oleh :
Liawati Kareri Atandima 17041000049
Dosen Pengampuh :
Ir. Gunawan, Dipl. SE PhD
1. Media.neliti.https://media.neliti.com/media/publications/151914-ID-peningkatan-
kinerja-operasi-waduk-jepara.pdf
2. Jurnalpemasaran.petra.http://jurnalpemasaran.petra.ac.id/index.php/uaj/article/viewF
ile/17536/17461
3. Wp-content.http://pengairan.ub.ac.id/s1/wp-content/uploads/2016/01/Studi-
Optimasi-Operasi-Waduk-Dengan-Metode-Algoritma-Genetik-Pada-Waduk-
Cileuweung-Kabupaten-Kuningan-Jawa-Barat-Nando-Prananca-W.I-
105060400111012.pdf
4. Jurnalpengairan.https://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/viewFile/232/22
6
5. wp-contect.http://pengairan.ub.ac.id/s1/wp-content/uploads/2017/01/Simulasi-Pola-
Operasi-Waduk-Pandanduri-dengan-Optimasi-Faktor-K-Irigasi-M.-Yura-Kafiansyah-
125060407111026.pdf (diakses januari 2017)
6. aaronpetroval.http://aaronpetrova.blogspot.com/2016/12/tampunganwaduk-pola-
operasi-waduk.html (diakses 12 desember 2016)
8. media.neliti.https://media.neliti.com/media/publications/143000-ID-evaluasi-kenerja-
jaringan-irigasi-bendun.pdf (diakses 11 april 2015)
9. repository.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/18702/Jurnal
%20Agung%20Wahyudin%20D111%2011%20121.pdf?sequence=1
10. Docplayer.https://docplayer.info/56311433-Studi-pola-operasi-waduk-way-sekampung-
menggunakan-hec-ressim.html
RESUME DARI MASING-MASING PUSTAKA ( ADA 10 PUSTAKA)
Perubahan tata guna lahan mengakibatkan ketersediaan air di waduk Jepara menurun. Oleh
karena itu perlu penelitian untuk mencari besaran kebutuhan air yang sesuai dengan
ketersediaan air di waduk serta mencari alternatif pola pemberian air pada DI Way Jepara.
Dengan demikian, kinerja operasi waduk akan meningkat.
Hasil analisis yang dilakukan Karya Cipta Utama (2002) [2] menunjukkan bahwa erosi rata-rata di
DAS Waduk jepara menghasilkan material sedimen sebesar 218.293,63 ton/tahun. Akibatnya,
kapasitas waduk cenderung menurun. Analisis untuk memprediksikan perubahan kapasitas
waduk dari waktu ke waktu perlu dilakukan agar dapat merencanakan sistem pemberian air di
waktu yang akan datang.
Kebutuhan air irigasi di sawah adalah besarnya satuan kebutuhan air yang harus disediakan
untuk tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik ditambah dengan kehilangan
air pada jaringan irigasi. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam perhitungan kebutuhan
air irigasi adalah sbb :
1) pola tanam yang direncanakan,
2) luas areal yang akan ditanami,
3) kebutuhan air pada petak sawah,
4) efisiensi irigasi.
Dewi (2008)[5] menyimpulkan bahwa nilai efisiensi irigasi DI Way Jepara Kabupaten Lampung
Timur cukup rendah, terutama pada fase awal pertumbuhan =22.86%. Oleh sebab itu disarankan
pemberian air secara terputus (intermittent flow).
Syamsuddin (2008)[6] memberikan suatu model rotasi pemberian air untuk debit inflow yang
tidak konstan dalam mengairi 4 petak sub tersier yang meliputi 4 (empat) keadaan, yaitu:
1) Pemberian air secara terus menerus dilakukan bila debit air Q > 80% Qmax,
2) Rotasi I: 1 blok tidak diairi, 3 blok lainnya diairi, dilakukan bilaQ = 60% - 80% Qmax,
3) Rotasi II: 2 blok tidak diairi, 2 blok lainnya diairi, dilakukan bila Q = 40% - 60% Qmax,
4) Rotasi III: 3 blok tidak diairi, 1 blok lainnya diairi, dilakukan bila Q < 40% Qmax
Dewi (2008)[5] menyimpulkan bahwa nilai efisiensi irigasi DI Way Jepara Kabupaten
Lampung Timur cukup rendah, terutama pada fase awal pertumbuhan =22.86%. Oleh
sebab itu disarankan pemberian air secara terputus (intermittent flow). Syamsuddin
(2008)[6] memberikan suatu model rotasi pemberian air untuk debit inflow yang tidak
konstan dalam mengairi 4 petak sub tersier yang meliputi 4 (empat) keadaan, yaitu:
1) Pemberian air secara terus menerus dilakukan bila debit air Q > 80% Qmax,
2) Rotasi I: 1 blok tidak diairi, 3 blok lainnya diairi, dilakukan bilaQ = 60% - 80% Qmax,
3) Rotasi II: 2 blok tidak diairi, 2 blok lainnya diairi, dilakukan bila Q = 40% - 60% Qmax,
4) Rotasi III: 3 blok tidak diairi, 1 blok lainnya diairi, dilakukan bila Q < 40% Qmax
Pengukuran terhadap kedalaman air waduk (Echo Sounding) telah dilakukan pada tahun 2006 di Waduk
Jepara sehingga didapatkan perubahan yang merupakan sedimentasi yang terakumulasi selama kurun
waktu 27 tahun (1979 s/d 2006). Hasil analisis yang dilakukan menyatakan bahwa telah mengendap
sedimen sebesar 42% pada elevasi +36,50 dan mengurangi tampungan waduk. Visualisasi perubahan
luas tampungan waduk dapat disajikan pada Gambar :
Debit andalan
Perhitungan debit andalan dapat dilakukan untuk mendapatkan debit andalan Waduk Jepara, yaitu :
metode routing inflow, metode debt rangking dan metode Mock. Perhitungan debit yang dapat
dijadikan sebagai acuan perhitungan selanjutnya adalah perhitungan debit dengan metode Mock.
Perbandingan debit andalan perhitungan metode storage routing, debt ranking dan Mock disajikan pada
Gambar 4.
Hasil perhitungan yang disajikan pada Gambar 4 menunjukkan bahwa debit rata – rata inflow metode
Mock sebesar 1.56 m3/detik, metode debt ranking 1,24 m3/detik, sedangkan metode storage routing
0,88 m3/detik. Debit–debit ini jauh lebih kecil dari debit rencana pada perencanaan waduk yaitu sebesar
5,0 m3/detik. Kondisi debit yang sangat kecil seperti ini sangat sulit untuk mengembangkan areal irigasi
untuk diairi.
Alokasi pemberian air untuk padi dan palawija musim tanam 1 dan musim tanam 2 (KP 01) lebih hemat
dari pemberian air eksisting yang hanya mengairi keperluan padi saja. Perhitungan ini berdasarkan
pertumbuhan umur tanaman, sehingga didapatkan penghematan sebesar 20,93%. Penerapan 3 pola
tanam dengan pola tanam padi–padi–palawija serta palawija–padi–palawija membutuhkan air 5,16%
lebih banyak dari pola tanam eksisting. Perbandingan tingkat kebutuhan air untuk periode setengah
bulanan disajikan pada Gambar 5.
Pola Operasi Pemberian Air
Faktor K adalah faktor yang menunjukkan perbandingan antara debit inflow dan debit kebutuhan. Nilai
faktor K yang diperoleh dari berbagai macam alternatif pola tanam berada diatas 0,25. Pada pola tanam
eksisting dengan perhitungan pemenuhan kebutuhan irigasi berdasarkan KP 01 didapatkan faktor K
diatas 0,5. Perbandingan faktor K untuk berbagai macam pola tanam disajikan pada Gambar 6. Pada
gambar tersebut didapatkan faktor K secara keseluruhan berada dalam rentang 0,25 s/d 0,5, sehingga
pola tanam padi–padi–palawija serta palawija–padi–padi merupakan pola tanam yang paling optimal.
Pola Operasi di Masa yang Akan Datang
1.Pola operasi waduk 10 tahun yang akan datang (th. 2018). Perhitungan outflow (coba–coba) dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan didapatkan nilai keandalan K sebesar 0,38. Pola pemberian air
untuk faktor K diantara interval 0,20–0,50, maka giliran pemberian air dilakukan pada antar petak
tersier.
2.Pola operasi waduk 30 tahun yang akan datang (th. 2038). Pola operasi waduk pada masa 30 tahun
yang akan datang menggunakan pola tanam dan perhitungan simulasi waduk dengan kondisi perubahan
kapasitas waduk di tahun 2038. Kapasitas tampung waduk di tahun 2038 tinggal sekitar 8,2% saja.
Simulasi operasi waduk yang dilakukan menunjukkan bahwa perolehan faktor K yang semakin tidak
merata. Perolehan faktor K sekitar 0,25 pada bulan Juli sampai dengan Oktober, sedangkan perolehan
faktor K melebihi 0,50 pada bulan Januari dan Februari, sedangkan di bulan yang lain faktor K diantara
0,25–0,5. Hal ini disebabkan karena kondisi tampungan waduk yang relatif kecil sehingga waduk tidak
mampu menyimpan air dalam jumlah banyak sesuai dengan kebutuhan irigasi. Pola tanam pola tanam
padi–padi–palawija serta palawija–padi–padi merupakan pola tanam yang layak untuk dikembangkan
pada saat ini dan di masa yang akan datang, meskipun memiliki faktor K rerata terendah yaitu 0,37. Hal
ini masih dapat diatasi dengan melakukan rotasi antar petak tersier sebagai ditunjukkan pada Gambar 7,
8, dan 9.
Rotasi pemberian air antar petak tersier di DI Way Jepara sesuai dengan saran yang dibeikan Dewi dalam
penelitiannya (2008)[5] yaitu agar air irigasi diberikan secara terputus (intermittent flow). Rotasi
pemberian air ini juga sesuai dengan hasil penelitian Syamsudin (2008)[6], yaitu nilai K< 0,4 pemberian
air dilakukan rotasi dengan cara seperempat bagian petak diairi.
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Pola pemberian air yang
diterapkan saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan irigasi berdasarkan perhitungan menurut KP 01. 2.
Ketersediaan debit yang kecil dapat diatasi dengan penggunaan sistem golongan dan pemberian air yang
dilakukan secara rotasi/giliran. Faktor K untuk pola tanam padi–padi–palawija serta palawija–padi–padi
untuk saat ini sampai dengan . dan bagian lain tidak diari 30 tahun yang akan datang berada pada
kisaran faktor K sebesar 0,25–0,75, maka sistem rotasi yang dilaksanakan adalah giliran di tingkat petak
tersier.
A. RINGKASAN MATERI DARI KESELURUHAN HALAMAN
RESUME
Sedimentasi waduk jepara
Pengukuran terhadap kedalaman air waduk (Echo Sounding) telah dilakukan pada tahun 2006 di Waduk
Jepara sehingga didapatkan perubahan yang merupakan sedimentasi yang terakumulasi selama kurun
waktu 27 tahun (1979 s/d 2006). Hasil analisis yang dilakukan menyatakan bahwa telah mengendap
sedimen sebesar 42% pada elevasi +36,50 dan mengurangi tampungan waduk. Visualisasi perubahan
luas tampungan waduk .
Debit andalan
Perhitungan debit andalan dapat dilakukan untuk mendapatkan debit andalan Waduk Jepara, yaitu :
metode routing inflow, metode debt rangking dan metode Mock. Perhitungan debit yang dapat
dijadikan sebagai acuan perhitungan selanjutnya adalah perhitungan debit dengan metode Mock.
Perbandingan debit andalan perhitungan metode storage routing, debt ranking dan Mock.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa debit rata – rata inflow metode Mock sebesar 1.56 m3/detik,
metode debt ranking 1,24 m3/detik, sedangkan metode storage routing 0,88 m3/detik. Debit–debit ini
jauh lebih kecil dari debit rencana pada perencanaan waduk yaitu sebesar 5,0 m3/detik. Kondisi debit
yang sangat kecil seperti ini sangat sulit untuk mengembangkan areal irigasi untuk diairi.
Alokasi pemberian air untuk padi dan palawija musim tanam 1 dan musim tanam 2 (KP 01) lebih hemat
dari pemberian air eksisting yang hanya mengairi keperluan padi saja. Perhitungan ini berdasarkan
pertumbuhan umur tanaman, sehingga didapatkan penghematan sebesar 20,93%. Penerapan 3 pola
tanam dengan pola tanam padi–padi–palawija serta palawija–padi–palawija membutuhkan air 5,16%
lebih banyak dari pola tanam eksisting. Perbandingan tingkat kebutuhan air untuk periode setengah
bulanan.
Pola Operasi Pemberian Air
Faktor K adalah faktor yang menunjukkan perbandingan antara debit inflow dan debit kebutuhan. Nilai
faktor K yang diperoleh dari berbagai macam alternatif pola tanam berada diatas 0,25. Pada pola tanam
eksisting dengan perhitungan pemenuhan kebutuhan irigasi berdasarkan KP 01 didapatkan faktor K
diatas 0,5. Perbandingan faktor K untuk berbagai macam pola tanam disajikan pada Gambar 6. Pada
gambar tersebut didapatkan faktor K secara keseluruhan berada dalam rentang 0,25 s/d 0,5, sehingga
pola tanam padi–padi–palawija serta palawija–padi–padi merupakan pola tanam yang paling optimal.
1.Pola operasi waduk 10 tahun yang akan datang (th. 2018). Perhitungan outflow (coba–coba) dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan didapatkan nilai keandalan K sebesar 0,38. Pola pemberian air
untuk faktor K diantara interval 0,20–0,50, maka giliran pemberian air dilakukan pada antar petak
tersier.
2.Pola operasi waduk 30 tahun yang akan datang (th. 2038). Pola operasi waduk pada masa 30 tahun
yang akan datang menggunakan pola tanam dan perhitungan simulasi waduk dengan kondisi perubahan
kapasitas waduk di tahun 2038. Kapasitas tampung waduk di tahun 2038 tinggal sekitar 8,2% saja.
Simulasi operasi waduk yang dilakukan menunjukkan bahwa perolehan faktor K yang semakin tidak
merata. Perolehan faktor K sekitar 0,25 pada bulan Juli sampai dengan Oktober, sedangkan perolehan
faktor K melebihi 0,50 pada bulan Januari dan Februari, sedangkan di bulan yang lain faktor K diantara
0,25–0,5. Hal ini disebabkan karena kondisi tampungan waduk yang relatif kecil sehingga waduk tidak
mampu menyimpan air dalam jumlah banyak sesuai dengan kebutuhan irigasi. Pola tanam pola tanam
padi–padi–palawija serta palawija–padi–padi merupakan pola tanam yang layak untuk dikembangkan
pada saat ini dan di masa yang akan datang, meskipun memiliki faktor K rerata terendah yaitu 0,37. Hal
ini masih dapat diatasi dengan melakukan rotasi antar petak tersier sebagai ditunjukkan pada Gambar 7,
8, dan 9.
Rotasi pemberian air antar petak tersier di DI Way Jepara sesuai dengan saran yang dibeikan Dewi dalam
penelitiannya (2008)[5] yaitu agar air irigasi diberikan secara terputus (intermittent flow). Rotasi
pemberian air ini juga sesuai dengan hasil penelitian Syamsudin (2008)[6], yaitu nilai K< 0,4 pemberian
air dilakukan rotasi dengan cara seperempat bagian petak diairi.
Rule curve atau kurva zonasi fluktuasi muka air waduk diperlukan sebagai acuan/pedoman
dalam pengaturan release air waduk. Dalam penyusunan rule curve waduk diperlukan
perhitungan secara teknis berupa kajian operasi waduk secara detail. Salah satu metode
optimasi untuk menyusun rule curve berdasarkan data inflow historis adalah dengan model
optimasi program dinamik deterministik.
Rule Curve pengoperasian waduk adalah kurva/gravik yang menunjukkan hubungan antara
elevasi muka air waduk, debit outflow dengan waktu (mingguan, dalam satu tahun). Secara umum
aturan yang harus diikuti sebagai dasar pengoperasian waduk adalah Rule Curve di Zona Normal (B). Jika
kondisi elevasi muka air waduk berada di bawah atau di atas elevasi muka air Zona Normal, maka harus
diupayakan pengaturan menuju ke elevasi muka air waduk pada Zona Normal tersebut. Dengan
demikian, jika elevasi muka air waduk berada di bawah elevasi Zona Normal, maka rencana outflow
harus diperkecil dengan nilai tertentu sampai diperoleh elevasi muka air waduk kenyataan sama dengan
elevasi pada Zona Normal. Sedangkan jika elevasi muka air waduk berada di atas Zona Normal, maka
rencana outflow boleh diperbesar dengan nilai tertentu sampai diperoleh elevasi muka air waduk
kenyataan sama dengan elevasi muka air pada Zona Normal. Pengoperasian Waduk Sermo yang telah
dilakukan saat ini adalah mengikuti Rule Curve yang telah ditetapkan pada saat pembangunan waduk.
Rule Curve yang ada disusun Penyusunan Rule Curve Waduk Menggunakan Model Program Dinamik
Deterministik (Karni Natalia P.R) 227 dan ditetapkan sebagai acuan kegiatan operasi Waduk Sermo
dengan hasil pemanfaatan potensi air yang optimal.
Istiarto (1992), dalam perkembangannya program dinamik dapat dikategorikan sebagai program
dinamik deterministik dan program dinamik stokastik. Program dinamik deterministik memperlakukan
fenomena yang terjadi sebagai suatu yang bersifat pasti (deterministik), sedang program dinamik
stokastik memperhitungkan sifat ketidakpastian ke dalam masukan utamanya yang berupa aliran.
Program dinamik merupakan suatu rekayasa matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses
pengambilan keputusan secara berangkai dengan memberikan suatu ketetapan rangkaian keputusan
yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Prosedurnya didasari oleh “Principle of Optimality“ yang
ditemukan pertama kali oleh Richard Bellman pada tahun 1957. Prinsip tersebut merupakan sistematika
prosedur penentuan kombinasi keputusan yang memaksimumkan semua efektifitas. Mays (1996),
dengan program dinamik, suatu permasalahan yang kompleks dan berskala besar dapat dipecah-
pecahkan menjadi beberapa bagian kecil (dekomposisi) yang kemudian dioptimasikan.
Penetapan keputusan optimal dapat diberikan dengan mengevaluasi hasil yang diperoleh apabila
dilakukan suatu tindakan berdasarkan faktor penentu (state) yang ditinjau pada setiap tahap evaluasi.
Secara skematis problem demikian dapat dilukiskan dengan Gambar 1.
Skema pada gambar di atas melukiskan bagan umum multi stage decision making problem dimana pada
tahap (stage) i keputusan Xi dapat diambil berdasarkan keadaan (state i) dengan hasil keluaran sistem
adalah ri (Xi). Pada kasus operasi waduk, alogaritma program dinamik dapat didefinisikan sebagai
berikut ini :
1. Stage (i) : tahap atau step/langkah yang menunjukkan unit dekomposisi persoalan.
2. Decision variable : variabel yang harus dicari/diputuskan nilainya pada setiap stage.
3. State variable : variabel yang menyatakan keadaan sistem pada setiap stage sebagai akibat dari
sebuah keputusan (decision variable) yang diambil pada stage sebelumnya.
4. Return : ukuran dari efektifitas penentuan keputusan optimal pada setiap stage yang secara umum
merupakan fungsi dari state awal, state akhir dan nilai keputusan variable terpilih.
5. State transformation function : rumusan umum yang menyatakan hubungan kuantitatif antara state
awal, state akhir dan decision variabel.
6. persamaan rekursif (recursive equation) : hubungan antar keputusan optimal pada stage i dengan
keputusan optimal pada stage (i+1) dapat dinyatakan dengan sebagai persamaan berikut ini.
f S max r S , X f = + + + (1)
dengan :
fi (Si) = hasil optimal yang diperoleh dan stage i, i+1, i+2,..., n jika pada stage i sistem berada pada state Si.
ri(Si ,Xi) = hasil yang diperoleh pada stage i jika sistem pada state Si dan keputusan yang diambil adalah
Xi
Fi+I (Si+1) = hasil optimal yang diperoleh dari stage i+1, i+2,...n jika pada stage i+1 sistem berada pada state
Si+1.
Penyelesaian model program dinamik dapat dilakukan dengan evaluasi secara mundur
(backward solution) untuk memperoleh keputusan optimal pada setiap stage pada masingmasing state
yang mungkin terjadi. Hasil yang diperoleh pada backward solution dapat digambarkan sebagai tabulasi
semua state yang mungkin atau layak ditinjau dengan keputusan optimalnya untuk setiap stage.
Rachmad Jayadi (1999), prosedur selanjutnya adalah penyelesaian langkah maju (forward solution)
untuk memperoleh kebijakan optimal (optimal policy) sebagai petunjuk penentuan keputusan optimal.
Perumusan optimasi Waduk Sermo dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut ini :
1) Stage Adalah periode tinjauan persoalan (setengah bulanan). Optimasi dihitung berdasarkan data
inflow yang tersedia selama 20 tahun, sehingga jumlah stage = 20 x 24 = 480.
3) Decision Variable Merupakan release untuk irigasi RI(i) pada stage ke i. Banyaknya nilai Decision
Variable ada 480.
4) Return Adalah nilai rasio antara release optimal terhadap demand irigasi, yang dinyatakan sebagai
nilai faktor k :
dengan :
5) Fungsi Tujuan (objective function). Fungsi tujuan optimasi pada studi ini adalah memaksimumkan nilai
rerata faktor k
dengan :
dengan :
8) Kendala (constraints),
a. Tampungan wadu
k DS ≤ Si ≤ K (7)
dengan :
RI i ≤ DI i
Pada bagian hulu Sungai Serang terdapat Saluran Induk Kalibawang, yang mengambil airnya dari Sungai
Progo melalui Intake Kalibawang. Saluran Induk Kalibawang juga untuk mengairi Daerah Irigasi
Kalibawang 1 dan 2. Di hilir Bangunan Bagi Kemukus terdapat Daerah Irigasi Domulyo, Penjalin Asri dan
CM&KM (Papah) yang mendapat suplai dari Sungai Papah dan suplesi air Saluran Induk Kalibawang.
Daerah Irigasi Pengasih mendapatkan suplesi air dari release Waduk Sermo dan sisa aliran Sungai Serang
di hilir Bendung Clereng. Daerah Irigasi Pekik Jamal mendapatkan air dari Sungai Serang di hilir Bendung
Pengasih, suplesi dari sisa aliran di hilir Bendung Papah dan suplesi dari release Waduk Sermo.
Sedangkan sumber air untuk mengairi Daerah Irigasi Kamal diambil dari Sungai Ngrancah yaitu dengan
memanfaatkan langsung release Waduk Sermo
Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan echosounding 2003 oleh CV. Erlangga Pura, dapat dibuat
kurva karakteristik Waduk Sermo untuk mengetahui hubungan antara storage, luas permukaan dan
elevasi waduk. Kurva ini dapat dilihat pada Gambar 4, hubungan antara storage dan elevasi dapat dilihat
pada Gambar 5, hubungan antara storage dan area dapat dilihat pada Gambar 6.
Perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air Waduk Sermo
Analisis ketersediaan air Waduk Sermo dari Sungai Ngrancah dilakukan dengan model Mock,
Ketersediaan air di Bendung Pengasih merupakan debit minimum Sungai Serang di Bendung Pengasih
pada tahun 2000-2003. Ketersediaan air pada Bendung Pekik Jamal merupakan debit minimum
berdasarkan data Sungai Serang di Bendung Pekik Jamal pada tahun 2000-2003. Kebutuhan air irigasi
yang dipakai pada penelitian ini didapat dari tesis hasil penelitian Dwi Purwantoro, 2005. Suplesi air
irigasi dihitung dengan mengurangi antara kebutuhan dengan ketersediaan di setiap bendung,
selanjutnya total suplesi dihitung dengan menjumlahkan suplesi pada Bendung Kamal, Bendung
Pengasih dan Bendung Pekik Jamal. Masing-masing kebutuhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Rule curve Optimal Waduk Sermo
membutuhkan pengaturan air yang optimal sehingga semua kebutuhan air yang meliputi air baku,
gelontor, dan irigasi dapat terpenuhi. Untuk memperoleh kebijakan optimal (optimal policy) pada
seluruh stage, pengaturan air Waduk Sermo menggunakan model optimasi program dinamik
deterministik. Optimasi program dinamik dalam penelitian ini dibantu dengan Borland Delphi 5. Running
program sesuai dengan algoritma optimasi program dinamik meliputi backward calculation dan forward
calculation. Hasil dari backward calculation adalah nilai release untuk air irigasi yang optimal (sesuai
dengan fungsi tujuan) untuk berbagai kemungkinan kondisi tampungan pada setiap periode operasi
waduk (tengah bulan) dengan melakukan diskritisasi terhadap state (storage) dan decision variable
(release irigasi). Hasil forward calculation digunakan untuk menyusun rule curve optimal Waduk Sermo.
Kondisi operasi riil yang ada di lapangan dapat dilihat dari rule curve Waduk Sermo tahun 2008 pada
Gambar 8. Pada gambar tersebut elevasi muka air realisasi pada bulan januari sampai april berada di
atas zona normal sehingga menyebabkan sering terjadi kekurangan air di hilir waduk pada musim
kemarau dan pada musim hujan spillway sering melimpas. Melihat kondisi ini maka rencana outflow
harus diperbesar dengan nilai tertentu sampai diperoleh elevasi muka air realisasi sama dengan elevasi
muka air pada zona normal. Rule curve hasil penelitian pada Gambar 7 menunjukkan hasil yang lebih
sesuai atau mendekati dengan kondisi realisasi yang ada di lapangan, dimana elevasi muka air realisasi
sama dengan elevasi muka air pada zona normal. Dengan mengikuti rule curve hasil penelitian ini maka
secara umum kebutuhan dapat tercukupi dan air tidak pernah melimpas.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
a) Rule curve hasil optimasi menunjukkan hasil yang lebih sesuai atau mendekati dengan kondisi realisasi
yang ada di lapangan.
b) Rule curve hasil optimasi berdasarkan data inflow historis dapat digunakan sebagai masukan kepada
pengelola Waduk Sermo sebagai pedoman pengaturan air agar kebutuhan air dapat terpenuhi dan air
tidak melimpas pada musim hujan.
c) Rule curve Waduk Sermo yang ada sekarang perlu diupdate lagi agar pemanfaatan air waduk dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
B.RINGKASAN MATERI DARI KESELURUHAN HALAMAN RESUME
Rule Curve pengoperasian waduk adalah kurva/gravik yang menunjukkan hubungan antara
elevasi muka air waduk, debit outflow dengan waktu (mingguan, dalam satu tahun). Secara umum
aturan yang harus diikuti sebagai dasar pengoperasian waduk adalah Rule Curve di Zona Normal (B). Jika
kondisi elevasi muka air waduk berada di bawah atau di atas elevasi muka air Zona Normal, maka harus
diupayakan pengaturan menuju ke elevasi muka air waduk pada Zona Normal tersebut. Dengan
demikian, jika elevasi muka air waduk berada di bawah elevasi Zona Normal, maka rencana outflow
harus diperkecil dengan nilai tertentu sampai diperoleh elevasi muka air waduk kenyataan sama dengan
elevasi pada Zona Normal. Sedangkan jika elevasi muka air waduk berada di atas Zona Normal, maka
rencana outflow boleh diperbesar dengan nilai tertentu sampai diperoleh elevasi muka air waduk
kenyataan sama dengan elevasi muka air pada Zona Normal. Pengoperasian Waduk Sermo yang telah
dilakukan saat ini adalah mengikuti Rule Curve yang telah ditetapkan pada saat pembangunan waduk.
Rule Curve yang ada disusun Penyusunan Rule Curve Waduk Menggunakan Model Program Dinamik
Deterministik (Karni Natalia P.R) 227 dan ditetapkan sebagai acuan kegiatan operasi Waduk Sermo
dengan hasil pemanfaatan potensi air yang optimal.
Istiarto (1992), dalam perkembangannya program dinamik dapat dikategorikan sebagai program
dinamik deterministik dan program dinamik stokastik. Program dinamik deterministik memperlakukan
fenomena yang terjadi sebagai suatu yang bersifat pasti (deterministik), sedang program dinamik
stokastik memperhitungkan sifat ketidakpastian ke dalam masukan utamanya yang berupa aliran.
Program dinamik merupakan suatu rekayasa matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses
pengambilan keputusan secara berangkai dengan memberikan suatu ketetapan rangkaian keputusan
yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Prosedurnya didasari oleh “Principle of Optimality“ yang
ditemukan pertama kali oleh Richard Bellman pada tahun 1957. Prinsip tersebut merupakan sistematika
prosedur penentuan kombinasi keputusan yang memaksimumkan semua efektifitas. Mays (1996),
dengan program dinamik, suatu permasalahan yang kompleks dan berskala besar dapat dipecah-
pecahkan menjadi beberapa bagian kecil (dekomposisi) yang kemudian dioptimasikan.
Penetapan keputusan optimal dapat diberikan dengan mengevaluasi hasil yang diperoleh apabila
dilakukan suatu tindakan berdasarkan faktor penentu (state) yang ditinjau pada setiap tahap evaluasi.
Penyelesaian model program dinamik dapat dilakukan dengan evaluasi secara mundur (backward
solution) untuk memperoleh keputusan optimal pada setiap stage pada masingmasing state yang
mungkin terjadi. Hasil yang diperoleh pada backward solution dapat digambarkan sebagai tabulasi
semua state yang mungkin atau layak ditinjau dengan keputusan optimalnya untuk setiap stage.
Rachmad Jayadi (1999), prosedur selanjutnya adalah penyelesaian langkah maju (forward solution)
untuk memperoleh kebijakan optimal (optimal policy) sebagai petunjuk penentuan keputusan optimal.
Perumusan optimasi Waduk Sermo dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut ini :
1) Stage Adalah periode tinjauan persoalan (setengah bulanan). Optimasi dihitung berdasarkan data
inflow yang tersedia selama 20 tahun, sehingga jumlah stage = 20 x 24 = 480.
4) Return Adalah nilai rasio antara release optimal terhadap demand irigasi, yang dinyatakan sebagai
nilai faktor k :
dengan :
5) Fungsi Tujuan (objective function). Fungsi tujuan optimasi pada studi ini adalah memaksimumkan nilai
rerata faktor k
dengan :
dengan :
7) Persamaan rekursif (requrcive equation) Adalah persamaan yang menunjukkan nilai optimum return
pada setiap stage/tahap.
8) Kendala (constraints),
a. Tampungan wadu
k DS ≤ Si ≤ K (7)
dengan :
RI i ≤ DI i
Metode ini menganggap bahwa hujan yang jatuh pada catchment area sebagian akan hilang sebagai
evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi direct run off dan sebagian lagi akan masuk ke dalam
tanah (infiltrasi). memperhitungkan data curah hujan, evapotranspirasi, dan karakteristik hidrologi
daerah pengaliran sungai. Hasil dari permodelan ini dapat dipercaya jika ada debit pengamatan sebagai
pembanding.
Aturan Lepasan Operasi Waduk merupakan pedoman dalam melepaskan jumlah air dari waduk untuk
memenuhi berbagai kebutuhan sesuai dengan kondisi yang berlaku
Parameter yang digunakan dalam penerapan pedoman lepasan operasi waduk berdasarkan tampungan
adalah:
1. Tampungan Waduk (%) Besarnya tampungan waduk diukur dengan prosentase tampungan terhadap
kapasitas tampungan aktif.
2. Lepasan Kebutuhan (%) Besarnya pemenuhan tergantung kondisi tampungan waduk. apabila kondisi
tampungan waduk menurun maka prosentase lepasan sesuai kebutuhan juga menurun.
Algoritma Genetik adalah salah satu metode dari kelompok simulasi untuk optimasi. Prosedur jenis ini
cenderung untuk efektif terutama dalam mengekplorasi berbagai bagian-bagian daripada wilayah yang
layak (feasible) dan secara gradual bergerak menuju solusi-solusi layak yang terbaik. Model AG berpusat
pada struktur daripada kromosom yang mewakili alternatif solusi. Jadi sebuah kromosom merupakan
sekumpulan alternatif aturan lepasan waduk. proses pengembangan populasi kromosom dengan cara
AG itu terdiri dari pada 3 komponen berikut ini.
1. Reproduksi
Reproduksi adalah proses seleksi terhadap kromosom yang terdapat pada suatu populasi
berdasarkan nilai kinerja dari masing-masing kromosom dan dilanjutkan dengan proses copy ini
merupakan generasi turunan yang berikutnya. Pada contoh kasus ini, maka proses seleksi adalah
memilih 40 kromosom terbaik
2. Crossover
Crossover adalah persilangan diantara kromosom-kromosom yang ada pada suatu generasi
turunan. Hasil persilangan ini membentuk populasi dari generasi berikutnya.
Bendungan Kuningan (Waduk Cileuweung) yang terletak pada Dusun Cileuweung Desa
Randusari Kecamatan Cibeureum, lebih tepatnya di Sungai Cikaro, anak cabang Sungai
Cijangkelok dimana Sungai Cisanggarung sebagai sungai utama. Luas DAS Cileuweung adalah
23,07 km2 . Dengan Panjang sungai 4,54 km
Inflow pada waduk Cileuweung ini diperoleh dari menganilsa hujan yang turun pada daerah aliran sungai
kemudian ditransformasikan menjadi data debit dengan metode FJ Mock.
Model Algoritma Genetik berpusat pada kromosom-kromosom yang mewakili alternatif solusi, alternatif
solusi pada studi kali ini yaitu berupa aturan lepasan waduk berdasarkan Tampungan Waduk. Dengan
fungsi tujuan memaksimalkan kebutuhan minimum untuk irigasi dan air baku. Cara kerja Algoritma
Genetik pada studi kali ini dengan mensimulasikan waduk berdasarkan Tampungan Waduk selama 10
tahun (1999-2008) dengan meninjau pemenuhan kebutuhan minimum (fungsi tujuan). an). Dari
alternatif solusi (kromosom) tersebut diambil yang terbaik berdasarkan nilai kinerja, jadi untuk melihat
alternatif dari beberapa lepasan waduk yang optimal bisa di lihat dari masing –masing fungsi kinerjanya.
Dalam model simulasi Algoritma Genetik ini, fungsi tujuannya adalah untuk memaksimalkan outflow
pasokan irigasi dan air baku serta meningkatkan pemenuhan kebutuhan minimum tersebut.
Reproduksi
Reproduksi adalah proses seleksi terhadap kromosom yang terdapat pada suatu populasi berdasarkan
nilai kinerja dari setiap kromosom. Dalam penentuan nilai kinerja (ranking), semakin besar nilai fungsi
tujuan maka semakin baik kinerja dari alternatif lepasan tersebut Seperti yang sudah dijelaskan diatas
bahwa setiap satu deret alternatif lepasan waduk memiliki nilai kinerja yang ditunjukan lewat angka
decimal. Kemudian dilanjutkan dengan proses copy, proses copy atau proses pemilihan generasi terbaik
ini akan menjadi generasi turunan yang berikutnya
Dari 120 masing-masing alternatif lepasan waduk tersebut pada satu generasi populasi, Berdasarkan
fungsi kinerja tersebut akan diseleksi menjadi 16 alternatif lepasan waduk (kromosom) terpilih yang
memiliki kinerja terbaik pada suatu populasi
Crossover
Crossover adalah persilangan antara alternatif lepasan waduk (kromosom) yang ada pada suatu generasi
turunan. Crossover merupakan bagian dari proses reproduksi, yakni persilangan antara satu alternatif
lepasan dengan alternatif lepasan yang lain. Hasil persilangan ini membentuk populasi dari generasi
berikutnya (dalam studi ini sebanyak 120 alternatif lepasan wadukyang baru). Contoh perhitungan
variabel/gen baru hasil persilangan antara dua variabel dari kedua kromosom generasi turunan(aturan
lepasan berdasarkan kondisi tampungan 0%-100%), memberikan variabel baru sebagai berikut: Vi = V1i .
U [0,1] + V2i . (1-U [0,1]) Vi = 9,09 . 0,8280 + 8,95 . (1-0,8280) Vi = 8,89
HASIL OPTIMASI
Perhitungan pedoman lepasan berdasarkan skenario pola debit digunakan untuk mengetahui pedoman
lepasan berdasarkan tampungan untuk Waduk Cileuweung berdasarkan tipikal tahun atau skenario pola
debit inflow, dalam perhitungan ini keandalan debit yang digunakan adalah 97,3% (tahun kering),
75,34% (tahun rendah), keandalan 80%, 50,7% (tahun normal) dan 26,02% (tahun cukup). Kemudian
dari masing-masing keandalan debit tersebut akan dicari alternatif lepasan debit yang paling optimal
dengan algoritma genetik.
2. Dari simulasi operasi waduk secara sederhana dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
Dari 240 periode operasi telah terjadi 24 periode limpahan dengan total volume limpahan
127,49 Juta m3 .
Dari perhitungan simulasi waduk Cileuweung selama 10 tahun, mulai dari 1999-2008 didapatkan
rata-rata pemenuhan kebutuhan air baku dan Irigasi Cileuweung seluas 1000 ha yaitu 67,34 %
dan minimum pemenuhan sebesar 0 %. Artinya dalam simulasi waduk ini terdapat kegagalan
waduk dalam memenuhi kebutuhan irigasi dan air baku. Jumlah total outflow mencapai 461,65
juta m3 dengan rata-rata 1,92 juta m3 .
Dari segi volume tampungan waduk Cileuweung sendiri berada dalam kondisi minimum yakni
kosong sebanyak 101 periode dari total 240 periode di sepanjang tahun. Sedangkan utuk rata-
rata volume waduk adalah 6,5 juta m3 .
3. Dari hasil optimasi dengan Algoritma Genetik dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
outflow waduk pada kondisi simulasi sederhada minimum pemenuhanya adalah 0 juta
m3 sedangkan jika dilakukan optimasi dengan algoritma genetik jumlah pemenuhan
minimumnya sanggup dipenuhi oleh waduk sampai dengan 1,07 juta m3
Pada presentase pemenuhan kebutuhan waduk jika dilakukan simulasi waduk
sederhana makan jumlah minimum yang dapat dipenuhi adalah 0%, sedangkan untuk
optimasi menggunakan algoritma genetik minimum pemenuhanya dalah 44,57% dari
total kebutuhanya.
Untuk tampungan waduk, jumlah tampungan akhir menggukanan Algoritma genetik
selalu ada dengan minimum kondisi tampungan terisi 2,55 juta m3 dengan rata-rata
kondisi tampungan sepanjang 10 tahun adalah 17,01 juta m3 . Sedangkan untuk
simulasi sederhada kondisi tampungan sering terjadi kekosongan, dengan rata-rata
volume tampungan waduk adalah 6,5 juta m3 .
Jadi terdapat peningkatan kinerja waduk terhadap pemenuhan kebutuhan minimum
dari total kebutuhan yang direncanakan. Karena adanya peningkatan pemenuhan
kebutuhan maka waduk dianggap menjadi lebih optimal fungsinya.
C. RINGKASA MATERI DARI KESELURUHAN HALAMAN RESUME
Metode ini menganggap bahwa hujan yang jatuh pada catchment area sebagian akan hilang sebagai
evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi direct run off dan sebagian lagi akan masuk ke dalam
tanah (infiltrasi). memperhitungkan data curah hujan, evapotranspirasi, dan karakteristik hidrologi
daerah pengaliran sungai. Hasil dari permodelan ini dapat dipercaya jika ada debit pengamatan sebagai
pembanding.
Aturan Lepasan Operasi Waduk merupakan pedoman dalam melepaskan jumlah air dari waduk untuk
memenuhi berbagai kebutuhan sesuai dengan kondisi yang berlaku
Parameter yang digunakan dalam penerapan pedoman lepasan operasi waduk berdasarkan tampungan
adalah:
1. Tampungan Waduk (%) Besarnya tampungan waduk diukur dengan prosentase tampungan terhadap
kapasitas tampungan aktif.
2. Lepasan Kebutuhan (%) Besarnya pemenuhan tergantung kondisi tampungan waduk. apabila kondisi
tampungan waduk menurun maka prosentase lepasan sesuai kebutuhan juga menurun.
Algoritma Genetik adalah salah satu metode dari kelompok simulasi untuk optimasi. Prosedur jenis ini
cenderung untuk efektif terutama dalam mengekplorasi berbagai bagian-bagian daripada wilayah yang
layak (feasible) dan secara gradual bergerak menuju solusi-solusi layak yang terbaik. Model AG berpusat
pada struktur daripada kromosom yang mewakili alternatif solusi. Jadi sebuah kromosom merupakan
sekumpulan alternatif aturan lepasan waduk. proses pengembangan populasi kromosom dengan cara
AG itu terdiri dari pada 3 komponen berikut ini.
1. Reproduksi
Reproduksi adalah proses seleksi terhadap kromosom yang terdapat pada suatu populasi
berdasarkan nilai kinerja dari masing-masing kromosom dan dilanjutkan dengan proses copy ini
merupakan generasi turunan yang berikutnya. Pada contoh kasus ini, maka proses seleksi adalah
memilih 40 kromosom terbaik
2. Crossover
Crossover adalah persilangan diantara kromosom-kromosom yang ada pada suatu generasi
turunan. Hasil persilangan ini membentuk populasi dari generasi berikutnya.
Bendungan Kuningan (Waduk Cileuweung) yang terletak pada Dusun Cileuweung Desa
Randusari Kecamatan Cibeureum, lebih tepatnya di Sungai Cikaro, anak cabang Sungai
Cijangkelok dimana Sungai Cisanggarung sebagai sungai utama. Luas DAS Cileuweung adalah
23,07 km2 . Dengan Panjang sungai 4,54 km
Inflow pada waduk Cileuweung ini diperoleh dari menganilsa hujan yang turun pada daerah aliran sungai
kemudian ditransformasikan menjadi data debit dengan metode FJ Mock.
Model Algoritma Genetik berpusat pada kromosom-kromosom yang mewakili alternatif solusi, alternatif
solusi pada studi kali ini yaitu berupa aturan lepasan waduk berdasarkan Tampungan Waduk. Dengan
fungsi tujuan memaksimalkan kebutuhan minimum untuk irigasi dan air baku. Cara kerja Algoritma
Genetik pada studi kali ini dengan mensimulasikan waduk berdasarkan Tampungan Waduk selama 10
tahun (1999-2008) dengan meninjau pemenuhan kebutuhan minimum (fungsi tujuan). an). Dari
alternatif solusi (kromosom) tersebut diambil yang terbaik berdasarkan nilai kinerja, jadi untuk melihat
alternatif dari beberapa lepasan waduk yang optimal bisa di lihat dari masing –masing fungsi kinerjanya.
Dalam model simulasi Algoritma Genetik ini, fungsi tujuannya adalah untuk memaksimalkan outflow
pasokan irigasi dan air baku serta meningkatkan pemenuhan kebutuhan minimum tersebut.
Reproduksi
Reproduksi adalah proses seleksi terhadap kromosom yang terdapat pada suatu populasi berdasarkan
nilai kinerja dari setiap kromosom. Dalam penentuan nilai kinerja (ranking), semakin besar nilai fungsi
tujuan maka semakin baik kinerja dari alternatif lepasan tersebut Seperti yang sudah dijelaskan diatas
bahwa setiap satu deret alternatif lepasan waduk memiliki nilai kinerja yang ditunjukan lewat angka
decimal.
Crossover
Crossover adalah persilangan antara alternatif lepasan waduk (kromosom) yang ada pada suatu generasi
turunan. Crossover merupakan bagian dari proses reproduksi, yakni persilangan antara satu alternatif
lepasan dengan alternatif lepasan yang lain. Hasil persilangan ini membentuk populasi dari generasi
berikutnya (dalam studi ini sebanyak 120 alternatif lepasan wadukyang baru). Contoh perhitungan
variabel/gen baru hasil persilangan antara dua variabel dari kedua kromosom generasi turunan(aturan
lepasan berdasarkan kondisi tampungan 0%-100%), memberikan variabel baru sebagai berikut: Vi = V1i .
U [0,1] + V2i . (1-U [0,1]) Vi = 9,09 . 0,8280 + 8,95 . (1-0,8280) Vi = 8,89.
Perhitungan pedoman lepasan berdasarkan skenario pola debit digunakan untuk mengetahui pedoman
lepasan berdasarkan tampungan untuk Waduk Cileuweung berdasarkan tipikal tahun atau skenario pola
debit inflow, dalam perhitungan ini keandalan debit yang digunakan adalah 97,3% (tahun kering),
75,34% (tahun rendah), keandalan 80%, 50,7% (tahun normal) dan 26,02% (tahun cukup). Kemudian
dari masing-masing keandalan debit tersebut akan dicari alternatif lepasan debit yang paling optimal
dengan algoritma genetik.
1. Jika di anggap cukup maka operasi hanya dilakukan pada satu pintu saja
Untuk memenuhi kebutuhan yang ada, ketersedian tampungan Waduk Wonogiri sangat
terbatas. Ditambah lagi adanya perubahan tata guna lahan bagian hulu Sungai Keduang yang
memberikan kontribusi cukup besar dalam masalah sedimentasi Waduk Wonogiri. Berdasarkan
data pengukuran sebaran sedimen tahun 2011 yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta I dengan
cara pemeruman gema (sounding) diketahui bahwa telah terjadi kehilangan kapasitas
tampungan waduk akibat sedimentasi antara tahun 1980 sampai tahun 2011.
Dari tabel diatas terlihat bahwa selama 31 tahun waduk beroperasi, dapat diketahui bahwa
tampungan untuk pengendali banjir berkurang 27.73%, tampungan efektif yang dipergunakan
untuk irigasi dan PLTA berkurang 30.68% dan tampungan mati berkurang paling banyak yaitu
sebesar 50.83%. Volume sedimen yang masuk ke dalam waduk akan mengurangi kapasitas
tampungan air. Hal ini mengakibatkan berkurangnya efektivitas waduk dalam mencapai
tujuannya. Pada musim penghujan, air yang masuk ke waduk tidak dapat ditampung namun
akan langsung melimpas melalui spillways dan pada musim kemarau tampungan waduk tidak
dapat memenuhi kebutuhan air di hilir terutama kebutuhan air untuk PLTA. Melihat kondisi di
atas diperlukan suatu studi optimasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber
daya air untuk pemenuhan kebutuhan energi pembangkit listrik tenaga air. Pada penelitian ini
teknik optimasi dilakukan dengan menggunakan model simulasi stokastik. Pemilihan model
simulasi ini karena bersifat fleksibel dalam menangani hubungan-hubungan kompleks yang
bersifat nonlinier. Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran serta pola
operasi Waduk Wonogiri yang paling optimal dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan
energi listrik tenaga air dengan menggunakan model simulasi stokastik. Tujuan penelitian ini
adalah menerapkan model optimasi dengan cara simulasi stokastik sehingga meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya air untuk pembangkit energi listrik serta menyajikan pola
operasi waduk yang lebih fleksibel sesuai dengan kondisi tampungan waduk.
Waduk Wonogiri disebut juga Bendungan Gajah Mungkur terletak di Desa Danuarjo, Kecamatan
Wonogiri, Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Waduk Wonogiri yang memiliki luas
catchment area 1.350 km2 terletak 3 km di selatan Kota Kabupaten Wonogiri. Pembangunan
Waduk Wonogiri dimulai sejak tahun 1976. Pengisian pertama dilakukan pada Bulan Juli 1980
dan kemudian diresmikan pada Bulan November di tahun yang sama. Manfaat utama dari
Waduk Wonogiri adalah untuk pengendali banjir, PLTA, irigasi, dan air minum.
Waduk
Dalam Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan dijelaskan bahwa defenisi
bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu, beton, dan / atau pasangan batu
yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan
menampung limbah (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk (Anonim, 2010)
Operasi waduk (reservoir operation) adalah penampungan aliran air sungai ke dalam sebuah waduk
(reservoir) dan pelepasan daripada air yang telah ditampung tersebut untuk berbagai tujuan tertentu.
Sedangkan pola operasi adalah patokan operasional periode suatu waduk dimana debit air yang
dikeluarkan oleh waduk harus mengikuti ketentuan agar elevasinya terjaga sesuai dengan rancangan.
Persamaan waduk dinyatakan sebagai berikut (Soetopo, W., 2010)
Dengan :
Dengan :
Pada simulasi operasi waduk ini yang diperhatikan adalah besarnya produksi energi yang diperoleh
dengan persamaan:
Dengan:
V = Volume (m3 )
Model optimasi
Model optimasi adalah penyusunan suatu model sistem yang sesuai dengan keadaan nyata yang
nantinya dapat diubah ke dalam model matematis dengan pemisahan elemen-elemen pokok, agar suatu
penyelesaian yang sesuai dengan sasaran atau tujuan pengambilan keputusan dapat tercapai
(Subagyo,1984 dalam Irvani, H., 2012). Hal ini melibatkan pandangan pada masalah dalam tautan
keseluruhan sistem.
e. Model Stokastik
Ada tiga jenis model stokastik yang masingmasing memasukkan variabilitas hidrologi dan ketidakpastian
(Loucks, Stedinger dan Haith, 1981 dalam Irvani, H., 2012). Yang termasuk dalam model tersebut yaitu :
Model yang mendefinisikan sejumlah kemungkinan diskrit dari debit aliran sungai dan volume
tampungan, masing - masing dengan probabilitasnya.
Model yang mengidentifikasikan produksi air tetap tahunan, distribusinya dalam setahun dan
keandalannya.
Model chance-constrained yang mempunyai aturan-aturan yang menyatakan volume
tampungan waduk yang tidak diketahui dan distribusi probabilitas lepasan sebagai fungsi linier
daripada debit aliran sungai yang unregulated.
Genetic Algorithms
Salah satu metode yang cukup menjanjikan dengan mengadopsi sistem alami dalam mengoptimasi yaitu
dengan menerapkan Genetic algorithms (GA). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan fleksibilitas
dan efektivitasnya dalam mengoptimasi sistem yang bersifat kompleks (Reddy Janga dan Kumar Nagesh,
2006). Metode Genetic Algorithms (GA) menggunakan informasi fungsi tujuan secara langsung, dan
tidak membutuhkan fungsi turunan atau fungsi tambahan lainnya.
Ada empat macam aturan operasi waduk, yaitu: (Soetopo, W., 2010)
Simulasi Aturan Operasi Sederhana adalah operasi dengan melepaskan melepas air waduk
untuk memenuhi kebutuhan sepanjang masih ada persediaan air di waduk.
Simulasi Lepasan Berdasarkan Tampungan, pada aturan operasi waduk dimana lepasan
berdasarkan status tampungan waduk, maka dilakukan pembatasan terhadap lepasan apabila
tampungan waduk menurun besarnya.
Simulasi Lepasan Rule Curve Tunggal adalah skedul tampungan waduk yang paling ideal untuk
diikuti. Rule Curve adalah merupakan hasil daripada studi optimasi atau studi simulasi
Simulasi Lepasan Rule Curve Ganda Adalah Rule Curve yang terdiri dari kurva atas sebagai batas
maksimum tampungan waduk, dan kurva bawah sebagai batas minimum tampungan. Jadi
operasi waduk adalah bergerak diantara kedua batas tersebut
.
Dalam buku pedoman pengoperasian waduk tunggal, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,
ada tiga tahapan dalam mempersiapkan model optimasi (Anonim, 2004), yaitu :
Kinerja Waduk
Kinerja Pengoperasian Waduk merupakan indikator waduk dalam pengoperasian untuk memenuhi
kebutuhan. Beberapa indikator untuk menilai besarnya performance operasi waduk dapat meliputi
keandalan (reliability), kelentingan (resiliency) dan kerawanan (vulnerability) (Suharyanto, 1997 dalam
Aprizal, 2003). Desain penelitian yang terarah diperlukan agar pengoptimasian pola operasi waduk
mendapatkan hasil yang maksimal. Pada penelitian ini, beberapa tahapan pekerjaan yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
Melakukan pengumpulan data yang terkait pada pengoptimasian waduk seperti data outflow
eksisting, data inflow, data karakteristik waduk, data kebutuhan di hilir, data instalasi PLTA
termasuk juga data-data penunjang seperti studi terdahulu dan dokumentasi.
Melakukan pengelolaan data yang telah dikumpulkan tersebut sesuai dengan karakteristik yang
ada seperti pengolahan data debit inflow yang masuk ke waduk dan pembacaan volume
tampungan waduk.
Melakukan simulasi dengan menggunakan debit outflow historis untuk mendapatkan elevasi
operasi muka air waduk dan perkiraan produksi listrik eksisting.
Melakukan perhitungan optimasi dengan menggunakan model simulasi stokastik dengan
bantuan program solver evolutionery. Optimasi dilakukan dengan membuat aturan lepasan
waduk optimasi berdasarkan status tampungan.
Merumuskan pola kebijakan pengoperasian waduk yang didasarkan hasil optimasi.
Melakukan perbandingan produksi listrik hasil simulasi eksisting dengan hasil optimasi.
Melakukan perbandingan tampungan waduk hasil simulasi eksisting dengan tampungan hasil
optimasi.
Melakukan evaluasi kinerja sistem Waduk Wonogiri bila menerapkan pola operasi waduk hasil
optimasi.
Fungsi tujuan optimasi adalah memaksimalkan hasil atau unjuk kerja yang diharapkan dari sistem secara
keseluruhan. Hasil sistem dalam hal ini adalah produksi listrik dari PLTA pada sistem yang ditinjau. Fungsi
tujuan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
Dengan:
E = Energi Listrik
r1 = Stage Return (besarnya energi listrik yang bisa dihasilkan) tahap ke-n.
Simulasi eksisting bertujuan untuk mengetahui perkiraan produksi listrik serta tampungan waduk
wonogiri eksisting yang nantinya akan dibandingkan dengan hasil pola operasi waduk 112 Jurnal Teknik
Pengairan, Volume 6, Nomor 1, Mei 2015, hlm. 108-115 optimasi. Berdasarkan data eksisting yang
diperoleh dari Perum Jasa Tirta I Wonogiri operasi waduk pada tahun 2004 dimulai pada ketinggian
elevasi +130.5 meter
Pada penelitian ini diasumsikan bahwa pada Bulan Oktober sedang dilakukan kegiatan pengeringan di
Daerah Irigasi Colo dan juga kegiatan operasi dan pemeliharaan rutin berupa pengerukan di intake
waduk, sehingga debit outflow yang digunakan pada simulasi sebesar debit kebutuhan di hilir yaitu 6.23
m3 /detik. Kondisi tampungan waduk pada saat optimasi diasumsikan dalam keadaan penuh atau pada
elevasi +136.0 meter.
Aturan lepasan berdasarkan status tampungan hasil optimasi dengan menggunakan program solver
evolutionery dapat dilihat pada Gambar. 3. Aturan lepasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut,
apabila tampungan waduk lebih besar dari 80% dari kapasitas tampungan aktif berarti lepasan sebesar
86.82% dari kebutuhan dalam hal ini adalah debit maksimum PLTA dan seterusnya. Apabila tampungan
waduk tepat berada pada batas minimum, maka lepasan adalah mengikuti kisaran sebelumnya. Jadi
misalnya tampungan waduk berada pada angka 0% maka lepasan sebesar 0% (bukan 10%)
Ada dua aspek yang akan dibandingkan yaitu perbandingan produksi listrik dan perbandingan
tampungan waduk. Adapun hasil perbandingan kedua aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Simulasi terhadap Waduk Wonogiri menggunakan pola operasi hasil optimasi selama 10 tahun yaitu
tahun 2004-2013 menunjukan peningkatan produksi listrik jika dibandingkan dengan simulasi pola
operasi waduk dengan menggunakan data outflow eksisting. Tabel 2. Perbandingan Produksi Listrik
Total Waduk Eksisting dengan Optimasi Tahun 2004-2013
Tabel 2. menunjukan bahwa dengan menggunakan
pola kebijakan operasi dengan menggunakan model
stokastik mengalami peningkatan produksi listrik tahunan rata-rata sebesar 22.98% dari 33.820
MWh/15hari menjadi 41.593 MWh/15hari atau peningkatan total produksi listrik sebesar 77.733
MWh/15hari dalam sepuluh tahun.
b. Perbandingan Tampungan
Perbandingan tampungan waduk hasil simulasi eksisting dan hasil simulasi optimasi dapat dilihat pada
gambar 4. Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa pada suatu kondisi, tampungan waduk eksisting lebih
tinggi dari kondisi tampungan waduk hasil optimasi, demikian juga sebaliknya, tampungan waduk hasil
optimasi juga pada suatu kondisi lebih tinggi dari kondisi tampungan waduk eksisting. Namun bila
diperhatikan pola garis tampungan pada waduk hasil optimasi umumnya memiliki kecenderungan yang
sama dengan pola garis tampungan pada waduk eksisting. Keadaan tampungan nol yang merupakan
kondisi yang dihindari pada pengoperasian waduk tidak pernah dialami pada kondisi waduk hasil
simulasi eksisting maupun hasil optimasi. Hal ini menunjukan bahwa pengoperasian waduk telah dapat
mengakomodir beberapa fenomena alam yang tidak tetap atau berubah-ubah
Evaluasi Kinerja Waduk Hasil Optimasi
a. Keandalan Keandalan berfungsi mengukur kemampuan waduk untuk memenuhi fungsinya yaitu
memenuhi kebutuhan target pelepasan waduk. Pada penelitian ini keandalan memenuhi
lepasan kebutuhan PLTA dinyatakan dengan kemampuan waduk dalam memenuhi debit
minimum PLTA sebesar 14 m3 /detik dan keandalan pemenuhan di hilir waduk dinyatakan
dengan kemampuan memenuhi 80% kebutuhan air di hilir waduk.
Tabel 3. menunjukan bahwa dengan menggunakan pola operasi waduk hasil optimasi waduk
selalu berhasil dalam memenuhi kebutuhan lepasan PLTA dan memenuhi 80% dari kebutuhan
air di hilir waduk yang ditunjukan dengan keandalan sebesar 100%. Hasil evaluasi ini lebih baik
bila dibandingkan dengan waduk eksisting yang memiliki keandalan sebesar 82.50% dalam
memenuhi kebutuhan lepasan PLTA dan 75.42% dalam memenuhi 80% dari kebutuhan air di
hilir waduk.
b. Kelentingan
Kelentingan berfungsi mengukur kemampuan waduk untuk kembali ke keadaan memuaskan dari
keadaan gagal. Tabel 4. menunjukan bahwa kemampuan waduk untuk kembali ke keadaan memuaskan
dari keadaan gagal untuk memenuhi kebutuhan air PLTA dan pemenuhan di hilir waduk adalah sebesar
100% sedangkan untuk kelentingan waduk eksisting adalah sebesar 47.62% untuk pemenuhan PLTA dan
35.59% untuk pemenuhan 80% kebutuhan air di hilir.
c. Kerawanan
Kerawanan berfungsi untuk menentukan atau mengukur seberapa besar rawan suatu kegagalan jika
terjadi kegagalan.
Dari penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi Waduk Wonogiri dengan menggunakan
model simulasi stokastik maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari hasil simulasi eksisting diperoleh total produksi listrik yang dihasilkan oleh PLTA
Wonogiri adalah 338.196 Juta MWh/15hari atau rata-rata 33.820 MWh/15hari pertahunnya.
Tampungan waduk eksisting juga tidak pernah mengalami kondisi kosong dimana kekosongan
tampungan merupakan hal yang harus dihindari dalam pengoperasian waduk.
2. Dari simulasi model stokastik diperoleh aturan lepasan waduk berdasarkan status tampungan
yang paling optimal
3. Dari perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa hasil produksi listrik pola
operasi waduk optimasi lebih baik 22.98% bila dibandingkan dengan hasil produksi listrik pola operasi
waduk eksisting. Untuk perbandingan tampungan waduk baik pola operasi waduk eksisting maupun pola
operasi waduk optimasi pernah mengalami kondisi lebih baik satu sama lain dan bila diperhatikan pola
garis tampungan waduk eksisting dan optimasi memiliki pola atau tren yang hampir sama.
4. Dari evaluasi kinerja Waduk Wonogiri diketahui bahwa keandalan waduk optimasi untuk
memenuhi kebutuhan air PLTA dan memenuhi kebutuhan 80% air di hilir waduk adalah 100%. Hasil
tersebut lebih baik dari evaluasi kinerja waduk eksisting yang memiliki keandalan 82.50%, kelentingan
47.62% dan kerawanan 12.79% dalam memenuhi kebutuhan lepasan PLTA dan keandalan 75.42%,
kelentingan 35.59% serta kerawanan 12.18% dalam memenuhi 80% dari kebutuhan air di hilir waduk.
Waduk Wonogiri diharapkan dapat memanfaatkan potensi air yang ada, salah satunya untuk
keperluan pemenuhan energi listrik tenaga air. Akan tetapi ada kecenderungan penurunan
fungsi pelayanan waduk akibat sedimentasi. Oleh sebab itu, diperlukan suatu pengaturan,
perencanaan dan pengoperasian air waduk yang optimal sehingga didapatkan manfaat yang
sebesarbesarnya. Salah satu metode pengoperasian waduk untuk mendapatkan hasil yang
optimal yaitu dengan menerapkan simulasi pola operasi waduk model stokastik dengan bantuan
program solver evolutionery. Penerapan optimasi model stokastik memiliki hasil produksi listrik
yang lebih baik bila dibandingkan dengan pola operasi waduk eksisting. Produksi rata-rata
tahunan mengalami peningkatan sebesar 22.98% dari 33.820 MWh/15hari menjadi 41.593
MWh/15hari . Evaluasi kinerja menunjukan bahwa waduk memiliki keandalan 100% dalam
memenuhi kebutuhan lepasan PLTA dan pemenuhan air di hilir waduk.
Waduk
Dalam Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan dijelaskan bahwa defenisi
bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu, beton, dan / atau pasangan batu
yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan
menampung limbah (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk (Anonim, 2010)
Operasi waduk (reservoir operation) adalah penampungan aliran air sungai ke dalam sebuah waduk
(reservoir) dan pelepasan daripada air yang telah ditampung tersebut untuk berbagai tujuan tertentu.
Sedangkan pola operasi adalah patokan operasional periode suatu waduk dimana debit air yang
dikeluarkan oleh waduk harus mengikuti ketentuan agar elevasinya terjaga sesuai dengan rancangan.
Persamaan waduk dinyatakan sebagai berikut (Soetopo, W., 2010).
Model optimasi
Model optimasi adalah penyusunan suatu model sistem yang sesuai dengan keadaan nyata yang
nantinya dapat diubah ke dalam model matematis dengan pemisahan elemen-elemen pokok, agar suatu
penyelesaian yang sesuai dengan sasaran atau tujuan pengambilan keputusan dapat tercapai
(Subagyo,1984 dalam Irvani, H., 2012). Hal ini melibatkan pandangan pada masalah dalam tautan
keseluruhan sistem.
e. Model Stokastik
Ada tiga jenis model stokastik yang masingmasing memasukkan variabilitas hidrologi dan ketidakpastian
(Loucks, Stedinger dan Haith, 1981 dalam Irvani, H., 2012). Yang termasuk dalam model tersebut yaitu :
Model yang mendefinisikan sejumlah kemungkinan diskrit dari debit aliran sungai dan volume
tampungan, masing - masing dengan probabilitasnya.
Model yang mengidentifikasikan produksi air tetap tahunan, distribusinya dalam setahun dan
keandalannya.
Model chance-constrained yang mempunyai aturan-aturan yang menyatakan volume
tampungan waduk yang tidak diketahui dan distribusi probabilitas lepasan sebagai fungsi linier
daripada debit aliran sungai yang unregulated.
Genetic Algorithms
Salah satu metode yang cukup menjanjikan dengan mengadopsi sistem alami dalam mengoptimasi yaitu
dengan menerapkan Genetic algorithms (GA). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan fleksibilitas
dan efektivitasnya dalam mengoptimasi sistem yang bersifat kompleks (Reddy Janga dan Kumar Nagesh,
2006). Metode Genetic Algorithms (GA) menggunakan informasi fungsi tujuan secara langsung, dan
tidak membutuhkan fungsi turunan atau fungsi tambahan lainnya.
Ada empat macam aturan operasi waduk, yaitu: (Soetopo, W., 2010)
Simulasi Aturan Operasi Sederhana adalah operasi dengan melepaskan melepas air waduk
untuk memenuhi kebutuhan sepanjang masih ada persediaan air di waduk.
Simulasi Lepasan Berdasarkan Tampungan, pada aturan operasi waduk dimana lepasan
berdasarkan status tampungan waduk, maka dilakukan pembatasan terhadap lepasan apabila
tampungan waduk menurun besarnya.
Simulasi Lepasan Rule Curve Tunggal adalah skedul tampungan waduk yang paling ideal untuk
diikuti. Rule Curve adalah merupakan hasil daripada studi optimasi atau studi simulasi
Simulasi Lepasan Rule Curve Ganda Adalah Rule Curve yang terdiri dari kurva atas sebagai batas
maksimum tampungan waduk, dan kurva bawah sebagai batas minimum tampungan. Jadi
operasi waduk adalah bergerak diantara kedua batas tersebut.
Optimasi Operasi Waduk
Dalam buku pedoman pengoperasian waduk tunggal, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,
ada tiga tahapan dalam mempersiapkan model optimasi (Anonim, 2004), yaitu :
Kinerja Waduk
Kinerja Pengoperasian Waduk merupakan indikator waduk dalam pengoperasian untuk memenuhi
kebutuhan. Beberapa indikator untuk menilai besarnya performance operasi waduk dapat meliputi
keandalan (reliability), kelentingan (resiliency) dan kerawanan (vulnerability) (Suharyanto, 1997 dalam
Aprizal, 2003). Desain penelitian yang terarah diperlukan agar pengoptimasian pola operasi waduk
mendapatkan hasil yang maksimal. Pada penelitian ini, beberapa tahapan pekerjaan yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
Melakukan pengumpulan data yang terkait pada pengoptimasian waduk seperti data outflow
eksisting, data inflow, data karakteristik waduk, data kebutuhan di hilir, data instalasi PLTA
termasuk juga data-data penunjang seperti studi terdahulu dan dokumentasi.
Melakukan pengelolaan data yang telah dikumpulkan tersebut sesuai dengan karakteristik yang
ada seperti pengolahan data debit inflow yang masuk ke waduk dan pembacaan volume
tampungan waduk.
Melakukan simulasi dengan menggunakan debit outflow historis untuk mendapatkan elevasi
operasi muka air waduk dan perkiraan produksi listrik eksisting.
Melakukan perhitungan optimasi dengan menggunakan model simulasi stokastik dengan
bantuan program solver evolutionery. Optimasi dilakukan dengan membuat aturan lepasan
waduk optimasi berdasarkan status tampungan.
Merumuskan pola kebijakan pengoperasian waduk yang didasarkan hasil optimasi.
Melakukan perbandingan produksi listrik hasil simulasi eksisting dengan hasil optimasi.
Melakukan perbandingan tampungan waduk hasil simulasi eksisting dengan tampungan hasil
optimasi.
Melakukan evaluasi kinerja sistem Waduk Wonogiri bila menerapkan pola operasi waduk hasil
optimasi.
5. RESUME SIMULASI POLA OPERASI WADUK PANDANDURI DENGAN OPTIMASI
FAKTOR K IRIGASI
sebagai waduk regulator untuk meningkatkan cropping intencity (CI) 8 daerah irigasi (DI) dengan total
areal irigasi 8.823 ha. Inflow dari sungai Palung, suplesi Babak-RenggungRutus (existing) dan suplesi B.
Tempasan (rencana). Permasalahan waduk Pandanduri adalah rendahnya inflow tahunan. Keluaran
akhir kajian adalah dapat memberikan pedoman operasi optimal. Tujuan kajian adalah
memaksimumkan CI tiap DI, mengatur beban tampungan operasi tahun berikutnya (dV) dan
mengetahui distribusi air dalam jaringan irigasi melalui optimasi faktor K. Proses simulasi optimasi pola
operasi waduk (deterministik) dilakukan secara simultan dan menggunakan program linier (LP) serta
keandalan (80%, 50% & 20%) dengan Ms. Excel 2013-VBA. Simulasi menggunakan skenario K = 100%
dan optimasi faktor K dengan kombinasi awal musim tanam dan alternatif jenis tanam. Hasil K = 100%,
waduk tidak mampu memaksimumkan CI tiap DI dan frekwensi distribusi air adalah tidak terdistribusi.
Hasil CI optimasi K dengan kombinasi terbaik adalah DI Pandanduri = 289%, DI Swangi = 167%, DI
sistem Rere Penembem = 246% dan dV = 67% serta frekwensi distribusi air adalah terdistribusi.
Kesimpulan adalah melalui optimasi faktor K, hasil pedoman operasi menjadi optimal
Waduk Pandanduri terletak di WS Lombok, volume efektif 29,690 106 m3 dan melayani irigasi 8.823 ha
untuk 3 daerah irigasi (DI), DI Pandanduri, DI Swangi dan DI Sistem Rere Penembem. Inflow waduk dari
HLD BabakRenggung-Rutus (existing) dan rencana east diversion (HLD B. Tempasan / Qsup). Masalahan
yang terjadi adalah penurunan kinerja waduk karena minimnya inflow waduk dan pola operasi waduk
yang tidak mempertimbangkan faktor K irigasi. Hal ini dibuktikan dengan data dari BWS NT – I 2016,
bahwa waduk tidak pernah mengalami spillout sejak awal operasi (2015). Pada kajian ini dilakukan
simulasi pola operasi waduk melalui optimasi faktor K irigasi. Dengan program linier (LP) dalam model
simulasi (deterministik), bertujuan untuk memaksimumkan intensitas tanam (CI), selisih volume akhir
tahun – volume efektip rendah (dV) dan mengetahui distribusi air dalam jaringan irigasi untuk tiap DI
tiap skenario simulasi. Selain itu, kajian ini bertujuan mengetahui ketersedian air (QA) CA Swangi dan
CA sistem Rere Penembem dengan model F.J Mock, kebutuhan air irigasi maksimum (QD max) DI
Pandanduri, DI Swangi dan DI sistem Rere Penembem dan perbandingan CI existing dan CI Kajian.
Ketersediaan air (F.J Mock)
Model F.J Mock merupakan analisis yang menghitung besaran ketersediaan air (QA) dari data hujan,
misal isohyet. Berikut adalah tahapan analisis untuk model F.J Mock:
a) Penentuan awal musim hujan (AMH) berdasarkan BMKG (ZOM) dan jumlah hari dalam periode
(n),
b) Hujan wilayah (isohyet) untuk CA Swangi atau sistem Rere Penembem atau R (sesuai periode),
c) Menghitung evapotranspirasi standar (ETo),dengan persamaan:
dengan:
ETo = Evapotranspirasi standar (mm/hari)
d) Nilai koefisien bulan basah atau nilai exposed surface (m), Waduk Pandanduri
e) Menghitung nilai evapotranspirasi aktual (ETa) tiap periode dengan persamaan:
dengan:
dengan:
j) Nilai aliran dasar (B) atau base flow dihitung dengan persamaan:
dengan:
k) Direct run off (DRO) atau limpasan permukaan langsung adalah selisih dari WS dengan I pada
periode ke – t,
l) Run off (RO) atau limpasan permukaan adalah jumlah dari BF dan DRO
dengan:
Pada kajian ini, analisis F.J Mock untuk CA Swangi dan CA sistem Rere Penembem. Kedua CA ini tidak
terdapat AWLR. Koefisien F.J Mock didapatkan dari BWS NT-I yang telah terkalibrasi. Koefisien tersebut
adalah m, K, I, GWS dan WS. Sehingga hasil analisis ini telah terkalibrasi.
Kebutuhan air
a) Aliran pemeliharaan sungai Sesuai Surat Edaran Dir. Jen. Sumber Daya Air 2016, perlindungan
sungai dilakukan pula terhadap aliran pemeliharaan sungai (QM) sehingga untuk menjaga
ekosistem sungai diambil dari ketersediaan debit andalan 95%.
b) Kebutuhan air irigasi Persamaan yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan air irigasi
maksimum (QD max) dan kebutuhan air tanaman (NFR), sesuai KP – 02 (2013:123):
dengan:
P = Perkolasi (mm/hari)
Re = Curah hujan efektif (mm/hari)
Faktor K
Pada Pd-T-08-2005-A (2005:9), telah diatur mengenai pembagian air pada operasi jaringan
irigasi. Pembagian ini didasarkan oleh perhitungan faktor K yang dapat dituliskan sebagai berikut:
Jika waduk menjadi sumber suplai air untuk DI maka ketersediaan air di pintu intake akan
berganti menjadi pengeluaran air (QR) waduk. Persamaan faktor K menjadi:
dengan:
K = Faktor K (%)
Model optimasi
Model optimasi dilakukan untuk mencari variasi terbaik dalam variabel keputusan dan untuk
mempersiapkan model optimasi terdapat tiga tahapan sesuai Pd T-25- 2004-A (2004:2):
dengan:
CI = Intensitas tanam (%)
∑CI = Intensitas tanam total (%)
e = Efisiensi irigasi (%)
QD = Kebutuhan irigasi (lt/dt)
NFR = Kebutuhan air sawah bersih (lt/dt/ha)
Kopt = Faktor K optimal (%)
AI = Areal irigasi (m2)
d = Daerah irigasi,
d = 1,2,3.
G = Golongan,
g = 1,2,3,4. j = MT,
j = 1,2,3.
T = Periode waktu yang digunakan, t = 1,2,3,..,24.
Variabel keputusan
1. K inisial, Kin t ≥ Kmin,
2. K optimal, Kopt t ≥ Kin t
3. Keandalan waduk atau status volume, Vend t ≥ 0 4. Selisih volume waduk (dV), dV ≤
dVx dengan persamaan: dV = 1 െ మర × 100%
dengan:
dV = Selisih volume akhir dan efektif waduk (%)
dVx = Aturan selisih dV (%) Vend 24 = Volume waduk di periode ke - 24 (m3)
Veff = Volume efektif (m3) Vend
t = Volume akhir periode ke – t (m3)
Kin = Nilai faktor K tiap periode (%)
Kmin = Tetapan nilai faktor K minimum (%)
t = Periode waktu yang digunakan, t = 1,2,3,..,24.
Fungsi kendala
1. Keseimbangan waduk, Vcal t+1 = Vbeg t + It – VR t –VLoss t - VM t
2. Volume efektif waduk, Vcal t ≤ Veff
3. Debit suplesi (Qsup t), Qsup t = 460 lt/d
4. Areal irigasi (AI), ACdgtj ≤ AId
dengan:
AI = Areal irigasi (ha)
AC = Areal tanam (ha)
d = Daerah irigasi,
d = 1,2,3.
g = Golongan,
g = 1,2,3,4.
j = MT, j = 1,2,3.
T = Periode waktu yang digunakan,
t = 1,2,3,.,24. Vcal t = Volume pada akhir periode ke – t (m3)
Veff = Volume efektif (m3) Vbeg
t = Volume waduk pada awal periode ke - t (m3)
I t = Aliran masuk pada periode ke - t (m3)
VR t = Lepasan air atau release periode ke - t (m3)
VLoss t = Kehilangan air waduk periode ke - t (m3)
VM t = Aliran pemeliharaan sungai periode ke - t (m3)
Kehilangan Air Waduk
Sesuai Wilson (1993:53) dan Hadisusanto (2010:94), berikut adalah rumus metode
Penman modifikasi:
dengan:
Qf = Kapasitas filtrasi (m3/hari)
K = Koefisien filtrasi (m/dt)
H = Tinggi tekanan air total (m)
L = Panjang profil melintang tubuh bendungan (m)
Nf = Jumlah garis aliran filtrasi
Np = Jumlah garis equi-potensial
QA untuk CA Swangi dan sistem Rere Penembem. Kegunaan QA kedua CA ini adalah untuk mengetahui
beban pelayanan waduk dengan cara menselisihkannya dengan kebutuhan air irigasinya (QD net).
Sesuai dengan ALT dan AMT, nilai QD max untuk DI Pandanduri, Swangi dan sistem Rere Penembem
dapat diketahui.
Nilai Qf dikontrol < 1% dari rata – rata inflow (I) waduk. 1% rata – rata I =2,42.10-4 m3/dt dan Qf = 0,030
m3/dt sehingga Qf < nilai kontrol.
Nilai CI tiap MT sangat dipengaruhi oleh nilai I dan VD net. Hal ini dikarenakan pada aturan lepasan
berdasarkan kebutuhan (K=100%) sehingga nilai CI dapat menjadi sangat rendah walaupun dengan
penambahan suplesi dari bendung Tempasan dan tanpa pengaturan selisih dV. K adalah nilai faktor K =
100%, I adalah nilai inflow, VD net adalah volume kebutuhan netto, VR adalah volume lepasan dan VEnd
adalah volume akhir periode.
Dari setiap simulasi dengan kombinasi yang berbeda maka CI maksimum untuk keandalan 80% adalah
dengan skenario no. 4 (empat) dan ALT 2 AMT 2 atau kombinasi 7. Hal ini mengartikan bahwa waduk
Pandanduri sangat tergantung dari tambahan air dari east diversion sebesar 460 lt/dt tiap periodenya
untuk meningkatkan CI di tiap – tiap daerah layanan. K adalah nilai faktor K = 100%, I adalah nilai inflow,
VD net adalah volume kebutuhan netto, VR adalah volume lepasan dan VEnd adalah volume akhir
periode. Dengan menggunakan optimasi K maka Vend menurun sesuai dengan Kopt sehingga di periode
Nopember I (periode ke – 24) volume waduk kembali sebesar selisih dVx dan ini berdampak positif pada
operasi waduk tahun berikutnya.
Aturan operasi waduk yang terbaik adalah dengan skenario keempat dan kombinasi ketujuh (AMT 2 –
ALT 2)
Perbandingan CI
Perbandingan hasil CI existing dengan CI kajian. Dari perbandingan CI existing dengan CI kajian (optimasi
K) untuk AMT 2 dan ALT 2 maka CI kajian untuk DI Swangi < CI existing.
Dari hasil simulasi dengan skenario yang berbeda, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai
berikut:
1. Perhitungan QA untuk CA Swangi dan sistem Rere Penembem dengan model F.J Mock yang AMH
(awal musim hujan) disesuaikan pada prakiraan BMKG dan menggunakan koefisien model terkalibrasi,
memiliki nilai maksimum pada periode Nopember I untuk keandalan 80% dan nilai minimum terletak
pada periode Oktober II.
2. Waduk Pandanduri memiliki beban permintaan (QD max) yang cukup besar, dengan nilai terbesar
(maksimum) adalah pada periode Mei II untuk keandalan 80% dan nilai minimum pada periode
Nopember I.
3. Dari perhitungan ETo* dengan Penman modifikasi, memiliki nilai maksimum pada periode Oktober II
dan nilai minimum pada Juni II. Nilai filtrasi waduk Pandanduri adalah 0,030 m3 /dt dengan metode
flownet.
4. Dengan simulasi menggunakan skenario I dan II (K = 100%), menggambarkan bahwa waduk tidak
dapat melepaskan air tiap periode karena mengalami kekosongan tampungan dan VEnd 24 mengalami
kekosongan atau dV = 100%.
5. Dengan simulasi menggunakan skenario III dan IV (optimasi K), menggambarkan bahwa waduk dapat
melepaskan air tiap periode terkecuali jika inflow <<< dVx (aturan selisih volume akhir tahun dengan
volume efektip).
6. Hasil nilai CI dengan skenario I dan II (K = 100%) untuk tiap MT pada tiap DI memiliki nilai yang cukup
rendah karena terdapat banyak periode dengan tanpa distribusi air dari waduk.
7. Hasil nilai CI dengan skenario III dan IV (optimasi K) untuk tiap MT pada tiap DI memiliki nilai yang
tinggi karena terdapat banyak periode dengan terdistribusinya air dari waduk.
8. Aturan operasi waduk memiliki hasil yang optimal dengan mengoptimasi faktor K.
Model F.J Mock merupakan analisis yang menghitung besaran ketersediaan air (QA) dari data hujan,
misal isohyet. Berikut adalah tahapan analisis untuk model F.J Mock:
l) Penentuan awal musim hujan (AMH) berdasarkan BMKG (ZOM) dan jumlah hari dalam periode
(n),
m) Hujan wilayah (isohyet) untuk CA Swangi atau sistem Rere Penembem atau R (sesuai periode),
n) Menghitung evapotranspirasi standar (ETo),dengan persamaan:
dengan:
t) Direct run off (DRO) atau limpasan permukaan langsung adalah selisih dari WS dengan I pada
periode ke – t,
l) Run off (RO) atau limpasan permukaan adalah jumlah dari BF dan DRO
Pada kajian ini, analisis F.J Mock untuk CA Swangi dan CA sistem Rere Penembem. Kedua CA ini tidak
terdapat AWLR. Koefisien F.J Mock didapatkan dari BWS NT-I yang telah terkalibrasi. Koefisien tersebut
adalah m, K, I, GWS dan WS. Sehingga hasil analisis ini telah terkalibrasi.
Kebutuhan air
c) Aliran pemeliharaan sungai Sesuai Surat Edaran Dir. Jen. Sumber Daya Air 2016, perlindungan
sungai dilakukan pula terhadap aliran pemeliharaan sungai (QM) sehingga untuk menjaga
ekosistem sungai diambil dari ketersediaan debit andalan 95%.
d) Kebutuhan air irigasi Persamaan yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan air irigasi
maksimum (QD max) dan kebutuhan air tanaman (NFR), sesuai KP – 02 (2013:123):
Faktor K
Pada Pd-T-08-2005-A (2005:9), telah diatur mengenai pembagian air pada operasi jaringan
irigasi. Pembagian ini didasarkan oleh perhitungan faktor K yang dapat dituliskan sebagai berikut:
Jika waduk menjadi sumber suplai air untuk DI maka ketersediaan air di pintu intake akan
berganti menjadi pengeluaran air (QR) waduk. Persamaan faktor K menjadi:
Model optimasi
Model optimasi dilakukan untuk mencari variasi terbaik dalam variabel keputusan dan untuk
mempersiapkan model optimasi terdapat tiga tahapan sesuai Pd T-25- 2004-A (2004:2):
Sesuai Wilson (1993:53) dan Hadisusanto (2010:94), berikut adalah rumus metode
Penman modifikasi:
Nilai CI tiap MT sangat dipengaruhi oleh nilai I dan VD net. Hal ini dikarenakan pada aturan lepasan
berdasarkan kebutuhan (K=100%) sehingga nilai CI dapat menjadi sangat rendah walaupun dengan
penambahan suplesi dari bendung Tempasan dan tanpa pengaturan selisih dV. K adalah nilai faktor K =
100%, I adalah nilai inflow, VD net adalah volume kebutuhan netto, VR adalah volume lepasan dan VEnd
adalah volume akhir periode.
Karakteristik waduk
Fungsi utama dari waduk adalah untuk menyediakan tampungan sumber air agar bisa
digunakan saat dibutuhkan. Tampungan yang dibutuhkan di suatu sungai untuk memenuhi
permintaan tertentu tergantung tiga faktor, yaitu:
1. Variabilitas aliran sungai.
2. Ukuran permintaan.
3. Tingkat kendalan dari pemenuhan permintaan.
Rangkaian aliran di sungai Q(t) akan dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan air dengan kebutuhan
yang tertentu D(t). Dengan demikian pertanyaan yang muncul dapat berupa, berapa besar kapasitas
waduk (C) yang harus disediakan bagi suatu pelepasan yang terkendali (release) dengan tingkat
keandalan yang dapat diterima. Mungkin ada variasi lain dari pertanyaan ini, misalnya menentukan
pelepasan bagi suatu kapasitas tertentu, tetapi masalah dasarnya tetap sama yaitu hubungan antara
karakteristik aliran masuk (inflow), kapasitas waduk, pelepasan yang terkendali (release) dan keandalan
yang ditemukan.
Bagian-bagian pokok sebagai ciri fisik suatu waduk adalah sebagai berikut:
1) Tampungan berguna (usefull storage), menurut Seyhan (Seyhan, 1979:24), adalah
volume tampungan diantara permukaan genangan minimum (Low Water Level = LWL)
dan permukaan genangan normal (Normal Water Level = NWL).
2) Tampungan tambahan (surcharge storage) adalah volume air diatas genangan normal
selama banjir. Untuk beberapa saat debit meluap melalui pelimpah. Kapasitas tambahan
ini biasanya tidak terkendali, dengan pengertian adanya hanya pada waktu banjir dan
tidak dapat dipertahankan untuk penggunaan selanjutnya (Linsey, 1985:65).
3) Tampungan mati (daed storage) adalah volume air yang terletak dibawah permukaan
genangan minimum, dan air ini tidak dimanfaatkan dalam pengoperasian waduk.
4) Tampungan tebing (valley storage) adalah banyaknya air yang terkandung di dalam
susunan tanah pervious dari tebing dan lembah sungai. Kandungan air tersebut
tergantung dari keadaan geologi tanah.
5) Permukaan genangan normal (normal water level/NWL), adalah elevasi maksimum
yang dicapai oleh permukaan air waduk.
6) Permukaan genangan minimum (low water level/LWL), adalah elevasi terendah bila
tampungan dilepaskan pada kondisi normal, permukaan ini dapat ditentukan oleh
elevasi dari bangunan pelepasan yang terendah.
7) Permukaan genangan pada banjir rencana adalah elevasi air selama banjir maksimum
direncanakan terjadi (flood water level/FWL).
8) Pelepasan (realese), adalah volume air yang dilepaskan secara terkendali dari suatu
waduk selama kurun waktu tertentu.
9) Periode kritis (critical periode), adalah periode dimana sebuah waduk berubah dari
kondisi penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode itu. Awal periode
kritis adalah keadaan waduk penuh dan akhir periode kritis adalah ketika waduk
pertama kali kosong.
Usia Guna Waduk
Usia guna waduk adalah masa manfaat waduk dalam menjalankan fungsinya, sampai
terisi penuh oleh sedimen kapasitas tampungan matinya. Dalam penjelasan ini untuk
memprediksikan usia guna waduk berdasarkan pada dua cara, yaitu:
1. Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Kapasitas Tampungan Mati (Dead Storage)
Perhitungan ini berdasarkan pada berapa waktu yang dibutuhkan oleh sedimen untuk
mengisi kapasitas tampungan mati. Dengan diketahui besarnya kapasitas tampungan mati dan
besarnya kecepatan laju sedimen yang mengendap, maka akan diketahui waktu yang dibutuhkan
sedimen untuk mengisi pada daerah tampungan mati. Semakin bertambah umur maka semakin
berkurang kapasitas tampungan matinya, yang kemudian akan mengganggu pelaksanaan
operasional waduk. Sehingga hal ini merupakan acuan untuk memprediksikan kapan kapasitas
tampungan mati tersebut akan penuh.
1. Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Besarnya Distribusi Sedimen Yang Mengendap Di Tampungan
Dengan Menggunakan The Empirical Area Reduction Method
Metode ini pertama kali diusulkan oleh Lane dan Koezler ( 1935 ), yang kemudian
dikembangkan oleh Borland Miller (1958, dalam USBR,1973) dan Lara (1965, dalam
USBR,1973). Dengan metode ini dapat diprediksi bagaimana sedimen terdistribusi di dalam
waduk pada masa-masa yang akan datang. Dalam perhitungan ini sebagai acuan untuk
menentukan usia guna waduk berdasar pada hubungan fungsi antara luas genangan dengan
elevasi genangan dan kapasitas tampungan. Sebagai patokan elevasi pintu pengambilan sebagai
acuannya. Sehingga apabila elevasi pintu pengambilan akan dicapai oleh elevasi endapan
sedimen, maka kegiatan operasional waduk akan terganggu, yang pada akhirnya secara teknis
akan mengakibatkan tidak berfungsinya waduk.
dengan:
I = debit yang masuk ke permulaan bagian memanjang palung sungai (m3/dt)
Q = debit yang keluar dari akhir bagian memanjang palung sungai (m3/dt)
s = besarnya tampungan (storage) dalam bagian memanjang palung sungai yang ditinjau (m3)
dt = periode penelusuran (detik, jam atau hari)
Tetapi pada penelusuran lewat palung sungai besarnya tampungan tergantung pada debit masuk
dan debit keluar. Persamaan yang menyangkut kepada debit masuk dan debit keluar. Persamaan
yang menyangkut hubungan S dan Q pada palung sungai hanya berlaku untuk hal-hal yang
khusus, yang bentuknya adalah sebagai berikut:
S = k {x I + (1-x) Q}
k dan x ditentukan oleh hidrograf debit masuk dan debit keluar yang masing-masing
diamati pada saat bersamaan, sehingga hanya berlaku untuk bagian memanjang palung sungai
yang ditinjau.
Faktor x merupakan faktor penimbang (weight) yang besarnya berkisar antara 0 dan 1,
biasanya lebih kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-kira sama dengan 0,3 serta
tidak berdimensi
Karena S mempunyai dimensi volume, sedangkan I dan Q berdimensi debit, maka k harus
dinyatakan dengan dimensi waktu (jam atau hari).
Dari persamaan (2-2) dapat dibuat persamaan berikut:
S1 = k {x I1 + (1-x) Q1}
S2 = k {x I2 + (1-x) Q2}
Pada umumnya kecepatan air di waduk di depan ambang bangunan pelimpah sangat
kecil, sehingga dapat diabaikan. Kalau fasilitas pengeluarannya berupa terowongan, maka harus
diperhitungkan terhadap dua macam keadaan:
1. Pada saat seluruh panjang terowongan belum terisi penuh oleh air, sehingga masih belum berupa
aliran alur terbuka. Dalam hal ini digunakan rumus kontinuitas Q = V.A, dimana V
menggunakan rumus Manning.
2. Pada saat seluruh panjang terowongan penampang atau profil alirannya terisi penuh oleh
air,sehingga terjadi aliran tekan atau aliran pipa. Dalam hal demikian kecepatan airnya
ditentukan oleh perbedaan tinggi tekanan di permulaan dan ujung terowongan. Perbedaan
tekanan tersebut merupakan penjumlahan dari kehilangan energi yang dipengaruhi oleh bentuk
inlet terowongan, kekasaran dinding terowongan, adanya penyempitan atau pelebaran dalam
terowongan, adanya belokan dan bentuk outlet terowongan.
Pada suatu elevasi muka air setinggi kurang lebih 1,5 kali diameter terowongan di atas sumbu
terowongan di hulu inlet terjadi peralihan dari aliran alur bebas menjadi aliran tekan. Karena peralihan
tersebut tidak dapat ditentukan pada ketinggian yang tepat.
Pembangkitan Data Inflow
Terdapat tiga model yang digunakan dalam perhitungan-perhitungan hidrologi yaitu
model deterministik, model probabilistik, model stokastik. Model stokastik mampu mengisi
kekosongan di antara kedua model tersebut, yaitu mempertahankan sifat-sifat peluang yang
berhubungan dengan runtun waktu kejadiannya. Termasuk dalam model stokastik adalah proses
perpanjangan runtun data.
Sedangkan dasar-dasar teknik pembangkitan data dapat dijelaskan seperti berikut, dasar
proses perpanjangan runtun data (generated) adalah bahwa prosesnya tidak berubah, dalam arti
sifat-sifat statistik proses terhadap runtun data historis tidak berubah terhadap waktu sehingga
sifat-sifat kejadian sesungguhnya dapat dipakai untuk membuat runtun data sintetis yang
panjang. Kegunaan pembangkitan data debit sungai adalah:
a) Untuk memenuhi kebutuhan tampungan waduk dengan data sintetis
b) Untuk membantu perancangan waduk akibat data kurang panjang
c) Untuk simulasi pengoperasian waduk
Pembangkitan data dalam hal ini memerlukan proses dimana kekuatan-kekuatan yang
saling bersangkut paut dan menimbulkan pengaruh bertindak menghasilkan suatu rangkaian
waktu (time series). Proses terbaik adalah yang sesuai dengan karakteristik fisik dari rangkaian
waktu tersebut. Sedangkan dari segi pandang stokastik, aliran sungai bisa dipandang dari empat
komponen yaitu:
1) Komponen kecenderungan (Tt)
2) Komponen periodik atau musiman (St)
3) Komponen korelasi (Kt)
4) Komponen acak (t)
Yang dapat dikombinasikan secara sederhana sebagai berikut:
Xt = Tt + St + Kt + t
Konsep dari metode stokastik adalah pembangkitan data dengan cara mempertahankan
karakteristik data debit historis, melalui parameter rerata data, standar deviasi dan koefisien korelasi
antar waktu.
Bilangan Random
Data debit historis dan sintetik memiliki urutan terjadi berdasarkan proses acak, serta
terletak dalam interval waktu tertentu. Urutan nilai ini sering disebut rangkaian waktu (time
series). Secara umum nilai ke-i dari variabel X yang merupakan anggota dari suatu rangkaian
waktu adalah jumlah dari 2 komponen.
Xi = di + ei
Dimana komponen deterministik diperoleh dari nilai parameter-parameternya dan nilai
sebelumnya dari proses, seperti Xi+1, Xi+2 dan seterusnya. Komponen bilangan
acak uniform dengan cara sebagai berikut:
t1 = (u1 + u2 + u3 + ………… + u12) – 6
dengan:
t1 dan t2 = bilangan acak normal
u1,u2,u3 = bilangan acak uniform
Metode Thomas–Fiering
Untuk membangkitkan data debit dapat digunakan model Thomas-Fiering. Model ini
menganggap bahwa setahun terbagi menjadi musim atau terdiri dari 12 bulan. Dianggap bahwa
data aliran adalah x1.1, x1.2,……x1.12, x2.1, x2.2,……..,xn.12; contoh, indeks pertama menyatakan
tahun dimana aliran terjadi dan kedua berjalan secara siklus dari 1 ke 12.
Simulasi Pola Operasi di Waduk
Tergantung dari kebutuhannya, maka lingkup waktu dari simulasi mencakup 1 tahun
operasi atau lebih. Salah satu operasi dibagi-bagi menjadi sejumlah periode, misalnya
bulanan, 15 harian, 10 harian, mingguan, maupun harian. Persamaan umum simulasi
operasi waduk adalah Neraca Keseimbangan Air (water balance).Aturan umum
dalam simulasi waduk adalah:
1. Air waduk tidak boleh turun di bawah tampungan aktif. Dalam banyak keadaan,
maka batas bawah tampungan aktif ini ditentukan oleh tingginya
lubang outlet waduk.
2. Air waduk tidak dapat melebihi batas atas tampungan aktif. Dalam banyak
keadaan maka batas atas tampungan aktif ini ditentukan oleh puncak spillway.
Apabila terjadi kelebihan air, maka kelebihan ini akan melimpah (spillout).
3. Ada beberapa waduk (waduk multiguna) yang memiliki batasan debit yang
dikeluarkan (outflow), baik debit maksimum atau debit minimum.
Pola Operasi Waduk Harian dan Waduk Tahunan
Pola operasi waduk adalah suatu acuan pengaturan air untuk pengoperasian waduk-
waduk yang disepakati bersama oleh para pemanfaat air dan pengelola melalui Panitia Tata
Pengaturan Air (PTPA). Maksudnya adalah sebagai pedoman pengaturan air untuk memenuhi
berbagai kebutuhan air dan pengendali banjir, dengan tujuan untuk memenfaatkan air secara
optimal dengan cara mengalokasikan secara proporsional sedemikian sehingga tidak terjadi
konflik antar kepentingan dan pengendalian banjir pada musim hujan.
Waduk tahunan berfungsi sebagai penampung/penyadiaan air dan pengendali fluktuasi
debit yang terjadi selama kurun waktu satu tahun, sedangkan waduk harian berfungsi sebagai
pengatur/pengendali fluktuasi debit yang terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek, yaitu
satu hari saja. Ketersediaan air di waduk tergantung dari kapasitas waduk dan debit inflow yang
masuk ke waduk. Fluktuasi debit air yang masuk ke waduk sangat dipengaruhi oleh penutup
lahan di hulu waduk.
Kapasitas tampungan harus dapat menjamin pasokan air dengan keandalan pemenuhan 100%.
Outflow Melalui Pelimpah
Secara umum, hidrograf adalah suatu grafik yang menunjukkan keragaman debit (dapat
juga limpasan, tinggi muka air, kecepatan, beban sedimen, dan lain-lain) dengan waktu.
Hidrograf periode pendek terdiri atas cabang naik, puncak (maksimum) dan cabang turun.
Bentuk umum hidrograf ini dikendalikan oleh faktor-faktor meteorologis (jumlah dan intensitas
curah hujan, dan lain-lain), agihan (agihan areal dan waktu curah hujan) dan tanah. Karena itu,
hidrograf merupakan salah satu tanggapan aliran sungai terhadap masukan curah hujan.
Hidrograf outflow spillway adalah grafik hubungan antara debit outflow spillway dan
waktu. Penentuan outflow spillway harus memperhitungkan liku debit diatas spillway. Untuk
waduk kecil, besarnya debit antara hidrograf inflow dan outflow hampir sama, nilai puncak dan
perbedaan waktu mencapai nilai puncak antara hidrograf outflow dan inflow tidak begitu jauh,
jadi debit inflow yang masuk ke inflow cenderung untuk segera dibuang dalam jumlah yang
sama. Untuk waduk besar, besarnya debit antara hidrograf inflow dan outflow memperlihatkan
perbedaan yang besar, nilai puncak dan perbedaan waktu mencapai nilai puncak antara
hidrograf outflow dan inflow cukup jauh, jadi debit inflow yang masuk ke waduk cenderung
ditampung terlebih dahulu, atau dengan kata lain outflow dibuang dalam waktu yang lebih lama.
Waduk besar baik digunakan sebagai pengendali banjir.
Pengembangan sumber daya air dalam peningkatan produksi pangan merupakan hal yang
penting dalam usaha pertanian, dimana irigasi merupakan salah satu bagian dari program
intensifikasi pertanian. Peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi merupakan salah satu bentuk
pengembangan sumber daya air bagi pertanian.
Penggunaan air irigasi ditetapakan dalam peraturan pemerintah no. 23 pasal 4 dan pasal 7 tahun
1992 tentang irigasi yaitu air irigasi digunakan untuk mengairi tanaman, selain itu digunakan
untuk pemukiman, ternak dan sebagainya. Untuk memperoleh hasil produksi yang optimal
pemberian air harus sesuai dengan jadwal dengan jumlah dan waktu yang diperlukan tanaman.
Dalam pembangunan proyek irigasi banyaknya air diperlukan untuk pertanian harus diketahui
dengan tepat, sehingga pemberian air irigasi dapat diefisienkan dengan maksimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya pemakaian air irigasi adalah:
a. Jenis tanaman
b. Cara pemberian air
c. Jenis tanah
d. Cara pengolahan dan pemeliharaan saluran serta bangunan (dengan memperhitungkan
kehilangan air berkisar 30% - 40%)
e. Waktu tanam yang berturutan yang berselang lebih dari dua minggu sehingga memudahkan
pergiliran air
f. Pengolahan tanah
g. Iklim dan cuaca, meliputi; curah hujan, angin, letak lintang, kelembaban, dan suhu udara
dengan:
DR = kebutuhan air irigasi pada pitu pengambilan (m3).
WR = kebutuhan air disawah (mm/hari).
A = luas sawah yang diairi (ha).
Ki = efisiensi irigasi (%).
T = periode waktu pemberian air (hari).
= jumlah hari dalam 1 periode x 24 jam x 3600 detik.
Perkiraan kebutuhan air disawah:
Turbin
Terdapat dua jenis turbin, yaitu turbin impuls dan turbin reaksi. Pada turbin impuls,
pancaran (jet) air bebas mendorong bagian turbin yang terbuka yang ditempatkan pada tekanan
atmosfir. Pada turbin reaksi, aliran air terjadi dengan tekanan pada ruang tertutup. Meskipun
energi yang diberikan pada turbin impuls adalah semata-mata energi kinetik sedangkan turbin
reaksi juga memanfaatkan tekanan disamping energi kinetik, tetapi kedua jenis turbin tersebut
tergantung kepada perubahan momentum dari air, sehingga gaya dinamiklah yang berputar
atau runner dari turbin tersebut.
Untuk PLTA pada umumnya turbin yang dipakai biasanya turbin reaksi. Pada dasarnya
turbin reaksi dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Turbin Francis
2. Turbin baling-baling
Pada turbin Francis yang biasa air masuk kedalam rumah siput dan bergerak
kedalam runner melalui sederet sudut pengatur dengan celah-celah penyempitan yang mengubah
tinggi tekanan menjadi tinggi kecepatan.
Turbin baling-baling adalah suatu mesin yang digerakkan oleh gerakan aksial
dengan runnernya diletakkan di dalam saluran tertutup. Ada satu jenis lagi turbin reaksi yang
sering dipakai yaitu turbin kaplan. Turbin kaplan adalah suatu turbin baling-baling dengan daun
baling-baling yang dapat bergerak dan gerak majunya dapat diatur agar sesuai dengan kondisi
operasi yang baik.
PLTA di Waduk
PLTA di waduk adalah PLTA yang mempunyai tampungan air yang ukurannya cukup
untuk memungkinkan penampungan air kelebihan musim hujan guna musim kemarau yang
dimaksud untuk mengatur pastinya aliran air yang lebih dari pada aliran alamiah minimum.
Suatu PLTA aliran sungai biasanya hanya mempunyai kapasitas waduk yang terbatas dan hanya
dapat mempergunakan air bila memang datang.
Suatu pengembangan tenaga air umumnya meliputi sebuah bangunan sadap, suatu pipa
saluran (pipa pesat) untuk mengaliri air ke turbin, turbin-turbin dengan mekanisme pengaturnya,
generator pelengkapan kontrol dan tombol penghubung, rumah peralatan, transfromator dan
jarak transmisi ke pusat-pusat distribusi.
Dalam waduk, biasanya PLTA dibangun dengan dilengkapi pompa untuk
membangkitkan energi untuk beban puncak, tetapi pada waktu-waktu tertentu diluar itu airnya
dipompa dari kolam air buangan ke kolam hulu untuk pemanfataan yang akan datang. Pompa ini
memiliki nilai ekonomis tambahan bagi jaringan daya yang bersangkutan. Penentuan PLTA di
waduk dapat diperhitungkan tanpa memperhatikan tampungan (ROR = Run Of River) atau
dengan memperhatikan tampungan harian:
a. PLTA di waduk tanpa tampungan (ROR) dengan menggambarkan lengkung durasi atau
hubungan antar debit dengan presentasi waktu
b. PLTA dengan tampungan harian (ROR)
Q2 = .Q1
dengan :
Pw = daya pembangkit PLTA (kw)
EffPLTA = efisiensi PLTA (%)
Q = debit outflow yang lewat PLTA (m3/det)
He = head efektif dari PLTA (m)
Head efektif suatu PLTA dapat dicari dari hubungan berikut :
He = El.MAW – El.TWL – Head loss
dengan :
El.MAW = elevasi Muka Air Waduk (m)
El. TWL = elevasi Tail Water Level di saluran tailrace (m)
Head loss = kehilangan tinggi di penstock dan waterway
Penilaian kuantitatif kegagalan waduk dapat didasarkan pada kegagalan menurut jumlah
kejadian (occurance based probability) maupun jumlah kekurangan air (volume based
probability). Peluang keandalan dalam operasi waduk didefinisikan sebagai hubungan antara
volume waduk dengan volume kebutuhan air, atau bila dinyatakan dalam persamaan adalah
sebagai berikut:
Periode Kritis
Periode kritis (critical period), yaitu periode dimana sebuah waduk berubah dari kondisi
penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tersebut. Awal periode kritis adalah
waduk dalam keadaan penuh, akhir periode kritis adalah ketika waduk pertama kali kosong. Jadi
hanya satu kali kegagalan yang bisa terjadi selama periode kritis. Definisi tersebut tidak diterima
sepenuhnya, misalnya U.S. Army Corps of Engineer (1975) menetapkan periode kritis mulai
dari kondisi penuh melewati kekosongan dan kembali ke kondisi penuh serta memakai istilah
periode muka air surut kritis (Critical drawdown period) terhadap perubahan tingkat penuh ke
tingkat kosong. Selanjutnya yang dipakai dalam analisa adalah definisi dari U.S. Army Corps of
Engineer.
Periode Kritis
Periode kritis (critical period), yaitu periode dimana sebuah waduk berubah dari kondisi
penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tersebut. Awal periode kritis adalah
waduk dalam keadaan penuh, akhir periode kritis adalah ketika waduk pertama kali kosong. Jadi
hanya satu kali kegagalan yang bisa terjadi selama periode kritis. Definisi tersebut tidak diterima
sepenuhnya, misalnya U.S. Army Corps of Engineer (1975) menetapkan periode kritis mulai
dari kondisi penuh melewati kekosongan dan kembali ke kondisi penuh serta memakai istilah
periode muka air surut kritis (Critical drawdown period) terhadap perubahan tingkat penuh ke
tingkat kosong. Selanjutnya yang dipakai dalam analisa adalah definisi dari U.S. Army Corps of
Engineer.
Karakteristik waduk
Fungsi utama dari waduk adalah untuk menyediakan tampungan sumber air agar bisa
digunakan saat dibutuhkan. Tampungan yang dibutuhkan di suatu sungai untuk memenuhi
permintaan tertentu tergantung tiga faktor, yaitu:
1. Variabilitas aliran sungai.
2. Ukuran permintaan.
3. Tingkat kendalan dari pemenuhan permintaan.
Rangkaian aliran di sungai Q(t) akan dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan air dengan kebutuhan
yang tertentu D(t). Dengan demikian pertanyaan yang muncul dapat berupa, berapa besar kapasitas
waduk (C) yang harus disediakan bagi suatu pelepasan yang terkendali (release) dengan tingkat
keandalan yang dapat diterima. Mungkin ada variasi lain dari pertanyaan ini, misalnya menentukan
pelepasan bagi suatu kapasitas tertentu, tetapi masalah dasarnya tetap sama yaitu hubungan antara
karakteristik aliran masuk (inflow), kapasitas waduk, pelepasan yang terkendali (release) dan keandalan
yang ditemukan.
Penilaian kuantitatif kegagalan waduk dapat didasarkan pada kegagalan menurut jumlah
kejadian (occurance based probability) maupun jumlah kekurangan air (volume based
probability). Peluang keandalan dalam operasi waduk didefinisikan sebagai hubungan antara
volume waduk dengan volume kebutuhan air, atau bila dinyatakan dalam persamaan adalah
sebagai berikut:
Periode Kritis
Periode kritis (critical period), yaitu periode dimana sebuah waduk berubah dari kondisi
penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tersebut. Awal periode kritis adalah
waduk dalam keadaan penuh, akhir periode kritis adalah ketika waduk pertama kali kosong. Jadi
hanya satu kali kegagalan yang bisa terjadi selama periode kritis. Definisi tersebut tidak diterima
sepenuhnya, misalnya U.S. Army Corps of Engineer (1975) menetapkan periode kritis mulai
dari kondisi penuh melewati kekosongan dan kembali ke kondisi penuh serta memakai istilah
periode muka air surut kritis (Critical drawdown period) terhadap perubahan tingkat penuh ke
tingkat kosong. Selanjutnya yang dipakai dalam analisa adalah definisi dari U.S. Army Corps of
Engineer.
Periode Kritis
Periode kritis (critical period), yaitu periode dimana sebuah waduk berubah dari kondisi
penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tersebut. Awal periode kritis adalah
waduk dalam keadaan penuh, akhir periode kritis adalah ketika waduk pertama kali kosong. Jadi
hanya satu kali kegagalan yang bisa terjadi selama periode kritis. Definisi tersebut tidak diterima
sepenuhnya, misalnya U.S. Army Corps of Engineer (1975) menetapkan periode kritis mulai
dari kondisi penuh melewati kekosongan dan kembali ke kondisi penuh serta memakai istilah
periode muka air surut kritis (Critical drawdown period) terhadap perubahan tingkat penuh ke
tingkat kosong. Selanjutnya yang dipakai dalam analisa adalah definisi dari U.S. Army Corps of
Engineer.
Kegiatan operasi dan pemeliharaan bendungan adalah suatu kegiatan yang sangat penting agar
bendungan bekerja secara normal, sehingga memberikan manfaat sesuai dengan rencana. Kegiatan
operasi dan pemeliharaan yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, akan
mengurangi efektifitas bendungan dan bahkan dapat membahayakan keamanan bendungan
tersebut.. Dalam penelitian ini digunakan Balanced Scorecard (BSC) untuk membantu dalam
melakukan pengukuran kinerja kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik. Metode
BSC adalah metode yang direncanakan untuk meningkatkan kemampuan dalam kinerjanya secara
berkesinambungan. Penilaian kinerja untuk tiap BKK adalah dari nilai (1) buruk, nilai (2) sedang, nilai
(3) baik dan nilai (4) baik sekali. Hasil evaluasi kinerja BKK Misi nilai (3,67), BKK Pembelajaran dan
Pengembangan nilai (3,33) dan BKK Proses Bisnis Internal nilai (3,50). Ketiga BKK tersebut
dikategorikan baik. Hasil evaluasi kinerja BKK Pemilik Kepentingan ( Stakeholder ) nilai (1,50),
dikategorikan buruk. Sedangkan hasil evaluasi kinerja BKK Keuangan nilai (2,67), dikategorikan
sedang. Hasil evaluasi kinerja operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik nilai (3,18),
dikategorikan baik.
Bendungan Cengklik
Bendungan Cengklik dibangun masa penjajahan Hindia Belanda pada tahun 1923. Pada awal
pembangunan bertujuan memenuhi kebutuhan air untuk Pabrik Gula Colomadu. Namun pada
perkembangannya, mulai tahun 1998 fungsinya mulai dikembangkan untuk keperluan irigasi dengan
menambah suplesi air Kali Pepe dengan membangun Bendung Watuleter beserta saluran suplesinya
( Teguh Yuono, 2012 ) Manfaat Bendungan Cengklik : 1) Irigasi, Air hujan yang turun ditampung dan
dimanfaatkan untuk irigasi lahan pertanian. Adapun saat ini luas areal lahan pertanian yang dilayani oleh
Waduk Cengklik yaitu 1578 Ha. 2) Pengendalian Banjir, Disaat musim hujan dimana air melimpah, dan
infiltrasi air kedalam tanah kecil, serta kapasitas saluran drainase maupun sungai tidak mencukupi maka
dapat mengakibatkan terjadinya banjir. Waduk sangat diperlukan sebagai bangunan untuk menampung
sementara air yang melimpah ini. Adapun volume efektif Waduk Cengklik adalah sebesar 9,773 juta m3 .
3) Pariwisata, Dengan pemandangan yang indah, waduk dapat menjadi tempat tujuan rekreasi keluarga
yang murah. Hal ini juga dapat menambah lapangan kerja masyarakat disekitar waduk dan dengan
pengelolaan yang baik dapat menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Boyolali. 4) Perikanan, Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor : 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan, peruntukan waduk juga dapat untuk kegiatan
perikanan dengan keramba maupun jala apung. Namun demikian jumlahnya perlu dibatasi ataupun
keberadaannya harus melalui kajian terlebih dahulu.
Operasi Bendungan
Operasi bendungan harus dilakukan berdasarkan rencana operasi tahunan, adapun rencana operasi
tahunan disusun berdasar pola operasi bendungan ( rule curves ). Dan rencana operasi tahunan ini
secara berkala harus di evaluasi dan di update menyesuaikan kondisi yang ada. Kegiatan operasi
bendungan meliputi : 1) Pengumpulan dan pengolahan data hidrologi ( Perkiraan air masuk,
ketersediaan air dan peramalan banjir ). 2) Penyusunan pola operasi bendungan ( rules Curves ) 3)
Menyusun dan melaksanakan rencana tahunan operasi bendungan. 4) Melaksanakan operasi
bendungan dalam keadaan darurat. 5) Penyusunan laporan dan dokumentasi.
Pemeliharaan Bendungan
Pemeliharaan adalah suatu kegiatan dalam rangka mempertahankan fungsi waduk sesuai dengan umur
layanan, menjaga kuantitas dan kualitas air waduk serta menjaga keamanan bendungan. Menurut
Permen PUPR No. 27/PRT/M/2015, Pemeliharaan dibagi atas : Pemeliharaan pencegahan rutin :
Pembersihan rumput atau semak, Perawatan jalan masuk, Drainase lingkungsn berikut toe drain,
Menara intake beserta pelengkapnya, Pelumasan alat hidromekanikal, Pembersihan rumah jaga beserta
kantor lapangan, Pemeliharaan pencegahan berkala : Pengecatan rumah jaga beserta kantor lapangan,
Pengecatan alat hidromekanikal, Perawatan waduk terutama terhadap bagaimana mempertahankan
volume waduk atau bagaimana cara mengurangi sedimen masuk waduk. Pemeliharaan luar biasa,
Pemeliharaan luar biasa, dilakukan berdasar kebutuhan diluar jadwal pemeliharaan yang telah
ditetapkan, ditujukan untuk perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh kemunduran mutu, banjir,
gempa bumi, kemacetan peralatan, kegagalan (struktural,hidrolis,rembesan,operasi dll), vandalisme,
dan lain sebagainya.
Balanced Scorecard
Konsep Balanced Scrorecard dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang berawal dari
studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis dan usaha di era tahun 1990. BSC terdiri dari dua suku
kata: (i) Balanced (berimbang) dan (ii) scorecard (kartu skor). Metoda BSC digunakan oleh manajemen
guna menggapai pelayanan prima melalui keseimbangan pada: pelayanan pelanggan, pengaturan
keuangan, proses bisinis internal dan pembelajaran pertumbuhan. (Isnugroho, 2013). Kaplan, R.S. (1992)
mengemukakan bahwa metoda Balanced Scorecard (BSC) dapat menjawab empat pertanyaan pokok,
yaitu: (i) bagaimana membuat pelanggan mempercayai kita, (ii) Apa yang harus kita laksanakan, (iii)
Apakah kita akan terus berkembang dan berinovasi, dan (iv) bagaimana pengaturan sistem keuangan
( Isnugroho, 2013 ). Menurut Kaplan dan Norton (2004), rancangan BSC yang dilaksanakan pada
organisasi publik adalah dalam rangka untuk mewujudkan misi organisasi tersebut. Suatu organisasi
yang akan membangun BSC sebagai sistem manajemen strategik harus menetapkan : a). Visi, misi, dan
tujuan; b). Menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam empat perspektif BSC. Penerapan BSC
dalam suatu perencanaan strategik dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi pemerintahan
dalam menerjemahkan visi, misi, dan strategi organisasi ke dalam tindakan-tindakan yang terukur dan
terencana dengan baik (Harisonzantiago, 2016). Balance Scorecard menggunakan empat standar
perspektif BSC atau ada juga yang menyatakan sebagai Critical Performance Area (Bidang Kinerja Kritis),
yaitu: pelanggan (costumers), keuangan (finacial), proses bisinis internal (internal business process)
serta pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth), yang penjelasannya sebagai berikut
( Isnugroho, 2013 ) : 1) Pelanggan (costumers), Setiap usaha, lembaga atau organisasi tentu memiliki
pelanggan (costumers) atau pemilik kepentingan (stakeholders). Kepercayaan mereka tentu menjadi
tujuan utama
lembaga tersebut. 2) Proses Bisnis Internal (internal businness process), Proses Bisinis Internal adalah
serangkaian kegiatan organisasi agar dapat menciptakan jasa/produk guna memenuhi harapan
pelanggan. 3) Pembelajaran dan Pertumbuhan (learning and growth), Perspektif ini menggambarkan
kemampuan organisasi dalam mempelajari keadaan pelanggan dan melakukan perubahan,
pertumbuhan maupun inovasi guna pelayanan kepada pelanggan. 4) Financial (keuangan), Perspektif
keuangan menggambarkan kegiatan lembaga dalam pengaturan keuangan meliputi cost recovery
maupun efisiensi keuangan agar dijamin keberlangsungan organisasi tersebut.
Misi yang mantap dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan agar dapat mencapai keseimbangan.
Karena pentingnya misi ini, maka misi juga dimasukkan sebagai bidang kinerja kritis ( Isnugroho 2013 ).
Sehingga BKK dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Misi, 2) Pemilik Kepentingan (Stakeholder)
3) Proses Bisnis Internal, 4) Pembelajaran dan Pertumbuhan, 5) Keuangan
Rumusan Tujuan dan Indikator serta Parameter Pada Semua Bidang Kinerja Kritis (BKK)
Bidang Kinerja Kritis Misi, Tujuan dari BKK ini adalah terlaksananya kegiatan operasi dan pemeliharaan
Bendungan Cengklik yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air terpadu. Indikator : 1)
Pengelola operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik. Bidang Kinerja Kritis pemilik kepentingan
(Stakeholder) , Tujuan dari BKK ini adalah meningkatkan kepuasan pemilik kepentingan (Stakeholder)
dan masyarakat di sekitar Bendungan Cengklik dengan adanya kegiatan operasi dan pemeliharaan
Bendungan Cengklik. Indikator : 1) Petani dalam wadah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). 2)
Kepuasan stakeholder dan masyarakat di sekitar Bendungan Cengklik Bidang Kinerja Kritis Pembelajaran
dan Pertumbuhan, Tujuan BKK adalah untuk mengevaluasi dan meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia petugas operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik dan pemanfaatan teknologi untuk
peningkatan kinerja kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik Indikator : 1)
Pengembangan sumber daya manusia. 2) Pengembangan teknologi Bidang Kinerja Kritis Proses Bisnis
Internal, Tujuan BKK ini adalah efisiensi pemanfaatan air dan untuk menjaga agar bendungan berfungsi
sesuai peruntukannya melalui kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik Indikator : 1)
Perencanaan dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik. 2) Standard operasi dan
prosedur pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik 3) Operasi Bendungan
Cengklik. 4) Pemeliharaan pencegahan Bendungan Cengklik. 5) Pemeliharaan pencegahan luar biasa. 6)
Pengelolaan data dan informasi Bidang Kinerja Kritis Keuangan, Tujuan BKK ini adalah untuk efisiensi dan
efektifitas keuangan dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan Bendungan Cengklik. Indikator : 1)
Penganggaran. 2) Efisiensi Keuangan
Penilaian Kinerja dari Tiap Bidang Kinerja Kritis (BKK)
Rating scale Pengukuran kinerja dilakukan berdasarkan keadaan dan realita kinerja pada tahun atau
periode yang yang diukur dari setiap indikator kinerja melalui parameter – parameter yang telah
disusun. Capaian kinerja dapat diketahui melalui perhitungan indeks kinerja, untuk itu terlebih dahulu
harus ditentukan indeks capaian terhadap kinerja organisasi/lembaga. Indeks capaian kinerja yang
digunakan adalah mengacu kepada indeks kinerja dalam format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah LAKIP (.horizonzantiago 2016 ) Penerapan pengukuran kinerja dengan menggunakan
kerangka kerja yang telah disusun dengan Balanced Scorecard membutuhkan skor tertentu (Norma
Scoring), maka perlu penetapan skor terlebih dahulu
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, yaitu responden tinggal memberi
tanda contreng (√) terhadap alternatif jawaban yang dipilih. Sebelum digunakan, kuesioner diuji coba
dahulu untuk mengetahui reliabilitas dan validitasnya. Uji coba dilakukan kepada petani dalam wadah
P3A di disekitar Bendungan Cengklik, pengujian awal menggunakan 15 responden.
1. Uji Validitas
Uji validitas dipergunakan untuk menguji kemampuan suatu kuesioner apakah dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur. Validitas adalah suatu indek yang menunjukkan alat ukur yaitu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Ghozali, 2006). Uji validitas dilakukan dengan rumus Product Moment
dengan bantuan program komputer SPSS for Windows. Instrumen dikatakan valid jika nilai rhitung
diperoleh lebih besar dari rtabel yaitu
0,514 dengan jumlah sampel (N=15) dan tingkat signifikansi 5%. Adapun rumus Product Moment adalah
sebagai berikut:
Keterangan :
n : Jumlah sampel
x : Skor pertanyaan
y : Skor total
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan kepada petani dalam wadah P3A di disekitar Bendungan Cengklik,pengujian
menggunakan 15 responden. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Alfa Cronbach test dengan
menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) VERSI 15.0 karena merupakan teknik yang
handal untuk mengukur konsistensi internal pertanyaan. Menurut Ghozali (2006) kuesioner atau angket
dikatakan reliabel jika memiliki nilai alfa minimal 0,6. Adapun empirik Alfa Cronbach’s test adalah
sebagai berikut:
Keterangan :
(∑xii + ∑xii) : Penyebut menunjukkan semua elemen dari matrik korelasi dijumlahkan bersama-sama.
Data dari kuisener penelitian ini merupakan data kuantitatif, yang kemudian akan dianalisis secara
deskriptif persentase. Adapun menurut Ridwan (2004:71-95) analisis persentase dan perhitungan skor
untuk setiap item pertanyaan adalah :
Keterangan:
Dari hasil analisa dan pembahasan penelitian mengenai “Evaluasi Kinerja Operasi dan Pemeliharaan
Bendungan Cengklik Dengan Menggunakan Balanced Scorecard” , dapat penulis simpulkan :
1) Berdasarkan hasil identifikasi Bidang Kinerja Kritis ( BKK ), tujuan dan indikator kegiatan operasi dan
pemeliharaan Bendungan Cengklik, menunjukkan terdapat hubungan dan keterkaitan antara masing –
masing Bidang Kinerja Kritis (BKK) yang berpengaruh pada kinerja operasi dan pemeliharaan Bendungan
Cengklik.
2. Pengukuran kinerja untuk tiap BKK adalah dari nilai (1) buruk, nilai (2) sedang, nilai (3) baik dan nilai
(4) baik sekali. Hasil evaluasi kinerja BKK Misi nilai (3,67), BKK Pembelajaran dan Pertumbuhan nilai
(3,33) dan BKK Proses Bisnis Internal nilai (3,50). Ketiga BKK tersebut dikategorikan baik. Untuk kinerja
BKK Pemilik Kepentingan ( Stakeholder ) nilai (1,50), dikategorikan buruk. Sedangkan untuk kinerja BKK
Keuangan nilai (2,67), dikategorikan sedang. Untuk hasil evaluasi kinerja operasi dan pemeliharaan
Bendungan Cengklik dikategorikan baik, nilai adalah (3,18). Namun demikian, agar kinerja operasi dan
pemeliharaan Bendungan Cengklik meningkat, dan kondisi keseimbangan dalam konsep Balanced
Scorecard terwujud maka kinerja BKK Pemilik Kepentingan (Stakeholder) dan kinerja BKK Keuangan
harus ditingkatkan.
Bendungan Cengklik dibangun masa penjajahan Hindia Belanda pada tahun 1923. Pada awal
pembangunan bertujuan memenuhi kebutuhan air untuk Pabrik Gula Colomadu. Namun pada
perkembangannya, mulai tahun 1998 fungsinya mulai dikembangkan untuk keperluan irigasi dengan
menambah suplesi air Kali Pepe dengan membangun Bendung Watuleter beserta saluran suplesinya
( Teguh Yuono, 2012 ) Manfaat Bendungan Cengklik : 1) Irigasi, Air hujan yang turun ditampung dan
dimanfaatkan untuk irigasi lahan pertanian. Adapun saat ini luas areal lahan pertanian yang dilayani oleh
Waduk Cengklik yaitu 1578 Ha. 2) Pengendalian Banjir, Disaat musim hujan dimana air melimpah, dan
infiltrasi air kedalam tanah kecil, serta kapasitas saluran drainase maupun sungai tidak mencukupi maka
dapat mengakibatkan terjadinya banjir. Waduk sangat diperlukan sebagai bangunan untuk menampung
sementara air yang melimpah ini. Adapun volume efektif Waduk Cengklik adalah sebesar 9,773 juta m3 .
3) Pariwisata, Dengan pemandangan yang indah, waduk dapat menjadi tempat tujuan rekreasi keluarga
yang murah. Hal ini juga dapat menambah lapangan kerja masyarakat disekitar waduk dan dengan
pengelolaan yang baik dapat menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Boyolali. 4) Perikanan, Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor : 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan, peruntukan waduk juga dapat untuk kegiatan
perikanan dengan keramba maupun jala apung. Namun demikian jumlahnya perlu dibatasi ataupun
keberadaannya harus melalui kajian terlebih dahulu.
Operasi Bendungan
Operasi bendungan harus dilakukan berdasarkan rencana operasi tahunan, adapun rencana operasi
tahunan disusun berdasar pola operasi bendungan ( rule curves ). Dan rencana operasi tahunan ini
secara berkala harus di evaluasi dan di update menyesuaikan kondisi yang ada. Kegiatan operasi
bendungan meliputi : 1) Pengumpulan dan pengolahan data hidrologi ( Perkiraan air masuk,
ketersediaan air dan peramalan banjir ). 2) Penyusunan pola operasi bendungan ( rules Curves ) 3)
Menyusun dan melaksanakan rencana tahunan operasi bendungan. 4) Melaksanakan operasi
bendungan dalam keadaan darurat. 5) Penyusunan laporan dan dokumentasi.
Pemeliharaan Bendungan
Pemeliharaan adalah suatu kegiatan dalam rangka mempertahankan fungsi waduk sesuai dengan umur
layanan, menjaga kuantitas dan kualitas air waduk serta menjaga keamanan bendungan. Menurut
Permen PUPR No. 27/PRT/M/2015, Pemeliharaan dibagi atas : Pemeliharaan pencegahan rutin :
Pembersihan rumput atau semak, Perawatan jalan masuk, Drainase lingkungsn berikut toe drain,
Menara intake beserta pelengkapnya, Pelumasan alat hidromekanikal, Pembersihan rumah jaga beserta
kantor lapangan, Pemeliharaan pencegahan berkala : Pengecatan rumah jaga beserta kantor lapangan,
Pengecatan alat hidromekanikal, Perawatan waduk terutama terhadap bagaimana mempertahankan
volume waduk atau bagaimana cara mengurangi sedimen masuk waduk. Pemeliharaan luar biasa,
Pemeliharaan luar biasa, dilakukan berdasar kebutuhan diluar jadwal pemeliharaan yang telah
ditetapkan, ditujukan untuk perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh kemunduran mutu, banjir,
gempa bumi, kemacetan peralatan, kegagalan (struktural,hidrolis,rembesan,operasi dll), vandalisme,
dan lain sebagainya.
Balanced Scorecard
Konsep Balanced Scrorecard dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang berawal dari
studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis dan usaha di era tahun 1990. BSC terdiri dari dua suku
kata: (i) Balanced (berimbang) dan (ii) scorecard (kartu skor). Metoda BSC digunakan oleh manajemen
guna menggapai pelayanan prima melalui keseimbangan pada: pelayanan pelanggan, pengaturan
keuangan, proses bisinis internal dan pembelajaran pertumbuhan. (Isnugroho, 2013). Kaplan, R.S. (1992)
mengemukakan bahwa metoda Balanced Scorecard (BSC) dapat menjawab empat pertanyaan pokok,
yaitu: (i) bagaimana membuat pelanggan mempercayai kita, (ii) Apa yang harus kita laksanakan, (iii)
Apakah kita akan terus berkembang dan berinovasi, dan (iv) bagaimana pengaturan sistem keuangan
( Isnugroho, 2013 ). Menurut Kaplan dan Norton (2004), rancangan BSC yang dilaksanakan pada
organisasi publik adalah dalam rangka untuk mewujudkan misi organisasi tersebut. Suatu organisasi
yang akan membangun BSC sebagai sistem manajemen strategik harus menetapkan : a). Visi, misi, dan
tujuan; b). Menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam empat perspektif BSC. Penerapan BSC
dalam suatu perencanaan strategik dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi pemerintahan
dalam menerjemahkan visi, misi, dan strategi organisasi ke dalam tindakan-tindakan yang terukur dan
terencana dengan baik (Harisonzantiago, 2016). Balance Scorecard menggunakan empat standar
perspektif BSC atau ada juga yang menyatakan sebagai Critical Performance Area (Bidang Kinerja Kritis),
yaitu: pelanggan (costumers), keuangan (finacial), proses bisinis internal (internal business process)
serta pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth), yang penjelasannya sebagai berikut
( Isnugroho, 2013 ) : 1) Pelanggan (costumers), Setiap usaha, lembaga atau organisasi tentu memiliki
pelanggan (costumers) atau pemilik kepentingan (stakeholders). Kepercayaan mereka tentu menjadi
tujuan utama
lembaga tersebut. 2) Proses Bisnis Internal (internal businness process), Proses Bisinis Internal adalah
serangkaian kegiatan organisasi agar dapat menciptakan jasa/produk guna memenuhi harapan
pelanggan. 3) Pembelajaran dan Pertumbuhan (learning and growth), Perspektif ini menggambarkan
kemampuan organisasi dalam mempelajari keadaan pelanggan dan melakukan perubahan,
pertumbuhan maupun inovasi guna pelayanan kepada pelanggan. 4) Financial (keuangan), Perspektif
keuangan menggambarkan kegiatan lembaga dalam pengaturan keuangan meliputi cost recovery
maupun efisiensi keuangan agar dijamin keberlangsungan organisasi tersebut.
Rating scale Pengukuran kinerja dilakukan berdasarkan keadaan dan realita kinerja pada tahun atau
periode yang yang diukur dari setiap indikator kinerja melalui parameter – parameter yang telah
disusun. Capaian kinerja dapat diketahui melalui perhitungan indeks kinerja, untuk itu terlebih dahulu
harus ditentukan indeks capaian terhadap kinerja organisasi/lembaga. Indeks capaian kinerja yang
digunakan adalah mengacu kepada indeks kinerja dalam format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah LAKIP (.horizonzantiago 2016 ) Penerapan pengukuran kinerja dengan menggunakan
kerangka kerja yang telah disusun dengan Balanced Scorecard membutuhkan skor tertentu (Norma
Scoring), maka perlu penetapan skor terlebih dahulu
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, yaitu responden tinggal memberi
tanda contreng (√) terhadap alternatif jawaban yang dipilih. Sebelum digunakan, kuesioner diuji coba
dahulu untuk mengetahui reliabilitas dan validitasnya. Uji coba dilakukan kepada petani dalam wadah
P3A di disekitar Bendungan Cengklik, pengujian awal menggunakan 15 responden.
Uji Validitas
Uji validitas dipergunakan untuk menguji kemampuan suatu kuesioner apakah dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur. Validitas adalah suatu indek yang menunjukkan alat ukur yaitu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Ghozali, 2006). Uji validitas dilakukan dengan rumus Product Moment
dengan bantuan program komputer SPSS for Windows. Instrumen dikatakan valid jika nilai rhitung
diperoleh lebih besar dari rtabel yaitu
0,514 dengan jumlah sampel (N=15) dan tingkat signifikansi 5%. Adapun rumus Product Moment adalah
sebagai berikut:
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan kepada petani dalam wadah P3A di disekitar Bendungan Cengklik,pengujian
menggunakan 15 responden. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Alfa Cronbach test dengan
menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) VERSI 15.0 karena merupakan teknik yang
handal untuk mengukur konsistensi internal pertanyaan. Menurut Ghozali (2006) kuesioner atau angket
dikatakan reliabel jika memiliki nilai alfa minimal 0,6. Adapun empirik Alfa Cronbach’s test adalah
sebagai berikut:
Bendungan Tilong dibangun tahun 1999 dan selesai pada bulan Desember tahun 2001.
Bendungan Tilong terletak di sungai Tilong, Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah,
Kabupaten Kupang, NTT, (Depertemen Pekerjaan Umum, 2006). Tujuan Pembangunan
Bendungan Tilong untuk memenuhi air baku dan air irigasi. Irigasi merupakan usaha
memperoleh air untuk mengairi sawah, ladang, perkebunan, perikanan atau tambak. Daerah
Irigasi Tilong terbagi menjadi dua areal yaitu Tilong kanan dengan luas layanan 1.251 Ha
mengaliri daerah Manifu, Oelpuah, Puluti, Batu Oe, Oefafi, Noelbaki dan Tilong kiri dengan luas
layanan 233 Ha mengaliri daerah Fatukanutu dapat dilihat pada lampiran 1, (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2013). Jaringan irigasi mengalami beberapa kerusakan seperti rusaknya tubuh
saluran akibat erosi tebing, tanaman liar pada saluran akibat kurangnya pemeliharaan dan
terdapat beberapa saluran yang tidak difungsikan untuk mengaliri lahan sesuai luas pengaliran
rencana, inilah sehingga peneliti ingin mengevaluasi kinerja jaringan irigasi Fatukanutu apakah
sudah berfungsi sesuai rencana selama masa pengoperasian atau tidak. Untuk mengetahui
seberapa efektifnya Jaringan Irigasi Fatukanutu dapat dinilai dengan cara menganalisis
kinerjanya, yaitu dengan melakukan sistem pendekatan yang mengacu pada 3 aspek yaitu aspek
fisik, aspek pemanfaatan, dan aspek operasi dan pemeliharaan (O&P). Ditinjau dari aspek fisik,
pada bangunan-bangunan irigasi ada tidaknya kerusakan selama masa layanannya, aspek
pemanfaatanya dengan adanya Jaringan Irigasi dapat tidaknya memberikan kecakupan air untuk
memenuhi kebutuhan irigasi petani sekitar dengan melihat efisiensi penyaluran air ke lahan
pertanian atau perkebunan dan dari aspek operasi dan pemeliharaan dinilai dari lancar atau
tidaknya kegiatan pemerintah atau kelompok pengelolahan dan pemeliharaan sarana saluran
irigasi yaitu P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air)
Bangunan Irigasi
Bangunan irigasi dalam jaringan irigasi teknis mulai dari awal sampai akhir dapat dibagi menjadi dua
kelompok, (Marwardi E, 2007: 10) yaitu :
2. Bangunan pelengkap untuk mengatasi halangan/rintangan sepanjang saluran dan bangunan lain.
Bentuk-Bentuk Saluran Bentuk penampang saluran pada muka tanah umumnya ada beberapa macam.
Tabel 1 memperlihatkan beberapa bentuk saluran terbuka.
Debit Air (Q)
Debit aliran (Q), adalah jumlah air yang mengalir melalui tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu,
yang biasanya dinyatakan dalam meter kubik perdetik (m3 /dtk). Untuk memenuhi kebutuhan air
pengairan irigasi bagi lahan-lahan pertanian, debit air di daerah bendung harus lebih cukup untuk
disalurkan ke saluran-saluran (Primer-Sekunder-Tersier) yang telah disiapkan di lahan-lahan
pertanaman. Rumus perhitungan debit (Kriteria Perencanaan Jaringan Irigasi ( KP3), 1986:20) Q = V x A
(12) Dimana : Q = debit saluran (m3/dtk), v = kecepatan aliran (m/dtk), A = potongan melintang aliran
(m2).
Pengukuran Debit
Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan
menggunakan pengukuran dengan Current Meter. Pengukuran kecepatan arus dengan current meter
baling-baling (Propeller Current Meter) baling-baling berputar terhadap sumbu horisontal. Jumlah
puturan persatuan waktu dapat dikonversi menjadi kecepatan arus. Hubungan antara jumlah putaran
per detik, n, dan kecepatan aliran, v, mempunyai bentuk linier berikut (Triatmodjo B, 2008:124) : v = a +
b.n (13)
Dimana :
v = Kecepatan arus a,
b = Kontanta yang diperoleh dari kalibrasi alat yang dilakukan oleh pabrik pembuatnya.
n = Jumlah putaran perdetik Kecepatan rerata di setiap vertikal dapat ditentukan dengan salah satu
metode berikut yang tergantung pada ketersediaan waktu, ketelitian yang diharapkan, lebar dan
kedalaman sungai. (Triatmodjo B, 2008:124)
Kehilangan Air
Pada Saluran Kehilangan air pada tiap ruas pengukuran debit masuk (Inflow) – debit keluar (Outflow)
diperhitungkan sebagai selisih antara debit masuk dan debit keluar. (Bunganaen W, 2011:3) hn = In – On
(14)
Dimana :
Efisiensi Saluran Irigasi Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk mengevaluasi
kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawah air. Efisiensi dihitung berdasarkan jumlah air yang
hilang selama penyaluran dengan menggunakan persamaan sebagai berikut ( Saubaki, 2005:28) :
Sesuai ketentuan yang disyaratkan dalam kriteria perencanaan irigasi (KP-03, 1986:8) tercantum batasan
nilai efisiensi pada jaringan utama yaitu saluran primer dan sekunder sebesar 90 %, dengan kehilangan
air 5-10%.
Tolak ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Efektifitas
pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh perbandingan antara luas areal terairi terhadap luas
rancangan, juga dapat diartikan bahwa irigasi yang dikelola secara efektif mampu mengairi areal sawah
sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini tingkat efektifitas ditunjukkan oleh indeks luas area
(Ramadhan F, 2013:27).
1. Pelaksanaan pengoperasian jaringan irigasi Sebelum jaringan irigasi dioperasikan maka terlebih
dahulu perlu adanya perencanaaan pengoperasiannya. Perencanaaan pengoperasian jaringan irigasi
dilaksanakan setiap tahun yang berguna untuk menghitung perkiraan kebutuhan suplai air. Kegiatan ini
dimulai dengan pendistribusian air untuk masyarakat dimana air tersebut harus selalu dijaga agar dapat
memenuhi fungsinya. Terutama dalam pengaturan pemberian air saluran irigasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan pelaksanaan dan pengendalian, (Rade B, 2011:20)
a. Kegiatan pelaksanaan meliputi kegiatan persiapan, penyusunan rencana kegiatan, organisasi, tugas
dan fungsi pelaksana, pengadaan dan penggunaan bahan/alat, pelaksanaan kegiatan fisik, produktivitas
pekerjaan dan lain-lain.
3. Pemeliharaan
Pemeliharan penting dilakukan untuk mengoptilkan fungsi dari perencanaan bangunan dengan tetap
menjaga fungsi dari bangunan. Pemeliharaan yang baik merupakan persyaratan utama untuk
pengoperasian jaringan irigasi yang efisien. Pemeliharaan yang buruk akan mengurangi umur jaringan,
mengurangi efisiensi jaringan dan menyebabkan rehabilitasi besar-besaran. Oleh karena itu tujuan dari
pemeliharan tersebut : (Direktorat jenderal pengairan, 1997:V-1)
2. Menciptakan pemakaian maksimum dari seluruh fasilitas jaringan melalui pemeliharaan dan
perbaikan yang cukup.
3. Menjaga agar umur manfaat dari jaringan tercapai tanpa rehabilitasi besar-besaran.
4. Menjaga agar sasaran pembangunan jaringan tercapai dengan biaya yang rendah.
Pemeliharaan dan operasi ditetapkan oleh pemerintah, pemeliharaan saluran irigasi yang baik dapat
dibuktikan lantara lain :
4. Tidak adanya tumbuhan yang tinggi lebih dari 20 cm (dikanan dan kiri tanggul), ada kalanya sayur-
sayuran dan tumbuhan lain dapat ditanam dengan catatan tidak mengganggu Operasi & Pemeliharaan
dan mendapat ijin tertulis dari pengawas,
5. Salah satu dari tanggul setidak-tidaknya dapat dipakai oleh pejalan kaki,
6. Semua pintu sadap berfungsi. Saluran yang terpelihara baik ditandai dengan tanggul dapat digunakan
oleh penjalan kaki, semua bangunan sadap dilengkapi dengan pintu, meskipun hanya dari kayu, dan
papan duga yang ada selalu di kalibrasi.
Daerah Irigasi Fatukanutu terletak di desa Fatukanutu, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.
Daerah tersebut secara titik geografis terletak pada koordinat 10o 09’ LS dan 123o 44’ BT. Daerah Irigasi
difungsikan pada tahun 2003 dengan luas wilayah seluas 233 Ha (Lampiran 1). Daerah irigasi Fatukanutu
mendapat suplai air dari Bendungan Tilong, yang terletak pada titik koordinat 10o 09’ LS dan 123o 45’
BT (Gambar 4).
1 bangunan
4. Talang : 4 bangunan
Pengukuran dan perhitungan debit dilakukan terhadap semua sub bagian dengan cara melakukan
pengukuran pada posisi inflow dan outflow. Pengukuran ini dilakukan dengan maksud mengetahui
kehilangan air dari selisih dari debit inflow – outflow pada suatu ruas saluran.
Hasil analisa untuk 8 sub ruas bagian pada aspek fisik maka nilai rata-rata untuk masingmasing sub
bagian
Aspek Pemanfaatan
Luas keseluruhan lahan Fatukanutu yang dikelolah seluas 45.55 Ha dari luas rencana yaitu 233 Ha.
Tingkat efektifitas ditunjukkan oleh indeks luas area
Jaringan Irigasi Fatukanutu terdiri dari 8 sub bagian, kinerjanya dilihat dari ketiga aspek yaitu aspek fisik,
aspek pemanfaatan, dan aspek O & P yang telah dianalisa.
Hasil analisis kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu secara keseluruhan dari ketiga aspek fisik, pemanfaatan
dan O & P, diperoleh nilai rata-rata adalah:
Kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu dengan melihat 3 Aspek yaitu Aspek Fisik, aspek Pemanfaatan dan
Aspek O & P. Jaringan Irigasi fatukanutu terdapat 3 sub bagian yang difungsikan dalam pengelolahan
lahan yaitu BT 1 dengan memproleh nilai rata-rata 3 aspek sebesar 2.93 cukup baik, BFK 3 dengan
memproleh nilai rata-rata 3 aspek sebesar 3.52 baik dan BFK 4 dengan memproleh nilai rata-rata 3
aspek sebesar 3.11 cukup baik, sedangkan 5 sub bagian lainnya tidak dimanfaatkan untuk pengelolaan
lahan sehingga Kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu secara keseluruhan berdasarkan 3 aspek memproleh
nilai sebesar 2.19
1. Jaringan Irigasi Fatukanutu di lihat dari aspek fisik memproleh nilai rata-rata sebesar 2.93, Cukup
Baik.
2. Jaringan Irigasi Fatukanutu di lihat dari aspek pemanfaatan memproleh nilai rata-rata sebesar
1.98, Kurang Baik dan efektifitas pengelolaan lahan 45.55 Ha dari luas lahan rencana 233 Ha
sebesar 19.55 % yaitu terdapat tiga sub ruas bagian yang difungsikan dan dimanfaatkan dalam
pengelolahan lahan yaitu BT 1,BFK 3 dan BFK 4, sedangkan 5 sub bagian lainnya tidak
dimanfaatkan untuk pengelolaan lahan yaitu Sub Bagian BFK 1, BFK 2, BFK 5, BFK 6, BFK 7.
3. Jaringan Irigasi Fatukanutu di lihat dari aspek O & P memproleh nilai rata-rata sebesar 1.65,
Kurang Baik.
4. Kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu secara keseluruhan berdasarkan ketiga aspek tersebut
memperoleh nilai sebesar 2.19 Kurang Baik.
Bangunan Irigasi
Bangunan irigasi dalam jaringan irigasi teknis mulai dari awal sampai akhir dapat dibagi menjadi dua
kelompok, (Marwardi E, 2007: 10) yaitu :
2. Bangunan pelengkap untuk mengatasi halangan/rintangan sepanjang saluran dan bangunan lain.
Bentuk-Bentuk Saluran Bentuk penampang saluran pada muka tanah umumnya ada beberapa macam.
Tabel 1 memperlihatkan beberapa bentuk saluran terbuka.
Debit aliran (Q), adalah jumlah air yang mengalir melalui tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu,
yang biasanya dinyatakan dalam meter kubik perdetik (m3 /dtk). Untuk memenuhi kebutuhan air
pengairan irigasi bagi lahan-lahan pertanian, debit air di daerah bendung harus lebih cukup untuk
disalurkan ke saluran-saluran (Primer-Sekunder-Tersier) yang telah disiapkan di lahan-lahan
pertanaman. Rumus perhitungan debit (Kriteria Perencanaan Jaringan Irigasi ( KP3), 1986:20) Q = V x A
(12) Dimana : Q = debit saluran (m3/dtk), v = kecepatan aliran (m/dtk), A = potongan melintang aliran
(m2).
Pengukuran Debit
Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan
menggunakan pengukuran dengan Current Meter. Pengukuran kecepatan arus dengan current meter
baling-baling (Propeller Current Meter) baling-baling berputar terhadap sumbu horisontal. Jumlah
puturan persatuan waktu dapat dikonversi menjadi kecepatan arus. Hubungan antara jumlah putaran
per detik, n, dan kecepatan aliran, v, mempunyai bentuk linier berikut (Triatmodjo B, 2008:124) :
v = a + b.n (13)
Kehilangan Air
Pada Saluran Kehilangan air pada tiap ruas pengukuran debit masuk (Inflow) – debit keluar (Outflow)
diperhitungkan sebagai selisih antara debit masuk dan debit keluar. (Bunganaen W, 2011:3)
hn = In – On (14)
Efisiensi Saluran Irigasi Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk mengevaluasi
kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawah air. Efisiensi dihitung berdasarkan jumlah air yang
hilang selama penyaluran dengan menggunakan persamaan sebagai berikut ( Saubaki, 2005:28) :
Sesuai ketentuan yang disyaratkan dalam kriteria perencanaan irigasi (KP-03, 1986:8) tercantum batasan
nilai efisiensi pada jaringan utama yaitu saluran primer dan sekunder sebesar 90 %, dengan kehilangan
air 5-10%.
Tolak ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Efektifitas
pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh perbandingan antara luas areal terairi terhadap luas
rancangan, juga dapat diartikan bahwa irigasi yang dikelola secara efektif mampu mengairi areal sawah
sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini tingkat efektifitas ditunjukkan oleh indeks luas area
(Ramadhan F, 2013:27).
1. Pelaksanaan pengoperasian jaringan irigasi Sebelum jaringan irigasi dioperasikan maka terlebih
dahulu perlu adanya perencanaaan pengoperasiannya. Perencanaaan pengoperasian jaringan irigasi
dilaksanakan setiap tahun yang berguna untuk menghitung perkiraan kebutuhan suplai air. Kegiatan ini
dimulai dengan pendistribusian air untuk masyarakat dimana air tersebut harus selalu dijaga agar dapat
memenuhi fungsinya. Terutama dalam pengaturan pemberian air saluran irigasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan pelaksanaan dan pengendalian, (Rade B, 2011:20)
a. Kegiatan pelaksanaan meliputi kegiatan persiapan, penyusunan rencana kegiatan, organisasi, tugas
dan fungsi pelaksana, pengadaan dan penggunaan bahan/alat, pelaksanaan kegiatan fisik, produktivitas
pekerjaan dan lain-lain.
b. Kegiatan pengendalian dan pengawasan meliputi peranan pengawasan, teknis pelaksanaan
perkerjaan fisik dan lain-lain.
3. Pemeliharaan
Pemeliharan penting dilakukan untuk mengoptilkan fungsi dari perencanaan bangunan dengan tetap
menjaga fungsi dari bangunan. Pemeliharaan yang baik merupakan persyaratan utama untuk
pengoperasian jaringan irigasi yang efisien. Pemeliharaan yang buruk akan mengurangi umur jaringan,
mengurangi efisiensi jaringan dan menyebabkan rehabilitasi besar-besaran. Oleh karena itu tujuan dari
pemeliharan tersebut : (Direktorat jenderal pengairan, 1997:V-1)
Jaringan Irigasi Fatukanutu terdiri dari 8 sub bagian, kinerjanya dilihat dari ketiga aspek yaitu aspek fisik,
aspek pemanfaatan, dan aspek O & P yang telah dianalisa.
Hasil analisis kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu secara keseluruhan dari ketiga aspek fisik, pemanfaatan
dan O & P, diperoleh nilai rata-rata adalah:
Kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu dengan melihat 3 Aspek yaitu Aspek Fisik, aspek Pemanfaatan dan
Aspek O & P. Jaringan Irigasi fatukanutu terdapat 3 sub bagian yang difungsikan dalam pengelolahan
lahan yaitu BT 1 dengan memproleh nilai rata-rata 3 aspek sebesar 2.93 cukup baik, BFK 3 dengan
memproleh nilai rata-rata 3 aspek sebesar 3.52 baik dan BFK 4 dengan memproleh nilai rata-rata 3
aspek sebesar 3.11 cukup baik, sedangkan 5 sub bagian lainnya tidak dimanfaatkan untuk pengelolaan
lahan sehingga Kinerja Jaringan Irigasi Fatukanutu secara keseluruhan berdasarkan 3 aspek memproleh
nilai sebesar 2.19
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua pulau Jawa Timur ini memiliki luas area
sekitar 12.000 km2 dan panjang sungai mencapai 320 km. Sungai Brantas terdapat 7 bendungan
dari hulu hilir yaitu Bendungan Sengguruh, Bendungan Sutami, Bendungan Lahor, Bendungan
Wlingi, Bendungan Selorejo, Bendungan Wonorejo dan Bendungan Bening. Mengingat kegiatan
operasi dan pemeliharaan bendungan merupakan bagian kegiatan pengelolaan bendungan di
dalam menjamin keandalan keamanannya, maka setiap kegiatan operasi dan pemeliharaan
bendungan harus mencakup kegiatan keamanan bendungan, seperti pemantauan/pengamatan,
pengukuran, analisis dan eveluasi keamanan tubuh bendungan. Untuk menangani hal tersebut
perlu kajian tentang risiko terhadap pengoperasian dan pemeliharaan pada pengelolaan wilayah
sungai brantas. Tahapan manajemenin risiko meliputi perencanaan manajemen risiko,
identifikasi risik, analisis risiko, penanganan risiko dan monitor terhadap risiko.
Infrastruktur Bendungan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 1 Tahun 2010 tentang Bendungan, bahwa bendungan
adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan atau pasangan batu yang
dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan
menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk. Bendungan
atau waduk merupakan wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan. Menurut
Peraturan Menteri Nomor 72/PRT/1997, bendungan adalah setiap bangunan penahan air buatan, jenis
urugan atau jenis lainnya yang menampung air atau dapat menampung air, termasuk pondasi,
bukit/tebing tumpuan, serta bangunan pelengkap dan peralatannya, termasuk juga bendungan limbah
galian, tetapi tidak termasuk bendung dan tanggul.
Manajemen Risiko
Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan
menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, dan memperkirakan dampak yang ditimbulkan
dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko (Djojosoedarso, 2003).
Langkah-langkah manajemen risiko adalah sebagai berikut (PMBOK, 2013):
2. Identifikasi Resiko
6. Mengontrol Resiko
Evaluasi risiko pada suatu proyek tergantung pada (Duffield dan Trigunarsyah,1999) :
Identifikasi risiko adalah suatu proses pengkajian risiko (kerugian yang potensial) dan ketidakpastian
yang dilakukan secara sistematis dan terus- menerus yang merupakan proses yang paling penting karena
risiko bisa dianlisa dan direspon hanya jika telah diidentifikasi risiko potensialnya. Oleh karena itu,
proses ini harus meliputi segala aspek yang mungkin merupakan sumber risiko bagi proyek Dalam
memberikan penilaian untuk kemungkinan timbulnya risiko pada suatu proyek, dipergunakan metode
pengembangan Godfrey (1996). Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat penilaian responden
adalah skala likert. Pengembangan metode Godfery (1996) dalam upaya penyempurnaan penilaian yang
dimulai skala dari skala 1(satu), skala selengkapnya dari masing-masing penilaian meliputi, sebagai
berikut :
Sedangkan untuk mengukur besarnya pengaruh (dampak) pengaruh variable risiko pada proyek, dipakai
skala atau penilaian, sebagai berikut :
Respon risiko adalah tindakan penanganan yang dilakukan terhadap risiko yang mungkin terjadi. Risiko-
risiko penting yang sudah diketahui perlu ditindak lanjuti dengan respon yang dilakukan oleh kontraktor
dalam menangani risiko tersebut. Metode yang dipakai dalam menangani risiko (Flanagan, 2003):
1) Memikul risiko (Risk retention) Merupakan bentuk penanganan risiko yang mana akan ditahan atau
diambil sendiri oleh suatu pihak. Biasanya cara ini dilakukan apabila risiko yang dihadapi tidak
mendatangkan kerugian yang terlalu besar atau kemungkinan terjadinya kerugian itu kecil, atau biaya
yang dikeluarkan untuk menanggulangi risiko tersebut tidak terlalu besar dibandingkan dengan manfaat
yang akan diperoleh.
2) Menghindari risiko (Risk avoidance). Identik dengan dihentikan (terminated) pada klasifikasi
sebelumnya.
3) Mengurangi risiko (Risk reduction) Yaitu tindakan untuk mengurangi risiko yang kemungkinan akan
terjadi dengan cara:
a. Pendidikan dan pelatihan bagi para tenaga kerja dalam menghadapi risiko
4) Mengalihkan risiko (Risk transfer). Pengalihan ini dilakukan untuk memindahkan risiko kepada pihak
lain.
Profil Responden
Pada penelitian ini, dilakukan penyebaran kuesioner ke beberapa responden yang telah ditentukan yang
relevan dengan materi penelitian ini. Berikut ini akan dijelaskan perihal profil dari para responden
berdasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja di Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I.
Berdasarkan penjelasan gambar di atas, dapat dilihat mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan
hingga S1 dengan prosentase mencapai 80% atau sebanyak 24 responden, selanjutnya 6 responden
memiliki tingkat pendidikan sampai S2 dengan prosentase sebesar 20%
Berdasarkan penjelasan
gambar di atas, dapat
terlihat lamanya
pengalaman kerja para
responden mulai di bawah 5 tahun hingga di atas 20 tahun. Mayoritas responden mempunyai
pengalaman kerja 5-10 tahun dengan prosentase mencapai 46,7% atau sebanyak 14 responden,
selanjutnya masing-masing 12 responden yang mempunyai pengalaman kerja di bawah 5 tahun dengan
prosentase 40% dan 11-20 tahun dengan prosentase sebesar 10% atau sebanyak 3 responden, serta
responden mempunyai pengalaman kerja lebih dari 20 tahun dengan prosentase sebesar 3,3% atau
sebanyak 1 responden.
Validitas adalah suatu ukuran yang menujukkan tingkat keandalan suatu alat ukur. Dalam penentuan
layak atau tidaknya suatu item yang akan digunakan, pada penelitian ini dilakukan uji signifikansi
koefisien korelasi pada tahap signifikansi 0.05, artinya variabel penelitian dianggap valid jika berkorelasi
signifikan terhadap skor total. Sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat
ukur, apakah pengukuran yang digunakan dapat tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang.
Untuk uji validitas, pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004)
Jika r hitung ≥ r table (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka instrument atau itemitem pertanyaan
berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan valid)
Jika r hitung < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka instrumen atau itemitem pertanyaan tidak
berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan tidak valid)
Sedangkan untuk uji reliabilitas, dilakukan pada taraf signifikansi 0.05, artinya instrumen dapat
dikatakan reliabel bila nilai alpha lebih besar dari r tabel (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004). Untuk uji
reliabilitas, pengujian juga menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004)
Untuk uji reliabilitas, pengujian juga menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria
pengujian adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004):
Jika alpha ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka dinyatakan reliable
Jika alpha < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka dinyatakan tidak reliable Data.
Uji validitas dan reliabilitas menghasilkan temuan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan pada 30
responden sudah valid dan ada variabel yaitu (11, 14, 15) tidak valid maka variabel atau butir alat ukur
tersebut dihilangkan atau tidak dipakai. Hal ini dibuktikan dengan pengolahan yang menghasilkan nilai
validitas sebesar 81,25 % dan nilai r hitung (corrected item-total correlationnya) lebih besar dari r tabel.
Dari hasil pengujian validitas yang terlihat pada tabel di atas diketahui jumlah keseluruhan data yang
nilai r hitungnya lebih besar dari nilai r tabel dengan jumlah data (n) = 30 – 2 = 28, yaitu 0,37. Sedangkan
untuk uji reabilitas didapat bahwa semua variabel sudah reliabel, karena nilai kolom cronbach’s alpha
lebih besar dari r tabel. Hal ini membuktikan bahwa pertanyaan sudah cukup jelas dan dapat dipahami
oleh responden.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yang bergantung pada
probabilitas risiko dan dampak penilaian. Hasil yang diperoleh dari penilaian probabilitas dan dampak
risiko adalah nilai rata-rata/mean yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran secara kuantitatif
mengenai indeks Risk Relative Importance (RRI) pada Analisis Risiko Operasi dan Pemeliharaan Pada
Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas pada Perusahaan Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I.
Sebelum menentukan indeks Risk Relative Importance (RRI), maka perlu menentukan mean probabilitas
dan dampak risiko terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data kuesioner responden
hasil survai, kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2010. Hasil olahan
data masing-masing mean probabilitas dan mean dampak. Dalam membandingkan pilihan proyek dari
berbagai risiko yang terkait sering digunakan “Indeks Mean Risk Relative Importance (RRI) atau Indeks
Risiko” dan dinyatakan dalam persamaan :
Indeks RRI = Probabilitas x Dampak Indeks mean Risk Relative Importance (RRI) untuk setiap risiko
dihitung berdasarkan probabilitas dan dampak risiko. Selain itu, risiko ini juga mempunyai tujuan untuk
mengelompokkan tingkat risiko, sehingga dapat diketahui kecenderungan responden dalam mengisi
kuesioner yang ada, apakah risiko tersebut masuk ke dalam tingkat risiko yang sesuai dengan peta risiko
matriks 4x4 high, medium-high, mediumlow dan low. kategori risiko pada Analisis Risiko Operasi dan
Pemeliharaan Pada Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas berdasarkan RRI dan tingkat risiko sebagai
bahan perbandingan antara keduanya, sehingga menghasilkan peta risiko (matriks) yang merupakan
dasar untuk menentukan langkah-langkah pengendalian risiko selanjutnya. Ranking risiko merupakan
langkah selanjutnya dalam mencapai tujuan penelitian ini dilakukan. Ranking risiko bertujuan untuk
mengetahui variabel risiko mana yang menjadi peringkat pertama dari variabel risiko tersebut. Ranking
risiko dapat ditentukan cukup dengan mengurutkan variabel risiko dengan indeks mean RRI (Risk
Relative Importance) yang telah diperoleh melalui analisis evaluasi risiko sebelumnya. Variabel risiko
dengan indeks rata-rata/mean RRI tertinggi akan menduduki ranking/peringkat pertama hingga variabel
risiko yang memiliki indeks rata-rata/mean RRI terendah yang akan menduduki ranking/peringkat
terakhir.
Respon Risiko
Respon risiko merupakan penanganan yang dilakukan terhadap risiko yang mungkin terjadi. Pada Analisi
Risiko Operasi dan Pemeliharaan Pada Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas di Perusahaan Umum
(PERUM) Jasa Tirta I, ada empat poin yang digunakan dalam menangani (merespon) risiko, yaitu;
memikul risiko (risk retention), mengurangi risiko (risk reduction), menghindari risiko (risk avoidance),
dan mengalihkan risiko (risk transfer). Berdasarkan hasil analisis data dari kuesioner responden, maka
mayoritas responden memilih menghindari risiko (risk avoidance) dengan presentase sebesar 54%,
diikuti oleh mengurangi risiko (risk reduction) dengan presentase sebesar 41%, memikul risiko (risk
retention) dengan presentase 3%, dan terakhir mengalihkan risiko (risk transfer) dengan presentase
sebesar 2%. hasil analisa dapat dilihat pada gambar di bawah ini
preferensi respon risiko memikul risiko (risk retention) sebesar 0%, menghindari risiko (risk avoidance)
sebesar 50%, mengurangi risiko (risk reduction) sebesar 50%, dan mengalihkan risiko (risk transfer)
sebesar 0%. Pendapatan jasa air tidak tercapai menempati posisi kedua dengan total nilai risiko 10.80,
untuk preferensi respon risiko memikul risiko (risk retention) sebesar 0%, menghindari risiko (risk
avoidance) sebesar 50%, mengurangi risiko (risk reduction) sebesar 50%, dan mengalihkan risiko (risk
transfer) sebesar 0%. Pelaksanaan O&P manfaat langsung (pengerukan) tidak tercapai menempati posisi
ketiga dengan total nilai risiko sebesar 9.03 sedangkan untuk preferensi respon risiko memikul risiko
(risk retention) sebesar 23%, menghindari risiko (risk avoidance) sebesar 47%, mengurangi risiko (risk
reduction) sebesar 20%, mengalihkan risiko (risk transfer) sebesar 10%. Risiko terganggunya pelayanan
jasa air kepada pelanggan menempati posisi keempat dengan total nilai risiko sebesar 8.87, untuk
preferensi respon risiko memikul risiko (risk retention) sebesar 0%, menghindari risiko (risk avoidance)
sebesar 47%, mengurangi risiko (risk reduction) sebesar 53%, dan mengalihkan risiko (risk transfer)
sebesar 15%. Pada Tabel 4.2 dibawah ini adalah hasil survey keseluruhan respon risiko pada responden.
Berdasarkan hasil analisis pengolahan data serta pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan: 1.
Risiko yang teridentifikasi dalam operasi dan pemeliharaan pada pengelolaan wilayah sungai brantas
sebanyak 13 (tiga belas risiko), berdasarkan hasil nilai risiko, sebagai berikut:
Tingkat risiko high pada variabel risiko penurunan kapasitas tampugan efektif wadukk karena
sedimentasi, dengan nilai indeks RRI (nilai risiko) sebesar 11.53 dan pendapatan jasa air tidak tercapi,
sebesar 10.80
Tingkat risiko medium high pada variabel risiko dengan nilai indeks RRI (nilai risiko) adalah sebagai
berikut:
2. Hasil distribusi strategi penanganan keseluruhan respon risiko untuk memikul risiko (risk
retention) sebesar 3%, menghindari risiko (risk avoidance) sebesar 54%, mengurangi risiko (risk
reduction) sebesar 41%, dan mengalihkan risiko (risk transfer) sebesar 2%,
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua pulau Jawa Timur ini memiliki luas area
sekitar 12.000 km2 dan panjang sungai mencapai 320 km. Sungai Brantas terdapat 7 bendungan
dari hulu hilir yaitu Bendungan Sengguruh, Bendungan Sutami, Bendungan Lahor, Bendungan
Wlingi, Bendungan Selorejo, Bendungan Wonorejo dan Bendungan Bening. Mengingat kegiatan
operasi dan pemeliharaan bendungan merupakan bagian kegiatan pengelolaan bendungan di
dalam menjamin keandalan keamanannya, maka setiap kegiatan operasi dan pemeliharaan
bendungan harus mencakup kegiatan keamanan bendungan, seperti pemantauan/pengamatan,
pengukuran, analisis dan eveluasi keamanan tubuh bendungan. Untuk menangani hal tersebut
perlu kajian tentang risiko terhadap pengoperasian dan pemeliharaan pada pengelolaan wilayah
sungai brantas. Tahapan manajemenin risiko meliputi perencanaan manajemen risiko,
identifikasi risik, analisis risiko, penanganan risiko dan monitor terhadap risiko.
Infrastruktur Bendungan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 1 Tahun 2010 tentang Bendungan, bahwa
bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan atau pasangan
batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk
menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga
terbentuk waduk. Bendungan atau waduk merupakan wadah buatan yang terbentuk sebagai
akibat dibangunnya bendungan. Menurut Peraturan Menteri Nomor 72/PRT/1997, bendungan
adalah setiap bangunan penahan air buatan, jenis urugan atau jenis lainnya yang menampung
air atau dapat menampung air, termasuk pondasi, bukit/tebing tumpuan, serta bangunan
pelengkap dan peralatannya, termasuk juga bendungan limbah galian, tetapi tidak termasuk
bendung dan tanggul
Manajemen Risiko
Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan
menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, dan memperkirakan dampak yang ditimbulkan
dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko (Djojosoedarso, 2003).
Langkah-langkah manajemen risiko adalah sebagai berikut (PMBOK, 2013):
2. Identifikasi Resiko
6. Mengontrol Resiko
Validitas adalah suatu ukuran yang menujukkan tingkat keandalan suatu alat ukur. Dalam penentuan
layak atau tidaknya suatu item yang akan digunakan, pada penelitian ini dilakukan uji signifikansi
koefisien korelasi pada tahap signifikansi 0.05, artinya variabel penelitian dianggap valid jika berkorelasi
signifikan terhadap skor total. Sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat
ukur, apakah pengukuran yang digunakan dapat tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang.
Untuk uji validitas, pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004)
Jika r hitung ≥ r table (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka instrument atau itemitem pertanyaan
berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan valid)
Jika r hitung < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka instrumen atau itemitem pertanyaan tidak
berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan tidak valid)
Sedangkan untuk uji reliabilitas, dilakukan pada taraf signifikansi 0.05, artinya instrumen dapat
dikatakan reliabel bila nilai alpha lebih besar dari r tabel (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004). Untuk uji
reliabilitas, pengujian juga menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004)
Untuk uji reliabilitas, pengujian juga menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0.05. Kriteria
pengujian adalah sebagai berikut (Dr. Riduwan, M.B.A, 2004):
Jika alpha ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka dinyatakan reliable
Jika alpha < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0.05) maka dinyatakan tidak reliable Data.
Uji validitas dan reliabilitas menghasilkan temuan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan pada 30
responden sudah valid dan ada variabel yaitu (11, 14, 15) tidak valid maka variabel atau butir alat ukur
tersebut dihilangkan atau tidak dipakai. Hal ini dibuktikan dengan pengolahan yang menghasilkan nilai
validitas sebesar 81,25 % dan nilai r hitung (corrected item-total correlationnya) lebih besar dari r tabel.
Dari hasil pengujian validitas yang terlihat pada tabel di atas diketahui jumlah keseluruhan data yang
nilai r hitungnya lebih besar dari nilai r tabel dengan jumlah data (n) = 30 – 2 = 28, yaitu 0,37. Sedangkan
untuk uji reabilitas didapat bahwa semua variabel sudah reliabel, karena nilai kolom cronbach’s alpha
lebih besar dari r tabel. Hal ini membuktikan bahwa pertanyaan sudah cukup jelas dan dapat dipahami
oleh responden.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yang bergantung pada
probabilitas risiko dan dampak penilaian. Hasil yang diperoleh dari penilaian probabilitas dan dampak
risiko adalah nilai rata-rata/mean yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran secara kuantitatif
mengenai indeks Risk Relative Importance (RRI) pada Analisis Risiko Operasi dan Pemeliharaan Pada
Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas pada Perusahaan Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I.
Sebelum menentukan indeks Risk Relative Importance (RRI), maka perlu menentukan mean probabilitas
dan dampak risiko terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data kuesioner responden
hasil survai, kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2010. Hasil olahan
data masing-masing mean probabilitas dan mean dampak. Dalam membandingkan pilihan proyek dari
berbagai risiko yang terkait sering digunakan “Indeks Mean Risk Relative Importance (RRI) atau Indeks
Risiko” dan dinyatakan dalam persamaan :
Indeks RRI = Probabilitas x Dampak Indeks mean Risk Relative Importance (RRI) untuk setiap risiko
dihitung berdasarkan probabilitas dan dampak risiko. Selain itu, risiko ini juga mempunyai tujuan untuk
mengelompokkan tingkat risiko, sehingga dapat diketahui kecenderungan responden dalam mengisi
kuesioner yang ada, apakah risiko tersebut masuk ke dalam tingkat risiko yang sesuai dengan peta risiko
matriks 4x4 high, medium-high, mediumlow dan low. kategori risiko pada Analisis Risiko Operasi dan
Pemeliharaan Pada Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas berdasarkan RRI dan tingkat risiko sebagai
bahan perbandingan antara keduanya, sehingga menghasilkan peta risiko (matriks) yang merupakan
dasar untuk menentukan langkah-langkah pengendalian risiko selanjutnya. Ranking risiko merupakan
langkah selanjutnya dalam mencapai tujuan penelitian ini dilakukan. Ranking risiko bertujuan untuk
mengetahui variabel risiko mana yang menjadi peringkat pertama dari variabel risiko tersebut. Ranking
risiko dapat ditentukan cukup dengan mengurutkan variabel risiko dengan indeks mean RRI (Risk
Relative Importance) yang telah diperoleh melalui analisis evaluasi risiko sebelumnya. Variabel risiko
dengan indeks rata-rata/mean RRI tertinggi akan menduduki ranking/peringkat pertama hingga variabel
risiko yang memiliki indeks rata-rata/mean RRI terendah yang akan menduduki ranking/peringkat
terakhir.
Respon Risiko
Respon risiko merupakan penanganan yang dilakukan terhadap risiko yang mungkin terjadi. Pada Analisi
Risiko Operasi dan Pemeliharaan Pada Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas di Perusahaan Umum
(PERUM) Jasa Tirta I, ada empat poin yang digunakan dalam menangani (merespon) risiko, yaitu;
memikul risiko (risk retention), mengurangi risiko (risk reduction), menghindari risiko (risk avoidance),
dan mengalihkan risiko (risk transfer). Berdasarkan hasil analisis data dari kuesioner responden, maka
mayoritas responden memilih menghindari risiko (risk avoidance) dengan presentase sebesar 54%,
diikuti oleh mengurangi risiko (risk reduction) dengan presentase sebesar 41%, memikul risiko (risk
retention) dengan presentase 3%, dan terakhir mengalihkan risiko (risk transfer) dengan presentase
sebesar 2%.
Pola operasi Waduk Way Sekampung akan dipengaruhi dengan keadaan bangunan air
di hulu yaitu Waduk Batutegi dan di hilir yaitu Waduk MargaTiga dan Bendung Jabung.
Penggunaan data yang diambil dari studi sebelumnya oleh PT.Virima Karya berupa debit inflow
Waduk Way Sekampung yang sudah termasuk outflow dari Waduk Batutegi dan debit lateral
tambahan di hulu Waduk Way Sekampung yang sudah termasuk dalam pola operasi Waduk
Batutegi. Oleh sebab itu, bangunan air bagian hulu Waduk Way Sekampung dapat diabaikan.
Karena pada studi ini hanya mempelajari pola operasi Waduk Way Sekampung, maka
daerah bagian hilir Bendung Argoguruh tidak diperhitungkan.
J. RINGKASAN INFORMASI DARI KESELURUHAN
HALAMAN RESUME
Pola operasi Waduk Way Sekampung akan dipengaruhi dengan keadaan bangunan air
di hulu yaitu Waduk Batutegi dan di hilir yaitu Waduk MargaTiga dan Bendung Jabung.
Penggunaan data yang diambil dari studi sebelumnya oleh PT.Virima Karya berupa debit inflow
Waduk Way Sekampung yang sudah termasuk outflow dari Waduk Batutegi dan debit lateral
tambahan di hulu Waduk Way Sekampung yang sudah termasuk dalam pola operasi Waduk
Batutegi. Oleh sebab itu, bangunan air bagian hulu Waduk Way Sekampung dapat diabaikan.
Karena pada studi ini hanya mempelajari pola operasi Waduk Way Sekampung, maka
daerah bagian hilir Bendung Argoguruh tidak diperhitungkan.
Penjelasan tentang pengoperasian bendungan
Bendungan merupakan konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi
waduk,danau,bahkan tempat rekreasi. Fungsi utama waduk pada umunya adalah untuk
menyediakan tampungan sumber air agar bisa digunakan saat dibutuhkan. Waduk dapat
dibangun dilembah sungai pada saat pembangunan sebuah bendungan atau penggalian tanah
atau teknik konstruksi konvensional seperti pembuatan tembok atau menuang beton.
Dalam pengoperasiannya sebuah bendungan seringkali digunakan untuk mengalirkan air
kesebuah pembangkit tenaga listrik tenaga air (PLTA), bahkan di negara dengan sungai yang
cukup besar dan derras alirannya,seringkali bendung dioperasikan membentuk suatu sistem
transportasi air. Dan di Indonesia ,bendung digunakan untuk irigasi apabila muka air sungai
lebih rendah dari muka tanah yang akan diairi. bendungan memiliki fungsi sebagai penangkap
air dan menyimpannya dimusim hujan ketika air sungai mengalir dalam jumlah besar dan yang
meliebihi kebutuhan baik untuk keperluan. Bendungan biasanya digunakan untuk keperluan
irigasi.air minum industri,tempat rekreasi,tempat penampungan limbah,cadangan air
minum,pengendali banjir,perikanan,pariwisata,dan olahraga air.
II. Saran
Kekurangan-kekurangan yang dijumpai pada kesimpulan adalah: seperti
pelaksanaan kalibrasi,pelaksanaan SOP,debit inflow,debit sedimentasi . Untuk
memperjelas pemahaman terhadap aspek yang masih kurang, maka disarankan
agar terhadap aspek tersebut perlu dilakukan pengumpulan pustaka yang akan
dicari dengan menggunakan kata kunci:
1) pembebasan lahan
2) pedoman SOP yang sesuai karakteristik bendungan
3) perhitungan prediksi tingkat sedimentasi
4) pemeliharaan dan penggantian peralatan
5) penggerukan waduk
6) pelaksanaan kalibrasi secara rutin
7) rencana tindak darurat RTD
Catatan:
1. Perdalam lagi kesimpulan