Anda di halaman 1dari 25

CORPORATE GOVERNANCE

IMPLEMENTASI GOO CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Narinta Luthfia

123011911050

Magister Akuntansi

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Good corporate governance (GCG) diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar


yang efisien, transparan serta konsisten dengan peraturan perundangundangan. Penerapan
GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan
oleh masing-masing pilar adalah: - Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan
perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan,
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten
(consistent law enforcement).

Governance merupakan suatu sistem, di mana yang mengoperasikannya adalah


manusia, adapun kesuksesan penerapannya sangat bergantung pada integritas dan
komitmen. Good Governance merupakan prinsip sangat universal, sehingga menjadi
rujukan bagi semua umat beragama, serta dapat ditemukan pada kultur budaya di
manapun. Hal yang membedakan praktik Good Governance di suatu negara adalah Good
Governance sebagai sistem, karena harus selalu menyesuaikan dengan sistem hukum,
keadaan dan perkembangan kemajuan, serta kultur bangsa itu sendiri.

Didalam menerapkan governance yang baik, diperlukan pendekatan yang berbeda-


beda, disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Pendekatan yang dilakukan ada dua yaitu
pendekatan yang sarat sarat aturan atau sistem, dibanding pendekatan etika (Hard Law)
dan pendekatan yang lebih menekankan pada tidak terlalu sarat aturan tetapi lebih pada
pendekatan etika (Soft Law). Sebagai contoh, Amerika dan Singapura lebih memilih
pendekatan Hard Law, sedangkan negara-negara Skandinavia, Inggris dan Australia lebih
memilih pendekatan Soft Low.

Indonesia masih menganut menggunakan pendekatan yang lembut, meski ditengah


kenyataan perilaku koruptif yang berlebihan. Beberapa kajian rating tentang penerapan
good corporate governance di Indonesia memberikan indikasi bahwa memang diperlukan
dorongan hukum untuk dapat merealisasikan perubahan kultur ke arah yang lebih baik.
Namun tentu saja hal ini bukan satu-satunya jawaban dari semua persoalan. Pendekatan
komprehensif mencakup penerapan regulasi, implementasi yang konsisten, termasuk
dalam pemberian sanksi yang sangat diperlukan untuk menciptakan efek jera, juga
didukung dengan sistem penilaian kinerja yang adil, secara jangka panjang dapat
mengubah perilaku. Dalam rangka membangun kultur yang etis dan berbasis governance
yang baik, peran pemimpin sangat diperlukan guna menjadi panutan dan membangun
integritas. Penerapan Tata Kelola Perusahaan kian menjadi faktor penentu yang strategis
bagi perusahaan agar dapat senantiasa meningkatkan nilai serta memelihara proses
pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karenanya, setiap perusahaan perlu terus
meningkatkan kerja kerasnya agar dapat mengambil manfaat dari penerapan Tata Kelola
Perusahaan (Good corporate governance) yang baik.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai kegiatan untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Good Corporate Governance dan sebagai penambah wawasan penulis akan materi
tentang implementasi good corporate governance di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Analisa Bank Dunia – ROSC di Indonesia

1. Pinsip OECD
Berdasarkan prinsip OECD yang pertama, sebuah Corporate Governance Framework
harus mendorong pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan peraturan hukum,
dan mengartikulasi dengan jelas mengenai pembagian tanggung jawab di antara berbagai
fungsi pengawasan, fungi regulasi, dan fungsi penegak hukum.
Corporate Governance Framework yang diobservasi dalam Report on the
Observance of Standards and Codes (ROSC) adalah kepatuhan dalam penerapan good
corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang berbasis di Indonesia. Dalam
risetnya, World Bank membagi kategori Corporate Governance Framework ini menjadi
empat sesuai dengan poin-poin subprinsip pertama OECD, yaitu framework corporate
governance secara keseluruhan, framework legal yang transparan dan dapat diterapkan,
pemisahan yang jelas antara kewajiban-kewajiban dalam hal regulasi, dan otoritas,
integritas, dan sumber-sumber peraturan. Berikut adalah hasil penelitian World Bank
terhadap corporate governance framework di Indonesia.
Grafik di atas menunjukkan hasil observasi World Bank mengenai Corporate
Governance Framework di Indonesia. Angka-angka tersebut menunjukkan persentase
penerapan corporate governance framework dan dapat dikategorikan ke dalam empat
bagian, yang pertama yaitu angka >95% menunjukkan implementasi keseluruhan (fully
implemented), 75-95 menunjukkan implementasi sebagian besar (broadly implemented),
35-75 menunjukkan implementasi sebagian (partially implemented), dan <35
menunjukkan tidak ada implementasi (not implemented).
Dapat kita lihat bahwa penerapan subprinsip A yaitu corporate governance framework
secara keseluruhan hanya mencapai angka 65 yang berarti hanya sebagian
diimplementasikan. Transparansi dan penerapan framework legal serta otoritas, integritas,
dan sumber-sumber peraturan juga menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda yaitu 69
dan 67. Walaupun demikian, pemisahan yang jelas antara kewajiban-kewajiban regulator
sudah diimplementasikan dengan cukup baik dan mendapat poin sebesar 88.
Pada kenyataannya, dalam studi penerapan prinsip-prinsip OECD 2004 yang
dikeluarkan oleh Bapepam-LK disebutkan bahwa peraturan perundangan secara umum
telah sejalan dengan prinsip OECD. Jadi, rendahnya nilai penerapan prinsip OECD yang
pertama ini bukan disebabkan oleh minimnya peraturan perundangan, namun karena
implementasinya belum seratus persen sesuai dengan prinsip pertama OECD maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia,


Thailand, Filipina, dan Vietnam, Indonesia kira-kira berada di tengah-tengah. Namun
perlu diperhatikan bahwa tahun angka-angka pada grafik di atas tersebut dipuublikasikan
berbeda-beda, serta metodologi penilaiannya juga belum tentu sama. Hal itu
menyebabkan kita tidak dapat membandingkan nilai kelima negara tersebut dengan apple
to apple. Persentase penerapan prinsip pertama OECD di Indonesia menurut publikasi
ROSC tahun 2009 menunjukkan angka 72%, kalah dengan Malaysia dan Thailand pada
tahun 2005 yang mendapat nilai 85%. Namun, Indonesia masih mendapat nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Filipina yang mendapat nilai 60% pada publikasi ROSC
tahun 2006 dan Vietnam yang mendapat nilai 41% pada publikasi tahun 2006.

2. Shareholder Rights
Prinsip Corporate Governance dari OECD yang kedua mewajibkan framework tata
kelola perusahaan yang diterapkan harus melindungi dan memfasilitasi pelaksanaan hak
pemegang saham. Adapun hak pemegang saham yang dimaksud adalah hak metode
registrasi kepemilikan, hak mentransfer saham, mendapatkan informasi yang material dan
relevan terkait perusahaan secara reguler, berpartisipasi dalam rapat umum pemegang
saham, memilih dan menurunkan anggota direksi, dan mendapatkan bagian dari
keuntungan perusahaan.

(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)


Berdasarkan observasi World Bank pada tahun 2010, ditemukan bahwa terdapat
disparitas yang cukup tinggi dari nilai-nilai antarsubprinsip, dengan rata-rata poin sebesar
77 (broadly implemented). Nilai ini cukup moderat namun mengindikasikan masih
adanya penerapan yang buruk dari prinsip kedua OECD pada beberapa poin. Dapat
dilihat pada grafik di atas, terdapat satu subprinsip yang masuk ke kategori not
implemented, atau belum diterapkan, yaitu pengungkapan kontrol yang tidak seimbang
dengan poin 25. Selain itu, nilai yang relatif rendah juga ditunjukkan dari banyaknya
subprinsip yang masuk ke dalam kategori partially implemented, beberapa diantaranya
yaitu pada subprinsip pengungkapan tatakelola dan kebijakan voting oleh investor
institusi (38 poin), pelaksanaan fasilitasi hak kepemilikan (42 poin), dan pengungkapan
manajemen konflik kepentingan oleh investor institusi (46 poin). Pada subprinsip
disproportionate control disclosure, ditemukan bahwa tidak ada regulasi atau undang-
undang yang mengatur mekanisme untuk disproportionate control, pengungkapan
perjanjian antarpemegang saham, walaupun masih ada regulasi Bapepam-LK nomor
IX.C.1, IX.C.2, IX.C.3 yang mengatur pengungkapan struktur perusahaan dalam
prospektus penawaran publik. Pengungkapan capital structure juga untungnya masih
diatur dalam peraturan Bapepam-LK X.K.6, VIII.G.7. Meskipun demikian, aturan
pengungkapan itu masih sebatas pada satu level perusahaan, dimana banyak dari
perusahaan listed di BEI memiliki struktur kepemilikan berbentuk piramida, sehingga
sulit bagi non-controlling shareholder untuk mengidentifikasi ultimate owner dari
perusahaan.
Kendati demikian, pada penerapan prinsip kedua ini, teradapat lima subprinsip yang
masuk ke dalam kategori fully implemented, dimana empat diantaranya mendapatkan nilai
penuh. Skor ini mengindikasikan bahwa regulasi dan iklim corporate governance di
Indonesia telah berhasil memfasilitasi transfer hak, hak partisipasi dan memilik dalam
RUPS, memilih dan menurunkan anggota direksi, serta mengizinkan pemegang saham
untuk berkonsultasi satu sama lain. Transfer hak dilindungi oleh payung hukum UU no 40
tahun 2007 pasal 59, dimana perusahaan listed tidak diperbolehkan untuk membatasi
transfer kepemilikan. Dalam UU no 40 tahun 2007 pasal 52 pasal 1(a), terdapat pula
kerangka hukum yang memberikan hak bagi pemegang saham untuk menghadiri dan
mengeluarkan suara dalam RUPS. Untuk subpoin hak memilih dan menurunkan anggota
direksi, dasar hukumnya terdapat pada pasal 94, 105, dan 111 UU no 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, maka di Indonesia anggota direksi
diangkat oleh RUPS (dimana ada partisipasi pemegang saham), dan dapat diberhentikan
sewaktu-waktu oleh RUPS berdasarkan alasan tertentu, serta pemilihan Dewan Komisaris
pun juga dipilih oleh RUPS.

(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)

Figur di atas menggambarkan perbandingan tingkat implementasi prinsip kedua


OECD di-antara negara-negara di ASEAN dan India. Berdasarkan assessment hingga
tahun 2009, Indonesia telah berhasil mendapatkan peringkat ketiga dari segi poin rata-
rata, dimana poin tertinggi diraih oleh India (85 poin), yang diikuti Malaysia dan
Thailand (masing-masing 78 poin). Namun, perbandingan ini memiliki kelemahan, yaitu
observasi dilakukan pada tahun yang berbeda, serta metodologi observasi tidak persis
sama. Dapat dilihat bahwa Indonesia telah berhasil memperbaiki diri, yang diindikasikan
dengan peningkatan skor secara signifikan, dari 56 poin di tahun 2004 ke 77 poin di tahun
2009. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak pemegang saham semakin
dilindungi di Indonesia.

3. Equitable Treatment of Shareholders


Pada prinsip OECD yang ketiga, dikatakan bahwa kerangka tata kelola perusahaan
harus dapat menjamin perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham, termasuk

minoritas dan pemegang saham asing. Semua pemegang saham harus memiliki
kesempatan untuk memperoleh kompensasi yang efektif apabila terjadi pelanggaran
terhadap hak – hak mereka. Tertulis bahwa pemegang saham harus memiliki hak – hak
yang sama. Investor harus memperoleh akses terhadap informasi atas hak yang mereka
dapatkan sebelum mereka memperoleh saham tersebut. Segala perubahan atas hak voting
harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham bersangkutan. Prinsip ini juga
mengharuskan adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas atas benturan
kepentingan yang mungkin terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Insider
trading dan abusive self dealing dilarang dan dewan harus mencantumkan apabila mereka
memiliki kepentingan pribadi yang material atas setiap transaksi yang mempengaruhi
perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bank Dunia menilai Indonesia dengan skor 78 atas prinsip ketiga OECD ini, yaitu
Equitable Treatment of Shareholders. Subprinsip dengan nilai tertinggi diperoleh oleh
nomor empat yaitu penghapusan halangan atas cross border voting dengna nilai 95. Hal
ini menunjukkan bahwa perusahaan – perusahaan di Indonesia yang memiliki pemegang
saham luar negeri telah memiliki sistem yang baik dalam melakukan pengambilan
keputusan yang melibatkan seluruh pihak termasuk pemegang saham asing yang tidak
berada di Indonesia.
Sementara itu nilai terendah diperoleh oleh subprinsip yang ketujuh, yaitu
pengungkapan kepentingan yang dilakukan oleh dewan dengan nilai 58 atau baru
diterapkan secara parsial dan belum menyeluruh. Subprinsip ini mengatur bahwa dewan,
baik itu dewan direksi, komisaris, ataupun dewan lainnya di dalam perusahaan, harus
mengungkapkan bisnis pribadi, keluarga, kerabat, ataupun hubungan lain yang
memungkinkan terjadinya benturan kepentingan dengan perusahaan tempat dewan
tersebut menjabat. Benturan kepentingan tersebut dapat berupa pengambilan keputusan
maupun transaksi – transaksi.
Subprinsip kedua dan ketiga juga masih menempati nilai yang cukup rendah yaitu 67
dan 64. Kedua subprinsip ini menilai mengenai perlakuan yang adil terhadap pemegang
saham minoritas. Nilai kedua yang tertinggi diperoleh oleh subprinsip voting yang
dilakukan oleh kustodian dengan persetujuan pemegang hak yang sebenarnya.

Dibandingkan dengan negara – negara Asia, Indonesia pada tahun 2009 memiliki nilai
yang cukup tinggi yaitu 75. Nilai ini berkembang cukup pesat dibandingkan dengan tahun
2004 yang hanya memperoleh nilai 60. Thailand yang pada tahun 2005 memiliki nilai 77,
mengalami penurunan nilai menjadi 76 pada tahun 2013. Sebaliknya, Malaysia
mengalami kenaikan sebesar dua nilai menjadi 79 pada tahun 2012.
4. Equitable Treatment of Stakeholder
Prinsip keempat OECD mengatakan bahwa kerangka tatakelola perusahaan harus
mengakui adanya hak – hak pemegang kepentingan yang terikat secara hukum atau
melalui perjanjian kedua belah pihak dan mendorong terciptanya kerjasama yang aktif
antara korporasi dengan pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, pekerjaan,
dan keberlangsungan finansial perusahaan.
Dinyatakan bahwa hak – hak pemegang kepentingan, baik yang telah diatur secara
hukum maupun atas perjanjian kedua belah pihak, harus dihargai. Pemegang kepentingan
yang diatur secara hukum harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan kompensasi
yang pantas apabila hak – hak mereka terlanggar. Mekanisme yang baik juga harus
disusun untuk menjamin dihargainya kinerja karyawan. Pemegang kepentingan yang
berpartisipasi dalam tatakelola perusahaan juga harus memiliki akses yang relevan, luas,
dan dapat diandalkan, dengan waktu yang berkala. Isu – isu terkait dengan tindakan yang
illegal ataupun tidak beretika harus dapat dikomunikasikan secara bebas oleh pemegang
kepentingan kepada dewan dan hak mereka tidak boleh terganggu oleh karena laporan
tersebut. Kerangka juga harus dibuat secara efektif dan efisien dan secara jelas
menyatakan peran dan hak – hak yang dimiliki oleh kreditur.
Indonesia memiliki nilai yang tinggi pada subprinsip yang ketiga yaitu mengenai
akses atas informasi. Nilai 92 tersebut diperoleh karena adanya keterbukaan dan memang
telah diwajibkan bagi perusahaan untuk secara berkala menerbitkan laporan tahunan yang
berisi informasi – informasi penting perusahaan. Nilai paling rendah yaitu 38 diperoleh
oleh subprinsip yang keempat yaitu perlindungan terhadap whistleblower. Hal ini
menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pelapor whistleblower masih belum terjamin
dan hak – hak mereka masih dapat terganggu. Tentu saja ini merupakan isu sangat penting
yang harus diperbaiki di Indonesia

Dibandingkan dengan negara – negara Asia, Indonesia pada tahun 2009 memiliki nilai
73. Nilai ini terpaut cukup jauh dengan Malaysia yang telah memperoleh nilai 87 pada
tahun 2005. Sisi positif yang dapat kita lihat adalah terjadi peningkatan atau tren positif
terhadap nilai Indonesia yang beranjak dari 60 pada tahun 2004 menjadi 73 pada tahun
2009. Dengan adanya perbaikan secara menyeluruh dan terus – menerus, diharapkan agar
Indonesia dapat terus meningkatkan nilai pada prinsip empat OECD ini.

5. Disclosure & Transparency


Prinsip OECD yang kelima mengharuskan bahwa sebuah entitas terbuka atas
segala informasi mengenai dirinya dan informasi ini harus disampaikan tepat waktu dan
akurat terutama untuk semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan. Termasuk di
dalam hal material ini adalah keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tatakelola
perusahaan. Prinsip keterbukaan dan transparansi ini terbagi lagi menjadi enam
subprinsip. Di Indonesia sendiri, implementasi prinsip OECD kelima ini terlihat seperti
yang tertera pada figur di bawah yang disusun berdasarkan penilaian Bank Dunia atas
penerapan corporate governance di Indonesia.

(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)

Dari perolehan angka diatas, disimpulkan bahwa tidak ada prinsip yang benar –
benar diterapkan secara keseluruhan oleh Indonesia. Hanya subprinsip A1 mengenai
laporan keuangan dan operasional saja yang hampir diimplementasikan secara
keseluruhan. Sementara itu, subprinsip A8 mengenai struktur dan kebijakan tatakelola
justru paling sedikit penerapannya di Indonesia dengan poin 44 atau implementasinya
dilakukan sebagian. Penerapan peraturan yang mendukung kriteria keterbukaan dan
transparansi di Indonesia memiliki rata – rata sebesar 73 yang berarti secara umum,
prinsip kelima ini baru diterapkan sebagian oleh Indonesia.
Tingkat implementasi tertinggi berada pada subprinsip terkait laporan keuangan
dan operasional karena memang di Indonesia sudah ada peraturan yang secara tegas
mengatur bahwa sebuah entitas yang terdaftar harus membuat laporan keuangan yang
diaudit oleh auditor eksternal. Aturan ini pun sudah diaati oleh seluruh perusahaan listed
di Indonesia. Sedangkan tingkat implementasi terendah berada pada keterbukaan
informasi mengenai struktur tatakelola karena aturan mengenai hal tersebut masih bersifat
sukarela dan tidak wajib pengungkapannya. Selain itu, tingkat pengungkapan terkait
remunerasi bagi BOD dan BOC juga masih rendah. Berdasarkan IICD 2008 diperoleh
data bahwa sebagian besar perusahaan listed mengungkapkan remunerasi secara agregat,
hanya 2% yang mengungkapkannya secara individual, dan hanya 5% yang
mengungkapkan kebijakan remunerasinya.
Penerapan subprinsip D mengenai akuntabilitas eksternal auditor juga masih
rendah yaitu 58%. Hal ini dikarenakan Bapepam-LK masih dalam proses pengembangan
kapasitas inspeksi audit yang independen dan efisien. Yang terendah keempat adalah
subprinsip A3 dimana memang peraturan di Indonesia mewajibkan perusahaan untuk
mengungkapkan pemegang saham yang memiliki kepemilikan lebih dari 5%. Akan tetapi
aturan tersebut tidak mengharuskan perusahaan menyajikan informasi apabila ada
ultimate shareholdings atau ultimate control di perusahaan.
Jika dibandingkan dengan negara – negara lain di Asia, Indonesia termasuk salah
satu negara dengan tingkat penerapan yang tinggi seperti tampak pada figur di bawah ini.

(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)

Negara yang paling tinggi tingkat penerapan corporate governance-nya adalah


Malaysia dengan skor rata – rata sebesar 87. Diikuti dengan India dengan skor 82.
Tingkat implementasi terendah ditempati oleh Vietnam. Pembaca memang tidak dapat
membandingkan secara apple-to-apple skor tersebut, termasuk di dalamnya adalah
penerapan Indonesia tahun 2004 dengan 2009, karena tahun yang berbeda dan disebutkan
bahwa penggunaan metodologi penilaian juga berbeda. Namun dapat dilihat bahwa pada
tahun 2005 saja Malaysia sudah memperoleh skor yang jauh lebih tinggi yaitu 87
dibandingkan dengan Indonesia tahun 2004 yang hanya memperoleh skor 60.

6. Responsibilities of the Board


Prinsip GCG dari OECD yang terakhir berkaitan dengan tanggung jawab dewan
komisaris dan direksi perusahaan. Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa kerangka kerja
tatakelola perusahaan harus memastikan pedoman strategis perusahaan, monitoring yang
efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan
dan pemegang saham. Indonesia menggunakan struktur two-tier board yang terdiri atas
BOC dan BOD dimana BOC memantau dan memberikan saran kepada BOD.
Implementasi atas prinsip ini di Indonesia seperti tampak pada figur berikut.
(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)

Di Indonesia, subprinsip dengan tingkat penerapan paling tinggi ialah subprinsip


D1 tentang tanggung jawab dewan untuk menelaah dan mengarahkan strategi perusahaan,
rencana utama, kebijakan mengenai resiko, anggaran tahunan, rencana usaha, sasaran
kinerja, memonitor penerapan dan kinerja perusahaan serta memantau belanja modal
yang besar, akuisisi, dan divestasi. Penerapan terendah berada pada tanggung jawab
dewan untuk melakukan nominasi atau pemilihan dewan yang transparan. Di Indonesia
hal ini masih kurang diterapkan karena seringkali tidak ada proses yang transparan dalam
pemilihan adalah bahwa di Indonesia, dewan pun tidak memperlakukan shareholder
secara sama dan adil yang dibahas lebih detil pada penerapan prinsip equitable treatment
of shareholders.
Masih terkait dengan equitable treatment, komitmen dewan terhadap tanggun
jawabnya untuk berlaku adil terhadap seluruh shareholder masih sangat kecil. Hal ini
tergambar dengan skor komitmen yang hanya 50. Berdasarkan analisis Bank Dunia,
sebagian besar dewan di Indonesia masih mengutamakan kepentingan controlling
shareholders dan mengesampingkan minority shareholders.

(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010)

Secara umum Indonesia memperoleh skor 66 untuk penerapan prinsip ini. Dan jika
dibandingkan dengan negara lain di Asia, pada penerapan prinsip ini Indonesia juga
masih kalah dibandingkan Malaysia, India, dan Thailand. Vietnam masih menempati
posisi terendah dengan skor 43. Selisih skor antara Indonesia dengan India dan Malaysia
cenderung sangat jauh yang mengindikasikan bahwa Indonesia masih perlu
mengembangkan aturan – aturan yang berlaku agar tingkat implementasi prinsip ini dapat
meningkat.

1.2 Corporate Governance Perception Index (CGPI)

Corporate Governance Perception Index (CGPI) adalah program riset dan


pemeringkatan penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. CGPI diikuti
oleh Perusahaan Publik (Emiten), BUMN, Perbankan dan Perusahaan Swasta lainnya.
Program CGPI secara konsisten telah diselenggarakan pada setiap tahunnya sejak tahun
2001. CGPI diselenggarakan oleh IICG sebagai lembaga swadaya masyarakat independen
bekerjasama dengan Majalah SWA sebagai mitra media publikasi. Program ini dirancang
untuk memicu perusahaan dalam meningkatkan kualitas penerapan konsep CG melalui
perbaikan yang berkesinambungan (continous improvement) dengan melaksanakan
evaluasi dan melakukan studi banding (benchmarking).

Program CGPI akan memberikan apresiasi dan pengakuan kepada perusahaan-


perusahaan yang telah menerapkan CG melalui CGPI Awards dan penobatan sebagai
Perusahaan Terpercaya. Penghargaan CGPI Awards dan hasilnya dipaparkan di Majalah
SWA salam Sajian Utama.

1.3 Penerapan Pelaksanaan Corporate Governance Perception Index (CGPI)

IICG melalui program CGPI membantu perusahaan meninjau ulang pelaksanaan


CG yang telah dilakukannya dan membandingkan pelaksanaannya terhadap
perusahaan-perusahaan lain pada sektor yang sama. Hasil tinjauan dan perbandingan
ini akan memberikan manfaat berikut kepada perusahaan:

 Perusahaan dapat membenahi faktor-faktor internal organisasinya yang belum


sesuai dan belum mendukung terwujudnya GCG berdasarkan hasil temuan
selama survey CGPI berlangsung.

 Kepercayaan investor dan publik meningkat terhadap perusahaan karena


adanya hasil publikasi IICG tentang pelaksanaan konsep CG yang dilakukan
perusahaan.

 Peningkatan kesadaran bersama di kalangan internal perusahaan dan


stakeholders terhadap pentingnya GCG dan pengelolaan perusahaan kea rah
pertumbuhan yang berkelanjutan.

 Pemetaan masalah-masalah strategis yang terjadi di perusahaan dalam


penerapan GCG sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan yang diperlukan.

 CGPI dapat dijadikan sebagai indikator atau standar mutu yang ingin dicapai
perusahaan dalam bentuk pengakuan dari masyarakat terhadap penerapan
prinsip-prinsip GCG.

 Perwujudan komitmen dan tanggungjawab bersama serta upaya yang


mendorong seluruh anggota organisasi perusahaan untuk menerapkan

2.4 Proses pemeringkatan penerapan GCG dalam CGP

Pentahapan atau urutan proses riset dalam pemeringkatan penerapan GCG (untuk
kedua pilihan tema) dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Self-assessment
Pada tahap ini Perusahaan diminta mengisi kuesioner Self-assessment seputar penerapan
konsep CG di perusahaannya.

b. Pengumpulan Dokumen Perusahaan

Pada tahap ini Perusahaan diminta untuk mengumpulkan dokumen dan bukti yang
mendukung penerapan CG di perusahaannya. Bagi perusahaan yang telah mengirimkan
dokumen terkait pada penyelenggaraan CGPI tahun sebelumnya boleh memberikan
pernyataan konfirmasi pada dokumen sebelumnya (kecuali jika terjadi perubahan, maka
revisi harus dilampirkan

c. Penyusunan Makalah dan Presentasi

Pada tahap ini Perusahaan diminta untuk membuat penjelasan kegiatan perusahaan dalam
menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam proses manajemen stratejik selama tahun 2008
dalam bentuk makalah dengan memperhatikan sistematik penyusunan yang telah
ditentukan.

d. Observasi ke perusahaan

Pada tahap ini tim peneliti CGPI 2008 akan berkunjung ke lokasi Perusahaan peserta
untuk menelaah kepastian penerapan prinsip-prinsip GCG dan proses manajemen
stratejik.

1.5 Penilaian CGPI

CGPI akan menilai faktor-faktor berikut:

1. Komitmen yang menunjukkan wujud kesungguhan organ perusahaan dalam


merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi sesuai dengan prinsip-
prinsip GCG, dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota
perusahaan untuk ikut melakukannya.

2. Transparansi yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam


menyampaikan berbagai informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan akurat,
termasuk informasi tentang proses merumuskan, mengimplementasikan, serta
mengevaluasi strategi yang dilakukannya,dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta
dapat mendorong anggota perusahaan untuk ikut melakukannya.

3. Akuntabilitas yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam


mempertanggungjawabkan seluruh proses pencapaian kinerja secara transparan dan
wajar, termasuk mempertanggungjawabkan seluruh proses dalam merumuskan,
mengimplementasikan serta mengevaluasi strategi, dan kesungguhan ini dapat
dirasakan serta dapat mendorong anggota perusahaan untuk ikut melakukannya.

4. Responsibilitas yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam menjamin


terlaksananya peraturan perundang-undangan dan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan, termasuk dalam menjamin terlaksananya proses
perumusan, implementasi serta evaluasi strategisecara bertanggung jawab, dan
kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota perusahaan untuk
ikut melakukannya.

5. Independensi yang menunujukkan kesungguhan organ perusahaan dalam menjamin


tidak adanya dominasi atau intervensi dari satu partisipan terhadap partisipan lainnya,
termasuk dalam menjamin tidak adanya dominasi dan intervensi dari satu partisipan
manapun dalam proses merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
strategi, dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota
perusahaan untuk ikut melakukannya.

6. Keadilan yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam memperhatikan


kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan lainnya
(stakeholder), termasuk dalam memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan
seluruh stakeholder dalam proses merumuskan, mengimplementasikan dan
mengevaluasi strategi, dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta mendorong anggota
perusahaan untuk ikut melaksanakannya.

7. Kompetensi yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam menunjukkan


kemampuannya untuk menggunakan otoritasnya sesuai dengan peran dan fungsinya,
inovatif dan kreatif, termasuk menunjukkan kemampuannya untuk merumuskan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi secara tepat, dan kesungguhan ini
dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota perusahaan untuk melakukannya juga.

8. Kepemimpinan yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam


menunjukkan corak kepemimpinan yang dapat mentransformasikan organisasi kearah
yang lebih baik, termasuk dalam menununjukkan corak kepemimpinan yang dapat
membimbing organisasi untuk merumuskan, mengimplementaskani dan mengevaluasi
strategi, dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota
perusahaan untuk ikut melakukannya.

9. Kemampuan Bekerjasama yang menunjukkan kesungguhan organisasi perusahaan


dalam menunjukkan kemampuan bekerjasamanya untuk mencapai tujuan bersama
secara bermartabat, termasuk dalam menunjukkan kemampuan bekerjasamanya untuk
merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi strategi, dan kesungguhan ini
dapat dirasakan serta dapat mendorong anggota perusahaan untuk ikut melakukannya.

10. Visi, Misi dan Tata Nilai yang menunjukkan kesungguhan organisasi perusahaan
untuk memahami pokok-pokok yang terkandung di dalam pernyataan visi, misi dan
tata nilai perusahaan yang akan menjadi panduan bagi perusahaan dalam
merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi yang dilakukannya,
dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong menumbuhkan keinginan
dihati para anggota perusahaan untuk mencapai pokok-pokok tersebut.

11. Moral dan Etika yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam
menerapkan nilai-nilai moral dan etika dalam setiap proses bisnis sesuai dengan
prinsip GCG, termasuk dalam proses merumuskan, mengimplementasikan dan
mengevaluasi strategi, dan kesungguhan ini dapat dirasakan serta dapat mendorong
anggota perusahaan untuk ikut melakukannya.

12. Strategi yang menunjukkan kesungguhan organ perusahaan dalam merumuskan,


mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi sebagai respon terhadap perubahan
agar perusahaan dapat mempertahankan kinerjanya secara berkelanjutan, dan
kesungguhan ini dapat dirasakan serta mendorong anggota perusahaan untuk ikut
melakukannya.
Kasus : Cermento Argos

a. Role Played by the corporate governance

Cementos Argos, Perusahaan memiliki Kode Tata Kelola yang Baik, yang tujuannya
adalah untuk mengambil langkah-langkah yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan,
praktik manajemen, perilaku pejabatnya, pengelolaan informasi yang jujur dan lancar
serta pengetahuan publik tentang manajemennya.

Kode menciptakan nilai dengan cara membangun struktur manajemen yang transparan
dan efisien yang dimaksudkan untuk membiasakan investor dengan kode perilaku yang
memandu tindakan perusahaan, manajemennya dan semua karyawannya.

Tujuan utama tata kelola perusahaan dari kode tata kelola perusahaan ini adalah adopsi
langkah-langkah atau pedoman sehubungan dengan bagaimana perusahaan dijalankan,
praktik manajemennya dan perilaku karyawan ARGOS, cara menangani informasi dan
pengetahuan publik tentang praktiknya, semuanya dalam kepentingan memastikan
penghormatan terhadap hak-hak mereka yang berinvestasi dalam saham ARGOS atau
dalam keamanan lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan.

Ini juga berisi praktik tata kelola perusahaan yang direkomendasikan oleh Negara. Hak-
hak pemegang saham dan semua investor lainnya dilindungi oleh hukum Kolombia,
peraturan perusahaan dan Kode Tata Kelola Perusahaan, semua pemegang saham berhak
menggunakan hak mereka, untuk memberikan pengamatan atau komentar kepada
manajemen, dan untuk meminta perubahan atau untuk mengajukan hukum yang relevan
proposal tentang cara meningkatkan kinerja perusahaan.

Tata kelola perusahaan, dipahami sebagai serangkaian peraturan dan kebijakan yang
mengatur struktur badan pemerintahan Argos dan prinsip-prinsip tindakan para
manajernya, merupakan komitmen sejati untuk menjaga hubungan dengan para
pemangku kepentingan kami, di bawah standar transparansi tertinggi, rasa hormat dan
kesetaraan perlakuan terhadap pemegang saham, karyawan, kontraktor dan pemasok,
komunitas dan masyarakat pada umumnya. Integritas, sebagai prinsip yang
menginspirasi, tercermin dalam semua tindakan kegiatan sehari-hari kita.

Kode Tata Kelola yang Baik berisi peraturan Rapat Umum Pemegang Saham dan Dewan
Direksi, dan mengadopsi langkah-langkah umum tentang tata kelola dan masyarakat,
praktik manajemen, perilaku karyawan kami, dan manajemen informasi yang jujur dan
adil. Pemegang saham memiliki hak untuk memeriksa dan berinteraksi dengan
Perusahaan, di luar persyaratan minimum yang ditentukan oleh undang-undang
Kolombia.

Kode ini memuat kewajiban yang lebih ketat daripada persyaratan hukum minimum di
Kolombia, mengindahkan saran dari Codigo Pais, New York Stock Exchange (NYSE),
Circle Perusahaan, dan Dow Jones Sustainability Index, antara lain, sehingga memastikan
implementasi lokal yang konstan dan praktik terbaik internasional tentang masalah ini.

Keberhasilan ARGOS akan tergantung pada apakah hubungan di antara pemegang saham,
hubungan antara pemegang saham dan Dewan Direksi, Presiden dan direktur lainnya, dan
hubungan antara perusahaan dan karyawannya, pemasok, klien, pihak berwenang dan
masyarakat, antara lain adalah dikelola dengan memuaskan.
Di ARGOS, setiap hubungan dengan kelompok orang atau lembaga yang terkait dengan
perusahaan didukung oleh filosofi dan pedoman umum untuk manajemen dan koordinasi
yang dirancang untuk memberikan setiap jaminan dan untuk melindungi hak-hak mereka
secara efektif.

Tujuan dalam berurusan dengan kelompok kepentingan adalah untuk Mengakui dan
menjamin hak-hak mereka, Mendorong partisipasi aktif dan kerja sama yang bertujuan
untuk menciptakan nilai. Kembangkan mekanisme peningkatan kinerja yang melibatkan
mereka. Bagikan informasi yang relevan dengan masalah yang menjadi perhatian mereka,
sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

b. Replicating cementos Argos Example In Pakistan

Ya menurut saya itu bisa direplikasi tetapi kita harus mengikuti beberapa aturan dan
regulasi, kita harus benar-benar mengikutinya dan pemerintah juga harus menjaganya,
tetapi Pakistan tidak menerapkannya.

Tata kelola perusahaan tidak ada dalam isolasi tetapi mengacu pada prinsip-prinsip dasar
dan nilai-nilai yang diharapkan untuk meresapi semua transaksi manusia, termasuk
prinsip-prinsip transaksi bisnis seperti itikad baik, kepercayaan, kompetensi,
profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas, dan daftarnya dapat berlanjut. Tata kelola
perusahaan dibangun di atas asumsi dan tuntutan dasar dari transaksi manusia dan adopsi
dan penyempurnaannya ke jaringan kompleks hubungan dan kepentingan yang
membentuk korporasi.

Kami tidak harus menyesatkan auditor dan semua detail penting, perusahaan harus
mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik, peraturan dan kebijakan. Dewan tata
kelola perusahaan harus memeriksa dan menjaga keseimbangan dan semua kegiatan yang
terjadi melalui organisasi.

Pakistan juga harus menerapkan tata kelola perusahaan yang diikuti oleh Cementos
Argos. Transparansi sangat penting dan menyesatkan harus dihindari secara ketat oleh
perusahaan, kerugian dan laba harus dicatat sebagaimana adanya dan auditor dan akuntan
harus mempertahankannya. Dengan mengikuti peran tata kelola perusahaan tesis ini,
Pakistan akan menjadi contoh sempurna dari Organisasi Tata Kelola Perusahaan Negara.
Kesimpulan :

Cemento Argos adalah salah satu contoh perusahaan yang telah menerapkan tata kelola
yangbaik dimana mereka memiliki 5 pilar utama yang di dalamnya menerapkan asas
fainess kepadapemegang saham, struktur boardyang kuat dan kinerja Direksi yang baik,
mengembangkanprosedur untuk memberikan informasi yang akurat, lengkap dan tepat
waktu, ,membuat kodeetik yang baik untuk karyawannya dan mengatur hubungan yang
baik dengan berbagai kelompokkepentingannya. Selain itu mereka memiliki sistem
pengkajian dan penginformasian olehinternal auditor dan eketernal auditor.Dari implikasi
tata kelola yang baik tersebut, Cemento Argos memiliki value sebagai berikut:

 Kapitalisasi Pasar US $ 2.100 juta

 Argos perusahaan kelima terbesar dalam industri semen di Amerika Latin

 Hasil yang substantive

 Nilai saham yang meningkat : 68% selama 2004 dan naik 40% hingga agustus
2005

 Rencana penerbitan saham di NYSE dan mengawasi kepatuhan direksi dan dewan
komite terhadap kode etik dan peningkatan praktik pengungkapan

Daftar Pustaka

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 10, No. 2, Oktober 2010 : 129 – 138 IMPLEMENTASI GOOD
CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA Edi Wibowo Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi
Surakarta

http://manikwida.blogspot.com/2012/11/corporate-governance-perception-index.html

ROSC. World Bank, Anne A & Annex B.

https://www.coursehero.com/u/file/27506367/cementa-argosdocx/#/doc/qa

Anda mungkin juga menyukai