Anda di halaman 1dari 11

Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia1

Faizah Ali Syibromalisi


Email. faizahalis@gmail.com

Pendahuluan
Pada laporan indeks pembangunan manusia (IPM) 2011 yang dirilis united
nation development program (UNDP), Indonesia dinyatakan hanya mendapatkan
angka 0,617 dan merosot jauh keposisi 124 dari 187 negara. IPM merupakan ukuran
keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dengan melihat tiga indikator
utama, yakni pembangunan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Dengan peringkat
seperti diatas, dilingkup Negara-Negara ASEAN, Indonesia hanya menempati posisi
keenam dibawah singapura (26), bruney (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan
Filipina (112). Indonesia hanya lebih baik ketimbang Negara-negara terbelakang di
Asia Tenggara seperti Vietnam (0,593), laos (0,524) kamboja (0,523) dan Myanmar
(0,483).
Kalau kita kaji kembali ajaran agama kita, tiga faktor yang dijadikan sebagai
tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan bangsa, yaitu ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan, merupakan hal yang sangat mendapat perhatian dalam Islam bahkan
dianggap sebagai faktor penting dalam pembangunan manusia itu sendiri, sebelum
menuju pada pembangunan bangsa. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“barang siapa diantara kamu bangun dipagi hari dengan perasaan aman, sehat
tubuhnya dan cukup persediaan makanan pokoknya untuk hari itu, seakan-akan ia
telah diberi semua kenikmatan dunia” (HR. Tirmidzi).
Tentu saja menurut bayangan penulis, sosok manusia yang dimaksud hadis
diatas adalah manusia yang memiliki kepribadian yang baik, yaitu manusia yang
memiliki perasaan bebas dan merdeka dari berbagai rasa ketakutan, jiwanya tidak
terpengaruh oleh tekanan dan beban hidup, manusia dengan tauhid yang bersih,
sehingga ia bisa hidup sehat jasmani dan rohani. Disisi lain ekonominya juga
tercukupi meskipun hanya cukup untuk hari itu saja. Namun hadis ini
menggambarkan keadaan perasaan orang itu “seakan-akan ia telah diberi semua
kenikmatan dunia.” Ini adalah sebuah penggambaran dari perasaan seseorang yang
mampu bersyukur kepada sang pencipta .

1
Disampaikan dalam acara Seminar Pendidikan Pra Nikah “Membangun Keluarga Bahagia,
Mewujudkan Generasi Berkualitas” pada hari Rabu, 17 September 2014 yang diselenggarakan oleh
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1
Tentu saja manusia dengan kriteria tersebut diatas tidak terbentuk secara
alami, tapi melalui melalui berbagai proses panjang, yang hanya dapat dicapai
melalui tarbiyah insaniyah itu sendiri. Pendidikan yang menyeluruh dan bukan
sebagian saja. Pembentukan sosok manusia seperti tersebut diatas bukan hanya
dimulai sejak manusia itu lahir, tapi pembentukannya sudah dimulai jauh sebelum
terbentuknya ikatan perkawinan yang menyebabkan lahirnya sosok manusia dengan
kriteria tersebut diatas.
Sebenarnya banyak sekali tuntunan agama yang memandu kita mencari
pasangan (calon istri atau calon suami) yang akan dijadikan patner untuk
menciptakan keluarga yang bahagia, harmonis, damai sejahtera. keluarga yang
berkwalitas yang tercukupi sandang, pangan dan papannya secara memadai dan
secara batin, yaitu keluarga yang memiliki perasaan aman, tentram dan damai.
Keluarga semacam ini akan melahirkan generasi yang berkwalitas, yang menjadikan
bangsa Indonesia bangsa yang bermartabat, punya kehormatan dan harga diri ketika
berhadapan dengan bangsa-bangsa lainnya.
Namun disisi lain kenyataan di masyarakat menunjukan fakta yang berbeda
yaitu meningkatnya angka perceraian tahun demi tahun, dimana diantara pemicunya
adalah KDRT suami terhadap istri atau sebaliknya. Perceraian terjadi mungkin karena
kurang memahami arti sebuah perkawinan dalam agama dan tujuannya. Sedangkan
penyebab mengapa seorang suami tega melakukan tindak kekerasan pada perempuan
yang dikawini antara lain adalah pertama citra diri yang buruk pada laki-laki, karena
rendahnya pendidikan mereka,2 kedua pandangan terhadap perempuan yang stereotip
yaitu perempuan pasif dan dapat dikendalikan. Ketiga warisan dari keluarga. Seorang
pria bisa melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya jika memiliki pengalaman
masa kecil yang buruk, bisa berupa anak tersebut yang mengalami sendiri atau ia
menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya.
Makalah singkat ini ditulis bukan untuk membahas bagaimana membentuk
keluarga sakinah , tapi akan membahas bagaimana mencari pasangan yang sesuai
dengan konsep Islam sehingga tercipta keluarga yang sakinah, berkwalitas, yang akan
melahirkan anak-anak yang juga sakinah dan tangguh.

2
Khusus untuk sektor pendidikan, data menunjukkan bahwa rata-rata lama bersekolah orang
Indonesia ditahun 2010 hanya sekitar 5,7 tahun dan tahun 2011 hanya 5,8 tahun. Atau rata-rata hanya
„hampir‟ lulus sekolah dasar (SD) . sementara itu, data BPs 2010 menunjukkan bahwa 52 persen
tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD atau tidak tamat SD, dan 20 persen berpendidikan
SMP atau tidak tamat. Artinya, 72 persen dari tenaga kerja Indonesia berdaya saing rendah akibat
keterbatasan pada akses pendidikan. Padahal anggarran pendidikan telah mencapai 20 persen atau Rp.
246 trilliun dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) yang ada.

2
Tujuan perkawinan
Menikah dan membangun keluarga adalah naluri dasar manusia. Sebagai
mahluk, manusia ditakdirkan memiliki pasangan atau berpasangan. Sejak muda naluri
untuk berpasangan tumbuh dan mendorong pelakunya berupaya bertemu dengan
pasangannya. Itulah ketetapan Ilahi:” Segala sesuatu telah kami ciptakan berpasang-
pasangan supaya kamu mengingat ( kebesaran Allah)” ( QS adz –Dzariat [51]:49.
Berikut ini beberapa tujuan perkawinan terkait dengan judul tulisan ini diantaranya:
1. Fungsi Reproduksi
Allah SWT berpesan kepada para suami dalam QS. al-Baqoroh ayat 223:
Artinya: “Istri-istri kamu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah (garaplah) tanah tempat bercocok tanam kamu ,kapan dan bagaimana
saja kamu kehendaki”.
Untuk dapat memanen hasil yang baik, seorang petani tentu harus menggarap
ladangnya dengan baik, memilih benih yang baik dan memberi pupuk yang tepat,
sehingga tanahnya menjadi subur dan hasil pertaniannya berlimpah. Pesan yang
diperoleh dari ayat ini adalah seseorang itu harus pandai-pandai memilih pasangan,
kalau menginginkan keluarganya baik, harmonis dan memberi perasaan sakinah
mawaddah dan rahmah. kalau yang diharapkan dari petani adalah buah yang lezat,
maka yang diharapkan dari pasangan adalah anak yang sehat dan kuat, beriman dan
bertaqwa serta dapat menghadapi berbagai tantangan hidup
2. Fungsi keagamaan
Menurut Quraish Shihab, tidak ada fondasi yang lebih kokoh untuk
kehidupan bersama melebihi nilai-nilai agama. Karena itu nilai-nilai agama harus
menjadi landasan sekaligus menjadi pupuk yang menyuburkan hidup berkeluarga.
Hadist Nabi SAW:” Siapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh
imannya, maka hendaklah ia memelihara diri pada setengah sisanya.( HR At-
Thabarani). Dalam perkawinan suami istri harus saling menumbuh suburkan nilai-
nilai agama dan saling berpesan untuk tidak terjerumus dalam dosa. Bahkan
kehidupan keluarga itu sendiri harus menjadi perisai dari aneka kemungkaran.
Melalui keluarga nilai- nilai agama diwariskan kepada anak cucunya.
3. Fungsi Sosial Budaya
Fungsi ini diharapkan dapat mengantar seluruh anggota keluarga memelihara
budaya bangsa dan memperkayanya. Ketahanan bangsa dan kelestarian budaya,
hanya dapat tercapai melalui ketahanan keluarga yang antara lain diwujudkan dengan
upaya semua anggota keluarganya untuk menegakkan yang ma‟ruf, mempertahankan
nilai-nilai luhur masyarakat serta kemampuan menyeleksi yang terbaik dari apa yang
datang dari masyarakat yang lain. Ajaran Islam secara tegas mendukung setiap hal

3
yang dinilai masyarakat sebagai sesuatu yang baik lagi sejalan dengan nilai-nilai
agama. Al-Qur‟an memerintahkan agar ada satu kelompok, bahkan ada satu pribadi
mengemban tugas menyebar luaskan ma‟ruf dari keluarga masing-masing, maka
fungsi ini mmerupakan salah satu fungsi utama keluarga.
4. Fungsi Pembinaan Lingkungan
Manusia adalah mahluk social yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.
Lingkungan adalah satu kekuatan yang dapat menjadi positif atau negatif yang
mempengaruhi anggota keluarga. Keluargapun dapat memberi pengaruhnya terhadap
lingkungannya. Keluarga diharapkan memiliki kemampuan menempatkan diri secara
serasi, selaras dan seimbang sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Keluarga
diharapkan dapat berpartisipasi dalam pembinaan lingkungan yang sehat dan positif,
sehingga lahir nilai dan norma-norma luhur yang sesuai dengan nilai ajaran agama
dan budaya masyarakat.
Itulah fungsi-fungsi keluarga yang didambakan dewasa ini dan itulah yang
menjadi tanggung jawab suami-istri untuk diwujudkan dalam rumah tangga mereka.3
Berikut ini akan dipaparkan kiat-kiat memilih pasangan yang dianjurkan agama
dalam rangka membangun keluarga bahagia dan sejahtra.

Memilih Pasangan
Membangun dan membina keluarga yang terdiri dari suami dan istri,
memerlukan perhatian. Karena pembangunan keluarga selain berhubungan erat
dengan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, juga berhubungan dengan kwalitas
anak yang akan dilahirkan dari keluarga tersebut. Berikut ini diuraikan penjelasan
tentang kriteria calon istri dan calon suami:
1. Asas pemilihan calon isteri
Dalam pemilihan calon isteri ada beberapa criteria diantaranya:
a. Pemilihan atas dasar agama
Rasulullah saw. memberikan tuntunan kepada lelaki yang ingin menikah agar
memilih isteri yang taat berpegang kepada agama, hingga ia tahu hak dan
kewajibannya sebagai istri dan ibu, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:“Wanita
dinikahi karena empat sebab; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Maka pilihlah wanita yang berpegang kepada agama agar kamu
selamat”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Kecantikan, keturunan dan harta termasuk kriteria dalam pemilihan jodoh.
Allah menjadikan manusia secara fitrah menginginkan kecantikan. Oleh sebab itu

3
M. Quraish Shihab, Perempuan, Lentera Hati, Jakarta: 2005.

4
dalam hal memilih jodoh, kebanyakan kaum lelaki lebih mengutamakan kecantikan
dari syarat-syarta lain. tidak mengherankan kalau terdapat banyak lelaki yang tertipu
karena kecantikan seorang wanita dan akhirnya terjatuh ke lembah kehinaan. Begitu
juga jika perkawinan itu didasarkan pada kekayaan dan keturunan, kemungkinan
besar kekayaan dan keturunan itu akan menjadikan manusia angkuh dan
sombongWanita yang taat beragama pasti berakhlak mulia. Ia adalah wanita yang
senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan menjaga prilakunya di hadapan teman-
temannya. Namun dikalangan orang Arab ada sifat-sifat wanita yang tidak terpuji,
sehingga harus dijauhi dari menikahinya.4 Sifat-sifat itu adalah:
1) Annânah: Wanita yang senantiasa mengeluh
2) Mannânah: suka mengungkit perbuatannya terhadap suami
3) Hannânah: berselingkuh.
4) Haddâqah: pintar membujuk dan merayu ketika menginginkan sesuatu,
sehingga suami terpaksa selalu memenuhi keinginannya.
4 Barrâqah: selalu sibuk berhias diri dan bersolek tanpa memperhatikan
tugasnya sebagai ibu dan anak.
5 Syaddâqah: terlalu banyak bicara5
b. Pemilihan atas dasar keturunannya
Wanita yang berasal dari keturunan yang baik akan melahirkan kerukunan
dalam rumah tangga. Rasulullah saw. melarang mengawini perempuan yang cantik,
tetapi lahir dari asal keturunan yang tidak baik. Rasulullah saw. mengingatkan dalam
hadisnya: “waspadalah kamu terhadap sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran
binatang. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sayur
yang tumbuh ditimbunan kotoran binatang? Rasulullah berkata: Wanita yang cantik
tapi berasal dari turunan yang tidak baik”. (Riwayat al Dâraquthni dari al- Wâqidy).6
c. Pemilihan atas dasar kesehatan rokhani dan jasmani
Kesehatan ibu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan alat reproduksi
dan pada kondisi kesehatan rokhani dan jasmani anak yang dilahirkannya. Seorang
ibu hamil yang tidak sehat rokhaninya seperti mengalami stress berat, depressi aatau
penyakit mental lainnya, akan berpengaruh pada kesehatan psikologis anak yang di
kandungnya. Selanjutnya kesehatan jasmani ibu ibu juga akan mempengaruhi
kwalitas air susu ibu yang yang menjadi makanan pokok bayi di usia balita.

4
Huzaimah T Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 168
5
A-San‟âny, subul as Salam, Jilid III, h. 111
6
Hadis ini meskipun dhaif, sebaiknya dijadikan pedoman, karena keturunan yang tidak baik
terkadang dapat menurun kepada anak cucu. Menurut Jumhur ulama hadis dhaif dapat dijadikan
pedoman dalam hal bukan menentukan hukum, yakni fi fadhâil al „amâl.

5
Mengabaikan kesehatan ibu berarti mengabaikan kesehatan dan proses tumbuh
kembang anak selanjutnya.
d. Menghindari perkawinan dengan kerabat yang terdekat
Dalam memilih jodoh, diutamakan wanita yang tidak ada kaitan dengan nasab
dan keluarga. Tujuannya untuk menjaga kecerdasan anak, menjamin keselamatan
jasmani dari penyakit menular dan cacat bawaan akibat keturunan. Al -Syafi‟i
mengatakan bahwa sunnah hukumnya mengawini wanita asing. Diantara sebab
adanya himbauan untuk menghindari perkawinan dengan kerabat yang terdekat
menurut al- Zanjani adalah karena diantara tujuan perkawinan ialah untuk
memperluas hubungan antara satu qabilah dengan qabilah-qabilah lainnya, sehingga
mereka bisa saling saling membantu dan tolong menolong dalam berbagai masalah,
terutama ketika mengahadapi serangan musuh.7
2. Asas Pemilihan Calon Suami
Sebagaimana telah disebutkan di atas adanya asas dasar pemilihan dan kriteria
calon istri yang shalihah, berikut ini ada beberapa kriteria yang di jadikan rujukan
dalam upaya memilih calon suami yang shalih. Diantaranya :
a. Agama dan akhlak
Agama dan akhlak harus dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan
pasangan yang akan dijadikan suami, bukan ketampanan dan kekayaanya saja. Itu
sebabnya orang tua harus di ikut sertakan dalam penentuan calon pasangan. Orang tua
juga diminta untuk bertindak tegas terhadap anak gadisnya jika datang lamaran dari
orang yang dikenal baik akhlaknya. Hal ini berasarkan sabda Nabi saw.:“Apabila
datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya, maka
kawinkanlah dia dengan anak perempuanmu, jika tidak, niscaya akan mendatangkan
fitnah di bumi ini dan akan menimbulkan kerusakan yang mengerikan.” (Riwayat al-
Tirmidzi, Ibnu Majah dan al Hakim dari Abi Hurairah)
b. Sehat rokhani dan jasmani
Calon suami yang dipilih adalah laki-laki yang sehat jasmani dan rohani, tidak
mempunyai penyakit yang bersifat rokhani seperti stress, depresi atau bahkan gila.
Tidak punya penyakit terkait dengan jasmani dan potensinya seperti impotent. Lelaki
yang menderita penyakit-penyakit tersebut diatas, tidak dapat melakukan fungsinya
sebagai suami yang berkewajiban memelihara dan melindungi istri dan anak-anaknya
kelak..8. Hanya manusia yang sehat rohani dan jasmani saja yang mampu
menjalankan kewajibannya dengan baik untuk melindungi dan membimbing
keluarganya

7
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut: Dar al Ma‟rifah, t.th.), Juz II, h. 38
8
Al-sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, h. 20

6
c. Bertanggung jawab
Sifat bertanggung jawab harus menjadi perhatian ketika mencari pasangan,
karena ia yang akan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan keluarganya. Faktor ekonomi ikut memiliki peran besar bagi
kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga yang harmonis. Hak nafaqah adalah
kewajiban mutlak suami yang harus diberikan kepada isteri baik sandang, pangan
ataupun papan. Dalam arti lain, suami memiliki kewajiban untuk memberikan biaya
rumah tangga, dan semua keperluan isteri dan anak dan berbagai keperluan lainnya
seperti biaya pendidikan.
Suami dalam fungsinya sebagai pemimpin keluarga bertanggung jawab
kepada Allah atas kesejahtraan dan kebahagiaan pasangannya lahir batin dan dunia
akhirat. Allah SWT berfirman :Artinya:” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.‟ (Qs an-Nisa 4/34). Imbalan dari kepemimpinan laki-
laki adalah ketaatan istri kepada sumi. Istri yang shalihah tentu mentaati suaminya
yang berperan menjadi kepala rumah tangga. Layak di ingat ketaatan disini tentu
terkait dengan hal-hal yang dibolehkan agama. Diluar ajaran agama tentu tidak ada
lagi ketaatan, meskipun perintah itu datang dari suami. Sebab Rasul bersabda: “Tidak
ada ketaataan pada seorang mahluk pun pada hal-hal yang menyalahi perintah
Allah.” Ketaatan istri yang tulus adalah bentuk penghormatan yang haqiqi dari
seorang istri terhadap suaminya sebagai imbalan dari sikap qowwam suami kepada
istri. Sifat qowwam dalam ayat ini terkait dengan pemenuhan tanggung jawab seorang
suami kepada istrinya. Suami dianggap tidak qowwam jika sikap dan tanggung
jawabnya tidak sempurna atau tidak berkesinambungan. Dengan kata lain tidak ada
ketaatan tanpa adanya sikap suami untuk melindungi istri dari berbagai bahaya, baik
yang mengancam dirinya atau yang mengancam keutuhan keluarga mereka.
Tidak ada ketaatan tanpa tanggung jawab memberi nafkah, kecuali jika suami
memang karena suatu hal seperti sakit atau menjadi korban pemutusan hubungan
kerja, menjadikan dirinya tidak mampu memberi nafkah istrinya secara wajar. Hal ini
tentu berbeda dengan sikap dan situasi suami yang dengan sengaja tidak mau
menafkahi istrinya, baik karena kekikirannya atau ada niat-niat tertentu yang
disembunyikannya dari pasangannya untuk memperkaya diri sendiri atau untuk hidup
dengan perempuan lain yang lebih muda, setelah pasangannya lanjut usia, atau karena
kemalasannya mencari nafkah, padahal fisiknya kuat dan sehat
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam hal memilih jodoh, Islam telah
meletakkan panduan-panduan yang jelas bagi lelaki dan perempuan untuk

7
mendapatkan pasangan hidup yang dianggap sesuai menurut tuntutan agama. Agama
menjadi dasar pertama diantara syarat-syarat lain sangat dan penting diperhatikan
dalam pemilihan jodoh. Dengan berpegang kepada agama, suami akan bisa
berinteraksi dengan baik dengan istrinya meskipun dalam keadaan yang tidak
harmonis. (mu‟sharah bi al ma‟ruf”) Firman Allah yang artinya: “dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” QS. an-Nisa‟ 4/19:. At-Thabari
menyatakan bahwa mu‟asyarah bil ma‟ruf pada prinsipnya adalah berahlak yang baik
kepada istrinya dan memperlakukannya sesuai dengan tuntunan agama dan apa yang
berlaku di masyarakatnya, dengan cara memberikan hak-haknya. Pendapat ini
didukung oleh as Suyuti, dimana ia menyatakaan bahwa “Pergaulan yang baik antara
suami istri harus dimaknai dengan perkataan yang baik pemenuhan nafakah dan
menyediakan tempat tinggal (Tafsir Jalalain). Imam Ghazali menulis “Ketahuilah
bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak
mengganggunya, tapi bersabar dalam menghadapi kesalahannya, serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan sikap ikhlas memaafkan, saat istri
menumpahkan emosi dan kemarahannya.
Contoh mu‟asyarah bil ma‟ruf yang nyata kita dapatkan dalam pergaulan
Rasulullah kepada istri-istrinya yaitu: Rasul senantiasa mempergauli mereka dengan
sangat baik, selalu menampakkan muka manis dan berseri-seri, bersenda gurau dan
bercanda dengan mesra, memberi nafkah dan mempercayakan seluas-luasnya tentang
pengelolaan keuangan keluarga kepada istri bahkan bermain dengan istri,
mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan menyempatkan diri
berhubungan sebelum tidur.9 Perintah untuk mempergauli istri dengan ma‟ruf bukan
hanya ditujukan kepada istri yang dicintai tapi juga kepada istri yang tidak dicintai.
Hal ini dikatakan oleh Sya‟rawi dalam tafsirnya dimana ia membedakan antara
mawaddah dan ma‟ruf. Mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri,
dilandasi oleh cinta dan juga dengan sikap ma‟ruf yang diperintahkan. Sementara
perlakuan yang ma‟ruf kepada istri tidak selamanya harus di landasi dengan rasa
cinta, tapi dilandasi oleh rasa tanggung jawab.

Pendidikan Bagi Calon Ibu Dan Calon Ayah


Pembentukan keluarga bahagia itu dapat dimulai dengan peningkatan
kemampuan melalui bimbingan dan pendidikan. Ilmu pengetahuan dan agama

9
As-Shobuni, Al-Muhtashor. h. 369.

8
dipandang sebagai suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dari upaya
peningkatan kemampuan. Pendidikan merupakan suluh penerang kehidupan sekaligus
nafas peradaban. Begitu banyak ayat yang membicarakan akan keutamaan ilmu.
Firman Allah: “katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang yang tidak mengetahui?” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran”. (QS Az-Zumar: 39 : 9). Rasulullah SAW bersabda: “barang
siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka ia berada dijalan Allah sampai ia
kembali” (HR. Turmudzi).
Pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang sifatnya menyeluruh (at-
tanmiyah asy-syumuliyah), yang didasarkan pada konsep robbani. Konsep yang tidak
hanya terpaku kepada pembangunan aspek keduniaan dan materi saja, tetapi juga
aspek ruhiyah dan akhirat. Islam tidak pernah memisahkan keduanya. Konsep yang
mengajak kepada toleransi, keadilan dan keseimbangan antara kepentingan individu
tanpa melupakan kepentingan bersama. Konsep yang menghadirkan rasa tanggung
jawab. Keseimbangan dan keselarasan antara ruh dan jasad, antara ilmu dan akhlak,
akan membentuk seorang laki-laki yang akan menjadi suami yang shaleh yang tahu
tanggung jawabnya. Keluarga dengan kriteria seorang suami seperti ini pada
gilirannya akan melahirkan anak-anak generasi bangsa yang berkwalitas.
Namun apa yang dipaparkan diatas nampaknya belum cukup untuk
membentuk keluarga bahagia, apalagi dengan hanya mengandalkan ilmu yang
didapat semasa kuliah. Ilmu pengetahuan saja tidak serta merta menjamin seseorang
menjadi orang tua yang sukses dan bijak. Seandainya ada sekolah khusus untuk calon
ayah dan calon ibu, tentu akan menyenangkan sekali. Calon ibu dan calon ayah akan
bisa menimba pengetahuan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan anak, yang
mungkin belum mereka kenal sama sekali dalam kehidupan mereka yang masih belia.
Padahal anak adalah benih yang akan berkembang. Baik buruknya nanti, tergantung
bagaimanaorang tua merawat benih itu. Ia adalah aset masa depan, bukan hanya
untuk dirinya, tapi keluarga masyarakat, agama dan bangsanya. Bahkan ia menjadi
penyambung tali kebahagiaan kedua orang tuanya didunia dan kelak di akhirat.
Mengingat apa yang dipaparkan di atas, rasanya sekolah orang tua menjadi
suatu kebutuhan yang penting. Apalagi kenyataan di masyarakat menunjukkan
tingginya angka perceraian. Tentu dampak perceraian bukan hanya berimbas pada
hubungan suami istri saja tapi yang lebih mempriihatinkan adalah nasib masa depan
anak-anak mereka. Lalu, dimanakah kita bisa menemukannya? Ternyata jawabannya
ada disekitar kita. Karena sekolah orang tua adalah sekolah kehidupan, yang kita
pelajari sampai akhir hayat. Materi pelajaran akan kita dapatkan dari orang yang lebih
dulu jadi orang tua sebelum kita, terutama orang-orang yang telah berhasil

9
membentuk keluarga bahagia dan menjadikan anak-anak mereka sukses dalam
pendidikan, karir dan kehidupan.
Kita juga bisa belajar dari media informasi yang semakin maju, koran,
majalah, talkshow di televisi dan seminar bahkan celoteh anak-anak kita yang
memiliki karakter yang berbeda-beda bisa menjadi “guru murni‟ yang jauh dari
manipulasi dan rekayasa. Sekolah kehidupan adalah sekolah bagi siapa saja yang
akan melangkah membentuk keluarga, bahkan juga bagi para orang tua yang mau
terus belajar. Mereka yang mau membuka mata hati lebar-lebar dan hanya
mempraktikkan materi pelajaran yang positif, niscaya akan mendapatkan apa yang
mereka harapkan yaitu keluarga bahagia dan anak-anak yang sehat dan berkwalitas.
Dengan demikian jumlah penduduk Indonesia yang berpendidikan akan meningkat.
Hal ini akan bisa meningkatkan keberhasilan pembangunan nasional bangsa
Indonesia dan pada akhirnya akan meningkatkan martabat bangsa Indonesia di mata
dunia Internasional.
Kesimpulan
Perkawinan telah menyatukan dua insan berbeda karakter dalam satu ikatan
dengan legal. Tujuannya adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan harmonis
serta melahirkan anak-anak yang berkwalitas. Realisasi tujuan tersebut tentu tidak
secara otomatis terwujud, tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu persiapan
dan usaha berupa pengetahuan yang luas. Persiapan bagi terbentuknya sebuah
keluarga bukan hanya tanggung jawab calon pengantin, tapi juga peran orang tua.
Orang tua harus memperhatikan dengan siapa anaknya berhubungan. Jangan sampai
anak melakukan pendekatan dengan orang yang kurang tepat. Orang tua juga harus
memberikan pengarahan tentang arti tanggung jawab dalam kehidupan berumah
tangga. Prinsipnya pernikahan adalah hubungan yang sakral sehingga mesti di dasari
dengan tujuan yang baik, cinta, kasih sayang, dan siap memikul amanat perkawinan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis mengingatkan perintah agama untuk
selalu berhubungan dengan sang Kholik dalam semua langkah kita. Berdoa dan sholat
istikharah adalah cara yang di anjurkan untuk memohon petunjuk dan dukungan
berupa kemantapan hati, ketika ada lamaran datang atau ketika akan melangkah
melamar seseorang. Jika semua langkah ini telah di laksanakan, namun kenyataan
masih menemukan pasangan yang kurang tepat, atau pasangan yang tidak bisa di ajak
membentuk keluarga yang harmonis, sesungguhnya itu adalah ujian bagi keimana
kita. Sebab kita belum bisa dikatan beriman kalau belum lulus dalam ujian. Allah
SWT telah berpesan dalam firmanNya :” Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di
antara pasanganmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak

10
memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.“( QS at-Taghobun [ 64: 14] )

11

Anda mungkin juga menyukai