Anda di halaman 1dari 12

Tugas Mandiri II

Konsep Masa Magang Kognisi Dalam Teori Belajar Konstruktivistik

Menurut Lev Vygotsky

Dosen Pengampu : Ir. Untari Prihatiningsih, M.Pd.K

NIDN : 2313086701

Nama : Nanda Christiani Ayudea Yahya


NIM : 102.17.021
Mata Kuliah : Teori Belajar Dalam PAK

Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia


Semarang
2019

BAB I
PENDAHULUAN

Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah


pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru
adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan
bagaimana mengasimilasi pengalaman, pengetahuan, dan pengertiannya dan
kesiapan mereka untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini. Penyelidikan
atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode
konstruktivisme. Konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti
kesenangan pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal.

Vgotsky adalah orang yang dianggap pionir dalam filosofi


konstruktivisme, Vigotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai
pembelajaran kognisi sosial (social cognition) Pembelajaran kognisi sosial
menyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan
individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies diatas dunia ini yang memiliki
kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak manusia berkembang dalam
konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenanya, perkembangan pembelajaran
anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk budya
dari lingkungan keluarganya di mana ia berkembang.

Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip


yaitu Pembelajaran Sosial (Social Learning), ZPD (Zone of Proximal
Development), Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship) dan
Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning).

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai salah satu prinsip
Pembelajaran Sosial menurut Lev Vygotsky, yaitu prinsip Masa Magang Kognitif
( Cognitive Apprenticeship ) dalam dunia pendidikan.

BAB 2
PEMBAHASAN

Latar Belakang Teori Lev Vygotsky (1896-1934)

Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di


salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan
berkuturunan Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun.
Sebelumnya, ia lebih menyukai dunia sastra. Awalnya, ia menjadi guru sastra di
sebuah sekolah, namum pihak sekolah juga memintanya untuk mengajarkan
psikologi. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal di
fakultas psikologi sebelumnya. Namun, inilah skenario yang membuatnya
menjadi tertarik untuk menekuni psikologi, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliah
di program studi psikologi Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925.
Judul disertasinya mengenai ”Psychology of Art”.

Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal


dari Rusia dan hidup pada masa revolusi Rusia. Vygotsky
dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya di dunia
psikologi kerap menghadapi rintangan oleh pemerintah
Rusia saat itu. Perkembangan pemikirannya meluas setelah
ia wafat pada tahun 1934, dikarenakan menderita penyakit
TBC. Vygotsky pun sering dihubungkan dengan psikolog Swiss bernama Piaget.
Lahir pada masa yang sama dengan Piaget, seorang psikolog yang juga
mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang membangun pengetahuan
mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika masih
berusia tigapuluh tujuh tahun.

Vygotsky merupakan satu di antara tokoh konstruktivis. Konstruktivisme


adalah argumen bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari seseorang yang
mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang yang
membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus.
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain
dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir
dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami
dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki
fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan
masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat
itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua
selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain
secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin
anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama
dengan anggota lain dalam kebudayaannya.

Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional


maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional,
sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi
aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer dan
mengenal huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal
memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak.
Menurut Vygotsky, keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental
berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui
pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam
suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi
matang.

Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship). Suatu proses yang


menjadikan anak sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui
interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih
pandai. Berkaitan dengan teori masa magang kognisi Vygotsky, para kontruktivis
juga mengemukakan pendapatnya mengenai masa magang, diantaranya adalah
Albert Bandura, Allan M. Collins dan John Seely Brown.

Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship)

Teori Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship Theory)

Albert Bandura pada tahun 1997 mengajukan sebuah teori yang disebut
teori pemodelan tingkah laku. Padanya diajukan pula mengenai masa magang
kognitif (cognitive apprenticeship). Menurut teori masa magang kognitif ini,
seseorang dapat mempelajari suatu keterampilan melalui orang lain yang telah
memiliki keahlian tentang keterampilan tersebut. Teori tentang magang kognitif
ini muncul sebagai sebuah desain untuk mengatasi hambatan saat seorang yang
ahli mengenai keterampilan tertentu seringkali gagal
untuk mengajarkan keterampilan itu pada orang lain
karena adanya masalah-masalah implisit terkait
keterampilan tersebut.

Sebagai salah satu teori yang termasuk ke


dalam kontruktivisme, cognitive apprenticeship
(masa magang kognitif) berperan untuk memudahkan
siswa dalam melakukan pengamatan, mencoba, dan
berlatih dengan keterampilan tersebut dengan bantuan guru atau ahli. Akan tetapi,
menurut Bandura, agar siswa dapat benar-benar menguasai keterampilan yang
diajarkan, mereka juga harus mempunyai perhatian, dan memiliki motivasi belajar
yang kuat. Selain itu, keterampilan harus diajarkan secara kontekstual agar benar-
benar berhasil dengan baik.

3 Tahap dalam Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship)

Menurut para ahli konstruktivis, dalam masa magang kognitif (cognitive


apprenticeship), ada 3 tahap yang harus tersedia bagi siswa selama mereka
mempelajari sebuah keterampilan, yaitu:
1. Tahap kognitif (pada tahap ini siswa mengembangkan pemahaman
tentang pengetahun/keterampilan deklaratif).

2. Tahap asosiatif (pada tahap ini kesalahan-kesalahan dan kekeliruan


pada tahap kognitif kemudian disadari oleh siswa, dan mulai dikurangi
sementara hal-hal yang bersifat penting bagi keterampilan tersebut
akan mengalami penguatan-penguatan).

3. Tahap otonom (pada tahap ini keterampilan yang dipelajari semakin


diasah dan dipertajam sehingga bersifat otonomous).

Dalam pengajaran keterampilan dengan masa magang kognitif (cognitive


apprenticeship), seorang siswa dapat mengamati ahli yang sedang melakukan
suatu keterampilan yang akan dipelajari, sambil mendengarkan penjelasan-
penjelasan yang dilakukan oleh ahli (guru) tersebut. Kemudian, siswa mencoba
melakukan seperti apa yang dilakukan oleh guru di bawah pengawasan guru
sambil diberikan koreksi-koreksi jika melakukan kekeliruan dan penjelasan
tambahan yang diperlukan.

Allan M. Collins dan John Seely Brown telah mengembangkan 6 macam


metode mengajar yang didasarkan pada teori masa magang kognitif milik Albert
Bandura, yaitu pemodelan, perancahan, pembinaan, refleksi, artikulasi dan
eksplorasi. 6 Metode Mengajar yang berakar dari Teori Masa Magang Kognitif.

1. Modelling (Pemodelan)

Modeling adalah metode mengajar


suatu keterampilan yang dilakukan
oleh guru dengan cara
menunjukkan keterampilan itu
secara eksplisit sehingga siswa
mendapat pengalaman dan membangun
model konseptual dari tugas yang diberikan kepada mereka.
2. Coaching (Pembinaan)

Pembinaan atau coaching adalah metode mengajar keterampilan di mana


siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh guru tentang suatu
keterampilan, kemudian guru memberikan umpan balik sehingga keterampilan
siswa semakin terbentuk. Guru dapat mengembangkan struktur tugas tertentu
sehingga siswa lebih cepat berkembang keterampilannya.

3. Scaffolding (Perancahan)

Pengajaran dengan perancahan adalah suatu tindakan mengajar yang


dilakukan guru dengan menempatkan pengajaran keterampilan sedemikian rupa
sehingga lebih mudah dipelajari oleh siswa. Untuk ini guru dapat memberikan
bantuan dalam bentuk manipulatif, kegiatan belajar, ataupun kerja kelompok.
Melalui perancahan, guru membantu siswa mengerjakan bagian-bagian yang
belum mampu mereka kerjakan terkait keterampilan yang akan dipelajari. Penting
bagi guru untuk mengetahui bagian-bagian keterampilan mana yang belum
mampu dilakukan oleh siswa atau yang terlalu sulit untuk mereka lakukan.

4. Articulation (Artikulasi)

Metode mengajar keterampilan melalui artikulasi melibatkan 3 macam


artikulasi, yaitu inkuiri, thinking outloud (menyuarakan proses-proses yang
berlangsung dalam pemikiran ke dalam kata-kata sebagai penjelasan saat
memodelkan suatu keterampilan), dan siswa berpikir kritis.

5. Reflection (Refleksi)

Metode mengajar dengan refleksi memungkinkan siswa untuk


membandingkan proses pemecahan masalah atau proses belajar mereka akan
suatu keterampilan dengan para ahli (dapat guru atau teman yang lebih mahir).
Dapat juga refleksi dilakukan untuk membandingkan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan yang telah mereka lakukan pada proses belajar suatu
keterampilan sebelumnya dengan latihan yang baru saja mereka lakukan. Melalui
metode mengajar reflektif ini siswa dapat melihat kembali apa yang telah dapat
dan belum dapat mereka lakukan sehingga mereka memperoleh umpan balik
untuk melakukan perbaikan-perbaikan penguasaan keterapilan.

6. Exploration (Eksplorasi)

Strategi mengajar dengan eksplorasi memungkinkan siswa untuk memiliki


kesempatan memecahkan masalah mereka sendiri.

Sebagai tambahan agar pengajaran keterampilan melalui masa magang


kognitif (cognitive apprenticeship) dapat berhasil dengan baik, maka tugas-tugas
yang diberikan dalam mengajarkan suatu keterampilan kepada siswa oleh guru
haruslah tetap berada pada Zone of Proximal Development (Zona Perkembangan
Proksimal) mereka.

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, masa magang kognisi juga


diterapkan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan dan Perguruan Tinggi.
Ada banyak jurusan dalam Sekolah Menengah Kejuruan yang menjadi prakter
dalam masa magang. SMK dan PT melakukan masa magang ini untuk
mempraktekkan pembelajaran yang telah dilakukan dan juga memberikan
pengalaman kepada peserta didik untuk mengerti bagaimana praktik lapangannya.
Di antaranya adalah sebagai berikut : j

Mahasiswa Perguruan Tinggi


yang melaksanakan masa
magang kognisi. Dalam hal ini
mahasiswa jurusan arsitek
yang sedang melakukan
magang dalam pembangunan
sebuah gedung.
Mahasiswa Perguruan Tinggi
yang melaksanakan masa
magang kognisi. Dalam hal ini
sedang melakukan penyuluhan
kepada anak-anak tentang
tanggap bencana.

Siswa Menengah Kejuruan


sedang melakukan praktik.

Siswa Menengah Kejuruan


sedang melakukan praktik.

Dalam hal ini adalah siswa


jurusan tata boga yang
melaksanakan magang di
sebuah restoran atau hotel.
KESIMPULAN

Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship) adalah suatu proses


yang menjadikan anak sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang
lebih pandai. Berkaitan dengan teori masa magang kognisi Vygotsky, para
kontruktivis juga mengemukakan pendapatnya mengenai masa magang,
diantaranya adalah Albert Bandura, Allan M. Collins dan John Seely Brown.

Ketiga tokoh kontruktiv ini mengemukakan pandangan mengenai masa


magang kognitif yang saling melengkapi. Teori hanyalah teori apabila tidak di
praktikkan. Dalam dunia pendidikan di Indonesia, masa magang kognisi bukanlah
hal yang asing untuk dilakukan. Praktik magang kognisi sudah diterapkan dalam
proses pendidikan di Indonesia. Seperti beberapa contoh dalam pembahasan, masa
magang sudah berjalan di Indonesia. Baik untuk SMK maupun mahasiswa di
Perguruan Tinggi.

Melihat banyaknya praktek dari masa magang kognitif ini dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa masa magang kognitif adalah hal yang penting
dilakukan dalam dunia pembelajaran. Pada masa ini, peserta didik akan
mengaplikasikan ilmu mereka dan mendapat pengalaman dari orang lain yang
sudah ahli dalam melakukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Prihatiningsih, Untari. Buku Ajar Teori Belajar Dalam PAK. ( Semarang :


Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia, 2019 )

http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori-konstruktivis/

(Diakses pada 30 April , pukul 15.37 WIB)

http://www.learning-theories.com/vygotskys-social-learning-theory.html

(Diakses pada30 April, pukul 17.47 WIB)

Anda mungkin juga menyukai