Abstrak
Single Buoy Mooring merupakan sistem tambat yang umum digunakan pada floating
structure dalam mempertahankan posisinya ketika dikenakan beban lingkungan.
Dalam menganalisa kekuatan struktur SBM tentunya penting untuk membahas
Bearing Capacity Anchor. Karakteristik Sinker dapat mempengaruhi daya dukung
sebuah jangkar ketika menahan struktur. Kesalahan dalam perhitungan daya dukung
jangkar tentu berakibat pada kegagalan struktur sistem tambat. Oleh karena itu perlu
adanya analisa Bearing Capacity Anchor dengan pengaruh variasi berat sinker pada
Single Buoy Mooring. Berdasarkan hasil analisa studi kasus, respon gerak struktur
terbesar yaitu pada gerakan x dan y masing-masing sebagai berikut x m 2/(rad/s) dan y
m2/(rad/s). Hasil respon gerakan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar analisa
tegangan pada masing-masing tali tambat berdasarkan kriteria ULS dan ALS. Maka,
didapatkan nilai tension terbesar terjadi pada anchor chain tali tambat no. x pada
kondisi ULS, dan anchor chain tali tambat no. y pada kondisi ALS. Sedangkan hasil
perhitungan batas tegangan maksimum yang diijinkan pada API RP 2SK 2 nd adalah x
N untuk Anchor Chain. Maka berdasarkan anlisa tersebut, Anchor Chain masih
memenuhi/tidak memenuhi kriteria Safety Factor API RP 2SK 2nd.
Kata Kunci : stress intensity factor, kelelahan, mooring chain, chain link, keandalan,
laju korosi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
Pemilihan tipe struktur dan konfigurasi sistem untuk operasi di lepas pantai
bergantung pada sifat operasi dan lingkungan di lokasi. Pada gambar 2.1 ada lima
perbedaan struktur pantai yang diilustrasikan. Dua struktur pertama dari kiri ke kanan
adalah struktur tetap yang menembus dasar laut. Tiga struktur setelahnya adalah
struktur mengambang dan mewakili unit produksi semi-submersible. Pada semi-
submersible dan unit produksi terapung lainnya dijaga posisinya oleh sistem tambat
yang berbeda (Faltinsen 1990, hal. 1). Sebuah tipikal kriteria desain sistem tambat
adalah untuk dapat menahan badai dengan periode kembali 100 tahun. Kriteria ini
juga harus dipenuhi menjelang akhir umur layanan desain, yang biasanya sekitar 20
tahun (Noble Denton Europe Limited 2006, hal. 65).
Gambar 2.3 Spread Mooring. Adapted Gambar 2.4 Single Point Mooring.
by author from (Noble Denton Europe Adapted by author from (Noble
Limited, 2006, hal 26) Denton Europe Limited, 2006, hal 22)
Gambar 2.5 Taut leg system (Noble Gambar 2.6 Catenary system (Noble
Denton Europe Limited, 2006, hal 29) Denton Europe Limited, 2006, hal 28)
Untuk mengoptimalkan sifat-sifat mekanik, garis tambatan sering terdiri
dari beberapa segmen dengan komponen dan bahan yang berbeda. Kombinasi
berbeda dari rantai baja, kawat baja, serat alami dan sintetis adalah umum.
Dibandingkan dengan jalur yang hanya terdiri dari sambungan baja, jalur yang
mengganti beberapa panjang dengan tali kawat atau serat lebih ringan dan
lebih fleksibel. Dalam garis tersegmentasi seperti itu, rantai rantai baja sering
digunakan di awal dan akhir garis yang menyediakan ketahanan yang
diperlukan di area yang paling terbuka.
Zona Splash didefinisikan sebagai lima meter di atas permukaan air
yang diam dan empat meter di bawah permukaan air yang masih ada (Noble
Denton Europe Limited, 2006, hal.102). Di sini, garis lebih dipengaruhi
mekanisme korosi tertentu daripada di segmen lain. Mereka juga dapat
mengalami pemuatan multi aksial. Bagian dari garis yang menghubungkan
dasar laut terpapar dengan kondisi yang sangat keras, dalam hal mekanisme
degradasi dan kekuatan kontak. Mengangkat dan menurunkan garis,
menyebabkan hubungan rantai membanting ke dasar laut. Area ini disebut
sebagai "area touch down" atau "zona thrash" (Noble Denton Europe Limited,
2006, Appx. C hal.4). Dimensi tautan yang digunakan dalam segmen garis
yang berbeda mungkin juga bervariasi, tergantung pada berat yang diinginkan
dan keausan yang diharapkan pada area tertentu.
Belenggu, konektor, fairleads dan apa yang disebut "trompet" adalah
komponen penting lainnya dalam sistem jalur tambat. Belenggu dan konektor
memiliki banyak variasi desain dan digunakan sebagai titik koneksi ke jalur,
misalnya antara rantai dan jangkar. Terompet pasir Fairlead dipasang pada
struktur terapung dan digunakan untuk memandu dan mengendalikan garis
tambatan. Keausan karena gesekan kontak dan pembengkokan pesawat,
adalah beberapa tantangan yang terkait dengan komponen ini. Gambar 2.7, 2.8
dan 2.10 masing-masing menggambarkan belenggu jangkar, terompet
terendam dan desain fairlead.
Gambar 2.7 Anchor Shackle. Adapted Gambar 2.8 Chain emerging from trumpet
by author from (Ramnas Bruk, 2016) (Noble Denton Europe Limited, 2006, hal 132)
Jangkar adalah titik akhir dari garis tambat dan memberikan kekuatan
perlawanan yang dibutuhkan untuk menjaga stasiun dari struktur yang
mengapung. Desain jangkar tergantung pada ukuran dan arah pemuatan
melalui garis tambat. Penahan jangkar dapat dengan beban horizontal besar
berdiri dengan menggali ke dasar laut, tetapi tidak dapat menahan beban
vertikal besar. Karenanya mereka tidak cocok untuk sistem tambat-kaki
tambat. Jangkar beban vertikal, jangkar hisap dan jangkar bertumpuk di sisi
lain dapat menahan pemuatan ke segala arah dan karenanya dapat digunakan
untuk sistem tersebut. Ini tertanam di dasar laut dan kapasitas penahanannya
tergantung pada resistansi tanah lateral dari dasar laut (Noble Denton Europe
Limited, 2006, hal.5).
Selain garis tambat, struktur dapat dilengkapi dengan pendorong untuk
menyesuaikan posisinya dan dalam beberapa kasus mengurangi akselerasi jika
terjadi gerakan tiba-tiba karena kasar. Bantuan pendorong tersebut dapat
mengamankan ketegangan optimal pada saluran, membubarkan keausan
secara lebih seragam pada saluran, dan menjadi langkah keselamatan akrucial
jika terjadi kegagalan. Metode lain untuk menghilangkan garis adalah dengan
winching. Saluran kemudian ditarik masuk atau keluar untuk mengoptimalkan
beban saluran dan untuk menyebarkan keausan ke beberapa rantai, bukan satu.
Gambar 2.9 The Terra Nova Turret Gambar 2.10 Example of a Fairlead
System. Adapted by author from design. Adapted by author from
(Howell et al, 2001, hal 10) (McKeown, 2011, hal 3)
2.2.2.
2.2.2.
Tautan Rantai Penambatan
Perbedaan antara dua desain rantai: Studded dan Studdless. Seperti
namanya, link bertabur memiliki stud melintang melintasi lebar bagian
dalamnya, sedangkan studdless tidak memilikinya. Ketika dimensi rantai mata
rantai, diameter penampang adalah determinatif. Semua dimensi diskalakan
dengan diameter yang berlaku seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.11.
Dua area dimana batang baja dibengkokkan disebut sebagai mahkota rantai
penghubung, seperti yang diilustrasikan dalam gambar 2.11a. Baik DNV GL
dan Asosiasi Internasional Masyarakat Klasifikasi (IACS) menyediakan jalur
panduan untuk rantai tambat lepas pantai (DNVGL, 2015) (IACS, 2011,
W22).
(a) Dimensi dan toleransi menghubungkan stud link. (IACS, 2011,W22, hal.14)
(b) Dimensi dan toleransi menghubungkan studless link. (IACS, 2011,W22, hal.14)
Gambar 2.11 Dimensi dan toleransi untuk tautan studded dan studless
2.2.3. Korosi
Korosi adalah proses elektrokimia, yang dapat digambarkan sebagai
pemborosan permukaan yang terjadi ketika logam terpapar ke lingkungan
yang reaktif. Korosi terjadi karena adanya pembentukan sel korosi yang terdiri
dari katoda, anoda elektrolit dan jalur logam. gambar 2.12 menggambarkan
prinsip tersebut. Elektrolit adalah solusi konduktif listrik, mis. air laut. Logam
yang berkarat biasanya berperan sebagai jalur logam.
Gambar 2.12 Sel Korosi (Ahmad, 2006, hal. 10).
Fe → Fe 2+¿+2 e¿ (2.1)
Ion logam juga dapat bereaksi dengan larutan dan terbentuk sebagai
presipitasi di permukaan. Persamaan 2.2 menjelaskan pemisahan besi
hidroksida di lokasi anoda. Ini umumnya dikenal sebagai pembentukan karat.
−¿→Fe ( OH )2 ¿
Fe2+ ¿+2 OH ¿
(2.2)
Di katoda, elektron yang dilepaskan dari reaksi anoda dikonsumsi. Ini disebut
reaksi reduksi. Persamaan 2.3 menjelaskan reaksi katodik di mana gas
Hidrogen diproduksi dalam larutan asam (Ahmad, 2006, hal. 9-12).
2 H +¿+ 2e →OH 2 ¿
(2.3)
Laju korosi adalah tebal material yang hilang tiap selam waktu yang
disebabkan oleh adanya korosi. Satuan laju korosi yang akan digunakan
mil/year (Mansoori et al, 2017). Ada beberapa metode yang di gunakan untuk
menenetukan laju korosi, dalam penelitian Putri, Rochani, Supomo (2012)
menggunakan metode kehilangan berat, mengukur dimensi, dan dinsetias arus
korosi. Pengajuan laju korosi dengan sel 3 elektroda (pengujian laju korosi
yang dipercepat) dengan polarisasi dari potensial korosi bebasnya dengan
dihitung dengan persamaan Farraday sebagai berikut :
a. i
CPR=K . (2.4)
n. D
∆L
e i= (2.5)
Li
Gambar 2.15 Stress pada titik arbitary Gambar 2.16 Prilaku Mmaterial Linear
(Dowling, 2013, p. 205). elastic
1
ɛx= [ σ −v ( σ y + σ z ) ] (2.6)
E x
1
ɛ y= [σ −v ( σ x +σ z ) ] (2.7)
E y
1
ɛ z = [σ z−v ( σ x + σ y ) ] (2.8)
E
τ xy
γ xy= (2.9)
G
τ yz
γ yx = (2.10)
G
τ zz
γ zx= (2.11)
G
E adalah modulus Young, u adalah rasio poisson elastis dan G adalah modulus
geser. Untuk keadaan stres satu dimensi, hukum Hook diturunkan menjadi
σ x +σ y 2
σ 1 , σ 2=¿ σ x +σ y ±
√ 2 √( 2 ) + τ xy
2
(2.12)
2.2.7.1. LEFM
Linear elastic fracture mechanics (LEFM) didasarkan pada prosedur
analitis yang menghubungkan besarnya daerah tegangan dan distribusi
tegangan elastis di sekitar ujung retak dengan tegangan nominal yang
dikenakan pada daerah diskontinuitas, serta bentuk retak dan sifat-sifat
material itu sendiri. LEFM umumnya digunakan untuk material yang bersifat
brittle dimana daerah plastic sangat kecil karena tegangan lebih rendah
daripada tegangan ijin. (Barsom dan Rolfe, 1999)
Terdapat tiga tipe pembebanan dimana bias terjadi crack. Tiga mode
crack tersebut yaitu :
2. Mode II, sliding mode, merupakan retak yang diakibatkan oleh tegangan
geser yang searah dengan penjalaran retak.
2.2.7.2. EPFM
2. J-Integral
Pengukuran medan tegangan dan regangan rata-rata yang terjadi di sekitar
ujung retak pada perilaku elastis-plastis
KI θ θ 3θ
Sx=
√2 π 2 [
cos 1−sin sin
2 2 ] (2.3)
KI θ θ 3θ
Sy=
√2 π 2[
cos 1+ sin sin
2 2 ] (2.4) Sz=v ( σx +σy )=0
(2.5)
KI 3θ θ θ
τxy = cos cos sin (2.6)
√2 π 2 2 2
τxz=τyz=0 (2.7)
dengan,
πa
KI =Hs
√ Q
(2.8) sH
(2.8)
dengan ,
KI = Stress Intensity Factor (MPa√m)
Hs = Hoop Stress (MPa)
a = Kedalaman Retak (m)
Q = Parameter Cacat
da
=c (∆ K )m (2.9)
dN
dengan,
da/dN : kecepatan perambatan retak (m/cycle)
C dan m : parameter pertumbuhan retak
∆ : Range faktor intensitas tegangan (MPa√m)
2.2.12. Keandalan
Keandalan adalah peluang komponen atau sistem tersebut untuk
memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan selama
kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan
tertentu (Rosyid, 2007). Besar peluang ini dalam analisis keandalan berupa
persentase atau angka numerik dalam rentan 0-1. Ada 3 kemungkinan
peluang yang akan terjadi, yaitu :
a. 100% atau 1; artinya sistem tersebut tidak akan pernah gagal dalam kurun
waktu tertentu,atau peluang kegagalannya adalah nol.
b. Kurang dari 100% tetapi > 0, misalnya Y%; artinya peluang kegagalan
sistem dalam suatu kurun waktu tertentu adalah (100-Y)%.
c. 0% atau 0; Artinya sistem tersebut akan gagal pada waktu tertentu.
dengan
Realibity = keandalan
MK = K – B (2.11)
Dengan,
K = Variabel kekuatan
B = Variabel beban
2.2.14. Simulasi Monte Carlo
Pof = 1 – Ps (2.12)
Dengan,
Pof = peluang kegagalan system
Ps = peluang sukses sistem
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
MULAI
STUDI LITERATUR
PENGUMPULAN DATA
1. Data sistem tambat platform semi-submersible
2. Data karakteristik material mooring chain, pressure
history dan pitting corrosion
Analisa struktur
Analisa Keandalan mikro terhadap laju
mooring chain (B) korosi
Pembahasan
Selesai
Perhitungan
Perhitungan Stress
Manual Stress
Intensity Factor (SIF)
Intensity
dengan software
Factor (KI)
ANSYS
Ya
Perhitungan Umur
Kelelahan
B
Gambar 3.2 Diagram Alir Perhitungan Umur Kelelahan
Moda Kegagalan
Selesai
PERSIAPAN :
1. Menyiapkan material mooring chain (chain link)
2. Menyiapkan larutan uji
Selesai
Penjabaran dari diagram di atas akan dijelaskan pada langkah-langkah di bawah
ini.
1. Mulai
Menentukan latar belakang penelitian, merumuskan masalah, tujuan
penelitian
2. Studi Literatur
Studi literatur ini di lakukan dengan mencari, mempelajari, serta
memahami jurnal, buku-buku, dan laporan tugas akhir alumni baik dari
institusi sendiri maupun dari institusi lain yang berkaitan dengan rumusan
masalah, dasar teori dari data-data yang digunakan dalam proposal tugas
akhir ini. Literatur-literatur tersebut juga digunakan sebagai acuan dalam
pengerjaan proposal tugas akhir ini.
3. Pengumpulan Data
Data - data yang diperoleh dari berbagai sumber yang sesuai dengan obyek
pada proposal tugas akhir ini. Data - data yang diperlukan dalam
pengerjaan tugas akhir ini adalah :
a. Data properti sistem tambat spread mooring system yaitu number of
compartment, shell outer diameter, shell inner diameter, buoy height,
buoy weight, buoy installed draft, dan elevation of COG/ base line.
b. Data material mooring line (chain link) yaitu number of legs, chain
diameter, chain length, unit weigth in air, unit weigth in water, limit
breaking strength, pretension, pretension angle w/horizontal dan lain
lain.
c. Data lingkungan yaitu karakteristik gelombang, angin dan arus laut
d. Data operasional sistem tambat yaitu tension dan maximum tension
pada mooring pada saat kondisi operasional struktur.
7. Pembahasan
Nilai perhitungan SIF yang didapat dari analisa tiga mooring chain
dibandingkan satu sama lain dari analisa tersebut di dapat perbandingan
umur kelelahan dari ketiga mooring chain tersebut. Pengujian laju korosi
yang dilakukan pada mooring chain dengan sudut bending dari pengujian
tersebut didapatkan laju korosi serta didapatkan gambar morfologi chain
link sebelum terkorosi dan setelah terkorosi
8. Selesai
Penarikan kesimpulan dari analisa yang telah dilakukan dan pembuatan
laporan
Bulan
Nama 1 2 4 3 5 6
Kegiatan Minggu
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi literatur
Pengumpulan
Data
Pemodelan
mooring chain
dan pitting
corossion
Perhitungan
SIF
Validasi
Perhitungan
umur
kelelahan
Analisa
keandalan
Persiapan
material
Pengujian laju
korosi
Foto SEM
Menyimpulka
n Hasil
Analisa
DAFTAR PUSTAKA
Barsom, J. M., dan J. V. Pellegrino. 1973. Relationship Between Kic and Plan-Strain
Tensile Ductily and Microscophic Mode of Fracture. Engineering Fracture
Mechanics. 5: 209-201.
Barsom, J. M., dan S.T. Rolfe. 1971. Fatigue Crack Propogation in High Yield-
Strength Steel. Enginering Fracture Mechanics. 2: 301-317.
Barsom, J. M., dan S.T. Rolfe. 1999. Fracture and Fatigue Control in Structures:
Application of Fracture Mechanics Third Edition. USA: ASTM.
Ghao, Zhen. 2007. Fatigue Damage Induced by NonGaussian Bimodal Wave Loading
in Mooring Lines. 29 (1-2) : 45-54
Ghosh SK, Dey GK, Dusane RO, Grover AK. 2016 Improved pitting corrosion
behaviour of electrodeposited nanocrystalline Ni–Cu alloys in 3.0 wt.% NaCl
solution. Journal of alloys and compounds. 426 (1-2) : 235-43 10.
Naufal Diaz,Aditia. 2018. Studi Analitis, Numerik Dan Eksperimen Olah Gerak
Struktur Spar dan Dinamika Tegangan Sistem Tambat Tipe Taut Pada Kondisi
Kegagalan Tali Tambat. Tugas Akhir. Surabaya: Departemen Teknik Kelautan
ITS.
Wijayanti, Anis. 2017. Analisis Umur Kelelahan Struktur Bangunan Lepas Pantai
Terpancang Akibat Pengaruh Aging Corrosion. Tugas Akhir. Surabaya:
Departemen Teknik Kelautan ITS.
Xue, Xutian, Chen, Nian Zhong, Wu, Yongyan, Xiong, Yeping and Guo, Yunhua
(2018) Mooring system fatigue analysis for a semi-submersible. Ocean
Engineering Journal. 156 : 550-563.