Anda di halaman 1dari 2

Demi Bangsa

Cerpen Karangan: Ererigado

Saat penjajah menginjakkan kaki di tanah air ini, para pahlawan Indonesia tidak akan pernah
tinggal diam diinjak oleh penjajah meski senjata hanyalah bambu runcing. Perlawanan demi
perlawanan terus berlanjut. Kini, sebentar lagi bangsa Indonesia akan terbebas dari para
penjajah.

Namaku Sumanto, ini kisahku sebagai seorang pejuang yang menjadi saksi peristiwa 10
November. Bertempur habis-habisan dan meninggal sebagai pahlawan tanpa nama.

Jakarta, 17 Agustus 1945


Aku rela datang jauh-jauh dari Surabaya hanya ingin menyaksikan proklamasi yang dibacakan
Soekarno. Sudah lama aku menantikan ini.

“Sumanto, lihatlah! Sebentar lagi proklamasi akan dikumandangkan!” teriak teman akrabku,
Sutisno.

Aku hanya tersenyum simpul mendengar teriakkan temanku. Kuperhatikan Soekarno yang
berdiri sambil membawa sehelai kertas. Kertas yang akan menjadi tanda bahwa Indonesia
sudah merdeka. Dadaku terbakar api semangat ketika Soekarno membacakan teks proklamasi.
Pria itu memang terlihat sangat berwibawa, apalagi saat berpidato dan membaca teks seperti
sekarang.

Aku sangat yakin sekali para penjajah sialan itu tidak akan berani mengganggu kami lagi.
Setelah selesai, kami langsung pulang dan merayakan hari kemerdekaan Indonesia.

Surabaya, 10 November 1945


Mataku menatap tajam para tentara Inggris dan Belanda itu. Kupegang erat bambu runcing
yang sudah diolesi racun.

“Cih! Masih beraninya mereka mengganggu kami! Padahal Indonesia sudah merdeka!” ucap
Sutisno di sebelahku. Matanya memandang marah semua bongkahan besi berjalan milik
bangsa asing itu.
Aku mengangguk setuju. Sudah kuduga kalau kedatangan Inggris ke Surabaya pada 25 Oktober
sangat mencurigakan. Inggris membonceng Belanda untuk merebut Indonesia. Pertempuran
terus terjadi sampai tewasnya Brigjen dari Inggris itu pada 30 Oktober. Ah, kalau tidak salah
Brigjen A.W.S. Mallaby. Aku hanya mendengar kisah tewasnya Mallaby dari Sutisno. Buick
jenderal itu berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby oleh tembakan pistol
seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya
mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Pihak
Inggris marah besar dan mengultimatum kami untuk menyerahkan diri. Namun, kami sebagai
rakyat Indonesia tidak menyerah. Apalagi setelah mendengar pidato Bung Tomo.

Kini aku ikut bergerak maju bersama para pejuang lainnya. Kutusukkan bambu runcingku di
tubuh para keparat itu. Tak peduli meski senjata mereka lebih canggih, namun tak ada yang
bisa mengalahkan senjata bambu kami!

Suara tembakan tank tidak kupedulikan. Aku terus menerobos dan menusuk para tentara
Inggris ibarat banteng mengamuk. Menancapkan bambu dengan brutal di daging tubuh mereka.
Bahkan, aku tidak tahu dimana Sutisno sekarang.

Aroma cairan merah kental yang seperti besi tercium pekat. Mayat-mayat bergelimpangan
dimana-mana. Jumlah korban jiwa terus bertambah. Rata-rata kulihat mereka adalah sesama
pejuang bangsa sepertiku.

Tiba-tiba, rasa terbakar terasa di lengan kiriku. Aku baru tersadar diriku tertembak timah panas
tentara lawan. Namun aku tak peduli. Kuteruskan perjuanganku menghabisi tentara sialan itu.
Semua ini kulakukan demi tanah airku, bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan Bung Tomo
saat berpidato. Merdeka atau mati!

Tiba-tiba, dada kiriku terasa panas. Ternyata aku tertembak. Pandanganku perlahan mulai
mengabur, bambu runcing digenggamanku terlepas. Aku sudah tidak merasakan napas dan
detak jantungku lagi. Bibir dinginku menyunggingkan senyum tulus untuk terakhir kali.

Setidaknya aku sudah berusaha berjuang demi bangsa Indonesia. Tidak peduli harta, jiwa, dan
raga kukorbankan. Meski ragaku sudah mati, jiwaku tetap terbakar api patriotisme sampai titik
darah penghabisan.

Anda mungkin juga menyukai