Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PENYAKIT DENGAN DEMAM LEBIH DARI 7 HARI

Pembimbing

dr. Wiwid Samsul Hadi, Sp.PD, FINASIM

Disusun Oleh :

Azmy Abdah

201910401011077

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Penyakit Dengan Demam Lebih Dari 7
Hari

Referat dengan judul “Penyakit Dengan Demam Lebih Dari 7 Hari” telah diperiksa

dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan

Dokter Muda di bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Surabaya, September 2019


Pembimbing

dr. Wiwid Samsul Hadi, Sp.PD, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat dan rahmatnya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
dengan judul “Penyakit Dengan Demam Lebih Dari 7 Hari”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Wiwid Samsul Hadi, Sp.PD, FINASIM selaku
dokter pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi
saran, dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat ini
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis mengharapkan kritik
dan saran demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan dalam referat. Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
Demam Tifoid.......................................................................................................4
Malaria............................................................................................................ 10
Tuberculosis................................................................................................... 14
Meningitis....................................................................................................... 20
Daftar Pustaka................................................................................................ 30

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.Alur diagnosis Tuberculosis pada dewasa….………..…………. 19

Gambar 2. Pengobatan Tuberculosis kategori I…..………………………... 19

Gambar 3. Pengobatan Tuberculosis kategori II................................................... 20

iv
PENDAHULUAN

Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5°C – 37,2°C, sedangkan demam

adalah kenaikan suhu tubuh yang ditandai oleh kenaikan titik ambang regulasi panas

hipotalamus. Batasan nilai atau derajat demam dengan pengukuran suhu aksila/ketiak

diatas 37,2°C, Hiperpireksia bila suhu diatas 41°C. Terdapat perbedaan antara

pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal, dalam keadaan biasa, perbedaan

ini berkisar antara 0,5°C, suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral. Berbagai tipe

demam yang mungkin kita jumpai, antara lain yaitu demam remitten adalah suhu

badan yang dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal.

Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mecapai dua derajat dan tidak sebsar

perbedaan suhu yang dicatat pada demam septic. Demam intermitten adalah suhu

badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari, bila demam

seperti ini terjadi setiap 2 hari sekali disebut tertian dan bila terjadi dua hari bebas

demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. Demam kontinyu adalah

kondisi dimana variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari 1 derajat. (Aru

W, 2010)

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-1,

terutama sore dan malam hari. Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-menerus

tinggi (febris kontinyu) kemudian turun. Gangguan gastrointestinal meliputi perut

agak kembung dan mungkin nyeri tekan disertai lidah kotor, berselaput putih, dan

tepi hiperemis (Djoko Widodo, 2009). Malaria merupakan infeksi akut maupun

1
kronik yang disebabkan oleh parasite plasmodium yang menyerang eritrosit dan

ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah dengan gejala demam,

menggigil, anemia dan pembesaran limpa. Demam hilang timbul, pada saat demam

hilang disertai dengan menggigil, berkeringat dapat disertai dengan sakit kepala,

nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut dan mual muntah serta

diare. (Menkes RI, 2017). Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular

yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Terdapat gejala

respiratorik seperti batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada.

Serta terdapat gejala sistemik seperti demam meriang lebih dari satu bulan, malaise,

keringat malam, anoreksia, berat badan menurun (Kemenkes RI, 2014). Meningitis

atau leptomeningitis adalah suatu infeksi dengan proses peradangan yang melibatkan

salah satu dari piamater, aracnoidmater dan ruangan subarachnoid yang dapat meluas

ke jaringan otak dan medulla spinalis. Gejala klasik yang sering muncul dapat berupa

trias adanya panas, nyeri kepala, dan kaku kuduk bila leher difleksikan. Gejala lain

berupa kelemahan umum, peka terhadap cahaya, dan tampak gejala defisit neurologis

fokal, kejang bahkan sampai mengalami penurunan kesadaran. (Hasan, 2011)

Kesalahan dalam mendiagnosis gejala klinis demam sering dibuat karena

pemeriksaan fisik yang tergesa-gesa sehingga kurang lengkap / tidak tepat, dan terlalu

cepat menarik suatu kesimpulan dari suatu keadaan tertentu saja dengan tidak melihat

kasus yang dihadapi dalam konteks keseluruhan. Beberapa hal yang secara khusus

perlu diperhatikan pada demam adalah cara timbul demam, lama demam, sifat harian

demam, tinggi demam dan keluhan serta gejala lain yang menyertai demam. Demam

yang tiba-tiba tinggi lebih sering disebabkan oleh virus. Pada dasarnya untuk

2
mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain ketelitian

pengambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisik dengan teliti,

observasi perjalanan penyakit, dan evaluasi pemeriksaan laboratorium serta

penunjang lainnya secara tepat dan tepat. (Aru W, 2010)

3
I. Demam thyphoid

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid

merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga

dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah

penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam

lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran (Djoko

Widodo, 2009).

Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi

dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk

spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh

dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 C (suhu pertumbuhan

optimal 37 C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu

di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan debu serta hidup subur pada medium

yang mengandung garam empedu. Kuman ini mati dengan pemanasan (suhu 60 C)

selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi (Djoko Widodo, 2009)

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu: 1. Antigen O (antigen

somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia

lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi

tidak tahan terhadap formaldehid. 2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela,

fimbria, atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan

tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol. 3.Antigen

Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman terhadap

4
fagositosis. Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan

pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Jawetz, Melnick, &

Adelbergh’s. 2005). Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2

minggu. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti

panas disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala

septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan

perforasi usus. Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua

penderita demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi

parah dengan gejala yang menyerupai septikemia. Menggigil tidak biasa didapatkan

pada demam tifoid tetapi pada malaria. Sakit kepala hebat yang menyertai demam

tinggi dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan

dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi

usus (Djoko Widodo, 2009)

Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 C), nyeri kepala,

epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri otot,

dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih

(lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan

bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis) (Djoko Widodo,

2009).

Demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-1, terutama

sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-

menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang

dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis.

5
Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor,

berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan.

Lien membesar, lunak dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare

kemudian menjadi obstipasi (Djoko widodo, 2009).

Diagnosis demam tifoid secara pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses

atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada

14 hari awal setelah terinfeksi. Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif

pada hari ke-10 dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan

tes widal selang 2 hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200)

menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses

dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4

dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella (Jawetz,

Melnick, & Adelbergh’s. 2005)

Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia

polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah

demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi

sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN

waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala

yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah terpapar kuman hanya mengalami

demam kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua

penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari

banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk

saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun (Djoko Widodo ,2009).

6
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi,

imunoserologi, mikrobiologi, dan biologimolekuler. Pemeriksaan ini untuk

membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau perjalanan

penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi.

- Hematologi

a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi

perdarahan atau perforasi usus

b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.

c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.

d. Laju endap darah (LED) meningkat.

e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

- Imunoserologi

a. Widal

Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen

bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif jika

terjadi reaksi aglutinasi antara antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena

itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini

dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif

palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah

vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),

reaksianamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil

negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik, waktu

7
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum buruk, dan

adanya penyakit imun lain.

Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin

tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan

aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat

secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti

aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6

bulan sedangkanaglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan.

Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4kali, diagnosis

demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkandengan pasca imunisasi

atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman

(karier).

b. Elisa

Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgMUji ini lebih sensitif dan spesifik

dibandingkan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid. lgM positif

menandakan infeksi akut sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak,

terinfeksi, reinfeksi,atau di daerah endemik.

- Mikrobiologi (kultur)

Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam

tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif,

belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera

8
dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit sehingga kuman

terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu ke-1

sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji

ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi).

Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut atau carrier digunakan urin dan feses.

- Biologi molekular PCR (polymerase chain reaction)

Cara ini dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan

spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan

tubuh lain, dan jaringan biopsy (Rampengan, T. H, 2007).

Penatalaksanaan terapi supportif dapat dilakukan dengan istirahat tirah baring

dan mengatur tahapan mobilisasi, menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat

diberikan secara oral/parenteral. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam

(antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal. Terapi definitive dengan

pemberian antibiotic, antibiotic lini pertama untuk demam tifoid adalah

kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil)

atau tripetropim-selfametoksazole (Kotrimoksazol). Bila pemberian salah satu

antibiotic lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotic lain

atau pilih antibiotic lini kedua yaitu seftriakson, sefiksim, kuinolon (tidak

dianjurkan unruk anak <18 tahu karena mengganggu pertumbuhan tulang).

9
Kloramfenikol dosis dewasa adalah 4x500 mg selama 10 hari. Merupakan obat

yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid, murah dan

dapat diberikan peroral serta sensitivitas masih tinggi. Seftriakson dewasa 2-4

gr/hari selama 3-5 hari, cepat menurunkan suhu, lama penmberian pendek dan

dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak (Aru, 2010)

II. Malaria

Malaria merupakan indeksi akut maupun kronik yang disebabkan oleh parasite

plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk

aseksual dalam darah dengan gejala demam, menggigil, anemia dan pembesaran

limpa. Demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan menggigil,

berkeringat dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu

makan menurun, sakit perut dan mualmuntah serta diare (Menkes RI, 2017)

Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan

nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu: Plasmodium

falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan

Plasmodium knowlesi. Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan

di Indonesia. Jenis- jenis malaria sebagai berikut:

1. Malaria Falsiparum (Malaria tertiana maligna, Malaria tropikana)

Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam timbul intermiten

dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang

menyebabkan kematian. Dapat timbul 3 hari sekali.

2. Malaria Vivaks (Malaria tertiana)

10
Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang dengan interval

bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang

disebabkan oleh Plasmodium vivax. Demam setiap 3 hari sekali.

3. Malaria Ovale

Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis biasanya bersifat

ringan. Pola demam seperti pada malaria vivaks. Pola demam tidak khas

setiap 1-2 hari sekali

4. Malaria Malariae (Malariae quartiana)

Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala demam berulang dengan

interval bebas demam 3 hari (demam setiao 4 hari sekali)

5. Malaria Knowlesi

Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam menyerupai malaria

falsiparum (Menkes RI, 2017).

Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksismal) yang

didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian

berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun

(berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala

lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot . Gejala

tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun)

(Menkes RI 2017).

Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai membahayakan

jiwa. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain: seperti demam

11
typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi saluran nafas.

Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam dengue

atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan

dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam

sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan stroke. Mengingat

bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat perjalanan ke

daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam harus dilakukan.

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk malaria berat

diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO. Untuk anak <5 tahun diagnosis

menggunakan MTBS namun pada daerah endemis rendah dan sedang ditambahkan

riwayat perjalanan ke daerah endemis dan transfusi sebelumnya. Pada MTBS

diperhatikan gejala demam dan atau pucat untuk dilakukan pemeriksaan sediaan

darah. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah

secara mikroskopis atau uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT). (Menkes

RI, 2017)

A. Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

a. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual,

muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.

b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.

c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.

12
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria. Setiap penderita dengan keluhan

demam atau riwayat demam harus selalu ditanyakan riwayat kunjungan ke

daerah endemis malaria.

B. Pemeriksaan fisik

a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C

b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat

c. Sklera ikterik

d. Pembesaran Limpa (splenomegali)

e. Pembesaran hati (hepatomegali)

C. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis

di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:

a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).

b) Spesies dan stadium plasmodium.

c) Kepadatan parasit.

b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test) Mekanisme

kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan

metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu dibaca petunjuk

penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak

digunakan untuk mengevaluasi pengobatan (Menkes RI, 2017).

Pengobatan plasmodium falciparum (Aru W, 2010)

1. Lini pertama : FDC yg berisi dihidroartemisin 40 gr (DHA) + piperakuin 320

gr (DHP)

13
Untuk bb sampai dg 59 diberikan DHP 3 tablet sekali perhari selama 3 hari

dan primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian

Untuk bb > 60kg diberikan DHP 4 tab sekali perhari selama 4 hari dan

primakuin 3 tab sehari satu kali pemberian

Dosis tunggal

DHA : 2-4 mg/kgbb, DHP : 16-32 mg/kgbb, Primakuin : 0,75 mg/kgbb

2. Lini kedua pengobatan pada yang kebal thd DHP : kina +

doksisiklin/tetrasiklin + primakuin

Dosis Kina : 10 mg/kgbb/kali (3x sehari selama 7 hari)

Doksisiklin : 3,5 mg/kgbb/hari (dewasa 2 kali perhari selama 7 hari) 2,2

mg/kgbb/hari (8-14 tahun, 2 kali perhari selama 7 hari)

Tetrasiklin : 4-5 mg /kgbb/kali (4x sehari selama 7 hari)

Pengobatan malaria vivax dan ovale

1. Lini pertama : DHA + DHP diberikan PO selama 3 hari, primakuin 0,25

mg/kgbb selama 14 hari

2. Lini kedua yg tidak respon thd DHP : Primakuin + Kina. Dosis primakuin

0,25 mg/kgbb selama 14 hari

Pengobatan malaria vivax yang relaps

1. Diberikan lagi regimen DHP yang sama tapi dosis primakuin dinaikkan 0,5

mg/kgbb

2. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah saat pemberian primakuin 0,25

mg/kgbb sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan

14
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah

pengobatan

III. Tuberculosis

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular yang disebabkan oleh

infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet

orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang disebabkan oleh

tuberkulosis dapat diukur dengan Case Notification Rate (CNR), prevalensi

(didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu tertentu), dan

mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat tuberkulosis dalam

jangka waktu tertentu) (Kemenkes RI, 2014).

Penyebab tuberkulosis (TB) adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,26/um, yang

sebagian besar dindingnya terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan

dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam

(asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan

terhadap gangguan kimia dan fisis.

Bakteri TB dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat

tahan bertahun - tahun dalam lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari

sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi

aktif lagi. Adapun cara penularan TB adalah melalui udara ketika pasien TB batuk,

bersin, berbicara atau bernyanyi. Penularan sebagian besar melalui inhalasi basil yang

terdapat pada pasien TB paru dengan batuk berdarah maupun TB dengan BTA positif

(+) (Kemenkes RI, 2014). Gizi buruk, merokok, diabetes, dampak pandemic HIV dan

15
kasus yang tidak berhasil disembuhkan yang mengakibatkan Multi Drug Resistance

(MDR) sehingga terjadi epidemic TB. Gejala klinis dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

A. Respiratorik :

- Batuk lebih dari 3 minggu

- Batuk darah

- sesak napas

- nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala

sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita

terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses

penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama

terjadi karena iritasi bronkus.

B. Gejala Sistemik

- Demam meriang lebih dari satu bulan

- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun (Kemenkes RI, 2014).

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain :

 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda

penarikan paru, diafragma & mediastinum.

16
 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura.

- perkusi : pekak

- auskultasi : suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai

arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan

bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),

urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

1. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan. Cara pengambilan dahak 3 kali,

setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:

 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

 P (pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

 S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (PNPT, 2014).Cara pemeriksaan dahak dan

specimen lain dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan kultur.

Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

17
 2 kali positif, 1 kali negatif :Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif :ulang BTA 3 kali

 1 kali positif, 2 kali negatif :Mikroskopik positif

 3 kali negatif : Mikroskopik negative

Adapun pemeriksaan kultur dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi

WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)

  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan : Scanty

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +(+1)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(+2)

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(+3)

Pemeriksaan standar adalah dengan foto thoraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Adapun gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque berawan

atau nodular

 Bayangan bercak milier

18
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) (Kemenkes RI,

2014)

Berikut alur diagnosis dan tindaklanjut TB paru pada pasien dewasa :

Tatalaksana TB

19
(Kemenkes, 2014)
IV. Meningitis

Meningitis merupakan kegawatdaruratan medik diperlukan diagnosis dan

pengobatan sedini mungkin untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan.

Diagnosa pasti harus cepat dengan analisis cairan serebrospinal yang didapatkan

melalui pungsi lumbal (LP). Apabila diragukan adanya kelainan intracranial maka CT

Scan harus dikerjakan sebelum melakukan LP. Meningitis atau leptomeningitis

adalah suatu infeksi dengan proses peradangan yang melibatkan salah satu dari

piamater, aracnoidmater dan ruangan subarachnoid yang dapat meluas ke jaringan

otak dan medulla spinalis (Hasan, 2011)

Etiologi meningitis dapat disebabkan oleh berbagai organisme seperti bakteri

(kokus seperti spreptococcus pneumonia, Haemofilus influenza), virus (Enterovirus

20
seperti poliovirus, coxsackievirus A dan B), jamur (Blastomikosis), prozoa

(Toxoplasmosis) dan lain-lain. Pada umumnya kuman masuk ke dalam sistem

meningen melalui kolonisasi kuman di nasfaring atau melalui aliran darah yaitu

terjadi setelah adanya suatu bakterimia, oleh karena infeksi ditempat lain seperti

faringitis, tonsillitis, ataupun terjadi secara primer misalnya pada primary

meningococcal meningitis. Pada keadaan ini apabila dilakukan kultur, maka kuman

didalam darah dan didalam CSS adalah sama. Dapat pula dikarenakan perluasan

langsung dari infeksi percontinuitatum yang disebabkan oleh infeksi dari sinus

paranasalis, mastoid. Cara lain adalah dengan implantasi langsung pada trauma

terbuka kepala pada fraktur basis kranii (Hasan, 2011)

Gambaran klinik meningitis pada awalnya tidaklah khas gejala yang timbul

sering kali menyerupai infeksi yang lain, seperti adanya panas badan, nyeri kepala,

mual, muntah, kejang dan yang berat sampai penurunan kesadaran, adanya sumber

infeksi di tempat lain seperti pneumonia dapat membantu menemukan penyebab dari

infeksinya. Gejala klasik yang sering muncul dapat berupa trias adanya panas, nyeri

kepala, dan kaku kuduk bila leher difleksikan (kekauan ini tidak tampak bila kepala

dilakukan fleksi ke lateral). Penderita akan mengalami kelemahan umum, peka

terhadap cahaya, pada tahap lanjut penderita dapat tampak gejala deficit neurologis

fokal kejang bahkan sampai mengalami penurunan kesadaran. (Bahruddin, 2017)

Kaku kuduk adalah gejala yang klasik dari meningitis tetapi dapat belum timbul pada

awal dari perjalanan penyakit, karena itu tidak adanya kaku kuduk tidak dapat

menyingkirkan adanya meningitis. Tidak adanya papil edem tidak dapat

menyingkirkan adanya peningkatan TIK, karena biasanya belum tampak pada awal

21
penyakit dan akan mulai tampak sedikitnya beberapa jam sesudah terjadinya

peningkatan TIK. Gejala fokal neurologis yang biasanya ditemukan adalah parese

nervus kranialis, gangguan pergerakan bola mata, hemiparese defek lapang pandang,

dan ataksia dapat timbul dengan cepat. Parese nervus kranialis ini timbul ketika

syaraf diliputi demam eksudat pada selubung arachnoid yang mengelilingi syaraf dan

juga merupakan tanda dari adanya peningkatan TIK (Bahruddin, 2017)

Diagnosis didasarkan adanya keluhan nyeri kepala yang akut disertai kaku

kuduk, tanda rangsang meningeal positif, panas, kadang disertai kejang, adanya tanda

lateralisasi dan yang berat sampai terjadi penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan

pungsi lumbal dapat ditemukan gambaran peningkatan tekanan likuor cerebro spinal,

penurunan kadar glukosa, peningkatan sel dan peningkatan protein (Hasan, 2011)

Tatalaksana umum sesuai dengan terapi koma yaitu dengan 5B yaitu menjaga

breathing dengan membebaskan jalan nafas, memberikan oksigen, brain dengan

menjaga tekanan intra kranial, blood dengan mengontrol tekanan darah agar aliran

darah ke otak baik, bowel menjaga asupan nutrisi dan kebutuhan cairan dan elektrolt,

bladder, body and skin. Terapi spesifik dapat diberikat sesuai penyebabnya, pada

meningitis bacterial akut dapat diberikan Penicilin G 4.000.000 unit iv setiap 4 jam.

Dapat diberikan dexamethasone dengan dosis 15 mg/kgBB setiap 6 jam (Bahruddin,

2017)

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru, W, Bambang S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat.

Interna Publishing Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

2. Bahruddin.2017. Neurologi Klinis. Malang: UMM Press Universitas

Muhammadiyah Malang

3. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Menkes RI. 2017.

Buku Saku Penatalaksaan Kasus Malaria. IDI dan WHO

4. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

5. Hasan. 2011. Buku ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Departemen Ilmu

Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

6. Jawetz, Melnick, & Adelbergh’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.

Jakarta:Salemba Medika.

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. KEMENKES RI.

8. Novie Rampengan. 2016. Leptospirosis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado: Jurnal Biomedik

(JBM).

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis Dan

Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. PDPI. Jakarta, 2006.

23
10. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta:

EGC

11. Rania Wijaya.2013. Hubungan pekerjaan petani dengan angka kejadian

leptospirosis.Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang

12. Shiva Khumar. 2014.Indian Guidelines for the Diagnosis and Management of

Human Leptospirosis . India

13. Tjokroprawiro, A dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga.

14. Washington State Department of Health. 2015. Leptospirosis. Wahington

15. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World

Health Organization. 2017.

16. Zulfa Sonia. 2014. Amplifikasi DNA PCR. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta

24

Anda mungkin juga menyukai