Stensil tersebut selanjutnya merupakan gambaran negatif dari gambar asli atau
original dimana detail-detail gambar yang direproduksi memiliki tingkat keterbatasan
terutama bila mereproduksi detail-detail yang halus.
Pada teknik cetak sablon acuan yang berupa stensil dapat juga melalui tahapan
fotografi, yang pada umumnya dikenal dengan istilah film hand cut.Film photographi
dan emulsi stensil direkatkan ke atas alat penyaring (screen) yang dibentangkan pada
sebuah bingkai yang terbuat dari bahan kayu maupun logam yang berfungsi sebagai
pemegang bagian dari suatu desain, dan harus mampu menahan bagian yang digunakan
selama proses penyablonan berlangsung. Adakalanya para perancang grafis melakukan
tahapan desain secara langsung pada permukaan alat penyaring dengan bahan yang
disebut “tusche” dan kemudian menutup keseluruhan sablonan dengan lem. Tusche
selanjutnya dicuci dengan bahan pelarut agar diperoleh bagian yang dapat mengalirkan
tinta pada permukaan alat penyaring.
Pada awal abad ke 20 proses pelaksanaan cetak sablon mulai menggunakan
kain/screen yang terbuat dari bahan sutera yang semula dipergunakan untuk menyaring
tepung. Dari sinilah maka istilah cetak sablon dikenal dengan sebutan “silk screen
printing” yang digunakan pada tahapan proses cetak. Karena sutera harganya cukup
mahal, serta memiliki kekuatan yang kurang baik, serta secara dimensional kurang
stabil, maka kemudian diganti dengan bahan yang terbuat dari nilon dan selanjutnya
dengan poliester. Sedangkan untuk keperluan cetak, alat-alat atau benda-benda
elektronik dipergunakan kain (screen) yang terbuat dari bahan stainless steel/logam.
Gambar 1.1 : Proses Silk Screen Printing Pada Awal Abad 20-an
Serat kain dibuat/dianyam/dirajut menurut standar dan diproduksi dengan
berbagai ukuran tergantung dari tingkat ketebalan serat benang yang akan
menghasilkan tingkat kerapatan anyaman.
2. Sejarah Sablon dan Perkembangannya
Pada awalnya sablon digunakan untuk mencetak baju kimono yang bermotif.
Pada saat itu muncul larangan penggunaan kimono dengan tulisan tangan sehingga
berkembanglah penyablonan kimono pada waktu itu. Kaisar melarang karena harga
kimono sangat tinggi jika menggunakan teknik menulis tangan.
Setelah di Jepang berkembang, kemudian sablon dikenal di Eropa pada tahun
1851-1862 dan 1868. Diperkenalkan oleh Joseph Swan yang mendirikan usaha di
bidang sablon. Kemudian Samuel Simmon mendapatkan hak paten mengenai teknik
sablon yang ia ciptakan pada tanggal 1 Juli 1907. Teknik tersebut menggunakan bahan
Chiffon sebagai pola dalam mencetak. Setelah berkembang di Inggris, mulailah
merambah Amerika Serikat dan muncul teknik silk screen printing.
Setelah perang dunia ke-2 perkembangan teknik sablon semakin gencar. Inovasi
mengenai cetak sablon mulai modern dengan teknik cetak saring. Sekarang pada pada
teknik sablon sudah berkembang hingga menggunakan mesin dan printer. Banyak
muncul industri dan usaha cetak sablon. Bisnis konveksi dimana-mana dengan
menghadirkan kualitas dan pemilihan teknik yang beragam, yang membuat harga
bervariasi sesuai kerumitan gambar dan pemilihan teknik. Teknik sablon tersebut
adalah manual, sablon digital, dan DTG.
1 3
Sumber : www.sejarahperkembangansablon.com
Gambar 1.2: Gambar (1) Motif yang dicetak menggunakan teknik sablon, Gambar (2)
Pengenalan teknik sablon di eropa, Gambar (3) Mesin cetak sablon
digital di era modern.