Menulis Artikel Opini
Menulis Artikel Opini
Setiap orang punya opini tapi tidak setiap orang menulis opininya. Menulis
opini bisa dijadikan pekerjaan tetap, bisa juga jadi kerja sampingan.
Dosen, jurnalis, pengacara, dokter—untuk menyebut beberapa profesional
—kadang menjadikan kegiatan menulis opini sebagai pekerjaan
sampingan.
Jadi, seperti hampir semua pengarang hebat peraih Nobel untuk Sastra
katakan, hanya satu cara belajar mengarang: banyak membaca.
Namun, beberapa tip praktis untuk menulis artikel opini bisa saya
disampaikan di sini (berdasarkan pengalaman pribadi menulis kolom untuk
Harian Kompas:
2.Siapkan semua referensi teoritik bisa berupa kliping koran, buku, kamus,
tesaurus, ensiklopedi--sekarang wikipedia.
5.Revisi artikel anda setelah mendapat masukan yang anda nilai bermutu.
7.Tulislah dengan bahasa yang mudah dicerna, yang antara lain tak
memasukkan istilah-istilah teknis yang tak dimengerti pembaca umum.
10. Berdiskusi dengan redaktur yang akan menyunting artikel opini anda.
Berikut ini saya ambilkan artikel opini yang menarik karena aktualitasnya.
Tak sepenuhnya sesuai dengan teori yang saya sebut di atas. Tapi justru
itu menarik untuk kita diskusikan bersama, sebelum anda berlatih menulis
opini anda sendiri. Terima kasih.***
“Tentang Tere Liye"
Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja
dan kapan saja tanpa pernah protes - saat di mobil, waktu antri di dokter
gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca
buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang
mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.
Buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus
dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan
yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan. Ada jerih
payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata
dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski
penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis
itu sendiri.
Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang
Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan.
Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan"
dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar
pajak penghasilannya sebagai penulis. Hal ini menyangkut perlakukan
perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere
Liye.
Keluhan Tere Liye bahwa ada biaya dalam pembuatan sebuah buku, sudah
tercermin melalui tersedianya mekanisme norma penghitungan bagi
penulis. Tere Liye memahami kebijakan ini karena dia adalah penulis yang
sangat paham mengenai seluk beluk perpajakan. Bangga saya punya
teman alumni FEUI yang tidak hanya pintar substansi ekonomi dan
perpajakan tetapi juga piawai serta indah dalam menulis cerita.
Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh
penghasilan kena pajak.
Sementara itu, pajak penghasilan yang sudah dipungut oleh penerbit atas
royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yg akan menjadi pengurang
pajak penghasilan yang terutang.
Kami menyadari bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Oleh
karena itu, kami menerima dengan baik berbagai masukan dari berbagai
kelompok profesi yang memiliki berbagai karakteristik yang ingin mendapat
perhatian dan pemahaman Pemerintah. Tugas kami adalah mendengar,
memahami, dan merespons untuk perbaikan seluruh negeri dan
masyarakat Indonesia.
Saya yakin banyak pegawai pajak yang memiliki hati yang baik dan
komitmen kerja yang tinggi dan profesional seperti "Bujang" dalam buku
Tere Liye "Pulang" - atau seperti "Sri Ningsih dan Zaman" dalam bukunya
"Tentang Kamu".
Kita semua warga negara Indonesia dalam posisi di manapun dan peran
apapun memiliki kewajiban membangun dan membesarkan Indonesia. Mari
kita melakukan perjuangan membangun dan melanjutkan perjalanan
estafet dari para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.