Anda di halaman 1dari 41

ANALISA PENGARUH DEADWEIGHT SINKER TERHADAP BEARING

CAPACITY ANCHOR PADA SISTEM TAMBAT SINGLE BUOY


MOORING: STUDI KASUS SBM PENGAPON SEMARANG

Jurusan : Departemen Teknik Kelautan FTK – ITS

Abstrak
Single Buoy Mooring merupakan sistem tambat yang umum digunakan pada floating
structure dalam mempertahankan posisinya ketika dikenakan beban lingkungan.
Dalam menganalisa kekuatan struktur SBM tentunya penting untuk membahas
Bearing Capacity Anchor. Karakteristik Sinker dapat mempengaruhi daya dukung
sebuah jangkar ketika menahan struktur. Kesalahan dalam perhitungan daya dukung
jangkar tentu berakibat pada kegagalan struktur sistem tambat. Oleh karena itu perlu
adanya analisa Bearing Capacity Anchor dengan pengaruh variasi berat sinker pada
Single Buoy Mooring. Berdasarkan hasil analisa studi kasus, respon gerak struktur
terbesar yaitu pada gerakan x dan y masing-masing sebagai berikut x m 2/(rad/s) dan y
m2/(rad/s). Hasil respon gerakan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar analisa
tegangan pada masing-masing tali tambat berdasarkan kriteria ULS dan ALS. Maka,
didapatkan nilai tension terbesar terjadi pada anchor chain tali tambat no. x pada
kondisi ULS, dan anchor chain tali tambat no. y pada kondisi ALS. Sedangkan hasil
perhitungan batas tegangan maksimum yang diijinkan pada API RP 2SK 2 nd adalah x
N untuk Anchor Chain. Maka berdasarkan anlisa tersebut, Anchor Chain masih
memenuhi/tidak memenuhi kriteria Safety Factor API RP 2SK 2nd.

Kata Kunci : stress intensity factor, kelelahan, mooring chain, chain link, keandalan,
laju korosi.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimana respon gerakan struktur single point mooring akibat beban


gelombang ekstrim?
b. Bagaimana tension pada tiap mooring chain dari Single Point Mooring akibat
beban gelombang ekstrim pada kondisi ULS dan ALS?
c. Bagaimana tegangan yang terjadi pada struktur Single Point Mooring?

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Peneitian

1.5 Batasan Penelitian

1. Studi kasus berdasarkan data dari SBM Pengapon Semarang, Indonesia.


2. Sistem tambat yang ditinjau dalam tugas akhir ini adalah single point mooring
tipe Multiple dengan analisis yang dilakukan adalah untuk kondisi ULS
(Ultimate Limit State) atau All Lines Intact. Self Alone Intact dan Offloading
3. Analisa Single Buoy Mooring pada kondisi tertambat Shutlle Tanker dan pada
kondisi Self Floating
4. Analisis dinamis menggunakan metode time domain untuk menemukan nilai
tension sistem tambat dan metode frequency domain pada analisa respon
struktur.
5. Standarts Codes yang digunakan dalam analisa dinamis mengacu pada API RP
2SK 2nd edition dan DNVGL-C205.
6. Variasi Deadweight Sinker yang dianalisis adalah 15, 20, 25, dan 30 ton.
7. Struktur buoy dan mooring line diasumsikan kuat.
8. Beban arus dan angina tidak diperhitungkan.
9. Jenis Anchor SBM yang dianalisis adalah Stevpris AK-5 dengan variasi
kebutuhan 10 dan 15 ton.
10. Pemodelan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Pemilihan tipe struktur dan konfigurasi sistem untuk operasi di lepas pantai
bergantung pada sifat operasi dan lingkungan di lokasi. Pada gambar 2.1 ada lima
perbedaan struktur pantai yang diilustrasikan. Dua struktur pertama dari kiri ke kanan
adalah struktur tetap yang menembus dasar laut. Tiga struktur setelahnya adalah
struktur mengambang dan mewakili unit produksi semi-submersible. Pada semi-
submersible dan unit produksi terapung lainnya dijaga posisinya oleh sistem tambat
yang berbeda (Faltinsen 1990, hal. 1). Sebuah tipikal kriteria desain sistem tambat
adalah untuk dapat menahan badai dengan periode kembali 100 tahun. Kriteria ini
juga harus dipenuhi menjelang akhir umur layanan desain, yang biasanya sekitar 20
tahun (Noble Denton Europe Limited 2006, hal. 65).

Dalam menghitung kekuatan sistem tambat, keadaan medan menjadi sangat


berpengaruh. Karena keadaan medan yang dikenakan oleh sistem tambat sangat
beragam, maka dalam pengoperasiannya akan banyak ditemui berbagai macam
persoalan, baik masalah kelelahan (fatigue), korosi (corrosion), dan retak (crack).
Dari ketiga jenis permasalahan yang biasa dialami sistem tambat, maka korosi dan
keretakan menjadi persoalan yang sangat diperhatikan karena efek lanjutan dari
korosi dan retak ini bisa mengakibatkan menurunnya keandalan sistem tambat dalam
menahan struktur terapung dan proses penggantian sistem tambat dinilai sangat
merugikan baik dari segi struktur maupun ekonomis.

2.2. Dasar Teori


2.2.1. Sistem Tambat
Badan struktur terapung yang melayang memiliki enam derajat
kebebasan, menghasilkan enam gerakan tubuh yang kaku seperti yang
diilustrasikan dalam gambar 2.2. Saat menggambarkan gerakan di laut,
gerakan translasi disebut sebagai angkat, lonjakan, dan goyangan. Surge and
sway menggambarkan gerakan pada bidang horizontal dan heave
menggambarkan gerakan vertikal. Tiga gerakan sudut disebut sebagai roll,
pitchand yaw. Yaw menggambarkan rotasi di sekitar sumbu vertikal
sementara roll dan pitch masing-masing menggambarkan rotasi di sekitar
sumbu longitudinal dan latitudinal (Faltinsen, 1990, hal. 3).

Gambar 2.2 Rigid-body motion modes (Faltinsen,1990, hal 3)

Sistem tambat menangkal gerakan ini dan membuat struktur pada


lokasinya dalam toleransi yang diberikan. Menurut Noble Denton Europe
Limited (2006, hal.22), "tujuan utama dari sistem tambat adalah untuk
mempertahankan struktur pengapungan pada stasiun dalam toleransi tertentu,
biasanya didasarkan pada batas offset yang ditentukan dari konfigurasi riser".
Riser adalah pipa yang mengangkut hidrokarbon, cairan injeksi dan cairan lain
antara struktur bawah laut dan unit pengapung. Riser dapat berperan sebagai
faktor pembatas karena kebutuhan untuk mengurangi gerakan vertikal mereka.
Saat merancang sistem tambat, sistem Spread Moored-dan Single Point
Mooring (SPM) adalah dua konfigurasi yang paling umum. Dalam sistem
tambatan tersebar, garis-garis terhubung ke struktur di banyak area. Struktur
kemudian akan di-fixed dalam orientasi tertentu dan tidak akan baling-baling
cuaca. Ketika kapal melintas cuaca berubah orientasi dengan arah pemuatan
lingkungan. Sistem penyebaran mooring seringkali lebih murah daripada SPM
karena berkurangnya kompleksitas. Mereka biasanya digunakan pada unit
semi submersible dan FPSO yang bergerak di luar cuaca (unit produksi,
penyimpanan, dan unit pendingin) di daerah dengan muatan lingkungan
sedang. Di daerah dengan lingkungan yang lebih kasar, seperti Laut Utara,
sistem tambatan penyebaran kurang cocok karena kekuatan yang dihasilkan
diberikan pada struktur dan garis tambatannya.
SPM memungkinkan struktur terapung untuk baling-baling cuaca dan
karenanya mengurangi kekuatan yang dihasilkan. Garis mooring kemudian
dihubungkan ke struktur dalam satu titik, dengan bantuan menara seperti yang
diilustrasikan dengan panah pada gambar 2.4. Turret adalah titik koneksi
untuk riser dan mooring lines dan dapat dihubungkan secara eksternal dan
terintegrasi secara internal dalam struktur flating. Sementara sistem turret
eksternal lebih murah dan tidak lebih rumit daripada sistem internal, yang
terakhir lebih disukai di lingkungan yang paling bermusuhan dan ketika
sejumlah besar riser dan jalur tambatan harus dihubungkan ke turret. Dalam
beberapa kasus, seperti di daerah dengan topan atau risiko yang cukup besar
dari gunung es melayang, sistem turet dapat diputuskan (Mack et al., 1995,
hal. 1 4). Gambar 2.9 mengilustrasikan sistem turret internal yang dapat
diputus pada Terra Nova FPSO.
Pilihan desain penting lainnya, adalah prinsip menghasilkan kekuatan
penolak. Sistem Catenary dan sistem Taut Leg dapat digunakan untuk SPM
dan menyebarkan sistem tambat. Dalam sistem “taut-leg”, elastisitas garis
menghasilkan gaya penahan. Jangkar di ujung setiap garis harus menahan
gaya horizontal dan vertikal. Dalam sistem "catenary", garis tambat tidak
direntangkan ke tingkat yang sama dan menggunakan bobot mati garis untuk
menghasilkan gaya penahan. Panjang garis yang besar terletak secara
horizontal di bagian bawah, berlabuh di dasar laut. Pasukan yang bertahan
dihasilkan dengan mengangkat dan menurunkan garis (Noble Denton Europe
Limited, 2006, hal 27). Ini menghasilkan beban horizontal pada jangkar.
Elemen daya apung dan bobot dapat dihubungkan ke garis untuk
mengoptimalkan sistem. Di kedalaman air yang dalam, sistem taut tungkai
paling sering digunakan untuk membatasi penyeimbang struktur pengapung
dan karena konfigurasi tungkai tanjakan menempati area yang lebih sedikit di
dasar laut. Untuk mengurangi berat dan meningkatkan fleksibilitas, garis-garis
yang biasanya terdiri dari tali, bukan rantai (Bjørnsen, 2014, p.41).

Gambar 2.3 Spread Mooring. Adapted Gambar 2.4 Single Point Mooring.
by author from (Noble Denton Europe Adapted by author from (Noble
Limited, 2006, hal 26) Denton Europe Limited, 2006, hal 22)

Gambar 2.5 Taut leg system (Noble Gambar 2.6 Catenary system (Noble
Denton Europe Limited, 2006, hal 29) Denton Europe Limited, 2006, hal 28)
Untuk mengoptimalkan sifat-sifat mekanik, garis tambatan sering terdiri
dari beberapa segmen dengan komponen dan bahan yang berbeda. Kombinasi
berbeda dari rantai baja, kawat baja, serat alami dan sintetis adalah umum.
Dibandingkan dengan jalur yang hanya terdiri dari sambungan baja, jalur yang
mengganti beberapa panjang dengan tali kawat atau serat lebih ringan dan
lebih fleksibel. Dalam garis tersegmentasi seperti itu, rantai rantai baja sering
digunakan di awal dan akhir garis yang menyediakan ketahanan yang
diperlukan di area yang paling terbuka.
Zona Splash didefinisikan sebagai lima meter di atas permukaan air
yang diam dan empat meter di bawah permukaan air yang masih ada (Noble
Denton Europe Limited, 2006, hal.102). Di sini, garis lebih dipengaruhi
mekanisme korosi tertentu daripada di segmen lain. Mereka juga dapat
mengalami pemuatan multi aksial. Bagian dari garis yang menghubungkan
dasar laut terpapar dengan kondisi yang sangat keras, dalam hal mekanisme
degradasi dan kekuatan kontak. Mengangkat dan menurunkan garis,
menyebabkan hubungan rantai membanting ke dasar laut. Area ini disebut
sebagai "area touch down" atau "zona thrash" (Noble Denton Europe Limited,
2006, Appx. C hal.4). Dimensi tautan yang digunakan dalam segmen garis
yang berbeda mungkin juga bervariasi, tergantung pada berat yang diinginkan
dan keausan yang diharapkan pada area tertentu.
Belenggu, konektor, fairleads dan apa yang disebut "trompet" adalah
komponen penting lainnya dalam sistem jalur tambat. Belenggu dan konektor
memiliki banyak variasi desain dan digunakan sebagai titik koneksi ke jalur,
misalnya antara rantai dan jangkar. Terompet pasir Fairlead dipasang pada
struktur terapung dan digunakan untuk memandu dan mengendalikan garis
tambatan. Keausan karena gesekan kontak dan pembengkokan pesawat,
adalah beberapa tantangan yang terkait dengan komponen ini. Gambar 2.7, 2.8
dan 2.10 masing-masing menggambarkan belenggu jangkar, terompet
terendam dan desain fairlead.
Gambar 2.7 Anchor Shackle. Adapted Gambar 2.8 Chain emerging from trumpet
by author from (Ramnas Bruk, 2016) (Noble Denton Europe Limited, 2006, hal 132)

Jangkar adalah titik akhir dari garis tambat dan memberikan kekuatan
perlawanan yang dibutuhkan untuk menjaga stasiun dari struktur yang
mengapung. Desain jangkar tergantung pada ukuran dan arah pemuatan
melalui garis tambat. Penahan jangkar dapat dengan beban horizontal besar
berdiri dengan menggali ke dasar laut, tetapi tidak dapat menahan beban
vertikal besar. Karenanya mereka tidak cocok untuk sistem tambat-kaki
tambat. Jangkar beban vertikal, jangkar hisap dan jangkar bertumpuk di sisi
lain dapat menahan pemuatan ke segala arah dan karenanya dapat digunakan
untuk sistem tersebut. Ini tertanam di dasar laut dan kapasitas penahanannya
tergantung pada resistansi tanah lateral dari dasar laut (Noble Denton Europe
Limited, 2006, hal.5).
Selain garis tambat, struktur dapat dilengkapi dengan pendorong untuk
menyesuaikan posisinya dan dalam beberapa kasus mengurangi akselerasi jika
terjadi gerakan tiba-tiba karena kasar. Bantuan pendorong tersebut dapat
mengamankan ketegangan optimal pada saluran, membubarkan keausan
secara lebih seragam pada saluran, dan menjadi langkah keselamatan akrucial
jika terjadi kegagalan. Metode lain untuk menghilangkan garis adalah dengan
winching. Saluran kemudian ditarik masuk atau keluar untuk mengoptimalkan
beban saluran dan untuk menyebarkan keausan ke beberapa rantai, bukan satu.

Gambar 2.9 The Terra Nova Turret Gambar 2.10 Example of a Fairlead
System. Adapted by author from design. Adapted by author from
(Howell et al, 2001, hal 10) (McKeown, 2011, hal 3)
2.2.2.
2.2.2.
Tautan Rantai Penambatan
Perbedaan antara dua desain rantai: Studded dan Studdless. Seperti
namanya, link bertabur memiliki stud melintang melintasi lebar bagian
dalamnya, sedangkan studdless tidak memilikinya. Ketika dimensi rantai mata
rantai, diameter penampang adalah determinatif. Semua dimensi diskalakan
dengan diameter yang berlaku seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.11.
Dua area dimana batang baja dibengkokkan disebut sebagai mahkota rantai
penghubung, seperti yang diilustrasikan dalam gambar 2.11a. Baik DNV GL
dan Asosiasi Internasional Masyarakat Klasifikasi (IACS) menyediakan jalur
panduan untuk rantai tambat lepas pantai (DNVGL, 2015) (IACS, 2011,
W22).

(a) Dimensi dan toleransi menghubungkan stud link. (IACS, 2011,W22, hal.14)
(b) Dimensi dan toleransi menghubungkan studless link. (IACS, 2011,W22, hal.14)

Gambar 2.11 Dimensi dan toleransi untuk tautan studded dan studless

Walaupun produksi sambungan mengikuti standar, dimensi yang tepat


dari masing-masing sambungan sulit dibuat karena beberapa derajat deformasi
plastis selama produksi. Oleh karena itu setiap link tidak sama dalam hal
dimensi, yang menghadirkan tantangan ketika mengamati pemakaian pada
link rantai bekas. Toleransi diberikan untuk menghindari penyimpangan besar.

2.2.3. Korosi
Korosi adalah proses elektrokimia, yang dapat digambarkan sebagai
pemborosan permukaan yang terjadi ketika logam terpapar ke lingkungan
yang reaktif. Korosi terjadi karena adanya pembentukan sel korosi yang terdiri
dari katoda, anoda elektrolit dan jalur logam. gambar 2.12 menggambarkan
prinsip tersebut. Elektrolit adalah solusi konduktif listrik, mis. air laut. Logam
yang berkarat biasanya berperan sebagai jalur logam.
Gambar 2.12 Sel Korosi (Ahmad, 2006, hal. 10).

Reaksi oksidasi terjadi di anoda dan menyebabkan hilangnya material


ketika ion logam bergerak dari logam dan memasuki elektrolit. Persamaan 2.1
menggambarkan reaksi ini

Fe → Fe 2+¿+2 e¿ (2.1)

Ion logam juga dapat bereaksi dengan larutan dan terbentuk sebagai
presipitasi di permukaan. Persamaan 2.2 menjelaskan pemisahan besi
hidroksida di lokasi anoda. Ini umumnya dikenal sebagai pembentukan karat.
−¿→Fe ( OH )2 ¿

Fe2+ ¿+2 OH ¿
(2.2)

Di katoda, elektron yang dilepaskan dari reaksi anoda dikonsumsi. Ini disebut
reaksi reduksi. Persamaan 2.3 menjelaskan reaksi katodik di mana gas
Hidrogen diproduksi dalam larutan asam (Ahmad, 2006, hal. 9-12).

2 H +¿+ 2e →OH 2 ¿
(2.3)

2.2.4. Pitting Corrosion


Pitting Corrosion dapat didefinisikan sebagai korosi terlokalisasi pada
permukaan logam. Lubang atau lubang terbentuk ketika korosi terjadi secara
istimewa di area kecil, membuat sebagian besar permukaan tidak tersentuh.
Pertumbuhan tidak dapat diprediksi dan dapat berbentuk kotak, lingkaran, dan
piramida (Ahmad, 2006, hlm. 149).
Proses retak atau cacat akan berbahaya bila cacat memiliki panjang,
lebar dan kedalaman seperti korosi pitting, disamping itu terjadinya pada
daerah yang sempit dan sangat susah untuk di prediksi dan sifatnya menjalar
kearah kedalaman semakin memperparah kondisi material yang telah
terserang korosi lubang ini (Mansoori et al, 2017). Pada kondisi umum,
pitting corrosion sering terjadi pada daerah dengan tekanan dan konsentrasi
yang tinggi, sehingga terjadi pengendapan atau penimbunan senyawa yang
korosif yang akan mengakibatkan korosi. Korosi lubang mempunyai berbagai
bentuk dan ukuran.

Gambar 2.13 Pitting Corrosion (Mansoori et al, 2017)

ASTM memberikan panduan untuk pemeriksaan dan evaluasi korosi


lubang pada ASTM International tahun 2005. Ketika menggambarkan bentuk
lubang dengan bentuk penampang, istilah yang ditunjukkan dalam gambar
2.14 digunakan.
Gambar 2.14 Deskripsi geometri pit berdasarkan bentuk penampang (ASTM
International, 2005, hal. 2)

2.2.5. Laju korosi

Laju korosi adalah tebal material yang hilang tiap selam waktu yang
disebabkan oleh adanya korosi. Satuan laju korosi yang akan digunakan
mil/year (Mansoori et al, 2017). Ada beberapa metode yang di gunakan untuk
menenetukan laju korosi, dalam penelitian Putri, Rochani, Supomo (2012)
menggunakan metode kehilangan berat, mengukur dimensi, dan dinsetias arus
korosi. Pengajuan laju korosi dengan sel 3 elektroda (pengujian laju korosi
yang dipercepat) dengan polarisasi dari potensial korosi bebasnya dengan
dihitung dengan persamaan Farraday sebagai berikut :

a. i
CPR=K . (2.4)
n. D

CPR = laju korosi (mm/year)


K = konstanta (0,00327 untuk mm/year)
a = berat atom yang terkorosi (gram/mol)
i = kecepatan arus (μA/cm2)
n = jumlah elektron logam terkorosi
D = Densitas (gram/cm3)

2.2.6. Mekanika Material

Saat mengekspos objek yang dideformasi ke beban, objek akan di


deformasi. Strain adalah ukuran deformasi relatif dan dalam bentuk satu
dimensi yang didefinisikan sebagai perbandingan ∆L yaitu perubahan
panjang dan Li adalah panjang awal objek (Dowling, 2013, hal. 203).

∆L
e i= (2.5)
Li

Dalam setiap titik arbitrary, keadaan tegangan dapat sepenuhnya


dijelaskan dengan tegangan normal dalam tiga arah, σx, σy dan σz, dan
tegangan geser pada tiga bidang τxy, τyz dan τzx, seperti yang diilustrasikan
dalam gambar 2.15. Jika deformasi bersifat reversibel, dan hubungan antara
tegangan dan regangan adalah linier, bahan tersebut didefinisikan sebagai
elastis linier. Ketika mengasumsikan bahan elastis linier dan teori regangan
kecil, hubungan antara tegangan dan regangan mungkin dijelaskan dengan
hukum Hooke yang digeneralisasikan melalui persamaan 2.6 – 2.11

Gambar 2.15 Stress pada titik arbitary Gambar 2.16 Prilaku Mmaterial Linear
(Dowling, 2013, p. 205). elastic
1
ɛx= [ σ −v ( σ y + σ z ) ] (2.6)
E x

1
ɛ y= [σ −v ( σ x +σ z ) ] (2.7)
E y

1
ɛ z = [σ z−v ( σ x + σ y ) ] (2.8)
E

τ xy
γ xy= (2.9)
G

τ yz
γ yx = (2.10)
G

τ zz
γ zx= (2.11)
G

E adalah modulus Young, u adalah rasio poisson elastis dan G adalah modulus
geser. Untuk keadaan stres satu dimensi, hukum Hook diturunkan menjadi

σ x +σ y 2
σ 1 , σ 2=¿ σ x +σ y ±
√ 2 √( 2 ) + τ xy
2
(2.12)

2.2.7. Fracture Mechanics

Fracture mechanics (mekanika kepecahan) merupakan salah satu


bagian dari mekanika yang membahas tegangan dan regangan pada struktur
yang mengandung retak. Teori kepecahan dikelomppokkan menjadi dua, yaitu
linear elastic fracture mechanics (LEFM) dan elastic plastic fracture
mechanics (EPFM).

2.2.7.1. LEFM
Linear elastic fracture mechanics (LEFM) didasarkan pada prosedur
analitis yang menghubungkan besarnya daerah tegangan dan distribusi
tegangan elastis di sekitar ujung retak dengan tegangan nominal yang
dikenakan pada daerah diskontinuitas, serta bentuk retak dan sifat-sifat
material itu sendiri. LEFM umumnya digunakan untuk material yang bersifat
brittle dimana daerah plastic sangat kecil karena tegangan lebih rendah
daripada tegangan ijin. (Barsom dan Rolfe, 1999)

Terdapat tiga tipe pembebanan dimana bias terjadi crack. Tiga mode
crack tersebut yaitu :

Gambar 2.17 Crack Mode I (Barsom dan Rolfe, 1999)

1. Mode I, opening mode, merupakan struktur dengan pembebanan principal


yang terjadi akibat adanya tegangan tarik yang tegak lurus dengan bidang
perambatan retak sehingga cenderung membuka retakan.
Gambar 2.18 Crack Mode II (Barsom dan Rolfe, 1999)

2. Mode II, sliding mode, merupakan retak yang diakibatkan oleh tegangan
geser yang searah dengan penjalaran retak.

Gambar 2.19 Crack Mode III (Barsom dan Rolfe, 1999)

3. Mode III, tearing mode, merupakan retak yang diakibatkan karena


tegangan geser yang bekerja pada arah melintang dan membentuk sudut
dengan arah penjalaran retak.

2.2.7.2. EPFM

Metode LEFM kurang tepat digunakan pada struktur-struktur besar


yang menggunakan baja berkekuatan rendah atau sedang. Untuk itu
dikembangkan metode EPFM untuk menunjukkan karakteristik dari perilaku
plastis material. Elastic plastic fracture mechanics (EPFM) umumnya
digunakan pada material dengan medium strength yang bersifat ductile.
Parameter yang sering digunakan pada EPFM adalah :

1. Crack tip opening displacement (CTOD)


CTOD merupakan perhitungan perpindahan (deformasi) retak awal pada
ujung retakan. CTOD bisa digunakan untuk menghitung retak yang
melingakar maupun retak yang lancip

2. J-Integral
Pengukuran medan tegangan dan regangan rata-rata yang terjadi di sekitar
ujung retak pada perilaku elastis-plastis

2.2.8. Mekanisme Kepecahan

Mekanika kepecahan digunakan untuk menganalisis bagaimana


perambatan retak jika dikenai beban berulang (siklik load). Perambatan retak
inilah yang nantinya digunakan untuk menentukan umur kelelahan dan
panjang retak yang dapat ditoleransi sebelum terjadi kegagalan struktur.
Mekanika kepecahan dibagi dalam beberapa tahap yaitu tahap awal terjadinya
retakan (crack initiation), tahap perambatan retak (crack propagation) dan
patah (final fracture).

1. Retak Awal (Initiation Crack)


Komponen-komponen struktur lepas pantai pada umumnya
merupakan material logam yang disusun ketika proses fabrikasi. Retak
awal dianggap sudah ada sejak proses fabrikasi, salah satu contohnya
karena proses pengerjaan, pemilihan dan produksi material yang tidak
sesuai.
2. Perambatan Retak (Crack Propagation)
Struktur mengalami perambatan retak setelah retak awal terjadi
akibat pembebanan berulang yang bekerja pada struktur. Dari data
perambatan retak inilah suatu prediksi umur kelelahan struktur (fatigue
life) dapat dikembangkan.
3. Final Fracture
Tahap ini merupakan yang paling akhir dimana struktur mengalami
kerusakan yang mengakibatkan kegagalan. Pada tahap ini, perambatan
retak terjadi dengan sangat cepat. Retak yang terjadi pada tahap ini dapat
berupa brittle fracture (cleavage), ductile fracture (rupture) maupun
kombinasi keduanya (Barsom dan Pellegrino, 1973).

2.2.9. Stress Intensity Factor (SIF)

Stress Intensity Factor merupakan salah satu parameter yang


digunakan untuk melakukan analisis keretakan. Distribusi tegangan di daerah
ujung retak terdiri dari tiga mode, seperti pada penjelasan sebelumnya tentang
mode crack. Pada kondisi nyata arah perambatan retak umumnya merupakan
kombinasi dari ketiga mode. Namun dalam penelitian ini hanya akan dibahas
perambatan retak Mode I, karena terjadi korosi pada lubang – lubang pada
sekitar mooring chain, sehingga beban yang digunakan adalah beban aksial
yang tegak lurus terhadap bidang perambatan retak.

Tegangan-tegangan yang terjadi pada Mode I adalah sebagai berikut :

KI θ θ 3θ
Sx=
√2 π 2 [
cos 1−sin sin
2 2 ] (2.3)

KI θ θ 3θ
Sy=
√2 π 2[
cos 1+ sin sin
2 2 ] (2.4) Sz=v ( σx +σy )=0

(2.5)

KI 3θ θ θ
τxy = cos cos sin (2.6)
√2 π 2 2 2

τxz=τyz=0 (2.7)

dengan,

KI = Stress Intensity Factor untuk Mode I


Sx = Tegangan normal
τxy = Tegangan geser bidang x arah sumbu y
r = Jarak crack tip dengan node yang ditinjau
θ = Sudut antara node yang ditinjau dengan sumbu x
v = Poisson's Ratio

Gambar 2.20 Sistem koordinat dan komponen tegangan di depan ujung


retak (Barsom dan Rolfe, 1999)

Ketika material mooring chain megalami pitting corrosion, maka


kondisi ini biasa dikatakan bahwa mooring chain telah mengalami retak awal
(initial crack). Kondisi retak awal ini akan menerima tekanan tangensial
(hoop pressure) yang arahnya positif terhadap permukaan dalam mooring
chain. Besarnya perambatan retak sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut
yang terbentuk oleh retak awal yang dalam hal ini disebabkan oleh pitting
corrosion.

πa
KI =Hs
√ Q
(2.8) sH

(2.8)

dengan ,
KI = Stress Intensity Factor (MPa√m)
Hs = Hoop Stress (MPa)
a = Kedalaman Retak (m)

Q = Parameter Cacat

Gambar 2.21 Grafik parameter cacat (Barsom dan Rolfe, 1999)

2.2.10. Perhitungan Umur Kelelahan

Bangunan lepas pantai banyak sekali mengalami beban yang sifatnya


berulang (siklis) yang menyebabkan berkurangnya kekuatan. Fenomena ini
dikenal dengan fatigue, dan ditandai dengan proses keretakan (crack) dan
pada proses selanjtnya terjadi penjalaran (propagation) dan kerusakan
(failure). Analisis kelelahan penting dilakukan untuk memprediksi besar
relatif dari fatigue life mooring line.

Umur kelelahan struktur didapatkan laju perambatan retak (crack


propagation) sebagai berikut (Barsom dan Rolfe, 1999):

da
=c (∆ K )m (2.9)
dN

dengan,
da/dN : kecepatan perambatan retak (m/cycle)
C dan m : parameter pertumbuhan retak
∆ : Range faktor intensitas tegangan (MPa√m)

2.2.11. Finite Element Method (FEM)


Metode Elemen Hingga (FEM) adalah metode numerik untuk
memecahkan masalah nilai batas. Dalam Finite Element Analysis (FEA),
masalah fisik diidealkan menjadi model matematika. Untuk menyelesaikan
masalah matematika ini, model tersebut didiskritisasi dengan membaginya
menjadi jaring dengan elemen-elemen dengan ukuran terbatas. Setiap elemen
memiliki jumlah node dan derajat kebebasan tertentu. Dengan memecahkan
set persamaan aljabar linier untuk setiap elemen, nilai nodal, mis. perpindahan
diperoleh. Nilai-nilai lapangan, seperti tegangan dan regangan, ditemukan
untuk seluruh model dengan menginterpolasi nilai-nilai nodal (Cook et al.,
2002, hal 1-4) dan (Mathisen, 2015, hal 5).
FEM adalah solusi numerik, kesalahan dapat disajikan melalui idealisasi
dan diskritisasi model. Juga solusi numerik untuk model diskretisasi dapat
menyebabkan kesalahan. Untuk menyatakan dengan kepastian yang memadai
bahwa solusi yang dihitung dekat dengan nilai sebenarnya, konvergensi harus
ditunjukkan. Solusi konvergen harus menurun secara mantap karena mesh
didefinisikan untuk setiap analisis berikutnya, sebelum mendekati nilai
tertentu. Gambar 2.21 menunjukkan prinsip tersebut.

Gambar 2.21 Solusi konvergen hipotetis

2.2.12. Keandalan
Keandalan adalah peluang komponen atau sistem tersebut untuk
memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan selama
kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan
tertentu (Rosyid, 2007). Besar peluang ini dalam analisis keandalan berupa
persentase atau angka numerik dalam rentan 0-1. Ada 3 kemungkinan
peluang yang akan terjadi, yaitu :

a. 100% atau 1; artinya sistem tersebut tidak akan pernah gagal dalam kurun
waktu tertentu,atau peluang kegagalannya adalah nol.
b. Kurang dari 100% tetapi > 0, misalnya Y%; artinya peluang kegagalan
sistem dalam suatu kurun waktu tertentu adalah (100-Y)%.
c. 0% atau 0; Artinya sistem tersebut akan gagal pada waktu tertentu.

Adapun hubungan antara keandalan dengan peluang terjadinya kegagalan


dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
Reliability = 1 – PoF (2.10)

dengan

Realibity = keandalan

PoF = Peluang kegagalan

2.2.13. Moda Kegagalan

Moda kegagalan ini berguna sebagai parameter untuk menunjukkan


kapan dan dalam keadaan apa struktur tersebut mengalami kegagalan. Moda
Kegagalan terdiri dari dua parameter penting, yaitu kekuatan dan beban.
Persamaan umum dari Moda Kegagalan seperti di bawah ini :

MK = K – B (2.11)
Dengan,
K = Variabel kekuatan
B = Variabel beban
2.2.14. Simulasi Monte Carlo

Monte Carlo sebenarnya adalah samping numerik dengan bantuan


random number generator (RNG). Simulasi ini dilakukan dengan
mengabmbil beberapa sampel dari perubah acak berdasarkan distribusi
perubah acaknya. Sampel yang telah diambil tersebut dipakai sebagai
masukan ke dalam persamaan fungsi kinerja FK(x), dan harga FK(x)
kemudian dihitung, misalnya, setiap kali FK(x) < 0, maka sistem dianggap
gagal. Jika jumlah sampel tersebut adalah N (atau replikasi sejumlah N), maka
dapat dicatat kejadian FK(x) < 0 sejumlah n kali. Dengan demikian, peluang
kegagalan sistem yang sedang ditinjau adalah rasio antara jumlah kejadian
gagal dengan sampel atau replikasi, atau dapat dituliskan seperti persamaan di
bawah ini :

Pof = 1 – Ps (2.12)
Dengan,
Pof = peluang kegagalan system
Ps = peluang sukses sistem
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian

MULAI

STUDI LITERATUR

PENGUMPULAN DATA
1. Data sistem tambat platform semi-submersible
2. Data karakteristik material mooring chain, pressure
history dan pitting corrosion

Permodelan Pengujian laju


dengan software korosi (C)

Perhitungan umur Foto SEM


kelelahan mooring
chain (A)

Analisa struktur
Analisa Keandalan mikro terhadap laju
mooring chain (B) korosi

Pembahasan
Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir

3.2. Analisa Umur Kelelahan Mooring Chain

Pemodelan Chain link 3D


dengan software

Perhitungan
Perhitungan Stress
Manual Stress
Intensity Factor (SIF)
Intensity
dengan software
Factor (KI)
ANSYS

Tidak Perhtiungan Crack


Propagation
VALIDASI Tidak

Ya
Perhitungan Umur
Kelelahan

B
Gambar 3.2 Diagram Alir Perhitungan Umur Kelelahan

3.3. Analisis Keandalan Mooring Chain

Random Variable akibat temperatur


dan tekanan

Moda Kegagalan

Menentukan distribusi data


dan menentukan CDF

Menentukan Random Number Generate


(RNG)
Uji performa sistem gagal
atau tidak

Transformasi RNG menjadi


Random Variable
Hitung Keandalan

Selesai

Gambar 3.3 Diagram Alir Perhitungan Keandalan Mooring Chain

3.4. Pengujian Laju Korosi (C)

PERSIAPAN :
1. Menyiapkan material mooring chain (chain link)
2. Menyiapkan larutan uji

3D Material chain link dengan


2 sudut bending 45o dan 90 o

Mengambil 5 spesimen dari 3


mooring links yang berbeda
dengan diameter ±77mm, 78 mm
dan 79 mm

Melakukan uji laju korosi


dengan dua sudut bending yang
berbeda

Diuji dengan sel 3 elektroda


dalam larutan FeCl3
C

Perhitungan laju korosi dengan


a .i
CPR=K
n. D

Pengambilan foto SEM (Scanning


Electron Microscope)

Analisa perbandingan antara


tiga mooring chain (chain link)
1. Laju korosi
2. Foto SEM

Selesai
Penjabaran dari diagram di atas akan dijelaskan pada langkah-langkah di bawah
ini.
1. Mulai
Menentukan latar belakang penelitian, merumuskan masalah, tujuan
penelitian

2. Studi Literatur
Studi literatur ini di lakukan dengan mencari, mempelajari, serta
memahami jurnal, buku-buku, dan laporan tugas akhir alumni baik dari
institusi sendiri maupun dari institusi lain yang berkaitan dengan rumusan
masalah, dasar teori dari data-data yang digunakan dalam proposal tugas
akhir ini. Literatur-literatur tersebut juga digunakan sebagai acuan dalam
pengerjaan proposal tugas akhir ini.

3. Pengumpulan Data
Data - data yang diperoleh dari berbagai sumber yang sesuai dengan obyek
pada proposal tugas akhir ini. Data - data yang diperlukan dalam
pengerjaan tugas akhir ini adalah :
a. Data properti sistem tambat spread mooring system yaitu number of
compartment, shell outer diameter, shell inner diameter, buoy height,
buoy weight, buoy installed draft, dan elevation of COG/ base line.
b. Data material mooring line (chain link) yaitu number of legs, chain
diameter, chain length, unit weigth in air, unit weigth in water, limit
breaking strength, pretension, pretension angle w/horizontal dan lain
lain.
c. Data lingkungan yaitu karakteristik gelombang, angin dan arus laut
d. Data operasional sistem tambat yaitu tension dan maximum tension
pada mooring pada saat kondisi operasional struktur.

4. Analisa Umur Kelelahan (A)


a. Pemodelan chain link dengan Software
Dengan memodelkan struktur mooring chain yaitu pada bagian chain
link sesuai dengan kondisi nyata dengan kondisi nyata dengan bentuk
3D yang diberi 5 titik korosi pitting (retak awal).
b. Perhitungan SIF
Hasil perhitungan SIF permodelan menggunakan software akan
dibandingkan dengan perhitungan SIF manual. Langkah-langkah
dalam permodelan pitting corrosion secara umum pada software,
yaitu:

1) Perhitungan SIF dengan software Ansys


 Setelah melakukan permodelan lalu, diberikan kondisi batasan
(boundary condition) pada model yang dibuat. Hal ini dilakukan
untuk memberi tumpuan chain link agar mendekati dengan
keadaan sesungguhnya ketika diberi pembebanan, lalu beban
diberikan berupa tension dari beban struktur.
 Langkah selanjutnya adalah melakukan meshing pada model.
Meshing adalah melakukan diskritasi geometris dari model dan
meshing dilakukan sekecil mungkin dengan memasukkan nilai
panjang korosi, lebar korosi dan kedalaman korosi.
 Terakhir melakukan running model untuk mendapatkan nilai dari
SIF.
2) Perhitungan SIF manual
 Mencari nilai hoop stress dalam perhitungan ini beban preassure
yang digunakan berasal dari internal preassure, perhitungan
menggunakan formulasi dari ASME B.31.8
 Menentukan parameter cacat pada 5 titik korosi, parameter cacat
berupa kedalam dan panjang korosi dan mencari nilai Q dengan
grafik parameter cacat.
 Setelah mendapatkan nilai Q menghitung nilai SIF pada setiap
titik korosi dengan formulasi seperti pada persamaan (2.8)
c. Validasi
Verifikasi untuk perbandingan hasil perhitungan secara teknis
dengan hasil permodelan dengan software sehingga diketahui error
yang terjadi.

d. Perhitungan Crack Propagation


Menghitung besarnya nilai keretakan pada permukaan chain link
mooring chain dengan menggunakan hukum Paris-Erdogan, telah
diketahui laju perambatan korosi di setiap titiknya. Selanjutnya,
akan dilakukan perhitungan perambatan kedalaman korosi karena
cycle yang ditimbulkan dari tension pada mooring system sehingga
akan diketahui berapa waktu untuk mooring chain terkorosi sampai
titik toleransi.

e. Perhitungan Umur Kelelahan pada Mooring Chain


Untuk menghitung umur kelelahan mooring chain yang terkorosi
dilakukan dengan cara meng-input-kan laju korosi hingga mencapai
laju korosi yang diijinkan oleh DNV OS- E301. Sesuai dengan
kriteria DNV OS- E301, laju korosi dibagi menjadi tiga bagian. Laju
korosi yang diijinkan pada zona percikan adalah 0.8 mm/tahun, laju
korosi di zona cetenary dan dibawah zona cetenary adalah 0.2
mm/tahun.
f. Dilanjutkan Perhitungan Keandalan dari Mooring chain (point B)

5. Perhitungan Keandalan Mooring Chain (B)


Penjabaran dari diagram point B akan dijelaskan pada langkah-langkah di
bawah ini
a. Moda Kegagalan
Moda kegagalan yang ditinjau dalam Proposal Tugas Akhir ini
adalah kegagalan terhadap kelelahan mooring chain akibat korosi
pitting berdasar pada tegangan yang semakin besar karena semakin
menipisnya ketebalan mooring chain.
b. Variabel Acak
Random Variable yang menjadi input merupakan parameter yang
terdapat pada moda kegagalan, yaitu tegangan pada mooring chain,
kedalaman korosi pada permukaan chain link, umur kelelahan
mooring chain, suhu lingkungan, dan SMYS.
c. Menentukan distribusi data
Menentukan distribusi data input-an berupa data tekanan dan
diameter chain link kemudian menentukan CDF (Cumulative
Distribution). Dari Minitab, dapat kita tentukan jenis distribusi data
Tension pada mooring chain.

d. Menentukan Random Number Generate (RNG)


Langkah-langkah menentukan RNG adalah dengan membuat
RNG dari masing-masing variable acak dengan jumlah RNG masing-
masing 1000 data.
e. Transformasi RNG menjadi Random Varible
Langkah berikutnya yaitu transformasi RNG menjadi Random
Variable dengan menggunakan CDF pada masing-masing variabel
acak.
f. Uji performa gagal atau tidak
Masing-masing variabel acak dimasukkan ke dalam moda
kegagalan dan dicatat seberapa banyak hasil yang gagal atau tidak.
Pada Tugas Akhir ini, dilakukan 1000 kali iterasi pada setiap titik
korosi.
g. Menghitung keandalan
Setelah melakukan iterasi dan didapatkan jumlah hasil yang
gagal atau tidak maka dapat diketahui analisis keandalan dari
mooring chain yang telah melampaui tegangan ijin dan tidak
melampaui tegangan ijin.

6. Pengujian Laju Korosi


Penjabaran dari diagram C akan dijelaskan di bawah ini
1. Persiapan Material
Proses persiapan sampel mooring chain baja AH-36 sebagai working
electrode. Bagian mooring chain yang telah diambil dilapangan
dipotong pada bagian chainlink nya menggunkan mesin potong besi
menjadi bagian yang lebih kecilf

2. Pengujian laju korosi


Pengujian laju korosi menggunakan sel 3 elektroda dengan
analisis polarisasi linear dari seperangkat peralatan potensial Autolab
dan software NOVA yang sudah diinstal di komputer. Penelitian laju
korosi ini akan dilakukan di Laboratorium. NOVA adalah suatu
program yang biasa digunakan dalam penelitian elektrokimia.
Langkah-langkah pengujian laju korosi adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan 3 elektroda yang akan digunakan untuk pengujian
b. Menjepitkan sampel ke dalam rangkaian alat uji korosi
c. Menambahkan karutan FeCl3 sebagai larutan uji, setelah itu uji laju
korosi siap dilakukan
d. Setiap spesimen diberikan beda potensial yang sama. Larutan
FeCl3 akan bekerja mengkorosi bagian yang akan diuji. Software
NOVA akan mendeteksi sendiri laju korosi pada spesimen
3. Foto Scanning Electron Microscope
Foto SEM di lakukan di laboratorium foto SEM Teknik Material
dan Metalurgi ITS. Setelah uji laju korosi perlu dilakukan foto SEM
pada spesimen agar mengetahui struktur mikro yang terkorosi

7. Pembahasan
Nilai perhitungan SIF yang didapat dari analisa tiga mooring chain
dibandingkan satu sama lain dari analisa tersebut di dapat perbandingan
umur kelelahan dari ketiga mooring chain tersebut. Pengujian laju korosi
yang dilakukan pada mooring chain dengan sudut bending dari pengujian
tersebut didapatkan laju korosi serta didapatkan gambar morfologi chain
link sebelum terkorosi dan setelah terkorosi

8. Selesai
Penarikan kesimpulan dari analisa yang telah dilakukan dan pembuatan
laporan

3.5 Jadwal Kegiatan

Bulan
Nama 1 2 4 3 5 6
Kegiatan Minggu
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi literatur
Pengumpulan
Data
Pemodelan
mooring chain
dan pitting
corossion
Perhitungan
SIF
Validasi
Perhitungan
umur
kelelahan
Analisa
keandalan
Persiapan
material
Pengujian laju
korosi
Foto SEM
Menyimpulka
n Hasil
Analisa
DAFTAR PUSTAKA

Barsom, J. M., dan J. V. Pellegrino. 1973. Relationship Between Kic and Plan-Strain
Tensile Ductily and Microscophic Mode of Fracture. Engineering Fracture
Mechanics. 5: 209-201.

Barsom, J. M., dan S.T. Rolfe. 1971. Fatigue Crack Propogation in High Yield-
Strength Steel. Enginering Fracture Mechanics. 2: 301-317.

Barsom, J. M., dan S.T. Rolfe. 1999. Fracture and Fatigue Control in Structures:
Application of Fracture Mechanics Third Edition. USA: ASTM.

Chandra, D. W. 2016. Analisa Keandalan Pipa terhadap Kelelahan Akibat Pitting


Corrosion. Tugas Akhir. Surabaya: Departemen Teknik Kelautan FTK ITS.
Dongsheng, Jun Yang, dan Jinping Ou. 2014. Fatigue Analysis of Deepwater
Hybrid Mooring Line Under Corrosion Effect. 3(83) : 68-76

Natsir, M. 2008. Studi Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di


Indonesia Melalui Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar, dan Jalur Ekspektasi
Inflasi Periode 1990:2-2007:1. Disertasi. Surabaya : Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga.
Dongsheng, Jun Yang, dan Jinping Ou. 2014. Fatigue Analysis of Deepwater Hybrid
Mooring Line Under Corrosion Effect. 3(83) : 68-76

Ghao, Zhen. 2007. Fatigue Damage Induced by NonGaussian Bimodal Wave Loading
in Mooring Lines. 29 (1-2) : 45-54

Ghosh SK, Dey GK, Dusane RO, Grover AK. 2016 Improved pitting corrosion
behaviour of electrodeposited nanocrystalline Ni–Cu alloys in 3.0 wt.% NaCl
solution. Journal of alloys and compounds. 426 (1-2) : 235-43 10.

Melchers, R., Moan, T. & Gao, Z. Corrosion of working chains continuously


immersed in seawater. J Mar Sci Technol. 12 : 102–110

Naufal Diaz,Aditia. 2018. Studi Analitis, Numerik Dan Eksperimen Olah Gerak
Struktur Spar dan Dinamika Tegangan Sistem Tambat Tipe Taut Pada Kondisi
Kegagalan Tali Tambat. Tugas Akhir. Surabaya: Departemen Teknik Kelautan
ITS.

Wijayanti, Anis. 2017. Analisis Umur Kelelahan Struktur Bangunan Lepas Pantai
Terpancang Akibat Pengaruh Aging Corrosion. Tugas Akhir. Surabaya:
Departemen Teknik Kelautan ITS.

Xue, Xutian, Chen, Nian Zhong, Wu, Yongyan, Xiong, Yeping and Guo, Yunhua
(2018) Mooring system fatigue analysis for a semi-submersible. Ocean
Engineering Journal. 156 : 550-563.

Ghosh SK, Dey GK, Dusane RO,


Grover AK. Improved pitting
corrosion behaviour of
electrodeposited nanocrystalline Ni–
Cu
alloys in 3.0 wt.% NaCl solution.
Journal of alloys and compounds
2006;426(1-2):235

Anda mungkin juga menyukai