Penanggung Jawab
Fathul Mufid
Pemimpin Redaksi
Nur Said
Sekretaris Redaksi
Ahmad Atabik
Redaktur Pelaksana
Umma Farida
Editor
Ulya
Nur Mahmudah
Sekretariat
Muhammadun
Nur Cholis
Dwi Sulistiono
Muhamad Zaenal Abidin
Ahmad Anif
Alamat Redaksi
Kantor Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis STAIN Kudus
Jl.Conge Ngembalrejo PO Box 51 Telp (0291) 432677 Fax, 441613
Kudus 59322 Website: www.stainkudus.ac.id
Email: hermeneutik_kudus@yahoo.co.id
Hermeneutika terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima tulisan yang berhubungan dengan kajian tafsir
hadis. Tata aturan tulisan sesuai dengan karya ilmiah meliputi: abstrak, kata kunci dan pengutipan model
footnote. Tulisan yang sudah masuk menjadi milik redaksi dan isi merupakan tanggungjawab penulis.
Redaksi berhak menyunting tanpa merubah substansi.
iii
KATA PENGANTAR
Hadis, Sebuah Over View, oleh Abdul Karim; Makna Amṡāl (Perumpamaan)
Dalam Al-Qur’an, oleh Istianah; Rahasia Pengulangan Redaksi dalam Surat
Al-Rahman, oleh Ahmad Atabik; Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed,
Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, oleh
Lien Iffah Naf’atu Fina.
Tema-tema tersebut sangat penting untuk dibaca karena
menyuguhkan dan menghadirkan wawasan keilmuan yang sangat berharga.
Karena itu redaktur menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
tinggi kepada semua kontributor artikel tersebut, semoga gagasan-
gagasan segarnya menginspirasi para pembaca yang budiman untuk
mentransformasikan Islam pada tataran empiris.
Akhirnya kritik dan saran sangat redaktur harapkan kepada para
pembaca yang budiman, demi penyempurnaan lebih lanjut pada edisi
yang akan datang. Selamat membaca untuk menginspirasi Indonesia.***
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Susunan Redaksi ii
Pengantar Redaksi iii
Daftar Isi vii
Abstract
A. Pendahuluan
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan
oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun baru
pada abad ke 18 gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme.1
1
Lihat: The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal. 200. “Orientalisme”
152 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
des Quran: Ein Beitrag zur Entschl sselung der Koransprache”. Judul buku ini menjelaskan
tentang pembacaan kontemporer terhadap Alquran dan subjudul janji-janji kontribusi untuk
decoding dari bahasa Al-Qur’an. Tesis penulis diringkas dalam bukunya (hal. 299-307): Qur’an
tidak ditulis dalam bahasa Arab tapi dalam ‘bahasa Aramaik-Arab campuran’ yang diucapkan
di Mekah pada saat Muharnmad. Mekah awalnya merupakan pemukiman Aram. Ini adalah
‘dikonfirmasi’ oleh fakta bahwa nama Makkah adalah benar-benar bahasa Aramaik, bahasa
campuran ini tercatat dari awal dalam naskah yang rusak yaitu tanpa tanda-tanda vokal.
Poin yang kemudian membedakan b, t, n, y, dll. Penulis menyangkal keberadaan tradisi lisan
paralel bacaan Al-Qur’an. Arab klasik berasal dari tempat lain (tapi kami tidak diberitahu
mana). Orang Arab tidak bisa memahami Al Qur’an, yang dikenal mereka sebagai naskah
defectively yang ditulis, dan menafsirkan kembali dokumen-dokumen ini dengan jelas dalam
bahasa mereka sendiri. ‘Membaca bahasa Aram’ yang diusulkan Qur’an memungkinkan kita
untuk menemukan kembali makna aslinya.
7
François De Blois, Die syro-aramaische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur
Entsclusselung der Koransprache. By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim), Journal of Quranic
Studies 5 (2003), 92-97
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
157
8
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semiotik
Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin
Pada tahun 1859 tulisannya tentang “Sejarah Al-Quran” memenangkan penghargaan dari
French Academie des Inscription. Sejak 1977 masuk ke dalam wilayah Hamburg. Ayah
Noldeke adalah wakil kepala Sekolah Menengah di Hamburg, kemudian diangkat menjadi
pengawas sekolah menengah di kota Lingen sejak tahun 1849 hingga 1866. Ketika masih
duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia
memperoleh gelar tingkat serjananya pada tahun 1856 dengan mengajukan risalah yang
berjudul “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Tahun 1858, Noldeke
memengani lomba penelitian tentang Sejarah Al-Qur’an. Tahun 1860, ia menuliskannya
kembali hasil penelitiannya tersebut dibantu muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa
Jerman dengan judul “Geschichte des Korans”. Dan mempublikasikannya dengan beberapa
tambahan di Gottingen. Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen. Tiga
tahun kemudian ia meraih gelar profesor pada tahun 1872, ia aktif di Oriental Languages
di Strassburg dan pensiun pada tahun 1906. Diantara karyanya ialah Geschichte des Qorans
(1860), Zur Grammatik des Klassichen Arabish (1897) dan Neue Beitrage Zur semitischen
Sprachkunde (1911). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni
Drajat dari Mawsu’ah al-Mustasyriqin (Yogyakarta: LKis, 2003), hal. 413- 416
9
Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New York: Russell F. Moore Companya,
1952), hal. 89-90
158 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang
paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen
adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di
dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.17
Menurut Arthur Jeffery18, seorang orientalis berasal dari Australia, al-
Qur’an menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah
melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap
suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan
komunitas masing-masing agama.yang menjadikan sebuah kitab itu suci.
Penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah Ibn Mas’ud
sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’an). Penduduk
Basra menganggap Mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan Mushaf
Miqdad Ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.19
Pendapat Arthur Jeffery sebenarnya merupakan refleksi dari
pengalaman agama Kristen yang dianutnya. Dalam ajaran Kristen, Bibel
merupakan sebuah persoalan yang tidak mungkin lagi untuk diselesaikan.
Hal ini disebabkan teks asli sudah tidak ada lagi dan terdapat beragam versi
yang tidak mungkin didamaikan. Gereja Timur (Ecclesia Orientalia) dan
Gereja Barat (Ecclesia Occidentalia) berbeda dalam menerima teks standart.
Mereka berbeda dalam menyikapi Bibel yang diinformasikan oleh Matius,
Markus, Lukas, Yohannes, Phillip, Mary, Thomas, Yudas dan Barnabas.
Dengan menggunakan metode kritis-historis, para Orientalis
menganalisa sejarah teks al-Qur’an dari zaman Rasulullah SAW sampai
tercetaknya teks al-Qur’an. Ketika Muhammad hidup, dalam pandangan Aloys
17
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, hal. 156. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai sejarah perkembangan textual criticism di dalam Perjanjian Baru, lihat juga
karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (United
Bible Societies, 1975), dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and
Significance (Oxford; Oxford University Press: 1975)
18
Arthur Jeffery seorang orientalis berasal dari Australia, meninggal tahun 1959.
Mengakui bahwa gagasannya untuk mengkaji sejarah Al-Qur’an secara kritis berasal dari
Pendeta Edward Sell (m.1932). Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis-historis al-Qur’an
sejak tahun 1926. ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan
dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qira’ah, karya-karya filosofis
dan manuskrip. Lihat Adnin Armas, MA, 2004 “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an”,
dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn I No 2, Juni-Agustus, hal. 7-8
19
Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, (Moslem World 40, 1950), hal. 41. Arthur
Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what
was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own
use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid
for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, (Moslem
World 40, 1950), hal. 43-95.
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
161
Sprenger (1813-1893), Hartwig Hirshfeld (m. 1934), dan Arthur Jeffery (m.
1959), menyatakan bahwa sesungguhnya Muhammad tidak berniat untuk
menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah mushaf.20
Mengenai mushaf yang dihimpun pada zaman Abu Bakr dan ‘Umar,
sebagian orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935) dan Friedrich Schwally
(m. 1919) menolak jika pada zaman Abu Bakr, al-Qur’an telah dihimpun.
Menurut Caentani, atsar mengenai mushaf telah dihimpun pada zaman
Abu Bakr bertujuan untuk menjustifikasi tindakan Usman menghimpun
al-Qur’an. Sedikit berbeda dengan kedua orientalis tersebut, orientalis lain
seperti Arthur Jeffery menganggap bahwa Mushaf Abu Bakr ada namun
mushaf tersebut bukanlah mushaf resmi)., namun mushaf pribadi (It was a
private collection made for the first Caliph Abu Bakr).21
Jeffery menegaskan banyak Mushaf lain yang beredar dan beredar di
berbagai wilayah. Diantaranya, Salim ibn Mu‘qib, ‘Ali ibn Abi Talib, Anas ibn
Malik, Abu Musa al-Ash‘ari, Ubay ibn Ka‘b dan Abdullah ibn Mas‘ud. Beragam
mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. Mushaf Miqdad ibn al-Aswad,22
yang berdasarkan kepada Mushaf ibn Mas’ud beredar di Damaskus. Mushaf
Ibn Mas’ud digunakan di Kufah. Mushaf Abu Musa al-Ash‘ari di Basra dan
Mushaf Ubay ibn Ka‘b di Syiria. Pendapat Jeffery yang menganggap mushaf
Abu Bakar adalah mushaf pribadi diikuti oleh para orientalis lain seperti
Richard Bell,23 Régis Blachère,24 dan bahkan pemikir Muslim seperti Mustafa
20
Muhammad sebagai penyampai al-Qur’an untuk orang yang buta huruf bukan
untuk ditulis di atas kertas. Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing
and Authority in Islam’s Scripture (New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 18-
21. Muhammad lebih suka para muridnya menghapal materi wahyu tersebut. Lihat Hartwig
Hirschfeld, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran (London: Royal
Asiatic Society, 1902), hal. 5. Lihat juga: Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of
the Qur’ans, (Leiden: E. J. Birll, 1937), hal. 5-6
Lihat Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, hal. 94
21
Edinburgh. Antara 1937 dan 1939 ia menerbitkan terjemahan Al Qur’an, dan pada tahun
1953 Pendahuluan Al-Qur’an diterbitkan (direvisi pada tahun 1970 oleh W. Montgomery
Watt. Kedua karyanya telah berpengaruh dalam studi Al-Qur’an di barat.
Regis Blachere dilahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blachere melakukan perjalanan
24
bersama orang tuanya ke kawasan Maghribi pada tahun 1915. Ayahnya ditugaskan dibagian
urusan perdagangan, kemudian ditugaskan sebagai pegawai administrasi di Maroko. Blachere
menempuh pendidikan menengahnya di Perancis, di gedung putih. Setelah menyelesaikan
sarjana mudanya, ia ditugaskan sebagai pengawas di Madrasah Maula Yusuf di Rabat. Setelah
itu ia meneruskan pendidikan tingkat tingginya di Universitas Al-Jazair, dan memperoleh
162 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
28
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hal. 107
29
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hongaria 1850. Ia terlatih dalam
bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel
“asli” dalam bahasa Ibrani. Saat berusia enam belas tahun, Universitas Budapest menjadi
pilihannya setelah ia lulus dari sekolah, untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno,
bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran
dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913). Arminius Vambery adalah keturunan
Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi
Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Kecerdasan yang ia miliki telah
mengantarkannya menjadi kandiat doktoral pada usianya yang ke-19 di universitas Leipzig
dan Berlin dengan beasiswa penuh dari Departement Pendidikan Hongaria pada tahun 1870.
Setelah berhasil meraih gelar doktor, ia melakukan rihlah ‘ilmiyyah ke Leiden, Belanda dan
tinggal selama enam bulan. Di dalam buku catatannya, Ignaz menghabiskan waktu enam
bulan di Leiden untuk memfokuskan diri mempelajari Islam sehingga menjadikan Leiden
sebagai sekolah kajian Islam terbesar dan terkenal di Eropa. Pada tahun 1872, ia berhasil
meraih ijazah keguruan dari Universitas Budapest. Di universitas, dia menekankan kajian
peradaban Arab. Petualangan ilmiah Golziher belum selesai sampai di sini, pada bulan
September 1873 hingga April 1874, Syria, Palestina dan Mesir menjadi sasaran selanjutnya. Di
sana ia merupakan orang non muslim pertama yang mendapatkan izin untuk menjadi murid
di mesjid Universitas al-Azhar. Ia mencatat semua aktivitasnya di sana, sosialisasinya dengan
kaum muslimin, dan perasaan simpati mendalamnya kepada Islam. Selama tinggal di Kairo,
banyak musibah yang menimpanya. Mulai dari kematian ayahnya, perekonomian keluarganya
yang mengkhawatirkan karena bisnisnya bangkrut, sampai perasaannya sebagai pejabat di
departement pendidikan yang membuatnya bimbang dengan reputasi ilmiahnya di masa
yang akan datang. Akan tetapi, reputasi ilmiahnya ternyata malah melonjak tinggi. Setelah
mempublikasikan hasil penelitiannya yang sangat memuaskan peserta rapat di Akademi
Kerajaan di Vienna, ia telah memulai dirinya untuk diakui dunia sebagai Guru Besar orientalis
dan peletak pertama pengkajian Islam modern di Eropa. Pada tahun 1904, ia diangkat sebagai
guru besar Universitas Budapest, orang Yahudi pertama yang meraih gelar ini. Kemudian,
pada tahun 1914 menjadi ketua jurusan hukum dan institusi Islam di Fakultas Hukum. Tujuh
tahun kemudian, ia meninggal dunia dalam usianya yang ke-71 tepatnya pada tanggal 13
November 1921. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah Aẓ-Ẓāhiriyyah:
Mażhabuhum wa Tārikhuhum, kemudian Dirāsah Islāmiyyah, al-Mu’ammarin. Karangannya
yang paling monumental adalah Muḥāḍarāt fī al-Islām (Heidelberg, 1910) dan Ittijāhāt Tafsīr
Al-Qur’ān ‘inda al-Muslimīn (Leiden, 1920). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, hal.129-
133. Baca juga Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis, Telaah Atas Pandangan
Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht, Benang Merah Press, Bandung, 2004, hal. 92
30
Ignaz Goldziher mengatakan: “ Wa al-Qirā‘āt al-mukhtalifah li an-naṣṣi al-Qur’āni
tuẓharu aḥyānan muqtaribatan bitaujīhi lā muwāribata fīhi, yuẓkaru anna naṡṡ al-mutalaqqā
bilqubūli ya’tamidu ‘alā ihmālinnaṡṡi, wa anna al-qirā’ata al-mukhālifata al-muqtariḥḥata
taqsudu ilā iqāmati an-naṡṡi al-aṡliyyi al-laẓī afsadahu sahwa an-nussākhi.” Lihat Ignaz
Goldziher, Maẓāhibu at-tafsīr al-Islāmi, diterjemahkan dari Die Richtungen der Islamischen
Koranauslegung Penj. Dr. Abdul Halim al-Najâr, ( Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1995) hal. 46
164 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
31
Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I (Jakarta: Gema
Insani, 2008), hal. 5
32
Arthur Jeffery, Materials for History of The Text of the Qur’an: the Old Codices
(Leiden: E.J. Brill, 1937), hal. 15
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, hal.107-108, lihat juga: Adnin
33
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, (London: George Alen & Unwim Ltd., 1970), hal.
35
24.
166 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
tentang sunnah adalah sebuah revisi atas adat-istiadat yang terjadi saat itu,
walaupun tidak menguatkan dalam arti keseluruhan.36 Jadi, bagi Goldziher,
hadits tidaklah memiliki kemurnian sama sekali, walaupun tetap memiliki
kedudukan kuat sebagai sumber ajaran Islam.
tidak saja berlaku dalam lingkup politik saja tetapi juga dalam kawasan
keagamaan.37
37
Daud Rasyid, Goldziher dan Sunnah, (Jurnal Ma’rifah Vol. 1, Tahun 1415 H), hal. 23
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
169
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 21
40
170 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
C. Simpulan
Metode para Orientalis tidak dibangun atas dasar keimanan. Padahal,
ilmu mengenai al-Qur’an adalah menyangkut masalah keimanan. Oleh sebab
itu, kaum Muslimin perlu berhati-hati ketika membaca karya orientalis
mengenai al-Qur’an. Abu Hurairah, Ibn Abbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-
Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya
ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamamu.”
Jadi, para Orientalis tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk
menafsirkan al-Qur’an, seperti akidah yang sahih, komitmen dengan
kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa
syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen
mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk
mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi
urusan keagamaan. Senada dengan al-Tabari, al-Suyuti mengatakan bahwa
174 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
sikap sombong, cenderung kepada bid‘ah, tidak tetap iman dan mudah goyah
dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan
dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah
SWT.
Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat
penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an dan metode-kritis adalah
parasit yang akan menghilangkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran
al-Qur’an. Al-Qur’an adalah tanzil. Al-Qur’an tidak sama dengan dengan
teks karangan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)
Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya” (QS. al-Haqqah, 69 : 44-46). Allah juga
berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya) (QS. al-Najm, 53 : 3-4). Allah juga berfirman
yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”. QS. Fussilat (41: 42); juga disebut dalam surat
yang lain, yaitu: QS. al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1);
al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-
Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).”
Adapun beberapa pokok pikiran sebagai kesimpulan dari pandangan
Goldziher dan Schacht yang saling berkaitan satu dengan lainnya tentang
otentisitas hadits, yaitu sebagai berikut:
1. Hadits merupakan produk atau buatan kaum muslim dari abad kedua
dan ketiga hijriah.
2. Masyarakat Islam sebelum abad kedua dan ketiga Hijriah belum memiliki
kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan,
memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang
kompleks.
3. Kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan
bahwa hadits tidak dapat dipelihara dengan sadar dan tertulis, dan
hadits merupakan hasil perkembangan setelah Islam menemukan
perkembangannya dalam hal itu, yaitu abad kedua dan ketiga Hijriah.
4. Produk hukum Islam merupakan gambaran yang muncul dari hasil
perkembangannya pada abad kedua dan ketiga hijriah, karena hadits
Nabi yang berkaitan dengan hukum baru muncul pada dua abad tersebut,
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
175
dan hal itu pun merupakan hasil pemalsuan ketika adanya akses politik
baik dari para penguasa maupun dari pertikaian politik aliran fiqih klasik
dan ahli hadits.
5. sebagian besar sanad hadits merupakan rekayasa yang didasari oleh
teori projecting back atau memproyeksikan kebenaran suatu hadits pada
orang sebelumnya, dan sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad SAW.
Pendapat Goldziher di amini juga oleh sarjana terkemuka Belanda,
Snouck Hurgronje, dalam “Early Development Of Islam“. H. Lemmens. Joseph
Schacht hanyalah mengikuti atau memperluas penjelasan dari Goldziher,
tetapi subtansinya sama bahwa hadits atau sunah merupakan hasil rekayasa
ulama-ulama Islam abad ke-2 dan ke-3 yang menjustifikasi rekayasa tersebut
kepada Nabi. Untuk menyanggah pendapat sesat tersebut, setidaknya dapat
dibantah dengan metode pengumpulan hadits yang selektif dan menempuh
proses yang panjang. Berikut ini bukti-bukti keandalan sunnah, yaitu :
1) Keandalan Sumber
2) Keaslian data dan keaslian kata-kata / ajaran
3) Pemeliharaan ajaran asli pada periode-periode kemudian dan alat untuk
memahaminya.
Keandalan sumber dapat dilihat yaitu tidak mungkin hadits direkayasa
ulama pada abad pertengahan karena dalam pengumpulan hadits semua
informasi harus diperoleh melalui orang yang hidup bersama Nabi dan
menyaksikan peristiwa itu. Informasi ini harus melewati para sarjana yang
dapat dipercaya tanpa terputus mata rantainya (sanad). Salah satu sifat yang
paling penting dari proses ini adalah bahwa informasi tidak akan diterima
sebagai hadits apabila ucapan itu bertentangan dengan akal sehat, orang
yang menyampaikannya terpercaya, dan sumber akhir haruslah dilaporkan
melalui seseorang yang merupakan sahabat Nabi.
Dari sudut kata-kata dan ajaran yang asli hadits Nabi menggunakan
Bahasa Arab sebagai ungkapannya. Dan bahasa arab hingga kini dapat
dipelihara keasliannya. Pengumpulan dan pemeliharaan pengajaran-
pengajaran asli pada zaman kemudian, ini terbukti dari informasi ini (Hadits),
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan nama
orang-orang yang bertanggung jawab dalam menyampiakan pengetahuan
itu. Dalam hal ini memberikan landasan kuat untuk melakukan penelitian
dan rujukan, mengingat hal ini menjadi jelaslah bahwa suatu metode yang
unik telah diilhamkan kepada masyarakat Islam dan tak seorang pun telah
mengembangkan suatu metode yang lebih baik.
176 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, Metodologi
Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gramedia, 2009
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat dari
Mawsu’ah al-Mustasyriqin, Yogyakarta, LKis, 2003
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, Jakarta, Gema
Insani Press, 2005
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995
Ali Mustafa Yaqub, kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung, Mizan, 1986
Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture”, Moslem World 40, 1950
Arthur Jeffery, A Variant Text of the Fatiha, Moslem World 29, 1939
Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ans, Leiden: E.
J. Birll, 1937
Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, New York: Russell F. Moore Companya,
1952
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, United Bible Societies, 1975
Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, Oxford University Press,
USA; 3 edition, March 12, 1992
C. Houtman, The Pentateuch, dalam The World of the Old Testament: Bible
Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1989, jilid. 2
Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s
Scripture, New Jersey, Princeton University Press, 2001
Daud Rasyid, Goldziher dan Sunnah, Jurnal Kajian Islam Ma’rifat, Vol. I,
Jakarta, 1415 H
Diskursus Pemikiran Orientalis Tentang Tafsir Hadis
( Abdul Karim )
177
Abstract
A. PENDAHULUAN
Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran kedua dalam Islam menjadikan
studi terhadapnya sangat penting. Terlebih hingga saat ini, persoalan
mengenai pencatatan dan kodifikasi hadis masih menjadi perdebatan dan
180 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
(96-194), Abū Bakr ibn Abu Sabrah (100-162 H.), al-Ḥasan al-Baṣrī (21-110
H.), az-Zuhrī (50-125 H.), Syahr ibn Ḥausyab (w. 113 H.), dan ‘Ikrimah ibn
‘Ammār (w. 159 H.). Sedangkan cara mengimla’kan hadis tersebut ada dua
cara, yaitu: mengimla’kan hadis dari kitab dan mengimla’kan hadis dari
hafalan.
Selain itu, al-A‘zamī juga menjelaskan bahwa pada saat itu (abad I
hingga awal abad II H.), ada beberapa orang ahli hadis yang menulis hadis,
namun setelah mereka hafal, maka hadis-hadis itu kemudian dihapusnya,
seperti yang dilakukan Masrūq ibn al-Ajda‘(w. 62/63 H.), Muḥammad ibn
Sīrīn (23-110 H.), Khālid al-Ḥażżā’ (80-141 H.), , dan Hisyām ibn Ḥassān
(w. 148 H.). Sebaliknya, ada pula yang menghafal hadis lebih dahulu, lalu
menulisnya, seperti al-A‘masy (61-147 H.), Khālid ibn Yazīd al-Jumaḥī
(80-139 H.), Sufyān aṡ-ṡaurī (97-161 H.), Ḥammād ibn Salamah (w. 167
H.), ‘Abdulwāriṡ al-‘Anbarī (w. 180 H.), ‘Abdullah ibn Idrīs (w. 192 H.), dan
Sulaimān ibn Ḥarb (144-224 H.). Adapun alat tulis yang sering digunakan
para ulama mencatat hadis-hadis terutama pada abad II H. adalah kepingan-
kepingan papan yang tipis dan dedaunan, lalu mereka menyalinnya kembali
pada kertas.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peran tulis-menulis dalam
penyebaran hadis Nabi SAW. pada abad I dan II H. sangat nyata, baik yang
berupa dikte menulis hadis (imlā’), tanya jawab, dan penyalinan naskah.
Penyebaran hadis tidak sekedar melalui pengajaran dari lisan ke lisan
sebagaimana yang diasumsikan sebagian orang.
Adapun istilah ḥaddaṡana, akhbaranā, dan ‘an yang umumnya
diyakini digunakan untuk penyampaian lisan ditepis oleh al-A‘ẓami dengan
memaparkan 20 bukti yang terdapat dalam kitab-kitab hadis bahwa istilah
tersebut digunakan untuk hal-hal berikut: (1) Guru mendiktekan atau
membacakan kitab hadis kepada muridnya. (2) Guru mengajarkan hadis
secara lisan, sedangkan murid mencatatnya. (3) Guru mengajarkan hadis
secara lisan, dan murid menerimanya secara lisan pula (tidak mencatat).
(4) Guru mendiktekan ingatan (hafalan) hadisnya. (5) Murid membaca kitab
hadis di hadapan gurunya. (6) Murid membacakan atau menuturkan kembali
ingatan (hafalan) hadisnya di hadapan gurunya.
Dengan demikian, maka sebenarnya tulisan ahli-ahli hadis itu
banyak sekali. Hanya saja istilah-istilah yang mereka pergunakan justru
membuat nama kitab-kitab mereka kurang dikenal. Misalnya, istilah samā‘
(mendengar) dipakai juga untuk penulisan hadis, sebab sekadar menulis
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
187
hadis saja tanpa mendengarnya, maka dianggap oleh ahli-ahli hadis tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, mereka sering memakai
istilah samā‘ (mendengar hadis) atau taḥdīṡ (mengajarkan hadis) tanpa
menuturkan adanya penulisan.
Kekuatan hafalan yang dimiliki orang-orang Arab saat itu tetap tidak
menutup kemungkinan adanya orang-orang lain yang lemah hafalannya.
Fakta ini—menurut al-A‘ẓamī (1992: 74)—tidak dapat dijadikan alasan
bahwa mereka tidak perlu menulis hadis, sebab ternyata meskipun hafal
mereka juga masih menulis syair-syair dan lainnya.
E. SIMPULAN
Paparan di atas menunjukkan bahwa aktifitas penulisan hadis—
menurut al-A‘ẓamī--telah dilakukan sejak masa Nabi SAW. dan aktifitas tulis
menulis telah menjadi tradisi sejak masa jahiliyah. Ini dibuktikan dengan:
(a) Ditulisnya syair-syair milik para tokoh mereka, mencatat cerita perang,
dan kata-kata mutiara dari para pujangga. (b) Adanya tempat-tempat yang
dijadikan ‘majlis pendidikan’ di Jazirah Arab, seperti Makkah, ṭaif, Madinah,
Anbār, Ḥīrah, dan Daumat al-Jandal. (c) Adanya sekretaris-sekretaris Nabi
SAW. yang berjumlah sekitar 65 sahabat dan 52 sahabat yang secara khusus
memiliki catatan-catatan hadis. (d) Seperempat abad setelah Nabi SAW.
wafat, di Madinah sudah ada gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah
‘Uṡmān ibn ‘Affān. (e) Adanya perpustakaan-perpustakaan di negeri-negeri
Islam pada dekade keenam abad I H.
Wallahu A‘lam
Penulisan & Kodifikasi Hadis Menurut Muhammad Mustafā Al-A‘Zami
( Umma Farida )
193
DAFTAR PUSTAKA
Abstract
A. Pendahuluan
Fazlur Rahman (1919-1988) merupakan salah satu tokoh garda depan
dalam penafsiran al-Qur’an modern. Dia adalah salah seorang yang pertama
kali mengkampanyekan gagasan untuk memperhatikan konteks historis al-
Qur’an maupun kekinian dan kedisian ketika menafsirkan al-Qur’an lewat
teori double movement-nya. Pemikiran Rahman ini mempengaruhi banyak
pemikir setelahnya seperti Nurcholis Madjid dan Amina Wadud.1 Namun
1
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal
Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 39.
196 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
9
Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran Muhammad terhadap situasi-situasi
sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas:
tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 17.
10
Kenneth Gragg, The Event of the Qur’an: Islam and the Scripture (London: George
Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm. 17.
11
Abdullah Saeed, “Rethinking “Revelation” as a Precondition for Reinterpreting the
Qur’an: A Qur’anic Perspective”, Journal of Qur’anic Studies, 1 (1), 1999, hlm. 110-111.
12
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 41.
13
Ibid. 85.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
199
Kedua, bahasa budaya. Satu prinsip yang harus selalu dipegang seorang
mufasir adalah bahwa konteks Hijaz merupakan titik berangkat baik bagi
al-Qur’an maupun Nabi. Nabi, sebagaimana diketahui, pada kenyataannya
tidak membasmi seluruh elemen budaya yang ada di sana. Al-Qur’an telah
meminjam simbol, metafor, istilah dan ekspresi Hijaz untuk menyampaikan
pesan-pesannya.36 Artinya, masing-masing budaya memiliki cara yang unik
untuk menggambarkan sebuah persoalan, gagasan dan nilai, dan jalan ini
tidak selalu bisa diterjemahkan dan dipahami melalui konteks lain.37
42
Ada beberapa istilah yang identik dengan pemikiran Rahman: prinsip-prinsip
(principles), nilai-nilai (values), tujuan-tujuan moral (moral objectives), ratio-legis, prinsip-
prinsip umum (general principles) dan sebagainya. Namun demikian, sebagaimana diakui
Taufik Adnan Amal, prinsip ini belum ditata secara hirarkis guna membentuk etika al-Qur’an.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 159.
43
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
44
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 54.
45
Langkah ini merupakan langkah penting untuk menemukan prinsip-prinsip
umum yang dijadikan sebagai landasan untuk memformulasikan hukum dalam kasus-kasus
partikular di dunia modern dalam gerak kedua. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an,
hlm. 128.
46
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 130.
206 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Naḥl (16): 116; Yūnus (10): 59; al-Mā’idah (5): 90). Allah juga menegur Nabi ketika Nabi
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya (Q.S. al-Taḥrīm (66): 1).
51
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 165-166.
52
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
53
Ibid. 132.
208 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
syarī’ah oleh al-Syatibi (w. 766/1388)54, dan maṣlaḥah oleh al-Tufi (w.
716/1316).55 Lima nilai universal tersebut adalah perlindungan hidup,
hak milik, kehormatan, keturunan dan agama. Di kalangan ulama uṣūl,
nilai universal ini dianggap sebagai tujuan utama syari’ah (maqāṣid al-
syarī’ah) sebagaimana dinyatakan oleh al-Syatibi.56 Pencapaian nilai-
nilai di atas melalui sebuah metode yang diakui sebagai metode induktif
(inductive corroboration) dari sumber-sumber adekuat Islam.
Dengan metode yang sama, Saeed berpendapat bahwa nilai tersebut
bisa dikembangkan, tidak hanya terbatas lima, mengikuti kebutuhan
dan perkembangan zaman, senyampang memang diramu dari sumber
yang adekuat. Pada saat ini misalnya, perlindungan dari kerusakan,
perlindungan kebebasan beragama, perlindungan hak asasi manusia
perlu ditambahkan kepada lima nilai yang telah ada.57
Pada prinsipnya, menurut Saeed, apa yang disebut sebagai
nilai fundamental adalah nilai-nilai yang sifatnya universal, dan
perlu ditekankan bahwa wilayah ini bisa diperluas atau dipersempit
berdasarkan kebutuhan masing-masing generasi, persoalan-persoalan
yang dihadapi, titik perhatian masing-masing generasi.
Tampaknya nilai ini sama dengan prinsip umumnya Rahman, semisal
keadilan. Nilai ini menurut Rahman ditemukan melalui gerak pertama
dari gerak gandanya. Nilai inilah yang dijadikan prinsip umum dalam
menafsirkan dan mengaplikasikan al-Qur’an dalam konteks kekinian.
59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
60
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 167; Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 134.
61
Q.S. al-Mā’idah (5): 41.
62
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134-135.
63
Q.S. al-Mā’idah (5): 42.
64
Q.S. al-Baqarah (2): 178.
65
Q.S. al-Nūr (24): 5.
66
Q.S. al-Nisā’ (4): 16.
210 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
67
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
68
Ibid. 136.
69
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169; Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 137.
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
211
Saeed, nilai ini diterima begitu saja (normatif) bahkan sampai sekarang,
terutama oleh muslim tradisional.70
Saeed memandang, dibanding nilai-nilai sebelumnya, nilai
intruksional ini adalah yang paling banyak, paling sulit, paling beragam
dan berbeda-beda. Karena itu bentuk kategorisasi adalah perkara yang
sulit, dan karenanya Saeed lebih memilih menampilkannya begitu saja.
Sebagian besar nilai al-Qur’an adalah intruksional. Ayat-ayat yang
termasuk dalam kategori ini memiliki tampilan linguistik yang beragam:
perintah (amr) atau larangan (lā), pernyataan sederhana tentang ‘amal
ṣa}lih, perumpamaan, atau bisa juga kisah.71 Secara lebih terperinci
misalnya instruksi untuk menikahi lebih dari satu perempuan dalam
kondisi tertentu,72 bahwa laki-laki ‘memelihara’ perempuan,73 untuk
berbuat baik kepada orang-orang tertentu misalnya orang tua,74 untuk
tidak menjadikan kaum kafir sebagai teman,75 dan untuk mengucapkan
salam76.
Menurut Saeed, ada pertanyaan yang perlu dijawab menyikapi
keberadaan nilai-nilai intruksional ini karena seperti yang diketahui
nilai-nilai tersebut sangat erat dengan kondisi saat itu. Pertanyaan yang
bisa digariskan yakni: Apakah nilai ini melampaui kekhususan budaya
sehingga harus dipatuhi dalam segala kondisi, tempat dan waktu? Atau
sebaliknya, apakah harus diciptakan kondisi yang sama agar dapat
diterapkan? Bagaimana seharusnya seorang muslim menanggapi nilai
ini?
Menjawab persoalan itu, Saeed menawarkan sebuah rumusan
untuk mengukur apakah nilai tertentu bersifat universal ataukah tidak
termasuk derajat sifatnya. Takaran itu adalah persoalan frekuensi,
penekanan, dan relevansi.
Pertama, frekuensi.77 Frekuensi berkaitan dengan seberapa sering
nilai tertentu disebutkan dalam al-Qur’an melalui penelusuran tema-tema
70
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 138.
71
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169.
72
Q.S. al-Nisā’ (4): 2-3.
73
Q.S. al-Nisā’ (4): 34-35.
74
Q.S. al-Nisā’ (4): 36.
75
Q.S. al-Nisā’ (4): 89-90.
76
Q.S. al-Nisā’ (4): 86.
77
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 139.
212 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
D. Kerangka Kerja
Saeed kemudian beranjak dari dunia gagasan kepada sebuah model
interpretasi, sebuah panduan praktis yang menyajikan langkah demi langkah
dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal. Menurut Saeed,
makna bersifat interaktif. Pembaca (baca: penafsir) bukanlah penerima pasif
yang begitu saja ‘menerima’ makna. Pembaca merupakan peserta aktif dalam
memproduksi makna teks.80 Ada empat tahap yang harus dilampaui dalam
model interpretasi ini. Berikut peta model interpretasi yang ditawarkan
Saeed:81
80
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 149.
81
Ibid. 150. Untuk perincian lebih lanjut dari peta di atas, bisa dirujuk langsung dalam
buku ini.
214 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Model of Interpretation
Text
Stage I: Encounter with the world of text
E. Simpulan
Upaya yang dilakukan Saeed ini, meskipun tidak secara eksplisit
dinyatakannya sebagai pelanjut kerja Rahman tapi jejak-jejaknya bisa
ditemui dengan jelas pada pemikirannya. Saeed telah menerjemahkan
gagasan Rahman dalam kerangka kerja yang lebih rigid. Kemudian, melalui
hirarki nilainya, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran klasik dan
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
215
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
Yogyakarta: LKiS, 2003.
__________, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj.
Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Yogyakarta: Samha dan
PSW UIN Sunan Kalijaga, 2003.
__________, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics,
Amsterdam: Humanistics University Press, 2004.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, Leiden: E.J. Brill, 1961.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya al-
Jumanatul ‘Ali. Bandung: J-Art, 2004.
Esack, Farid, “Qur’anic Hermeneutics: Problems and Prospects”, dalam The
Muslim World, Vol. LXXXIII, No. 2, April 1993.
Gracia, Jorge J.E., A Theory of Textuality: the Logic and Epistemology, Albany:
State University of New York Press, 1995.
Hallaq, Wael B., “Law and the Qur’an”, dalam Jane D. McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3.
Ichwan, Mochammad Nur, “Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta
Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1995.
__________, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Bandung: Teraju, 2003.
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Naf’atu Fina, Lien Iffah, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran
Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed
( Lien Iffah Naf’atu Fina )
217
Abstract
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang menjadi mu’jizat Nabi
Muhammad. Di antara kemu’jizatan Al-Qur’an adalah dari segi bahasanya.
Keindahan bahasa Al-Qur’an dapat dilihat dari keserasian ayat-ayat yang
saling menguatkan, kalimatnya yang spesifik, balāgahnya di luar kemampuan
akal, kefasihannya di atas semua yang diungkapkan manusia, lafaznya pilihan
dan sesuai dengan setiap keadaan, serta sifat-sifat lain yang menunjukkan
kesempurnaan Al-Qur’an.1
1
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an, terj. Nur
Fauzin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001). Hlm. 14-15.
220 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
2
Sayyid Aqil Husin al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi
Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 3.
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip dalam Al-
3
أال ترى أنه ال طريق. وتثبيتا لها في الصدور.إن في التكرير تقريرا للمعاني في األنفس
, كلما زاد ترديده كان أمكن له في القلوب.إلى حفظ العلوم إال ترديد ما يرام حفظه منها
.11 وأبعد من النسيان, وأثبت للذكر,وأرسخ له في الفهم
Artinya; Fungsi pengulangan adalah menetapkan makna dalam jiwa dan
memantapkannya di dalam hati. Bukankah cara yang tepat untuk
menghafalkan pengetahuan dan ilmu itu dengan mengulang-ulang
supaya dapat dicerna dan dihafal. Sesuatu manakala lebih sering
di ulang maka akan lebih menetap dalam hati, lebih mantap dalam
ingatan dan jauh dari kelalaian.
Lihat al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 27, hlm. al-Alusi, Rūh al-Ma’ani,jld. 15, hlm.
13
148.
Ibid, 148.
14
224 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
3. Pengulangan redaksi:
فبأي االء ربكما تكذبان
Artinya: Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Salah satu fenomena yang menarik dalam al-Qur’an adalah pola repitisi
ayat di atas yang terdapat dalam surat al-Rahman. Pola repitisi semacam ini
merupakan pola repitisi baru yang hanya terdapat dalam surat al-Rahman
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
227
23
Lihat Husain Muhammad Fahmi, Ad-Dalil al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim,
(Kairo: Dar as-Salam, Cet. II, 2002).
. 464.
24
228 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Qur’an juga menyebut manusia sebagai makhluk yang sangat dhalim dan
mengingkari (QS. 14: 34). Sedangkan al-Qur’an menggambarkan jin juga
sebagai makhluk yang pembangkang (QS. 7: 10 dan Shaq 76).
Dari keterangan di atas pantaslah jika lawan bicara (khiṭāb) dari ayat-
ayat yang diulang ini ditujukan kepada kedua makhluq (manusia dan jin)
tersebut. Sebab, walaupun Allah telah menganugerahkan berbagai macam
nikmat masih saja banyak dari mereka mendustakannya. Pendustaan tidak
hanya terbatas penolakan pada rasa syukur atas nikmat Allah saja, namun
bahkan banyak juga yang mengingkari keberadaan-Nya.
Kalau dianalisa menurut asal perkata dari repitisi redaksi di atas
didapatkan bahwa fā’ merupakan fā’ fashihah, yaitu fā’ yang menyimpan
syarat, taqdirnya iẓa kāna al-amru kamā fas}ala (jika keadaannya seperti
itu atau merupakan gambaran dari ayat sebelumnya). فبأي اآلء ربكما تكذبان
(Maka ni›mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?). Sedangkan
mendahulukan jar majrur dalam konteks ini menurut ulama’ balaghah
berfungi untuk mempercepat keingkaran orang-orang yang mendustakan
nikmat-nikmat Allah.
Repitisi redaksi ini tentu ada rahasia dibaliknya, rahasia itu adalah
rasa independensi setiap nikmat sebelum dan sesudah ayat yang disebut.
Inilah yang menjadikan adanya repitisi ayat yang terdapat dalam surat al-
Rahman ini. Sebab banyak sekali al-Qur’an membicarakan nikmat-nikmat
dalam berbagai surat namun tanpa ada repitisi di dalamnya. Seperti dalam
surat Ibrahim ayat 32-34 di sana disebutkan nikmat-nikmat Allah seperti
yang terdapat dalam surat al-Rahman, yaitu mengenai penciptaan langit dan
bumi dan sebagainya. Juga dalam surat an-Nahl ayat ke 15-17 disebutkan
juga tentang induk dari segala nikmat. Namun nikmat-nikmat yang dimuat
dalam kedua surat tersebut tidak terdapat ayat-ayat yang diulang sebagai
pemisah.
Perbedaan antara al-Rahman dengan surat-surat lain yang memuat
di dalamnya ayat-ayat tentang nikmat Allah adalah bahwa dalam surat al-
Rahman semua ayatnya mulai dari pertama sampai akhir membicarakan
nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan bukan saja kepada manusia, akan
tetapi juga dilimpahkan pada jin. Sedangkan surat lain yang memuat nikmat
Allah di dalamnya, pemuatan itu hanya sebatas pada sub pembahasan
dalam suatu surat saja. Oleh karena semua ayatnya memuat nikmat-nikmat
maka pola seperti ini sebagaimana pola yang diterapkan dalam syi’ir orang
terdapat suatu pemisah yang diulang.
230 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
D. Simpulan
Fenomena unik dalam al-Qur’an adalah Pengulangan ayat. Pengulangan
ini erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan (ta’kīd), sebab
pegasan merupakan faktor-faktor yang mendukung bersemayamnya pikiran
dalam jiwa masyarakat dan tetapnya dalam hati mereka. Nilai penetapan
adalah dengan selalu mengadakan pelafalan dengan mengulang-ulang
secara kontinyu. Ketika sesuatu itu diulangi secara terus menerus, maka
akan menacap dalam benak, dan akan dapat diterima lapang.
27
Al-Alusi, Rūh al-Ma’āni, jld. 15, hlm. 150.
28
Ibid, 150.
Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat Al-Rahman
( Ahmad Atabik )
231
DAFTAR PUSTAKA
Abstract
A. Pendahuluan
Terdapat konsensus di sebagian kalangan umat Islam bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat
politik Madinah yang dibangunnya haruslah dijadikan referensi utama.
Telah dipahami pula bahwa Muhammad SAW bukan hanya pemimpin agama
melainkan juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan
itu telah bersatu-padu. Jika legalitas kepemimpinan agamanya diperoleh
dari Allah SWT, maka legitimasi kepemimpinan politiknya didapat dari
234 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
1
Abd Moqsith Ghazali, “Menolak Islam Politik” dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 12 (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002),
174.
2
Untuk melengkapi argumen di atas, berikut kutipan statement afirmatif dari
sejumlah orientalis yang mengiyakan relasi Islam dan politik. Dr. V. Fitzgerald dalam
“Muhammedan Law” berkata, “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga
merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan
modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam
dibangun di atas pondasi bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang
tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain.” Prof. C. A. Nallino seperti dikutip oleh Sir. T.
Arnold dalam bukunya “The Caliphate” berkata, “Muhammad telah membangun dalam waktu
bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia
bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya.” Dr. Schacht mengemukakan dalam Encyclopedia
of Social Sciences, “Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem
peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan.” Prof. Gibb
menyatakan dalam “Muhammedanism”, “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan
masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang-undangan dan institusi.” Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din Ra’is, Teori Politik Islam
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 5 – 6.
3
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 11.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
235
modern demokratis; dan bagaimana syariat Islam itu mesti dipahami dan
dipraktikkan. Kecanggungan-kecanggungan ini kemudian berimplikasi
pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi politik. Secara kategorial, para
pemikir Muslim terfragmentasi ke dalam tiga kelompok.4 Kelompok pertama
dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui pranata negara, misalnya dalam bentuk
perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Masuk dalam
kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rashid Rida, Hasan al-
Banna, Abu al-A’la al-Mawdudy, dan Rashid al-Gannushy.5
Kelompok berikutnya memandang bahwa hubungan agama dengan
masalah politik-kenegaraan adalah persoalan etika (moral). Islam tidak
menginginkan pemisahan agama dari politik karena agama diperlukan
untuk memperbaiki dan memperhalus politik, serta membimbing para
pemimpin menuju kemaslahatan warga. Kelompok ini menganggap bahwa
negara Madinah adalah model negara demokratis yang genuine, dan Nabi
Muhammad adalah seorang demokrat yang sejati dan otentik. Tokoh-tokoh
yang berhaluan seperti ini, antara: Ahmad Amin, Muhammad Husayn
Haykal, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Nurcholish Madjid, Amin Rais,
dan Jalaluddin Rahmat.6 Kelompok ketiga menolak penerapan syariat dan
4
Kategorisasi ini tidak dimaksudkan untuk membuat kotak-kotak yang ketat, tetapi
hanya sekadar upaya untuk memahaminya dalam konteks sosiologi pemikiran masing-
masing. Periksa M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran
Keislaman Timur Tengah” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
ed. M. Aunul Abied Shah et. al. (Bandung: Mizan, 2001), 38.
5
Nama-nama yang masuk dalam kelompok ini meski memiliki visi pemikiran yang
searah, namun tidak berarti identik dalam seluruh produk pemikiran partikularnya. Sebagai
contoh, ‘Abduh dan Rida yang sama-sama mengusung frase, din wa shar‘, serta mengakui
perlunya kepemimpinan dan kekuasaan politik karena manusia memiliki kecenderungan
negatif untuk mengabaikan ajaran agama apabila tidak ditopang dengan otoritas dan
kepemimpinan, menekankan pentingnya legislasi (pembuatan hukum) oleh manusia dan
perlunya pengembangan mekanisme yang menopangnya. Hasan al-Banna, meski juga
menekankan keharusan membentuk pemerintahan Islam, namun ia tidak menekankan
dinamisme hukum dan tugas legislasi dalam pemerintahan dan negara Islam, karena syariat
dipandangnya sebagai sistem hukum yang sudah lengkap dan terperinci. Lain halnya dengan
Rashid al-Gannushy yang berpandangan bahwa pembentukan negara Islam merupakan tujuan
jangka panjang. Sebelum tujuan jangka panjang tercapai, umat Islam dapat berpartisipasi
dalam suatu pemerintahan bukan Islam dalam rangka membangun sistem pemerintahan
pluralis yang memberikan kekuasaan pada partai mayoritas. Aliansi seperti ini perlu untuk
meredam agresi penguasa dan menghindari kediktatoran. Dalam hal ini, partisipasi dalam
aliansi politik adalah prasyarat yang termasuk kategori kewajiban keagamaan dalam rangka
transisi menuju pemerintahan Islam yang demokratis. Lihat elaborasi selengkapnya dalam
“Entri Islam dan Negara”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), 65.
6
Abd Moqsith, “Menolak Politik Islam”, 175.
236 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
pembentukan negara Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama, bukan negara
(al-Islam din la dawlah). Lebih lanjut, mereka menampik idealisasi politik
Nabi di Madinah. Para pemikir yang berada dalam spektrum pemikiran
ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Qamaruddin Khan, Muhammad Ahmad
Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid.7
Di kalangan mufassirun juga terdapat kecenderungan untuk berbicara
dalam lapangan politik. Ibn Jarir al-Tabary (wafat 310 H) dalam Tafsir al-
Thabary misalnya banyak berbicara tentang kepala negara dalam kaitannya
dengan kesejahteraan rakyat.8 Mufassir lain adalah Abu Qasim Muhammad
ibn ‘Umar al-Zamakhshary (467 – 538 H/1027 – 1144 M) dalam Tafsir al-
Kashshaf. Dia banyak menguraikan tentang negara moral dalam kaitannya
dengan eksistensi imamah dalam menolak kezaliman.9 Selanjutnya adalah
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurtuby (wafat 671 H) dalam
Tafsir al-Qurthuby yang banyak berbicara tentang imamah dalam konteks
hukum fiqh.10 Berikutnya Abu Fida Ismail ibn Kathir al-Dimashqy (wafat 774
H) dalam Tafsir Ibn Kathir yang banyak mengupas tentang konsep imamah
dengan argumentasi rasional.11
Salah seorang mufassir yang juga berbicara tentang pemikiran politik
7
Qamaruddin Khan (cendekiawan Pakistan, lulusan Universitas Aligarh)
berpandangan bahwa tidak ada teori tentang negara di dalam al-Quran. Nabi Muhammad
SAW memang menegakkan “rezim politik”, tetapi hal itu merupakan peristiwa insidental yang
terkait dengan situasi kesejarahan, bukan tujuan asasi misi kerasulannya. Pendapat senada
dilontarkan oleh Muhammad Ahmad Khalfallah yang berpendapat bahwa Islam adalah agama,
bukan negara (al-Islam din la dawlah). Maksudnya, asas pembentukan negara ialah keharusan
yang bersumber dari kehidupan sosial yang pengelolaannya diserahkan oleh agama kepada
masyarakat, bukan teks Ilahi yang diturunkan dalam al-Quran. Penolakan terhadap gagasan
negara Islam, atau Islam sebagai agama dan negara juga diberikan Faraj Faudah, pengkritik
pedas penerapan syariat di Mesir. Faudah menganut prinsip pemisahan politik dari agama,
antara negara dan Islam. Bahkan, dalam pandangannya, pembedaan ini perlu dilakukan demi
kebaikan agama dan negara (pemerintahan). Agama terhindar dari manipulasi politik, dan
pemerintahan terlaksana tanpa beban yang bersumber dari partikularisme keagamaan. Baca
uraian selengkapnya Qamaruddin Khan, Political Concept in The Qur’an (Lahore: Islamic Book
Foundation, 1982), 75-76. Bandingkan dengan Muhammad Ahmad Khalfallah, al-Qur’an wa
al-Dawlah (Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1973).
8
Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabary, Tafsir al-Thabary (Beirut: Dar al-
Fikr, 1978), 97.
9
Lihat Abu Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhshary, Tafsir al-Kashshaf
Juz III (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, tt.), 372.
10
Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
11
Lihat Abu Fida Ismail ibn Kathir al-Dimashqy, Tafsir Ibn Kathir Juz IV (Mesir: Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.), 32.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
237
Islam adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Shawkany.12
Lebih jauh, pemikiran politik al-Shawkany dalam Tafsir Fath al-Qadir telah
diteliti oleh Ahmad Fahmy Arief dalam disertasi yang ditulisnya tahun 1997
untuk menyelesaikan Program Doktor dalam Ilmu Agama Islam di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul “Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir”.13 Adapun makalah ini
ditulis dengan tujuan untuk me-review disertasi Arief tersebut.
Sebelum melakukan elaborasi lebih jauh, perlu dipertegas terlebih
dahulu bahwa istilah pemikiran politik yang dimaksudkan Arief dalam
penelitian ini ialah gagasan-gagasan tentang ketatanegaraan.14 Gagasan-
gagasan tentang ketatanegaraan ini dibatasi pada konsep kepemimpinan
dan musyawarah, konsep hak warganegara untuk memperoleh keadilan, dan
konsep hak warganegara untuk hidup berserikat dan berkumpul. Penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sehubungan dengan
sumber data penelitian ini adalah ayat-ayat al-Quran dan berfokus pada
sebuah tema, maka penelitian ini termasuk kajian tafsir dengan pendekatan
tafsir tematis (tafsir mawdhu’iy). Sedangkan pendekatan dan analisis yang
digunakan dalam penelitian ini pendekatan dan analisis semantik.
12
Lihat Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Shawkany, Tafsir Fath al-Qadir (Mesir: Dar
al-Fikr, 1973).
13
Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir (Disertasi, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997).
14
Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik yang berkenaan dengan
kekuasaan dan susunan masyarakat, serta pengertian politik yang berkenaan dengan
kekuasaan dan konsep negara. Sebagaimana dimaklumi bahwa di dalam ilmu politik terdapat
beberapa konsep di mana konsep kekuasaan dan konsep negara merupakan dua konsep yang
terpenting. Lihat Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik (Jakarta: Rajawali, 1983), 189.
Periksa pula A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), 9.
15
Al-Shawkany, Tafsir Fath al-Qadir Juz I, 4-8.
238 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
di San’a pada masa pemerintahan al-Imam al-Manshur ‘Ali ibn ‘Abbas (1775
– 1809 M). Pada masa pemerintahan al-Mahdi ‘Abd Allah (1815 – 1835 M),
al-Shawkany menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar
Negeri.19
Kitab Tafsir Fath al-Qadir yang akan ditelaah ini terdiri dari lima jilid.
Kitab ini memiliki dua keistimewaan. Pertama, uraiannya menggabungkan
antara metode riwayah dan metode dirayah. Diidentifikasi riwayah, karena
tafsir ini menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasul SAW, dan
pendapat para sahabat dalam menjelaskan isi kandungan ayat-ayat al-
Quran. Diidentifikasi dirayah, karena tafsir ini menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan dalam menganalisis ayat-ayat al-Quran.20
Keistimewaan keduanya ialah, kitab ini ditulis oleh seorang ulama
Shi‘ah Zaydiyyah, yaitu al-Imam al-Shawkany. Sekte ini disebut dengan Shi‘ah
Zaydiyyah karena pengikut sekte ini berpegang teguh kepada ajaran-ajaran
yang dikembangkan oleh al-Imam Zaid ibn ‘Ali ibn Husayn ibn ‘Ali ibn ‘Abi
Thalib.21 Di antara ajaran sekte ini adalah imam afdhal. Menurut pengikut
sekte ini, ‘Ali ibn Abi thalib lebih afdhal (utama) daripada Abu Bakr al-
Shiddiq. Namun demikian dalam teologi sekte Zaydiyyah tetap mengakui
kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khattab, dan ‘Usman ibn
‘Affan. Tetapi yang lebih afdhal adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, sedangkan tiga
khalifah pendahulunya disebut oleh mereka dengan imam mafdhul.22
19
Lihat ibid.
20
Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Mesir: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1976), 152.
Ali Musthafa al-Ghuraby, al-Firaq al-Islamiyyah wa Nash’ah ‘Ilm al-Kalam ‘inda al-
21
23
Abdul Mun’im Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), 231.
Kata khalifah dalam al-Quran ditemukan di 6 tempat: Q.S. 2:30; 39:26; 6:165; 10:73;
24
kafir dan munafiq tidak dibenarkan tampil sebagai pemimpin umat Islam.32
Pada dasarnya seorang pemimpin itu harus ditaati oleh rakyatnya. Tetapi
ketaatan kepada seorang pemimpin tidak berlaku, apabila pemimpin yang
bersangkutan berbuat melampaui batas, yaitu berlaku syirik kepada Allah
SWT.
Seorang pemimpin, menurut al-Shawkany, wajib melindungi
kepentingan rakyat, terutama yang menyangkut lima kepentingan pokok
(mabadi’ khamsah)-nya. Kelima kepentingan itu ialah: agama, jiwa, keturunan,
harta dan akal. Rakyat berhak menuntut perlindungan menyeluruh atas lima
kepentingan pokok tersebut kepada pemimpin.33
Terma mushawarah oleh al-Shawkany diartikan saling memberi dan
saling mengambil pendapat dalam suatu pertemuan. Dalam proses bertukar
pendapat itu, akan diperoleh mutiara-mutiara berharga dan pikiran-pikiran
cemerlang yang mungkin tidak didapatkan dalam berfikir sendirian. Unsur-
unsur etika yang harus diperhatikan dalam mushawarah ialah menghargai
pimpinan mushawarah dan menghargai pendapat orang lain. Setiap anggota
mushawarah harus meminta izin kepada pimpinan mushawarah untuk
berbicara dan untuk keperluan lainnya. Setiap anggota mushawarah harus
menghargai pendapat orang lain, terlepas dari bagus-tidaknya pendapat
tersebut.34
Menurut al-Shawkany, pimpinan mushawarah mempunyai
kewenangan untuk mengatur jalannya mushawarah. Keputusan untuk
memberi izin kepada anggota mushawarah yang mempunyai keuzuran
untuk meninggalkan mushawarah, atau memperkenankan atau menolak
permohonan anggota mushawarah untuk angkat bicara, tergantung pada
situasi dan kondisi. Materi-materi yang dimusyawarahkan, menurut al-
Shawkany, meliputi masalah-masalah umum yang menyangkut perang dan
damai, yang menyangkut kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak,
dan lain sebagainya yang tidak diatur oleh wahyu dan sunnah Rasul Allah
SAW. Adapun masalah-masalah yang sudah jelas petunjuknya dalam wahyu
dan sunnah Rasul Allah SAW, tidak perlu dimusyawarahkan lagi.
32
Ibid., 78.
33
Ibid., 88.
34
Ibid., 97 – 103.
242 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
berasal dari keturunan (dhurriyyah) yang sama, yaitu Nabi Adam AS dan
isterinya Hawwa.39
Dalam realitas kehidupan, keragaman ras, suku dan adat istiadat
tidak dapat dihindari. Kendati berbeda-beda dalam suku, ras dan kebiasaan,
namun komunitas masyarakat itu dapat diikat dengan agama yang satu,
yaitu Islam. Di dalam Islam, tidak ada perbedaan suku, ras dan kebiasaan,
semuanya dipandang sama di hadapan Allah SWT.
Perselisihan dan pertengkaran yang terjadi di antara sesama mukmin,
menurut al-Shawkany, harus segera didamaikan. Penyelesaian yang berlarut-
larut dapat mengakibatkan retaknya persaudaraan yang pada gilirannya
akan membawa kepada robohnya keutuhan bangsa dan negara. Jangan
sampai terjadi hanya karena persoalan-persoalan kecil akan membawa
kepada rapuhnya tali silaturahmi antara sesama mukmin.40
Menurutnya, dalam kelompok besar yang terdiri dari banyak suku,
ras dan adat istiadat, maka tidak tertutup kemungkinan adanya sikap
saling berbangga antarkelompok. Jika terjadi sikap saling membanggakan
kelompoknya masing-masing, maka akan terjadi saling menghina satu
terhadap yang lain. Dalam hal ini al-Shawkany menekankan kepada mereka
yang saling berbangga dan saling menghina tadi untuk merenungkan terma
()ىسع, yang artinya ialah boleh jadi. Dengan resep tersebut, potensi saling
menghina satu sama lainnya dapat diredam. Terma di atas menyadarkan
mereka yang bertikai bahwa boleh jadi yang dihina lebih baik dari mereka
yang menghina.41
Ibid., 101.
45
246 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
E. Simpulan
Pemikiran politik yang dimaksudkan dalam penelitian terhadap Tafsir
Fath al-Qadir ini adalah gagasan-gagasan tentang ketatanegaraan. Gagasan-
gagasan tentang ketatanegaraan ini dibatasi pada konsep kepemimpinan
dan musyawarah, konsep hak warganegara untuk memperoleh keadilan,
46
Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku “The
Divine Right of Kings –yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra
yang besar. Dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir
akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah
yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu, “Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat
dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”. J. Matters juga mengatakan
dalam bukunya “Concepts of State, Sovereignty and International Law” sebagai berikut, “Ini
adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang bahwa teori-teori yang
ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-
kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan
agama dan politik, yang –secara berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara
mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka”. Periksa kembali Rais, Teori
Politik Islam, 1 – 2.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
247
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimashqy, Abu Fida Ismail ibn Kathir. Tafsir Ibn Kathir. Mesir: Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
Al-Ghuraby, Ali Musthafa. al-Firaq al-Islamiyyah wa Nash’ah ‘Ilm al-Kalam
‘inda al-Muslimin. Mesir: Muhammad ‘Ali Shahib, tt.
Al-Qurtubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad. Al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Al-Shahrastany, Ahmad. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: al-Ma’arif, t.t.
Al-Shawkany, Muhammad ibn ‘Ali Muhammad. Tafsir Fath al-Qadir. Mesir:
Dar al-Fikr, 1973.
Al-Tabary, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir al-Thabary. Beirut: Dar al-
Fikr, 1978.
Al-Zahaby, Muhammad Husayn. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1976.
Al-Zamakhshary, Abu Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar. Tafsir al-Kashshaf.
Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Arief, Ahmad Fahmy. Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath al-Qadir. Disertasi,
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997.
Efendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
“Entri Islam dan Negara”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002.
Ghazali, Abd Moqsith. “Menolak Islam Politik”. Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 12. Jakarta:
LAKPESDAM NU, 2002.
Khalfallah, Muhammad Ahmad. Al-Quran wa al-Dawlah. Kairo: Maktabah al-
Anjalu al-Misriyyah, 1973.
Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath Al-Qadir
( Yusuf Hanafi )
249
Abstract
A. Pendahuluan
Manusia diciptakan untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi
dengan diberi karunia kemampuan yang sangat istimewa berupa kekuatan
dan kemampuan akal fikiran yang membedakan dengan binatang. Karenanya,
sudah sepantasnya akal fikir tersebut beriman kepada-Nya sebagai pencipta
alam semesta. Allah mengirim wahyu untuk mengaktifkan akal manusia
dengan meluruskan imannya serta pedoman dalam ibadah yang tertuang
252 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
dalam kitab suci al-Qur’an1. Hubungan akal dan wahyu tidak dapat dipahami
secara structural (hubungan atas bawah), melainkan dipahami secara
fungsional. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah,
sedangkan wahyu memberi wawasan moralitas atas pemecahan masalah
yang diambil oleh akal, dan juga untuk menginformasikan hal-hal yang tidak
dapat dijangkau oleh akal2.
Di antara sekian banyak masalah yang digambarkan al-Qur’an sejak
masa awal Islam adalah kiamat. Kiamat merupakan persoalan pokok bagi
seorang Muslim, selain masuk dalam wilayah akidah juga merupakan inti
agama. Kiamat merupakan peristiwa dasyat, sehingga disebutkan berulang-
ulang dengan segala bentuk rangkaian sebanyak 70 kali3. Sedemikian
pentingnya persoalan kiamat, al-Qur’an seringkali merangkaikan penjelasan
tentang iman kepada Allah dan keimanan pada hari kiamat.
َو ِم ْال ِخ ِر َو ْال َم َل ِئ َك ِة
ْ اللِ َو ْالي
َّ َل ْال َم ْشرق َو ْال َم ْغرب َولَ ِك َّن ْالب َّر َم ْن آ َم َن ب
ِ ِ ِِ ِِ
َ وه ُك ْم ِقب
َ ُجُ ْس ْال ِب َّر أَ ْن تُ َولُّوا و َ لَي
ين َو ِفي َ ِالسا ِئل
َّ يل َو ِ الس ِب
َّ ْن َ ين َوابَ ال َعلَى ُحبِّ ِه َذ ِوي ْال ُق ْربَى َو ْال َي َتا َمى َو ْال َم َسا ِك َ ِّين َوآ َتى ْال َم َ اب َوالنَّ ِبي ْ
ِ َوال ِك َت
َّ ين ِفي ْالب َْأ َسا ِء َو
الض َّرا ِء َّ اه ُدوا َو
َ الص ِاب ِر َ ون ِب َع ْه ِد ِه ْم إِ َذا َعَ ُوفُ الز َكا َة َو ْالم
َّ الص َل َة َوآ َتى َّ اب َوأَ َقا َم ِ الر َق
ِّ
َ َقوا َوأُولَِئ َك ُه ُم ْالمُتَّ ُق
ون ُ صد َ ين َ س أُولَِئ َك الَّ ِذ ْ ْ َ وح
ِ ين البَأ َِ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-
minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.”(Al-Baqarah: 177)
ُّ ُ َ ُ ان أَْل َح ْق َنا ِب ِه ْم ُذ ِّريَّ َت ُه ْم َو َما أَلَ ْت َن
ِ اه ْم ِم ْن َع َملِ ِه ْم ِم ْن ش ْي ٍء كل ام
ْر ٍئ ُ َ َوالَّ ِذ
ٍ ين آ َمنُوا َواتَّ َب َع ْت ُه ْم ذ ِّريَّتُ ُه ْم ِبإِي َم
ٌ ِب َما َك َس َب َر ِه
ين
Artinya: “dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu
Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Islam (Yogyakarta: Titian
1
4
Untuk lebih lanjut baca Efa Ida Amaliyah “Kehancuran Alam Semesta dalam Al-
Qur’an: Perspektif Kosmologi” dalam Jurnal SHUHUF yang diterbitkan Lajnah Pentashihan
Mushaf dan Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, ISSN: 1979-6544, Vol. 2 No.
1,2009
254 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
9
Ahmad Baiquni, Al-Qura’an dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Dana Bakti Prima,
1995), h. 260
256 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
10
Fazlur Rahman, “Islam”, terjemahan Ahsin Muhamad. Bandung: Pustaka, 1994,
hlm.36
11
Fazlur Rahman, “Tema Pokok al-Qur’an”, terjemahan Anas Mahyuddin. Bandung:
Pustaka, 1983, hlm. 169
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
257
Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 58
258 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
19
Hamka, “Tafsir Al-Azhar”, vol. 15, Surabaya: Yayasan Latmojono, 1982, hlm. 64
20
Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Tanggung Jawab Moral”. Yogyakarta: Disertasi pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1995,
hlm. 193-194
Kiamat Dalam Al-Qur’an Dan Pesan Moral
( Efa Ida Amaliyah )
261
dan selama itu pula telah mewarisi nilai-nilai yang tidak Islami, sains
dimasukkan dalam kelompok ilmu lain, yang dapat memberikan pernyataan
yang menurut sifatnya, mereka digolongkan dalam metafisika dan bukan
fisika.
Umat Islam harus menekankan kepada para muslim terutama peserta
didik bahwa sains didasarkan pada eksperimental dan observasi terhadap
alam yang tampak ini dan tidak mempunyai sekelumit pun pengetahuan
tentang alam gaib. Kita harus menegaskan bahwa ekstrapolasi sains sampai
pada periode penciptaan alam semesta tidak dapat dijamin kebenarannya
karena para pakar sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelum apa yang
mereka namakan waktu Planck; yaitu seper-sepuluh-juta-triliun sekon
sesudah penciptaan. Dan umat Islam harus menjelaskan bahwa sains
berkembang melalui berbagai tahapan. Pada tahapan-tahapan tertentu
mungkin saja konsensus dalam sains tidak sesuai, atau bahkan saling
bertentangan dengan isi Qur’an. Akan tetapi karena sains dikembangkan
untuk mencari kebenaran, maka pada akhirnya ia akan bersesuaian juga
dengan Qur’an.21
D. Simpulan
Pada penciptaan alam semesta ini al-Qur’an menunjukkan bahwa
penciptaan alam semesta dilengkapi pula dengan hukum-hukumnya
(sunatullah) yang tidak akan mengalami perubahan dan penyimpangan.
Karena itu setiap manusia yang melaksanakan anjuran al-Qur’an agar
memahami alam semesta dengan cara mengamatinya dengan alat indera
atau peralatan observasi, akal dan wahyu atau ilham (ilham hanya khusus
untuk manusia pilihan Allah) akan menyadari bahwa di balik karya besar
yang maha luas ini ada Zat yang maha diyakini dan disembah yaitu Allah
SWT.
Ada empat pesan moral yang hendak disampaikan al-Qur’an
melewati ayat-ayat kiamat. Pertama, mengubah pandangan hidup duniawi
materialistik menjadi pandangan hidup yang menyeimbangkan antara
kehidupan dunia sebagai kesenangan yang sementara, sedikit dan menipu.
Sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati, kekal dan
abadi. Meskipun demikian, manusia tidak boleh melupakan kehidupan
dunia, tetapi justru menyeimbangkan keduanya. Kedua, mendorong manusia
21
Ahmad Baiquni, “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”. Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
1996, hlm. 274
262 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
DAFTAR PUSTAKA
Tim Perumus UMJ Jakarta. 1995. Al-Islam dan Iptek. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Internet:
www.astronomers.com/c8_evoluation/p824.univfreme.html, akses 14 Juni
2004
http://www.space.com/scienceastronomy/big_rip_030306.html
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
265
Abstract
A. Pendahuluan
Dalam dunia Islam, kitab yang paling banyak memproduksi makna
adalah kitab Al-Qur’an. Dari kitab induk Al-Qur’an ini telah lahir beribu
kitab tafsir yang memenuhi khazanah intelektual dunia Islam. Peristiwa
ini merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah
sebuah kitab suci yang bisu. Adalah tugas kita sebagai muslim untuk
menyuarakannya. Hal ini jauh-jauh hari telah diisyaratkan oleh Imam Ali bin
Abi Thalib. Beliau mengatakan bahwa Al-Qur’an di antara dua sampulnya tak
bisa bersuara. Sang juru bicara itulah yang menyuarakannya.1
1
Al-Qur’ān bayna daftayi al-muṣḥaf lā yantiqu, wa innamā yatakallamu bihī al-rijāl.
266 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Al-Izzah, 1997), hlm. 35-36.
14
Ibid., hlm. 35.
15
Ibid., hlm. 36.
16
Ibid., hlm. 46.
17
Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris, Juz I, hlm. 477. Lihat juga
dalam Umar Rida Kuhal, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm. 158.
18
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131. Lihat juga dalam Umar Rida Kuhal,
Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm. 158.
19
‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, hlm. 127. Khair al-Din al-Zarkili, al-
A‘lām, Juz II, hlm. 131. Lihat juga dalam Umar Rida Kuhal, Mu‘jam al-Mu’allifīn, Juz III, hlm.
158.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
269
baru, yang diberi nama Mażhāb al-Jamalī. Maka pada tahun 1313 H, al-
Qasimi ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.20 Akan tetapi, akhirnya
al-Qasimi dibebaskan kembali.21
Setelah peristiwa penangkapan tersebut, al-Qasimi menetap di
Damaskus. Al-Qasimi berdiam diri di rumahnya dan mengonsentrasikan diri
untuk mengarang beberapa kitab dan mencurahkan perhatiannya terhadap
ilmu pengetahuan sampai akhir hayatnya.22
2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu
keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga menghasilkan beberapa karya
di bidang lain, seperti tauhid, hadis, akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain
menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah
fikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi
berjumlah 72 kitab.23
Di antara karya-karya al-Qasimi adalah:
1. Dalāil al-Tauḥīd.
2. Dīwān Khiṭāb.
3. Al-Fatawā fī al-Islām.
4. Irsyād al-Khalqi ilā al-‘Amalī bī al-Barqi.
5. Syarḥ Luqaṭah al-‘Ajlān.
6. Naqd al-Naṣāiḥ al-Kāfiyyah.
7. Maẓāḥib al-A‘rab wa Falāsifah al-Islām fī al-Jin.
8. Mau‘iẓah al-Mu’minīn.
9. Syarāf al-Asbaṭ.
10. Tanbīḥ al-Tālib ilā Ma‘rifati al-Farḍi wa al-Wājib.
11. Jawāmi’ al-Adab fī Akhlāq al-Anjab.
12. Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bidā‘ī wa al-‘Awāidī.
13. Ta‘ṭīr al-Masyām fī Maṡārī Dimasyqī al-Syām.
14. Qawā‘id al-Taḥdīṡ min Funūni Muṣṭalāḥ al-Ḥadīṡ.
15. Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm.
16. Tarjamah al-Imām al-Bukhārī.
17. Baīt al-Qāṣid fī Dīwān al-Imām al-Walīd al-Sa‘īd.
20
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131.
21
‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirīn, Jilid I, hlm. 127.
22
Khair al-Din al-Zarkili, al-A‘lām, Juz II, hlm. 131.
23
Ibid.
270 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
24
Ibid. Abd al-Hayyi bin Abd al-Kabir al-Kittani, Faḥras al-Faḥāris, Juz I, hlm. 477.
25
Muhammad Mansur, “Ma‘ānī Al-Qur’ān Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf,
dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Teras bekerja sama dengan
TH-Press, 2004), hlm. 11.
26
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 50.
27
Ibid., hlm. 36.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
271
2. Sumber Penafsiran
Terkait dengan sumber penafsiran, pernyataan Roland Barthes sangat
urgen untuk diperhatikan. Barthes menyatakan bahwa pada dasarnya tulisan
itu tidak ada yang orisinal. Teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal
dari seribu sumber budaya.28 Begitu pula dengan tafsir karya al-Qasimi,
Maḥāsin al-Ta’wīl. Kitab ini banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran
dan beberapa literatur.
Sebagai rujukan utama, al-Qasimi mengambil dari empat sumber.29
Pertama, hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, al-Qasimi banyak
mengambil hadis dari kitab-kitab hadis tulisan al-Bukhari, Muslim, al-
Tirmidzi, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain.30
Kedua, perkataan dan pendapat para sahabat.31 Ketiga, dari para penutur
bahasa Arab asli. Alasan al-Qasimi mempertimbangkan para penutur
bahasa Arab asli sebagai sumber penafsiran cukup menarik. Sebab, menurut
al-Qasimi, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Jadi, untuk mengetahui
maknanya, kita harus menguasai bahasa Arab. Keempat, kekuatan ra’yu
dalam menangkap makna Al-Qur’an.
Di samping keempat sumber di atas, al-Qasimi juga sering mengutip
beberapa pendapat para ulama. Di antara para ulama yang sering dijadikan
rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad Abduh, al-Syatibi, Ibnu Taimiyah,
Izzudin bin Abd al-Salam, al-Syaikh Waliyullah al-Dahlawi, Abu Amru al-
Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, al-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi
Abd al-Jabbar, al-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, al-Suyuti,
dan Ibnu Hazm.
Selanjutnya, dalam menjelaskan makna kata atau idiomatikal Al-
Qur’an, al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa kamus. Di antaranya
ṣiḥah al-Jauharī dan kamus al-Muḥiṭ.32 Satu hal yang tidak bisa dihindarkan
oleh al-Qasimi adalah, dalam beberapa tempat, beliau sering mencantumkan
kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir salaf yang
kitab-kitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-Qasimi.33
28
Muhidin M. Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (Yogyakarta: Jendela, 2003),
hlm. 97.
29
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I (Beirut: Dār al-Fikr,
1978), hlm. 7-8.
30
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 37-38.
31
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 102-105.
32
Ibid., hlm. 38.
33
Ibid., hlm. 43.
272 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
4. Sistematika Penafsiran
Dalam menulis tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl, al-Qasimi memakai sistematika
muṣḥafī, yaitu berdasarkan urutan mushaf Al-Qur’an. Al-Qasimi menafsirkan
Al-Qur’an dimulai dari Surah al-Fātiḥah dan diakhiri dengan Surah al-Nās.
Sistematika inilah yang banyak dipakai oleh para mufasir dalam menulis
kitab tafsir.
34
Ibid., hlm. 49.
35
Ibid., hlm. 50.
36
Indal Abrar, “al-Jāmī’ li Aḥkām Al-Qur’ān wa al-Mubayyin limā Taḍammanah min al-
Sunnah wa Āyi Al-Furqān Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir,
hlm. 70.
37
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 37.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
273
5. Metode Penafsiran
‘Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib memasukkan tafsir karya
al-Qasimi ke dalam kategori tafsir klasik. Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl karya al-
Qasimi ini sejajar dengan al-Tafsīr al-Ḥadīṡ karya Muhammad Izzat Darwazat
dan al-Tafsīr Al-Qur’ān lī Al-Qur’ān karya Abd al-Karim al-Khatib.40
Argumen yang bisa dikemukakan kenapa ‘Abd al-Majid Abd al-Salam
al-Muhtasib memasukkan tafsir ini ke dalam tafsir klasik adalah karena
tafsir ini selalu merujuk kepada sumber-sumber klasik sebagai sumber
penafsiran, baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat para
salaf al-ṣāliḥ. Walaupun demikian, al-Qasimi tidak pernah mengabaikan
aspek personality dan pendirian-pendiriannya. Bahkan, secara berani, al-
Qasimi juga sering melontarkan kritik terhadap beberapa pendapat para
mufasir yang dijadikan rujukannya.41
Mengenai kata-kata dalam Al-Qur’an, al-Qasimi selalu mengkajinya
secara teliti. Al-Qasimi selalu memperhatikan bentuk bacaan (qirā‘ah).
Al-Qasimi selalu memperhatikan bentuk-bentuk qirā‘ah yang mutawatir.42
Masih mengenai kata-kata dalam Al-Qur’an, secara jeli, al-Qasimi tidak
segan-segan melakukan kajian yang mendalam untuk menafsirkan kata-
kata tersebut dan mencari idiomnya.43 Di samping itu, al-Qasimi juga sering
menyertakan aspek i‘rāb kalimat-kalimat Al-Qur’an.44
Bila dalam penafsirannya menemukan hal-hal yang di dalamnya
terdapat ambiguitas dan ketercampuran pemahaman, al-Qasimi selalu
38
Untuk keperluan kajian ini, penulis memakai kitab tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl terbitan
Dār al-Fikr Beirut, tahun 1978.
39
Lihat Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 4-352.
40
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 35.
41
Ibid., hlm. 44-45.
42
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, hlm. 9.
43
Ibid., hlm. 5.
44
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 47.
274 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
6. Contoh Penafsiran
Untuk mengetahui penafsiran al-Qasimi sebagaimana termaktub
dalam kitab Maḥāsin al-Ta’wīl, lihat misalnya Q.S. al-Nisā’ [4]: 3.
َ َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَ َّل تُ ْق ِس ُطوا ِفي ْال َي َتا َمى َفا ْن ِك ُحوا َما َط
َ اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َسا ِء َم ْث َنى َوثُ َل َث َو ُر َب
اع
اح َد ًة أَ ْو َما َملَ َك ْت أَ ْي َما ُن ُك ْم َذلِ َك أَ ْد َنى أَ َّل َتعُولُوا
ِ َفإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَ َّل َت ْع ِدلُوا َف َو
45
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz II, hlm. 115.
46
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma, hlm. 41.
47
Ibid., hlm. 48.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
275
Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (Q.S. al-Nisā’ [4]: 3)
D. Simpulan
Demikianlah gambaran kitab tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl fī Tafsīr Al-
Qur’ān Al-Karīm karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu
menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi merupakan
sosok ilmuwan serba bisa yang mencoba mencurahkan kehidupannya
untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Maḥāsin Ta’wīl
diwarnai oleh gejolak pertentangan antara dunia Islam dengan orientalisme
dan kolonialisme. Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa dikategorikan ke dalam
276 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
corak tafsīr ‘ilmī dengan melandaskan pada kategori tafsīr bī al-ma’ṡūr yang
selalu merujuk pada sumber-sumber otoritatif dalam khazanah intelektual
Islam.
Adalah hal yang sangat disayangkan, jika kajian terhadap tafsir buah
karya al-Qasimi ini hanya terbatas pada kajian deskriptif. Kajian yang lebih
mendalam, dengan menekankan metode analitis-filosofis, sangat urgen
untuk dilakukan. Sebab, dengan metode inilah perkembangan keilmuan di
dunia Islam akan kembali mencapai puncak kejayaan.
Mahāsin Al-Ta’wīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm
( Aat Hidayat )
277
DAFTAR PUSTAKA
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal
Tashwirul Afkar Edisi No. 18 Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi
Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.),
Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
al-Zarkili, Khair al-Din, al-A‘lām, Juz II, t.tp.: t.p., t.t.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
279
Abstract
A. Pendahuluan
Pada kurun waktu beberapa dekade terakhir issu lingkungan mulai
mencuat kepermukaan kembali. Hal itu selaras dengan terjadinya beberapa
280 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
bencana alam yang terjadi di Indonesia. Menurut data Kompas1 sudah terjadi
6.632 bencana yang menimpa Indonesia dalam jarak antara tahun 1997 –
2010. Hal itu tidak hanya memberikan dampak kerugian material semata,
tetapi juga menyisakan luka psikologis yang mendalam bagi para korban.
Bagi beberapa kalangan agamawan fatalis-pasivistik, bencana dianggap
sebagai kutukan, azab dari Tuhan. Pandangan itu merupakan, meminjam
istilah Hegel, sintesa yang tidak mendasar dan terlalu dini. Menurut Fitria
Sari Yunianti2 banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi
sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum
keseimbangan alam yang tidak terjaga, salah satunya akibat penebangan
hutan. Jika alam tidak dijaga keharmonisan dan keseimbangannya, maka
secara hukum alam (sunnatullah) keteraturan yang ada pada alam akan
terganggu dan dapat berakibat munculnya bencana alam. Dengan demikian,
ketika manusia merusak keseimbangan alam yang sudah lama terbentuk,
maka alam akan menyesuaikan diri. Penyesuaian alam atas perubahan
tatanan keseimbangan ekologis inilah yang disebut bencana.
Penggundulan hutan, baik itu disebabkan tindakan illegal logging
maupun peralihan fungsi lahan, menjadi salah satu penyebab terjadinya
beberapa bencana alam atau, penulis lebih setuju dengan sebutan, krisis
ekologis. Krisis ekologis merupakan dampak dari pengerukan kekayaan alam
yang berkepanjangan. Padahal, kerusakan atas alam sangat kontras dengan
ajaran Islam. Sebagai salah satu agama samawi, Islam memiliki peran besar
dalam rangka mencegah dan menanggulangi krisis tersebut. Setidaknya
terdapat dua faktor penyebab banyaknya bencana yang menimpa, faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal berarti bencana itu terjadi
secara alamiah. Adapun faktor eksternal berarti bencana yang disebabkan
oleh tindakan dan perilaku manusia. Di antara tindakan manusia yang
berdampak pada lingkungan adalah merusak pohon tanpa alasan yang jelas
dan tanpa dibarengi dengan rehabilitasi, misalnya berupa reboisasi. Faktor
kedua itulah yang ingin diulas dalam artikel ini, terutama reboisasi dalam
perspektif Hadis. Hadis merupakan corpus-religius kedua bagi komunitas
muslim, setelah al-Qur’an. Selain itu, Hadis lebih spesifik karena lahir dari
verbalisasi fenomena kehidupan Nabi SAW.
1
Kompas, 6 April 2010, hlm. 13.
2
Fitria Sari Yunianti, “Wawasan al-Qur’an Tentang Ekologi; Arti Penting Kajian,
Asumsi Pengelolaan, dan Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Lingkungan” dalam Studi Ilmu-
Ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. X. No. 1. 2009, hlm. 94-95.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
281
2. I’tibar
Dengan hasil takhrīj al-hadīṡ di atas, dapat diketahui bahwa skema
sanad hadis menanam pohon (reboisasi) tersebar dalam tujuh belas tempat.
Tujuh belas macam hadis tersebut diriwayatkan melalui tiga jalur sahabat,
3
Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Zuhri, 2003), hlm. 149.
4
Mahmud at-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 1-4.
282 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
yakni Anas ibn Mālik, Jābir ibn ‘Abdullah, dan Ummi Mubasysyir. Dalam
tulisan ini, tidak semua sanad hadis akan diteliti, tetapi penelitian sanad
hadis difokuskan pada skema sanad hadis al-Bukhari.
Ketika menelesuri skema sanad hadis al-Bukhāri, ditemukan periwayat
yang berstatus sebagai syahid, yakni Anas ibn Mālik, Jābir ibn ‘Abdullah dan
Ummi Mubasysyir. Syahid merupakan periwayat pendukung dari kalangan
atau tingkatan sahabat. Di dalam skema sanad hadis tersebut juga terdapat
periwayat yang berstatus sebagai muttabi’, di antaranya yaitu Qutaibah
ibn Sa’id, ‘Abd al-Rahman ibn al-Mubarak, dan Aban. Sedangkan, muttabi’
merupakan periwayat pendukung dari kalangan atau tingkatan tabi’in atau
ittabi’u al-tabi’in. Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari sendiri masuk dalam
jalur sanad Anas ibn Mālik, dan memiliki, meminjam istilah G.H.A Juynboll,
common link Qutaibah ibn Sa’id dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Mubarak.
Di dalam Ulūm al-Ḥadīs, hadis ṣaḥīḥ terbagi dua, yaitu hadis ṣaḥīḥ li
żātih dan hadis ṣaḥīḥ li gairih. Hadis ṣaḥīḥ li żātih hi adalah hadis ṣaḥīḥ yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Muhammad ‘Ajāj al-Khaṭī�b5
memberikan rumusan kriteria atau syarat yang harus dipenuhi untuk
kriteria hadis bernilai ṣahīh, yaitu: (1). Ketersambungan sanad, (2). Semua
periwayatnya adl dan d}abt, (3) Hadis yang diriwayatkan tidak mengandung
syāż dan terhindar dari ‘illah. Berikutnya, hadis ṣaḥīḥ li gairih adalah hadis
ṣaḥīḥ yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan secara
maksimal. Akan tetapi, terdapat hadis pada jalur lain yang menguatkannya
atau ke- ṣaḥīḥ-annya sebab faktor lain.
ار ِك َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َةَ ْن ْال ُم َب َّ ْن َس ِعي ٍد َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة ح و َح َّد َث ِني َع ْب ُد
ُ الر ْح َم ِن ب ُ َح َّد َث َنا ُق َت ْي َب ُة ب
صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن َّ ول ُ ال َر ُس َ ض َي اللَُّ َع ْن ُه َق
َ ال َق َ َ
َ ِالل ِ ْن َمالِ ٍك َر ِس ب ِ َع ْن ق َتا َد َة َع ْن أ َن
َق ٌة
َ صد َ ان لَ ُه ِب ِه َ ان أَ ْو َب ِهي َم ٌة إِ َّل َك ٌ س َغ ْر ًسا أَ ْو َي ْز َر ُع َز ْر ًعا َف َي ْأ ُك ُل ِم ْن ُه َطي
ٌ ْر أَ ْو إِ ْن َس ُ ُسلِ ٍم َي ْغ ِر ْم
صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ س َع ْن النَّ ِب ِّي ٌ ان َح َّد َث َنا َق َتا َد ُة َح َّد َث َنا أََن
ُ ُسلِ ٌم َح َّد َث َنا أََب
ْ ال لََنا م َ َو َق
Artinya: Qutaibah ibn Sa’īd telah menceritakan kepada kami, Abū ‘Awānah telah
menceritakan kepada kami, ‘Abd al-Raḥman ibn al-Mubārak juga
telah menceritakan kepada saya, Abū ‘Awānah telah menceritakan
kepada kami, dari Qatādah, dari Anas ibn Mālik berkata, Rasulallah
SAW. bersabda: Tidak ada seorang muslim yang menanam pohon
atau tanaman, kemudian ada burung, manusia atau binatang ternak
memakannya, kecuali baginya itu sedekah. Dan Muslim berkata
kepada kami, Abān telah menceritakan kepada kami, Qatādah telah
menceritakan kepada kami, Anas telah menceritakan kepada kami,
dari Rasulallah SAW.
Qatādah II III
Abu al-Walīd IV I
6
Ibn ḥajar al-‘Asqalanī, Tahżīb al-Tahżīb fi Rijāl al-ḥadīṡ, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 2004), hlm. 354.
284 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
Anas wafat pada tahun 93 H.7 Kesimpulan atas pembacaan dalam tahżīb
al-tahżīb, tidak ada yang mencela Anas, tetapi sebaliknya banyak yang
memuji kredibilitas beliau sebagai seorang periwayat hadis.
2) Qatādah
Qatādah ibn Di’āmah ibn Qatādah ibn ‘Azī�z ibn ‘Amr ibn Rabi’ah
ibn ‘Amr ibn al-Hārith ibn Sadūs. Qatadah memiliki guru di antaranya
Anas ibn Mālik dan Abu al-Thufail. Adapun murid-murid Qatādah, di
antaranya, adalah Abu ‘Awānah dan Syu’bah.8 Penilaian para ulama
terhadapnya, bahwa Qatadah sebagai الناس احفظ, memiliki hapalan yang
kuat, dan adil. Ishāq ibn Manshūr menilai Qatadah sebagai seorang yang
ṡiqah.9 Qatadah memiliki nama kunyah dengan sebutan Abu al-Khattab.
Di dalam keterangan, beliau wafat pada tahun 107 H.10
3) Abū ‘Awānah
Abu ‘Awanah memiliki nama lengkap Wiḍoh bin Abdullāh Maula
Yazid bin ‘Aṭo’ al-Wasiṭi. Namu, beliau lebih terkenal dengan nama
kunyah-nya, Abū Awanah. Abū ‘Awanah wafat di Baṣrah pada tahun 175
atau 176 H.11
Adapun para guru Abū ‘Awanah, di antaranya, adalah al-Aswad
ibn Qaiys, Qatādah, dan Ibrahim ibn Muhajir. Murid-murid Abū ‘Awanah
di antaranya adalah Syu’bah, Abu Dawud, Abū al-Walid, Qutaibah ibn
Sa’id, dan Abd al-Rahmān ibn al-Mubārak.12
Para ulama tidak ada yang mencela kredibilitas dan intelektualitas
Abū ‘Awanah, sebaliknya para ulama banyak yang memuji ketokohan
Abū ‘Awanah. Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hatim
mendengar dari Hisyam ibn Abdullah al-Rāzi bertanya kepada ibn
al-Mubārak, “Abu Awanah adalah periwayat yang paling baik dalam
meriwayatkan hadis.” Di sisi lain, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-‘Ijli dan yang
lain menilai Abu Awanah sebagai seorang yang ṡiqah.13
7
Ibid., hlm. 356.
8
Ibid., jilid V, hlm. 326-327.
9
Ibid., hlm. 327-329.
10
Abd al-Ghaffār Sulaiman al-Bandarī, Mausū‘ah Rijāl al-Kutub al-Tis‘ah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), hlm. 268.
11
Ibid., jilid IV, hlm. 171.
12
Al-‘Asqalani, Tahżīb, op.cit., jilid VI, hlm. 714-715.
13
Ibid., hlm. 715.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
285
4) Abū al-Walid
Nama lengkapnya adalah Hisyam ibn ‘Abd al-Mālik al-Baili,
memiliki nama kunyah Abū al-Walid dan Abu Dawud. Abū al-Walid wafat
pada tahun 228 H dengan umurnya 94 tahun. Al-Bukhari, Muslim, Abud
Dawud, dll menilai Abū al-Walid sebagai ṡiqah, ṡubūt.14
Abū al-Walid meriwayatkan hadis dari periwayat terkenal, di
antaranya adalah ‘Ikrimah ibn ‘Ammar, Syu’bah, dan Abū ‘Awanah.
Adapun murid-murid Abū al-Walid di antaranya adalah al-Bukhari, Abu
Dawud, dan al-Darimi, Al-Maimuni dari Ahmad menyatakan bahwa Abu
al-Walid syaikh al-Islam. Penilaian lain dilontarkan oleh al-‘Ijli dan Abu
Zur’ah sebagai ṡiqah.15
5) Al-Bukhari
Nama lengkapnya Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-
Mughirah ibn Bażdizbah (Bardizbah). Al-Bukhari memiliki nama kunyah
Abu Abdullah. Beliau lahir di Bukhara pada tahun 194 H, dan wafat pada
tahun 256 H.16 Al-Bukhari meriwayatkan hadis di antaranya dari Abū al-
Walid, Abu ‘As{im al-Nabil, dan Makki ibn Ibrahim. Penilaian para ulama
terhadap al-Bukhari; حسن الحفظ, حسن المعرفة, dan ṡiqah Tidak ada ulama
yang meragukan kredibilitas al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis.
b) Persambungan Sanad
Untuk melihat adanya persambungan sanad dapat dilihat dari kualitas
periwayatnya yakni dengan melihat keterpercayaannya tanpa adanya tadlīs
dan sah menurut taḥammul wa al-adā’ serta hubungannya dengan periwayat
terdekat.
Berdasarkan penjelasan di atas, antara Rasulallah SAW. Dengan Anas
ibn Mālik tidak diragukan lagi persambungannya. Selain sebagai sahabat
Nabi, Anas juga sebagai kerabat dan pembantu Rasulallah SAW. Hubungan
Anas dan Abu Awanah mempunyai hubungan guru dan murid, sehingga
dapat dikatakan hubungan mereka bersambung. Begitu juga antara Abū
Awānah dengan Abū al-Walid yang memiliki hubungan guru dan murid. Hal
ini diperkuat dengan ṡigat tahammul wa al-ada’ berupa ‘an ()عن, maka di
14
al-Bandari, op.cit., jilid IV, hlm. 142.
15
al-‘Asqalani, Tahżīb, op.cit., Jilid VI, hlm. 647.
16
Ibid., Jilid V, hlm. 475.
286 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
17
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 56-83.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
) ( Ahmad Suhendra
287
18
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
hlm. 121-122.
288 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
o) Aḥmad; 26095
ْرأَ ِة ِّ ال َح َّد َث ْت ِني أُ ُّم ُمب
َ ْت َجاب ًرا َق َ َ ش َع ْن أَبي ُس ْفي َ ْ ال َح َّد َث َنا
ُ ال ْع َم َ ْن نُ َميْر َق َ
َ َش ٍر ام ِ ُ َان َقال َس ِمع ِ ٍ ُ َح َّدث َنا اب
ال لَ ِك َه َذا َف ُق ْل ُت َن َع ْم َ صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِفي َحا ِئ ٍط َف َق َّ َخ ْل ُت َعلَى َر ُسول
َ ِالل ِ َ ار َث َة َقالَ ْت د
ِ ْن َح ِ َز ْي ِد ب
س َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه َطا ِئ ٌر ُ َز َر ُع أَ ْو َي ْغ ِر
ْ ُسلِم ي ْ َ َ ْ ُسلِ ٌم أَ ْو َكا ِف ٌر ُق ْل ُت م
ٍ ْ ُسلِ ٌم قال َما ِمن م ْ ال َم ْن َغ َر َس ُه م َ َف َق
َ ْت َجاب ًرا َف َق ُ ال أَبي َولَ ْم ي
َ ً َ صد َ ان أَ ْو َسبُ ٌع أَ ْو َش ْي ٌء إِ َّل َك
َ ان لَ ُه ٌ أَ ْو إِ ْن َس
ْنُ ال اب ِ ُ الن ْس َخ ِة َس ِمع ُّ َك ْن ِفي ِ َقة َق
ْت َعا ِم ًرا ٍ ُن َمي
َ ْر َس ِمع
p) Al-Dārimī�; 2496
ُ ال َس ِمع
ْت َ ش َح َّد َث َنا أَبُو ُس ْفي
َ َان َق َ ْ ان
ُ ال ْع َم ُ ْن ِزيَا ٍد َح َّد َث َنا ُسلَ ْي َم ِ ْن أَ َس ٍد َح َّد َث َنا َع ْب ُد ْال َو
ُ اح ِد ب ُ َر َنا ْال ُم َعلَّى ب َ أَ ْخب
َُّصلَّى الل ُ َخ َل َعلَ َّي َر ُس
َّ ول َ ار َث َة َقالَ ْت د َ َ َشر ام ِّ ُ َ ُ ُ َّ
َ ِالل ِ ْن َح ِ ْرأ ُة َز ْي ِد ب ٍ ْن َع ْب ِد اللِ يَقول َح َّدث ْت ِني أ ُّم ُمب َ َج ِاب َر ب
س ُ ُسلِ ٍم َي ْغ ِر َ ُسلِ ٌم َف َق
ْ ال َما ِم ْن م ْ س َه َذا أَ ْم َكا ِف ٌر ُق ْل ُت م َ ُسلِ ٌم َغ َر ْ َش ٍر أَمِّ ال يَا أُ َّم ُمب
َ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِفي َحا ِئ ٍط لِي َف َق
َق ٌة
َ صد َ ْر إِ َّل َكا َن ْت لَ ُه ٌ َّة أَ ْو َطي ٌ ان أَ ْو دَاب ٌ َغ ْر ًسا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه إِ ْن َس
q) Al-Tirmizi; 1303
َ صلَّى اللَُّ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َق َ َ َ ُ ُ
ْ ال َما ِم ْن م
ُسلِ ٍم َ س َع ْن النَّ ِب ِّي ٍ َح َّد َث َنا ق َت ْيبَة َح َّد َث َنا أبُو َع َوا َنة َع ْن َق َتا َد َة َع ْن أ َن
ال َو ِفي ْالبَاب َ َق ٌة َق
َ صد َ َهي َم ٌة إِ َّل َكا َن ْت لَ ُه َ ٌ ان أَ ْو َطي
ِ ْر أ ْو ب ٌ َز َر ُع َز ْر ًعا َفي َْأ ُك ُل ِم ْن ُه إِ ْن َس
ْ س َغ ْر ًسا أَ ْو يُ َي ْغ ِر
يح
ٌ ص ِح َ يث َح َس ٌن ٌ يث أََنس َح ِد ُ يسى َح ِد َ ال أَبُو ِع َ َشر َو َز ْي ِد بْن َخالِ ٍد َق ِّ ُ َ َع ْن أَِبي أَي
ٍ ِ ٍ ُّوب َو َج ِاب ٍر َوأ ِّم ُمب
Hāriṡah (hadis yang diriwayatkan Aḥmad no. 26095 dan al-Dārimi no. 2496).
Ibnu ḥajar mengklarifikasikan, bahwa semua (nama) itu adalah satu orang
yang memiliki dua nama panggilan, adapun nama aslinya adalah Khulaidah.19
Kendati demikian, perbedaan berupa penambahan redaksi di atas
bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Karena adanya penambahan
itu merupakan krononologis mikro (asbāb al-wurūd) dari hadis yang
menganjurkan untuk menanam tersebut. Perbadaan lafal lainnya, hadis yang
satu menggunakan lafal al-bahīmah, sedangkan hadis yang lain menggunakan
lafal dābbah atau sabu’. Dalam satu hadis menggunakan kalimat mufrad
(tunggal), tetapi dalam hadis lain digunakan kalimat jama’ (komunal).
Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Ibn Namair, “...
sesuatu yang dicuri dari tanaman yang ditanam merupakan sedekah.”
22
Ibid., hlm. 193.
23
Waryono Abdul
Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks Dengan Konteks,
(Yogyakarta: elSAQ, 2005), hlm. 241.
24
Al-‘Asqalani, Fath al-Bārī, op.cit., hlm. 167.
25
Yūsuf al- Qarad}awi, Islam Agama Ramah Lingkungan. terj. Abdullah Hakam Shah,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm. 83.
294 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
ْ َّان م
َ ُش َت ِبهًا َو َغي َ ُالزيْت
َّ اب َو َ ٍ ََّة َو َجن ٌ ُم َت َرا ِكبًا َو ِم َن النَّ ْخ ِل ِم ْن َط ْل ِع َها ِق ْن َو
ٌ ان دَا ِني
ْر َ الرم
ُّ ون َو ٍ ات ِم ْن أ ْع َن
ْ َات لِ َق ْوم ي
َ ُُؤ ِمن
)٩٩( ون َُ َّ ْ َْ َ َ َ ُْ ََ
ٍ ٍ ُمتش ِاب ٍه انظ ُروا إِلى ث َم ِر ِه إِذا أث َم َر َو َين ِع ِه إِن ِفي ذلِك ْم آلي
Artinya: Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan
Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang
menghijau. kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir
yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai
yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula)
zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah
buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah)
kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.
bertani, berkebun dan semua pekerjaan yang diihasilkan dari kreasi tangan
dipandang sebagai perkerjaan tidak terhormat, dan akan menurunkan
derajat mereka.
Di samping itu, hadis tentang anjuran menanam ini menggambarkan
bahwa Rasulallah SAW. saat itu tidak hanya menganjurkan, jika tidak
dikatakan memerintahkan, menanam tanaman (zara’a), tetapi juga
pepohonan (garasa). Di samping itu, hadis ini menyinggung aspek
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Nabi SAW. mengajarkan supaya
umat Islam hidup harmonis dengan semua makhluk hidup. Artinya, bahwa
Rasulallah tidak hanya menginginkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga
kelestarian lingkungan hidup yang berkualitas. Mengingat kondisi geografis
Semenanjung Arab yang jarang dilewati hujan, menjadikan sebagian
wilayahnya gersang dan tanah yang kurang subur.
Selain memberikan motivasi religius, hadis ini juga mengindikasikan
keniscayaan upaya penghijauan dalam upaya melestarikan lingkungan
dan mencegah beberapa bencana. Dengan alasan sosiologis-geografis di
atas, lahirlah konsep hima’ dalam tradisi Islam. Secara implementatif, para
pemimpin setelah kepergian Rasulallah juga ikut berperan dalam melakukan
penghijauan, terutama melalui jalur hima’. Hal serupa dinyatakan al-Qarad}
awi29 dengan perhatian Nabi SAW. terhadap penghijauan dengan cara
menanam dan bertani, telah mengajarkan salah satu konsep pemeliharaan
lingkungan dalam Islam dengan upaya keseimbangan ekologis.
Menurut Soedjiran Resosoedarmo,30 ekosistem memiliki suatu
keseimbangan diri yang dinamakan homeostatis. Homeostatis adalah
kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan dalam
sistem secara keseluruhan. Keseimbangan ekologis dimulai dari adanya
keseimbangan dalam ekosistem. Otto Soemaryoto31 mendefinisikan ekologi
sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup dengan
lingkungan hidupnya.
Reboisasi menjadi program penting dalam penanggulangan bencana
dan pelestarian lingkungan. Dikatakan penting, karena upaya reboisasi dapat
menentukan keseimbangan ekosistem dalam suatu tempat atau lingkungan
tertentu. Hal ini disebabkan, keseimbangan ekosistem bersifat teratur dan
29
Ibid., hlm. 81.
30
Soedjiran Resosoedarmo, dkk., Pengantar Ekologi, (Bandung: Rosda, 1993), hlm. 15.
31
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta:
Djambatan, 1994), hlm. 19.
296 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
dinamis karena lingkungan, iklim, permukaan laut, dan semua proses alam
selalu berubah. Maksud menjaga keseimbangan di sini lebih pada menjaga
keseimbangan yang dilihat dari aspek tingkat kualitas lingkungan yang lebih
baik dan layak bagi semua makhluk. Keseimbangan yang meminimalisasi
terjadinya kerugian dan ancaman kelangsungan hidup bagi komponen-
komponen makhluk hidup yang ada. Hal ini disebabkan, hutan bukan hanya
melindungi daerah hunian manusia yang berada di dataran rendah dari
banjir dan menyimpan air, tetapi juga berjasa memproduksi kebutuhan
manusia yang paling utama, yaitu oksigen.32
Konsep lingkungan berkualitas, menurut Mujiyono Abdillah,33
merupakan konsep yang tidak memiliki ukuran abadi dan sama, tetapi bersifat
relatif, dinamis dan normatif. Artinya, dalam struktur masyarakat terdapat
ukuran minimum yang dipahami bersama tentang standar lingkungan yang
berkualitas. Ukuran minimum tersebut setidaknya terpenuhi kebutuhan
pokok baik secara biologis maupun ekologis, secara fisik maupun non fisik,
secara individual maupun sosial. Kendati demikian, tidak ada standar baku
yang sama dan konsisten.
Akibat perbuatan eksploitasi terhadap pengurasan Sumber Daya
Alam, baik berupa penebangan liar maupun yang lainnya, oleh pengusaha-
pengusaha yang rakus pada akhirnya menimbulkan kerusakan. Lingkungan
hidup yang dahulu ramah, kini berubah menjadi sumber bencana ketika
sudah tidak sanggup lagi mengemban fungsinya. Sumatera yang dulu jarang
dilanda banjir, kini menjadi langganan banjir. Di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam banjir yang muncul di akhir tahun 2006 silam, menurut Yayasan
Leuseur Indonesia, terjadi akibat penggundulan hutan di Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL).34
Menurut Moch. Nur Ichwan,35 pesan terbesar dari adanya bencana
sebenarnya bukanlah ‘apakah ini merupakan peringatan, ujian atau azab?’
jika hanya berhenti pada pertanyaan tersebut, bencana hanya menjadi bahan
refleksi dalam rangka mengambil pelajaran atau hikmah di balik bencana.
32
Nadjmuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi Islam dalam
Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, (Jakarta: Grafindo, 2007), hlm. 17.
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
33
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa dalam kejadian bencana terdapat
korban manusia dan kerusakan lingkungan. Manusia yang menjadi korban
bencana menuntut untuk dibenahi kembali. Tentu aktivisme tidak hanya
muncul karena kesadaran keagamaan, namun seringkali karena kesadaran
kemanusiaan.
Di sisi lain, menurut Nadjmuddin Ramly,36 selain bencana yang secara
kasat mata alamiah, secara sadar atau tidak, membuat ‘bencana alam’ yang
mengakibatkan ‘bencana sosial’. Penebangan liar adalah beberapa fakta
keserakahan manusia dalam mengeruk kekayaan alam. Alam menjadi tidak
seimbang karena unsur-unsurnya telah dirusak dan mengakibatkan ratusan
manusia harus menanggung derita berkepanjangan. Dengan demikian,
dibutuhkan keterlibatan para kiai dalam gerakan pencegahan bencana
berbasisi komunitas dalam bentuk advokasi, pendampingan, workshop, dan
sebagainya dapat dipahami sebagai momen internalisasi.37
Apabila pepohonan selalu ditebang tanpa dibarengi dengan penanaman
ulang akan menimbulkan chaos. Nirwono Joga38 mengungkapkan, bahwa
pohon adalah salah satu keajaiban alam terhebat. Semua ajaran agama
dengan tegas menempatkan pohon menjadi simbol dan sumber kehidupan
manusia. Relief-relief di Candi borobudur, Candi Prambanan, dan candi-candi
lain melukiskan pohon dengan kehidupan manusia. Sakral dan romantis.
Cinta dan kedamaian terukir dengan menanam pohon dan segala aktivitas
kehidupan di bawah pohon. Kebencian dan anarkhi dilukiskan dengan
menebang pohon.
Hutan yang meliputi lebih dari 60% luas daratan Indonesia adalah
kekayaan alam yang sangat penting dan strategis. Hak penguasaan atas
hutan dimiliki oleh negara sesuai pasal 33 UUD 1945:”bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kenyataannya negara hanya
menjalankan sebagian pasal 33, yakni penguasaan negara atas hutan, namun
mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Padahal, semangat
pasal 33 Uud mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan secara
bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai kelompok kepentingan
Rubaidi, “Bencana dalam Konstruksi Pemikiran Fiqih Kiai” dalam Agus Indiyanto
37
dan Arqom Kuswanjono (ed.), 2012. Agama, Budaya, dan Bencana, (Bandung: Mizan.2012),
hlm. 45.
38
Nirwono Joga dan Yori Antar, Bahasa Pohon Selamatkan Bumi, (Jakarta: Gramedia,
2009), hlm. 19.
298 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian &
Kehutanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 211.
Menelisik Reboisasi Dalam Hadis
( Ahmad Suhendra )
299
F. Simpulan
Banyaknya bencana (krisis ekologis) yang terjadi di Indonesia, maupun
di negara lain, bukan disebabkan faktor alamiah semata. Akan tetapi, dampak
dari kerusakan alam yang disebabkan oleh tindakan manusia. Karena
tindakan itu merusak keseimbangan ekosistem yang sudah ada, sehingga
alam menyesuaikan dirinya, maka disebutlah bencana.
Hadis sebagai pedoman umat Islam kedua setelah al-Qur’an, memiliki
peranan penting dalam upaya memberikan pedoman hidup berbasis
lingkungan. Salah satunya dengan mengupayakan reboisasi sebagai gerakan
bersama dalam mengamalkan ajaran agama.
Dengan dasar itu, Nabi SAW. melakukan dan mengupayakan
keseimbangan ekologis yang berkualitas. Salah satunya, terkandung dalam
hadis keutamaan menanam dan pahala bagi yang menanamnya. Anjuran
moral untuk senantiasa melakukan reboisasi sangat diapresiasi dalam
hadis ini. Di dalamnya terkandung konsep pemerataan atau keseimbangan
antara wilayah hutan, wilayah kependudukan, wilayah industri dan wilayah
pertanian serta perkebunan. Dengan demikian, ideal moral dari hadis ini
dapat dijadikan landasan moral-teologis dalam menggalangkan reboisasi,
dan kritik kepada mereka yang melakukan perusakan lingkungan, terutama
konspirasi penebangan liar.
300 Volume 8, Nomor 2, Juli 2012
DAFTAR PUSTAKA
FORMAT PENULISAN
JURNAL HERMENEUTIK