagamaan yang kompleks. Buta Huruf merajalela di mana-mana, yang
mana kondisi ini mengakibatkan kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata
menunjukkan terpeliharanya hadits secara sadar.
Daud Rasyid mengomentari hal tersebut dengan menyatakan bahwa
tuduhan tersebut secara histories dan realitas tidaklah beralasan. Sebab,
Rasul SAW. meninggal dunia setelah bangunan Islam ini benar-benar
sempurna. Dalam satu ulasannya ketika ia membuktikan bahwa masyarakat
Islam abad pertama berbeda dengan tuduhan goldziher, dia mengatakan
bahwa untuk mengetahui telah matangnya Islam periode pertama, cukup
dengan Melihat kesiapan Umar bin Khattab menangani urusan dua imperium
terbesar di dunia waktu – Persia dan Romawi – yang berhasil dikuasai Islam.
Khalifah Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar
itu. Sekiranya Islam masih dalam fase “bayi”, mustahil rasanya Umar dapat
memikul tugas seberat itu dalam mengendalikan dua kerajaan tersebut.41
Pada bagian lain, tuduhan keraguan terhadap otentisitas hadits yang
didasarkan karena tidak adanya peninggalan tertulis dan larangan penulisan
hadits semenjak Nabi, dikomentari juga oleh MM Azami. Ia mengatakan
bahwa penulisan hadits sudah terjadi dan bahkan berkembang pada zaman
Nabi. Bahkan dalam penelitian MM Azami, tak kurang dari 52 orang Sahabat
mempunyai tulisan-tulisan hadits. Meskipun begitu, Nabi tidak melarang
penulisan tersebut secara mutlak. Artinya, pelarangan penulisan itu
muncul karena ada sebab-sebab khusus yang berupa kekhawatiran iltibas
(bercampur antara hadits dengan al-Qur’an). Manakala kekhawatiran itu
dapat dihindari, maka penulisan hadits diperbolehkan. Selain itu, adanya
pelarangan itu justru membuktikan bahwa tradisi penulisan pada saat itu,
sudah ada. Karena, seandainya para Sahabat tidak dapat menulis, maka
larangan tersebut tidak perlu ada.42
Adapun anggapan Goldziher dan Schacht tentang kebobrokan atau
penyimpangan khalifah-khalifah Umayyah, tidaklah terlalu tepat. Sbab dalam
41
Daud Rasyid, Goldziher dan Sunnah, (Jurnal Kajian Islam Ma’rifat, Vol. I, Jakarta,
1415 H), hal. 27.
42
Nurul Huda Ma’arif, Muhammad Mustafa Azami: Menepis Orientalis, Membela
Hadis, (Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam: Islamia, Thn I no 3/ Sepetember-November
2004), hal. 105
172 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

literature lain tercatat ada beberapa khalifah Umayyah yang terkategori


sebagai orang-orang yang taqwa. Ibnu Sa’ad dalam karyanya ath-Thabaqah
mengungkap biografi dan ketakwaan khalifah Abdul Malik, sehingga orang
menyebutnya sebgai “merpati masjid”. Juga al-Walid Abdul Malik yang di
zamannya banyak dibangun masjid, sehingga masa pengabdiannya disebut
sebagai “masa pembangunan”.
Tentang hal lainnya, bahwa dalam awal sejarah Islam tercatat muncul
pertentangn politik yang mempengaruhi hukum Islam, lebih khususnya pada
perkembangan hadits adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindarkan
dan dibantah. Tetapi itu tidaklah berarti bahwa otentisitas hadits secara
keseluruhan harus diragukan sama sekali. Tidak dapat dilupakan, bahwa
sejak masa itu – atau dikenal dengan masa fitnah- ahli-ahli hadits lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadits disbanding dengan masa sebelumnya.
Penggunaan sanad hadits pada saat itu lebih terasa penting.
Sanad yang menurut istilah Schacht adalah semacam pembenaran
teoritis terhadap apa yang selama ini merupakan kepercayaan naluriah yang
ditarik ke belakang atau diproyeksikan kepada otoritas terdahulu, menurut
Azami ternyata sudah dipakai sejak masa Nabi. Seperti yang dinyatakan
Azami, objek penelitian yang dilakuakn Schacht perlu mendapat sorotan
kritis. Sebab, dari sanalh problem serius dan keteledoran yang dilakukan
Schacht berawal, sehingga memunculkan kesimpulan yang keliru. Seperti
diketahui, lading penelitian Schacht, berkaitan dengan rekonstruksi
terbentuknya sanad, adalah kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik, al-
Muwatta’ karya Imam Muhammad al-Shaybani, serta al-Umm karya Imam al-
Shafi’I. Menurut MM Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut sebagai kitab-
kitab fikih, bukannya kitab-kitab hadits. Meneliti sanad hadits yang terdapat
dalam kitab-kitab fikih, hasilnya tidak akan tepat. Penelitian hadits haruslah
pada kitab-kitab hadits. Oleh sebab itu, ditinjau dari segi metodologi ilmiah,
hal itu merupakan suatu kesalahan yang mendasar.
Kami juga mencatat ada beberapa hal yang dianggap sebagai
kekeliruan mereka, yaitu: Pertama, Goldziher senantiasa menggunakan
suatu kejadian individu yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi
bukti hal-hal umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Mu’awiyah kepada
salah seorang pengikutnya: “Janganlah ragu-ragu untuk memaki-maki Ali
dan menyumpahinya.” Wasiat ini dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-
pembesar Umayyah untuk menegaskan bias politik ke dalam pemberitaan
mereka. Demikian juga ia tidak Melihat hal lainnya dalam kebiasaan para
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
173

pembesar Umayyah, seperti fenomena khalifah Abdul Malik atau yang


lainnya.
Kedua, Goldziher dan Schacht seringkali tidak melakukan checking
yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam
pembuktian, seperti penelitian otentisitas hadits melalui kitab-kitab fiqih
ataupun tanpa dilibatkannya al-Qur’an sebagai referensi lain dalam meneliti
hadits.
Ketiga, banyaknya penafsiran yang nyata salah dalam mengartikan
ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang diberitakan dalam sumber-
sumber kesejarahan. Misalnya ucapan Amir ibn Sya’by: “Aku tak pernah
menulis dengan (tinta) hitam di atas (permukaan kertas) putih atau meminta
seseorang untuk mengulangi sebuah hadits sampai dua kali.” Ucapan
ini tidak ada hubungan sama sekali dengan larangan menuliskan hadits,
melainkan hanya menunjukkan kekuatan hafalan Amir saja. Sedangkan bagi
kedua orientalis ini, ucapan tersebut dianggap sebagai bukti bahwa pada
abad pertama Hijriah kaum muslim dilarang menuliskan hadits.
Keempat, adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya
sebagai orientalis non muslim, yang setidaknya menyimpan misi-misi
tersendiri di balik kaca mata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan
neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya wilayah/ kawasan
Islam.

C. Simpulan
Metode para Orientalis tidak dibangun atas dasar keimanan. Padahal,
ilmu mengenai al-Qur’an adalah menyangkut masalah keimanan. Oleh sebab
itu, kaum Muslimin perlu berhati-hati ketika membaca karya orientalis
mengenai al-Qur’an. Abu Hurairah, Ibn Abbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-
Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya
ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamamu.”
Jadi, para Orientalis tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk
menafsirkan al-Qur’an, seperti akidah yang sahih, komitmen dengan
kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa
syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen
mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk
mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi
urusan keagamaan. Senada dengan al-Tabari, al-Suyuti mengatakan bahwa
174 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

sikap sombong, cenderung kepada bid‘ah, tidak tetap iman dan mudah goyah
dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan
dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah
SWT.
Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat
penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an dan metode-kritis adalah
parasit yang akan menghilangkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran
al-Qur’an. Al-Qur’an adalah tanzil. Al-Qur’an tidak sama dengan dengan
teks karangan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)
Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya” (QS. al-Haqqah, 69 : 44-46). Allah juga
berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya) (QS. al-Najm, 53 : 3-4). Allah juga berfirman
yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”. QS. Fussilat (41: 42); juga disebut dalam surat
yang lain, yaitu: QS. al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1);
al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-
Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).”
Adapun beberapa pokok pikiran sebagai kesimpulan dari pandangan
Goldziher dan Schacht yang saling berkaitan satu dengan lainnya tentang
otentisitas hadits, yaitu sebagai berikut:
1. Hadits merupakan produk atau buatan kaum muslim dari abad kedua
dan ketiga hijriah.
2. Masyarakat Islam sebelum abad kedua dan ketiga Hijriah belum memiliki
kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan,
memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang
kompleks.
3. Kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan
bahwa hadits tidak dapat dipelihara dengan sadar dan tertulis, dan
hadits merupakan hasil perkembangan setelah Islam menemukan
perkembangannya dalam hal itu, yaitu abad kedua dan ketiga Hijriah.
4. Produk hukum Islam merupakan gambaran yang muncul dari hasil
perkembangannya pada abad kedua dan ketiga hijriah, karena hadits
Nabi yang berkaitan dengan hukum baru muncul pada dua abad tersebut,
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
175

dan hal itu pun merupakan hasil pemalsuan ketika adanya akses politik
baik dari para penguasa maupun dari pertikaian politik aliran fiqih klasik
dan ahli hadits.
5. sebagian besar sanad hadits merupakan rekayasa yang didasari oleh
teori projecting back atau memproyeksikan kebenaran suatu hadits pada
orang sebelumnya, dan sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad SAW.
Pendapat Goldziher di amini juga oleh sarjana terkemuka Belanda,
Snouck Hurgronje, dalam “Early Development Of Islam“. H. Lemmens. Joseph
Schacht hanyalah mengikuti atau memperluas penjelasan dari Goldziher,
tetapi subtansinya sama bahwa hadits atau sunah merupakan hasil rekayasa
ulama-ulama Islam abad ke-2 dan ke-3 yang menjustifikasi rekayasa tersebut
kepada Nabi. Untuk menyanggah pendapat sesat tersebut, setidaknya dapat
dibantah dengan metode pengumpulan hadits yang selektif dan menempuh
proses yang panjang. Berikut ini bukti-bukti keandalan sunnah, yaitu :
1) Keandalan Sumber
2) Keaslian data dan keaslian kata-kata / ajaran
3) Pemeliharaan ajaran asli pada periode-periode kemudian dan alat untuk
memahaminya.
Keandalan sumber dapat dilihat yaitu tidak mungkin hadits direkayasa
ulama pada abad pertengahan karena dalam pengumpulan hadits semua
informasi harus diperoleh melalui orang yang hidup bersama Nabi dan
menyaksikan peristiwa itu. Informasi ini harus melewati para sarjana yang
dapat dipercaya tanpa terputus mata rantainya (sanad). Salah satu sifat yang
paling penting dari proses ini adalah bahwa informasi tidak akan diterima
sebagai hadits apabila ucapan itu bertentangan dengan akal sehat, orang
yang menyampaikannya terpercaya, dan sumber akhir haruslah dilaporkan
melalui seseorang yang merupakan sahabat Nabi.
Dari sudut kata-kata dan ajaran yang asli hadits Nabi menggunakan
Bahasa Arab sebagai ungkapannya. Dan bahasa arab hingga kini dapat
dipelihara keasliannya. Pengumpulan dan pemeliharaan pengajaran-
pengajaran asli pada zaman kemudian, ini terbukti dari informasi ini (Hadits),
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan nama
orang-orang yang bertanggung jawab dalam menyampiakan pengetahuan
itu. Dalam hal ini memberikan landasan kuat untuk melakukan penelitian
dan rujukan, mengingat hal ini menjadi jelaslah bahwa suatu metode yang
unik telah diilhamkan kepada masyarakat Islam dan tak seorang pun telah
mengembangkan suatu metode yang lebih baik.
176 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, Metodologi
Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gramedia, 2009 
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat dari
Mawsu’ah al-Mustasyriqin, Yogyakarta, LKis, 2003
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, Jakarta, Gema
Insani Press, 2005
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995
Ali Mustafa Yaqub, kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung, Mizan, 1986
Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, Moslem World 40, 1950
Arthur Jeffery, A Variant Text of the Fatiha, Moslem World 29, 1939
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ans, Leiden: E.
J. Birll, 1937
Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, New York: Russell F. Moore Companya,
1952
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, United Bible Societies, 1975
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, Oxford University Press,
USA; 3 edition, March 12, 1992
C. Houtman, The Pentateuch, dalam The World of the Old Testament: Bible
Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1989, jilid. 2
Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s
Scripture, New Jersey, Princeton University Press, 2001
Daud Rasyid, Goldziher dan Sunnah, Jurnal Kajian Islam Ma’rifat, Vol. I,
Jakarta, 1415 H
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
177

Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, Philadelphia: Fortress Press,


1975
Edward Said, Orientalism, New York: Vintage, 1979
Endang Soetari Ad., Ilmu Hadits, Bandung, Amal Bhakti Press, 1994.
Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1994.
Fazlur Rahman, Islam, Bandung, Pustaka Salman, 1984
François De Blois, Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur
Entsclüsselung der Koransprache. By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim),
Journal of Quranic Studies 5 (2003)
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Isam: Gerakan bersama
Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, Ponorogo, CIOS, 2007
Hanafi, MA, Orientalisme, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1981
Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an: A Reconsideration of Western
Views in Light of Recent Methodological Developments,” Der Islam, 78,
2001
Hasan Abdul Rauf M. el. Badawiy dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme
dan Misionarisme, penj. H. Andi Subarkah, Bandung, Rosdakarya, 2007
Ignaz Goldziher, Mażāhibu at-tafsīr al-Islāmi, diterjemahkan dari Die
Richtungen der Islamischen Koranauslegung Penj. Dr. Abdul Halim al-
Najâr, Kairo, Maktabah al-Khanaji, 1995
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London, George Alen & Unwim Ltd., 1970
Issa J. Boullata, “Book Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation”, Muslim World 67, 1977
John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam
dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2002
Keith Windschuttle, “Edward Said’s Orientalism revisited” , The New Criterion
Vol. 17, No. 5, January 1999,
Lihat As-Syekh Muhammad ‘Abdul ‘Adzîm az-Zarqônî, Manâhilul ‘Irfân Fî
‘Ulûmi al-Qur’ân, Tahqîq Fawwâz Ahmad Zamarlî,  Beirut, Dâr al-Kitâb
al-’arobî, 1995/1415
Muhammad Thalib, Sekitar Kritik Terhadap hadits dan sunnah sebagai Dasar
Hukum Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1977
Muir, Life of Mohamet , Jakarta: Smith, Penatua, & Co., tahun 1878, vol. 2
178 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Musthalah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, Jakarta,


Pustaka Al-Kautsar, 1995.
Nasrullah Alif, Citra Muhammad di Mata Orientalis, Majalh Islamika, No. 3,
1994.
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, 1995.
Nurul Huda Maarif, Muhammad Mustafa Azami: Menepis Orientalis, Membela
Hadis, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam: Islamia, Thn I no 3/
Sepetember-November 2004
Richard Chenevix Trench (Early editors),The Oxford English Dictionary,
Oxford, 1933, vol. VII
Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, penj. Agung
Prihantoro, Yogyakarta, Qalam, 2001
Richard N. Soulen and R. Kendal Soulen, Handbook of Biblical Criticism,
London, Westminster John Knox Press, 2001
Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg, “Die syro-
aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsslung der
Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 3. Dikutip dari
http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6No1/HV6N1PRPhenixhorn.html
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press,
1996
Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, al-Insani, Ttp,
2005
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I, Jakarta, Gema
Insani, 2008
Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis, Telaah Atas Pandangan
Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht, Benang Merah Press, Bandung,
2004
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
179

PENULISAN & KODIFIKASI HADIS MENURUT


MUḤAMMAD MUṢṬAFĀ AL-A‘ẒAMI

Oleh: Umma Farida


(Dosen tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus)

Abstract

One contemporary hadith scholar, Muhammad Mustafā al-


A‘ẓami (1930-present), has conducted a study of hadith. In fact,
his dissertation while studying at Cambridge University focuses
on the discussion of writing, codification and the authenticity
of hadis. Although quite mix with islamisis, but al-A‘ẓami have
different views, they simply criticize them. Al-A’ẓami emphasized
in some of his writing tradition that began in the early days of
Islam, even at the time of the Prophet PBUH, as evidenced by
the presence of at least 52 friends who have manuscripts hadith
records. He also once denied allegations that hadis were never
written in the period of the Prophet PBUH. This accusation
argues, arises because a misunderstanding in interpreting
speech Imām Mālik (93-179 AH) that the person who first wrote
the hadith is Ibn Syihāb az-Zuhrī (50-125 AH).

Keywords: Muhammad Mustafā al-A‘ẓami, codification and the


authenticity of hadis

A. PENDAHULUAN
Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran kedua dalam Islam menjadikan
studi terhadapnya sangat penting. Terlebih hingga saat ini, persoalan
mengenai pencatatan dan kodifikasi hadis masih menjadi perdebatan dan
180 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

sasaran kritik yang mayoritas mempersoalkan ketiadaan data historis dan


bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan otentisitas
hadis, maka sejumlah sarjana hadis pun melakukan penelitian intensif
dalam rangka meneguhkan kebenaran hadis sebagai sesuatu yang memang
bersumber dari Nabi SAW., di antaranya adalah Muhammad Mustafā al-
A‘ẓamī—selanjutnya hanya disebut al-A‘ẓamī— yang berupaya mengkaji
hadis dengan menunjukkan data ilmiah dalam rangka menepis keraguan
para pihak terkait dengan pencatatan dan kodifikasi hadis.

B. LEBIH DEKAT DENGAN AL-A‘ẒAMĪ


Muḥammad Muṣṭafā al-A‘zamī atau yang lebih dikenal dengan al-A‘ẓamī
lahir pada tahun 1930 di kota Mau Nath Bhanjan, Azamgarh, Uttar Pradesh,
India. Nama al-A‘ẓamī merupakan nisbah kepada daerah kelahirannya,
Azamgarh. Ayahnya bernama ‘Abdurraḥman dan ibunya ‘Āisyah (w. 1932).
Al-A‘ẓamī berasal dari keluarga sederhana namun sangat mencintai
ilmu. Perhatian dan tekad sang ayah sangat besar untuk membekali al-
A‘ẓamī dengan pendidikan yang pada akhirnya mengantarkannya menjadi
salah seorang tokoh yang mumpuni dalam bidang hadis. Sejak kecil, ia
memang telah diarahkan ayahnya untuk mempelajari hadis. Ayahnya pula
yang berperan besar dalam memalingkan ketertarikannya dari pelajaran
matematika kepada hadis.
Pendidikan dasar Al-A‘ẓamī ditempuh di Uttar Pradesh India. Ketika
SLTA, ayahnya yang memang sangat membenci penjajahan dan tidak menyukai
Bahasa Inggris menyuruh pindah ke Sekolah Islam yang menggunakan
Bahasa Arab. Dari sekolah inilah ia mulai mempelajari hadis secara formal.
Tamat dari Sekolah Islam, ia melanjutkan ke College of Science (Dār al-‘Ulūm)
di Deoband, Studi al-A‘ẓamī di College of Science Deoband, India, berakhir
dengan memperoleh gelar Fāḍil (B.A) pada tahun 1952. Al-A‘ẓamī selanjutnya
memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Fakultas Bahasa Arab,
jurusan Tadrīs, Universitas al-Azhar, Cairo, hingga memperoleh gelar al-
‘Ālamiya ma‘a Ijāzah at-Tadrīs (M.A) pada tahun 1955. Setelah memperoleh
gelar sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya India. Akan tetapi, karena
kondisi India belum kondusif bagi kaum muslim sebagai konsekuensi pasca
pemisahan Pakistan dari India, maka setahun kemudian ia memutuskan untuk
bekerja di Qatar sebagai dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non-Arab.
Pada tahun 1957, ia ditunjuk pemerintah Qatar untuk menjadi sekretaris
perpustakaan nasional (Dār al-Kutub al-Qaṭriyyah) di Doha.
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
181

Semangat al-A‘ẓamī untuk terus melanjutkan studi ke jenjang yang lebih


tinggi cukup besar. Uang yang diperoleh ketika bekerja di Qatar digunakan al-
A‘ẓamī sebagai bekal untuk menuntut ilmu di Cambridge University, Inggris,
pada tahun 1964. Studinya di Cambridge berhasil diselesaikan dalam waktu
yang singkat dan berhasil memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1966 dengan
penelitian disertasi yang berjudul Studies in Early Hadith Literature.

C. PEMAKNAAN AL-A‘ẒAMĪ TERHADAP HADIS


Al-A‘ẓamī tidak memberikan pemaknaan khusus mengenai konsep
sunnah dan atau hadis. Pemaknaan al-A‘ẓamī terhadap keduanya tidak
berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh muḥaddiṣīn pada umumnya.
Sunnah secara etimologis berarti tata cara atau jalan, yakni jalan yang
dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan,
sedangkan secara terminologis, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan,
sifat (watak budi atau jasmani) baik sebelum menjadi Nabi SAW. maupun
sesudahnya. Berdasar definisi ini, sunnah merupakan sinonim dari hadis.
Definisi yang diberikan al-A‘ẓamī didasarkan pada penggunaan kata
hadis tersebut dalam al-Qur’an dan sabda Nabi SAW. Hadis –dalam bahasa
Arab: ḥadīṣ- secara etimologis berarti komunikasi, cerita, percakapan: religius
atau sekular, historis atau kontemporer. Sedangkan jika digunakan sebagai
kata sifat, hadis berarti baru. Adapun menurut ahli hadis (muḥaddiṣīn), kata
hadis menunjukkan kepada makna sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi
SAW., baik berupa perilaku, perkataan, persetujuan beliau atas tindakan
sahabat, atau deskripsi tentang sifat dan karakternya.
Al-A‘ẓamī menambahkan, karena pada masa-masa awal Islam, kisah
dan komunikasi Nabi SAW. (hadis) mendominasi seluruh komunikasi saat
itu, maka nomenklatur ‘hadis’ pun mulai digunakan hampir secara khusus
untuk verbalisasi (periwayatan) tentang atau dari Nabi SAW., baik berupa
sabda, ketetapan, perbuatan, ataupun sifat. Dengan ungkapan lain, hadis
adalah penampung sunnah Nabi SAW.
Otoritas Nabi SAW., menurut al-A‘ẓamī, tidaklah sekuat otoritas al-
Qur’an. Otoritas Nabi SAW. tersebut bukan hanya berasal dari penerimaan
umat terhadapnya sebagai pribadi yang memiliki otoritas, melainkan
diekspresikan melalui kehendak Allah.
Adapun otoritas Nabi SAW. sebagaimana yang diungkap al-Qur’an
yaitu: Pertama, Nabi SAW. merupakan penjelas al-Qur’an (QS. An-Naḥl: 44).
Kedua, Nabi SAW. memiliki otoritas membuat suatu hukum (legislator) (QS.
182 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Al-A‘rāf: 157). Artinya, Nabi SAW. memiliki wewenang memprakarsai hal-hal


tertentu yang kemudian dinyatakan al-Qur’an sebagai praktik masyarakat
muslim yang baku, seperti praktik azan, sebagaimana halnya beliau memiliki
wewenang mengeluarkan larangan tertentu, seperti menggabungkan
pernikahan antara seorang bibi dengan keponakannya sekaligus. Ketiga,
Nabi SAW. menjadi model perilaku masyarakat muslim (QS. Al-Aḥzāb: 21).
Keempat, Nabi SAW. merupakan pribadi yang ditaati (QS. an-Nisā’: 59 & 64;
Āli ‘Imrān: 32 & 132). Bahkan, al-A‘ẓamī (1992: 12; 1996: 13-15) menegaskan
bahwa keputusan, ketetapan, perintah, dan larangan Nabi SAW. memiliki
otoritas yang mengikat dan diikuti dalam seluruh segi kehidupan masing-
masing individu umat Islam.

D. PENULISANAN DAN PEMBUKUAN HADIS
Pemikiran al-A‘ẓamī tentang pencatatan dan pembukuan hadis
merupakan pemikiran yang paling sering dirujuk umat Islam masa kini.
Menurut al-A‘ẓamī, penulisan hadis sudah ada sejak masa awal Islam. Ia
menegaskan bahwa 52 (lima puluh dua) orang sahabat telah memiliki
catatan hadis sejak masa Nabi SAW. Bahkan, dalam beberapa kesempatan
Nabi SAW. mendiktekan secara langsung hadis-hadis beliau kepada mereka.
Selain itu, al-A‘ẓamī juga menekankan bahwa aktifitas tulis menulis
telah menjadi tradisi sejak masa Jahiliyah dan menjadi salah satu unsur
kesempurnaan seseorang. Mereka telah menyadari peran tulis menulis
tersebut, yang dibuktikan dengan ditulisnya syair-syair milik para tokoh
mereka, mencatat cerita perang, dan kata-kata mutiara dari para pujangga.
Selain itu, pada masa pra-Islam juga terdapat tempat-tempat yang dijadikan
‘majlis pendidikan’ di Jazirah Arab, seperti Makkah, Ṭaif, Madinah, Anbār,
Ḥīrah, dan Daumat al-Jandal.
Pada masa Nabi SAW. tampak bahwa aktifitas tulis menulis juga
terus berlangsung. Kaum muslim menuliskan hutang-hutang mereka,
mencatat perjanjian-perjanjian, dokumen-dokumen dan sumpah-sumpah,
kata-kata mutiara, silsilah dan keturunan. Bahkan, pada waktu Nabi SAW.
masih tinggal di Makkah, orang Anṣar seperti Rāfi‘ ibn Mālik (w. 3 H.) juga
pernah menghadap Nabi SAW. untuk belajar al-Qur’an, dan sesudah kembali
ke Madinah ia mengajarkannya di sana, serta meminta agar Nabi SAW.
Mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan agama dan al-Qur’an kepada
mereka. Nabi SAW. pun mengirimkan Muṣ‘ab ibn ‘Umair (w. 3 H.).
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
183

Bukti lain yang ditunjukkan al-A‘ẓamī tentang tersebarnya budaya tulis


menulis di kalangan kaum muslimin adalah adanya sekretaris-sekretaris Nabi
yang berjumlah sekitar 65 sahabat. Mereka ada yang bersifat sementara, ada
juga yang menjadi sekretaris tetap. Hanya saja kebanyakan mereka menulis
masalah-masalah khusus, sehingga ada yang menulis al-Qur’an saja, seperti
‘Ali ibn Abī Ṭālib (23 SH-40 H.), ‘Uṡmān ibn ‘Affān (w. 35 H.), Zaid ibn Ṡābit (w.
45 H.), dan Ubay ibn Ka‘b (w. 22 H.). Ada juga yang secara khusus mencatat
harta-harta ṣadaqah, seperti az-Zubair ibn al-‘Awwām (w. 36 H.). Adapun
‘Abdullah ibn al-Arqam (w. 44 H.), dan al-‘Alā’ ibn ‘Uqbah mencatat masalah
hutang dan perjanjian-perjanjian lain, sedangkan Ḥuẓaifah ibn al-Yamān
(w.33/36 H.) mencatat taksiran kurma dan menuliskan nama 1500 orang
yang masuk Islam. Mu‘aiqib ibn Abī Fāṭimah ad-Dausī (w. 40 H.) mencatat
magānim (tempat-tempat ganīmah) Nabi, dan Ḥanzalah ibn ar-Rabī‘ yang
selaku sekretaris selalu membawa stempel Nabi.
Al-A‘ẓamī juga menuturkan bahwa seperempat abad setelah Nabi
SAW. wafat, di Madinah sudah ada gudang kertas yang berhimpitan dengan
rumah ‘Uṡmān ibn ‘Affān. Begitu pula kata ‘kertas’ (qirṭās, qarāṭīs) disebut-
sebut dalam peristiwa terbunuhnya ‘Amr ibn Sa‘īd al-Asydaq tahun 69 H., dan
menjelang akhir abad I H., pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada
para gubernur.
Data-data lain yang membuktikan tersebarnya ilmu dan pendidikan
Islam secara cepat adalah adanya perpustakaan-perpustakaan di negeri-
negeri Islam pada dekade keenam abad I H. ‘Abdul ḥakam ibn ‘Amr ibn ‘Abdullāh
ibn Ṣafwān al-Jumaḥī mendirikan perpustakaan umum yang berisi berbagai
koleksi buku, dilengkapi ruangan untuk bermain. Di dinding juga terpasang
gantungan baju sehingga orang yang masuk dapat menggantungkan bajunya
di tempat tersebut, lalu membaca buku atau bermain (al-A‘ẓamī, 1992: 68;
Ibn ‘Asākir, t.th: 32: 212). Selain itu, ada perpustakaan yang khusus untuk
membaca al-Qur’an. Mujāhid (21-102 H.) menuturkan bahwa ‘Abdurraḥmān
ibn Abū Lailā (w. 83 H.) mempunyai rumah yang diisi dengan muṣḥaf-muṣḥaf,
di mana pada qurrā’ berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Mereka tidak
keluar kecuali untuk suatu keperluan seperti makan. Perpustakaan lainnya
adalah perpustakaan yang dimiliki Khālid ibn Yazīd ibn Mu‘āwiyah (w. 85 H.),
tetapi ini bukan perpustakaan yang pertama kali dalam Islam sebagaimana
asumsi Islamisis Krenkow dalam Da’irah al-Ma‘ārif al-Islāmiyyah, sebab—
menurut al-A‘ẓamī—dua perpustakaan di atas sudah ada sebelum adanya
perpustakaan-perpustakaan yang dimiliki Khālid ini.
184 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Melalui keterangan-keterangan di atas ini, diketahui bahwa al-A‘ẓamī


ingin menunjukkan bahwa kebijaksanaan pendidikan yang ditempuh Nabi
SAW.—dengan mendirikan majlis-majlis pendidikan dan mengutus sahabat
untuk mengajarkan Islam ke beberapa daerah—dalam waktu singkat telah
membuahkan hasil yang gemilang. Banyak para penulis muncul, begitu pula
tenaga-tenaga pengajar dan ahli-ahli administrasi, dan belum sampai satu
abad berbagai buku dan perpustakaan telah bermunculan. Jika demikian
keadaan umat Islam, ditambah bahwa mereka mempunyai kemampuan
yang cukup dalam bidang tulis-menulis, maka kemampuan itu dipastikan
telah digunakan untuk menulis hadis, kecuali jika ada faktor-faktor lain yang
menjadi kendala dalam penulisan hadis tersebut.
Al-A‘ẓamī memaparkan 4 (empat) alasan yang mengakibatkan
munculnya asumsi bahwa hadis terlambat dikodifikasikan: Pertama, salah
paham terhadap istilah-istilah ḥaddaṡanā, akhbaranā, ‘an, dan sebagainya
yang umumnya diyakini digunakan untuk penyampaian lisan. Kedua, klaim
bahwa ingatan orang Arab itu istimewa dan mereka tak perlu menulis
apapun. Ketiga, adanya hadis Nabi SAW. yang menentang pencatatan hadis.
Keempat, salah tafsir atas pernyataan ulama awal mengenai pencatatan
hadis.
Keempat alasan di atas, dieksplorasi lebih lanjut oleh al-A‘ẓamī sebagai
berikut:
a. Kerancuan memahami lambang periwayatan (adawāt at-taḥammul
wa adā’ al-ḥadīṡ)
Ada 3 (tiga) metode yang digunakan Nabi SAW. dalam mengajarkan
hadis kepada para sahabatnya, yaitu metode lisan (verbal teaching), metode
tulisan (written medium), seperti ketika Nabi SAW. mendiktekan sabda
beliau kepada para sahabatnya, seperti ‘Alī ibn Abī Ṭālib (23 SH-40 H.), dan
metode peragaan praktis (practical demonstration), seperti ketika Nabi SAW.
mengajari wuḍu, ṣalat, haji, melalui peragaan praktis. Bahkan, dalam setiap
segi kehidupan, Nabi SAW. memberikan pelajaran praktis disertai perintah
yang jelas untuk mengikutinya.
Adapun metode pengajaran hadis yang ditempuh pasca generasi
sahabat adalah:
1. Mengajarkan hadis secara lisan (oral recitation)
Meski metode ini sudah dilakukan pada masa Nabi SAW. dan sahabat,
namun ada sedikit perbedaan cara pelaksanaannya pada paruh kedua dari
abad kedua Hijriyah, yaitu adanya kebiasaan para murid untuk tinggal
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
185

bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama, dengan maksud untuk


memperoleh hadis dari para gurunya tersebut. Oleh karena mereka lama
sekali mendampingi guru-gurunya sehingga mereka disebut rāwī dari guru-
gurunya atau aṣḥāb mereka. Sebagai contoh ṡābit ibn Aslam (40-127 H.)
yang selama 40 tahun menjadi ṣāḥib Anas (10 SH-93 H.) dan meriwayatkan
hadis darinya, dan Ḥarmalah ibn Yaḥyā (150-243 H.) yang menjadi ṣāḥib asy-
Syāfi‘ī (150-204 H.).
2. Membacakan hadis dari suatu kitab (Reading from books)
Metode ini ada tiga macam, yaitu: (a) Guru membacakan kitabnya
sendiri, sedang murid mendengarkannya, sebagaimana yang dilakukan Ibn
Ḥanbal (164-241 H.), Zuhair ibn Muḥammad (w. 258 H.), dan ‘Abdullāh ibn
al-Mubārak (118-181 H.). (b) Guru membacakan kitab orang lain, sedang
murid mendengarkannya. Adapun kitab yang dibacakan ini umumnya adalah
kitab gurunya, seperti Abān ibn Abū ‘Ayyāsy (w. 138 H.), ‘Abdulmālik ibn
‘Abdul‘azīz ibn Juraij (80-150 H.), dan Jarīr ibn Ḥāzim (90-175 H.). Al-A‘ẓamī
sendiri mengkritik metode kedua ini yang menurutnya tidak dapat dijadikan
sebagai metode yang diandalkan, apalagi jika guru yang membacakan
hadis itu tidak hafal atau kurang teliti waktu membacakan, maka dapat
mengakibatkan murid-muridnya akan menganggap bahwa hadis itu adalah
hadis gurunya sendiri, sehingga mereka akan memasukkannya ke dalam
hadis-hadis gurunya itu. (c) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru
mendengarkannya. Cara ketiga ini pernah dilakukan oleh Ibn al-Mubārak
(118-181 H.), Ibnu Mahdī (w. 198 H.), Jarīr ibn ‘Abdulḥamīd (110-188 H.),
dan Ma‘mar ibn Sulaimān (w. 191).
3. Metode tanya-jawab (Questions and answers)
Sistem aṭrāf (menuliskan pangkal hadis saja) juga dipakai dalam
pengajaran hadis dengan metode tanya-jawab. Dalam hal ini, murid
membacakan pangkal dari suatu hadis, kemudian gurunya meneruskan
hadis itu selengkapnya. Al-A‘ẓamī mengutip riwayat dari kitab al-‘Ilal wa
Ma‘rifah ar-Rijāl karya Ibn Ḥanbal, bahwa Ibn Sīrīn (23-110 H.) berkata,
“Saya bertemu ‘Ubaidah dengan membawa kitab aṭrāf hadis, lalu kutanyakan
hal itu kepadanya.”
4. Metode imlā’ (Dictating the a ḥādīth)
Metode imlā’ ini sejatinya telah dipraktikkan sejak Nabi SAW. masih
hidup. Adapun ahli hadis yang menggunakan metode imlā’ ini adalah Syu‘bah
ibn al-Ḥajjāj (83-160 H.), Yazīd ibn Hārūn al-Wāsiṭī (117-206 H.), ‘Āṣim ibn
‘Alī (w. 221 H.), ‘Amr ibn Marzūq al-Bāhilī (w. 224 H.), Abū Bakr ibn ‘Ayyāsy
186 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

(96-194), Abū Bakr ibn Abu Sabrah (100-162 H.), al-Ḥasan al-Baṣrī (21-110
H.), az-Zuhrī (50-125 H.), Syahr ibn Ḥausyab (w. 113 H.), dan ‘Ikrimah ibn
‘Ammār (w. 159 H.). Sedangkan cara mengimla’kan hadis tersebut ada dua
cara, yaitu: mengimla’kan hadis dari kitab dan mengimla’kan hadis dari
hafalan.
Selain itu, al-A‘zamī juga menjelaskan bahwa pada saat itu (abad I
hingga awal abad II H.), ada beberapa orang ahli hadis yang menulis hadis,
namun setelah mereka hafal, maka hadis-hadis itu kemudian dihapusnya,
seperti yang dilakukan Masrūq ibn al-Ajda‘(w. 62/63 H.), Muḥammad ibn
Sīrīn (23-110 H.), Khālid al-Ḥażżā’ (80-141 H.), , dan Hisyām ibn Ḥassān
(w. 148 H.). Sebaliknya, ada pula yang menghafal hadis lebih dahulu, lalu
menulisnya, seperti al-A‘masy (61-147 H.), Khālid ibn Yazīd al-Jumaḥī
(80-139 H.), Sufyān aṡ-ṡaurī (97-161 H.), Ḥammād ibn Salamah (w. 167
H.), ‘Abdulwāriṡ al-‘Anbarī (w. 180 H.), ‘Abdullah ibn Idrīs (w. 192 H.), dan
Sulaimān ibn Ḥarb (144-224 H.). Adapun alat tulis yang sering digunakan
para ulama mencatat hadis-hadis terutama pada abad II H. adalah kepingan-
kepingan papan yang tipis dan dedaunan, lalu mereka menyalinnya kembali
pada kertas.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peran tulis-menulis dalam
penyebaran hadis Nabi SAW. pada abad I dan II H. sangat nyata, baik yang
berupa dikte menulis hadis (imlā’), tanya jawab, dan penyalinan naskah.
Penyebaran hadis tidak sekedar melalui pengajaran dari lisan ke lisan
sebagaimana yang diasumsikan sebagian orang.
Adapun istilah ḥaddaṡana, akhbaranā, dan ‘an yang umumnya
diyakini digunakan untuk penyampaian lisan ditepis oleh al-A‘ẓami dengan
memaparkan 20 bukti yang terdapat dalam kitab-kitab hadis bahwa istilah
tersebut digunakan untuk hal-hal berikut: (1) Guru mendiktekan atau
membacakan kitab hadis kepada muridnya. (2) Guru mengajarkan hadis
secara lisan, sedangkan murid mencatatnya. (3) Guru mengajarkan hadis
secara lisan, dan murid menerimanya secara lisan pula (tidak mencatat).
(4) Guru mendiktekan ingatan (hafalan) hadisnya. (5) Murid membaca kitab
hadis di hadapan gurunya. (6) Murid membacakan atau menuturkan kembali
ingatan (hafalan) hadisnya di hadapan gurunya.
Dengan demikian, maka sebenarnya tulisan ahli-ahli hadis itu
banyak sekali. Hanya saja istilah-istilah yang mereka pergunakan justru
membuat nama kitab-kitab mereka kurang dikenal. Misalnya, istilah samā‘
(mendengar) dipakai juga untuk penulisan hadis, sebab sekadar menulis
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
187

hadis saja tanpa mendengarnya, maka dianggap oleh ahli-ahli hadis tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, mereka sering memakai
istilah samā‘ (mendengar hadis) atau taḥdīṡ (mengajarkan hadis) tanpa
menuturkan adanya penulisan.

b. Klaim keistimewaan daya ingat orang Arab


Di antara ulama yang menganut persepsi ini adalah Ibn Ḥajar al-
‘Asqalānī yang menyebutkan bahwa hadis Nabi SAW. belum dibukukan pada
masa sahabat dan tābi‘īn tua. Pendapat Ibn Ḥajar ini didasarkan pada tiga
faktor: Pertama, kebanyakan mereka tidak dapat menulis. Kedua, kekuatan
hafalan dan kecerdasan yang dapat diandalkan. Ketiga, semula adanya
larangan dari Nabi SAW. untuk menulis hadis.
Al-A‘ẓamī� menyanggah pendapat Ibn Ḥajar di atas dengan memaparkan
bukti-bukti bahwa penguasaan terhadap tulis menulis telah dimulai sejak
masa sahabat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Al-A‘ẓamī� kembali
menegaskan bahwa jumlah para penulis dari kalangan sahabat dan tābi‘ī�n
tua tidak seminim yang digambarkan oleh para penulis umumnya, lalu ia
berkomentar:
‫وإن أنكرنا معرفتهم بالكتابة فكيف نحكم بكتابة القرآن نفسه؟ أما كان الصحابة يكتبون‬
‫ وال تكتبوا عني شيئا سوى القرآن؟ إذا كان الناس ال يقدرون‬:‫القرآن أوال بأول؟ ثم ما معنى‬
‫على الكتابة فال داعي للمنع البتة؟‬
Apabila kita menolak fakta (bahwa mereka memiliki kemampuan tulis
menulis) ini, maka bagaimana al-Qur’an itu dapat ditulis? Apakah para
sahabat tidak menulis al-Qur’an satu persatu? Lalu apa pula maksud
hadis “Jangan kalian tulis yang kuucapkan selain al-Qur’an? Sebab
seandainya para sahabat tidak dapat menulis tentu tidak perlu lagi ada
larangan tersebut. Banyaknya jumlah sekretaris-sekretaris Nabi dan
adanya sistem administrasi dalam negara besar pada masa al-khulafā’
ar-rāsyidīn tak pelak menuntut adanya penulis-penulis yang cakap
dalam ilmu hitung dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dipastikan
bahwa pada masa itu para sahabat banyak yang pandai menulis dan
membaca (al-A‘ẓamī, 1992: 73).

Meskipun al-A‘ẓamī mengakui bahwa mayoritas umat Islam saat itu


tidak mengetahui tulis menulis, namun ini bukan berarti bahwa jumlah orang
yang mengetahuinya hanya sedikit, melainkan tetap banyak dan jumlah ini
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan terhadap tulis menulis tersebut.
188 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Kekuatan hafalan yang dimiliki orang-orang Arab saat itu tetap tidak
menutup kemungkinan adanya orang-orang lain yang lemah hafalannya.
Fakta ini—menurut al-A‘ẓamī (1992: 74)—tidak dapat dijadikan alasan
bahwa mereka tidak perlu menulis hadis, sebab ternyata meskipun hafal
mereka juga masih menulis syair-syair dan lainnya.

c. Hadis tentang larangan menulis hadis Nabi SAW.


Hadis yang berisi larangan menuliskan hadis Nabi SAW. antara lain:
ُ ‫آن َف ْل َيم‬
‫ْح ُه‬ ُ ْ َ ‫َل َت ْكتُبُوا َعنِّي َو َم ْن َك َت َب َعنِّي َغي‬
ِ ‫ْر الق ْر‬
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī (w. 74 H.), Abū
Hurairah (19 SH-59 H.), dan Zaid ibn ṡābit (w. 45 H.). Hadis yang diriwayatkan
Abū Sa‘īd al-Khudrī memiliki dua versi berbeda. Pertama, dari Haddāb ibn
Khālid (w. 230 H.), dari Hammām ibn Yaḥyā (w. 164 H.), dari Zaid ibn Aslam
(w. 136), dari ‘Aṭa’ ibn Yasār (w. 94 H.), dari Abū Sa‘īd al-Khudrī (w. 74 H.).
Kedua, dari ‘Abdurraḥmān ibn Zaid ibn Aslam (w. 182 H.), dari ayahnya, dari
‘Aṭa’ ibn Yasār, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī.
Riwayat kedua yang disampaikan oleh ‘Abdurraḥmān ibn Zaid
disepakati para kritikus sebagai periwayat yang lemah sekali (ḍa‘īf jiddan),
sehingga hadis Abū Sa‘īd al-Khudrī yang disampaikan ‘Abdurraḥmān ibn
Zaid adalah lemah dan tidak dapat diterima. ‘Abdurraḥmān ibn Zaid juga
terdapat dalam hadis Abū Hurairah. Oleh karena itu, hadis Abū Hurairah
ini pun lemah dan tidak dapat diterima. Sedangkan hadis dari jalur Zaid ibn
ṡābit berstatus mursal, karena diriwayatkan al-Muṭallib ibn ‘Abdillāh yang
tidak memperoleh hadis tersebut secara langsung dari Zaid. Ini berarti ada
satu mata rantai yang hilang, yang kejujurannya tidak diketahui, sehingga
hadis ini juga tidak dapat diterima. Selanjutnya, al-A‘ẓamī menegaskan
bahwa hanya ada satu hadis ṣaḥīḥ tentang larangan penulisan hadis, yakni
hadis yang diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī.
Hadis ini menurut al-A‘ẓamī (1992: 77), dipahami secara berbeda oleh
para ulama, apakah hadis Abū Sa‘īd al-Khudrī ini marfū‘ (disabdakan Nabi
SAW.) atau mauqūf (ucapan Abū Sa‘īd sendiri). Al-A‘ẓamī sendiri cenderung
pada pendapat kedua. Ia mendasarkan pendapatnya kepada Imam al-Bukhārī
yang menyatakan bahwa sejatinya statemen yang berisi larangan menulis
hadis berasal dari Abū Sa‘īd sendiri, yang dinisbahkan secara salah kepada
Nabi SAW. Adapun maksud sebenarnya adalah tidak ada yang boleh ditulis
bersama al-Qur’an pada lembar yang sama, karena ini dapat mengakibatkan
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
189

seseorang memiliki kesimpulan yang keliru bahwa kalimat atau kata-kata


yang ditulis di pinggir atau di antara baris itu adalah al-Qur’an.
Selain itu, larangan ini disampaikan pada saat al-Qur’an tengah
diturunkan dan teksnya juga belum lengkap. Pendapat ini diperkuat dengan
2 (dua) argumen: Pertama, Nabi SAW. sendiri pernah mendiktekan hadisnya
dan mengirim ratusan surat yang di dalamnya mengandung tuntunan
sejumlah bentuk dan upacara peribadatan. Menurut al-Qur’an, perilaku dan
perbuatan Nabi SAW. harus diikuti oleh umat. Al-Qur’an sendiri menyuruh
mencatat transaksi yang berkaitan dengan keuangan (finansial). Ini
mengesankan tidak ada larangan untuk mencatat hadis. Kedua, adanya ijin
Nabi SAW. untuk menulis hadis.
Bukti kuat lainnya yang menunjukkan bahwa Nabi SAW. menyetujui
pencatatan hadis adalah bahwa banyak sahabat yang mencatat hadis,
disamping ada juga yang meriwayatkan hadis tetapi melarang mencatatnya.
Larangan Nabi SAW. terkait dengan penulisan hadis pada masa awal Islam
dipahami sebagai suatu tindakan antisipatif dari Nabi SAW., namun hal ini
bukan berarti pada masa tersebut tidak ada catatan-catatan hadis sama
sekali. Ketidaksetujuan Nabi SAW. atas penulisan hadis dimungkinkan
karena beberapa faktor: Pertama, Penulisan al-Qur’an dan hadis dilakukan
pada lembar yang sama, sehingga dapat menyebabkan kesalah pahaman.
Kedua, Nabi SAW. mengkhawatirkan terjadinya kesalahan jika pencatatan
hadis itu diperbolehkan secara umum. Oleh karena itu, Nabi SAW. hanya
memberikan ijin pencatatan itu kepada sahabat tertentu. Ketiga, larangan
penulisan hadis di masa awal dimaksudkan agar para sahabat lebih
memfokuskan perhatiannya pada al-Qur’an.
Pendapat al-A‘ẓamī ini sejalan dengan as-Sibā‘ī (1915-1964) yang
berpendapat bahwa pelarangan hanya terkait dengan penulisan hadis secara
resmi seperti halnya al-Qur’an, sedangkan ijin diberikan apabila penulisan
hadis dilakukan secara pribadi dan untuk digunakannya sendiri. Dengan
adanya pelarangan Nabi SAW. tersebut menunjukkan bahwa pasti telah ada
penulisan hadis sebelum itu.
Selain itu, al-A‘ẓamī juga melakukan penelitian terhadap para
sahabat dan tabi‘in yang meriwayatkan hadis yang melarang penulisan
hadis. Adapun hasilnya adalah semua orang yang meriwayatkan hadis
yang melarang penulisan hadis, mereka juga meriwayatkan hadis yang
menganjurkan penulisan hadis, kecuali satu atau dua orang saja. Bahkan,
mereka sendiri menulis hadis, atau hadis-hadis mereka ditulis oleh orang
190 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

lain. Al-A‘ẓamī—dalam bukunya, Studies in Early Hadith Literature (1978:


34-60)—menyajikan 50 (lima puluh) nama-nama sahabat yang memiliki
tulisan hadis dan tulisan lain yang berasal dari mereka, sedangkan dalam
bukunya, Dirāsāt fi al-Ḥadīṡ an-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih, al-A‘ẓamī
(1992: 92-142) menyajikan 52 nama, dengan adanya 2 (dua) tambahan
nama, yaitu: As-Sā’ib ibn Yazīd (w. 91 H.) dan Umm al-Mu’minīn Maimūnah
bint al-Ḥāriṡ al-Hilāliyyah (w. 51 H.).
Nama-nama sahabat yang memiliki tulisan hadis dari Nabi SAW.,
sekaligus pernah diangkat menjadi sekretaris Nabi SAW. antara lain: (1) Abū
Ayyūb al-Anṣarī (w. 52 H.). (2) Abū Bakr aṣ-ṣiddīq (50 SH-13 H.). (3) Ubay
ibn Ka‘b (w. 22 H.). (4) Usaid ibn Ḥuḍair (w. 20 H.). (5) Zaid ibn Arqam (w.
66 H.). (6) Zaid ibn ṡābit (w. 45 H.). (7) Sa‘ad ibn ‘Ubādah al-Anṣārī (w. 15
H.). (8) ‘Abdullāh ibn ‘Amr ibn al-‘Āṣ (27 SH-63 H.). (9) ‘Alī ibn Abī Ṭālib
(23 Sh-40 H.). (10) ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb (40 SH-23 H.). (11) Muḥammad ibn
Maslamah (w. 40 H.). (12) Mu‘āż ibn Jabal (w. 18 H.). (13) Mu‘awiyah ibn
Abū Sufyān (w. 60 H.). (14) al-Mugīrah ibn Syu‘bah (w. 50 H.).

d. Antara penulisan dan pentadwinan hadis masa az-Zuhrī


Pemahaman yang keliru tentang penulisan hadis ini tidak jarang
disandarkan kepada pendapat para ulama terdahulu bahwa az-Zuhrīlah
yang pertama kali memulai penulisan hadis, tepatnya ketika ia merespon
instruksi Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul‘azīz (61-101 H.). Al-A‘ẓamī memaparkan
bahwa statemen Imām Mālik (93-179 H.): awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn
Syihāb az-Zuhrī yang sering dirujuk para muḥaddiṡīn terkait dengan aktifitas
penulisan hadis sebenarnya menunjukkan arti ‘mengumpulkan tulisan-
tulisan’ bukan ‘menulis’ sebagaimana yang selama ini dipahami.
Al-A‘ẓamī mengungkapkan bahwa munculnya pemahaman ini
dikarenakan terjadinya misinterpretasi terhadap kata kitābah, tadwīn,
dan taṣnīf. Dengan demikian, statemen Mālik di atas bukan berarti
menuliskan hadis untuk pertama kali, melainkan berarti pengumpulan
tulisan atau pembukuan untuk pertama kalinya secara resmi berdasarkan
instruksi kepala negara, bukan penulisan yang dilakukan secara individual
sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi SAW. Usaha tadwīn al-ḥadīṡ dalam
pengertian ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul‘azīz.
Jika dianalisis, pendapat al-A‘ẓamī yang tidak setuju bahwa az-Zuhrī
sebagai orang yang pertama kali menulis hadis adalah sejalan dengan
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
191

pendapat islamisis seperti Guillaume dalam The Tradition of Islam (1948:


19) yang meragukan kebenaran pendapat tersebut, dan as-Sibā‘ī (2001-
73), juga al-Khaṭīb (1995: 218-220) yang mengungkapkan bahwa tadwīn
al-ḥadīṡ secara individual tidak dimulai masa az-Zuhrī. Bahkan, al-A‘ẓamī
memaparkan bahwa sebelum az-Zuhrī (51 H.-123 H.) telah ada banyak
tābi‘īn abad I H. yang menulis atau memiliki catatan hadis, seperti: Abān ibn
‘Uṡmān ibn ‘Affān (20 H.-105 H.), Ibrāhīm ibn Yazīd an-Nakha‘ī (47 H.-96 H.),
Abū Salamah ibn ‘Abdurraḥmān (32-104 H.), dan Abū Qilābah ‘Abdullah ibn
Zaid al-Baṣrī (w. 104 H.).
Adapun dari generasi tābi‘īn muda (ṣigār at-tābi‘īn) selain Muḥammad
ibn Muslim ibn Syihāb az-Zuhrī (51-123 H.) sendiri, terdapat beberapa
orang yang memiliki catatan-catatan hadis di antaranya: Ibrāhīm ibn Jarīr
al-Bajalī (w. 120 H.), Ibrāhīm ibn ‘Abdula‘lā al-Ju‘fī (w. 125 H.), Abū Bakr ibn
Muḥammad ibn ‘Amr ibn Ḥazm al-Anṣārī (w. 117 H.), dan Isḥāq ibn ‘Abdullah
ibn Abū Farwah (w. 144 H.).
Al-A‘ẓamī (1992: 334-335) juga mengungkapkan bahwa sejak
seperempat ketiga dari abad pertama, para ulama hadis telah menggunakan
metode aṭrāf, yaitu menulis pangkal suatu hadis sebagai petunjuk kepada
materi hadis seluruhnya. Di antara ulama yang menggunakan metode ini
yaitu Ismā‘īl ibn ‘Ayyāsy (102-181 H.), Ḥammād ibn Abū Sulaimān (w. 120
H.), Sufyān aṡ-ṡaurī (97-161 H.), ‘Ubaidullāh ibn ‘Umar (w. 145 H.), Mālik ibn
Anas (93-179 H.), Wakī‘ (w. 196/197 H.), dan Yazīd ibn Zurai‘ (101-182 H.).
Jika para ulama terdahulu tidak menuliskan suatu bab atau pasal
tertentu yang membahas nama-nama orang yang menulis hadis, maka tidak
demikian halnya dengan al-A‘ẓamī yang menghabiskan hampir sebagian dari
bukunya, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ an-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnihi dan Studies in
Early Ḥadīth Literature untuk membahas penulisan hadis serta nama orang-
orang yang menulis atau memiliki catatan hadis sejak masa Nabi SAW. sampai
kira-kira pertengahan abad II H. Ini dapat dimaklumi mengingat al-A‘ẓamī
bersinggungan langsung dengan pemikiran para islamisis yang meragukan
penulisan hadis. Sementara pembahasan ini belum menjadi masalah serius
pada masa ulama terdahulu sehingga mereka tidak menganggap penting
untuk membahasnya, karena yang terpenting bagi mereka adalah bahwa
pengajaran hadis itu berjalan sesuai dengan cara-cara yang lazim. Oleh
karena itu, catatan-catatan tentang penulisan hadis tidak terdapat dalam
satu pembahasan khusus. Terkadang keterangan tentang penulisan itu hanya
dituturkan secara sepintas saja, atau terkadang dituturkan ketika penulisnya
192 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

ingin membandingkan antara orang yang mengajarkan hadis berdasarkan


ingatannya dengan orang-orang yang mengajarkan hadis berdasarkan kitab.
Apabila dalam suatu kitab tulisan seorang ahli hadis terdapat suatu
kelemahan, maka lazimnya para ulama menyebutkan nama kitab itu sekaligus
menuturkan segi kelemahannya. Misalnya, Ibn Ḥibbān yang mengkritik
ṣadaqah ibn ‘Abdullah as-Samīn yang meriwayatkan naskah hadis yang palsu
dari Ibn al-Munkadir, dari Jābir. Demikian pula dengan ‘Abdul‘azīz ibn Abi
Rawwād yang meriwayatkan hadis palsu dari Nāfi‘, dari Ibn ‘Umar.
Data-data yang ditunjukkan al-A‘ẓamī dalam buku-bukunya tersebut
membuktikan bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad
SAW. masih hidup, dan aktifitas tersebut terus berlangsung sampai abad-
abad sesudahnya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti meniadakan adanya
penyebaran hadis secara lisan, atau meniadakan adanya pembuktian hadis
berdasarkan kekuatan hafalan. Al-A‘ẓamī tampaknya ingin menekankan
bahwa penulisan hadis pada saat itu tidak sedikit seperti asumsi sebagian
orang, demikian pula kekuatan menghafal tidak merupakan andalan mutlak
seperti pendapat kebanyakan orang.

E. SIMPULAN
Paparan di atas menunjukkan bahwa aktifitas penulisan hadis—
menurut al-A‘ẓamī--telah dilakukan sejak masa Nabi SAW. dan aktifitas tulis
menulis telah menjadi tradisi sejak masa jahiliyah. Ini dibuktikan dengan:
(a) Ditulisnya syair-syair milik para tokoh mereka, mencatat cerita perang,
dan kata-kata mutiara dari para pujangga. (b) Adanya tempat-tempat yang
dijadikan ‘majlis pendidikan’ di Jazirah Arab, seperti Makkah, ṭaif, Madinah,
Anbār, Ḥīrah, dan Daumat al-Jandal. (c) Adanya sekretaris-sekretaris Nabi
SAW. yang berjumlah sekitar 65 sahabat dan 52 sahabat yang secara khusus
memiliki catatan-catatan hadis. (d) Seperempat abad setelah Nabi SAW.
wafat, di Madinah sudah ada gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah
‘Uṡmān ibn ‘Affān. (e) Adanya perpustakaan-perpustakaan di negeri-negeri
Islam pada dekade keenam abad I H.
Wallahu A‘lam
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
193

DAFTAR PUSTAKA

Ya‘qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).


Al-A‘ẓamī, Muḥammad Muṣṭafā, Studies in Hadith Methodology and Literature,
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977).
------, Studies in Early Hadith Literature, (Indianapolis: American Trust
Publications, 1978).
------, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ an-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih, (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1992).
------, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: The Oxford
Centre for Islamic Studies, 1996).
Al-Asqalanī, Ibn Ḥajar, Fath al-Bārī, (Cairo: Dar ar-Rayyān, 1997)..
As-Sibā‘ī, Muṣṭafā, As-Sunnah wa Makānatuhā fi at-Tasyrī‘ al-Islāmī, (Cairo:
Dar as-Salam, 2001).
194 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
195

INTERPRETASI KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED


Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur
Rahman

Oleh: Lien Iffah Naf’atu Fina


(Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakartahidayat)

Abstract

Abdullah Saeed is one of contemporary Islamic thinkers to


propose reinterpretation of the Qur’an. He fights against textual
interpretation and invite to reinterpret the Qur’an contextually.
This article elaborates his tafsir ideas which is the continuation
and completion of that of Fazlur Rahman. The biggest
contribution of Saeed’s idea is through his more detailed steps
in interpreting the Qur’an and his theory of hierarchy of values.

Keywords: contextual interpretation, these verses ethical-legal,


socio-historical

A. Pendahuluan
Fazlur Rahman (1919-1988) merupakan salah satu tokoh garda depan
dalam penafsiran al-Qur’an modern. Dia adalah salah seorang yang pertama
kali mengkampanyekan gagasan untuk memperhatikan konteks historis al-
Qur’an maupun kekinian dan kedisian ketika menafsirkan al-Qur’an lewat
teori double movement-nya. Pemikiran Rahman ini mempengaruhi banyak
pemikir setelahnya seperti Nurcholis Madjid dan Amina Wadud.1 Namun

1
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal
Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 39.
196 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

demikian, melihat gagasan-gagasan tafsirnya yang berserak dalam berbagai


karyanya, gagasan Rahman ini tampak sekali tidak dimaksudkan sebagai
sebuah aturan rigid penafsiran, tapi ‘hanya’ sebagai penuntun bagi penafsir.2
Di titik inilah, Abdullah Saeed3 hadir sebagai seorang pendukung
sekaligus menerjemahkan dan menyempurnakan gagasan Rahman,4
yakni menjabarkan teori gerakan ganda ke dalam langkah-langkah rigid
penafsiran dan mengulas lebih dalam nilai dalam al-Qur’an. Kegelisahan
Saeed sendiri adalah maraknya tafsir tekstual-literal.5 Sebagai tandingan
2
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 61.
3
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas
Melbourne, Australia. Dia adalah keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di
pulau Maldives. Pendidikannya ditemput di Arab Saudi kemudian hijrah ke Australia hingga
mengabdi di Universitas tempat dia belajar. Karya Saeed dalam bentuk buku yang terkait
dengan studi al-Qur’an, (1) The Qur’an: An Introduction diterbitkan London dan New York
oleh Routledge tahun 2008, (2) Islamic Thought: An Introduction diterbitkan di London dan
New York oleh Routledge tahun 2006, (3) Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006, (4) Contemporary
Approaches to Qur’an in Indonesia sebagai editor diterbitkan tahun 2005 di Oxford oleh
Oxford University Press. Dia juga memiliki banyak artikel terkait al-Qur’an yang tersebar
dalam beberapa antologi buku, ensiklopedi dan jurnal. Lihat dalam Lien Iffah Naf’atu Fina,
“Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed”,
Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm.
4
Pengakuan ini bisa dilihat misalnya dalam Abdullah Saeed, “Progressive
Interpretation and the Importance of the Socio-historical Context of the Qur’an” dalam
Islam, Women and the New World Order (Yogyakarta: Center fon Women’s Studies (PSW),
2006), hlm. 181-180. Saeed, misalnya, juga pernah menulis artikel tentang Rahman. Lihat
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 37-66. Selain pernyataan eksplisitnya, jejak-jejak
keterpengaruhan Rahman kepada Saeed juga bisa dilihat dari pemikirannya tentang wahyu
dan teori interpretasinya.
5
Saeed mengkategorikan penafsiran berdasar pada tingkat apakah seorang penafsir
(1) hanya bergantung kepada penelusuran linguistik untuk menentukan makna teks, ataukah
(2) di samping itu mempertimbangkan baik konteks sosio-historis al-Qur’an maupun konteks
kontemporer ke dalam tiga golongan. Pertama, tekstualis. Kelompok ini mengajukan untuk
mengikuti teks dengan cara yang sangat kaku. Pendekatan yang mereka gunakan dalam
menafsirkan teks adalah pendekatan literalistik. Bagi mereka, al-Qur’an lah yang seharusnya
menuntun, bukan sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan dunia modern yang menuntut kepada
al-Qur’an. Selanjutnya, mereka meyakini makna teks al-Qur’an telah mapan dan bersifat
universal dalam aplikasinya, dalam pengertian yang sangat literal. Implikasinya, mereka
mengabaikan adanya hubungan antara al-Qur’an dengan konteks pada masa pewahyuannya.
Tradisionalis dan Salafis didaulat Saeed sebagai mereka yang mewakili kelompok ini.
Kedua, semi-tekstualis. Pada prinsipnya, kelompok ini mengikuti kelompok tekstualis dalam
penekanan aspek linguistik dan penafian konteks. Bedanya, mereka membungkus kandungan
al-Qur’an dalam langgam yang kelihatan modern, bahkan sering terkesan apologetis.
Dalam pandangan Saeed, biasanya mereka terlibat dalam gerakan neo-revivalis modern,
seperti Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jama’ah Islamiyyah di anak benua India, termasuk
segolongan kaum modernis termasuk Abduh. Ketiga, kontekstualis. Dalam menafsirkan ayat-
ayat yang bermuatan ethico-legal, kelompok ini menekankan konteks sosio-historis, politis,
budaya dan ekonomi, baik pada masa pewahyuan, penafsiran maupun pengamalannya.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
197

dari kecenderungan itu, dia menawarkan tafsir kontekstual yang mengambil


banyak inspirasi dari Rahman. Sedangkan, fokus penafsiran Saeed adalah
kepada ayat-ayat etika hukum.6

B. Pijakan Awal: Pemikiran Abdullah Saeed tentang Wahyu


Sebelum membangun prinsip-prinsip tafsirnya, Saeed terlebih
dahulu menetapkan sebuah kuda-kuda yang akan menopang gagasan
tafsir kontekstualnya. Mula-mula dia mengemukakan pandangannya
tentang wahyu. Konsep wahyu Saeed sangat kental terpengaruh oleh
konsep Rahman, terutama pada penekanan aspek psikologis dan historis
dari wahyu. Saeed sepenuhnya mengakui bahwa al-Qur’an adalah wahyu
Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad. Selanjutnya, mengakui bahwa
al-Qur’an yang ada sekarang ini sebagai otentik.7 Namun demikian, Saeed
melakukan kritik terhadap ilmuwan Muslim klasik menganggap wahyu
sebagai kalam Tuhan, tanpa memberikan perhatian apalagi anggapan bahwa
Nabi, masyarakat pada waktu itu memiliki peran di dalamnya. Sebaliknya,
Saeed sepakat dengan beberapa pemikir belakangan semisal Fazlur Rahman,
Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack dan Ebrahim Moosa yang memasukkan
religious personality Nabi dan komunitasnya dalam peristiwa pewahyuan.8
Konsep ini bukan berarti hendak mengatakan bahwa wahyu
merupakan kata-kata atau karya Muhammad. Namun, sebagaimana
Mereka menganjurkan pentingnya menentukan mana aspek yang kekal (immutable) dan yang
berubah (immutable) dalam wilayah ayat-ayat ethico-legal. Mereka yang termasuk dalam
kelompok ini adalah para pemikir tafsir kontemporer, utamanya yang banyak memanfaatkan
hermeneutika dalam metode tafsirnya. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 3.
6
Pilihan Saeed terhadap jenis ayat ini karena dia melihat adanya kecenderungan
yang sudah menjelaga di mana Muslim melihat al-Qur’an sebagai kitab hukum, padahal hanya
sedikit ayat yang eksplisit berbicara tentang aspek itu. Pandangan ini semakin berlebihan
ketika ayat yang secara jelas mengandung dimensi moral etis dipandang sebagai ayat hokum,
yang tak ayal berakibat pada hilangnya spirit al-Qur’an, tenggelam di balik penafsiran-
penafsiran berorientasi hokum. Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction (London and
New York: Routledge, 2008), hlm. 13. Sedangkan, yang tercakup ke dalam jenis ayat ini
menurutnya adalah ayat-ayat tentang iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah
kematian; aturan-aturan dalam pernikahan, perceraian dan warisan; apa yang diperintahkan
dan dilarang; perintah puasa, jihad dan hudud; larangan mencuri, hubungan dengan non-
Muslim; perintah yang berhubungan dengan etika, hubungan antaragama dan pemerintahan.
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 1.
7
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 5.
8
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 31; Abdullah Saeed, “Some
Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Texts of the Quran”, Bulletin of
School of Oriental and African Studies, 71 (2), 2008, hlm. 228.
198 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

disampaikan Rahman, hendak menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang


erat antara wahyu, Nabi dan misi dakwahnya, dengan konteks sosio-historis
di mana al-Qur’an diwahyukan. Al-Qur’an diturunkan Allah bukan dalam
ruang hampa budaya.9 Al-Qur’an, pada masa pewahyuannya, benar-benar
terlibat aktif dalam sejarah.10 Saeed sendiri tidak menyepakati pandangan
bahwa ada elemen manusia yang ikut dalam penciptaan al-Qur’an. Al-
Qur’an adalah ciptaan Tuhan. Namun, dalam kapasitas agar ia bisa dipahami
manusia, wahyu harus bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang
menjadi subyek penerimanya.11
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-historis
menjadi elemen wahyu yang penting. Saeed kemudian menegaskan,
pemahaman tentang wahyu yang demikian ini menjadi dasar bagi argumen-
argumennya yang dituangkan dalam pemikiran tafsirnya (khususnya yang
ada dalam buku Interpreting the Qur’an), bahwa interpretasi harus berangkat
dari realitas di mana wahyu itu diturunkan.12
Selain pijakan dari wahyu, Saeed juga menjelaskan beberapa tradisi
klasik yang dijadikannya sebagai batu loncatan untuk menunjukkan bahwa
penafsiran al-Qur’an berbasis konteks bukan hanya sesuatu yang perlu akan
tetapi juga ‘dianjurkan’ oleh pengalaman masa lalu. Pertama, fenomena naskh,
yang menunjukkan bahwa perubahan situasi dan kondisi memungkinkan
perubahan basis etika hukum.13 Setelah diamati, menurut saeed, yang
berubah dari ayat-ayat tersebut bukan pesan dasarnya, tetapi bunyi teksnya.
Pesan dasarnya selalu sama. Untuk itulah, menurutnya, pesan-pesan dasar
yang selalu tetap tersebut yang menjadi inti ajaran al-Qur’an.
Kedua, fleksibilitas yang lahir dari sab’ah ahruf. Berdasarkan sebuah
hadis terkenal, al-Qur’an diwahyukan dalam tujuh huruf (sab’ah ahruf).
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian dari
kata itu. Menurut Saeed, pemaknaan yang paling mungkin terhadap term
sab’ah ahruf adalah murujuk kepada tujuh dialek yang ada pada saat al-

9
Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran Muhammad terhadap situasi-situasi
sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas:
tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 17.
10
Kenneth Gragg, The Event of the Qur’an: Islam and the Scripture (London: George
Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm. 17.
11
Abdullah Saeed, “Rethinking “Revelation” as a Precondition for Reinterpreting the
Qur’an: A Qur’anic Perspective”, Journal of Qur’anic Studies, 1 (1), 1999, hlm. 110-111.
12
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 41.
13
Ibid. 85.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
199

Qur’an diwahyukan.14 Artinya, kata tertentu dalam al-Qur’an bisa dibaca


menggunakan kata lain yang merupakan sinonim dari kata itu berdasarkan
dialek-dialek yang ada. Pemahaman ini didasarkan pada hadis-hadis yang
bercerita mengenai perbedaan cara baca pada masa Nabi.15 Hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa Nabi mengakui adanya perbedaan dalam cara
baca dan masing-masing bacaan tersebut benar dan sesuai pewahyuan. Inti
yang Saeed maksudkan adalah bahwa Nabi telah memungkinkan fleksibilitas
demi menyesuaikan al-Qur’an dengan kebutuhan umat pada masa itu.
Karena itu, fleksibilitas itu bisa juga exist demi mengakomodir kebutuhan
umat pada masa sekarang.16

C. Interpretasi Kontekstual atas Ayat-ayat Etika-Hukum


Selanjutnya, sesuai dengan nama yang dilekatkan kepada model
penafsiran ‘ideal’nya yakni kontekstual, aksentuasi dan orientasi model
interpretasinya adalah perhatian yang serius terhadap konteks, terutama
konteks pada masa pewahyuan dan konteks ketika al-Qur’an ditafsirkan.17
Penafsirannya ini bergerak dalam upaya untuk menemukan mana makna
yang universal dan mana yang partikular. Kesemuanya itu dia bangun dalam
“hirarki nilai”nya, gagasan yang, jika penulis boleh mengatakan, merupakan
sumbangan Saeed di tengah belantara kaum kontekstualis lain.
1. Prinsip-prinsip Epistemologis Interpretasi Kontekstual
a. Pengakuan atas Kompleksitas Makna
Di sini, Saeed menolak gagasan kaum Tekstualis yang menunjukkan
bahwa makna sebuah kata terhampar dalam obyek yang dituju.18 Padahal
model perujukan makna demikian hanya relevan pada kata-kata tertentu
dan sangat terbatas, semisal nama dan obyek fisik.19
Ada beberapa prinsip yang ditegaskan Saeed dalam cakupan makna
ini:
14
Mengutip al-Qattan, tujuh dialek itu adalah Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah,
Tamim dan al-Yaman. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 70.
15
Untuk contoh hadisnya lihat selengkapnya dalam Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an…, hlm. 71-72.
16
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 76.
17
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud konteks
menurut Abdullah Saeed. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 105.
18
Keterangan lebih lanjut lihat Anthony C. Thiselton, “Meaning”, dalam R.J. Houlden
(ed.), Dictionary of Biblical Interpretation (London: SCM Press, 1990), hlm. 435-438.
19
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 102.
200 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Pertama, pengakuan akan ketidakpastian dan kompleksitas makna.


Sebagaimana dinyatakan di depan, kaum tekstualis meyakini adanya
rujukan makna yang rigid. Gagasan ini menemui masalah ketika dihadapkan
pada fakta bahwa kenyataannya (1) makna sebuah kata tidak selalu mudah
dicari rujukannya20 (2) makna bukanlah obyek konkret, sebaliknya makna
merupakan entitas mental21 (3) makna berubah mengikuti perkembangan
linguistik dan budaya komunitas.22
Fakta-fakta di atas mengindikasikan bahwa pandangan kaum Tekstualis
bahwa seseorang dapat memproduksi makna yang secara eksternal bisa
diverifikasi dan diobservasi perlu dipertanyakan. Kenyataannya, banyak kata
yang memiliki makna yang sangat sulit ditentukan, dan karena itu sulit untuk
mencakup keseluruhan maknanya. Kondisi ini mewariskan subyekstivitas
bagi pembaca dalam penentuan makna.
Konsep makna yang ditawarkan oleh kaum Kontekstualis senada
dengan gagasan tentang makna “tidak langsung” (indirect meaning).23
Makna “langsung” (“direct” meaning) sudah bisa dipahami pada level kata,
yakni apa yang tampak dan dapat dicapai melalui pengertian, seperti buku,
pena, dan al-Qur’an. Indirect meaning berada terutama pada level wacana
dan sulit untuk dipahami, akan tetapi ia sangat berguna dalam proses
pemahaman. Direct meaning berasal dari kata, sedangkan indirect meaning
sebagian besar berasal dari konteks.24 Kedua makna ini pada dasarnya
20
Ibid. 104.
21
Ibid. 104. Sebuah entitas mental ketika disampaikan kepada orang lain melalui
medium bahasa akan ditangkap hanya ketika beberapa penyesuaian telah terjadi dalam
psikologi dan kemampuan mental penerima. Selain itu, latar kondisi ucapan menjadikan
kata-kata memiliki rujukan tertentu (terbatas pada latar kondisi). Pengalaman makna adalah
sebuah impresi atau imajinasi.
22
Saeed memberikan contoh kata buku. Pada kenyatannya, makna inti yang dilekatkan
pada buku berkembang dan berbeda-beda seiring waktu. Buku dahulu dimaknai sebagai
tulisan yang ada pada daun, tulang, kayu dan seterusnya. Masa berikutnya, buku adalah tulisan
di atas kertas. Selanjutnya sete;ah ada mesin cetak, buku dikenal sebagai tulisan yang dicetak.
Dan terbaru, setelah perkembangan teknologi, buku bisa berbentuk CD. Lihat Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 105.
23
Untuk keterangan lebih lanjut tentang gagasan ini lihat Tzvetan Todorov, Symbolism
and Interpretation (Ithaca: Cornell University Press, 1982).
24
Konteks merupakan perbincangan yang sangat signifikan dalam indirect meaning.
Konteks ada dua, yakni konteks luas dan konteks sempit. Dalam kasus al-Qur’an, konteks
luas mencakup (1) keseluruhan isi atau kandungan al-Qur’an, (2) kehidupan Nabi dan
komunitas muslim awal, yang keduanya mencakup pandangan dunia al-Qur’an, nilai-nilai
yang ditekankan dan diperjuangkan dan petunjuk yang ditetapkan. Sedangkan, konteks
sempit adalah konteks yang berkaitan dengan kalimat atau kata yang mengirimkan gagasan.
Perhatian terhadap konteks ini mensyaratkan penafsir untuk memperhatikan ayat yang turun
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
201

sangat berkaitan. Dalam konteks kitab suci (al-Qur’an), meskipun kata-


kata telah tereduksi dalam tulisan, konteks masih bisa ditelusuri lewat cara
dan nada pengucapan, irama dan kekuatannya, termasuk situasi ketika
ujaran diucapkan, status relatif dan hubungan interlocutor, dan efek yang
dimaksudkan dalam wacana.25
Bagi kaum kontekstualis, konsep makna tidak langsung ini
mempersulit gagasan tentang makna yang sederhana dan obyektif yang bisa
dicapai dari al-Qur’an sebagaimana gagasan kaum tekstualis. Prinsipnya,
apapun interpretasi yang dilekatkan kepada teks, interpretasi tersebut tidak
mungkin secara utuh mencakup teks. ‘Tidak ada teks apapun, meskipun ia
sederhana atau familiar, yang bisa dirumuskan tanpa sisa: selalu akan ada
tambahan signifikansi yang terlewat atau tereduksi’.26
Kedua, mempertimbangkan ayat-ayat etika-hukum sebagai diskursus
–bahasa yang lahir dalam konteks tertentu. Menurut Saeed, kaum tekstualis
telah memperlakukan al-Qur’an hanya sebagai bahasa, tidak sebagai
diskursus. Beberapa bukti bisa dilihat dari model penafsiran yang dilakukan
mufasir klasik. Penafsiran klasik sangat berfokus pada pemaknaan kata-
perkata dan gramatikal. Memang, geliat ke arah sana sudah tampak dalam
penyuguhan asbab al-nuzul, tapi masih belum mengena.27
Gagasan yang serupa sebenarnya sudah disampaikan oleh Abu Zayd
dan Farid Esack. Abu Zayd membedakan antara al-Qur’an sebagai korpus
tertutup (muṣḥaf) dan al-Qur’an sebagai sebuah fenomena hidup atau
diskursus. Dengan bahasa lain, Farid Esack juga menyayangkan kondisi
umum umat Islam yang lebih memandang al-Qur’an sebagai semata kitab suci
dibanding sebagai sebuah resitasi ataupun diskursus. Padahal, menurutnya,
al-Qur’an turun dalam suasana diskursif selama kurang lebih 23 tahun,
di mana kondisi ini menunjukkan dengan jelas adanya keterkaitan antara
al-Qur’an dengan latar situasi pada saat itu.28 Karena itulah, sebagaimana
disampaikan Saeed, perlu ada pembacan yang seimbang antara al-Qur’an
sebagai bahasa (teks) dan al-Qur’an sebagai diskursus.
sebelum atau sesudah ayat yang ditafsirkan. Menurut Saeed, karena al-Qur’an diturunkan
secara bertahap dengan waktu dan kondisi yang berbeda-beda, tidak dalam satu buku
langsung, maka perhatian terhadap konteks menjadi sesuatu yang penting. Jika tidak, maka
hasil pemahaman tidaklah memuaskan. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 104-
105.
25
Ibid. 105.
26
Ibid. 104.
27
Ibid. 107.
28
Lihat Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics…”, hlm. 123-124.
202 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Ketiga, pengakuan akan adanya hal-hal yang membatasi makna teks.


Saeed menegaskan, meskipun dia berpandangan bahkan telah membangun
bangunan argumen akan kemustahilan obyektivitas total dalam penafsiran,
tidak berarti dia mengimani subyektivitas dan relativitas total.29 Menolak
obyektivitas total bukan berarti penafsiran menjadi arena bebas bagi
subyektivitas dan relativitas, dalam artian penafsir bisa mendekati teks
sesuka dan sekehendanya. Menurut Saeed, penafsiran bagaimanapun
memiliki aturan yang melahirkan batasan-batasan dalam menentukan
makna. Hal-hal tersebut adalah (1) Nabi (2) konteks di mana teks lahir (3)
peran penafsir (4) hakikat teks itu sendiri (5) konteks budaya. Makna sebuah
teks adalah buah ketegangan dari aspek-aspek ini.30
Keempat, makna literal sebagai titik berangkat interpretasi. Saeed
sama sekali tidak meninggalkan penelusuran makna literal teks. Tahap ini
memberikan beberapa manfaat, (1) menghindari lompatan makna seperti
yang lazimnya terjadi dalam penafsiran imajinatif. Bentuk lompatan itu bisa
jadi bersifat alegoris atau mistis, bahkan teologis dan religio-politis, dan (2)
membantu membangun doktrin-doktrin dan sistem-sistem teologis di atas
basis yang lebih kuat, melalui penelusuran terhadap makna sebuah kata
dipahami oleh penerima pertama al-Qur’an.31

b. Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis


Konteks, menurut Saeed merupakan elemen yang penting, kalau tidak
paling penting, dalam penafsiran al-Qur’an. Secara internal, konteks menjadi
basis untuk memahami hubungan antara instruksi ayat-ayat etika-hukum
dan alasan-alasan memperkenalkan perintah-perintah tersebut pada
masyarakat Hijaz abad ke-7.32 Namun sayangnya, menurut Saeed, perhatian
akan konteks ini dipinggirkan baik dalam tradisi tafsir maupun hukum,
akibatnya konteks sosio-historis kurang memiliki peran yang signifikan
dalam menafsirkan al-Qur’an, terutama pasca pemapanan hukum Islam
pada abad ke-3 H.
29
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 107-108.
30
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 108-109. Pemikiran Saeed
ini senada dengan pemikiran Gracia, terutama tentang limits of meaning. Menurut Gracia,
ada beberapa faktor yang membatasi makna sebuah teks yakni: pengarang, audien, konteks,
masyarakat, bahasa, teks itu sendiri dan fungsi-fungsi kultural. Lihat Jorge J.E. Gracia, A Theory
of Textuality: the Logic and Epistemology (Albany: State University of New York Press, 1995),
hlm. 114-127.
31
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 114.
32
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 116.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
203

Pada masa klasik, perhatian akan hal ini ditunjukkan dengan


penelusuran asbāb al-nuzūl. Namun demikian, asbāb al-nuzūl tidak
dimanfaatkan dalam kerangka untuk menunjukkan adanya keterkaitan
antara al-Qur’an dan konteks sosio-historis. Dalam tradisi tafsir, asbāb al-
nuzūl hanya digunakan untuk mencari rujukan peristiwa ketika sebuah
ayat diturunkan mencakup waktu, tempat dan orang yang dirujuk oleh ayat
tersebut. Dalam tradisi fikih, di samping untuk tujuan yang sama, asbāb al-
nuzūl juga digunakan untuk menentukan kronologis ayat-ayat yang terkait
dalam satu tema.33 Prinsipnya, pemahaman terhadap asbab al-nuzul belum
sampai kepada wilayah untuk melihat al-Qur’an dalam konteks yang lebih
luas. Selain itu, asbāb al-nuzūl juga memiliki masalah internal terkait dengan
kontradiksi antar riwayat atau hanya sekedar perkiraan sejarah.
Ada dua prinsip dalam kaitannya dengan perhatian terhadap konteks
ini. Pertama, penelusuran konteks sosio-historis. Pengetahuan akan konteks
sosio-historis pra-Islam dan periode Islam sangat penting dalam penafsiran
al-Qur’an. Menurut Saeed, ia meliputi:

…pengetahuan akan kehidupan Nabi secara mendetail baik di Makkah


maupun Madinah; iklim spiritual, sosial, ekonomi, politik, dan hukum;
norma, hukum, kebiasaan, tatakrama, adat kebiasaan (institusi),
dan nilai-nilai yang berlaku di wilayah tersebut, khususnya di Hijaz;
tempat tinggal, pakaian, makanan; relasi sosial, termasuk di dalamnya,
struktur keluarga, hirarki sosial, larangan (pantangan), dan upacara-
upacara.34
…karakteristik fisik, peristiwa-peristiwa, sikap, orang-orang dan
bagaimana mereka menanggapi seruan Tuhan…35

Saeed juga menganjurkan untuk melihat Hijaz dalam konteks yang


lebih luas; konteks budaya yang membentang di wilayah Mediterania, mulai
dari Yahudi, Kristen, Arab Selatan, Etiopia hingga Mesir. Kehidupan sosio-
kultural Hijaz pada waktu itu sangat beragam dengan pengaruh dari wilayah-
wilayah tersebut. Perhatian dan pengetahuan akan hal ini, menurut Saeed,
sangat membantu mencari relasi antara al-Qur’an dan lingkungan tempat ia
diwahyukan.
33
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman…”, hlm. 48.
34
Abdulla`Ah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 117.
35
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 117.
204 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Kedua, bahasa budaya. Satu prinsip yang harus selalu dipegang seorang
mufasir adalah bahwa konteks Hijaz merupakan titik berangkat baik bagi
al-Qur’an maupun Nabi. Nabi, sebagaimana diketahui, pada kenyataannya
tidak membasmi seluruh elemen budaya yang ada di sana. Al-Qur’an telah
meminjam simbol, metafor, istilah dan ekspresi Hijaz untuk menyampaikan
pesan-pesannya.36 Artinya, masing-masing budaya memiliki cara yang unik
untuk menggambarkan sebuah persoalan, gagasan dan nilai, dan jalan ini
tidak selalu bisa diterjemahkan dan dipahami melalui konteks lain.37

c. Perumusan Hirarki Nilai dalam Ayat-ayat Etika-Hukum: yang Tetap


dan yang Berubah
Upaya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan mempertimbangkan
konteks dan memperhitungkan nilai yang berubah dan tetap telah dikenal
dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Hal itu bisa dilihat misalnya melalui
penafsiran para ‘proto-contextualist’ pada awal periode Islam38, beberapa
aspek dari tradisi maqāṣid39, dan pendekatan berbasis-nilainya Rahman
sebagai penerus dari generasi proto-contextualist.40
Namun demikian, menurut Saeed, meskipun upaya ke arah penafsiran
yang memperhatikan mana aspek yang tetap dan mana aspek yang berubah
dari teks telah digagas sebagaimana di muka, tetap ada kebuntuan yang
perlu dipecahkan. Kebuntuan itu adalah:
Pertama, kekurangan dalam maqāṣid.41 Menurutnya, ini belum cukup
36
Contoh yang baik untuk hal ini adalah gambaran al-Qur’an tentang surga. Surga
digambarkan dengan sungai yang mengalir, buah-buahan, pohon dan taman yang tak lain
adalah imajinasi populer masyarakat Hijaz atas kondisi alam mereka yang gersang.
37
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 122.
38
Generasi pertama umat Islam telah menikmati kebebasan dalam derajat yang
signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini terjadi di samping karena bangunan metodologi
dan prinsip-prinsip serta prosedur dalam menafsirkan al-Qur’an belum ada sebagaimana
periode berikutnya, para sahabat juga sebagai person yang terlibat langsung dalam
pewahyuan. Keterlibatan ini menjadikan al-Qur’an telah berakar dalam hati mereka. ini pula
yang mungkin memungkinkan mereka, ketika bertemu dengan masalah baru, menggunakan
intuisi mereka, yang tak lain adalah semangat al-Qur’an yang menubuh, untuk menghadapi
dan menyelesaikannya. Contoh mudah untuk hal ini adalah Umar bin al-Khattab. Lihat
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 127.
39
Sebagai disampaikan Saeed, kemunculan gagasan ini pada dasarnya merupakan
respon terhadap literalisme yang mendominasi interpretasi al-Qur’an terutama pada periode
post-formatif hukum Islam (setelah abad ke-1 dan ke-2 H). Lihat Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 128.
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
41
Ibid. 127.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
205

dijadikan sebagai basis metodologi alternatif bagi masalah literalisme


hukum dan tafsir. Apa yang disampaikan al-Ghazali dan al-Syatibi, sebagai
dua orang yang disebut sebagai pioneer dalam hal ini, dianggap Saeed belum
cukup sebagai basis tafsir terutama untuk jaman kontemporer. Sebenarnya,
menurut Saeed, gagasan al-Tufi dengan maṣlaḥahnya lebih radikal dan telah
melampaui kedua yang disebut di atas, tapi sayangnya, gagasan al-Tufi tidak
sepopuler mereka.
Kedua, kekurangan dalam gagasan Rahman. Menurut Saeed, meskipun
Rahman telah mempertanyakan hirarki nilai dalam kaitan dengan ayat-ayat
etika-hukum dan penafsirannya (yang disebut sebagai general principles42
misalnya keadilan), dia tidak menyatakan secara eksplisit bahwa sebuah
hirarki sangat penting bagi sebuah metodologi alternatif interpretasi.43
Selanjutnya, Rahman juga tidak menyediakan sebuah kerangka terperinci
untuk membangun hirarki nilai moral selain pernyataannya bahwa pertama
kali seseorang harus memperoleh prinsip-prinsip umum dari aturan-aturan
spesifik baik dalam al-Qur’an maupun sunah dengan memberikan perhatian
terhadap kondisi sosio-historis44 –yang diperoleh lewat gerak pertama
dalam double movement theory-nya.45
Saeed mengakui, mengidentifikasi dan membangun sebuah hirarki nilai
bukanlah pekerjaan yang mudah, karena saking luasnya dan sifat dasarnya
yang tidak tetap. Namun, dengan melakukan penelusuran yang teliti, Saeed
mengaku telah berhasil membangun lengkap dengan rasionalisasinya
sehingga tidak perlu mengganggu atau membahayakan keimanan umat
Islam.46
Saeed mempertimbangkan banyak hal untuk merumuskan proyeknya
ini. Seperti yang disebutkan berikut:

42
Ada beberapa istilah yang identik dengan pemikiran Rahman: prinsip-prinsip
(principles), nilai-nilai (values), tujuan-tujuan moral (moral objectives), ratio-legis, prinsip-
prinsip umum (general principles) dan sebagainya. Namun demikian, sebagaimana diakui
Taufik Adnan Amal, prinsip ini belum ditata secara hirarkis guna membentuk etika al-Qur’an.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 159.
43
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
44
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 54.
45
Langkah ini merupakan langkah penting untuk menemukan prinsip-prinsip
umum yang dijadikan sebagai landasan untuk memformulasikan hukum dalam kasus-kasus
partikular di dunia modern dalam gerak kedua. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an,
hlm. 128.
46
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 130.
206 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Dalam membangun hirarki nilai, saya memperhatikan hal-hal berikut:


keyakinan yang sifatnya dasar dalam Islam, rukun iman, rukun Islam,
apa yang secara jelas diperintahkan dan dilarang dalam al-Qur’an…
Dalam membangun kategori-kategori, saya juga mempertimbangkan
apa yang secara umum diterima dalam tradisi umat Islam. Sebagian
besar merupakan pemikiran-pemikiran yang dibangun dalam usul
fikih termasuk pembagian lima tindakan mukallaf (wajib, makruh,
sunnah, haram dan mubah).47

Penelusuran akan hirarki ini berguna untuk menafsirkan ayat-ayat


etika-hukum. Dengan adanya hirarki nilai ini dimungkinkan mengetahui
derajat urgensi, kompleksitas dan ambiguitas dari masing-masing nilai, untuk
selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda terhadap masing-masingnya.
Tentu pengetahuan akan hal ini akan sangat bermanfaat untuk memahami
sekaligus mengaplikasikan nilai yang termaktub dalam al-Qur’an, terutama
dalam konteks kekinian.
Dengan pemikirannya tentang perumusan hirarki nilai, Saeed
secara tidak langsung juga telah mampu menjawab kritik Wael B. Hallaq
terhadap Rahman bahwa problem-problem yang diungkapkannya belum
merepresentasikan seluruh spketrum kasus dalam hukum dan karenanya
Hallaq menyatakan bahwa apa yang dilakukan Rahman belum bisa dikatakan
sebagai sebuah metodologi hukum yang tepat akan tetapi sekedar sebagai cara
pandang terhadap wahyu.48 Karenanya perumusan hirarki nilai ini merupakan
sumbangan yang berarti bagi hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.

a. Nilai-nilai yang bersifat Kewajiban (obligatory values)


Kategori pertama adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban. Nilai-
nilai yang sifatnya dasar sangat ditekankan dalam al-Qur’an. Nilai-nilai
ini membentang baik dalam periode Makkah maupun Madinah dan tidak
bergantung kepada budaya. Kebanyakan umat Islam mengakui bagian ini
sebagai bagian yang sangat penting dalam Islam.
Pertama, nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan,
yakni nilai-nilai yang secara tradisional dikenal sebagai (rukun) iman.
Kedua, nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik ibadah yang
47
Ibid. 130.
48
Hallaq, Wael B., “Law and the Qur’an”, dalam Jane D. McAuliffe (ed.), Encyclopaedia
of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3, hlm. 171.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
207

ditekankan dalam al-Qur’an (sholat, puasa, haji, dan mengingat Allah).


Nilai-nilai ini ditekankan berulangkali dalam al-Qur’an dan tidak berubah
mengikuti perubahan kondisi. Karena itulah, mereka berlaku universal.
Ketiga, sesuatu yang halal dan haram yang disebutkan secara tegas dan
jelas dalam al-Qur’an49, dan tidak menghiraukan perubahan kondisi.50
Menurut Saeed, kategori yang semacam ini sangat sedikit dalam al-Qur’an
dan secara prinsipil mereka berlaku universal.51
Nilai-nilai di atas bisa dianggap sebagai doktrin agama yang abadi.
Upaya untuk menyesuaikan dengan konteks sepertinya tidak berhasil
pada kategori ini. Selanjutnya, menurut Saeed, terutama untuk bagian
ketiga, nilai-nilai yang diperluas dari bagian ini (melalui ijmā’ atau qiyās)
tidak bisa dimasukkan dalam kategori ini. Yang diperhatikan adalah
sesuatu yang secara spesifik disebutkan dalam al-Qur’an.

b. Nilai-nilai Fundamental (Fundamental Values)


Saeed memberikan batasan pada nilai-nilai fundamental ini sebagai
berikut:
… adalah nilai-nilai yang ditekankan berulang-ulang dalam al-
Qur’an yang mana ada bukti teks yang kuat yang mengindikasikan
bahwa mereka adalah termasuk dasar-dasar ajaran al-Qur’an.52

Dia manambahkan, penyelidikan terhadap al-Qur’an


mengindikasikan bahwa nilai-nilai fundamental ini ditekankan sebagai
nilai-nilai kemanusiaan dasar.53
Pada dasarnya, ulama awal, terutama dalam tradisi uṣūl, telah
sadar akan adanya nilai-nilai ini. Misalnya, apa yang disebut al-Gazali
dengan kulliyāt (universal atau ‘lima nilai universal’), maqāṣid al-
49
Disebut demikian karena pilihan kata yang digunakan lugas seperti uḥilla, uḥillat,
aḥalla atau aḥlalnā (Q.S. al-Mā’idah (5): 96; al-Baqarah (2): 187; al-Mā’idah (5): 5; al-Mā’idah
(5): 1) untuk menunjukkan sesuatu yang dihalalkan. Dan, misalnya kalimat ḥarramnā (Q.S.
al-Baqarah (2): 173; al-Baqarah (2): 275; al-Nisā’ (4): 23; al-Baqarah (2): 228; al-Baqarah (2):
229; al-Nisā’ (4): 19) untuk menunjukkan sesuatu yang diharamkan.
Allah melarang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan dan sebaliknya (Q.S. al-
50

Naḥl (16): 116; Yūnus (10): 59; al-Mā’idah (5): 90). Allah juga menegur Nabi ketika Nabi
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya (Q.S. al-Taḥrīm (66): 1).
51
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 165-166.
52
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
53
Ibid. 132.
208 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

syarī’ah oleh al-Syatibi (w. 766/1388)54, dan maṣlaḥah oleh al-Tufi (w.
716/1316).55 Lima nilai universal tersebut adalah perlindungan hidup,
hak milik, kehormatan, keturunan dan agama. Di kalangan ulama uṣūl,
nilai universal ini dianggap sebagai tujuan utama syari’ah (maqāṣid al-
syarī’ah) sebagaimana dinyatakan oleh al-Syatibi.56 Pencapaian nilai-
nilai di atas melalui sebuah metode yang diakui sebagai metode induktif
(inductive corroboration) dari sumber-sumber adekuat Islam.
Dengan metode yang sama, Saeed berpendapat bahwa nilai tersebut
bisa dikembangkan, tidak hanya terbatas lima, mengikuti kebutuhan
dan perkembangan zaman, senyampang memang diramu dari sumber
yang adekuat. Pada saat ini misalnya, perlindungan dari kerusakan,
perlindungan kebebasan beragama, perlindungan hak asasi manusia
perlu ditambahkan kepada lima nilai yang telah ada.57
Pada prinsipnya, menurut Saeed, apa yang disebut sebagai
nilai fundamental adalah nilai-nilai yang sifatnya universal, dan
perlu ditekankan bahwa wilayah ini bisa diperluas atau dipersempit
berdasarkan kebutuhan masing-masing generasi, persoalan-persoalan
yang dihadapi, titik perhatian masing-masing generasi.
Tampaknya nilai ini sama dengan prinsip umumnya Rahman, semisal
keadilan. Nilai ini menurut Rahman ditemukan melalui gerak pertama
dari gerak gandanya. Nilai inilah yang dijadikan prinsip umum dalam
menafsirkan dan mengaplikasikan al-Qur’an dalam konteks kekinian.

c. Nilai-nilai Proteksional (Protectional Values)


Nilai proteksional ini merupakan undang-undang bagi nilai
fundamental. Fungsinya adalah untuk memelihara keberlangsungan
nilai fundamental.58 Misalnya, salah satu nilai fundamental adalah
perlindungan hak milik, maka, larangan mencuri dan riba merupakan
nilai proteksional dari nilai fundamental ini.
54
Ibid, Interpreting the Qur’an, hlm. 145.
55
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 146. Pemikiran mereka merupakan
lompatan yang melampaui paradigma pada waktu itu (pasca-Syafi’i), sehingga pengaruh
mereka sangat sedikit pada masa berikutnya. Namun demikian, metodologi dan kerangka
kerja mereka pada dasarnya ,asih relevan hingga saat ini.
56
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
57
Ibid. 133.
58
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 166; Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 133.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
209

Berbeda dengan nilai fundamental, nilai proteksional digantungkan


‘hanya’ kepada satu atau beberapa bukti-bukti tekstual. Namun,
kenyataan ini tidak mengurangi urgensi nilai ini dalam al-Qur’an karena
kekuatan nilai ini di samping berasal dari bukti teks, juga berasal dari
nilai fundamental. Karena nilai ini merupakan pemeliharaan dari nilai
fundamental, universalitas juga berlaku di sini.59

d. Nilai-nilai Implementasional (Implementational Values)


Nilai implementasional merupakan tindakan atau ukuran spesifik
yang dilakukan atau digunakan untuk melaksanakan nilai proteksional.60
Misalnya larangan mencuri harus ditegakkan dalam masyarakat
melalui tindakan-tindakan spesifik untuk menindaklanjuti mereka yang
melanggarnya. Dalam al-Qur’an misalnya, disebutkan bahwa hukuman
bagi tindak pencurian adalah dipotong tangannya61.
Dalam pandangan Saeed, nilai implementasional yang terekam
dalam al-Qur’an tidaklah bersifat universal. Berdasarkan penyelidikan
sejarah, tindakan spesifik memotong tangan di atas, sebagai misal,
merupakan pilihan yang paling tepat untuk kondisi saat itu.
Ada beberapa fakta yang mendukung pandangan Saeed ini. Pertama,
kondisi obyektif al-Qur’an.62 Banyak redaksi dalam al-Qur’an yang
menunjukkan ‘pengecualian’ bagi pemberlakuan nilai implementasional,
yakni bagi mereka yang bertaubat. Redaksi ini sering ditulis mengikuti
redaksi tindakan spesifik yang direkam al-Qur’an. Beberapa ayat yang
mengikuti pola demikian adalah, setelah ayat yang secara spesifik
menuliskan hukuman potong tangan,63 hukuman pembunuhan,64
hukuman cambuk bagi pelaku zina,65 dan hukuman rajam bagi pelaku
zina66.

59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
60
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 167; Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 134.
61
Q.S. al-Mā’idah (5): 41.
62
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134-135.
63
Q.S. al-Mā’idah (5): 42.
64
Q.S. al-Baqarah (2): 178.
65
Q.S. al-Nūr (24): 5.
66
Q.S. al-Nisā’ (4): 16.
210 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa ada dasarnya yang


menjadi peran utama dari al-Qur’an bukanlah redaksi literal darinya.
Jika demikian yang terjadi, tentu al-Qur’an tidak memberikan alternatif
lain seperti bentuk pengecualian di atas. Dengan demikian, yang menjadi
tujuan utama al-Qur’an adalah pencegahan dari tindakan yang dilarang.
Kedua, fakta sejarah. Yang dimaksud dengan fakta sejarah di
sini adalah pilihan sikap sahabat Nabi atau ulama terdahulu dalam
mengamalkan ayat-ayat implementasional di atas. Ketika menghadapi
kasus seseorang yang telah mencuri tiga kali, sahabat Nabi, ‘Umar yang saat
itu menjadi khalifah mengajukan hukuman potong tangan untuknya. Ali
yang saat itu menjadi penasihat Umar memberikan usulan yang berbeda.
Menurutnya, hukuman cambuk dan kurungan adalah hukuman yang
tepat. ‘Ali menyatakan “saya malu melihat Tuhan jika meninggalkannya
tanpa tangan yang darinya dia bisa makan dan bersuci untuk shalat…”.
‘Ali, sebagai sahabat yang dikenal memahami al-Qur’an melakukan pilihan
yang demikian. Ini menunjukkan bahwa potong tangan bukan nilai yang
multak harus diterapkan.67
Dalam tradisi fikih, ulama klasik telah menyadari adanya
akibat negatif, sebagaimana direnungkan oleh ‘Ali di atas, dari
pemberlakuan hukuman yang sifatnya keras. Kesadaran terhadap hal
ini menuntun mereka merumuskan syarat-syarat bagi berlakunya nilai
implementasional berdasarkan bunyi literal teks. Sebagaimana dikutip
Saeed dari al-Asymawi “Hukuman yang ada dalam al-Qur’an dikelilingi
oleh syarat-syarat yang mungkin menjadikannya tidak berlaku… Misalnya
untuk kasus pencurian, … pencuri tidak sedang dalam kondisi terdesak
dan benar-benar membutuhkan sesuatu yang dicuri…”.68

e. Nilai-nilai Instruksional (Intructional Values)


Nilai intruksional adalah ukuran atau tindakan yang terdapat dalam
al-Qur’an tentang sebuah persoalan yang (berlaku) khusus pada masa
pewahyuan.69 Tidak ada tekanan dalam al-Qur’an berkaitan dengan nilai
ini. Bahkan tidak ada dukungan dari kategori sebelumnya bahwa nilai ini
bersifat universal. Meskipun demikian, yang menjadi persoalan di mata

67
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
68
Ibid. 136.
69
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169; Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 137.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
211

Saeed, nilai ini diterima begitu saja (normatif) bahkan sampai sekarang,
terutama oleh muslim tradisional.70
Saeed memandang, dibanding nilai-nilai sebelumnya, nilai
intruksional ini adalah yang paling banyak, paling sulit, paling beragam
dan berbeda-beda. Karena itu bentuk kategorisasi adalah perkara yang
sulit, dan karenanya Saeed lebih memilih menampilkannya begitu saja.
Sebagian besar nilai al-Qur’an adalah intruksional. Ayat-ayat yang
termasuk dalam kategori ini memiliki tampilan linguistik yang beragam:
perintah (amr) atau larangan (lā), pernyataan sederhana tentang ‘amal
ṣa}lih, perumpamaan, atau bisa juga kisah.71 Secara lebih terperinci
misalnya instruksi untuk menikahi lebih dari satu perempuan dalam
kondisi tertentu,72 bahwa laki-laki ‘memelihara’ perempuan,73 untuk
berbuat baik kepada orang-orang tertentu misalnya orang tua,74 untuk
tidak menjadikan kaum kafir sebagai teman,75 dan untuk mengucapkan
salam76.
Menurut Saeed, ada pertanyaan yang perlu dijawab menyikapi
keberadaan nilai-nilai intruksional ini karena seperti yang diketahui
nilai-nilai tersebut sangat erat dengan kondisi saat itu. Pertanyaan yang
bisa digariskan yakni: Apakah nilai ini melampaui kekhususan budaya
sehingga harus dipatuhi dalam segala kondisi, tempat dan waktu? Atau
sebaliknya, apakah harus diciptakan kondisi yang sama agar dapat
diterapkan? Bagaimana seharusnya seorang muslim menanggapi nilai
ini?
Menjawab persoalan itu, Saeed menawarkan sebuah rumusan
untuk mengukur apakah nilai tertentu bersifat universal ataukah tidak
termasuk derajat sifatnya. Takaran itu adalah persoalan frekuensi,
penekanan, dan relevansi.
Pertama, frekuensi.77 Frekuensi berkaitan dengan seberapa sering
nilai tertentu disebutkan dalam al-Qur’an melalui penelusuran tema-tema
70
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 138.
71
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169.
72
Q.S. al-Nisā’ (4): 2-3.
73
Q.S. al-Nisā’ (4): 34-35.
74
Q.S. al-Nisā’ (4): 36.
75
Q.S. al-Nisā’ (4): 89-90.
76
Q.S. al-Nisā’ (4): 86.
77
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 139.
212 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

yang terkait dengan nilai tersebut. Misalnya ‘menolong kaum miskin’


disampaikan al-Qur’an melalui beberapa konsep misalnya ‘menolong
mereka yang membutuhkan’, memberi makan kepada fakir miskin’, dan
‘merawat anak yatim’. Prinsipnya, semakin sering tema tersebut diulang-
ulang dalam al-Qur’an, semakin penting nilai tersebut. Meskipun,
kesimpulan dari penelusuran ini harus diakui hanya mampu mencapai
derajat perkiraan karena keterbatasan menelusuri keseluruhannya
dalam al-Qur’an.
Kedua, penekanan.78 Takaran ini mempertanyakan apakah nilai ini
betul-betul ditekankan dalam dakwah Nabi. Prinsip yang dipegang adalah,
semakin besar penekanan nilai tertentu dalam dakwah Nabi maka nilai
tersebut semakin signifikan. Misalnya, nilai yang ditekankan Nabi dalam
dakwahnya selama periode Makkah sampai Madinah adalah membantu
mereka yang ter(di)zalimi. Namun, jika nilai tertentu disebutkan
kemudian ditinggalkan, atau jika nilai-nilai yang bertentangan dengannya
didukung dan disebarluaskan, maka bisa diasumsikan nilai tersebut tidak
lagi relevan dalam al-Qur’an.
Penelusuran terhadap takaran ini memerlukan pengetahuan
sejarah, karakteristik stilistik atau linguistik teks dan konteks pada saat
itu. Pengetahuan akan hal di atas tidak bermakna untuk mengetahui
waktu dan kondisi persis seperti yang terjadi pada masa itu, tapi lebih
digunakan untuk melakukan pendasaran apakah nilai tersebut ditekankan
pada periode tertentu.
Ketiga, relevansi (hubungan/pertalian/persangkutpautan).79 Yang
perlu ditegaskan sebelumnya, kata relevansi yang dimaksud Saeed di
sini bukan berarti bahwa seluruh nilai yang ada dalam al-Qur’an spesifik.
Saeed membagi relevan kepada dua macam; (1) relevansi terhadap budaya
tertentu yang dibatasi waktu, tempat dan kondisi, (2) relevansi universal
tanpa memperhatikan waktu, tempat dan kondisi. Yang dimaksud Saeed
dengan term relevansi di sini adalah yang kedua.
Karena Nabi diturunkan dalam masyarakat Hijaz, ada hubungan
penting antara misi Nabi dan budaya masyarakat waktu itu. Seperti
diketahui, tidak semua ajaran, nilai, dan praktik dalam masyarakat pra-
Islam yang dibuang oleh Nabi. Sehingga rasional jika dikatakan bahwa
apa yang dilakukan dan dikatakan Nabi sesuai dengan kondisi saat itu.
78
Ibid. 139-140.
79
Ibid, Interpreting the Qur’an, hlm. 140-141.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
213

Karena itu, wawasan akan konteks budaya masa pewahyuan sangat


penting untuk menentukan relevansi nilai tertentu.
Tahap pertama adalah melakukan observasi. Tahap
selanjutnya adalah membandingkan dengan kondisi kekinian. Untuk
membandingkannya, bisa dilakukan analisis terhadap aspek-aspek
yang tetap dan berubah. Langkah selanjutnya, dilakukan perenungan
apakah nilai tertentu tersebut berlaku obyektif ataukah ia ada melulu
menunjukkan dan memperjuangkan terpeliharanya nilai fundamental.
Jika hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tersebut hanya bersifat
spesifik pada waktu itu, maka penerapan nilai yang sama dalam situasi
yang lain bukanlah yang dimaksud oleh teks, dan sebaliknya.

D. Kerangka Kerja
Saeed kemudian beranjak dari dunia gagasan kepada sebuah model
interpretasi, sebuah panduan praktis yang menyajikan langkah demi langkah
dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal. Menurut Saeed,
makna bersifat interaktif. Pembaca (baca: penafsir) bukanlah penerima pasif
yang begitu saja ‘menerima’ makna. Pembaca merupakan peserta aktif dalam
memproduksi makna teks.80 Ada empat tahap yang harus dilampaui dalam
model interpretasi ini. Berikut peta model interpretasi yang ditawarkan
Saeed:81

80
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 149.
81
Ibid. 150. Untuk perincian lebih lanjut dari peta di atas, bisa dirujuk langsung dalam
buku ini.
214 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Model of Interpretation

Text
Stage I: Encounter with the world of text

Stage II: Critical Analysis


Linguistic
Literary context
Literary form
Parallel texts
Precedents

Stage III: Meaning for the first recipients


Socio-historical context
Worldview
Nature of the massage: legal, theological, ethical
Message: contextual versus universal
Relationship of the message to the overall message of the Qur’an

Stage IV: Meaning for the present


Analysis of present context
Present context versus socio historical context
Meaning from first recipients to the present
Message: contextual versus universal
Application today

Menurut Saeed, penafsiran klasik telah dengan baik mencakup stage


I dan stage II dan beberapa bagian dari stage III. Kebanyakan stage III dan
stage IV tidak dipandang sebagai pertimbangan yang penting dan relevan
bagi tujuan interpretasi ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal.

E. Simpulan
Upaya yang dilakukan Saeed ini, meskipun tidak secara eksplisit
dinyatakannya sebagai pelanjut kerja Rahman tapi jejak-jejaknya bisa
ditemui dengan jelas pada pemikirannya. Saeed telah menerjemahkan
gagasan Rahman dalam kerangka kerja yang lebih rigid. Kemudian, melalui
hirarki nilainya, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran klasik dan
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
215

Rahman, dia telah menyelesaikan persoalan berkaitan dengan penentuan


mana makna yang universal dan yang partikular. Di sinilah sesungguhnya
sumbangan Saeed dalam kancah pemikiran kontemporer, khususnya di
antara kaum kontekstualis.
216 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
Yogyakarta: LKiS, 2003.
__________, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj.
Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Yogyakarta: Samha dan
PSW UIN Sunan Kalijaga, 2003.
__________, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics,
Amsterdam: Humanistics University Press, 2004.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, Leiden: E.J. Brill, 1961.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya al-
Jumanatul ‘Ali. Bandung: J-Art, 2004.
Esack, Farid, “Qur’anic Hermeneutics: Problems and Prospects”, dalam The
Muslim World, Vol. LXXXIII, No. 2, April 1993.
Gracia, Jorge J.E., A Theory of Textuality: the Logic and Epistemology, Albany:
State University of New York Press, 1995.
Hallaq, Wael B., “Law and the Qur’an”, dalam Jane D. McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3.
Ichwan, Mochammad Nur, “Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta
Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1995.
__________, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Bandung: Teraju, 2003.
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Naf’atu Fina, Lien Iffah, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
217

Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin


UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives”,
International Journal of Middle East Studies, Vol.1, No.4, 1970.
__________, Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin
Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Rahman, Wahidur, “Modernists’ Approach to the Qur’an”, Islam and the
Modern Age, Mei 1991.
Rippin, Andrew, “Foreword” dalam Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an:
Towards a Contemporary Approach, London and New York: Routledge,
2006.
Saeed, Abdullah, “Rethinking “Revelation” as a Precondition for Reinterpreting
the Qur’an: A Qur’anic Perspective”, Journal of Qur’anic Studies, 1 (1),
1999.
__________, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal
Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004.
__________, “Introduction: the Qur’an, Interpretation and the Indonesian
Context”, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia. Oxford:
Oxford University Press, 2005.
__________, “Progressive Interpretation and the Importance of the Socio-
Historical Context of the Qur’an”, dalam Islam, Woman and New World
Order: an International Conference Proceedings, Yogyakarta: PSW UIN
Sunan Kalijaga, 2006.
__________, Islamic Thought: an Introduction, London and New York: Routledge,
2006.
__________, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, London
and New York: Routledge, 2006.
__________, “Contextualizing” dalam Andrew Rippin (ed) The Blackwell
Companion to the Qur’an, Oxford: Blackwell Publishing, 2006.
__________, “Trends in Contemporary Islam: A Preliminary Attempt at a
Classification”, The Muslim World, Vol. 97, 2007.
__________, The Qur’an: an Introduction, London and New York: Routledge,
2008.
__________, “Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-Legal
218 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Texts of the Quran”, Bulletin of School of Oriental and African Studies,


71 (2), 2008.
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan Hasan Hanafi: Metodologi
Tafsir al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, Bandung: Mizan, 2002.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an,
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Syamsuddin, Sahiron, “Tipologi dan Proyeksi Pemikiran Tafsir Kontemporer:
Studi atas Ide Dasar Hermeneutika al-Qur’an”, makalah disampaikan
dalam diskusi ilmiah dosen tetap UIN Sunan Kalijaga, tanggal 29
Agustus 2008, tidak dipublikasikan
Taji-Farouki, Suha (ed.), Modern Muslim Intellectuals & the Qur’an. Oxford:
Oxford University Press, 2004.
Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci
dengan Semangat Keadilan, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2006.
http://www.abdullahsaeed.org, akses tanggal 19 Desember 2008.
http://www.abdullahsaeed.org/documents/CV-Saeed.pdf, akses tanggal 19
Desember 2008.
http://www.asiainstitute.unimelb.edu.au/people/staff/saeed.html, akses
tanggal 19 Desember 2008.
http://www.findanexpert.unimelb.edu.au/researcher/person13483.html,
akses tanggal 19 Desember 2008.
http://en.wikipedia.org/wiki/Maldives, akses tanggal 23 Januari 2009.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
219

RAHASIA PENGULANGAN REDAKSI DALAM SURAT


AL-RAHMAN
Oleh: Ahmad Atabik
(Dosen Ushuluddin STAIN Kudus)

Abstract

The repetition of verses in the Qur’an is a unique phenomenon.


Repetition is closely related to the affirmation and confirmation.
Confirmation is one of factors to support mind and soul in in
human hearts (qolbu). The point of value of repetition is always
hold pronunciation by repeating continuously. When it happens,
it will always in mind, and will be accepted. Surah al-Rahman
is an example . There are three types repetition: firstly, the
repetition of the word (al-mizan) twice. Secondly, the repetition
of the phrase about the creation of man. Thirdly, repeating the
verses of the Qur’an about 31 verses.

Keywords: editor al-Qur’an, repetition of verses, verses al-Rahman

A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang menjadi mu’jizat Nabi
Muhammad. Di antara kemu’jizatan Al-Qur’an adalah dari segi bahasanya.
Keindahan bahasa Al-Qur’an dapat dilihat dari keserasian ayat-ayat yang
saling menguatkan, kalimatnya yang spesifik, balāgahnya di luar kemampuan
akal, kefasihannya di atas semua yang diungkapkan manusia, lafaznya pilihan
dan sesuai dengan setiap keadaan, serta sifat-sifat lain yang menunjukkan
kesempurnaan Al-Qur’an.1
1
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an, terj. Nur
Fauzin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001). Hlm. 14-15.
220 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Sebagai mu’jizat, Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa khas yang tidak


dapat ditiru oleh sastrawan Arab sekalipun, karena adanya susunan yang
indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam
bahasa Arab. Mereka mengetahui Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz
mereka, tetapi ia bukan puisi, prosa atau syair dan mereka tidak mampu
membuat yang seperti itu.2
Salah satu gaya bahasa Al-Qur’an adalah dengan mengulang-ulang
(repitisi) redaksi ayat-ayat atau kisah tertentu, sehingga banyak dijumpai
dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang beredaksi mirip bahkan banyak juga
pengulangan redaksi yang sama. Fenomena ini merupakan realitas menarik
yang tidak dapat dihindari oleh para mufassir. Menurut al-Khatib al-Iskafi,
dari 114 surat Al-Qur’an, hanya 28 buah atau sekitar 28 buah atau sekitar
25% yang tidak mengandung ayat yang beredaksi mirip. Sementara Taj al-
Qurra’ al-Karmani bahwa beliau menemukan 11 surat atau kurang dari 11%
yang tidak mengandung ayat-ayat yang mirip.3
Repitisi atau pengulangan dalam perspektif bahasa Arab berarti
takrār atau takrir yang mempunyai masdar dari fi’il mādlī karrara bermakna
raddada dan a’āda4 mengikuti wazan taf’āl, bukan bermakna analogi atau
perbandingan. Lain halnya dengan taf’īl sebagaimana dikatakan oleh mazhab
Sibawaih. Sedang menurut ulama’ Kufah takrār merupakan mashdar dari
wazan fa’ala, alif pada lafaz takrār merupakan pengganti dari takrir yā’.5
Makna dari takrār adalah i’ādat asy-syai’i mirāran (mengulangi sesuatu
secara terus-menerus).
Artikel ini dengan keterbatasannya, berupaya mengungkap salah
satu seni gaya bahasa al-Qur’an yaitu tentang pengulangan redaksinya, baik
kemiripan dan dan pengulangan ayat secara sama dalam beberapa ayat.
Penulis hanya memberikan batasan atau pokok kajian pengulangan redaksi
pada surat al-Rahman. Pembatasan ini bertujuan agar pengkajian lebih fokus
pada surat tertentu dan redaksi ayat tertentu dalam al-Qur’an.

2
Sayyid Aqil Husin al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi
Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 3.
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip dalam Al-
3

Qur’an, (Pekan Baru: Fajarr Harapan, 1993), hlm.7.


4
Al-Fairuzabadi, al-Qāmūs al-Muhiṭ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jld. VI, hlm. 178.
5
Az-Zarkasyi, al-Burhān fī Ulūm al-Qur’an, (Kairo, Maktabah Isa al-Halabi, tth), Jld, III,
hlm. 8.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
221

B. Pengertian Pengulangan dalam Al-Qur’an


Bentuk pengulangan (repetisi) redaksi merupakan fenomena yang
menarik yang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an yang menggunakan kalam
Arab6 tentu dalam seni pengungkapannya juga menggunakan teori dan
kaedah-kaedah yang ada dalam bahasa induknya. Begitu juga dengan kaedah
dan seni pengungkapan model pengulangan. Model dan seni pengulangan
al-Qur’an ini telah banyak para ulama yang membukukannya, baik itu dalam
tema khusus maupun dimasukkan dalam sub tema.
Al-Karmani misalkan, ia membuat karya khusus mengenai “Rahasia
Pengulangan dalam al-Qur’an” (Asrār at-Takrār fi al-Qur’an). Karya ini
merupakan tema khusus yang memuat tentang pengulangan (takrār) dalam
al-Qur’an. Namun sebagian ulama lain memasukkan tema pengulangan
dalam sub judul. az-Zarkasyi misalkan, dalam “al-Burhān fī Ulūm al-Qur’ān”
ia memasukkan tema pengulangan dalam sub tema dalam pembahasan
ilmu al-Qur’annya. Ia memberi judul “takrār al-kalām”7. Begitu juga dengan
Ibnu Qutaibah, dalam karyanya “Ta’wīl Musykil al-Qurān”, ia memasukkan
pengulangan dalam sub judul dalam kitabnya “Bāb Takrār al-Kalām wa az-
Ziyādah fīhi”8. Sedangkan Al-Iskafi dalam karya “Durrat at-Tanzīl wa Gurrat at-
Ta’wīl; fi Bayān al-Ayāt al-Mutasyābihāt fi Kitabillah al-‘Azīz”, yang membahas
tentang ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an, ia memaksukkan kategori
takrār dalam pembahasan karnya ini.9
Namun ada sebagian ulama yang berkecimpung dalam kajian ilmu al-
Qur’an mengingkari repetisi atau pengulangan (takrār) merupakan bagian
dari uslub fashahah, hal itu dilandasi oleh anggapan bahwa pengulangan tak
ada gunanya. Az-Zarkasyi membantah anggapan itu dengan mengatakan
bahwa justru pengulangan (takrār) dapat memperindah kalimat atau kata-
kata, terutama yang saling berkaitan satu sama lainnya. Hal ini dikuatkan
oleh kebiasaan orang Arab dalam beretorika dan berdialek, ketika mereka
menaruh perhatian terhadap suatu perkara agar dapat terealisasi dan
menjadi kenyataan, atau dalam retorika mereka mengharap sesuatu (do’a),
maka mereka selalu mengulang-ulangnya sebagai penguat.10
6
Lihat QS. 12: 2, 13: 37, 16: 103, 20: 113, 26: 125, 39: 28, 41:3, 43: 3.
7
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jld, III (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi wa
Syirkahu, tth.), hlm. 9
8
Ibnu Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an…, hlm. 232.
9
Lihat kandungan kitab, al-Khatib al-Iskafi, Durrat at-Tanzil wa Ghurrat at-Ta’wil; Fi
bayani al-Ayat al-Mutasyabihat fi Kitabillah al-Aziz, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973).
10
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, ..hlm. 9.
222 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Pemahaman lebih mendalam juga dikemukakan oleh az-Zamakhsyari;

‫ أال ترى أنه ال طريق‬.‫ وتثبيتا لها في الصدور‬.‫إن في التكرير تقريرا للمعاني في األنفس‬
,‫ كلما زاد ترديده كان أمكن له في القلوب‬.‫إلى حفظ العلوم إال ترديد ما يرام حفظه منها‬
.11‫ وأبعد من النسيان‬,‫ وأثبت للذكر‬,‫وأرسخ له في الفهم‬
Artinya; Fungsi pengulangan adalah menetapkan makna dalam jiwa dan
memantapkannya di dalam hati. Bukankah cara yang tepat untuk
menghafalkan pengetahuan dan ilmu itu dengan mengulang-ulang
supaya dapat dicerna dan dihafal. Sesuatu manakala lebih sering
di ulang maka akan lebih menetap dalam hati, lebih mantap dalam
ingatan dan jauh dari kelalaian.

Al-Qur’an turun dengan menggunakan lisan (bahasa) mereka, maka


retorika dan dialek berlangsung sesama mereka. Dengan cara ini dapat
menguatkan bukti kelemahan (‘ajz) mereka untuk dapat menandingi al-
Qur’an. Oleh karenanya, pengulangan dalam al-Qur’an juga dalam kerangka
dan bentuk cerita-cerita, nasehat-nasehat, janji dan ancaman, karena manusia
sejatinya terbentuk dalam berbagai tabiat yang berbeda yang kesemuanya
mengajak kepada hawa nafsu, dan hal itu tidak dapat terpuaskan kecuali
dengan adanya nasehat-nasehat.
Pengulangan erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan
(ta’kīd), sebab pegasan merupakan faktor-faktor yang mendukung
bersemayamnya pikiran dalam jiwa masyarakat dan tetapnya dalam hati
mereka. Nilai penetapan adalah dengan selalu mengadakan pelafalan dengan
mengulang-ulang secara kontinyu. Ketika sesuatu itu diulangi secara terus
menerus, maka akan menacap dalam benak, dan akan dapat diterima lapang.
Pengulangan juga berpengaruh besar bagi nalar orang yang tercerahkan.
Hal itu disebabkan karena sesuatu yang diulang berpengaruh dalam lobang
tabiat alam dibawah sadar yang mematangkan sebab-sebab perbuatan
manusia.12
Al-Qur’an menggunakan penegas (taukīd) sebagai sarana untuk
mengokohkan makna dalam jiwa pembacanya, dan menetapkan kandungan
makna dalam sanubarinya sehingga dapat membentuk suatu keyakinan.
Pengulangan dalam al-Qur’an mempunyai bentuk yang khusus yang
11
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jld.III,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997). hlm.
385.
12
Ahmad Ahmad Badawi, Min Balagah al-Qur’an, (Kairo: Dar Nahdlah Misr li ath-Thab’
wa an-Nasyr, tth.), hlm. 143.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
223

berbeda dengan pengulangan yang terdapat dalam kalam Arab, sebagaimana


disinyalir oleh para ulama balaghah.
Al-Qur’an turun dengan lisan kaumnya dan sesuai dengan kaedah
bahasa Arab. Dalam kaedah bahasa Arab terdapat pengulangan yang
berfungsi utuk mengukuhkan dan memahamkan percakapan, sebagaimana
dalam kaedah bahasa Arab juga terdapat ringkasan: yang berfungsi untuk
meringankan dan menyingkat perkataan. Karena pesona pembicara dan juru
dakwah dalam menggunakan berbagai seni retorika itu lebih baik daripada
hanya terbatas pada satu seni retorika.
Seperti yang diucapkan seseorang; ‫ ثم واهلل ال أفعله‬,‫ واهلل ال أفعله‬kalau ingin
menguatkan dan memastikan akan sesuatu dikerjakannya. Sebagaimana ia
mengatakan: ‫ واهلل أفعله‬dengan elliptic “‫ “ال‬jika ingin meringkasnya.
Allah berfirman:
‫كال سوف تعلمون ثم كال سوف تعلمون‬
‫أولى لك فأولى ثم أولى لك فأولى‬
.‫فإن مع العسر يسرا إن مع العسر يسرا‬
Semua pengulangan di atas dimaksudkan untuk mengukuhkan makna
yang diulang.

C. Pengulangan Ayat dalam Surat al-Rahman


a. Seputar surat al-Rahman
Surat al-Rahman (Maha Pemurah), diambil dari perkataan “Al-Rahman”
yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Jumhūr ulamā sepakat bahwa
Surat Al-Rahman tergolong surat Makkiyyah.13 Namun terdapat beberapa
riwayat di antaranya dari Ibn Murdawaih dari Abdullah ibn Zubair, ‘Aisyah
ras, Ibn an-Nuhas dari Ibn Abbas ra menyatakan bahwa surat al-Rahman
turun di Madinah kecuali ayat ke-29 masuk golongan Makkiyyah.14
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Ali ibn Abi
Thalib dikatakan bahwa surat al-Rahman ini juga bernama ‘pengantin al-
Qur’an’ (‘arūs al-Qur’ān). Sedangkan jumlah ayatnya menurut hitungan
ulama’ Kufah dan Syam 78 ayat, hitungan ulama’ Hijaz 77 ayat dan hitungan
ulama’ Bashrah berjumlah 76 ayat.

Lihat al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 27, hlm. al-Alusi, Rūh al-Ma’ani,jld. 15, hlm.
13

148.
Ibid, 148.
14
224 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Hubungan surat Al-Rahman dengan surat sebelumnya adalah;15


1. Bahwa pada surat ini terdapat rincian tentang hal-ihwal orang-orang
yang berdosa dan orang-orang yang bertakwa, yang diisyaratkan pada
surat sebelumnya secara ijmal pada firman-Nya:
16
‫إن المجرمين في ضالل وسعر‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan
(di dunia) dan dalam neraka.

dan firman Allah:


17
‫إن المتقين في جنات ونهر‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-
taman dan sungai-sungai,

2. Pada surat yang lalu Allah menyebutkan tentang bermacam-macam


bencana yang menimpa umat-umat yang terdahulu, dan menerangkan
di belakang setiap macam bencana tersebut, bahwa al-Qur’an benar-
benar telah dimudahkan untuk meningatkan manusia dan menyadarkan
mereka, kemudian mengecam berpalingnya mereka.
Sedang dalam surat al-Rahman ini Allah menyebutkan bermacam-macam
kenikmatan agama maupun dunia yang Allah anugerahkan kepada
hamba-hamba-Nya, baik yang terdapat pada diri mereka maupun pada
alam sekelilingnya, dan Allah swt. mengingkari di belakang setiap macam
kenikmatan tersebut terhadap kelalaian hamba-hamba-Nya kepada
kewajiban bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut.
3. Firman Allah; Ar-Rahmānu, ‘Allama al-Qur’ānu,18 seolah-olah merupakan
jawaban dari pertanyaan: Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha
Kuasa (Malīk Muqtadir) 19 itu? juga, faidah apakah yang dia berikan kepada
penduduk bumi ini dengan rahmat-Nya.
Pokok kandungan surat al-Rahman:20
15
Lihat al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 27, hlm..
16
Al-Qamar, 54: 47
17
Al-Qamar, 54: 54.
18
Ar-Rahman, 55: 1-2.
19
Al-Qamar: 54: 55.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Percetakan Raja
Fahd, tth), hlm. 884.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
225

1. Dari segi keimanan, surat al-Rahman mencatat beberapa aspek, di


antaranya; pertama, dalam surat al-Rahman Allah mengajar manusia
supaya pandai berbicara (ayat 3). Kedua, Allah juga mengisyaratkan
kepada manusia dan jin bahwa semua jenis pohon-pohonan dan tumbuh-
tumbuhan tunduk kepada hukum Allah (ayat 5-7). Ketiga, semua makhluk
akan hancur kecuali Allah (ayat 26-27); Keempat, Allah selalu dalam
kesibukan (ayat 29); Kelima, manusia diciptakan dari tanah dan jin dari
api (ayat 14-15).
2. Dari segi hukum, dalam surat al-Rahman Allah mewajibkan kepada
manusia untuk berlaku adil dalam mengukur, menakar dan menimbang
(ayat 9).
3. Dalam surat al-Rahman ini Allah juga menyatakan bahwa manusia dan jin
tidak dapat melepaskan diri dari kekuasaan Allah swt (ayat 31).

b. Pengulangan dalam surat al-Rahman.


1. pengulangan kata ‫الميزان‬
Dalam surat al-Rahman ini terdapat kata al-Mizan yang di ulang
sebanyak tiga kali dalam ayat yang berurutan, masing-masing ayat 7, 8 dan
9. Firman Allah:

‫ال‬ ِ ْ ‫ ِوأَ ِق ْيم‬,‫ان‬


َ ‫ُوا ال َو ْز َن ِبال ِق ْس ِط و‬
ِ ‫ْز‬
َّ َ‫ أ‬,‫ان‬
َ ‫ال َت ْط َغ ْوا ِفي ال ِمي‬ َ ‫والس َما َء َر َف َع َها َو َو‬
َ ‫ض َع ال ِمي‬
َ ‫ْز‬ َّ
.‫ان‬ َ ‫تُ ْخ ِس ُروا ال ِمي‬
َ ‫ْز‬
Nampak dalam tiga surat yang berurutan diatas terdapat kata al-
mīzān disebut dengan sharih. Mengapa kata al-Mizan pada ayat ke-2 dan 3
disebut secara sharīh bukan di dlomīr kan? Menurut al-Karmani ketiga kata
tersebut berdiri sendiri, satu sama lain tidak saling berkaitan. Masing-masing
mempunyai makna yang terkandung yang berbeda dan tidak dimiliki kata
yang lainnya. Lebih lanjut Al-Karmani menyebut, yang dimaksud dengan al-
mīzān yang pertama adalah timbangan atau takaran dunia (mīzān ad-dunyā),
kedua timbangan akhirat (mīzān al-ākhirat) dan yang terakhir timbangan
akal (mīzān al-aql).21
Sedang menurut al-Khatib al-Iskafi, kata al-mīzān disebut tiga kali
tanpa di dlomirkan karena ketiga ayat itu tidak turun secara bersamaan,
ketiganya turun secara terpisah, karenanya haruslah menampakkan ketiga
kata al-mīzān.22
Al-Karmani, Asrar at-Takrar fi al-Qur’an, hlm. 198.
21

al-Iskafi, Durrat at-Tanzil wa……, hlm. 461.


22
226 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

2. Pengulangan redaksi tentang penciptaan manusia.


Dalam surat al-Rahman ini terdapat dua kali redaksi yang
membicarakan tentang penciptaan manusia dengan sangat singkat. Kedua
redaksi tersebut masing-masing mempunyai kedudukan tersendiri dalam
surat. Redaksi pertama terdapat pada ayat ke-3,
‫خلق اإلنسان‬
Artinya: Dia (Allah) menciptakan manusia.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa surat al-Rahman ini banyak
membicarakan tentang nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepada
manusia dan jin. Pada redaksi ini menyebut salah satu nikmat Allah yang
dianugerahkan kepada manusia. Penyebutan nikmat Allah mengenai
penciptaan manusia datang setelah nikmat pengajaran Al-Qur’an. Pada
redaksi pertama ini tidak disebutkan salah satu fase penciptaan manusia,
baik penciptaan Adam (produksi manusia) maupun anak cucu Adam
(reproduksi manusia). Oleh karenanya penyebutan redaksi di sini sangatlah
singkat kerena hanya memaparkan salah satu nikmat yang dianugrahkan
kepada manusia.
Redaksi kedua terletak pada ayat ke-14.
‫وخلق اإلنسان من صلصال كالفخار‬
Artinya: Dia (Allah) menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.
Redaksi kedua ini juga membahas tentang penciptaan manusia
pertama (Adam) secara singkat. Sebagaimana di jelaskan pada pembahasan
di atas tentang penciptaan Adam, di sana terdapat fase-fase yang dilalui
dan diproses sebelum manusia menjadi bentuknya yang rupawan. Pada
fase yang terdapat dalam redaksi surat al-Rahman ini merupakan fase ke-4
dalam penciptaan manusia (produksi manusia). Karena proses sebelum
manusia pertama diciptakan menjadi tanah kering (ṣalṣal), terlebih dahulu
manusia diciptakan dari bahan debu (turāb), lumpur atau tanah liat (ṭin),
lumpur hitam yang diberi bentuk (ḥama’ masnūn).

3. Pengulangan redaksi:
‫فبأي االء ربكما تكذبان‬
Artinya: Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Salah satu fenomena yang menarik dalam al-Qur’an adalah pola repitisi
ayat di atas yang terdapat dalam surat al-Rahman. Pola repitisi semacam ini
merupakan pola repitisi baru yang hanya terdapat dalam surat al-Rahman
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
227

dan al-Mursalat. Dalam al-Qur’an ayat di atas terulang sebanyak 31 kali


kesemuanya terdapat dalam surat al-Rahman, masing-masing terdapat
dalam ayat-ayat: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47,
49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75 dan 77.23
Jika di amat secara detail nampak bahwa keseluruhan ayat yang
berulang tersebut, jelas terlihat bahwa redaksinya sama persis, tak sedikit
pun mengalami perubahan. Melihat fenomena ini, mayoritas ulama’ tidak
mempersoalkan mengapa harus di ulang 31 kali? akan tetapi kebanyakan
dari ulama’ mempermasalahkan keberadaan masing-masing ayat tersebut.
Para ulama’ mencoba menginterpretasi terhadap penempatan ayat itu
dalam kelompok-kelompok berdasarkan konteksnya. Al-Iskafi berpendapat
bahwa dalam surat al-Rahman ayat-ayatnya terdiri atas lima kelompok, yaitu
kelompok 7, 1, 7, 8 dan 8. Kelompok 7 pertama membicarakan mengenai
keajaiban ciptaan Allah dan permulaan penciptaan makhluk manusia dan
jin. Kelompok ini berakhir pada ayat ke 28. Kemudian antara kelompok 7
yang pertama dengan kelompok yang kedua dibatasi oleh ayat ke-29 dan
30. Setelah itu ke kelompok 7 yang kedua. Kelompok ini berbicara tentang
nereka dan berbagai azab yang ditimpakan kepada penghuninya kelak,
sebagai tercantum dari ayat 31 sampai dengan ayat 45. Kemudian diikuti oleh
kelompok 8 dan 8, secara berurutan. Kedua kelompok ini menggambarkan
surga dan kenikmatannya serta kebahagiaan hidup yang akan dinikmati oleh
penghuninya.24
Penjelasan yang detail mengenai pengelompokan itu juga dikemukakan
oleh al-Iskafi, misalkan, kelompok pertama ditetapkannya 7 sebab tujuh ayat
pertama merupakan induk nikmat (ummahāt an-ni’am), seperti pengajaran
al-Qur’an, penciptaan manusia, langit, bumi dan planet-planet. Kelompok
kedua juga 7 sesuai dengan jumlah pintu nereka jahannam. Di antara dua
kelompok itu dibatasi oleh salah satu ayat dari tiga ayat yang ditujukan
kepada semua makhluk Allah termasuk malaikat sebagaimana terlihat di
dalam ayat 29. Firman Allah:
.‫يسأله من في السموات واألرض كل يوم هو في شأن‬
Artinya: Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan .

23
Lihat Husain Muhammad Fahmi, Ad-Dalil al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim,
(Kairo: Dar as-Salam, Cet. II, 2002).
. 464.
24
228 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Sebelum membicarakan adzab, ditempatkan pula redaksi yang


berulang tersebut satu kali. Inilah yang dinamakan kelompok satu oleh al-
Iskafi. Sedang al-Karmani dan al-Alusi pengelompokan ayat itu menjadi 8,
7, 8 dan 8. Menurut al-Karmani, kelompok 7 yang pertama dan kelompok 1
yang disebut oleh al-Iskafi digabungkan menjadi kelompok 8. Kelompok 8
pertama ini menurut al-Karmani memuat keajaiban dan keindahan ciptaan
Allah.25
Kalau diperhatikan, secara umum surat al-Rahman ini menggambarkan
nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Namun timbul pertanyaan, apakah
dapat dianggap suatu nikmat pernyataan Allah di dalam ayat ke-35:
.‫يرسل عليكما شواظ من نار ونحاس فال تننصران‬
Artinya: Kepada kamu, (Jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan
tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri .
Ayat di atas juga serupa dengan penegasan ayat ke-43-44:
.‫ يطوفون بينها وبين حميم ءان‬,‫هذه جهنم التي يكذب بها المجرمون‬
Artinya: Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang berdosa.
(43) Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air mendidih
yang memuncak panasnya. (44).

Benar, ketiga ayat tersebut memang secara eksplisit tidak
membicarakan nikmat Allah, akan tetapi memberikan peringatan kepada
umat manusia agar mereka tidak terjerumus ke dalam lubang neraka yang
amat menyeramkan itu. Bukankah peringatan keras semacam itu merupakan
anugerah Allah yang terbesar yang tak ternilai harganya, karena dengan
mengindahkan peringatan tersebut mereka akan terhindar dari siksaan
dan akan mendatangkan pahala? Oleh karenanya, redaksi ayat ‫فبأي االء ربكما‬
‫ تكذبان‬juga relevan disandingkan dengan kata jahannam dan adzab, kerena
terhindar dari keduanya juga merupakan nikmat.26
Lantas mengapa setiap nikmat yang diberikan kepada manusia
dan jin dalam surat ini disanggah dengan menyebutkan pertanyaan yang
menginkari (istifham inkari) “Maka ni›mat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?” sebanyak 31 kali?. Adalah merupakan tabiaat manusia
membantah dan mengingkari, dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia
merupakan makhluk yang paling banyak membantah (QS. 18: 54). Al-
25
Lihat al-Karmani, Asrār at-Takrār fi al-Qur’ān, hlm. 198. Lihat juga al-Alusi, Rūh al-
Ma’ānī, jld. 15, hlm. 195.
26
Ibnu Qutaibah, Ta’wīl Musyki al-Qur’ān, hlm. 239.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
229

Qur’an juga menyebut manusia sebagai makhluk yang sangat dhalim dan
mengingkari (QS. 14: 34). Sedangkan al-Qur’an menggambarkan jin juga
sebagai makhluk yang pembangkang (QS. 7: 10 dan Shaq 76).
Dari keterangan di atas pantaslah jika lawan bicara (khiṭāb) dari ayat-
ayat yang diulang ini ditujukan kepada kedua makhluq (manusia dan jin)
tersebut. Sebab, walaupun Allah telah menganugerahkan berbagai macam
nikmat masih saja banyak dari mereka mendustakannya. Pendustaan tidak
hanya terbatas penolakan pada rasa syukur atas nikmat Allah saja, namun
bahkan banyak juga yang mengingkari keberadaan-Nya.
Kalau dianalisa menurut asal perkata dari repitisi redaksi di atas
didapatkan bahwa fā’ merupakan fā’ fashihah, yaitu fā’ yang menyimpan
syarat, taqdirnya iẓa kāna al-amru kamā fas}ala (jika keadaannya seperti
itu atau merupakan gambaran dari ayat sebelumnya). ‫فبأي اآلء ربكما تكذبان‬
(Maka ni›mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?). Sedangkan
mendahulukan jar majrur dalam konteks ini menurut ulama’ balaghah
berfungi untuk mempercepat keingkaran orang-orang yang mendustakan
nikmat-nikmat Allah.
Repitisi redaksi ini tentu ada rahasia dibaliknya, rahasia itu adalah
rasa independensi setiap nikmat sebelum dan sesudah ayat yang disebut.
Inilah yang menjadikan adanya repitisi ayat yang terdapat dalam surat al-
Rahman ini. Sebab banyak sekali al-Qur’an membicarakan nikmat-nikmat
dalam berbagai surat namun tanpa ada repitisi di dalamnya. Seperti dalam
surat Ibrahim ayat 32-34 di sana disebutkan nikmat-nikmat Allah seperti
yang terdapat dalam surat al-Rahman, yaitu mengenai penciptaan langit dan
bumi dan sebagainya. Juga dalam surat an-Nahl ayat ke 15-17 disebutkan
juga tentang induk dari segala nikmat. Namun nikmat-nikmat yang dimuat
dalam kedua surat tersebut tidak terdapat ayat-ayat yang diulang sebagai
pemisah.
Perbedaan antara al-Rahman dengan surat-surat lain yang memuat
di dalamnya ayat-ayat tentang nikmat Allah adalah bahwa dalam surat al-
Rahman semua ayatnya mulai dari pertama sampai akhir membicarakan
nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan bukan saja kepada manusia, akan
tetapi juga dilimpahkan pada jin. Sedangkan surat lain yang memuat nikmat
Allah di dalamnya, pemuatan itu hanya sebatas pada sub pembahasan
dalam suatu surat saja. Oleh karena semua ayatnya memuat nikmat-nikmat
maka pola seperti ini sebagaimana pola yang diterapkan dalam syi’ir orang
terdapat suatu pemisah yang diulang.
230 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Karena nampak dalam fenomena pengungalan redaksi ayat ‫فبأي االء‬


‫ ربكما تكذبان‬dalam surat al-Rahman, setiap ayat yang diulang merupakan
pemisah dan berkaitan dengan ayat sebelumnya. Bentuk-bentuk repetisi
redaksi semacam ini juga lazim digunakan orang Arab pada syair-syair
mereka. Seperti perkataan Muhalhil ketika ia meratapi saudaranya, Kalib:
‫ على أن ليس عدال من كليب‬ ‫إذا ما ضير جيران المجير‬
‫ على أن ليس عدال من كليب‬ ‫إذاخرجت مخبأة الخدور‬
‫ على أن ليس عدال من كليب‬ ‫إذاخيف المخوف من الثغور‬
‫ على أن ليس عدال من كليب‬ 27
‫إذا ما خار جأش المستجير‬
Tak ada yang sebanding dengan Kalib
Manakala tetangga-tetangga orang yang gemar menolong itu teraniaya.
Tak ada yang sebanding dengan Kalib
Manakala wanita pingitan keluar rumah.
Tak ada yang sebanding dengan Kalib
Manakala orang ngeri terhadap benteng-benteng yang menakutkan.
Tak ada yang sebanding dengan Kalib
Manakala nyali orang yang meminta tolong menjadi kecut.

Apakah pengulangan redaksi yang terdapat dalam surat al-Rahman


ini berfungsi sebagai ta’kid? Menurut al-Alusi, pengulangan yang berjumlah
sebanyak itu bukan untuk ta’kid (memperkuat makna kalimat) tapi untuk
taqriri (penetapan kandungan makna). Jika pengulangan semacam itu
dimaksudkan untuk ta’kid, demikan al-Alusi, tentu pengulangannya tak
lebih dari tiga kali karena ta’kid hanya sebanyak tiga kali tu, tegasnya;
seraya merujuk pendapat Ibn ‘Abs as-Salam, dan lain-lain. Oleh karena itu,
pengulangan tersebut diperlukan karena masing-masing redaksi tergantung
kepada ungkapan sebelumnya yang berjumlah sebanyak 31 pula.28

D. Simpulan
Fenomena unik dalam al-Qur’an adalah Pengulangan ayat. Pengulangan
ini erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan (ta’kīd), sebab
pegasan merupakan faktor-faktor yang mendukung bersemayamnya pikiran
dalam jiwa masyarakat dan tetapnya dalam hati mereka. Nilai penetapan
adalah dengan selalu mengadakan pelafalan dengan mengulang-ulang
secara kontinyu. Ketika sesuatu itu diulangi secara terus menerus, maka
akan menacap dalam benak, dan akan dapat diterima lapang.
27
Al-Alusi, Rūh al-Ma’āni, jld. 15, hlm. 150.
28
Ibid, 150.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
231

Di antara sekian surat dalam al-Qur’an dalam di dalamnya terdapat


pengulangan adalah surat al-Rahman. Dalam surat al-Rahman setidaknya
ada tipe pengulangan; pertama, pengulangan kata al-mīzān sebanyak dua
kali. Kedua, pengulangan kalimat tentang penciptaan manusia. Ketiga,
pengulangan ayat al-Qur’an dengan redaksi sama sebanyak 31 ayat. Adanya
pengungalan redaksi ayat ‫ فبأي االء ربكما تكذبان‬dalam surat al-Rahman,
merupakan bentuk pemisah dari adanya nikmat-nikmat Allah yang diberikan
kepada manusia yang tertuang dalam surat tersebut. Setiap ayat yang diulang
merupakan pemisah dan berkaitan dengan ayat sebelumnya.
232 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an,


terj. Nur Fauzin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001)
Sayyid Aqil Husin al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan
Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994).
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang beredaksi Mirip dalam
Al-Qur’an, (Pekan Baru: Fajarr Harapan, 1993).
Al-Fairuzabadi, al-Qamūs al-Muhiṭ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jld. VI
Az-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Kairo, Maktabah Isa al-Halabi,
tth), Jld, III.
al-Khaṭib al-Iskafi, Durrat at-Tanzīl wa Ghurrat at-Ta’wil; Fi Bayāni al-Ayat
al-Mutasyābihat fi Kitābillah al-Azīz, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1973).
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jld.III,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
Ahmad Ahmad Badawi, Min Balagah al-Qur’an, (Kairo: Dar Nahdlah Misr li
ath-Thab’ wa an-Nasyr, tth.).
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 27, hlm. al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, jld. 15,.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Percetakan
Raja Fahd, tth).
Mahmud bin Hamzah Al-Karmani, Asrār at-Takrār fī al-Qur’an, (Kairo: Dar
al-I’tisham, tth).
Husain Muhammad Fahmi, Al-Dalīl al-Mufahras li alfaz| al-Qur’an al-Karim,
(Kairo: Dar as-Salam, Cet. II, 2002).
Ibnu Qutaibah, Ta’wil Musyki al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Turats, 1973).
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
233

PEMIKIRAN POLITIK DALAM TAFSIR FATH AL-QADIR


Pembacaan atas Konsep Ketatanegaraan dalam al-Quran yang
Ditulis al-Shawkany

Oleh: Yusuf Hanafi


(Dosen Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang)

Abstract

In the locus of political life of the state, a phenomenon captured


the awkwardness of Muslims to solve fundamental problems,
such as how to find the right relationship between Islam and
politics, how to position of Islamic law in the context of a modern
democratic state, and how Islamic law should be understood
and practiced. This awkwardness then implies the birth of
various types of political experimentation. Among mufassirun
also there is a tendency to speak in the political field. Then how
the constitutional ideals in the Qur’an?

Keywords: Islam and politics, Islamic law, constitutional ideals


in the Qur’an

A. Pendahuluan
Terdapat konsensus di sebagian kalangan umat Islam bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat
politik Madinah yang dibangunnya haruslah dijadikan referensi utama.
Telah dipahami pula bahwa Muhammad SAW bukan hanya pemimpin agama
melainkan juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan
itu telah bersatu-padu. Jika legalitas kepemimpinan agamanya diperoleh
dari Allah SWT, maka legitimasi kepemimpinan politiknya didapat dari
234 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

masyarakat pendukungnya.1 Tak salah jika kemudian muncul jargon al-Islam


din wa siyasah (Islam merupakan agama sekaligus berdimensi politik).2
Pada perkembangannya, topik ini menjelma menjadi salah satu
diskursus yang kontroversial dan seolah menjadi “beban sejarah” yang sampai
detik ini belum tuntas. Timbulnya kontroversi tersebut tidak lepas dari
watak ajaran Islam yang sangat elastis dan interpretatif. Harus diakui bahwa
umat Islam tidak memiliki konsep ketatanegaraan yang jelas dan kongkret.
Masalah inilah yang pada akhirnya menimbulkan penafsiran beragam, baik
terhadap nas sendiri maupun terhadap praktik politiknya. Politik Islam tidak
bisa dilepaskan dari fenomena sejarah yang polyinterpretable semacam ini.
Pada satu sisi, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya penerapan
prinsip-prinsip Islam dalam seluruh segmen kehidupan. Sementara pada
saat yang sama, karena sifat Islam yang polyinterpretable itu, tidak pernah
ada pandangan tunggal mengenai bagaimana Islam dan politik itu mesti
dikaitkan secara tepat.3
Dalam lokus kehidupan politik kenegaraan, tertangkap fenomena
kecanggungan umat Islam untuk memecahkan persoalan-persoalan
fundamental, seperti bagaimana mencari kaitan yang pas antara Islam
dan politik; bagaimana memposisikan syariat Islam dalam konteks negara

1
Abd Moqsith Ghazali, “Menolak Islam Politik” dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 12 (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002),
174.
2
Untuk melengkapi argumen di atas, berikut kutipan statement afirmatif dari
sejumlah orientalis yang mengiyakan relasi Islam dan politik. Dr. V. Fitzgerald dalam
“Muhammedan Law” berkata, “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga
merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan
modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam
dibangun di atas pondasi bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang
tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain.” Prof. C. A. Nallino seperti dikutip oleh Sir. T.
Arnold dalam bukunya “The Caliphate” berkata, “Muhammad telah membangun dalam waktu
bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia
bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya.” Dr. Schacht mengemukakan dalam Encyclopedia
of Social Sciences, “Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem
peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan.” Prof. Gibb
menyatakan dalam “Muhammedanism”, “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan
masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang-undangan dan institusi.” Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din Ra’is, Teori Politik Islam
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 5 – 6.
3
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 11.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
235

modern demokratis; dan bagaimana syariat Islam itu mesti dipahami dan
dipraktikkan. Kecanggungan-kecanggungan ini kemudian berimplikasi
pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi politik. Secara kategorial, para
pemikir Muslim terfragmentasi ke dalam tiga kelompok.4 Kelompok pertama
dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui pranata negara, misalnya dalam bentuk
perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Masuk dalam
kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rashid Rida, Hasan al-
Banna, Abu al-A’la al-Mawdudy, dan Rashid al-Gannushy.5
Kelompok berikutnya memandang bahwa hubungan agama dengan
masalah politik-kenegaraan adalah persoalan etika (moral). Islam tidak
menginginkan pemisahan agama dari politik karena agama diperlukan
untuk memperbaiki dan memperhalus politik, serta membimbing para
pemimpin menuju kemaslahatan warga. Kelompok ini menganggap bahwa
negara Madinah adalah model negara demokratis yang genuine, dan Nabi
Muhammad adalah seorang demokrat yang sejati dan otentik. Tokoh-tokoh
yang berhaluan seperti ini, antara: Ahmad Amin, Muhammad Husayn
Haykal, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Nurcholish Madjid, Amin Rais,
dan Jalaluddin Rahmat.6 Kelompok ketiga menolak penerapan syariat dan
4
Kategorisasi ini tidak dimaksudkan untuk membuat kotak-kotak yang ketat, tetapi
hanya sekadar upaya untuk memahaminya dalam konteks sosiologi pemikiran masing-
masing. Periksa M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran
Keislaman Timur Tengah” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
ed. M. Aunul Abied Shah et. al. (Bandung: Mizan, 2001), 38.
5
Nama-nama yang masuk dalam kelompok ini meski memiliki visi pemikiran yang
searah, namun tidak berarti identik dalam seluruh produk pemikiran partikularnya. Sebagai
contoh, ‘Abduh dan Rida yang sama-sama mengusung frase, din wa shar‘, serta mengakui
perlunya kepemimpinan dan kekuasaan politik karena manusia memiliki kecenderungan
negatif untuk mengabaikan ajaran agama apabila tidak ditopang dengan otoritas dan
kepemimpinan, menekankan pentingnya legislasi (pembuatan hukum) oleh manusia dan
perlunya pengembangan mekanisme yang menopangnya. Hasan al-Banna, meski juga
menekankan keharusan membentuk pemerintahan Islam, namun ia tidak menekankan
dinamisme hukum dan tugas legislasi dalam pemerintahan dan negara Islam, karena syariat
dipandangnya sebagai sistem hukum yang sudah lengkap dan terperinci. Lain halnya dengan
Rashid al-Gannushy yang berpandangan bahwa pembentukan negara Islam merupakan tujuan
jangka panjang. Sebelum tujuan jangka panjang tercapai, umat Islam dapat berpartisipasi
dalam suatu pemerintahan bukan Islam dalam rangka membangun sistem pemerintahan
pluralis yang memberikan kekuasaan pada partai mayoritas. Aliansi seperti ini perlu untuk
meredam agresi penguasa dan menghindari kediktatoran. Dalam hal ini, partisipasi dalam
aliansi politik adalah prasyarat yang termasuk kategori kewajiban keagamaan dalam rangka
transisi menuju pemerintahan Islam yang demokratis. Lihat elaborasi selengkapnya dalam
“Entri Islam dan Negara”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), 65.
6
Abd Moqsith, “Menolak Politik Islam”, 175.
236 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

pembentukan negara Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama, bukan negara
(al-Islam din la dawlah). Lebih lanjut, mereka menampik idealisasi politik
Nabi di Madinah. Para pemikir yang berada dalam spektrum pemikiran
ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Qamaruddin Khan, Muhammad Ahmad
Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid.7
Di kalangan mufassirun juga terdapat kecenderungan untuk berbicara
dalam lapangan politik. Ibn Jarir al-Tabary (wafat 310 H) dalam Tafsir al-
Thabary misalnya banyak berbicara tentang kepala negara dalam kaitannya
dengan kesejahteraan rakyat.8 Mufassir lain adalah Abu Qasim Muhammad
ibn ‘Umar al-Zamakhshary (467 – 538 H/1027 – 1144 M) dalam Tafsir al-
Kashshaf. Dia banyak menguraikan tentang negara moral dalam kaitannya
dengan eksistensi imamah dalam menolak kezaliman.9 Selanjutnya adalah
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurtuby (wafat 671 H) dalam
Tafsir al-Qurthuby yang banyak berbicara tentang imamah dalam konteks
hukum fiqh.10 Berikutnya Abu Fida Ismail ibn Kathir al-Dimashqy (wafat 774
H) dalam Tafsir Ibn Kathir yang banyak mengupas tentang konsep imamah
dengan argumentasi rasional.11
Salah seorang mufassir yang juga berbicara tentang pemikiran politik

7
Qamaruddin Khan (cendekiawan Pakistan, lulusan Universitas Aligarh)
berpandangan bahwa tidak ada teori tentang negara di dalam al-Quran. Nabi Muhammad
SAW memang menegakkan “rezim politik”, tetapi hal itu merupakan peristiwa insidental yang
terkait dengan situasi kesejarahan, bukan tujuan asasi misi kerasulannya. Pendapat senada
dilontarkan oleh Muhammad Ahmad Khalfallah yang berpendapat bahwa Islam adalah agama,
bukan negara (al-Islam din la dawlah). Maksudnya, asas pembentukan negara ialah keharusan
yang bersumber dari kehidupan sosial yang pengelolaannya diserahkan oleh agama kepada
masyarakat, bukan teks Ilahi yang diturunkan dalam al-Quran. Penolakan terhadap gagasan
negara Islam, atau Islam sebagai agama dan negara juga diberikan Faraj Faudah, pengkritik
pedas penerapan syariat di Mesir. Faudah menganut prinsip pemisahan politik dari agama,
antara negara dan Islam. Bahkan, dalam pandangannya, pembedaan ini perlu dilakukan demi
kebaikan agama dan negara (pemerintahan). Agama terhindar dari manipulasi politik, dan
pemerintahan terlaksana tanpa beban yang bersumber dari partikularisme keagamaan. Baca
uraian selengkapnya Qamaruddin Khan, Political Concept in The Qur’an (Lahore: Islamic Book
Foundation, 1982), 75-76. Bandingkan dengan Muhammad Ahmad Khalfallah, al-Qur’an wa
al-Dawlah (Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1973).
8
Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabary, Tafsir al-Thabary (Beirut: Dar al-
Fikr, 1978), 97.
9
Lihat Abu Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhshary, Tafsir al-Kashshaf
Juz III (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, tt.), 372.
10
Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
11
Lihat Abu Fida Ismail ibn Kathir al-Dimashqy, Tafsir Ibn Kathir Juz IV (Mesir: Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.), 32.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
237

Islam adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Shawkany.12
Lebih jauh, pemikiran politik al-Shawkany dalam Tafsir Fath al-Qadir telah
diteliti oleh Ahmad Fahmy Arief dalam disertasi yang ditulisnya tahun 1997
untuk menyelesaikan Program Doktor dalam Ilmu Agama Islam di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul “Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir”.13 Adapun makalah ini
ditulis dengan tujuan untuk me-review disertasi Arief tersebut.
Sebelum melakukan elaborasi lebih jauh, perlu dipertegas terlebih
dahulu bahwa istilah pemikiran politik yang dimaksudkan Arief dalam
penelitian ini ialah gagasan-gagasan tentang ketatanegaraan.14 Gagasan-
gagasan tentang ketatanegaraan ini dibatasi pada konsep kepemimpinan
dan musyawarah, konsep hak warganegara untuk memperoleh keadilan, dan
konsep hak warganegara untuk hidup berserikat dan berkumpul. Penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sehubungan dengan
sumber data penelitian ini adalah ayat-ayat al-Quran dan berfokus pada
sebuah tema, maka penelitian ini termasuk kajian tafsir dengan pendekatan
tafsir tematis (tafsir mawdhu’iy). Sedangkan pendekatan dan analisis yang
digunakan dalam penelitian ini pendekatan dan analisis semantik.

B. Sketsa Biografis dari al-Imam al-Shawkany


Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd Allah
al-Shawkany al-Shan’any. Beliau lahir di desa Hijrah Shawkan, Yaman pada
hari Senin, 28 Dhulqa’dah 1172 H dan wafat pada hari Selasa, 27 Jumada
al-Akhir 1250 H di usia sekitar 78 tahun.15 Al-Shawkany dibesarkan di kota
San’a, sekarang ibukota Republik Yaman. Beliau pertama-tama menimba
ilmu agama dari ayahandanya sendiri, kemudian dari para ulama kenamaan

12
Lihat Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Shawkany, Tafsir Fath al-Qadir (Mesir: Dar
al-Fikr, 1973).
13
Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir (Disertasi, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997).
14
Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik yang berkenaan dengan
kekuasaan dan susunan masyarakat, serta pengertian politik yang berkenaan dengan
kekuasaan dan konsep negara. Sebagaimana dimaklumi bahwa di dalam ilmu politik terdapat
beberapa konsep di mana konsep kekuasaan dan konsep negara merupakan dua konsep yang
terpenting. Lihat Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik (Jakarta: Rajawali, 1983), 189.
Periksa pula A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), 9.
15
Al-Shawkany, Tafsir Fath al-Qadir Juz I, 4-8.
238 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

di San’a dan sekitarnya.16 Selanjutnya beliau aktif mengajarkan ilmunya. Di


antara sekian banyak muridnya tercatat nama anaknya sendiri yang bernama
‘Ali ibn Muhammad al-Shawkany. Puteranya yang masih belia ini dikenal
sebagai anak yang saleh dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.17
Karena keluasan ilmu pengetahuan dan kedalaman wawasannya, al-
Syawkani pada zamannya dijuluki sebagai lautan ilmu yang tidak bertepi
(bahr al-‘ulum), matahari pengetahuan (shams al-fuhum), Shaikh al-Islam,
Qadhy al-Qudhat, dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai ulama yang
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti tafsir, hadis,
fikih, ushul fikih, sejarah, ilmu kalam, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain
sebagainya. Al-Shawkany tidak hanya mengamalkan ilmu-ilmunya dengan
cara mengajar, namun juga dituangkannya dalam berbagai karya tulis.
Tercatat sebanyak 18 buah karya tulisnya yang diterbitkan dalam bentuk
buku dan 146 buah karya tulisnya yang lain dalam wujud manuskrip. Karya-
karya tulis utama dari al-Shawkany, antara lain: kitab Tafsir Fath al-Qadir,
kitab Nayl al-Afthar, kitab Tuhfat al-Dhakirin, dan masih banyak lagi yang
lain.18 Hampir semua karya tulis al-Shawkany diselesaikan sebelum usia 36
tahun. Produktivitasnya mulai berkurang sejak dia diangkat sebagai hakim
16
Di antara ulama tersebut adalah al-Sayyid al-‘Allamah ‘Abd al-Rahman ibn Qasim
al-Madani, al-‘Allamah Ahmad ibn ‘Amir al-Hada’i, al-‘Allamah Ahmad ibn Ahmad al-Harazi,
al-Sayyid al-‘Allamah Isma’il ibn al-Hasan ibn Ahmad ibn al-Hasan ibn Imam al-Qasim ibn
Yahya al-Khawlani, al-Sayyid al-‘Allamah Abd Allah ibn al-Husayn ibn ‘Ali ibn al-Imam al-
Mutawakkil ‘Ala Allah, al-‘Allamah al-Hasan ibn Isma’il al-Maghribi, al-Sayyid al-Imam ‘Abd
al-Qadir ibn Ahmad, al-‘Allamah Hadi ibn Husayn al-Qarini, al-‘Allamah ‘Abd al-Rahman Hasan
al-Akwa’, al-Sayyid al-‘Allamah ‘Ali ibn Ibrahim ibn Ahmad ibn ‘Amir, al-Sayyid al-‘Arif Yahya
ibn Muhammad al-Hautsi dan masih banyak yang lain. Lihat ibid.
17
Muridnya yang lain adalah al-‘Allamah Husayn ibn Muhsin al-Sab’i al-Anshari al-
Yamini, Muhammad ibn Hasan al-Syajani al-Zimari, al-‘Allamah al-Syaikh ‘Abd al-Haqq ibn
Fadhal al-Hindi, al-Sharif al-Imam Muhammad ibn Nashir al-Hazimi dan masih banyak lagi
yang lain. Lihat ibid.
18
Karya-karya tulisnya yang lain adalah kitab Irshad al-Siqat ila Ittifaq al-Shara‘i ‘ala
al-Tawhid wa al-Ma’ad wa al-Nubuwwah, kitab al-Thawd al-Munif fi al-Intishaf li al-Sa’d min al-
Sharif, kitab Thayyib al-Nashr fi al-Masa’il al-‘Ashr, kitab Fi Ikhtilaf al-‘Ulama’ fi Taqdir Muddat
al-Nifas, kitab Fi Hadd al-Safar alladhi Yajibu ma’ahu Qashr al-Shalat, kitab al-Mukammilah fi
al-Basmalah, kitab Fi Anna al-Thalaq la Yatba’u al-Thalaq, kitab Fi Ibthal Da’wah al-Ijma’ ‘ala
Tahrim al-Sama’, kitab Bughyah fi Mas’alah al-Ru’yah, kitab Irshad al-Ghaby ila Madhab Ahl al-
Bayt fi Shahb al-Naby, kitab Irshad al-Mustafid ila Daf’i Kalam ibn Daqiq al-‘Id fi al-Ittilaq wa
al-Taqyid, kitab al-Dawa’ al-‘Ajil li Daf’i al-‘Aduw al-Sa’il, kitab ‘Ajibah fi Raf’i al-Mazalim wa al-
Ma‘asim, kitab al-Durr al-Nadid fi Ikhlas Kalimah al-Tawhid, kitab Fi Wujub Tawhid Allah ‘Azza
wa Jalla, kitab al-Maqalah al-Fakhirah, kitab Nuzlah al-Ahdaq fi ‘Ilm al-Istiqaq, kitab Raf’ al-
Raybah fi ma Yajuzu wa ma la Yajuzu min al-Ghibah, kitab Kashf al-Astar ‘an Hukm al-Shaf’ah bi
al-Jiwar, kitab Washiyyu al-Marqum fi Tahrim al-Tahalli bi al-Dhahab li al-Rijal ‘ala al-‘Umum,
kitab Fi Hukm al-Tas’ir, kitab Nashr al-Jawhar fi Sharh Hadith Abi al-Dhar, kitab Tanbih al-
Amthal ‘ala Jawaz al-Isti’anah min Khalish al-Mal, dan lain sebagainya. Lihad ibid.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
239

di San’a pada masa pemerintahan al-Imam al-Manshur ‘Ali ibn ‘Abbas (1775
– 1809 M). Pada masa pemerintahan al-Mahdi ‘Abd Allah (1815 – 1835 M),
al-Shawkany menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar
Negeri.19
Kitab Tafsir Fath al-Qadir yang akan ditelaah ini terdiri dari lima jilid.
Kitab ini memiliki dua keistimewaan. Pertama, uraiannya menggabungkan
antara metode riwayah dan metode dirayah. Diidentifikasi riwayah, karena
tafsir ini menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasul SAW, dan
pendapat para sahabat dalam menjelaskan isi kandungan ayat-ayat al-
Quran. Diidentifikasi dirayah, karena tafsir ini menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan dalam menganalisis ayat-ayat al-Quran.20
Keistimewaan keduanya ialah, kitab ini ditulis oleh seorang ulama
Shi‘ah Zaydiyyah, yaitu al-Imam al-Shawkany. Sekte ini disebut dengan Shi‘ah
Zaydiyyah karena pengikut sekte ini berpegang teguh kepada ajaran-ajaran
yang dikembangkan oleh al-Imam Zaid ibn ‘Ali ibn Husayn ibn ‘Ali ibn ‘Abi
Thalib.21 Di antara ajaran sekte ini adalah imam afdhal. Menurut pengikut
sekte ini, ‘Ali ibn Abi thalib lebih afdhal (utama) daripada Abu Bakr al-
Shiddiq. Namun demikian dalam teologi sekte Zaydiyyah tetap mengakui
kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khattab, dan ‘Usman ibn
‘Affan. Tetapi yang lebih afdhal adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, sedangkan tiga
khalifah pendahulunya disebut oleh mereka dengan imam mafdhul.22

C. Pemetaan Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir


Masalah pokok penelitian ini ialah bagaimana pemikiran politik
dalam kitab Tafsir Fath al-Qadir. Untuk memperoleh jawaban yang jelas dari
masalah pokok di atas, maka sub-sub masalah dipetakan sebagai berikut:
bagaimana konsep kepemimpinan dan musyawarah menurut kitab Tafsir
Fath al-Qadir; bagaimana hak warganegara untuk memperoleh keadilan
menurut kitab Tafsir Fath al-Qadir; dan bagaimana konsep hak warganegara
untuk hidup berserikat dan berkumpul menurut kitab Tafsir Fath al-Qadir.

19
Lihat ibid.
20
Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Mesir: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1976), 152.
Ali Musthafa al-Ghuraby, al-Firaq al-Islamiyyah wa Nash’ah ‘Ilm al-Kalam ‘inda al-
21

Muslimin (Mesir: Muhammad ‘Ali Shahib, tt.), 289.


22
Ahmad al-Shahrastany, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: al-Ma’arif, t.t.), 154.
240 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

1. Tafsir Ayat-ayat al-Quran yang Berkaitan dengan Kepemimpinan


dan Musyawarah menurut Kitab Tafsir Fath al-Qadir
Sebelumnya perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud
dengan terma pemimpin di sini adalah pemegang kendali kekuasaan dalam
kaitannya dengan kenegaraan. Adapun yang dimaksud dengan terma
musyawarah di sini ialah proses bertukar pendapat untuk memperoleh
kebenaran.23 Secara terinci dalam sub pembahasan ini akan diuraikan
konsep pemikiran politik al-Shawkany tentang kepemimpinan dan
musyawarah, syarat-syarat seorang pemimpin, loyalitas rakyat kepada
pemimpin, kewajiban pemimpin untuk melindungi hak-hak rakyat serta etik
musyawarah dalam Islam.
Menurut al-Shawkany, al-Quran menggunakan terma khalifah,24 ulu
al-amri,25 imam dan malik untuk pengertian pemimpin.26 Terma khalifah
secara umum berarti pengganti kedudukan kepemimpinan Nabi,27 secara
khusus berarti kepala pemerintahan umat Islam.28 Terma ulu al-amri
diartikan sebagai institusi kepemimpinan yang terdiri dari para imam,
sulthan, hakim dan tokoh-tokoh pemegang kekuasaan berdasarkan syariat
Islam.29 Terma imam diartikan sebagai pemimpin umat Islam yang dapat
diteladani dan dijadikan sebagai contoh kehidupan duniawi dan ukhrawi.30
Terma malik diartikan sebagai orang yang memiliki wewenang untuk
mengatur pemerintahan. Kewenangan itu diperolehnya melalui suksesi
turun temurun.31
Menurut al-Shawkany, syarat-syarat seseorang untuk menjadi
pemimpin menurut al-Quran ialah yang bersangkutan harus benar-benar
beriman kepada Allah SWT dan dibuktikan dengan sepak terjang sehari-
hari, memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berbadan sehat. Orang

23
Abdul Mun’im Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), 231.
Kata khalifah dalam al-Quran ditemukan di 6 tempat: Q.S. 2:30; 39:26; 6:165; 10:73;
24

27;62; dan 58:7.


25
Kata ulu al-amri ditemukan di 2 tempat: Q.S. 4:59 dan 4:83.
26
Adapun kata imam ditemukan dalam Q.S. 2:124, sedangkan kata malik dalam Q.S.
2:247.
27
Arief, Pemikiran Politik, 78.
28
Ibid., 78.
29
Ibid., 89 – 92.
30
Ibid., 92 – 93.
31
Ibid., 93 – 94.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
241

kafir dan munafiq tidak dibenarkan tampil sebagai pemimpin umat Islam.32
Pada dasarnya seorang pemimpin itu harus ditaati oleh rakyatnya. Tetapi
ketaatan kepada seorang pemimpin tidak berlaku, apabila pemimpin yang
bersangkutan berbuat melampaui batas, yaitu berlaku syirik kepada Allah
SWT.
Seorang pemimpin, menurut al-Shawkany, wajib melindungi
kepentingan rakyat, terutama yang menyangkut lima kepentingan pokok
(mabadi’ khamsah)-nya. Kelima kepentingan itu ialah: agama, jiwa, keturunan,
harta dan akal. Rakyat berhak menuntut perlindungan menyeluruh atas lima
kepentingan pokok tersebut kepada pemimpin.33
Terma mushawarah oleh al-Shawkany diartikan saling memberi dan
saling mengambil pendapat dalam suatu pertemuan. Dalam proses bertukar
pendapat itu, akan diperoleh mutiara-mutiara berharga dan pikiran-pikiran
cemerlang yang mungkin tidak didapatkan dalam berfikir sendirian. Unsur-
unsur etika yang harus diperhatikan dalam mushawarah ialah menghargai
pimpinan mushawarah dan menghargai pendapat orang lain. Setiap anggota
mushawarah harus meminta izin kepada pimpinan mushawarah untuk
berbicara dan untuk keperluan lainnya. Setiap anggota mushawarah harus
menghargai pendapat orang lain, terlepas dari bagus-tidaknya pendapat
tersebut.34
Menurut al-Shawkany, pimpinan mushawarah mempunyai
kewenangan untuk mengatur jalannya mushawarah. Keputusan untuk
memberi izin kepada anggota mushawarah yang mempunyai keuzuran
untuk meninggalkan mushawarah, atau memperkenankan atau menolak
permohonan anggota mushawarah untuk angkat bicara, tergantung pada
situasi dan kondisi. Materi-materi yang dimusyawarahkan, menurut al-
Shawkany, meliputi masalah-masalah umum yang menyangkut perang dan
damai, yang menyangkut kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak,
dan lain sebagainya yang tidak diatur oleh wahyu dan sunnah Rasul Allah
SAW. Adapun masalah-masalah yang sudah jelas petunjuknya dalam wahyu
dan sunnah Rasul Allah SAW, tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

32
Ibid., 78.
33
Ibid., 88.
34
Ibid., 97 – 103.
242 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

2. Tafsir Ayat-ayat al-Quran yang Berkaitan dengan Hak Warga Negara


untuk Memperoleh Keadilan menurut kitab Tafsir Fath al-Qadir
Al-Quran menggunakan terma al-‘adl dan al-qisth untuk pengertian
keadilan. Menurut al-Shawkany, terma al-‘adl diartikan sebagai keadilan
distributif, yaitu suatu pandangan yang menitikberatkan kepada persamaan,
tidak berat sebelah, dan tetap berada di tengah-tengah.35 Adapun terma al-
qisth diartikan sebagai keadilan proporsional, yaitu suatu pandangan yang
menitikberatkan kepada penempatan sesuatu sesuai dengan proporsinya
dan pemenuhan hak seseorang sesuai dengan proporsinya.36
Menurut al-Shawkany, keadilan ilahiyah ialah suatu pandangan
yang menitikberatkan kepada loyalitas manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT kepada Yang Maha Kuasa. Pada sisi ini keadilan identik dengan
penyerahan diri sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Inti dari keadilan
ilahiyah ini ialah pengakuan bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah
dengan sebenarnya selain Allah SWT.37
Menurut al-Shawkany, terdapat perbedaan antara keadilan (al-‘adl),
kebajikan (al-ihsan), dan kejahatan (al-sharr). Apabila pemberian balasan
melebihi porsinya, maka disebut dengan al-ihsan. Sedangkan jika kurang
dari porsinya, maka disebut dengan al-sharr. Prinsip-prinsip keadilan itu,
menurutnya, bertumpu pada rakyat, dalam hal ini pada unsur manusia
sebagai orang yang diperintah. Rakyat mempunyai persamaan hak di
hadapan undang-undang Allah SWT. Tidak boleh ada perbedaan di antara
mereka, semuanya diperlakukan sama di hadapan Allah SWT.38

3. Tafsir Ayat-ayat al-Quran yang Berkaitan dengan Hak Warga Negara


untuk Hidup Berserikat dan Berkumpul menurut kitab Tafsir Fath
al-Qadir
Menurut al-Shawkany, untuk hidup berserikat dan berkumpul, maka
yang perlu dibina adalah persaudaraan yang berdasarkan ajaran Islam.
Persaudaraan itu identik dengan keimanan. Berbagai pertengkaran dan
perselisihan yang terjadi di antara sesama mukmin, penyelesaiannya adalah
kembali kepada ajaran Islam itu sendiri. Penekanan penyelesaiannya itu
diarahkan kepada penyadaran pada tiap-tiap individu bahwa mereka itu
35
Ibid., 130.
36
Ibid., 129.
37
Ibid., 131.
38
Ibid., 129 – 130.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
243

berasal dari keturunan (dhurriyyah) yang sama, yaitu Nabi Adam AS dan
isterinya Hawwa.39
Dalam realitas kehidupan, keragaman ras, suku dan adat istiadat
tidak dapat dihindari. Kendati berbeda-beda dalam suku, ras dan kebiasaan,
namun komunitas masyarakat itu dapat diikat dengan agama yang satu,
yaitu Islam. Di dalam Islam, tidak ada perbedaan suku, ras dan kebiasaan,
semuanya dipandang sama di hadapan Allah SWT.
Perselisihan dan pertengkaran yang terjadi di antara sesama mukmin,
menurut al-Shawkany, harus segera didamaikan. Penyelesaian yang berlarut-
larut dapat mengakibatkan retaknya persaudaraan yang pada gilirannya
akan membawa kepada robohnya keutuhan bangsa dan negara. Jangan
sampai terjadi hanya karena persoalan-persoalan kecil akan membawa
kepada rapuhnya tali silaturahmi antara sesama mukmin.40
Menurutnya, dalam kelompok besar yang terdiri dari banyak suku,
ras dan adat istiadat, maka tidak tertutup kemungkinan adanya sikap
saling berbangga antarkelompok. Jika terjadi sikap saling membanggakan
kelompoknya masing-masing, maka akan terjadi saling menghina satu
terhadap yang lain. Dalam hal ini al-Shawkany menekankan kepada mereka
yang saling berbangga dan saling menghina tadi untuk merenungkan terma
(‫)ىسع‬, yang artinya ialah boleh jadi. Dengan resep tersebut, potensi saling
menghina satu sama lainnya dapat diredam. Terma di atas menyadarkan
mereka yang bertikai bahwa boleh jadi yang dihina lebih baik dari mereka
yang menghina.41

D. Pembacaan Kritis atas Pemikiran Politik al-Shawkany


1. Antara Political Theology dan Political Philosophy
Kajian tentang politik secara garis besar, menurut Leo Strauss, dapat
diklasifikasikan menjadi dua: political theology dan political philosophy.
Yang pertama adalah studi atas ajaran-ajaran politik berdasarkan wahyu
Tuhan. Di Abad Pertengahan, misalnya, yang dikembangkan adalah political
theology. Sedangkan yang kedua ini adalah studi tentang pemikiran atau
filsafat politik. Dan, ini adalah cabang dari filsafat sehingga tekanannya lebih
kepada pemikiran.42
39
Ibid., 176.
40
Ibid., 178 – 180.
41
Ibid., 184.
42
Transkrip Diskusi Buku “Asas Moral dalam Politik” (Moral Foundation of Politics),
244 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Hamid Enayad, seorang intelektual Muslim asal Iran dalam bukunya


yang berjudul Modern Islamic Political Thought, mengatakan bahwa dalam
tradisi Islam pemikiran filsafat politik tidak berkembang karena pemikiran
politik diajarkan dalam 2 disiplin yang berbeda, yakni disiplin fikih dan
disiplin filsafat. Ironisnya, dalam tradisi keilmuan Islam yang mendominasi
adalah disiplin fikih, karenanya tidak bisa keluar dari paradigma political
theology (teologi politik).43 Dalam konteks ini, penulis ingin memberikan
kritik kepada al-Shawkany (sebagai penulis Tafsir Fath al-Qadir), sekaligus
kepada Ahmad Fahmy Arief yang mencoba mengidentifikasi ajaran-ajaran
politik dalam kitab tafsir yang ditulis pada abad 13 H tersebut.
Dalam analisis penulis, al-Shawkany jelas berangkat dari paradigma
teologi politik. Selain karena memposisikan diri sebagai “penafsir” wahyu-
wahyu Tuhan (baca: al-Quran), teramati secara jelas bahwa al-Shawkany
memiliki preferensi kuat pada perspektif fikih dalam mengupas ayat-ayat
politik al-Quran. Adalah mengherankan, al-Shawkany (1172 H - 1250 H) yang
hidup pasca Abad Pencerahan (meminjam istilah Barat) tetap menampilkan
diri sebagai sosok pemikir yang konservatif. Telah menjadi mafhum bahwa
di Abad Pertengahan teori dan ruang politik didominasi oleh teologi agama.
Dalam ungkapan yang lebih lugas, legitimasi politik selalu meniscayakan
adanya legitimasi doktrin agama. Namun seiring dengan hadirnya para
pemikir politik modern--seperti: Machiavelli, Hobbes, Descartes, dan lain-
lain, tampak ada transformasi yang massif. Misalnya, legitimasi bukan lagi
menjadi hak agama, melainkan rakyat (publik).
Meski demikian, ada titik di mana kita dapat memahami “pilihan”
ajaran politik al-Shawkany. Secara akademis, al-Shawkany dibesarkan oleh
tradisi keilmuan negeri Yaman, yang secara intelektual nyaris tidak memiliki
kontak dengan tradisi keilmuan Barat. Berbeda dengan Mesir misalnya, yang
sejak invasi Napoleon Bonaparte di akhir Abad 18 telah berinteraksi dengan
Eropa. Keterputusan dialog intelektual inilah yang mencetak al-Shawkany
menjadi seorang konservatif yang setia terhadap tradisi (baca: agama).
Terkait dengan kesimpulan penulis bahwa perspektif tafsir al-
Shawkany itu cenderung fiqh oriented, di sini dapat dikemukakan sejumlah
dalil. Di antaranya tentang persyaratan seseorang untuk menjadi pemimpin.

11 April 2006. www.freedominstitute.com.


43
Ibid. Masih menurut Enayat, dalam Islam sebenarnya ada tradisi pemikiran politik
yang sangat maju dan liberal. Misalnya adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan
lain-lain. Namun sekali lagi kesemuanya itu menjadi mandeg karena kajian politik Islam lebih
berorientasi pada fikih.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
245

Menurut al-Shawkany, yang bersangkutan harus benar-benar beriman


kepada Allah SWT dan dibuktikan dengan sepak terjang sehari-hari,
memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan berbadan sehat. Orang kafir dan
munafiq tidak dibenarkan tampil sebagai pemimpin umat Islam.44 Contoh
lainnya adalah soal materi-materi yang dapat dimusyawarahkan. Menurut
al-Shawkany, hanya meliputi masalah-masalah umum yang menyangkut
perang dan damai, yang menyangkut kesejahteraan dan kemaslahatan
orang banyak, dan lain sebagainya yang tidak diatur oleh wahyu dan sunnah
Rasul Allah SAW. Adapun masalah-masalah yang sudah jelas petunjuknya
dalam wahyu dan sunnah Rasul Allah SAW, tidak perlu dimusyawarahkan
lagi.45 Implikasi dari pendekatan fikih al-Shawkany tersebut, ajaran-ajaran
politiknya menjadi beraroma sektarian, atau dalam istilah kontemporernya
“Anti Pencerahan”.
Untuk Arief yang memberi judul disertasinya dengan “Pemikiran
Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir”, penulis menilainya misleading. Penulis
menyebutnya misleading, dikarenakan judul seharusnya adalah “Teologi
Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir”. Pasalnya, ajaran-ajaran politik yang
dikupas al-Shawkany sangat normatif dengan mengacu secara rigid terhadap
dogma dan doktrin agama. Seperti telah disinggung sebelumnya, kajian
pemikiran politik itu kental dengan aroma filsafat. Namun yang tersaji dalam
Tafsir Fath al-Qadir justru teologi politik yang bernafaskan doktrin-doktrin
beku agama. Di sinilah letak kekurangtepatan Arief dalam mengidentifikasi
obyek sentral penelitiannya yang penulis istilahkan dengan misleading itu.

2. Urgensi Aspek Historisitas dalam Kajian Pemikiran


Di antara tesis yang dipegangi oleh sebagian pengkaji teori-teori
politik secara umum, adalah adanya hubungan yang erat antara timbulnya
pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian
historis. Jika tesis itu benar bagi suatu jenis atau mazhab pemikiran
tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu tentunya juga benar
bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam. Karena itu
keduanya harus dilihat seakan-akan seperti dua sisi mata uang. Atau, dua
bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara
keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak
menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula

Arief, Pemikiran Politik, 78.


44

Ibid., 101.
45
246 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan


pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias
dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu.46
Karena adanya hubungan antara dua segi ini: segi teoretis dan historis,
maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa
keberadaan yang lain. Pendekatan terbaik untuk mempelajari teori-teori
ini adalah dengan mengkajinya sambil menelaah historisitas realitas yang
berkaitan dengannya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang
mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan
dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing
pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah pendekatan
yang seharusnya digunakan.
Pendekatan studi seperti ini yang tidak tampak dalam penelitian
Arief kala meneliti Teologi Politik al-Shawkany dalam kitab tafsirnya Fath
al-Qadir. Implikasinya, kajian Ariefnya terasa kering dan hambar, akibat
ketiadaan penjiwaan atas realitas-realitas sejarah yang melingkupi diri Sang
Author, al-Shawkany. Dalam ungkapan yang lebih lugas, hal itu menyebabkan
teologi politik al-Shawkany dalam kitab tafsirnya menjadi ahistoris, dan
dapat dipastikan akan menyusul kegagalan teori-teori politik sebelumnya
untuk menjadi alternatif solusi atas kompleksitas problematika politik Islam
kontemporer. Sungguh sangat disayangkan.

E. Simpulan
Pemikiran politik yang dimaksudkan dalam penelitian terhadap Tafsir
Fath al-Qadir ini adalah gagasan-gagasan tentang ketatanegaraan. Gagasan-
gagasan tentang ketatanegaraan ini dibatasi pada konsep kepemimpinan
dan musyawarah, konsep hak warganegara untuk memperoleh keadilan,
46
Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku “The
Divine Right of Kings –yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra
yang besar. Dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir
akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah
yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu, “Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat
dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”. J. Matters juga mengatakan
dalam bukunya “Concepts of State, Sovereignty and International Law” sebagai berikut, “Ini
adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang bahwa teori-teori yang
ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-
kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan
agama dan politik, yang –secara berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara
mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka”. Periksa kembali Rais, Teori
Politik Islam, 1 – 2.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
247

dan konsep hak warganegara untuk hidup berserikat dan berkumpul.


Mengacu kepada klasifikasi Leo Strauss, kajian tentang politik secara
garis besar dibagi dua: political theology dan political philosophy. Yang
pertama adalah studi atas ajaran-ajaran politik berdasarkan wahyu Tuhan.
Sedangkan yang kedua ini adalah studi tentang pemikiran atau filsafat
politik. Dan, ini adalah cabang dari filsafat sehingga tekanannya lebih
kepada pemikiran. Penulis menilai judul disertasi Arief “Pemikiran Politik
dalam Tafsir Fath al-Qadir” itu misleading. Misleading, dikarenakan judul
seharusnya adalah “Teologi Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir”. Pasalnya,
ajaran-ajaran politik yang dikupas al-Shawkany sangat normatif dengan
mengacu secara rigid terhadap dogma dan doktrin agama.
Hamid Enayad, dalam bukunya Modern Islamic Political Thought,
mengatakan bahwa dalam tradisi Islam pemikiran filsafat politik tidak
berkembang karena pemikiran politik diajarkan dalam 2 disiplin yang
berbeda, yakni disiplin fikih dan disiplin filsafat. Ironisnya, dalam tradisi
keilmuan Islam yang mendominasi adalah disiplin fikih, karenanya tidak
bisa keluar dari paradigma political theology (teologi politik). Dalam analisis
penulis, al-Shawkany jelas berangkat dari paradigma teologi politik. Selain
karena memposisikan sebagai “penafsir” wahyu-wahyu Tuhan (baca: al-
Quran), teramati secara jelas bahwa al-Shawkany memiliki preferensi kuat
pada perspektif fikih dalam mengupas ayat-ayat politik al-Quran.
248 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dimashqy, Abu Fida Ismail ibn Kathir. Tafsir Ibn Kathir. Mesir: Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
Al-Ghuraby, Ali Musthafa. al-Firaq al-Islamiyyah wa Nash’ah ‘Ilm al-Kalam
‘inda al-Muslimin. Mesir: Muhammad ‘Ali Shahib, tt.
Al-Qurtubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad. Al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Al-Shahrastany, Ahmad. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: al-Ma’arif, t.t.
Al-Shawkany, Muhammad ibn ‘Ali Muhammad. Tafsir Fath al-Qadir. Mesir:
Dar al-Fikr, 1973.
Al-Tabary, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir al-Thabary. Beirut: Dar al-
Fikr, 1978.
Al-Zahaby, Muhammad Husayn. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1976.
Al-Zamakhshary, Abu Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar. Tafsir al-Kashshaf.
Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Arief, Ahmad Fahmy. Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir. Disertasi,
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997.
Efendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
“Entri Islam dan Negara”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002.
Ghazali, Abd Moqsith. “Menolak Islam Politik”. Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 12. Jakarta:
LAKPESDAM NU, 2002.
Khalfallah, Muhammad Ahmad. Al-Quran wa al-Dawlah. Kairo: Maktabah al-
Anjalu al-Misriyyah, 1973.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
249

Khan, Qamaruddin. Political Concept in The Qur’an. Lahore: Islamic Book


Foundation, 1982.
Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali, 1983.
Salim, Abdul Mun’im. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1994.
Wijaya, M. Yusuf. “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran
Keislaman Timur Tengah”. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah. Ed. M. Aunul Abied Shah et. al. Bandung: Mizan, 2001.
www.freedominstitute.com. Transkrip Diskusi Buku “Asas Moral dalam
Politik” (Moral Foundation of Politics), 11 April 2006.
Zainuddin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.
250 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
251

KIAMAT DALAM AL-QUR’AN DAN PESAN MORAL

Oleh: Efa Ida Amaliyah


(Dosen STAIN Kudus)

Abstract

This paper discusses about classification and moral message


of kiamat (Day of the Resurrection) There are four steps or
classifications about kiamat (Day of the Resurrection). First,
small event, that is only happens in the earth, second is big event,
it is more broad and more big than before, it is because happens
in the cosmos scale. Third, universal destruction, it involves the
universe wholly, all things is disappear except Allah SWT. The
last one is the Day of Resurrection that is the end of all events.
Kiamat gives moral message for human beings. First, change
their view about life from materialistic life to balancing life (life
in the world and life after death). Second, kiamat gives positive
activity to improve their life. Third, raises responsibility among
human beings. Fourth, self improvement as early as possible

Keyword: Kiamat, Al-Qur’an, Moral Message, Universe

A. Pendahuluan
Manusia diciptakan untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi
dengan diberi karunia kemampuan yang sangat istimewa berupa kekuatan
dan kemampuan akal fikiran yang membedakan dengan binatang. Karenanya,
sudah sepantasnya akal fikir tersebut beriman kepada-Nya sebagai pencipta
alam semesta. Allah mengirim wahyu untuk mengaktifkan akal manusia
dengan meluruskan imannya serta pedoman dalam ibadah yang tertuang
252 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

dalam kitab suci al-Qur’an1. Hubungan akal dan wahyu tidak dapat dipahami
secara structural (hubungan atas bawah), melainkan dipahami secara
fungsional. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah,
sedangkan wahyu memberi wawasan moralitas atas pemecahan masalah
yang diambil oleh akal, dan juga untuk menginformasikan hal-hal yang tidak
dapat dijangkau oleh akal2.
Di antara sekian banyak masalah yang digambarkan al-Qur’an sejak
masa awal Islam adalah kiamat. Kiamat merupakan persoalan pokok bagi
seorang Muslim, selain masuk dalam wilayah akidah juga merupakan inti
agama. Kiamat merupakan peristiwa dasyat, sehingga disebutkan berulang-
ulang dengan segala bentuk rangkaian sebanyak 70 kali3. Sedemikian
pentingnya persoalan kiamat, al-Qur’an seringkali merangkaikan penjelasan
tentang iman kepada Allah dan keimanan pada hari kiamat.
‫َو ِم ْال ِخ ِر َو ْال َم َل ِئ َك ِة‬
ْ ‫اللِ َو ْالي‬
َّ ‫َل ْال َم ْشرق َو ْال َم ْغرب َولَ ِك َّن ْالب َّر َم ْن آ َم َن ب‬
ِ ِ ِِ ِِ
َ ‫وه ُك ْم ِقب‬
َ ‫ُج‬ُ ‫ْس ْال ِب َّر أَ ْن تُ َولُّوا و‬ َ ‫لَي‬
‫ين َو ِفي‬ َ ِ‫السا ِئل‬
َّ ‫يل َو‬ ِ ‫الس ِب‬
َّ ‫ْن‬ َ ‫ين َواب‬َ ‫ال َعلَى ُحبِّ ِه َذ ِوي ْال ُق ْربَى َو ْال َي َتا َمى َو ْال َم َسا ِك‬ َ ‫ِّين َوآ َتى ْال َم‬ َ ‫اب َوالنَّ ِبي‬ ْ
ِ ‫َوال ِك َت‬
َّ ‫ين ِفي ْالب َْأ َسا ِء َو‬
‫الض َّرا ِء‬ َّ ‫اه ُدوا َو‬
َ ‫الص ِاب ِر‬ َ ‫ون ِب َع ْه ِد ِه ْم إِ َذا َع‬َ ‫ُوف‬ُ ‫الز َكا َة َو ْالم‬
َّ ‫الص َل َة َوآ َتى‬ َّ ‫اب َوأَ َقا َم‬ ِ ‫الر َق‬
ِّ
َ ‫َقوا َوأُولَِئ َك ُه ُم ْالمُتَّ ُق‬
‫ون‬ ُ ‫صد‬ َ ‫ين‬ َ ‫س أُولَِئ َك الَّ ِذ‬ ْ ْ َ ‫وح‬
ِ ‫ين البَأ‬ َِ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-
minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.”(Al-Baqarah: 177)
ُّ ُ َ ُ ‫ان أَْل َح ْق َنا ِب ِه ْم ُذ ِّريَّ َت ُه ْم َو َما أَلَ ْت َن‬
ِ ‫اه ْم ِم ْن َع َملِ ِه ْم ِم ْن ش ْي ٍء كل ام‬
‫ْر ٍئ‬ ُ َ ‫َوالَّ ِذ‬
ٍ ‫ين آ َمنُوا َواتَّ َب َع ْت ُه ْم ذ ِّريَّتُ ُه ْم ِبإِي َم‬
ٌ ‫ِب َما َك َس َب َر ِه‬
‫ين‬
Artinya: “dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu

Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Islam (Yogyakarta: Titian
1

Illahi, 1998), h. 105


Imam Syafi’I, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, terj Djaka Soetopo
2

(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 76


3
Abdurrazaq Naufal, Hari Kiamat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 5
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
253

mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun


dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya.” (Q.S. at-Thur/52: 21)
‫َو َم ْال ِقيَا َم ِة َف ْر ًدا‬
ْ ‫َو ُكلُّ ُه ْم آ ِتي ِه ي‬
Artinya: “dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat
dengan sendiri-sendiri.” (Q.S. Maryam/19: 95)
Dahsyatnya kiamat yang akan datang kelak membuat manusia harus
waspada dan menyiapkan diri sebagai bekal untuk hari sesudah kiamat
tersebut (life after death). Dalam tulisan ini mencoba menjawab sebuah
pertanyaan pesan moral bagi kehidupan manusia dalam rangka peningkata
iman dan takwa bilamana kehancuran alam semesta (kiamat) dalam al-
Qur’an terjadi.

B. Kiamat dalam Al-Qur’an4


Kiamat merupakan rahasia Allah, tidak ada mahluk yang
mengetahuinya bahkan Nabi dan Rosul-Nya. Mereka hanya memberikan
tanda-tanda datangnya kiamat. Kiamat merupakan kehancuran segala yang
ada di dunia, semua mahluk akan mati kecuali memamng yang dikehendaki-
Nya untuk tetap hidup. Diantara gambaran kiamat yang ada dalam al-Qur’an
dan al-Hadits, seperti yang terdapat dalam Q.S: al-Haqqah/69: 13-16.
“maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan bumi serta gunung-
gunung diangkat dan dibenturkan sekali bentur, maka datanglah
kejadian yang dahsyat, dan terbelahlah langit karena ketika itu dalam
kondisi yang lemah.”
Dalam Q.S: al-Qiyamah/75: 6-9.
“bilamanakah Hari Kiamat itu?, apabila mata terbelalak dalam kondisi
ketakutan, dan , apabila bulan telah hilang cahayanya, matahari serta
bulan dikumpulkan.”
Dalam Hadits disebutkan ketika Abdullah bin Salam bertanya kepada
Nabi saw tentang tanda pertama hari akhir, Nabi bersabda “tanda pertama
dari hari, akan muncul api yang akan memaksa manusia bergerak dari timur
ke barat” (HR. Bukhori).

4
Untuk lebih lanjut baca Efa Ida Amaliyah “Kehancuran Alam Semesta dalam Al-
Qur’an: Perspektif Kosmologi” dalam Jurnal SHUHUF yang diterbitkan Lajnah Pentashihan
Mushaf dan Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, ISSN: 1979-6544, Vol. 2 No.
1,2009
254 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Dalam Q.S: at-Takwir/81: 1


“(ingatlah hari itu) apabila matahari digulung.”
At-Takwir (menggulung)5 artinya matahari melipat dirinya agar
pudar cahayanya dan berkurang panasnya6 Ibnu Jarir menjelaskan at-
Takwir sebagai gabungan bagian dengan bagian yang lain kemudian
menggulungnya, sehingga bagian yang satu tertutup oleh bagian lainnya7.
Kehancuran total yang terjadi di alam ini, secara logika bukanlah suatu
peristiwa yang mustahil. Para pakar ilmu alam telah sepakat bahwa segala
yang maujud pasti memiliki batas akhir keberadaannya pada saat tertentu.
Hal ini sebagaimana perputaran masa, yang mana zaman purba telah musnah
pada satu masa yang merupakan akhir zaman itu dan sesuai dengan hukum
yang ada8. Jadi masa atau waktu berputar sesuai dengan perputarannya
yang wajar dan pasti, sehingga akhirnya sampailah pada saat kerusakan dan
kemusnahannya.
Tangga-tangga menuju hari kiamat ditinjau dari al-Qur’an:
1. Peristiwa-peristiwa Kecil
Peristiwa ini adalah suatu kejadian yang rutin di alam semesta, yang
menjadi bagian dari kontinuitas proses penciptaan alam dan penciptaan
kembali. Peristiwa ini mewakili gerak perubahan dalam evolusi dunia.
Dalam skala ini, boleh jadi hanya terjadi di kawasan bumi saja. Sedangkan
dalam skala yang lebih luas akan mempengaruhi keadaan dunia, tata
surya (solar system) dan berbagai galaksi.
2. Peristiwa-peristiwa Besar
Peristiwa ini terjadi dalam skala yang luas secara kosmos, yang melibatkan
tata surya dan dalam skala yang lebih luas melibatkan seluruh galaksi.
Hal ini sesuai tertuang dalam Q.S: al-Insyiqaaq/84: 1-2.
“apabila langit terbelah dan patuh kepada Tuhannya dan sudah semestinya
langit itu patuh.”

Penggulungan itu disebabkan terjadinya pada permukaan matahari sehingga


5

memanjang dan membesar serta melebar permukaannya yang memancarkan cahayanya.


Dengan demikian, panas matahari menjadi merosot beberapa ribu derajat. Akibat melebarnya
matahari tersebut bintang-bintang yang lain menjadi pudar seakan-akan peristiwa meluasnya
permukaan dan kejadian yang lain akan menyertainya secara keseluruhan. Begitulah awal
mula hancurnya dunia ini.
6
Abdurrazaq Naufal, Op. cit. h. 76
7
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an
8
Marzuki Chairun, Kiamat: Surga dan Neraka (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), h.
29
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
255

Skenario yang mempunyai hubungan dengan Al-Qur’an adalah


ditabraknya bumi oleh benda antariksa seperti asteroid atau komet yang
cukup besar. Apabila benda antariksa ukuran luasnya sekitar 10 KM dan
menabrak dengan kecepatan 30 km/sekon, maka bola api yang timbul
akibat gesekan dan turbulensi atmosfer merusak lapisan ozon serta
menimbulkan suhu 500º pada belahan bumi yang tertimpa9.
3. Kiamat Universal
Peristiwa kiamat universal ini akan terjadi serentak yang akan
melibatkan seluruh alam raya. Pada klimaksnya semua akan binasa
kecuali Allah. Peristiwa ini juga disebut the Ultimate Event (Peristiwa
Akhir), yaitu berakhirnya urutan fisika alam semesta, kecuali Zat Allah.
Q.S: ar-Rahman/55: 26-27.
“semua yang ada didalamnya akan binasa (26), dan tetap kekal Zat Tuhan-
mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27).”
4. Kebangkitan
Ini adalah peristiwa terakhir dari perjalanan hidup manusia. Hari
kebangkitan adalah kulminasi semua peristiwa kiamat baik yang
kecil maupun yang besar. Peristiwa ini hanya sekali dan menandakan
dimulainya alam besar, yang lebih besar dan agung dari seluruh tingkatan
alam semesta ini.
Hari kebangkitan akan dating dengan tiba-tiba. Pada saat itu, semua
manusia dari seluruh generasi akan dihidupkan kembali, lalu diadili
sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan semasa hidup di dunia.
Bagan menuju kiamat:

Peristiwa Kecil Kiamat Bumi Kiamat Kiamat


Sebagai Peringatan dan Bintang Tata Surya Universal

9
Ahmad Baiquni, Al-Qura’an dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Dana Bakti Prima,
1995), h. 260
256 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

C. Pesan Moral Kehancuran Alam Semesta dalam Al-Qur’an


Semangat dasar Qur’an, menurut Fazlur Rahman, adalah semangat
moral . Bahkan tujuan utama Nabi SAW diutus ke bumi, sebagaimana
10

tersebut dalam hadits adalah untuk menyempurnakan moral. Oleh karena


itu, setiap upaya penafsiran Qur’an tidak dapat melepaskan diri dari pesan
dan moral. Demikian halnya dengan ayat-ayat kiamat. Ada beberapa pesan
moral yang hendak disampaikan.
A. Mengubah Pandangan Hidup Dunia Materialistik Menjadi Seimbang
antara Dunia dan Akhirat
Adanya kehidupan akhirat, menurut Qur’an adalah sangat penting
karena berbagai alasan. Pertama, moral dan keadilan, menurut Qur’an
adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia karena keadilan
tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di dunia. Kedua,
tujuan-tujuan hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya, sehingga
manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkan dan apa-apa yang
sesungguhnya dari kehidupan ini. Ini penting di dalam keseluruhan doktrin
Qur’an tentang kebangkitan kembali, karena penimbangan amal perbuatan
mensyaratkan dan tergantung pada tujuan-tujuan itu. Ketiga, pembantahan
dan perbedaan pendapat dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia
harus diselesaikan.11
Kehidupan dunia tidaklah terpisah dengan kehidupan di akhirat.
Kehidupan dunia ibarat tempat orang menanam padi yang hasilnya akan
dipetik untuk kebahagiaan di akhirat. Kebaikan di akhirat merupakan
kelanjutan dari kebaikan di dunia ini.
Dalam memandang dua kehidupan ini, manusia seringkali tergoda
dengan kecenderungan jangka pendek yakni kehidupan dunia, sehingga
melupakan tujuan jangka panjang (akhirat). Itulah kelemahan manusia yang
dikatakan Qur’an bersifat ‘ajal (tergesa-gesa). Manusia mempunyai sifat
ingin mendapatkan sesuatu secara cepat dan mudah.
Manusia sering terperangkap dengan harapan-harapan dan keinginan
dalam waktu jangka dekat dan tidak memperdulikan akibat jangka panjang
yang jauh ke depan. Manusia sering cukup merasa puas dengan menikmati
kesenangan sementara, yang terkadang bersifat palsu dan menipu, dan

10
Fazlur Rahman, “Islam”, terjemahan Ahsin Muhamad. Bandung: Pustaka, 1994,
hlm.36
11
Fazlur Rahman, “Tema Pokok al-Qur’an”, terjemahan Anas Mahyuddin. Bandung:
Pustaka, 1983, hlm. 169
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
257

mengabaikan kebahagiaan yang sempurna dan hakiki. Oleh karena itu,


manusia lebih tergoda dan tertarik dengan glamornya kehidupan dunia
daripada berbuat dan memikirkan kehidupan akhirat.
Dalam Qur’an, kehidupan dunia disebut kesenangan, namun bila
dibandingkan dengan kehidupan akhirat, maka kesenangan dunia sebagai
“kesenangan sementara”, “kesenangan sedikit” dan “kesenangan menipu”.
Jadi kehidupan dunia hanyalah sementara, tidak kekal, sedangkan kehidupan
akhirat adalah kehidupan yang sejati, dan kekal selama-lamanya.12
Meski demikian, tidak berarti bahwa Qur’an memandang kehidupan
dunia sama sekali tidak berarti. Tetapi justru di berbagai tempat, Qur’an
mengajarkan agar manusia menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan
akhirat.
َ َ َ َ َُّ َ َ ْ َ ْ ُّ َ ِ ‫س َن‬
ِ ‫صيبَك ِم َن الدنيَا َوأ ْح ِسن ك َما أ ْح َس َن الل إِليْك َول تب‬
‫ْغ‬ َ ‫ار ْال ِخ َر َة َو َل َت ْن‬ َّ َُّ‫اك الل‬
َ ‫الد‬ َ ‫َوا ْب َتغ ِفي َما آ َت‬
ِ
ْ ‫ُح ُّب ْالم‬ َ َ َّ َ ْ ْ
َ‫ُف ِس ِدين‬ ِ ‫ض إِن الل ل ي‬ َّ ِ ‫ال َف َساد ِفي ال ْر‬
َ
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (al-Qashash:77)

Kehidupan akhirat, dalam pandangan Qur’an memang lebih baik


dan lebih kekal. Namun, manusia tidak boleh melupakan nasibnya dalam
kehidupan dunia. Prinsip equilibirium (keseimbangan antara dunia dan
akhirat) merupakan potensi yang mampu membuat ajaran Islam selalu
sesuai dengan perkembangan zaman. Karena seorang Muslim yang
diharapkan Qur’an bukanlah orang-orang yang bertapa di gua-gua hanya
untuk beribadah dan memikirkan kehidupan akhirat, dan bukan pula
orang-orang yang selama 24 jam menghitung uang di bank-bank. Tetapi
Qur’an mengharapkan agar umat Islam selalu mampu menyeimbangkan dua
kecenderungan ini, sebuah tugas yang mungkin hanya sebagian orang yang
mampu melakukannya.

Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap


12

Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 58
258 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

B. Mendorong Manusia Beraktifitas Positif (Amal Soleh)


Pesan moral kiamat adalah untuk mendorong manusia beraktifitas
yang positif (amal soleh). Dalam berbagai ayat, Qur’an mengajarkan agar
keyakinan akan adanya hari pembalasan mengantarkan manusia untuk
melakukan berbagai amal soleh dalam kehidupannya, walaupun aktifitas
itu sama sekali tidak menghasilkan keuntungan material dalam kehidupan
dunianya.
Qur’an berulang kali menegaskan bahwa setiap perbuatan baik yang
dilakukan manusia akan dibalas dengan kebaikan dan setiap perbuatan jahat
akan dibalas dengan azab. Tuhan tidak pernah menyalahi janjinya, tidak
pernah menganiaya dan selalu berbuat adil terhadap hamba-hambanya.13
Dengan keyakinan bahwa Tuhan akan membalas segala perbuatan manusia
dan tidak menyalahi janji-janji-Nya, diharapkan manusia selalu berupaya
melakukan perbuatan yang positif di dunia ini.
Jadi, keimanan baik kepada Allah maupun Hari Akhir, merupakan
pendorong untuk melakukan amal soleh. Tanpa keimanan, tidak mungkin
seseorang mau dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan positif. Oleh
karena itu, keimanan dan amal soleh berhubungan erat satu sama lain.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keimanan hari akhir dapat menimbulkan
kesadaran betapa tidak berartinya hidup ini, bila tidak diisi dengan berbagai
kegiatan yang baik dan positif. Amal soleh merupakan realisasi dari kekuatan
iman yang tertancap dalam diri seorang mukmin. Amal soleh menjadi tolak
ukur bagi kualitas iman pada seseorang.
Seringkali kebajikan moral atau akhlak dan semangat berkobar
membawa kehidupan penuh dengan kerugian dan penderitaan serta
kedulitan. Dengan iman kita temukan pelipur lara, bahwa, pada Hari
Kebangkitan itu, semua akan diberi balasan secara semestinya. Keimanan
kepada Kedaulatan Allah SWT menghibur manusia, bahwa penderitaan dan
kesulitan di dunia akan dibalas pada Hari Kebangkitan.14
Mengingat hari kebangkitan mencegah kita dari kehancuran dan
kelalaian. Orang yang berhati-hati atas perbuatannya, besar atau kecil, tidak
akan berbuat kesalahan, tapi keimanan saja tidaklah cukup, tetapi juga harus
mengingat hari yang diperhitungkan ini, dan kita harus memeriksa dengan
13
Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 49
14
Mukhsin Qara’ati, “Misteri Hari Pembalasan: Dalil Qur’an dan Akal”, Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1993, hlm. 59
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
259

perilaku kita pada waktu yang sama.15


Kesimpulannya, keimanan adanya hari pembalasan menjadi landasan
utama untuk menimbulkan sikap hidup positif dalam pribadi setiap mukmin
dan menanamkan mental yang sehat dalam menapaki dan menempuh hidup
di dunia yang sementara ini.16

C. Menumbuh-Kembangkan Rasa Tanggung Jawab


Di hari kiamat, Qur’an menjelaskan bahwa setiap orang harus
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya selama di dunia,
timbangan untuk menghitung amal benar-benar ditegakkan. Sebagaimana
dikatakan oleh Amiur Nuruddin dengan mengutip pendapat A. Mukti Ali
bahwa semangat pokok dalam Qur’an adalah untuk menanamkan ke dalam
jiwa kesadaran tentang tanggung jawab.17
Setiap orang hendaknya selalu mengingat akan tanggung jawab ini di
manapun dan kapanpun. Karena Allah ada di mana-mana dan di setiap saat,
maka tak satupun dapat tersembunyi dari pengawasan-Nya. Kehidupan di
dunia yang hanya ini adalah satu-satunya kehidupan di mana manusia dapat
berjuang dan memperoleh hasil perjuangannya atau menaburkan benih-
benih yang akhirnya akan mendatangkan hasil.18
Itu sebabnya mengapa, menurut al-Qur’an manusia harus menghadapi
dan menjalani hidup ini secara serius dan benar-benar menyadari bahwa
betapapun ia menyembunyikan niat-niatnya serta kesesatan-kesesatannya
yang negatif, semua itu pasti diketahui oleh Allah. Oleh karena itu, manusia
harus mengembangkan rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya,
apakah manusia berbuat baik serta buruk, adil atau zalim di dunia ini.
Dalam Qur’an, banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa
setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya.
َ ‫َص َر َو ْال ُفؤَا َد ُك ُّل أُولَِئ َك َك‬
ً ُ‫ان َع ْن ُه َم ْسئ‬
‫ول‬ َ ‫ْع َو ْالب‬ َّ ‫ْس لَ َك ِب ِه ِع ْل ٌم إِ َّن‬
َ ‫السم‬ ُ ‫َو َل َت ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬
Artinya: “Setiap aktivitas dan tindakan pada hari itu perlu dipertimbangkan
15
Ibid, hlm. 61
16
Said Mahmudi, “Konsep Amal Soleh dalam Qur’an: Telaah Etika Qur’ani dengan
Metode Tafsir Tematik”, Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 55
17
Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 55
18
Fazlur Rahman, “Tema Pokok al-Qur’an”, terjemahan Anas Mahyuddin. Bandung:
Pustaka, 1983, hlm. 175
260 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

berdasarkan perhitungan-perhitungan demi hari masa depan” (Al-


Israa: 36)
Manusia diberi alat-alat penting berupa hati, akal dan pikiran, tiada
lain adalah untuk menimbang mana yang baik dan mana yang buruk.19
Penegasan tentang pentingnya manusia mengembangkan pandangan yang
jauh ke masa depan memang merupakan kelanjutan logis dari pernyataan
Qur’an tentang adanya pertanggungjawaban manusia di hadapan Tuhan.
Walaupun tanggung jawab manusia baru akan dimintakan pada hari kiamat
nanti, namun ia mempunyai implikasi terhadap kesediaan manusia untuk
memperhatikan dan memperhitungkan setiap tingkah laku dan perbuatan
manusia di dunia ini. Lebih dari itu, tidak sedikit informasi Qur’an yang
menggambarkan peristiwa masa lalu yang berakhir dengan kehancuran dan
malapetaka, sebagai akibat kelancangan dan penyimpangan yang dilakukan
manusia. Inilah sesungguhnya yang ingin disampaikan Qur’an, bahwa setiap
perbuatan akan mendatangkan akibat, baik ataupun buruk. Oleh karena itu,
setiap manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan berorientasi
tidak hanya untuk kepentingan sekarang, tetapi juga untuk masa depan.20
Imam Ja’far Shadiqa a.s. berkata tentang kebaikan-kebaikan mengingat
mati dan hari kebangkitan :
• Mengingat mati menekan berbagai keinginan yang banyak.
• Mengingat mati mencabut akar kelalaian dan kelesuan.
• Dengan mengingat janji Allah, mengingat mati menguatkan hati manusia.
• Mengingat mati melembutkan mental yang keras.
• Mengingat mati menghapus keinginan yang banyak, dan juga menjauhkan
pelanggaran.
• Mengingat mati menekan sifat tamak, dan membuat dunia ini tampak
sederhana dalam pandangannya.

D. Pembenahan Diri Seawal Mungkin


Sains tidak dapat dikatakan netral, melainkan mengandung nilai-nilai
yang menyusup melalui konsensus para pakar yang mengembangkannya.
Sains berkembang selama empat abad dalam lingkungan yang tidak Islami

19
Hamka, “Tafsir Al-Azhar”, vol. 15, Surabaya: Yayasan Latmojono, 1982, hlm. 64
20
Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 193-194
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
261

dan selama itu pula telah mewarisi nilai-nilai yang tidak Islami, sains
dimasukkan dalam kelompok ilmu lain, yang dapat memberikan pernyataan
yang menurut sifatnya, mereka digolongkan dalam metafisika dan bukan
fisika.
Umat Islam harus menekankan kepada para muslim terutama peserta
didik bahwa sains didasarkan pada eksperimental dan observasi terhadap
alam yang tampak ini dan tidak mempunyai sekelumit pun pengetahuan
tentang alam gaib. Kita harus menegaskan bahwa ekstrapolasi sains sampai
pada periode penciptaan alam semesta tidak dapat dijamin kebenarannya
karena para pakar sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelum apa yang
mereka namakan waktu Planck; yaitu seper-sepuluh-juta-triliun sekon
sesudah penciptaan. Dan umat Islam harus menjelaskan bahwa sains
berkembang melalui berbagai tahapan. Pada tahapan-tahapan tertentu
mungkin saja konsensus dalam sains tidak sesuai, atau bahkan saling
bertentangan dengan isi Qur’an. Akan tetapi karena sains dikembangkan
untuk mencari kebenaran, maka pada akhirnya ia akan bersesuaian juga
dengan Qur’an.21

D. Simpulan
Pada penciptaan alam semesta ini al-Qur’an menunjukkan bahwa
penciptaan alam semesta dilengkapi pula dengan hukum-hukumnya
(sunatullah) yang tidak akan mengalami perubahan dan penyimpangan.
Karena itu setiap manusia yang melaksanakan anjuran al-Qur’an agar
memahami alam semesta dengan cara mengamatinya dengan alat indera
atau peralatan observasi, akal dan wahyu atau ilham (ilham hanya khusus
untuk manusia pilihan Allah) akan menyadari bahwa di balik karya besar
yang maha luas ini ada Zat yang maha diyakini dan disembah yaitu Allah
SWT.
Ada empat pesan moral yang hendak disampaikan al-Qur’an
melewati ayat-ayat kiamat. Pertama, mengubah pandangan hidup duniawi
materialistik menjadi pandangan hidup yang menyeimbangkan antara
kehidupan dunia sebagai kesenangan yang sementara, sedikit dan menipu.
Sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati, kekal dan
abadi. Meskipun demikian, manusia tidak boleh melupakan kehidupan
dunia, tetapi justru menyeimbangkan keduanya. Kedua, mendorong manusia
21
Ahmad Baiquni, “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”. Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
1996, hlm. 274
262 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

beraktivitas positif (beramal soleh). Al-Qur’an melewati ayat-ayat kiamat


mengajarkan agar manusia selalu beraktifitas yang positif. Keimanan akan
adanya hari kiamat dapat memberikan dorongan kepada manusia untuk
berbuat kebaikan di dunia dan di akhirat. Ketiga, menumbuh-kembangkan
rasa tanggung jawab pada diri sendiri. Gambaran kehancuran atau kiamat
tentang pertanggungjawaban manusia di Hari Kemudian mengajarkan agar
manusia selalu memikirkan akibat dari perbuatannya. Keempat, pembenahan
diri seawal mungkin. Umat Islam harus menekankan kepada para muslim
terutama peserta didik bahwa sains didasarkan pada eksperimentasi dan
observasi terhadap alam yang tampak ini dan tidak mempunyai sekelumit
pun pengetahuan tentang alam gaib. Kita harus menegaskan bahwa
ekstrapolasi sains sampai pada periode penciptaan alam semesta tidak
dapat dijamin kebenarannya karena para pakar sendiri tidak tahu apa yang
dikembangkan. Sehingga tidak saling bertentangan dengan isi Qur’an dan
sains.
Telah dikemukakan bahwa al-Qur’an bukanlah penghambat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan sebagai
narasumber yang dijadikan landasan berfikir oleh ilmuwan muslim masa
lalu.
Diharapkan kepada para pembaca untuk meneliti kiamat atau
kehancuran alam dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Dengan pendekatan
itu, diharapkan kiamat dapat dijelaskan secara lebih rasional lagi dengan
menggunakan berbagai teori-teori dan penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan yang modern dengan masih berpijak pada al-Qur’an sebagai
petunjuk untuk manusia. Sehingga antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
akan saling melengkapi dengan menghilangkan dikotomi di antara keduanya.
Oleh karena itu, bagi para ilmuwan dan umat Islam pada umumnya
serta penyusun pada khususnya, dapatlah mengembangkan diri dan bangkit
serta kembali menguasai ilmu pengetahuan, sesuai dengan disiplin ilmu
yang dikuasai atau diketahui.
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
263

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Sahirul. 1998. Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Islam.


Yogyakarta: Titian Illahi
Arifin. 1997. Agama, Ilmu dan Tehnologi. Jakarta: Golden Terayon Press
Baiquni, Ahmad. 1995. Al-Qura’an dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Dana Bakti
Prima
Baiquni, Ahmad. 1996. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Teknologi. Jakarta:
Dana Bakti Prima Yasa
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah
Bakker , Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius
Chairun, Marzuki. 1997. Kiamat: Surga dan Neraka. Yogyakarta: Mitra
Pustaka
Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 2002.
Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi Jakarta: DEPAG
Ismail, Kurdi. 1995. Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan dan Al-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Amani
Mahmud, S. Bashiruddin. 1992. Mekanika Hari Kiamat dan Hidup Sesudah
Mati. Bandung: Pustaka
Naufal, Abdurrazaq. 1995. Hari Kiamat. Jakarta: Rineka Cipta
Rahman , Afazlur. 1989. Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. HM. Arifin.
Jakarta: Bina Aksara
Syafi’I, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, terj. Djaka
Soetopo.Yogyakarta: UII Press
Sulaimen, Ahmad Mahmud. 2001. Tuhan dan Sains. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta
264 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Tim Perumus UMJ Jakarta. 1995. Al-Islam dan Iptek. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Internet:
www.astronomers.com/c8_evoluation/p824.univfreme.html, akses 14 Juni
2004
http://www.space.com/scienceastronomy/big_rip_030306.html
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
265

MAḤĀSIN AL-TA’WĪL FĪ TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-KARĪM


KARYA AL-QASIMI

Oleh: Aat Hidayat


(Dosen STAI Matholi’ul Falah Pati)

Abstract

This paper discusses about Mahasin al-Ta’wil fi Tafsir al-Qur’an


Al-Karim writen by al-Qasimi. There are three reasons to discus
about it. First, al-Qasimi is a scientist figure who tries to devote
her life to the advancement of science. Second, style of his writing
is influenced by conflict between Orientalism and colonialism
within the Muslim world. Third, his interpretation can be
categorized into tafsir ‘ilmi based on tafsir bi al-ma’sur and also
refers to the authoritative sources of Islamic intellectual.

Keywords: the advancement of science, Mahasin al-Ta’wil, al-


Qasimi

A. Pendahuluan
Dalam dunia Islam, kitab yang paling banyak memproduksi makna
adalah kitab Al-Qur’an. Dari kitab induk Al-Qur’an ini telah lahir beribu
kitab tafsir yang memenuhi khazanah intelektual dunia Islam. Peristiwa
ini merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah
sebuah kitab suci yang bisu. Adalah tugas kita sebagai muslim untuk
menyuarakannya. Hal ini jauh-jauh hari telah diisyaratkan oleh Imam Ali bin
Abi Thalib. Beliau mengatakan bahwa Al-Qur’an di antara dua sampulnya tak
bisa bersuara. Sang juru bicara itulah yang menyuarakannya.1
1
Al-Qur’ān bayna daftayi al-muṣḥaf lā yantiqu, wa innamā yatakallamu bihī al-rijāl.
266 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Dari sinilah tradisi penafsiran terhadap Al-Qur’an mengalami


perkembangan yang sangat pesat. Bukan hanya di dunia Islam dan dilakukan
oleh muslim saja, bahkan di kalangan orientalis pun muncul beberapa
ilmuwan yang mencoba mengelaborasi kandungan makna Al-Qur’an.2
Pada praktik selanjutnya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak bisa
dilepaskan dari heterogenitas. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh faktor-
faktor internal (al-‘awāmil al-dākhiliyyah) saja, seperti kondisi objektif teks Al-
Qur’an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, tetapi
juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal (al-‘awāmil al-khārijiyyah),
seperti kondisi subjektif mufasir itu sendiri, dan yang terpenting adalah
faktor politik dan ideologis yang melingkupi kemunculan sebuah tafsir.3
Bahkan, Michael Foucault menegaskan bahwa sebuah perkembangan ilmu
pengetahuan, mazhab, atau pemikiran, apapun namanya (termasuk tafsir di
dalamnya), tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan.4
Salah satu corak tafsir yang mewarnai pergulatan sejarah penafsiran
Al-Qur’an adalah tafsir dengan tendensi ilmiah. JJG Jansen menyebut kategori
ini dengan nama tafsīr ‘ilmī.5 Asumsi dasar tafsir ilmiah ini adalah keyakinan
di kalangan cendekiawan muslim bahwa Al-Qur’an telah mengantisipasi
ilmu-ilmu pengetahuan modern. Tafsir dengan corak yang satu ini
mencoba memindahkan semua bidang pengetahuan kemanusiaan yang
memungkinkan ke dalam penafsiran Al-Qur’an.6 Adapun sarjana pertama
yang menggambarkan perhatian pada keberadaan tafsir ilmiah adalah Amin
al-Khuli.7
Ahmad Fawaid Sjadzili, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi
No. 18 Tahun 2004, hlm. 3.
2
Ada dua corak orientalis yang mengkaji Al-Qur’an. Pertama, orientalis yang mengkaji
aspek metodologis dari penafsiran Al-Qur’an. John Wansbrough adalah contoh orientalis yang
mumpuni di bidang ini. Lihat M. Alfatih Suryadilaga, “Pendekatan Historis John Wansbrough
dalam Studi Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an
Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
hlm. 211-229. Kedua, orientalis yang langsung mengkaji dan melakukan pemaknaan terhadap
Al-Qur’an. Toshihiko Izutsu adalah orientalis yang banyak mengelaborasi makna Al-Qur’an.
Lihat salah satu karya Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003).
3
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode
Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 10-17.
4
Ibid., hlm. 16.
5
JJG Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk. (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997), hlm. 55.
6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 62.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
267

Salah satu kitab tafsir yang dipengaruhi corak penafsiran ilmiah


adalah kitab Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Muhammad
Jamal al-Din al-Qasimi. Dalam kitab tafsirnya ini, al-Qasimi mengetengahkan
sub pokok bahasan yang berusaha menjelaskan secara mendetail masalah-
masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Tulisan ini akan membahas kitab Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-
Karīm karya Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi. Pembahasan akan disusun
secara deskriptif, mencakup riwayat hidup al-Qasimi serta gambaran tentang
kitab tafsir yang ditulisnya dari segi sejarah penulisan, metode penafsiran,
sistematika, sumber, karakteristik, dan beberapa contoh penafsiran.
Walaupun kajian dalam tulisan ini tidak lengkap dan kurang mendalam,
tetapi paling tidak tulisan ini bisa menjadi pemantik untuk melakukan kajian
yang lebih mendalam dan lebih serius terhadap kitab tafsir buah karya al-
Qasimi ini. Harapan penulis, kajian selanjutnya terhadap kitab tafsir ini bisa
menghasilkan sesuatu yang baru bagi khazanah intelektual.

B. Setting Historis-Biografis al-Qasimi


1. Latar Belakang Sosial dan Aktivitas Intelektual
Nama lengkap al-Qasimi adalah Jamal al-Din bin al-Syaikh Muhammad
Sa’id al-Dimasyqi bin al-Syaikh Muhammad Qasim al-Hallaq al-Syafi’i al-
Atsari.8 Ada juga yang menyebutnya dengan Jamal al-Din bin Muhammad
Sa’id bin Qasim al-Hallaq al-Qasimi.9 Al-Qasimi hidup dalam kurun waktu
antara tahun 1283-1332 H atau 1866-1914 M, yaitu selama 49 tahun.10 Al-
Qasimi dilahirkan dan wafat di Damaskus.11
Al-Qasimi tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu.
Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan bernama
Abu Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair.12 Ayahnya mewarisi perpustakaan
yang berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah yang
mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari
8
Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris wa al-Iṡbat, Juz I (t.tp.:
Dār al-Garb al-Islamī, 1982), hlm. 477.
9
Umar Rida Kuhal, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turaṡ al-‘Arabī,
t.t.), hlm. 157. Lihat juga dalam ‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I (t.tp.: Muassasah
Nawayḥaḍ al-ṡaqāfiyyah, 1986), hlm. 127. Lihat juga dalam Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām,
Juz II (t.tp.: t.p., t.t.), hlm. 131.
10
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131.
11
‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, hlm. 127.
12
Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris, Juz I, hlm. 477.
268 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

sumbernya, yaitu kitab-kitab. Perlu diketahui, perpustakaan pribadi ayah al-


Qasimi memuat berbagai macam kitab mengenai tafsir, hadis, fikih, bahasa,
tasawuf, sastra, sejarah, usul fikih, sosial-kemasyarakatan, olahraga, hukum
perbandingan, filsafat, dan sejarah perbandingan agama.13
Karena fasilitas tersebut, al-Qasimi menjadi seorang pembelajar yang
banyak mengkaji karya-karya para ahli hadis, usul fikih, fikih, tasawuf, ilmu
kalam, sastra, baik yang klasik maupun yang kontemporer.14 Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika al-Qasimi menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni
dalam segala cabang ilmu pengetahuan.
Walaupun al-Qasimi lebih banyak belajar secara otodidak lewat
buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya, al-Qasimi juga tidak bisa
melepaskan diri dari pengaruh ilmuwan lain yang dianggap sebagai guru.
Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang banyak mempengaruhi
perkembangan intelektual al-Qasimi. Sejak perkenalan al-Qasimi dengan
Muhammad Abduh pada tahun 1904, al-Qasimi mengganti gaya bahasa sajak
yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam banyak karya
tulisnya.15 Selain Muhammad Abduh, al-Qasimi juga banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah.16
Selanjutnya, al-Qasimi menjadi seorang pakar dari berbagai cabang
ilmu pengetahuan dan seni di Syam. Al-Qasimi selalu disibukkan dan sangat
peduli terhadap pendidikan.17 Al-Qasimi juga termasuk orang yang anti
taklid dan menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Pemerintah pada waktu itu
pernah mendelegasikannya selama empat tahun, yaitu tahun 1308-1312 H,
untuk mengadakan perjalanan intelektual ke negara Syuriah.18 Kemudian,
al-Qasimi melanjutkan perjalanan ke Mesir dan mengunjungi Madinah.19
Setelah kembali dari perjalanannya, al-Qasimi dituduh oleh orang-
orang yang iri kepadanya dengan tuduhan mendirikan mazhab agama yang
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
13

Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Al-Izzah, 1997), hlm. 35-36.
14
Ibid., hlm. 35.
15
Ibid., hlm. 36.
16
Ibid., hlm. 46.
17
Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris, Juz I, hlm. 477. Lihat juga
dalam Umar Rida Kuhal, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm. 158.
18
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131. Lihat juga dalam Umar Rida Kuhal,
Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm. 158.
19
‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, hlm. 127. Khair al-Din al-Zarkili, al-
A‘lām, Juz II, hlm. 131. Lihat juga dalam Umar Rida Kuhal, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm.
158.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
269

baru, yang diberi nama Mażhāb al-Jamalī. Maka pada tahun 1313 H, al-
Qasimi ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.20 Akan tetapi, akhirnya
al-Qasimi dibebaskan kembali.21
Setelah peristiwa penangkapan tersebut, al-Qasimi menetap di
Damaskus. Al-Qasimi berdiam diri di rumahnya dan mengonsentrasikan diri
untuk mengarang beberapa kitab dan mencurahkan perhatiannya terhadap
ilmu pengetahuan sampai akhir hayatnya.22

2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu
keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga menghasilkan beberapa karya
di bidang lain, seperti tauhid, hadis, akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain
menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah
fikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi
berjumlah 72 kitab.23
Di antara karya-karya al-Qasimi adalah:
1. Dalāil al-Tauḥīd.
2. Dīwān Khiṭāb.
3. Al-Fatawā fī al-Islām.
4. Irsyād al-Khalqi ilā al-‘Amalī bī al-Barqi.
5. Syarḥ Luqaṭah al-‘Ajlān.
6. Naqd al-Naṣāiḥ al-Kāfiyyah.
7. Maẓāḥib al-A‘rab wa Falāsifah al-Islām fī al-Jin.
8. Mau‘iẓah al-Mu’minīn.
9. Syarāf al-Asbaṭ.
10. Tanbīḥ al-Tālib ilā Ma‘rifati al-Farḍi wa al-Wājib.
11. Jawāmi’ al-Adab fī Akhlāq al-Anjab.
12. Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bidā‘ī wa al-‘Awāidī.
13. Ta‘ṭīr al-Masyām fī Maṡārī Dimasyqī al-Syām.
14. Qawā‘id al-Taḥdīṡ min Funūni Muṣṭalāḥ al-Ḥadīṡ.
15. Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm.
16. Tarjamah al-Imām al-Bukhārī.
17. Baīt al-Qāṣid fī Dīwān al-Imām al-Walīd al-Sa‘īd.
20
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131.
21
‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, hlm. 127.
22
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131.
23
Ibid.
270 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

18. Ikhtisār al-Iḥyā’.24


19. Dan lain-lain.

C. Kitab Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm


1. Sejarah Penulisan
Tafsir adalah anak zaman. Karena itu, tafsir akan selalu
mendemonstrasikan karakter ruang serta waktu di mana dan kapan ia lahir.25
Maka, kajian terhadap latar belakang sosio-kultural di mana sebuah kitab
tafsir muncul adalah sesuatu yang urgen. Hal ini penting untuk mengetahui
situasi apa dan pengaruh apa yang melatari kemunculan kitab tafsir tersebut.
Begitu pula dengan kitab Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya
al-Qasimi.
Kitab tafsir ini muncul di tengah zaman, di mana terjadi benturan di
antara dua peradaban yang berbeda. Benturan yang terus-menerus antara
Islam dengan gerakan internasional orientalisme dan misionarisme pada
pertengahan kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan
kolonialis kafir terhadap dunia Islam mencapai puncaknya.26
Benturan antara dua peradaban ini diiringi muatan kepentingan yang
bukan saja berkaitan dengan aspek teologis, juga berkaitan dengan aspek
ekonomi dan aspek kekuasaan. Benturan dan perang wacana ini pun terjadi
di tempat tinggal al-Qasimi, yaitu negeri Syam. Tak pelak lagi, negeri Syam
menjadi tempat persemaian yang subur bagi gerakan kaum misionaris dan
para pengikutnya. Di tengah-tengah suasana inilah al-Qasimi menulis karya
tafsirnya.
Selanjutnya, tafsir karya al-Qasimi ini dipublikasikan pertama kali oleh
penerbit Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah Kairo sebanyak tujuh belas juz.
Dalam usaha penerbitan kitab ini, dilibatkan Muhammad Bahjat al-Baithar,
salah seorang anggota Majmā’ al-‘Ilmī� al-‘Arabī�, untuk menelitinya.27 Atas
usaha inilah kitab tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl ini bisa sampai ke hadapan kita.

24
Ibid. Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris, Juz I, hlm. 477.
25
Muhammad Mansur, “Ma‘ānī Al-Qur’ān Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf,
dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Teras bekerja sama dengan
TH-Press, 2004), hlm. 11.
26
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 50.
27
Ibid., hlm. 36.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
271

2. Sumber Penafsiran
Terkait dengan sumber penafsiran, pernyataan Roland Barthes sangat
urgen untuk diperhatikan. Barthes menyatakan bahwa pada dasarnya tulisan
itu tidak ada yang orisinal. Teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal
dari seribu sumber budaya.28 Begitu pula dengan tafsir karya al-Qasimi,
Maḥāsin al-Ta’wīl. Kitab ini banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran
dan beberapa literatur.
Sebagai rujukan utama, al-Qasimi mengambil dari empat sumber.29
Pertama, hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, al-Qasimi banyak
mengambil hadis dari kitab-kitab hadis tulisan al-Bukhari, Muslim, al-
Tirmidzi, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain.30
Kedua, perkataan dan pendapat para sahabat.31 Ketiga, dari para penutur
bahasa Arab asli. Alasan al-Qasimi mempertimbangkan para penutur
bahasa Arab asli sebagai sumber penafsiran cukup menarik. Sebab, menurut
al-Qasimi, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Jadi, untuk mengetahui
maknanya, kita harus menguasai bahasa Arab. Keempat, kekuatan ra’yu
dalam menangkap makna Al-Qur’an.
Di samping keempat sumber di atas, al-Qasimi juga sering mengutip
beberapa pendapat para ulama. Di antara para ulama yang sering dijadikan
rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad Abduh, al-Syatibi, Ibnu Taimiyah,
Izzudin bin Abd al-Salam, al-Syaikh Waliyullah al-Dahlawi, Abu Amru al-
Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, al-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi
Abd al-Jabbar, al-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, al-Suyuti,
dan Ibnu Hazm.
Selanjutnya, dalam menjelaskan makna kata atau idiomatikal Al-
Qur’an, al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa kamus. Di antaranya
ṣiḥah al-Jauharī dan kamus al-Muḥiṭ.32 Satu hal yang tidak bisa dihindarkan
oleh al-Qasimi adalah, dalam beberapa tempat, beliau sering mencantumkan
kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir salaf yang
kitab-kitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-Qasimi.33
28
Muhidin M. Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (Yogyakarta: Jendela, 2003),
hlm. 97.
29
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I (Beirut: Dār al-Fikr,
1978), hlm. 7-8.
30
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 37-38.
31
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 102-105.
32
Ibid., hlm. 38.
33
Ibid., hlm. 43.
272 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Selain merujuk pada beberapa literatur dalam khazanah Islam, al-Qasimi


juga terkadang mengutip dari beberapa bagian kitab Injil. Namun, pengutipan
ini hanya untuk menunjukkan kekacauan dan kerancuan dalam kitab Injil,
dan juga kitab Taurat serta kitab Talmud, yang keduanya sering disebut dalam
Injil.34 Di samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan
ilmiah dalam kitab tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan
pendapat para ilmuwan modern yang sezaman dengannya.35
Beberapa sumber inilah yang menjadikan kitab tafsir karya al-Qasimi
menjadi sebuah kitab tafsir yang sangat kaya dengan khazanah keilmuan.
Walaupun demikian, harus diperhatikan bahwa tidak semua sumber yang
dijadikan rujukan oleh al-Qasimi bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-
akademik.

3. Corak dan Karakteristik Penafsiran


Corak penafsiran adalah warna ilmiah yang dibawa mufasir ke dalam
kitab tafsirnya. Al-Farmawi membagi corak tafsir ke dalam tujuh macam,
yaitu corak tafsir al-ma’ṡūr, al-ra’yu, ṣūfī, fiqhī, falsafī, ‘ilmī, dan adabī ijtima‘ī.36
Jika melihat pembagian corak penafsiran di atas, tafsir Maḥāsin al-
Ta’wīl karya al-Qasimi bisa dimasukkan ke dalam kategori tafsir ‘ilmī. Sebab,
al-Qasimi banyak terpengaruh oleh tendensi ilmiah. Dengan demikian,
dalam kitab tafsirnya ini, al-Qasimi sengaja menjelaskan secara mendetail
masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qasimi
juga menjelaskan bahwa ia banyak mengutip pendapat-pendapat pakar
astronomi untuk memperkuat penjelasannya.37

4. Sistematika Penafsiran
Dalam menulis tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl, al-Qasimi memakai sistematika
muṣḥafī, yaitu berdasarkan urutan mushaf Al-Qur’an. Al-Qasimi menafsirkan
Al-Qur’an dimulai dari Surah al-Fātiḥah dan diakhiri dengan Surah al-Nās.
Sistematika inilah yang banyak dipakai oleh para mufasir dalam menulis
kitab tafsir.
34
Ibid., hlm. 49.
35
Ibid., hlm. 50.
36
Indal Abrar, “al-Jāmī’ li Aḥkām Al-Qur’ān wa al-Mubayyin limā Taḍammanah min al-
Sunnah wa Āyi Al-Furqān Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir,
hlm. 70.
37
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 37.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
273

Seluruh penafsiran al-Qasimi tertuang dalam kitab tafsir sebanyak


tujuh belas jilid, yang masing-masing jilid mengandung dua juz.38 Pada juz
pertama, al-Qasimi mengkhususkan sebagai juz pembukaan. Pada juz ini, al-
Qasimi memfokuskan pembahasannya untuk menjelaskan beberapa visi dan
sistematika tafsirnya.39

5. Metode Penafsiran
‘Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib memasukkan tafsir karya
al-Qasimi ke dalam kategori tafsir klasik. Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl karya al-
Qasimi ini sejajar dengan al-Tafsīr al-Ḥadīṡ karya Muhammad Izzat Darwazat
dan al-Tafsīr Al-Qur’ān lī Al-Qur’ān karya Abd al-Karim al-Khatib.40
Argumen yang bisa dikemukakan kenapa ‘Abd al-Majid Abd al-Salam
al-Muhtasib memasukkan tafsir ini ke dalam tafsir klasik adalah karena
tafsir ini selalu merujuk kepada sumber-sumber klasik sebagai sumber
penafsiran, baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat para
salaf al-ṣāliḥ. Walaupun demikian, al-Qasimi tidak pernah mengabaikan
aspek personality dan pendirian-pendiriannya. Bahkan, secara berani, al-
Qasimi juga sering melontarkan kritik terhadap beberapa pendapat para
mufasir yang dijadikan rujukannya.41
Mengenai kata-kata dalam Al-Qur’an, al-Qasimi selalu mengkajinya
secara teliti. Al-Qasimi selalu memperhatikan bentuk bacaan (qirā‘ah).
Al-Qasimi selalu memperhatikan bentuk-bentuk qirā‘ah yang mutawatir.42
Masih mengenai kata-kata dalam Al-Qur’an, secara jeli, al-Qasimi tidak
segan-segan melakukan kajian yang mendalam untuk menafsirkan kata-
kata tersebut dan mencari idiomnya.43 Di samping itu, al-Qasimi juga sering
menyertakan aspek i‘rāb kalimat-kalimat Al-Qur’an.44
Bila dalam penafsirannya menemukan hal-hal yang di dalamnya
terdapat ambiguitas dan ketercampuran pemahaman, al-Qasimi selalu

38
Untuk keperluan kajian ini, penulis memakai kitab tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl terbitan
Dār al-Fikr Beirut, tahun 1978.
39
Lihat Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 4-352.
40
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 35.
41
Ibid., hlm. 44-45.
42
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 9.
43
Ibid., hlm. 5.
44
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 47.
274 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

memberikan keterangan (tanbīh).45 Hal ini bermaksud untuk mencari


kejelasan masalah dan menghindari kesalahpahaman.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa al-Qasimi juga terkadang terjebak
ke dalam fanatisme mazhab. Dalam tafsirnya, al-Qasimi selalu membela
Mazhab Ahlus Sunnah. Maka, kita akan menemukan pendapat-pendapat al-
Qasimi yang membantah dan meng-counter pendapat Mu’tazilah.46
Adalah merupakan sebuah kemajuan, jika dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an, al-Qasimi tidak pernah melupakan kondisi masyarakat
pada zamannya. Untuk itu, al-Qasimi selalu menyerang orang-orang yang
melakukan bid’ah dan berbuat taklid, seraya memproklamirkan dibukanya
pintu ijtihad. Upaya kerasnya dalam menentang bid’ah ini terpengaruh oleh
sikap Ibnu Taimiyah.47
Kesimpulannya, dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Qasimi menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut.
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang
bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa
ulama.
c. Untuk mendukung penafsirannya, terkadang al-Qasimi mengutip kisah-
kisah Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir para ulama salaf.
d. Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
e. Al-Qasimi juga sering terjebak pada fanatisme mazhab, dengan selalu
membela Mazhab Ahlus Sunnah.
f. Selalu mengungkapkan situasi sosio-kultural masyarakat sekelilingnya
sehingga penafsirannya lebih membumi.

6. Contoh Penafsiran
Untuk mengetahui penafsiran al-Qasimi sebagaimana termaktub
dalam kitab Maḥāsin al-Ta’wīl, lihat misalnya Q.S. al-Nisā’ [4]: 3.

َ ‫َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَ َّل تُ ْق ِس ُطوا ِفي ْال َي َتا َمى َفا ْن ِك ُحوا َما َط‬
َ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َسا ِء َم ْث َنى َوثُ َل َث َو ُر َب‬
‫اع‬
‫اح َد ًة أَ ْو َما َملَ َك ْت أَ ْي َما ُن ُك ْم َذلِ َك أَ ْد َنى أَ َّل َتعُولُوا‬
ِ ‫َفإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَ َّل َت ْع ِدلُوا َف َو‬

45
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz II, hlm. 115.
46
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 41.
47
Ibid., hlm. 48.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
275

Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (Q.S. al-Nisā’ [4]: 3)

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qasimi membukanya dengan


menyebutkan pendapat al-Razi, yang mengungkapkan pandangan
kaum Sudda (suku Kuhti yang berada di dekat Zabid, Yaman) tentang
diperbolehkannya menikah dengan perempuan berapapun jumlahnya. Kaum
Sudda ini menggunakan argumen Al-Qur’an dan hadis untuk mendukung
pandangannya.
Dari Al-Qur’an, mereka mengambil Q.S. al-Nisā’ [4]: 3 sebagai dasar
argumentasinya. Sementara dari hadis, mereka mencontoh apa yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menikah dengan sembilan istri. Mereka
juga menambahkan perlunya mengikuti perilaku Rasulullah saw.
Setelah mengemukakan aspek historis tersebut, al-Qasimi kemudian
mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang penafsiran ayat ini. Di
antara para ulama yang diambil pendapatnya oleh al-Qasimi, yaitu al-Razi,
al-Syaukani, Ibnu Abd al-Barr, al-Syafi’i, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad,
al-Tirmdzi, Ibnu Majah, dan lain-lain. Selain itu, al-Qasimi juga melakukan
kajian terhadap hadis yang dijadikan hujah oleh kaum Sudda.
Dari pemaparan contoh penafsiran al-Qasimi terhadap Q.S. al-Nisā’
[4]: 3 sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, al-Qasimi melibatkan banyak aspek. Mulai dari kajian
historis, melakukan penyisiran terhadap beberapa pendapat para ulama,
sampai melakukan kajian terhadap hadis.

D. Simpulan
Demikianlah gambaran kitab tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-
Qur’ān Al-Karīm karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu
menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi merupakan
sosok ilmuwan serba bisa yang mencoba mencurahkan kehidupannya
untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Maḥāsin Ta’wīl
diwarnai oleh gejolak pertentangan antara dunia Islam dengan orientalisme
dan kolonialisme. Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa dikategorikan ke dalam
276 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

corak tafsīr ‘ilmī dengan melandaskan pada kategori tafsīr bī al-ma’ṡūr yang
selalu merujuk pada sumber-sumber otoritatif dalam khazanah intelektual
Islam.
Adalah hal yang sangat disayangkan, jika kajian terhadap tafsir buah
karya al-Qasimi ini hanya terbatas pada kajian deskriptif. Kajian yang lebih
mendalam, dengan menekankan metode analitis-filosofis, sangat urgen
untuk dilakukan. Sebab, dengan metode inilah perkembangan keilmuan di
dunia Islam akan kembali mencapai puncak kejayaan.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
277

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Indal, “al-Jāmī’ li Aḥkām Al-Qur’ān wa al-Mubayyin limā Taḍammanah


min al-Sunnah wa Āyi Al-Furqān Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad
Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu,
Yogyakarta: Teras bekerja sama dengan TH-Press, 2004.
Dahlan, Muhidin M., Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, Yogyakarta: Jendela,
2003.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2003.
Jansen, JJG, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk.,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
al-Kittani, Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir, Faḥras al-Faḥāris wa al-Iṡbat, Juz I,
t.tp.: Dār al-Garb al-Islamī�, 1982.
Kuhal, Umar Rida, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turaṡ al-
‘Arabī�, t.t.
Mansur, Muhammad, “Ma‘ānī Al-Qur’ān Karya al-Farra’”, dalam Muhammad
Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu,
Yogyakarta: Teras bekerja sama dengan TH-Press, 2004.
al-Muhtasib, ‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Nawayhad, ‘Adil, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, t.tp.: Muassasah Nawayḥaḍ al-
S|aqāfiyyah, 1986.
al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, Beirut: Dār al-
Fikr, 1978.
278 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal
Tashwirul Afkar Edisi No. 18 Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi
Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.),
Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
al-Zarkili, Khair al-Din, al-A‘lām, Juz II, t.tp.: t.p., t.t.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
279

MENELISIK REBOISASI DALAM HADIS


Upaya Menemukan Ideal Moral dalam Hadis tentang Anjuran
Menanam

Oleh: Ahmad Suhendra


(Mahasiswa Studi al-Qur’an dan Hadis, Prodi Agama dan Filsafat
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Abstract

Many disasters facing Indonesia is not only natural events.


However, the environmental damage caused by excessive
exploitation of natural resources. One of them, illegal logging
in some parts of Indonesia. It was not accompanied by
reforestation, so trees as a buffer ecosystem balance becomes
increasingly depleted. The action was so counter to those
taught theological traditions. Prophet gave moral education
with an invitation to perform planting trees. When a Muslim
plant trees or plants, then used by animals or humans, then
it becomes a charity for the plant. In this context, the Prophet
invited to preserving the environment by planting trees. Thus, a
comprehensive understanding is needed to find the ideal moral.
It can be recommended to the government or environmental
organizations.

Keywords: Ma’āni al-Hadīṡ, Hadis, Reboisasi, Menanam, Pohon,


Lingkungan

A. Pendahuluan
Pada kurun waktu beberapa dekade terakhir issu lingkungan mulai
mencuat kepermukaan kembali. Hal itu selaras dengan terjadinya beberapa
280 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

bencana alam yang terjadi di Indonesia. Menurut data Kompas1 sudah terjadi
6.632 bencana yang menimpa Indonesia dalam jarak antara tahun 1997 –
2010. Hal itu tidak hanya memberikan dampak kerugian material semata,
tetapi juga menyisakan luka psikologis yang mendalam bagi para korban.
Bagi beberapa kalangan agamawan fatalis-pasivistik, bencana dianggap
sebagai kutukan, azab dari Tuhan. Pandangan itu merupakan, meminjam
istilah Hegel, sintesa yang tidak mendasar dan terlalu dini. Menurut Fitria
Sari Yunianti2 banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi
sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum
keseimbangan alam yang tidak terjaga, salah satunya akibat penebangan
hutan. Jika alam tidak dijaga keharmonisan dan keseimbangannya, maka
secara hukum alam (sunnatullah) keteraturan yang ada pada alam akan
terganggu dan dapat berakibat munculnya bencana alam. Dengan demikian,
ketika manusia merusak keseimbangan alam yang sudah lama terbentuk,
maka alam akan menyesuaikan diri. Penyesuaian alam atas perubahan
tatanan keseimbangan ekologis inilah yang disebut bencana.
Penggundulan hutan, baik itu disebabkan tindakan illegal logging
maupun peralihan fungsi lahan, menjadi salah satu penyebab terjadinya
beberapa bencana alam atau, penulis lebih setuju dengan sebutan, krisis
ekologis. Krisis ekologis merupakan dampak dari pengerukan kekayaan alam
yang berkepanjangan. Padahal, kerusakan atas alam sangat kontras dengan
ajaran Islam. Sebagai salah satu agama samawi, Islam memiliki peran besar
dalam rangka mencegah dan menanggulangi krisis tersebut. Setidaknya
terdapat dua faktor penyebab banyaknya bencana yang menimpa, faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal berarti bencana itu terjadi
secara alamiah. Adapun faktor eksternal berarti bencana yang disebabkan
oleh tindakan dan perilaku manusia. Di antara tindakan manusia yang
berdampak pada lingkungan adalah merusak pohon tanpa alasan yang jelas
dan tanpa dibarengi dengan rehabilitasi, misalnya berupa reboisasi. Faktor
kedua itulah yang ingin diulas dalam artikel ini, terutama reboisasi dalam
perspektif Hadis. Hadis merupakan corpus-religius kedua bagi komunitas
muslim, setelah al-Qur’an. Selain itu, Hadis lebih spesifik karena lahir dari
verbalisasi fenomena kehidupan Nabi SAW.

1
Kompas, 6 April 2010, hlm. 13.
2
Fitria Sari Yunianti, “Wawasan al-Qur’an Tentang Ekologi; Arti Penting Kajian,
Asumsi Pengelolaan, dan Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Lingkungan” dalam Studi Ilmu-
Ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. X. No. 1. 2009, hlm. 94-95.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
281

Banyak indikasi tema perihal lingkungan yang terekam dalam Hadis.


Namun, kitab-kitab hadis seperti Shahih al-Bukhari, Shahi Muslim, Sunan
Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, dll, belum mengklasifikasikan dalam satu
tema besar tentang lingkungan. Salah satu tema yang berkaitan dengan
lingkungan itu mengenai reboisasi. Reboisasi menjadi hal yang penting
dalam menormalkan chaos yang terjadi dalam sebuah ekosistem. Tuhan
sudah menumbuhkan pepohonan di muka bumi sebelum menurunkan
manusia ke bumi. Untuk itulah dalam artikel ini mencoba mengeksplorasi
anjuran reboisasi dalam rekaman hadis Nabi.

B. Kajian Analisis Sanad Hadis


1. Takhrīj al-Hadīṡ
Ilmu takhrīj al-ḥadīṡ berasal dari dua kata, yakni takhrīj dan al-ḥadīṡ.
Kata pertama secara bahasa berarti mengeluarkan, melatih, meneliti atau
menghadapkan.3 Adapun Mahmud al-Tahhan4 mendefinisikan takhrīj
sebagai kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.
Adapun secara istilah para ahli hadis mempunyai pengertian yang beragam.
Setidaknya ada tiga pengertian yang diuraikan al-Tahhan, yaitu: pertama,
mengeluarkan dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab, kedua,
menunjukkan sumber-sumber kitab hadis, dan menisbatkannya dengan
cara menyebutkan para periwayatnya, yakni para pengarang kitab-kitab
sumber hadis tersebut, ketiga, menjelaskan hadis pada orang lain dengan
menyebutkan mukharrij-nya, yakni para periwayat dalam sanad hadis.
Setelah dilakukan penelusuran melalui metode takhrij al-hadis melalui
CD-Rom Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah dengan kata gars
(‫)غرس‬, ditemukan dalam beberapa kitab hadis. Dengan rincian dua hadis
diriwayatkan al-Bukhari, lima hadis diriwayatkan Muslim, delapan hadis
oleh Ahmad, al-Tirmizi, dan al-Darimi masing-masing satu hadis.

2. I’tibar
Dengan hasil takhrīj al-hadīṡ di atas, dapat diketahui bahwa skema
sanad hadis menanam pohon (reboisasi) tersebar dalam tujuh belas tempat.
Tujuh belas macam hadis tersebut diriwayatkan melalui tiga jalur sahabat,
3
Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Zuhri, 2003), hlm. 149.
4
Mahmud at-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 1-4.
282 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

yakni Anas ibn Mālik, Jābir ibn ‘Abdullah, dan Ummi Mubasysyir. Dalam
tulisan ini, tidak semua sanad hadis akan diteliti, tetapi penelitian sanad
hadis difokuskan pada skema sanad hadis al-Bukhari.
Ketika menelesuri skema sanad hadis al-Bukhāri, ditemukan periwayat
yang berstatus sebagai syahid, yakni Anas ibn Mālik, Jābir ibn ‘Abdullah dan
Ummi Mubasysyir. Syahid merupakan periwayat pendukung dari kalangan
atau tingkatan sahabat. Di dalam skema sanad hadis tersebut juga terdapat
periwayat yang berstatus sebagai muttabi’, di antaranya yaitu Qutaibah
ibn Sa’id, ‘Abd al-Rahman ibn al-Mubarak, dan Aban. Sedangkan, muttabi’
merupakan periwayat pendukung dari kalangan atau tingkatan tabi’in atau
ittabi’u al-tabi’in. Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari sendiri masuk dalam
jalur sanad Anas ibn Mālik, dan memiliki, meminjam istilah G.H.A Juynboll,
common link Qutaibah ibn Sa’id dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Mubarak.
Di dalam Ulūm al-Ḥadīs, hadis ṣaḥīḥ terbagi dua, yaitu hadis ṣaḥīḥ li
żātih dan hadis ṣaḥīḥ li gairih. Hadis ṣaḥīḥ li żātih hi adalah hadis ṣaḥīḥ yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Muhammad ‘Ajāj al-Khaṭī�b5
memberikan rumusan kriteria atau syarat yang harus dipenuhi untuk
kriteria hadis bernilai ṣahīh, yaitu: (1). Ketersambungan sanad, (2). Semua
periwayatnya adl dan d}abt, (3) Hadis yang diriwayatkan tidak mengandung
syāż dan terhindar dari ‘illah. Berikutnya, hadis ṣaḥīḥ li gairih adalah hadis
ṣaḥīḥ yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan secara
maksimal. Akan tetapi, terdapat hadis pada jalur lain yang menguatkannya
atau ke- ṣaḥīḥ-annya sebab faktor lain.

3. Kritik dan Analisa Sanad Hadis


Kritik sanad dilakukan untuk menguji validitas jaringan sanad dalam
suatu hadis. Dengan demikian, studi hadis lebih banyak variabel dalam
melakukan penafsiran hadis, sehingga hal ini berbeda dengan studi al-
Qur’an. Dengan beberapa alasan, perkembangan studi hadis lebih lambat
dibanding studi al-Qur’an.
Salah satu redaksi hadis yang diriwayatkan melalui jalur Anas,
sebagaimana terdapat pada ṣ}aḥīḥ al-Bukhārī, No. 2152, Kitab: al-Muzāra’ah,
Bab: Fad}l az-Zar’ wa al-Gars iz|ā Akala minhu dalam CD-ROM Mausū’ah
al-ḥadīṡ al-Syarīf al-Kutūb al-Tis’ah, Global Islamic Software, 1997. yang
berbunyi:
5
Muhammad ‘Ajāj al- Khaṭīb, Uṣūl al-ḥadīṡ: ‘Ulūmuh wa Muṣṭalaḥah, (Libanon: Dār
al-Fikr, 2006), hlm. 201.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
283

‫ار ِك َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة‬َ ‫ْن ْال ُم َب‬ َّ ‫ْن َس ِعي ٍد َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة ح و َح َّد َث ِني َع ْب ُد‬
ُ ‫الر ْح َم ِن ب‬ ُ ‫َح َّد َث َنا ُق َت ْي َب ُة ب‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن‬ َّ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫ض َي اللَُّ َع ْن ُه َق‬
َ ‫ال َق‬ َ َ
َ ِ‫الل‬ ِ ‫ْن َمالِ ٍك َر‬ ِ‫س ب‬ ِ ‫َع ْن ق َتا َد َة َع ْن أ َن‬
‫َق ٌة‬
َ ‫صد‬ َ ‫ان لَ ُه ِب ِه‬ َ ‫ان أَ ْو َب ِهي َم ٌة إِ َّل َك‬ ٌ ‫س َغ ْر ًسا أَ ْو َي ْز َر ُع َز ْر ًعا َف َي ْأ ُك ُل ِم ْن ُه َطي‬
ٌ ‫ْر أَ ْو إِ ْن َس‬ ُ ‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر‬ ْ‫م‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫س َع ْن النَّ ِب ِّي‬ ٌ ‫ان َح َّد َث َنا َق َتا َد ُة َح َّد َث َنا أََن‬
ُ ‫ُسلِ ٌم َح َّد َث َنا أََب‬
ْ ‫ال لََنا م‬ َ ‫َو َق‬
Artinya: Qutaibah ibn Sa’īd telah menceritakan kepada kami, Abū ‘Awānah telah
menceritakan kepada kami, ‘Abd al-Raḥman ibn al-Mubārak juga
telah menceritakan kepada saya, Abū ‘Awānah telah menceritakan
kepada kami, dari Qatādah, dari Anas ibn Mālik berkata, Rasulallah
SAW. bersabda: Tidak ada seorang muslim yang menanam pohon
atau tanaman, kemudian ada burung, manusia atau binatang ternak
memakannya, kecuali baginya itu sedekah. Dan Muslim berkata
kepada kami, Abān telah menceritakan kepada kami, Qatādah telah
menceritakan kepada kami, Anas telah menceritakan kepada kami,
dari Rasulallah SAW.

a) Penilaian Kualitas Periwayat


Urutan sebagai Urutan sebagai
Periwayat
Periwayat Sanad
Anas ibn Mālik I IV

Qatādah II III

Abū ‘Awanah III II

Abu al-Walīd IV I

Al-Bukhāri V Mukharrij al-Hadis


1) Anas ibn Malik
Anas ibn Mālik nama lengkapnya Anas ibn Mālik ibn al-Naḍr ibn
ḍamḍam ibn Zaid ibn Harām ibn Jundab ibn ‘Ā�mir ibn Ghanmi ibn ‘Adi
ibn al-Najjār al-Anṣāri. Anas dikenal sebagai pembantu dan kerabat dari
jalur istri Nabi, bahkan Nabi memberikan gelar Abu Hamzah kepadanya.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi Anas menerima hadis langsung
dari Nabi. Anas memiliki murid banyak sekali, di antaranya adalah
Qatādah6. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafatnya Anas
ada yang menyebutkan tahun 90 H, 91 H, 92 H, dan ada yang menyebut

6
Ibn ḥajar al-‘Asqalanī, Tahżīb al-Tahżīb fi Rijāl al-ḥadīṡ, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 2004), hlm. 354.
284 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

Anas wafat pada tahun 93 H.7 Kesimpulan atas pembacaan dalam tahżīb
al-tahżīb, tidak ada yang mencela Anas, tetapi sebaliknya banyak yang
memuji kredibilitas beliau sebagai seorang periwayat hadis.

2) Qatādah
Qatādah ibn Di’āmah ibn Qatādah ibn ‘Azī�z ibn ‘Amr ibn Rabi’ah
ibn ‘Amr ibn al-Hārith ibn Sadūs. Qatadah memiliki guru di antaranya
Anas ibn Mālik dan Abu al-Thufail. Adapun murid-murid Qatādah, di
antaranya, adalah Abu ‘Awānah dan Syu’bah.8 Penilaian para ulama
terhadapnya, bahwa Qatadah sebagai ‫الناس احفظ‬, memiliki hapalan yang
kuat, dan adil. Ishāq ibn Manshūr menilai Qatadah sebagai seorang yang
ṡiqah.9 Qatadah memiliki nama kunyah dengan sebutan Abu al-Khattab.
Di dalam keterangan, beliau wafat pada tahun 107 H.10

3) Abū ‘Awānah
Abu ‘Awanah memiliki nama lengkap Wiḍoh bin Abdullāh Maula
Yazid bin ‘Aṭo’ al-Wasiṭi. Namu, beliau lebih terkenal dengan nama
kunyah-nya, Abū Awanah. Abū ‘Awanah wafat di Baṣrah pada tahun 175
atau 176 H.11
Adapun para guru Abū ‘Awanah, di antaranya, adalah al-Aswad
ibn Qaiys, Qatādah, dan Ibrahim ibn Muhajir. Murid-murid Abū ‘Awanah
di antaranya adalah Syu’bah, Abu Dawud, Abū al-Walid, Qutaibah ibn
Sa’id, dan Abd al-Rahmān ibn al-Mubārak.12
Para ulama tidak ada yang mencela kredibilitas dan intelektualitas
Abū ‘Awanah, sebaliknya para ulama banyak yang memuji ketokohan
Abū ‘Awanah. Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hatim
mendengar dari Hisyam ibn Abdullah al-Rāzi bertanya kepada ibn
al-Mubārak, “Abu Awanah adalah periwayat yang paling baik dalam
meriwayatkan hadis.” Di sisi lain, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-‘Ijli dan yang
lain menilai Abu Awanah sebagai seorang yang ṡiqah.13
7
Ibid., hlm. 356.
8
Ibid., jilid V, hlm. 326-327.
9
Ibid., hlm. 327-329.
10
Abd al-Ghaffār Sulaiman al-Bandarī, Mausū‘ah Rijāl al-Kutub al-Tis‘ah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), hlm. 268.
11
Ibid., jilid IV, hlm. 171.
12
Al-‘Asqalani, Tahżīb, op.cit., jilid VI, hlm. 714-715.
13
Ibid., hlm. 715.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
285

4) Abū al-Walid
Nama lengkapnya adalah Hisyam ibn ‘Abd al-Mālik al-Baili,
memiliki nama kunyah Abū al-Walid dan Abu Dawud. Abū al-Walid wafat
pada tahun 228 H dengan umurnya 94 tahun. Al-Bukhari, Muslim, Abud
Dawud, dll menilai Abū al-Walid sebagai ṡiqah, ṡubūt.14
Abū al-Walid meriwayatkan hadis dari periwayat terkenal, di
antaranya adalah ‘Ikrimah ibn ‘Ammar, Syu’bah, dan Abū ‘Awanah.
Adapun murid-murid Abū al-Walid di antaranya adalah al-Bukhari, Abu
Dawud, dan al-Darimi, Al-Maimuni dari Ahmad menyatakan bahwa Abu
al-Walid syaikh al-Islam. Penilaian lain dilontarkan oleh al-‘Ijli dan Abu
Zur’ah sebagai ṡiqah.15

5) Al-Bukhari
Nama lengkapnya Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-
Mughirah ibn Bażdizbah (Bardizbah). Al-Bukhari memiliki nama kunyah
Abu Abdullah. Beliau lahir di Bukhara pada tahun 194 H, dan wafat pada
tahun 256 H.16 Al-Bukhari meriwayatkan hadis di antaranya dari Abū al-
Walid, Abu ‘As{im al-Nabil, dan Makki ibn Ibrahim. Penilaian para ulama
terhadap al-Bukhari; ‫حسن الحفظ‬, ‫حسن المعرفة‬, dan ṡiqah Tidak ada ulama
yang meragukan kredibilitas al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis.

b) Persambungan Sanad
Untuk melihat adanya persambungan sanad dapat dilihat dari kualitas
periwayatnya yakni dengan melihat keterpercayaannya tanpa adanya tadlīs
dan sah menurut taḥammul wa al-adā’ serta hubungannya dengan periwayat
terdekat.
Berdasarkan penjelasan di atas, antara Rasulallah SAW. Dengan Anas
ibn Mālik tidak diragukan lagi persambungannya. Selain sebagai sahabat
Nabi, Anas juga sebagai kerabat dan pembantu Rasulallah SAW. Hubungan
Anas dan Abu Awanah mempunyai hubungan guru dan murid, sehingga
dapat dikatakan hubungan mereka bersambung. Begitu juga antara Abū
Awānah dengan Abū al-Walid yang memiliki hubungan guru dan murid. Hal
ini diperkuat dengan ṡigat tahammul wa al-ada’ berupa ‘an (‫)عن‬, maka di

14
al-Bandari, op.cit., jilid IV, hlm. 142.
15
al-‘Asqalani, Tahżīb, op.cit., Jilid VI, hlm. 647.
16
Ibid., Jilid V, hlm. 475.
286 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

antara keduanya dapat dikatakan bersambung. Lafal ‘an itu dimungkinkan


terjadi pertemuan, kesezamanan. Walaupun, sebagian ulama menyatakan
penerimaan dengan menggunakan lambang ‘an (‫ )عن‬itu terputus, tetapi
mayoritas ulama menilai metode dengan lafal tersebut dikategorikan sebaga
al-samā’.
Antara Abū al-Walid dan Abū Dāwud juga dikatakan bersambung
dengan alasan yang sama. Ditambah dengan sigat taḥammul wa al-adā’
berupa ḥaddaṡanā. Lafal itu adalah salah satu istilah yang dipakai untuk cara
penerimaan melalui al-samā’ atau pendengaran sebagai cara yang paling
akurat dan berstatus tertinggi dibanding cara-cara yang lain (Ismail, 1995:
56-83).17

c) Kemungkinan adanya Syaz dan Illat


Berdasarkan penilaian kualitas dan persambungan sanad tersebut,
dapat disimpulkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad al-
Bukhari bersifat siqat dan sanadnya bersambung dari periwayat pertama
sampai periwayat terakhir. Keberadaan al-Bukhari semakin kuat karena
didukung syahid dan muttabi’. Dengan demikian, dapat disimpulkan sanad
al-Bukhari yang diteliti terhindar dari syad dan illat.

d) Hasil Kritik dan Analisa Sanad


Menurut Abū ‘Ī�sa dalam Sunan al-Tirmiżī menilai bahwa hadis Nabi
yang disampaikan melalui Anas, berstatus ‘ḥasan ṣaḥīḥ’. Hadis tentang
anjuran menanam yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri dari Abū al-Walid
dalam kategori hadis ahad dengan status aziz dari periwayat pertama sampi
akhir. seluruh periwayatnya dapat diterima dan oleh karenanya periwayat-
periwayat yang terdapat dalam jalur sanad tersebut bernilai ṣaḥīḥ.

C. Kajian Analisis Matan Hadis


Hadis-hadis di atas memiliki keragaman redaksi, hampir setiap
riwayat terdapat perbedaan kalimat. Namun demikian, perbedaan itu tidak
menimbulkan pertentangan, sehingga keragaman redaks itu tidak signifikan
dan tidak mempengaruhi kualitas hadis dari aspek matan.

17
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 56-83.
‫‪Menelisik Reboisasi Dalam Hadis‬‬
‫) ‪( Ahmad Suhendra‬‬
‫‪287‬‬

‫‪Syuhudi Ismail18 menawarkan tiga langkah metodologis dalam‬‬


‫‪melakukan kritik matan, yaitu 1) meneliti matan dengan melihat kualitas‬‬
‫‪sanadnya, 2) meneliti susunan lafal matan semakna, dan 3) meneliti‬‬
‫‪kandungan matan. Selain itu, terdapat rumusan lain, 1) tidak bertentangan‬‬
‫‪dengan akal sehat, 2) tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadis mutawātir,‬‬
‫)‪dan Ijma’, 3) tidak bertentangan dengan amalan kebiasaan ulama salaf, 4‬‬
‫‪tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti, dan 5) tidak bertentangan‬‬
‫‪dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya kuat.‬‬

‫‪a) Al-Bukhāri; 5553‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َق َ‬
‫ْن َمالِ ٍك َع ْن النَّ ِب ِّي َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ َ ْ‬
‫ال َما‬ ‫س بِ‬ ‫َح َّدث َنا أبُو ال َولِي ِد َح َّدث َنا أبُو َع َوا َنة َع ْن ق َتا َد َة َع ْن أ َن ِ‬
‫َق ٌة‬
‫صد َ‬‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬ ‫ان أَ ْو دَاب ٌ‬
‫َّة إِ َّل َك َ‬ ‫س َغ ْر ًسا َفأَ َك َل ِم ْن ُه إِ ْن َس ٌ‬
‫ُسلِ ٍم َغ َر َ‬
‫ِم ْن م ْ‬

‫‪b) Al-Bukhāri; 2152‬‬


‫َار ِك َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة َع ْن‬ ‫ْن ْال ُمب َ‬ ‫ْن َس ِعي ٍد َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة ح و َح َّد َث ِني َع ْب ُد َّ‬
‫الر ْح َم ِن ب ُ‬ ‫َة ب ُ‬ ‫َح َّد َث َنا ُق َت ْيب ُ‬
‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ال َق َ‬‫ض َي اللَُّ َع ْن ُه َق َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫س‬ ‫اللِ َ‬ ‫ْن َمالِ ٍك َر ِ‬ ‫س بِ‬ ‫ق َتا َد َة َع ْن أ َن ِ‬
‫َق ٌة َو َق َ‬
‫ال لََنا م ْ‬
‫ُسلِ ٌم َح َّد َث َنا‬ ‫صد َ‬ ‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬ ‫َهي َم ٌة إِ َّل َك َ‬ ‫ْر أَ ْو إ ْن َس ٌ َ‬ ‫َ ُْ ُ ْ َ‬ ‫َ ْ‬
‫ان أ ْو ب ِ‬ ‫َغ ْر ًسا أ ْو يَز َر ُع َز ْر ًعا فيَأكل ِمن ُه طي ٌ ِ‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫س َع ْن النَّ ِب ِّي َ‬ ‫َان َح َّد َث َنا َق َتا َد ُة َح َّد َث َنا أََن ٌ‬
‫أَب ُ‬

‫‪c) Muslim; 2900‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ْن نُ َميْر َح َّد َث َنا أَبي َح َّد َث َنا َع ْب ُد ْال َملِ ِك َع ْن َع َطا ٍء َع ْن َجابر َق َ‬
‫ال َق َ‬ ‫َ‬
‫اللِ َ‬ ‫ٍِ‬ ‫ِ‬ ‫َح َّدث َنا اب ُ ٍ‬
‫ُع‬
‫السب ُ‬ ‫َق ٌة َو َما أَ َك َل َّ‬
‫صد َ‬ ‫َق ًة َو َما ُس ِر َق ِم ْن ُه لَ ُه َ‬ ‫صد َ‬ ‫ان َما أُ ِك َل ِم ْن ُه لَ ُه َ‬
‫س َغ ْر ًسا إِ َّل َك َ‬ ‫َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬
‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬
‫َق ٌة‬
‫صد َ‬‫ان لَ ُه َ‬ ‫َر َز ُؤ ُه أَ َح ٌد إِ َّل َك َ‬
‫َق ٌة َو َل ي ْ‬ ‫صد َ‬‫ْر َف ُه َو لَ ُه َ‬ ‫َق ٌة َو َما أَ َكلَ ْت َّ‬
‫الطي ُ‬ ‫صد َ‬‫ِم ْن ُه َف ُه َو لَ ُه َ‬

‫‪d) Muslim; 2901‬‬


‫ُّ‬ ‫َ‬ ‫ْن ُرمْح أَ ْخب َ َّ ُ‬ ‫ْث ح و َح َّد َث َنا م َ‬ ‫ْن َس ِعي ٍد َح َّد َث َنا لَي ٌ‬ ‫َح َّد َث َنا ُق َت ْيب ُ‬
‫ْر َع ْن َج ِاب ٍر‬‫َر َنا الليْث َع ْن أ ِبي الز َبي ِ‬ ‫ٍ‬
‫ُح َّم ُد ب ُ‬ ‫َة ب ُ‬
‫صلَّى اللَُّ‬ ‫ال لَ َها النَّ ِب ُّي َ‬
‫صاريَّ ِة ِفي َن ْخ ٍل لَ َها َف َق َ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم د َ َ َ ُ ِّ ْ َ ْ‬ ‫أَ َّن النَّ ِب َّي َ‬
‫َخل َعلى أ ِّم ُمبَش ٍر الن َ ِ‬
‫َز َر ُع‬‫ُسلِ ٌم َغ ْر ًسا َو َل ي ْ‬‫سمْ‬ ‫ال َل َي ْغ ِر ُ‬ ‫ُسلِ ٌم َف َق َ‬ ‫ُسلِ ٌم أَ ْم َكا ِف ٌر َف َقالَ ْت ب ْ‬
‫َل م ْ‬ ‫س َه َذا النَّ ْخ َل أَم ْ‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َغ َر َ‬
‫َق ٌة‬
‫صد َ‬ ‫َّة َو َل َش ْي ٌء إِ َّل َكا َن ْت لَ ُه َ‬ ‫ان َو َل دَاب ٌ‬ ‫َز ْر ًعا َفي َْأ ُك َل ِم ْن ُه إِ ْن َس ٌ‬

‫‪18‬‬
‫‪ Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),‬‬
‫‪hlm. 121-122.‬‬
‫‪288‬‬ ‫‪Volume 8, Nomor 2, Juli 2012‬‬

‫‪e) Muslim; 2902‬‬


‫ْر أَنَّ ُه َس ِم َع‬ ‫ْن ُج َريْج أَ ْخب َ َ ُّ‬
‫َر ِني أبُو الز َبي ِ‬ ‫ٍ‬
‫ف َق َال َح َّد َث َنا َر ْو ٌح َح َّد َث َنا اب ُ‬ ‫ْن أَِبي َخلَ ٍ‬ ‫ْن َحا ِتم َواب ُ‬
‫ٍ‬ ‫و َح َّد َث ِني م َ‬
‫ُح َّم ُد ب ُ‬
‫ُسلِ ٌم َغ ْر ًسا َو َل‬ ‫س َر ُج ٌل م ْ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي َُق ُ‬
‫ول َل َي ْغ ِر ُ‬ ‫اللِ َ‬‫ول َّ‬‫ْت َر ُس َ‬ ‫ول َس ِمع ُ‬ ‫ْن َع ْب ِد َّ‬
‫اللِ ي َُق ُ‬ ‫َج ِاب َر ب َ‬
‫ف َطا ِئ ٌر َش ْي ٌء‬ ‫ْن أَِبي َخلَ ٍ‬ ‫ان لَ ُه ِفي ِه أَ ْج ٌر و َق َ‬
‫ال اب ُ‬ ‫َز ْر ًعا َفي َْأ ُك َل ِم ْن ُه َسبُ ٌع أَ ْو َطا ِئ ٌر أَ ْو َش ْي ٌء إِ َّل َك َ‬

‫‪f) Muslim; 2903‬‬


‫ْرو ب ُ‬
‫ْن‬ ‫َر ِني َعم ُ‬ ‫ْن إِ ْس َح َق أَ ْخب َ‬‫ْن ُعبَا َد َة َح َّد َث َنا َز َك ِريَّا ُء ب ُ‬‫اهي َم َح َّد َث َنا َر ْو ُح ب ُ‬ ‫ْر ِ‬
‫ْن إِب َ‬
‫ْن َس ِعي ِد ب ِ‬ ‫َح َّد َث َنا أَ ْح َم ُد ب ُ‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى أُ ِّم َم ْع َب ٍد َحا ِئ ًطا َف َق َ‬ ‫َخ َل النَّ ِب ُّي َ‬ ‫ول د َ‬ ‫ْن َع ْب ِد َّ‬
‫اللِ ي َُق ُ‬ ‫ار أَنَّ ُه َس ِم َع َج ِاب َر ب َ‬
‫ال يَا‬ ‫ِدي َن ٍ‬
‫ُسلِ ُم َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك َل ِم ْن ُه‬‫س ْالم ْ‬ ‫ال َف َل َي ْغ ِر ُ‬ ‫ُسلِ ٌم َق َ‬ ‫َل م ْ‬ ‫ُسلِ ٌم أَ ْم َكا ِف ٌر َف َقالَ ْت ب ْ‬
‫س َه َذا النَّ ْخ َل أَم ْ‬ ‫أُ َّم َم ْع َب ٍد َم ْن َغ َر َ‬
‫َة َح َّد َث َنا َح ْف ُ‬ ‫ْن أَبي َش ْيب َ‬ ‫َ َ ْ‬ ‫َق ًة إلَى ي ْ ْ‬ ‫ان لَ ُه َ َ‬ ‫َّة َو َل َطي ٌ‬
‫ْر إِ َّل َك َ‬ ‫ان َو َل دَاب ٌ‬ ‫إِ ْن َس ٌ‬
‫ص‬ ‫َو ِم ال ِقيَا َم ِة و َح َّدث َنا أبُو بَك ِر ب ُ ِ‬ ‫صد ِ‬
‫ْرو النَّا ِق ُد‬ ‫َة ح و َح َّد َث َنا َعم ٌ‬ ‫اهي َم َج ِميعًا َع ْن أَبي ُم َعاوي َ‬ ‫ْر ِ‬‫ْن إِب َ‬ ‫ْب َوإِ ْس َح ُق ب ُ‬ ‫َ ُ‬
‫َاث ح و َح َّد َث َنا أبُو ك َري ٍ‬ ‫ْن ِغي ٍ‬ ‫بُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ضي ٍ ُ ُّ َ‬ ‫ْن ُف َ‬ ‫َة َح َّد َث َنا اب ُ‬‫ْن أَبي َش ْيب َ‬ ‫َ َ ْ‬ ‫َح َّد َث َنا َعم ُ‬
‫ش َع ْن‬ ‫ْل كل َه ُؤل ِء َع ْن ال ْع َم ِ‬ ‫ُح َّم ٍد ح و َح َّدث َنا أبُو بَك ِر ب ُ ِ‬ ‫ْن م َ‬ ‫َّار ب ُ‬
‫َة َف َق َال‬ ‫ْب ِفي ر َوا َي ِت ِه َع ْن أَبي ُم َعاوي َ‬ ‫َ ُ‬ ‫َان َع ْن َج ِاب ٍر َزا َد َعم ٌ‬ ‫أَِبي ُس ْفي َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّار ح َوأبُو ك َري ٍ‬ ‫ْرو ِفي ِر َوا َي ِت ِه َع ْن َعم ٍ‬
‫َة َق َ‬ ‫ْرأَ ِة َز ْي ِد بْن َحار َث َة َو ِفي ر َوا َي ِة إ ْس َح َق َع ْن أَبي ُم َعاوي َ‬ ‫ْل َع ْن ام َ‬ ‫ْن ُف َ‬ ‫ُ ِّ‬
‫ال‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ضي ٍ‬ ‫َع ْن أ ِّم ُمبَش ٍر َو ِفي ِر َوا َي ِة اب ِ‬
‫صلَّى اللَُّ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ُربَّ َما لَ ْم ي َُق ْل َو ُكلُّ ُه ْم َقالُوا َع ْن النَّ ِب ِّي َ‬ ‫َش ٍر َع ْن النَّ ِب ِّي َ‬ ‫ال َع ْن أُ ِّم ُمب ِّ‬ ‫ُربَّ َما َق َ‬
‫ُّ‬ ‫َ‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ب َن ْحو َح ِد ِ َ‬
‫ْن ِدي َن ٍ‬
‫ار‬ ‫ْرو ب ِ‬ ‫ْر َو َعم ِ‬ ‫يث َعطا ٍء َوأ ِبي الز َبي ِ‬ ‫ِ ِ‬

‫‪g) Muslim; 2904‬‬


‫َر َنا و‬ ‫َحيَى أَ ْخب َ‬ ‫َحيَى َق َ‬
‫ال ي ْ‬ ‫َر ُّي َواللَّ ْف ُظ لِي ْ‬ ‫ُْ‬
‫ْن ُع َب ْي ٍد الغب ِ‬ ‫ُح َّم ُد ب ُ‬‫ْن َس ِعي ٍد َوم َ‬ ‫َة ب ُ‬‫َحيَى َو ُق َت ْيب ُ‬‫ْن ي ْ‬ ‫َحيَى ب ُ‬ ‫َح َّد َث َنا ي ْ‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن‬ ‫اللِ َ‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ال َق َ‬ ‫ال ْال َخ َران َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أََنس َق َ‬ ‫َق َ‬
‫ٍ‬ ‫ِ‬
‫َق ٌة و َح َّد َث َنا‬ ‫صد َ‬ ‫َهي َم ٌة إِ َّل َك َ‬
‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬ ‫ْر أَ ْو إ ْن َس ٌ َ‬ ‫َ ُْ ُ ْ َ‬ ‫َ ْ‬ ‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬
‫ان أ ْو ب ِ‬ ‫س َغ ْر ًسا أ ْو يَز َر ُع َز ْر ًعا فيَأكل ِمن ُه طي ٌ ِ‬ ‫مْ‬
‫ْن َمالِ ٍك أَ َّن َنب َّي َّ‬
‫اللِ‬ ‫س بُ‬ ‫َزي َد َح َّد َث َنا َق َتا َد ُة َح َّد َث َنا أََن ُ‬ ‫َان ب ُ‬ ‫اهي َم َح َّد َث َنا أَب ُ‬ ‫ُسلِ ُم ب ُ‬ ‫ْن ُح َم ْي ٍد َح َّد َث َنا م ْ‬‫َع ْب ُد ب ُ‬
‫ِ‬ ‫ْن ي ِ‬ ‫ْر ِ‬
‫ْن إِب َ‬
‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫صار َف َق َ‬ ‫َْْ‬ ‫َشر ام َ َ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم د َ َ ً ُ ِّ‬
‫َخل َن ْخل ِل ِّم ُمب ٍ‬
‫اللِ َ‬ ‫ْرأ ٍة ِم ْن الن َ ِ‬ ‫َ‬
‫ُسلِ ٌم أَ ْم َكا ِف ٌر َقالُوا م ْ‬
‫ُسلِ ٌم ِب َن ْح ِو َح ِدي ِث ِه ْم‬ ‫س َه َذا النَّ ْخ َل أَم ْ‬ ‫َم ْن َغ َر َ‬

‫‪h) Aḥmad; 12308‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬
‫ُسلِ ٍم‬ ‫اللِ َ‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫س َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أََنس َق َ‬
‫ال َق َ‬ ‫َح َّد َث َنا يُونُ ُ‬
‫ٍ‬
‫َق ٌة‬ ‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬
‫صد َ‬ ‫َهي َم ٌة إِ َّل َك َ‬ ‫ْر أَ ْو إ ْن َس ٌ َ‬ ‫َ ُْ ُ ْ َ‬ ‫َز َر ُع َز ْر ًعا أَ ْو َي ْغ ِر ُ‬ ‫يْ‬
‫ان أ ْو ب ِ‬ ‫س َغ ْر ًسا فيَأكل ِمن ُه طي ٌ ِ‬
‫‪Menelisik Reboisasi Dalam Hadis‬‬
‫) ‪( Ahmad Suhendra‬‬
‫‪289‬‬

‫‪i) Aḥmad; 12529‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه‬
‫اللِ َ‬‫ول َّ‬ ‫ْن َمالِ ٍك أَ َّن َر ُس َ‬ ‫سبُ‬ ‫َان َح َّد َث َنا َق َتا َد ُة َح َّد َث َنا أََن ُ‬
‫ان َق َال َح َّد َث َنا أَب ُ‬
‫ْز َو َح َّد َث َنا َع َّف ُ‬
‫َح َّد َث َنا َبه ٌ‬
‫ُسلِ ٌم أَ ْم َكا ِف ٌر َقالُوا م ْ‬
‫س أَم ْ‬‫س َه َذا ْال َغ ْر َ‬
‫ال َم ْن َغ َر َ‬ ‫صار َف َق َ‬ ‫َْْ‬ ‫َشر ام َ َ‬ ‫َو َسلَّ َم د َ َ ً ُ ِّ‬
‫َخل َن ْخل ِل ِّم ُمب ٍ‬
‫ُسلِ ٌم‬ ‫ْرأ ٍة ِم ْن الن َ ِ‬
‫صد َ‬
‫َقة‬ ‫َّة أَ ْو َطا ِئ ٌر إِ َّل َك َ‬
‫ان لَ ُه َ‬ ‫ان أَ ْو دَاب ٌ‬ ‫ُسلِ ٌم َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه إِ ْن َس ٌ‬
‫سمْ‬ ‫ال َل َي ْغ ِر ُ‬ ‫َق َ‬

‫‪j) Aḥmad; 12910‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن‬
‫اللِ َ‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ال َق َ‬‫ال َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أََنس َق َ‬
‫س َق َ‬‫َح َّد َث َنا يُونُ ُ‬
‫ٍ‬
‫َق ٌة‬
‫صد َ‬ ‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬ ‫َهي َم ٌة إِ َّل َك َ‬ ‫ْر أَ ْو إ ْن َس ٌ َ‬ ‫َ ُْ ُ ْ َ‬ ‫َ ْ‬ ‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬
‫ان أ ْو ب ِ‬ ‫س َغ ْر ًسا أ ْو يَز َر ُع َز ْر ًعا فيَأكل ِمن ُه طي ٌ ِ‬ ‫مْ‬

‫‪k) Aḥmad; 13064‬‬


‫َز َر ُع َز ْر ًعا‬ ‫س َغ ْر ًسا أَ ْو ي ْ‬ ‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬ ‫اللِ َ‬ ‫ال َر ُس ُ‬
‫ول َّ‬ ‫َوب َه َذا ْال ْس َنا ِد َق َ‬
‫ال َق َ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ْج َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة َع ْن َق َتا َد َة َعنْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫صدَقة َحدثنا ُس َري ٌ‬‫َّ‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫ان له ِب ِه َ‬‫َ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫ْر أ ْو إِن َسان أ ْو بُ ْه َمة إِل ك َ‬ ‫َ‬
‫َفيَأكل ِمنه طي ٌ‬
‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬

‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬


‫ُسلِ ٍم َف َذ َك َر ِم ْثلَ ُه‬ ‫ول َّ‬
‫اللِ َ‬ ‫ال َر ُس ُ‬‫ال َق َ‬ ‫أََنس َق َ‬
‫ٍ‬

‫‪l) Aḥmad; 13065‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن م ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َح َّد َث َنا َع َّف ُ‬
‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ُ‬
‫س‬ ‫س َع ْن النَّ ِب َّي َ‬ ‫ان َح َّد َث َنا أبُو َع َوا َنة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أ َن ٍ‬
‫َق ٌة‬ ‫ان إِ َّل َك َ‬
‫ان لَ ُه ِب ِه َ‬
‫صد َ‬ ‫َز َر ُع َز ْر ًعا َفي َْأ ُك َل ِم ْن ُه دَاب ٌ‬
‫َّة أَ ْو إِ ْن َس ٌ‬ ‫َغ ْر ًسا أَ ْو ي ْ‬

‫‪m) Aḥmad; 14668‬‬


‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫ال َق َ‬
‫َان َع ْن َجابر َق َ‬ ‫ش َع ْن أَِبي ُس ْفي َ‬ ‫َْ‬ ‫َح َّد َث َنا أَبُو ُم َع َ‬
‫اللِ َ‬ ‫ٍِ‬ ‫اويَة َع ِن ال ْع َم ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬
‫ْن ُع َب ْي ٍد َح َّدث َنا‬ ‫َ‬
‫َقة َح َّدث َنا م َ‬
‫ُح َّم ُد ب ُ‬ ‫ٌ‬ ‫صد َ‬ ‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ْر أ ْو َسبُ ٌع أ ْو دَابَّة َف ُه َو ل ُه َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫س َغ ْر ًسا َفأ َكل ِم ْن ُه إِ ْن َس ٌ‬
‫ان أ ْو طي ٌ‬ ‫َم ْن َغ َر َ‬
‫ول َّ‬
‫اللِ‬ ‫ال يَا َر ُس َ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َق َ‬‫ال َجا َء َر ُج ٌل إِلَى النَّ ِب ِّي َ‬ ‫َان َع ْن َجابر َق َ‬ ‫ش َع ْن أَِبي ُس ْفي َ‬ ‫َْ‬
‫ال ْع َم ُ‬
‫ٍِ‬
‫يث‬‫ان َف َذ َك َر ْال َح ِد َ‬
‫ُوج َب َت ِ‬
‫ْ‬
‫َما الم ِ‬

‫‪n) Aḥmad; 25798‬‬


‫ال َر ُس ُ‬‫َشر َقالَ ْت َق َ‬ ‫ُ ِّ‬ ‫َّ‬ ‫ش َع ْن أَِبي ُس ْفي َ‬ ‫َة َح َّد َث َنا ْ َ‬
‫ال ْع َم ُ‬ ‫َح َّد َث َنا أَبُو ُم َعاوي َ‬
‫ول‬ ‫ْن َع ْب ِد اللِ َع ْن أ ِّم ُمب ٍ‬‫َان َع ْن َج ِاب ِر ب ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫س غ ْر ًسا أ ْو ز َر َع ز ْر ًعا فأكل ِمنه إِن َسان أ ْو َسبُ ٌع أ ْو دَابَّة أ ْو طي ٌ‬
‫ْر‬ ‫َ‬ ‫صلَّى اللَُّ َعل ْي ِه َو َسل َم َمن غ َر َ‬
‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫اللِ َ‬ ‫َّ‬
‫َق ٌة‬ ‫َف ُه َو لَ ُه َ‬
‫صد َ‬
290 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

o) Aḥmad; 26095
‫ْرأَ ِة‬ ِّ ‫ال َح َّد َث ْت ِني أُ ُّم ُمب‬
َ ‫ْت َجاب ًرا َق‬ َ َ ‫ش َع ْن أَبي ُس ْفي‬ َ ْ ‫ال َح َّد َث َنا‬
ُ ‫ال ْع َم‬ َ ‫ْن نُ َميْر َق‬ َ
َ ‫َش ٍر ام‬ ِ ُ ‫َان َقال َس ِمع‬ ِ ٍ ُ ‫َح َّدث َنا اب‬
‫ال لَ ِك َه َذا َف ُق ْل ُت َن َع ْم‬ َ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِفي َحا ِئ ٍط َف َق‬ َّ ‫َخ ْل ُت َعلَى َر ُسول‬
َ ِ‫الل‬ ِ َ ‫ار َث َة َقالَ ْت د‬
ِ ‫ْن َح‬ ِ ‫َز ْي ِد ب‬
‫س َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه َطا ِئ ٌر‬ ُ ‫َز َر ُع أَ ْو َي ْغ ِر‬
ْ ‫ُسلِم ي‬ ْ َ َ ْ ‫ُسلِ ٌم أَ ْو َكا ِف ٌر ُق ْل ُت م‬
ٍ ْ ‫ُسلِ ٌم قال َما ِمن م‬ ْ ‫ال َم ْن َغ َر َس ُه م‬ َ ‫َف َق‬
َ ‫ْت َجاب ًرا َف َق‬ ُ ‫ال أَبي َولَ ْم ي‬
َ ً َ ‫صد‬ َ ‫ان أَ ْو َسبُ ٌع أَ ْو َش ْي ٌء إِ َّل َك‬
َ ‫ان لَ ُه‬ ٌ ‫أَ ْو إِ ْن َس‬
‫ْن‬ُ ‫ال اب‬ ِ ُ ‫الن ْس َخ ِة َس ِمع‬ ُّ ‫َك ْن ِفي‬ ِ ‫َقة َق‬
‫ْت َعا ِم ًرا‬ ٍ ‫ُن َمي‬
َ ‫ْر َس ِمع‬

p) Al-Dārimī�; 2496
ُ ‫ال َس ِمع‬
‫ْت‬ َ ‫ش َح َّد َث َنا أَبُو ُس ْفي‬
َ ‫َان َق‬ َ ْ ‫ان‬
ُ ‫ال ْع َم‬ ُ ‫ْن ِزيَا ٍد َح َّد َث َنا ُسلَ ْي َم‬ ِ ‫ْن أَ َس ٍد َح َّد َث َنا َع ْب ُد ْال َو‬
ُ ‫اح ِد ب‬ ُ ‫َر َنا ْال ُم َعلَّى ب‬ َ ‫أَ ْخب‬
َُّ‫صلَّى الل‬ ُ ‫َخ َل َعلَ َّي َر ُس‬
َّ ‫ول‬ َ ‫ار َث َة َقالَ ْت د‬ َ َ ‫َشر ام‬ ِّ ُ َ ُ ُ َّ
َ ِ‫الل‬ ِ ‫ْن َح‬ ِ ‫ْرأ ُة َز ْي ِد ب‬ ٍ ‫ْن َع ْب ِد اللِ يَقول َح َّدث ْت ِني أ ُّم ُمب‬ َ ‫َج ِاب َر ب‬
‫س‬ ُ ‫ُسلِ ٍم َي ْغ ِر‬ َ ‫ُسلِ ٌم َف َق‬
ْ ‫ال َما ِم ْن م‬ ْ ‫س َه َذا أَ ْم َكا ِف ٌر ُق ْل ُت م‬ َ ‫ُسلِ ٌم َغ َر‬ ْ ‫َش ٍر أَم‬ِّ ‫ال يَا أُ َّم ُمب‬
َ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِفي َحا ِئ ٍط لِي َف َق‬
‫َق ٌة‬
َ ‫صد‬ َ ‫ْر إِ َّل َكا َن ْت لَ ُه‬ ٌ ‫َّة أَ ْو َطي‬ ٌ ‫ان أَ ْو دَاب‬ ٌ ‫َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه إِ ْن َس‬

q) Al-Tirmizi; 1303
َ ‫صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َق‬ َ َ َ ُ ُ
ْ ‫ال َما ِم ْن م‬
‫ُسلِ ٍم‬ َ ‫س َع ْن النَّ ِب ِّي‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا ق َت ْيبَة َح َّد َث َنا أبُو َع َوا َنة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أ َن‬
‫ال َو ِفي ْالبَاب‬ َ ‫َق ٌة َق‬
َ ‫صد‬ َ ‫َهي َم ٌة إِ َّل َكا َن ْت لَ ُه‬ َ ٌ ‫ان أَ ْو َطي‬
ِ ‫ْر أ ْو ب‬ ٌ ‫َز َر ُع َز ْر ًعا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه إِ ْن َس‬
ْ ‫س َغ ْر ًسا أَ ْو ي‬ُ ‫َي ْغ ِر‬
‫يح‬
ٌ ‫ص ِح‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫يث أََنس َح ِد‬ ُ ‫يسى َح ِد‬ َ ‫ال أَبُو ِع‬ َ ‫َشر َو َز ْي ِد بْن َخالِ ٍد َق‬ ِّ ُ َ ‫َع ْن أَِبي أَي‬
ٍ ِ ٍ ‫ُّوب َو َج ِاب ٍر َوأ ِّم ُمب‬

Dari sekian banyak lafal hadis terdapat beberapa perbedaan, di


antaranya dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa Rasulallah mengunjungi
kebun kurma seorang perempuan Anṣār. Kemudian Rasulallah bertanya,
siapa yang menanam tanaman ini? Apakah seorang muslim atau kafir? Maka
perempuan itu menjawab, muslim. Setelah itu Rasulallah SAW. bersabda
seperti hadis di atas.
Hasil penelusuran takhrīj al-ḥadīṡ terdapat beberapa hadis yang
menceritakan kejadian itu, yaitu: hadis riwayat Muslim, yakni hadis no.
2901, 2903 dan 2904 (melalui jalur ‘Abd ibn ḥumaid); Hadis riwayat Aḥmad
ibn ḥanbal, yakni hadis no. 26095 dan Hadis riwayat al-Dārimī�, yakni hadis
no. 2496.
Perempuan Anṣār yang ada dalam hadis-hadis anjuran reboisasi ini
terdapat tiga nama penyebutan berbeda. Yakni Ummu Mubasysyir (hadis
yang diriwayatkan Muslim no. 2901 dan 2904 melalui jalur ‘Abd ibn ḥumaid),
Ummu Ma’bad (hadis yang diriwayatkan Muslim no. 2903) dan istri Zaid ibn
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
291

Hāriṡah (hadis yang diriwayatkan Aḥmad no. 26095 dan al-Dārimi no. 2496).
Ibnu ḥajar mengklarifikasikan, bahwa semua (nama) itu adalah satu orang
yang memiliki dua nama panggilan, adapun nama aslinya adalah Khulaidah.19
Kendati demikian, perbedaan berupa penambahan redaksi di atas
bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Karena adanya penambahan
itu merupakan krononologis mikro (asbāb al-wurūd) dari hadis yang
menganjurkan untuk menanam tersebut. Perbadaan lafal lainnya, hadis yang
satu menggunakan lafal al-bahīmah, sedangkan hadis yang lain menggunakan
lafal dābbah atau sabu’. Dalam satu hadis menggunakan kalimat mufrad
(tunggal), tetapi dalam hadis lain digunakan kalimat jama’ (komunal).
Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Ibn Namair, “...
sesuatu yang dicuri dari tanaman yang ditanam merupakan sedekah.”

D. Hasil Kritik dan Analisa Matan


Hadis dalam kategori ini dapat diklasifikasikan sebagai hadis
madaniyah. Alasan yang pertama, adalah terdapat indikasi dalam salah satu
matan hadis dengan adanya interaksi antara Rasulallah dengan perempuan
Ansar. Dan dengan itu dapat dibaca bahwa kejadian ini terjadi saat atau
setelah Rasulallah hijrah. Alasan kedua, dilihat dari konteks sosiologis
masyarakat Mekkah yang kurang ‘tertarik’ terhadap pekerjaan tangan
baik pertanian maupun kerajinan tangan. Karena mereka lebih antusias
dengan perdagangan. Alasan ketiga, dilihat dari aspek geo-ekologis, yakni
kondisi geografis Mekkah pada saat itu yang tidak memungkinkan pertanian
berkembang di sana.
Dari beberapa analisis ssebelumnya, dapat dikatakan bahwa terdapat
pengurangan di dalam beberapa hadis yang lain, tetapi disisi lain juga
terdapat penambahan dalam beberapa hadis lainnya. Dengan demikian,
perbedaan dan penambahan atau pengurangan redaksi itu tidak begitu
signifikan, juga tidak merubah maksud atau makna dari hadis, sehingga
hadis di atas dapat dikatakan shahih dari segi matan dan dapat diterima
serta diimplementasikan.

E. Syarah Hadis: Upaya menemukan Makna Substantif-Progresif


Percakapan Rasulullah dengan perempuan anṣār, dalam uraian
sebelumnya, yang menjadi asbāb al-wurūd hadis tentang anjuran menanam
19
Al-‘Asqalani, Fath al-Bārī fī Syarḥ ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Vol. 7. dalam CD-ROM al-Maktabah
al-Syāmilah. Global Islamic Software. 1997, hlm. 167.
292 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

pohon (reboisasi), secara implisit maupun eksplisit memberikan motivasi dan


‘penghargaan’ bagi yang menanam atau melakukan reboisasi. Hal demikian,
menjadi sebuah keniscayaan ketika melihat konteks geografis Arab pada masa
itu. Philip K. Hitti20 menyebutkan, berdasarkan dua karakteristik daratannya,
penduduk Semenanjung Arab terbagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu:
orang-orang desa yang nomad (tidak menetap), biasa disebut Badui, dan
masyarakat perkotaan. Namun demikian, tidak selamanya ada garis tegas
yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban. Selalu
ada tahapan seminomaden dan tahapan semi-urban. Masyarakat perkotaan
tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal-
usul nomaden mereka, sementara beberapa kelompok Badui lainnya sedang
berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Ketika tidak lagi terikat pada
lingkugan sekitarnya, mereka tidak lagi disebut sebagai orang nomad.
Terdapat beberapa lafal yang menjadi kata kunci yang perlu dikaji
lebih lanjut terkait hadis-hadis anjuran reboisasi. Hal ini di maksudkan
untuk memperoleh ideal moral dari kajian ma’āni al-hadīṡ. Kata kunci yang
di maksud adalah kata garasa, zara’a dan ṣadaqah. Kata pertama memiliki
struktur morfologis garasa-yagrisu-garsan, berarti menanam. Arti kata ini
lebih tertuju untuk menanam pohon, yakni tumbuhan yang memiliki batang,
ranting dan kayu yang kuat atau tumbuhan yang dikategorikan dikotil.
Dengan begitu, kata ini tepat diorientasikan dalam ranah reboisasi.
Kata kunci kedua, zara’a juga berarti menanam, tetapi arti ini lebih
tertuju pada tumbuhan atau tanaman, bahasa Arabnya nabāt.21 Dengan
demikian, kata ini ditujukkan untuk menanam dalam kategori tumbuhan
yang tidak berbatang, beranting dan berkayu kuat, atau tanaman monocotil.
Kata ini lebih tepatnya diorientasikan dalam ranah pertanian. Apabila
ditelisik dalam hadis-hadis anjuran reboisasi, maka akan ditemukan kata
garasa sebanyak 17 kata dan zara’a sebanyak 11 kata dari semua hadis yang
ada. Apabila diakumulasikan kata garasa lebih banyak muncul, dibanding
kata zara’a. Selanjutnya, kedua kata ini digunakan secara berulang dengan
bergandengan. Hal seperti itu, di maksudkan untuk meyakinkan pendengar
(audiens/subjek), betapa pentingnya menanam untuk menciptakan suasana
yang asri. Mengingat kondisi geografis Semenanjung Arab yang kurang
subur, terutama Mekkah.
20
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 28-29.
21
Ibn Manżūr al-Miṣri, Lisān al-‘Arab, Vol. 8. dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syāmilah.
Global Islamic Software. 1997, hlm. 141.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
293

Kata selanjutnya, adalah kata ṣadaqah, dalam konsep Islam, ṣadaqah


merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain, terutama kaum fakir
dan miskin, berupa uang, benda atau jasa. Menurut Ibn Manzur,22 kata ini
memiliki satu induk kata dengan sidq (yang artinya percaya). Dengan alasan
itu, Waryono Abdul Gafur,23 menjelaskan orang yang bersedekah adalah
orang yang membuktikan kepercayaannya secara jujur sebagai bentuk
persahabatan (tanpa pamrih) dalam bentuk pemberian harta. Akan tetapi,
maksud dari ṣadaqah dalam hadis ini adalah pahala di akhirat (al-‘Asqalani,
1997: 167). Dengan kata lain, apabila orang lain atau hewan memakan
atau mencuri sesuatu yang telah ditanam itu bernilai ṣadaqah. Dan orang
yang bersedekah pastinya akan mendapatkan balasan kebaikan. Dengan
demikian, secara teologis perbuatan ini merupakan, salah satu, bentuk amal
saleh (perbuatan baik).
Dengan reboisasi, banyak pihak yang akan mendapat keuntungan
dari tindakan tersebut. Apabila seseorang memperoleh kemaslahatan atas
lestarinya alam dan terjadinya keseimbangan ekologis yang berkualitas,
maka hal itu juga akan bernilai sedekah yang selalu mengalir bagi yang
melakukannya.24 Bahkan, Yūsuf al-Qarad}awi,25 menyatakan yang patut
dicermati dari para petani dan penanam dengan pahala ṣadaqah tersebut,
adalah dari apa yang diambil dari tanaman mereka, meskipun tidak diniatkan
untuk itu, namun yang terpenting adalah keinginannya untuk menanam
dan segala apa yang dapat diambil faedahnya, akan mendapat pahala. Dari
aspek sosiologis, anjuran reboisasi mengajarkan untuk berbuat baik dalam
ranah sosial, yakni mengutamakan kepentingan umum. Islam tidak hanya
mengajarkan ibadah-ritual semata tetapi sangat dianjurkan juga ibadah-
sosial.
Betapa pentingnya tumbuh-tumbuhan bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Bahkan al-Qur’an memberikan pengetahuan tentang tumbuhan
yang hijau, kemudian menghasilkan buah. Hal ini diungkap secara lugas
dalam al-Qur`an , di antaranya, Surat al-An’ām, ayat 99:

ِ ‫َات ُك ِّل َش ْي ٍء َفأَ ْخ َر ْج َنا ِم ْن ُه َخ‬


‫ض ًرا نُ ْخ ِر ُج ِم ْن ُه َحبًّا‬ َ ‫الس َما ِء َما ًء َفأَ ْخ َر ْج َنا ِب ِه َنب‬
َّ ‫َو ُه َو الَّ ِذي أَ ْن َز َل ِم َن‬

22
Ibid., hlm. 193.
23
Waryono Abdul
Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks Dengan Konteks,
(Yogyakarta: elSAQ, 2005), hlm. 241.
24
Al-‘Asqalani, Fath al-Bārī, op.cit., hlm. 167.
25
Yūsuf al- Qarad}awi, Islam Agama Ramah Lingkungan. terj. Abdullah Hakam Shah,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm. 83.
294 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

ْ ‫َّان م‬
َ ‫ُش َت ِبهًا َو َغي‬ َ ُ‫الزيْت‬
َّ ‫اب َو‬ َ ٍ َّ‫َة َو َجن‬ ٌ ‫ُم َت َرا ِكبًا َو ِم َن النَّ ْخ ِل ِم ْن َط ْل ِع َها ِق ْن َو‬
ٌ ‫ان دَا ِني‬
‫ْر‬ َ ‫الرم‬
ُّ ‫ون َو‬ ٍ ‫ات ِم ْن أ ْع َن‬
ْ ‫َات لِ َق ْوم ي‬
َ ُ‫ُؤ ِمن‬
)٩٩( ‫ون‬ َُ َّ ْ َْ َ َ َ ُْ ََ
ٍ ٍ ‫ُمتش ِاب ٍه انظ ُروا إِلى ث َم ِر ِه إِذا أث َم َر َو َين ِع ِه إِن ِفي ذلِك ْم آلي‬

Artinya: Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan
Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang
menghijau. kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir
yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai
yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula)
zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah
buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah)
kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.

Ayat di atas menyebut terlebih dahulu tumbuh-tumbuhan kemudian


menyebut empat jenis buah, yaitu kurma, anggur, zaitun dan delima.
Menurut Fakhruddī�n al-Razi, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab26,
penyebutan dengan susunan seperti itu sungguh sangat serasi dan tepat.
Selain itu, ayat ini juga menerangkan bahwa air hujan adalah sumber air bersih
satu-satunya bagi tanah. Matahari adalah sumber kehidupan, tetapi hanya
tumbuh-tumbuhan yang dapat menyimpan daya matahari. Penyimpanan itu
dengan perantara klorofil untuk kemudian menyerahkannya kepada manusia
dan hewan dalam bentuk bahan makanan organik yang dibentuknya.27 Dari
ayat tersebut dapat dipahami, bahwa terdapat relasi air-langit, tumbuhan,
tanaman, buah dan manusia. Unsur-unsur itu saling terkait dan integral satu
dengan yang lainnya.
Al-Qaradawi28 memberikan alasan atas anjuran menanam pohon
maupun tanaman sebagai upaya penghijauan. Terdapat dua pertimbangan
mendasar dari upaya penghijauan. Pertimbangan pertama adalah
pertimbangan manfaat dan pertimbangan kedua aspek keindahan (estetis).
Imam al-Qurṭubi mengatakan di dalam tafsirnya, bertani merupakan bagian
dari fardhu kifayah, maka pemerintah harus menganjurkan manusia untuk
melakukannya, salah satu bentuk usaha itu adalah dengan menanam
pepohonan. Bagi sebagian masyarakat Arab pra-Islam, terutama Mekkah,
26
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 576-577.
27
Ibid., hlm. 574-575.
28
Al-Qarad}awi, op.cit., hlm. 83-85.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
295

bertani, berkebun dan semua pekerjaan yang diihasilkan dari kreasi tangan
dipandang sebagai perkerjaan tidak terhormat, dan akan menurunkan
derajat mereka.
Di samping itu, hadis tentang anjuran menanam ini menggambarkan
bahwa Rasulallah SAW. saat itu tidak hanya menganjurkan, jika tidak
dikatakan memerintahkan, menanam tanaman (zara’a), tetapi juga
pepohonan (garasa). Di samping itu, hadis ini menyinggung aspek
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Nabi SAW. mengajarkan supaya
umat Islam hidup harmonis dengan semua makhluk hidup. Artinya, bahwa
Rasulallah tidak hanya menginginkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga
kelestarian lingkungan hidup yang berkualitas. Mengingat kondisi geografis
Semenanjung Arab yang jarang dilewati hujan, menjadikan sebagian
wilayahnya gersang dan tanah yang kurang subur.
Selain memberikan motivasi religius, hadis ini juga mengindikasikan
keniscayaan upaya penghijauan dalam upaya melestarikan lingkungan
dan mencegah beberapa bencana. Dengan alasan sosiologis-geografis di
atas, lahirlah konsep hima’ dalam tradisi Islam. Secara implementatif, para
pemimpin setelah kepergian Rasulallah juga ikut berperan dalam melakukan
penghijauan, terutama melalui jalur hima’. Hal serupa dinyatakan al-Qarad}
awi29 dengan perhatian Nabi SAW. terhadap penghijauan dengan cara
menanam dan bertani, telah mengajarkan salah satu konsep pemeliharaan
lingkungan dalam Islam dengan upaya keseimbangan ekologis.
Menurut Soedjiran Resosoedarmo,30 ekosistem memiliki suatu
keseimbangan diri yang dinamakan homeostatis. Homeostatis adalah
kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan dalam
sistem secara keseluruhan. Keseimbangan ekologis dimulai dari adanya
keseimbangan dalam ekosistem. Otto Soemaryoto31 mendefinisikan ekologi
sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup dengan
lingkungan hidupnya.
Reboisasi menjadi program penting dalam penanggulangan bencana
dan pelestarian lingkungan. Dikatakan penting, karena upaya reboisasi dapat
menentukan keseimbangan ekosistem dalam suatu tempat atau lingkungan
tertentu. Hal ini disebabkan, keseimbangan ekosistem bersifat teratur dan

29
Ibid., hlm. 81.
30
Soedjiran Resosoedarmo, dkk., Pengantar Ekologi, (Bandung: Rosda, 1993), hlm. 15.
31
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta:
Djambatan, 1994), hlm. 19.
296 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

dinamis karena lingkungan, iklim, permukaan laut, dan semua proses alam
selalu berubah. Maksud menjaga keseimbangan di sini lebih pada menjaga
keseimbangan yang dilihat dari aspek tingkat kualitas lingkungan yang lebih
baik dan layak bagi semua makhluk. Keseimbangan yang meminimalisasi
terjadinya kerugian dan ancaman kelangsungan hidup bagi komponen-
komponen makhluk hidup yang ada. Hal ini disebabkan, hutan bukan hanya
melindungi daerah hunian manusia yang berada di dataran rendah dari
banjir dan menyimpan air, tetapi juga berjasa memproduksi kebutuhan
manusia yang paling utama, yaitu oksigen.32
Konsep lingkungan berkualitas, menurut Mujiyono Abdillah,33
merupakan konsep yang tidak memiliki ukuran abadi dan sama, tetapi bersifat
relatif, dinamis dan normatif. Artinya, dalam struktur masyarakat terdapat
ukuran minimum yang dipahami bersama tentang standar lingkungan yang
berkualitas. Ukuran minimum tersebut setidaknya terpenuhi kebutuhan
pokok baik secara biologis maupun ekologis, secara fisik maupun non fisik,
secara individual maupun sosial. Kendati demikian, tidak ada standar baku
yang sama dan konsisten.
Akibat perbuatan eksploitasi terhadap pengurasan Sumber Daya
Alam, baik berupa penebangan liar maupun yang lainnya, oleh pengusaha-
pengusaha yang rakus pada akhirnya menimbulkan kerusakan. Lingkungan
hidup yang dahulu ramah, kini berubah menjadi sumber bencana ketika
sudah tidak sanggup lagi mengemban fungsinya. Sumatera yang dulu jarang
dilanda banjir, kini menjadi langganan banjir. Di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam banjir yang muncul di akhir tahun 2006 silam, menurut Yayasan
Leuseur Indonesia, terjadi akibat penggundulan hutan di Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL).34
Menurut Moch. Nur Ichwan,35 pesan terbesar dari adanya bencana
sebenarnya bukanlah ‘apakah ini merupakan peringatan, ujian atau azab?’
jika hanya berhenti pada pertanyaan tersebut, bencana hanya menjadi bahan
refleksi dalam rangka mengambil pelajaran atau hikmah di balik bencana.

32
Nadjmuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi Islam dalam
Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, (Jakarta: Grafindo, 2007), hlm. 17.
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
33

Paramadina, 2001), hlm. 68.


34
Ibid., hlm. 92-93.
35
Moch Nur Ichwan, “Eko-Teologi Bencana, Aktivisme Sosial dan Politik Kemaslahatan”
dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (ed.), Agama, Budaya, dan Bencana. (Bandung:
Mizan, 2012), hlm. 28.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
297

Satu hal yang harus disadari adalah bahwa dalam kejadian bencana terdapat
korban manusia dan kerusakan lingkungan. Manusia yang menjadi korban
bencana menuntut untuk dibenahi kembali. Tentu aktivisme tidak hanya
muncul karena kesadaran keagamaan, namun seringkali karena kesadaran
kemanusiaan.
Di sisi lain, menurut Nadjmuddin Ramly,36 selain bencana yang secara
kasat mata alamiah, secara sadar atau tidak, membuat ‘bencana alam’ yang
mengakibatkan ‘bencana sosial’. Penebangan liar adalah beberapa fakta
keserakahan manusia dalam mengeruk kekayaan alam. Alam menjadi tidak
seimbang karena unsur-unsurnya telah dirusak dan mengakibatkan ratusan
manusia harus menanggung derita berkepanjangan. Dengan demikian,
dibutuhkan keterlibatan para kiai dalam gerakan pencegahan bencana
berbasisi komunitas dalam bentuk advokasi, pendampingan, workshop, dan
sebagainya dapat dipahami sebagai momen internalisasi.37
Apabila pepohonan selalu ditebang tanpa dibarengi dengan penanaman
ulang akan menimbulkan chaos. Nirwono Joga38 mengungkapkan, bahwa
pohon adalah salah satu keajaiban alam terhebat. Semua ajaran agama
dengan tegas menempatkan pohon menjadi simbol dan sumber kehidupan
manusia. Relief-relief di Candi borobudur, Candi Prambanan, dan candi-candi
lain melukiskan pohon dengan kehidupan manusia. Sakral dan romantis.
Cinta dan kedamaian terukir dengan menanam pohon dan segala aktivitas
kehidupan di bawah pohon. Kebencian dan anarkhi dilukiskan dengan
menebang pohon.
Hutan yang meliputi lebih dari 60% luas daratan Indonesia adalah
kekayaan alam yang sangat penting dan strategis. Hak penguasaan atas
hutan dimiliki oleh negara sesuai pasal 33 UUD 1945:”bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kenyataannya negara hanya
menjalankan sebagian pasal 33, yakni penguasaan negara atas hutan, namun
mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Padahal, semangat
pasal 33 Uud mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan secara
bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai kelompok kepentingan

Ramly, op.cit., hlm. 39.


36

Rubaidi, “Bencana dalam Konstruksi Pemikiran Fiqih Kiai” dalam Agus Indiyanto
37

dan Arqom Kuswanjono (ed.), 2012. Agama, Budaya, dan Bencana, (Bandung: Mizan.2012),
hlm. 45.
38
Nirwono Joga dan Yori Antar, Bahasa Pohon Selamatkan Bumi, (Jakarta: Gramedia,
2009), hlm. 19.
298 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

tidak hanya kepentingan kementrian kehutanan atau sekelompok rimbawan


tetapi juga kepentingan petani, peternak, peramu hasil hutan, masyarakat
hukum adat, dan kelompok masyarakat lainnya.39
Hutan, dan segala organisme yang ada di dalamnya, merupakan bagian
dari komponen ekologis. Hutan, terutama di Indonesia, berfungsi sebagai
penyangga keseimbangan ekologis dan penentu kestabilan alam. Sehingga
hutan di Indonesia perlu dan wajib dirawat, dilestarikan, dikembangkan dan
dimanfaatkan secara berlanjutan. Semua proses perawatan emas hijau ini
melibatkan semua pihak, pemerintah sebagai penanggungjawab dibantu
oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan dan semua insan manusia.
Hadis-hadis terkait anjuran reboisasi sebagai peringatan moral bagi
pelaku perusak ekologis, bagi pemerintah, pengusaha, pemuka agama,
akdemisi dan semua pihak, dan motivasi moral bagi pelaku melestarikannya.
Sekalipun, memang diakui, hal itu hanya bersifat teologis atau, istilah
Seikhuddin imbauan moral, tetapi setidaknya hal itu dapat memupuk
dan memberikan dorongan untuk melakukan kesadaran kritis atas upaya
penghijauan (reboisasi), melestarikan lingkungan, menjaga kelestarian hutan
dan sebagainya, agar terciptanya keseimbangan ekologis yang berkualitas.
Di samping itu, hadis-hadis tentang anjuran menanam juga menjadi
peringatan sosio-moral-religius bagi pelaku perusak ekologis, dan kritik
sosio-ekologis. dan dapat menjadi motivasi sosio-moral-religius bagi pelaku
melestarikannya. Sekalipun, memang diakui, hal itu hanya bersifat normatif-
doktrinal atau, istilah Seikhuddin imbauan moral, tetapi setidaknya hal itu
dapat memupuk dan memberikan dorongan untuk melakukan kesadaran
kritis atas upaya penghijauan (reboisasi), melestarikan lingkungan, menjaga
kelestarian hutan dan sebagainya, agar terciptanya keseimbangan ekologis
yang berkualitas.
Konsep yang terkandung dalam hadis keutamaan menanam dan
pahala bagi yang menanamnya adalah menyelaraskan antara bercocok
tanam, atau semua aktifitas manusia, dan penghijauan. Dengan demikian,
hadis-hadis ini dapat menjadi acuan dan konsep bagi semua pihak, terutama
pemerintah, agar tidak menjadikan hutan sebagai komoditi industrialis
semata. Pembangunan atau pemulihan hutan secara berkala dan menyeluruh
serta dengan, mengutip istilah San Afri Awang, pendekatan adaptif dan
berpihak kepada kesejahteraan rakyat merupakan suatu hal yang niscaya.
Rurochmat, Dodik Ridho. “Desentralisasi dan Reformasi Kebijakan Kehutanan”
39

dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian &
Kehutanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 211.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
299

Harus ada pemerataan atau keseimbangan antara wilayah hutan, wilayah


kependudukan, wilayah industri dan wilayah pertanian serta perkebunan.

F. Simpulan
Banyaknya bencana (krisis ekologis) yang terjadi di Indonesia, maupun
di negara lain, bukan disebabkan faktor alamiah semata. Akan tetapi, dampak
dari kerusakan alam yang disebabkan oleh tindakan manusia. Karena
tindakan itu merusak keseimbangan ekosistem yang sudah ada, sehingga
alam menyesuaikan dirinya, maka disebutlah bencana.
Hadis sebagai pedoman umat Islam kedua setelah al-Qur’an, memiliki
peranan penting dalam upaya memberikan pedoman hidup berbasis
lingkungan. Salah satunya dengan mengupayakan reboisasi sebagai gerakan
bersama dalam mengamalkan ajaran agama.
Dengan dasar itu, Nabi SAW. melakukan dan mengupayakan
keseimbangan ekologis yang berkualitas. Salah satunya, terkandung dalam
hadis keutamaan menanam dan pahala bagi yang menanamnya. Anjuran
moral untuk senantiasa melakukan reboisasi sangat diapresiasi dalam
hadis ini. Di dalamnya terkandung konsep pemerataan atau keseimbangan
antara wilayah hutan, wilayah kependudukan, wilayah industri dan wilayah
pertanian serta perkebunan. Dengan demikian, ideal moral dari hadis ini
dapat dijadikan landasan moral-teologis dalam menggalangkan reboisasi,
dan kritik kepada mereka yang melakukan perusakan lingkungan, terutama
konspirasi penebangan liar.
300 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghaffār Sulaiman al-Bandarī�, Mausū‘ah Rijāl al-Kutub al-Tis‘ah,


(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993)
Al-‘Asqalani, Fath al-Bārī fī Syarḥ ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Vol. 7. dalam CD-ROM al-
Maktabah al-Syāmilah. Global Islamic Software. 1997.
Fitria Sari Yunianti, “Wawasan al-Qur’an Tentang Ekologi; Arti Penting
Kajian, Asumsi Pengelolaan, dan Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan
Lingkungan” dalam Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. X. No. 1.
2009.
Ibn ḥajar al-‘Asqalanī�, Tahżīb al-Tahżīb fi Rijāl al-ḥadīṡ, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2004).
Ibn Manżūr al-Miṣri, Lisān al-‘Arab, Vol. 8. dalam CD-ROM al-Maktabah al-
Syāmilah. Global Islamic Software, 1997.
Kompas, “Pemulihan sampai di Komunitas: Kasus Lingkungan Marak di
Sejumlah Provinsi, 6 April 2010
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
Mahmud at-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan
Nasir, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995).
Moch Nur Ichwan, “Eko-Teologi Bencana, Aktivisme Sosial dan Politik
Kemaslahatan” dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (ed.),
Agama, Budaya, dan Bencana. (Bandung: Mizan, 2012).
Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Zuhri, 2003).
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
301

Muhammad ‘Ajāj al- Khaṭī�b, Uṣūl al-ḥadīṡ: ‘Ulūmuh wa Muṣṭalaḥah, (Libanon:


Dār al-Fikr, 2006).
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001).
Nadjmuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi Islam
dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan,
(Jakarta: Grafindo, 2007).
Nirwono Joga dan Yori Antar, Bahasa Pohon Selamatkan Bumi, (Jakarta:
Gramedia, 2009).
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta:
Djambatan, 1994).
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet
Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2003).
Rubaidi, “Bencana dalam Konstruksi Pemikiran Fiqih Kiai” dalam Agus
Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (ed.), 2012. Agama, Budaya, dan
Bencana, (Bandung: Mizan, 2012).
Rurochmat, Dodik Ridho. “Desentralisasi dan Reformasi Kebijakan
Kehutanan” dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Menjinakkan
Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005).
Soedjiran Resosoedarmo, dkk., Pengantar Ekologi, (Bandung: Rosda, 1993).
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992).
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks Dengan Konteks,
(Yogyakarta: elSAQ, 2005)
Yūsuf al- Qarad}awi, Islam Agama Ramah Lingkungan. terj. Abdullah Hakam
Shah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002).
302
303

FORMAT PENULISAN
JURNAL HERMENEUTIK

Jurnal HERMENEUTIK program studi Tafsir Hadits jurusan


Ushuluddin menerima sumbangan artikel dari berbagai kalangan yang
akan diseleksi oleh Tim Redaksi. Artikel yang dikirimkan hendaknya
memenuhi ketentuan berikut :
1. Artikel berisi tentang kajian ke-Tafsir Hadis-an
2. Artikel merupakan karya orisinil dan belum pernah dipublikasikan
3. Artikel diketik 1 ½ spasi sepanjang 15 s/d 25 halaman ukuran kertas
kwarto, dengan font Times New Arabic
4. Artikel ditulis dengan kerangka sebagai berikut :
Judul, jelas dan mencerminkan isi
Nama penulis, ditulis tanpa gelar
Abstrak, ditulis dalam Bahasa Inggis/Indonesia diketik 1 spasi, kurang
lebih 150 kata.
Keyword, maksimal 5 (lima) deskriptor
Isi Artikel, pendahuluan, pembahasan, penutup, daftar pustaka
5. Seluruh kutipan ditulis dalam bentuk footnote, dengan urutan sebagai
berikut: nama pengarang, judul buku, tempat terbit, penerbit, tahun
terbit, halaman terbitan
Contoh:
1. Kutipan dari buku
Fazlurrahman, Islam, (Bandung : Pustaka, 1982), hal. 30
2. Kutipan dari buku yang bersifat bunga rampai
Hanna Djumhana Bustaman, “Makna Hidup Bagi Manusia Modern
: Tinjauan Psikologis”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed),
Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina,
1996), hal. 149
3. Kutipan dari majalah, jurnal
Abdul Kadir, “Awal Islam di Jawa“, dalam majalah AULA, No.8,
(Agustus, 1996), hal. 12.
304

6. Format penulisan daftar pustaka sebagai berikut :


Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina,
1992)
7. Kata dengan bahasa asing dicetak miring dan kata bahasa arab dicetak
sesuai contoh translate yang terlampir.
8. Artikel dikirim dalam bentuk soft copy dan print outnya

Anda mungkin juga menyukai