PENDAHULUAN
1
Penyebab Akne vulgaris sangat banyak (multifaktorial), antara lain
faktor genetik, faktor bangsa ras, faktor makanan, faktor iklim, faktor jenis
kulit , faktor kebersihan, faktor penggunaan kosmetik, faktor stress, faktor
infeksi dan faktor pekerjaan.(Afriyanti, 2015)
Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo,papul,
pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis
polimorfik dan memiliki peranan poligenetik. Meskipun tidak mengancam
jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan memberi dampak sosioekonomi
pada penderitanya.(Jarrett, 2019)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Akne Vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit peradangan kronis
dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista,
dan pustula. ( FK UI, 2015)
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan keparahan klinis akne vulgaris dibagi menjadi
ringan, sedang dan berat :
a. Ringan, bila:
Komedo <20 atau
Lesi inflamasi <15
Total lesi <30
b. Sedang, bila:
Komedo 20-100 atau
Lesi Inflamasi 15-50
Total lesi 30-125
c. berat, bila:
Kista >5 atau komedo <100 atau
Lesi inflamasi > 50
Total Lesi 125. (FK UI, 2015)
3
Gambar 1. Acne derajat ringan (Rook et al.,2010).
4
Sedangkan gradasi Acne Vulgaris menurut Pillsbury adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Pillsbury (1963) dalam Djuanda (2010) membuat gradasi
sebagai berikut:
Gradasi Keterangan Gradasi Acne Vulgaris
1 Komedo dimuka
2 Komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam dimuka
3 Komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam dimuka, dada dan
punggung
4 Acne konglobata
2.3 Epidemiologi
Pada penelitian Suryadi RM (2008) Hampir setiap orang pernah
mengalami Akne vulgaris dan biasanya dimulai ketika pubertas, dari
survey di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-80% kasus Akne vulgaris
sedangkan menurut catatan studi dermatologi kosmetika Indonesia
menunjukan yaitu 60% penderita akne vulgaris pada tahun 2006, 80%
5
terjadi pada tahun 2007 dan 90% pada tahun 2009. Prevelansi tertinggi
yaitu pada umur 14-17 tahun, dimana pada wanita berkisar 83-85% dan
pada pria yaitu pada umur 16-19 tahun berkisar 95-100%. Pada umumnya
banyak remaja yang bermasalah dengan Akne vulgaris yang menimbulkan
siksaan. (Afriyanti, 2015)
6
4. Faktor Kosmetik
Kosmetika dapat menyebabkan akne seperti bedak dasar
(foundation), pelembab (moisturiser), krem penahan sinar matahari
(sunscreen) dan krem malam, jika mengandung bahan-bahan
komedogenik. Bahan-bahan komedogenik seperti lanolin,
petrolatum, minyak atsiri dan bahan kimia murni (asam oleik, butil
stearat, lauril alkohol, bahan pewarna (D&C) biasanya terdapat pada
krim-krim wajah. Untuk jenis bedak yang sering menyebabkan akne
adalah bedak padat (compact powder). (Afriyanti, 2015)
5. Faktor Infeksi dan Trauma
Peradangan dan infeksi di folikel pilosebasea terjadi karena adanya
peningkatan jumlah dan aktivitas flora folikel yang terdiri dari
Propionilbacterium Acnes, Corynebacterium Acnes, Pityrosporum
ovale dan Staphylococcus epidermidis. (Afriyanti, 2015)
6. Kondisi kulit
Kondisi kulit juga berpengaruh terhadap akne vulgaris. (Afriyanti,
2015)
7. Faktor Pekerjaan
Penderita akne juga banyak ditemukan pada karyawan-karyawan
pabrik dimana mereka selalu terpajan bahan-bahan kimia seperti oli
dan debu-debu logam. Akne ini biasa disebut “Occupational Acne” .
(Afriyanti, 2015)
8. Stres
Corticotropin-releasing hormone(CRH) tampaknya juga berperan
pada akne. Hormon ini diproduksi oleh hipotalamus dan meningkat
pada saat stres. Reseptor corticotropin-releasing hormone terdapat
pada m ayoritas sel, termasuk keratinosit dan sebosit. Fungsi utama
CRH untuk menstimulasi sintesis adenocorticotropic hormone
(ACTH) oleh kelenj ar adrenal, sebab peningkatan kadar ACTH ini
dapat menyebabkan peningkatan sekresi androgen dan ukuran
kelenjar sebasea.(Bernadette et al., 2018)
7
2.5 Diagnosa
2.5.1 Anamnesa
Sebagian besar pasien akne biasanya datang dengan keluhan
estetik. Narnun, keluhan tersebut kadang-kadang bisa disertai gatal
dan nyeri pada lesi yang meradang. Pada anamnesis pasien, selain
riwayat penyakit sekarang (meliputi onset dan perjalanan penyakit)
perlu juga ditanyakan berbagai faktor-faktor yang dapat memicu
terjadinya akne.(Bernadette et al., 2018)
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kulit pada pasien akne harus menggunakan
pencahayaan yang baik dan konstan, baik dengan lampu kepala
maupun cahaya fokus. Pada pemeriksaan kulit akne sangatlah
penting untuk menggerakkan cahaya dan melakukan pemeriksaan
kulit pasien ke berbagai sudut yang berbeda sehingga lesi- lesi
kecil sekalipun seperti komedo tertutup tidak terlewatkan dan bila
perlu dapat menggunakan kaca pembesar. Pada lesi-lesi non
inftamasi tertentu, kadang-kadang diperlukan peregangan kulit
dalam pemeriksaan.
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan:
1. Jenis kulit pasien (berminyak, normal)
2. Lokasi lesi
Lokasi akne terutama pada wajah, punggung, dada dan bahu. Pada
badan, lesi cenderung terkonsentrasi pada garis tengah. Namun,
akne juga bisa mengenai daerah lain yang memiliki kelenjar
sebasea seperti paha dan betis.
3. Tipe lesi
Gambaran klinis lesi akne dapat bervariasi, mulai dari 1esi
noninftamasi berupa komedo tertutup dan terbuka (tanda
patognomonik), hingga lesi inflamasi seperti papul, pustul, nodul
8
dan kista serta kadang-kadang jaringan parut.(Bernadette et al.,
2018)
9
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang
memegang peranan penting dalam proses biokimiawi sebwn
(ensim lipase yang dihasilkan kuman mengubah trigliserida
menjadi asam lemak bebas yang lebih padat) biasanya
dilakukan untuk tujuan penelitian etiologis dan resistensi
antibiotik. Akne bukan merupakan penyakit infeksius, namun
beberapa organisme dapat diisolasikan dari pennukaan kulit
dan duktus pilosebaseus pasien akne seperti spesies
propionibakterium, stafilokokus, bakteri cotinefonn aerobik
dan Malasezia farfur (Pityrosporum ovale ). Propionibacterium
acnes merupakan organisme folikular yang dominan dan
cenderung terlibat pada etiologi akne.(Bernadette et al., 2018)
2.6 Patogenesis
10
proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan
acroinfundibulum.Ketidakseimbangan antara produksi dan kapasitas
sekresi sebum akan menyebabkan pembuntuan sebum pada folikel
rambut.(Afriyanti, 2015)
11
d. Inflamasi
Propionilbacteriuum acnes mempunyai faktor kemotaktik yang
menarik leukosit polimorfonuklear kedalam lumen komedo. Jika
leukosit polimorfonuklear memfagosit P. acnes dan mengeluarkan
enzim hidrolisis, maka akan menimbulkan kerusakan dinding
folikuler dan menyebabkan ruptur sehingga isi folikel (lipid dan
komponen keratin) masuk dalam dermis sehingga mengakibatkan
terjadinya proses inflamasi. (Afriyanti, 2015)
2.7 Patofisiologi
P.acne adalah merupakan bakteri penyebab jerawat yang terjadi
ketika lubang kecil pada permukaan kulit yang disebut pori-pori
tersumbat. Pori pori merupakan lubang bagi saluran yang disebut folikel,
yang mengandung rambut dan kelenjar minyak. Biasanya, kelenjar minyak
membantu menjaga kelembaban kulit dan mengangkat sel kulit mati.
Ketika kelenjar minyak memproduksi terlalu banyak minyak, pori-pori
akan banyak menimbun kotoran dan juga mengandung bakteri.(Putra,
2010)
Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri P. Acne merusak
stratum korneum dan stratum germinat dengan cara menyekresikan bahan
kimia yang menghancurkan dinding pori. Kondisi ini dapat menyebabkan
inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika
jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas sehingga padatan asam
lemak dan minyak kulit yang mengeras akan membesar.(Putra, 2010)
12
Akne Rosasea
Rosasea adalah dermatosis wajah kronis umum yang
mempengaruhi wajah pusat,ditandai dengan periode intermiten
eksaserbasi dan remisi. Manifestasi klinis dari rosasea terutama
didistribusikan pada daerah cembung wajah pusat, termasuk pipi,
dagu, hidung, dan aspek sentral dari dahi. (Wasitaatmadja, 2011)
Dermatitis Perioral
adalah dermatitis yang terjadi pada daerah sekitar mulut sekitar
mulut dengan gambaran klinis yang lebih monomorf.
Folikulitis
Peradangan folikel rambut yang disebabkan oleh Staphylococcus sp.
Gejala klinisnya rasa gatal dan rasa gatal di daerah rambut berupa
makula eritem disertai papul atau pustul yang ditembus oleh rambut.
(Afriyanti, 2015)
2.9 Penatalaksanaan
1. Pengobatan Umum : Perawatan kebersihan kulit. Hindari makanan
yang banyak mengandung lemak. ( Saripati, 2014)
2. Pengobatan sistemik
Anti bakteri sistemik : tetrasiklin (250mg- 1g/hari),
doksisiklin (50mg/hari), Spiramisin 150-300mg/hari,
klindamisin 300mg 3x1 selama 7 hari.
Vitamin A 3x10.000 U/hari. dan retinoid oral. (Saripati,
2014)
3. Pengobatan Topikal
Sulfur 2-10%
Asam Salsilat 3-5%
Vitamin A 0.05-0,1%
Eritromisin 1%
Klindamisin 1%
13
Tretinoin 0,05-0,01%
Nicotinamide 4%. ( Saripati, 2014)
14
tiga oksigen oxygenical dan asam benzoic, dan sampai sekarang tidak ada
resistensi bakteri terhadap BPO yang telah dilaporkan. BPO
direkomendasikan sebagai agen topikal lini pertama untuk lesi inflamasi.
BPO dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan retinoid
topikal atau antibiotik lain, dan formulasi yang tersedia termasuk cairan
pencuci, krim, orgel dengan konsentrasi dari 2,5% hingga 10%. Iritasi
ringan dapat terjadi selama perjalanan perawatan, dan oleh karena itu
disarankan untuk memulai dengan konsentrasi yang lebih rendah dan
untuk menguji perawatan pada area percobaan kecil. BPO memiliki efek
pemutihan oksidatif pada pakaian dan rambut. Oleh karena itu, kontak
langsung harus dihindari. Selain itu, radikal bebas oksigen yang
dilepaskan oleh BPO dapat menonaktifkan semua asam retinoat trans, dan
dua agen ini harus diberikan pada waktu yang berbeda ketika mereka
digunakan dalam kombinasi.(Sibero, Putra and Anggraini, 2019)
Terapi hormone meliputi anti androgen therapy. Androgen adalah
faktor endogen terpenting dalam patogenesis jerawat. Agen antiandrogen
mengurangi atau antagonis androgen aktif yang menghambat produksi
prekursor androgen atau bekerja pada enzim metabolisme androgen dan
reseptor androgen di kulit. Terapi antiandrogen mengurangi sekresi sebum
dan meningkatkan jerawat. Agen antiandrogen yang umum termasuk
estrogen, progesteron, spironolakton, dan sensitizer insulin. Dosis
spironolakton yang disarankan adalah 60-200mg / hari, dan masa
pengobatan adalah tiga hingga enam bulan. Efek buruk termasuk
hiperkalemia, menstruasi tidak teratur (kejadian berkorelasi dengan dosis),
reaksi gastrointestinal (termasuk mual, muntah, anoreksia, dan diare),
kelesuan, kelelahan, pusing, dan / atau sakit kepala. Spironolakton
memiliki efek teratogenik dan tidak boleh digunakan selama kehamilan.
(Sibero, Putra and Anggraini, 2019)
15
2.10 Edukasi
Nasehat untuk memberitahu penderita mengenai seluk beluk akne
vulgaris. perawatan wajah, perawatan kulit kepala dan rambut, kosmetika,
diet, emosi dan faktor psikosomatik. (Afriyanti, 2015)
Pencegahan akne dapat dilakukan dengan menghindari faktor-faktor
pemicunya. Melakukan perawatan kulit wajah dengan benar. Menerapkan
pola hidup sehat mulai dari makanan, olah raga dan manajemen emosi
dengan baik.(Nishijima, 2003)
2.11 Komplikasi
Semua tipe akne berpotensi meninggalkan sekuele. Hampir semua
lesi acne akan meninggalkan makula eritema yang bersifat sementara
setelah lesi sembuh. Pada warna kulit yang lebih gelap, hiperpigmentasi
post inflamasi dapat bertahan berbulan- bulan setelah lesi acne sembuh.
Acne juga dapat menyebabkan terjadinya scar pada beberapa individu.
Selain itu, adanya acne juga menyebabkan dampak psikologis. Dikatakan
30–50% penderita acne mengalami gangguan psikiatrik karena adanya
akne. (Afriyanti, 2015)
2.12 Prognosis
Umumnya prognosis acne baik dan umumnya sembuh sebelum
mencapai usia 30-40an. Acne Vulgaris jarang terjadi sampai gradasi
yang sangat berat sehingga memerlukan rawat inap di Rumah Sakit. (FK
UI, 2015)
2.13 Profesionalisme
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian obat
dan dosis yang tepat.
Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa dirujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.
16
BAB III
KESIMPULAN
Lokasi akne terutama pada wajah, punggung, dada dan bahu. Pada
badan, lesi cenderung terkonsentrasi pada garis tengah. Namun, akne juga
bisa mengenai daerah lain yang memiliki kelenjar sebasea seperti paha dan
betis.(Bernadette et al., 2018)
17
1. Afriyanti, R. N. (2015) ‘Akne Vulgaris Pada Remaja’, Medical Faculty of
Lampung University, 4(6), pp. 102–109.
2. Ayudianti, P. and Indramaya, D. M. (2014) ‘Studi Retrospektif : Faktor
Pencetus Akne Vulgaris ( Retrospective Study : Factors Aggravating Acne
Vulgaris )’, Faktor Pencetus Akne Vulgaris, 26/No. 1, pp. 41–47.
3. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI. (2015). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi 7. Penerbit FK UI: Jakarta
4. Bernadette, I. et al. (2018) Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik
Indonesia.
5. Jarrett, P. (2019) ‘Acne vulgaris’, Encyclopedia of Pharmacy Practice and
Clinical Pharmacy, 40(3), pp. 699–712. doi: 10.1016/B978-0-12-812735-
3.00552-5.
6. Nishijima, S. (2003) ‘New treatment for acne vulgaris’, Skin Research,
2(3), pp. 155–159. doi: 10.11340/skinresearch.2.3_155.
7. Putra, A. B. W. (2010) ‘UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK
KLOROFORM KELOPAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn)
TERHADAP Propionibacterium acne , Escherichia coli , DAN
Staphylococcus aureus SERTA UJI BIOAUTOGRAFI’.
8. Sibero, H. T., Putra, I. W. A. and Anggraini, D. I. (2019) ‘Tatalaksana
Terkini Acne Vulgaris Current Management of Acne Vulgaris’, JK Unila,
3(2), pp. 313–320.
9. Siregar, R.S.(2014) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit Jakarta: EGC
10. Wasitaatmadja, S. M. (2011) ‘Erupsi akneiformis’, Ilmu penyakit kulit dan
kelamin, p. 260.
18