Anda di halaman 1dari 12

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diet Rendah Protein

2.1.1 Penakit Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau


glomerular filtration rate (GFR) /laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Ada lima tahap penyakit ginjal.
Tiap tahap didasarkan adanya kerusakan ginjal dan nilai GFR yang merupakan
suatu pengukuran dari tingkat fungsi ginjal. Data dari beberapa pusat penelitian
yang tersebar di seluruh Indonesia melaporkan bahwa penyebab PGK adalah
glomerulonefritis, penyakit ginjal obstruksi dan infeksi, penyakit ginjal diabetik,
hipertensi, penyakit ginjal polikistik, dan penyebab yang tidak diketahui. (Foulks
CJ, 2005; Prodjosudjadi dkk, 2009; NKF, 2010).

Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu


perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan
oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri
dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi
yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien
dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.

Penatalaksanaan Diet pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik pada dasarnya


mencoba memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara
mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah.

2.1.2 Syarat Dalam Menyusun Diet

Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30
kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
1. Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
2. Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang
rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein
dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih
rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet
Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi
tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50
%. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan protein nabati
yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu.
3. Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan
lemak tidak jenuh.
4. Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari
ditambah IWL ± 500 ml.
5. Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan
cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara
dengan 1000-3000 mg Na/hari.
6. Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70
meq/hari.
7. Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari
8. Kalsium 1400-1600 mg/hari.

2.1.3 Bahan Makanan yang Dianjurkan

1. Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau,


kentang, tepungtepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
2. Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam. Bahan Makanan
Pengganti Protein Hewani Hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu,
susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk
pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian
asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan
kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan
dibahas.
3. Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine
rendah garam, mentega.
4. Sumber Vitamin dan Mineral Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien
mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium
dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah
dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang,
sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat
dimasak menjadi stup buah/coktail buah.

2.1.4 Bahan Makanan yang Dihindari

Sumber Vitamin dan Mineral Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika
pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah
bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian,
dan nangka. Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema
dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin,
penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.

2.2 Makanan Enteral

Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas


hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun
cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan
parenteral (Almatsier 2005).

Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk
makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur
normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat
menjadi pilihan.

Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral yaitu semua


makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna, baik melalui
mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang stoma gaster
(gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping itu, dikenal
pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian makanan
melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah
jalur masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna
dan kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008).

2.2.1 Klasifikasi Makanan Enteral

Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada


situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan
fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan
pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya
kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008)

Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan


menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula
komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang
diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi
larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap
pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK,
berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai.
Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya
tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata
2009).

2.2.3 Makanan Enteral Ditinjau Dari Jenis Diet dan Bahan Bakunya

Ditinjau dari jenis diet dan bahan bakunya, Simadibrata (2009)


mengelompokan makanan enteral FRS menjadi:
1) Makanan cair tinggi energi dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri
dari susu full cream, susu skim, susu rendah laktosa, telur, glukosa, gula
pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari buah.
2) Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah
laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang
3) Makanan cair tanpa susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari
telur, kacang hijau, wortel jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan
4) Makanan khusus untuk penyakit hati, rendah protein untuk penyakit ginjal,
rendah purin untuk penyakit gout dan diet diabetes.

2.2.4 Berdasarkan Konsistensinya

Almatsier (2005) mengelompokkan makanan cair menjadi 3 (tiga)


kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan makanan cair
kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah sakit (FRS) dan
formula komersial (FK).

Makanan cair penuh formula rumah sakit terdiri dari:

1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi pasien
dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal.
2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan
berserat.
3) 3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa
(laktose intolerance).
4) 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein susu.

2.2.5 Syarat Makanan Enteral

Mahan, et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut:

1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/mL.


2) 2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per
hari dan kebutuhan komponen gizi yang lain.
3) Osmolaritas makanan enteral sesuai dengan osmolaritas cairan tubuh.
4) Komponen penyusun bahan baku makanan enteral mudah diabsorpsi
sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan.
5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan USFDA
(1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan
rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 104 CFU/g dan
Moffit et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen
ke CFU/mL.

2.3 Bahan Formula Enteral

2.3.1 Tepung Beras

Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu.


Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari
dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Berdasarkan kandungan
amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras ketan (1-2%), beras
beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%) dan beras
beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997).

Beras akan mengalami perubahan aroma dan rasa khususnya, jika


disimpan pada suhu di atas 15 °C. Setelah 3 – 4 bulan disimpan, akan terjadi
perubahan rasa dan aroma. Suhu dari pendaringan dan gudang di Indonesia
biasanya lebih tinggi dari 15 °C, hal inilah yang mengakibatkan kerusakan aroma
dan penyimpangan rasa beras selama penyimpanan (Koswara, 2009).

Semakin kecil kadar amilosa atau semakin tinggi kadar amilopektin,


semakin lekat nasinya. Beras yang kadar amilosanya lebih besar dari 2 % disebut
beras bukan ketan atau beras biasa. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras
(bukan ketan) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu beras beramilosa tinggi (25
– 33 %), beras beramilosa sedang (20-25%), beras beramilosa rendah (9-20 %)
dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (2-9%) (Koswara, 2009).

Standar mutu tepung beras ditentukan menurut Standar Industri Indonesia


(SII). Syarat mutu tepung beras yang baik adalah : kadar air maksimum 10%,
kadar abu maksimum 1%, bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta
dengan bau dan rasa yang normal. Tepung ketan mempunyai mutu lebih tinggi
jika digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan. Proses
pembuatan tepung beras dimulai dengan penepungan kering dilanjutkan dengan
penepungan beras basah (beras direndam dalam air semalam, ditiriskan, dan
ditepungkan).

Komponen Zat Gizi Beras Giling per 100 gram


Syarat Mutu Tepung Beras (SNI 3549-2009)

2.

2.3.2 Susu Skim

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil
sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu
kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim dapat
digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori yang rendah dalam
makanannya karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu, dan skim
juga dapat digunakan dalam pembuatan keju rendah lemak dan yogurt (Buckle,
1987).

Kandungan zat gizi susu skim bubuk (tiap 100g bahan)


2.3.3 Gula

Menurut Darwin (2013), gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena


dapat larut dalam air dan langsung diserap tubuh untuk diubah menjadi energi.
Secara umum, gula dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Monosakarida Sesuai dengan namanya yaitu mono yang berarti satu, ia


terbentuk dari satu molekul gula. Yang termasuk monosakarida adalah
glukosa, fruktosa, galaktosa.
b) Disakarida Berbeda dengan monosakarida, disakarida berarti terbentuk
dari dua molekul gula. Yang termasuk disakarida adalah sukrosa
(gabungan glukosa dan fruktosa), laktosa (gabungan dari glukosa dan
galaktosa) dan maltosa (gabungan dari dua glukosa).

Gula Icing atau Icing Sugar atau Confection Sugar Tipe gula ini memiliki
tektur terhalus dalam jenis gula putih. Icing sugar merupakan campuran dari gula
pasir yang digiling hingga halus sehingga terbentuk tepung gula dan ditambahkan
tepung maizena agar tidak mudah menggumpal.

2.3.4 Minyak Kelapa

Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau
hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya
digunakan untuk menggoreng bahan makanan (Wikipedia, 2009). Minyak goreng
berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai
kalori bahan pangan.

Minyak Kelapa (VCO)Virgin Coconut Oil adalah minyak yang dihasilkan


dari buah kelapa segar. Yang mana dalam prosesnya memanfaatkan santan kelapa
yang telah diparut kemudian diproses lebih lanjut, Virgin Coconut Oil (VCO)
dapat dihasilkan tidak hanya menggunakan proses panas yang tinggi, Banyak
alternatif lain yang dapat digunakan dalam pembuatan minyak kelapa ini. Virgin
Coconut Oil (VCO) bermanfaat bagi kesehatan tubuh, hal ini disebabkan Virgin
Coconut Oil (VCO) mengandung banyak asam lemak rantai menengah (Medium
Chain Fatty Acid / MCFA). Virgin Coconut Oil (VCO) juga memiliki sejumlah
sifat fisik yang menguntungkan. Di antaranya, memiliki kestabilan secara kimia,
bisa disimpan dalam jangka panjang dan tidak cepat tengik, serta tahan terhadap
panas. Komponen utama dari Virgin Coconut Oil (VCO) adalah asam lemak
jenuh dan memiliki ikatan ganda dalam jumlah kecil, Virgin Coconut Oil (VCO)
relatif tahan terhadap panas, cahaya dan oksigen. Kandungan paling besar dalam
minyak kelapa adalah asam laurat (Hapsari, 2007).

2.3.5 Minyak kanola

Minyak kanola adalah minyak goreng pilihan bagi banyak konsumen


karena minyak ini sangat sehat. Ia memiliki kandungan lemak jenuh yang paling
kecil dibandingkan dengan minyak goreng lainnya, dan setengah dari kandungan
yang dimiliki oleh minyak zaitun, juga tidak mengandung “trans fat” atau
kolesterol. Bahkan penelitian menunjukkan bahwa minyak Kanola dapat
membantu melindungi jantung ketika digunakan sebagai pengganti lemak jenuh.

Minyak kanola juga memiliki keuntungan-keuntungan lainnya. Tekstur


ringan dan rasa netral ini memungkinkan bahan lainnya untuk tampak lebih
menonjol, seperti dalam bumbu selada, saus untuk sayur-sayuran mentah dan
bumbu perendam untuk daging atau ikan. Minyak kanola memberikan tekstur
yang lembut terhadap makanan yang dipanggang seperti kue dan roti, dan titik
didihnya yang tinggi membuatnya ideal untuk menggoreng dan menumis. Minyak
kanola cocok untuk semua jenis resep dan masakan.

2.3.6 Matodextrin

Maltodekstrin merupakan larutan yang terkonsentrasi dari sakarida yang


diperoleh dari pati – pati yang ada atau yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan
penambahan asam maupun enzim. Kebanyakan produk ini ada dalam bentuk
kering dan hampir tak terasa (Blanchard and Katz, 1995). Maltodekstrin pada
dasarnya merupakan senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri dari
campuran gula – gula dalam bentuk sederhana (mono dan disakarida dalam
jumlah kecil, oligosakarida dengan jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil
oligosakarida berantai panjang (Anonymous, 2002). Nilai DE (Derajat pemecahan
pati menjadi glukosa) maltodekstrin berkisar antara 3 – 20 (Hui, 1992).

Maltodekstrin sangat baik digunakan sebagai bahan pengisi untuk


meningkatkan volume dalam sistem pangan. Umumnya, maltodekstrin digunakan
dalam campuran bubuk kering, makanan ringan, produk – produk roti, permen,
keju, pangan beku, dan saos karena kemudahannya membentuk dispersi kelarutan
cepat, higroskopis rendah, meningkatkan volume dan sebagai pengikat.
Maltodekstrin juga dapat digunakan dalam produk – produk susu (Whistler and
Miller, 1999).

Menurut Hui (1992), maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena


memiliki sifat – sifat tertentu. Sifat – sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain
maltodekstrin mengalami proses dispersi yang cepat, memiliki daya larut yang
tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, mampu
membentuk body, sifat browning rendah, mampu menghambat kristalisasi dan
memiliki daya ikat yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anonymous. 2002. Maltodekstrin. http://www.encyclopedia.com. [8 Oktober


2009]

Buckle, 1987. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta

Darwin Philips. 2013. Menikmati Gula Tanpa Rasa Takut. Perpustakaan Nasional:
Sinar Ilmu

Escot-Stump S. 1998. Nutrition and Diagnosis-Related Care. Williams & Wilkins.

Hapsari, N. 2007, "Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Dengan Metode


Sentrifugasi”, Jurnal, Teknik Kimia UPN Veteran, Surabaya.

Hui, Y.H., 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. Jhon Wiley and
Sons Inc. New York

Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.


Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 131 hlm.

Lukito W, Tambunan V, Gunawan I, Ambarwati FD. (editor). 2008. Pedoman


Praktis Pemilihan Formula Nutrisi Enteral. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Spesialis Gizi Klinik Indonesia.

Simadibrata, M. (2004) Optimalisasi Nutrisi Enteral Pasien Rawat Inap, Bagian


Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta.

Suprapti L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta

Tarwotjo C. S. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Grasindo.

USFDA. US Food and Drug Administration. 1995. Compliance program guidance


manual, Chapter 21 Program 7321.002. Washington DC : FDA
http://www.fda.gov/ICECI/EnforcementActions/BioresearchMonitoring
[22 Januari 2012].

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Zakaria. 2012. Penambahan Tepung Daun Kelor Pada Menu Makanan SehariHari
Dalam Upaya Penanggulangan Gizi Kurang Pada Anak Balita. Makassar:
Poltekkes Kesehatan Kemenkes Makassar.

Anda mungkin juga menyukai