Anda di halaman 1dari 8

Menulis Artikel Opini*)[1]

Oleh Mulyo Sunyoto M.Pd

Redaktur Senior Kantor Berita Antara

Setiap orang punya opini tapi tidak setiap orang menulis opininya. Menulis
opini bisa dijadikan pekerjaan tetap, bisa juga jadi kerja sampingan.
Dosen, jurnalis, pengacara, dokter—untuk menyebut beberapa profesional
—kadang menjadikan kegiatan menulis opini sebagai pekerjaan
sampingan.

Selayaknya setiap orang terpelajar memiliki kemampuan menulis opini.


Apakah kemampuan ini bisa dipelajari secara ilmiah, dalam arti dicapai
lewat pelatihan terstruktur dan sistematis? Atau hadir sebagai hasil
pergulatan otodidak? Dua pertanyaan itu memperoleh jawaban afirmatif.
Namun, keberhasilan seseorang menjadi penulis opini lebih ditentukan oleh
kadar pasi atau kegairahannya menggeluti dunia penulisan.

Secara umum artikel opini dapat didefinisikan sebagai tulisan yang


didasarkan pada pandangan, penilaian atau pernyataan yang subyektif,
yang tak mudah diverifikasi kebenarannya melalui kesepakatan para ahli.

Esensi opini adalah argumen. Menulis opini, dengan demikian, menulis


dengan metode argumentasi. Harus diingat, artikel opini bukanlah karya
jurnalistik. Karya jurnalistik melaporkan fakta, opini menggunakan fakta
untuk mendukung gagasan subjektif penulisnya.

Berbeda dengan karya jurnalistik yang metode penulisannya bisa


dipolakan, dirumuskan berdasarkan teori penulisan, misalnya teknik
menulis piramida terbalik, artikel opini memberikan ruang kemerdekaan
bagi penulisnya untuk menyampaikan gagasannya secara leluasa.
Di media massa, artikel opini bisa memiliki nama rubrik yang variatif seperti
esai, kolom, yang melahirkan kata turunan esais dan kolomnis. Namun
intinya sama saja, penulis opini, esai dan kolom adalah penulis yang
mendasarkan tulisannya pada pendapat  personal.

Penulis opini bisa mengekploitasi semua metode penulisan yakni deskripsi,


narasi, eksplanasi, eksposisi, dan argumentasi untuk menyampaikan
pandangan-pandangan personalnya.

Tuntutan mutlak terhadap penulis opini adalah penguasaan tema tulisan.


Namun, tak kalah pentingnya adalah penguasaan teknik menulis. Pakar
politik, pakar ekonomi, dokter yang punya kegemaran membaca fiksi akan
lebih piawai menulis artikel opini ketimbang pakar yang jarang membaca
fiksi.

Jadi, seperti hampir  semua pengarang hebat peraih Nobel untuk Sastra
katakan, hanya satu cara belajar mengarang: banyak membaca.

Namun, beberapa tip praktis untuk menulis artikel opini bisa saya
disampaikan di sini (berdasarkan pengalaman pribadi menulis kolom untuk
Harian  Kompas:

1.Kuasai persoalan tematik sebelum menulis.

2.Siapkan semua referensi teoritik bisa berupa kliping koran, buku, kamus,
tesaurus, ensiklopedi--sekarang wikipedia.

3.Bikin catatan-catatan setiap muncul ide untuk memperkuat argumen


artkel.

4.Uji argumen anda dengan mengajak berdiskusi bersama teman-teman


tertentu yang  punya pandangan tentang tema yang anda tulis. Ini bisa
anda lakukan saat artikel anda masih dalam tahap rencana, sedang, atau
telah selesai ditulis.

5.Revisi artikel anda setelah mendapat masukan yang anda nilai bermutu.

6.Tulislah dengan standar bahasa Indonesia yang betul.

7.Tulislah dengan bahasa yang mudah dicerna, yang antara lain tak
memasukkan istilah-istilah teknis yang tak dimengerti pembaca umum.

8.Menulislah dengan kalimat variatif dalam arti panjang-pendek kalimat,


kalimat tunggal-majemuk, struktur subjek predikat-inversif. Jangan lupa
menulis dengan pilihan diksi yang variatif pula.

9.Karena artikel opini bertujuan untuk meyakinkan pembaca, anda bisa


mengutip pendapat ahli untuk mendukung opini anda.

10.   Berdiskusi dengan redaktur yang akan menyunting artikel opini anda.

Berikut ini saya ambilkan artikel opini yang menarik  karena aktualitasnya.
Tak sepenuhnya sesuai dengan teori yang saya sebut di atas. Tapi justru
itu menarik untuk kita diskusikan bersama, sebelum anda berlatih menulis
opini anda sendiri. Terima kasih.***
 
“Tentang Tere Liye"

Sri Mulyani Indrawati

Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja
dan kapan saja tanpa pernah protes - saat di mobil, waktu antri di dokter
gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca
buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang
mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.

Buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus
dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan
yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan. Ada jerih
payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata
dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski
penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis
itu sendiri.

Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang
Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan.
Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan"
dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar
pajak penghasilannya sebagai penulis. Hal ini menyangkut perlakukan
perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere
Liye.

Kebijakan perpajakan di negara kita diatur oleh Undang-Undang (UU) yang


kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak. Ada bagian kebijakan yang
ditetapkan oleh UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri
atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan
penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan. Namun ada juga
kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri
dan Dirjen Pajak misalnya penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR
dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto kurang dari 4,8 M rupiah setahun (yang tidak menyelenggarakan
pembukuan).

Kebijakan pajak yang baik adalah kebijakan yang menjalankan prinsip :


keadilan dan persamaan perlakuan antara wajib pajak (equity), kepastian
bagi wajib pajak, tidak kompleks bagi WP untuk membayar dan memenuhi
aturannya, netral (tidak menimbulkan disinsentif dan distorsi pelaku),
keamanan informasi terjamin dll. Untuk memenuhi kebijakan pajak yang
ideal dan baik di atas tidak mudah. Pemerintah sering dihadapkan pilihan-
pilihan misalnya antara konsistensi, keadilan, dan persamaan perlakukan
antara pelaku pajak versus tujuan pemihakan atau afirmatif.

Pemerintah terus berupaya agar kebijakan pajak dapat memenuhi berbagai


harapan masyarakat dan pelaku ekonomi, yaitu : adil dan konsisten, simpel
dan mudah dijalankan, efektif dan tetap mampu merespons kebutuhan-
kebutuhan tertentu dari kelompok masyarakat, profesi, kegiatan usaha
yang berbeda-beda.

Ketika seorang Tere Liye mengharapkan agar dalam penghitungan


pajaknya dapat memperhitungkan upaya jerih payah dan biaya yang
dikeluarkan selama proses penulisan, Kementerian Keuangan dan DJP telah
mengakomodasi dengan kebijakan bahwa biaya tersebut dapat
dikurangkan melalui penggunaan norma. Norma adalah suatu kemudahan
yang diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan
pembukuan.

Keluhan Tere Liye bahwa ada biaya dalam pembuatan sebuah buku, sudah
tercermin melalui tersedianya mekanisme norma penghitungan bagi
penulis. Tere Liye memahami kebijakan ini karena dia adalah penulis yang
sangat paham mengenai seluk beluk perpajakan. Bangga saya punya
teman alumni FEUI yang tidak hanya pintar substansi ekonomi dan
perpajakan tetapi juga piawai serta indah dalam menulis cerita.

Bagi profesi penulis, penghitungan normanya adalah 50 persen dari


penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya)

Maksudnya, biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap


sebesar 50 persen dari penghasilannya.

Artinya, setelah dihitung total penghasilan yg diperoleh oleh penulis selama


satu tahun pajak dikalikan dengan 50% sehingga diperoleh penghasilan
netto.

Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan
dengan  Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)  sehingga diperoleh
penghasilan kena pajak.

Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan


terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai dengan lapisan
penghasilan.

Sementara itu, pajak penghasilan yang sudah dipungut oleh penerbit atas
royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yg akan menjadi pengurang
pajak penghasilan yang terutang.

Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan keleluasaan dan keadilan bagi


profesi penulis untuk dapat terus berkarya.

Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya


ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan- seperti yang
dikeluhkan Tere Liye- maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen
Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut, meninjau
"Standard Operating Procedure" dalam penanganan masalah-masalah
seperti ini - termasuk peranan kepala kantor yang lebih tanggap dan efektif
- agar tidak membuat Wajib Pajak frustrasi. Ini adalah bagian dari
reformasi yang sedang kami jalankan di DJP. Saya yakin sepenuhnya
bahwa dengan adanya komunikasi dan organisasi yang baik, sebuah
kebijakan akan dapat terlaksana dengan lebih sempurna. Dan ini semua
perlu terus didukung dan diawasi agar kami makin mampu menjadi
organisasi yang dipercaya oleh masyarakat dan diandalkan  oleh negara
dan bangsa.

Kami menyadari bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Oleh
karena itu, kami menerima dengan baik berbagai masukan dari berbagai
kelompok profesi yang memiliki berbagai karakteristik yang ingin mendapat
perhatian dan pemahaman Pemerintah. Tugas kami adalah mendengar,
memahami, dan merespons untuk perbaikan seluruh negeri dan
masyarakat Indonesia.

Kami di Kementerian Keuangan senantiasa berusaha untuk memberikan


yang terbaik bagi negeri ini dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan
profesionalisme. Saya tentu berharap penulis seperti Tere Liye tidak
menganggap bahwa seluruh jajaran pajak adalah identik dengan Gayus.
Persepsi ini sungguh melukai mereka yang jujur dan memiliki komitmen
dan integritas tinggi dalam menjalankan tugas konstitusi mengumpulkan
penerimaan negara.

Saya yakin banyak pegawai pajak yang memiliki hati yang baik dan
komitmen kerja yang tinggi dan profesional seperti "Bujang" dalam buku
Tere Liye "Pulang" - atau seperti "Sri Ningsih dan Zaman" dalam bukunya
"Tentang Kamu".

Kita semua warga negara Indonesia dalam posisi di manapun dan peran
apapun memiliki kewajiban membangun dan membesarkan Indonesia. Mari
kita melakukan perjuangan membangun dan melanjutkan perjalanan
estafet dari para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Salam literasi dan keadilan untuk Indonesia .

Jakarta, 11 September 2017

[1] Dipresentasikan di Pelatihan Menulis Opini di Dirjen Pajak Kemenkeu,


Jakarta 27 September 2017

Anda mungkin juga menyukai