Buku - Petunjuk Teknis Penerapan Public Private Mix PDF
Buku - Petunjuk Teknis Penerapan Public Private Mix PDF
Edisi Pertama
Oktober 2018
PETUNJUK TEKNIS
Penerapan Public Private Mix
Berbasis Kabupaten/Kota
Area Binaan Challenge TB
Penyusun :
Tim Challenge TB
Daftar Isi
1
Daftar Tabel
Tabel 1. Data Patient Pathway Analysis Tahun 2017 .................................................................. 5
Tabel 2. Bagan Logical Framework Monev DPPM .................................................................... 21
Daftar Gambar
Gambar 1. Jejaring Kolaborasi PPM TB berbasis Kabupaten/Kota .............................................. 7
Gambar 2. Bagan langkah pembentukan tim DPPM ................................................................ 10
Gambar 3. Bagan langkah penerapan DPPM di FKTP............................................................... 13
Gambar 4. Bagan langkah penerapan DPPM di FKRTL............................................................. 18
2
Daftar Istilah/Singkatan
3
PP : Peraturan Pemerintah
PPINH : Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid
PPM : Public-Private Mix
PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Prolanis : Program Pengelolaan Penyakit Kronis
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RAN PPM : Rencana Aksi Nasional PPM
RS : Rumah Sakit
SIMPEL : Survei dan Informasi PEmetaan Lokasi
SITRUST : Sistem Informasi Treking Untuk TranSporTasi Spesimen
SITT : Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu
SPM : Standar Pelayanan Minimal
STR : Short Term Regimen
TB : Tuberkulosis
WHO : World Health Organization
WiFi : Wajib Notifikasi
Yankes : Pelayanan Kesehatan
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan
global. Global TB Report WHO tahun 2018 melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam 30
negara yang mempunyai beban TB yang tinggi, bahkan menempati posisi ketiga di dunia. Studi
Inventori 2017 memperkirakan terdapat 842.000 insiden kasus TB, namun masih terdapat sekitar
41% kasus TB yang belum dilaporkan (missing cases).
Hasil Studi Patient Pathway Analysis di Indonesia pada tahun 2017 (table 1) menyatakan
peran (warna merah) fasyankes pemerintah (Puskesmas dan RS pemerintah) dalam penemuan
dan pengobatan TB sebesar 54%, fasyankes swasta 42% dan 4% lain-lain. Akan tetapi, belum
semua kasus TB yang di obati di catat dalam sistem pencatatan standar (SITT) terutama dari
fasyankes swasta (warna biru) DPM dan klinik pratama 1% dan RS swasta 8%, sedangkan
Puskesmas 72% dan RS pemerintah 18%.
Pola pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia jika memiliki gejala batuk lebih dari dua
minggu (gejala TB). Perilaku masyarakat yang cenderung mengobati diri sendiri ini berkontribusi
pada rendahnya penemuan kasus TB karena tidak terdiagnosis dan terlaporkan, bahkan dapat
terjadi salah pengobatan yang dapat menyebabkan resistansi obat.
Tingginya kasus yang hilang (missing cases) terutama di fasyankes swasta memerlukan
penguatan jejaring antara fasyankes layanan TB pemerintah dan swasta di wilayah
kabupaten/kota. Jejaring ini diperkenalkan oleh WHO dengan nama Public-Private Mix (PPM).
Di Indonesia PPM dilakukan berbasis kabupaten/kota (district) atau disingkat DPPM (District-
based Public Private Mix) di bawah koordinasi dinsas kesedhatan kabupaten/kota (DKK).
Kementerian Kesehatan menetapkan rancangan pendekatan DPPM yang dituangkan dalam
draft Rencana Aksi Nasional PPM. Challenge TB berusaha menerapkan pendekatan DPPM
tersebut di 16 kabupaten/kota dukungan CTB. Dalam upaya tersebut CTB menyusun buku
petunjuk teknis menggunakan rancangan pendekatan tersebut mengacu pada rancangan
pendekatan DPPM nasional dan diperkaya dengan konteks yang dimiliki wilayah maisng-masing.
5
B. Tujuan
Tujuan Umum
Sebagai referensi untuk menerapkan PPM berbasis kabupaten/kota bagi staf CTB dalam
memberikan bantuan teknis kepada DKK dalam upaya penanggulangan TB di wilayah
dukungan Challenge TB.
Tujuan Khusus
Sebagai referensi untuk:
1. Dinas kesehatan
Meningkatkan fungsi pembinaan dinas kesehatan kepada fasyankes di wilayah
kabupaten/kota.
2. Puskesmas
Meningkatkan fungsi puskesmas sebagai koordinator FKTP di wilayah kerjanya melalui
pembentukan jejaring internal dan eksternal serta peningkatan penemuan kasus.
3. Rumah sakit
Meningkatkan fungsi/revitalisasi tim DOTS RS melalui pembentukan jejaring internal dan
eksternal serta peningkatan penemuan kasus dan peningkatan keberhasilan pengobatan.
4. KOPI TB
Meningkatkan peran organisasi profesi dalam penerapan PPM di kabupaten/kota.
6
BAB II
PPM BERBASIS KABUPATEN/KOTA
Kepala
Daerah
B. Komponen DPPM
1. Komponen Dinas Kesehatan Kab/Kota (Tim DPPM)
Upaya pelibatan seluruh penyedia layanan dalam konsep jejaring layanan secara
umum dapat dibedakan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan untuk pelibatan FKTP
(klinik pratama, DPM) dan pendekatan untuk pelibatan FKRTL (RS).
1 PPM diterapkan berbasis kabupaten/kota karena otonomi daerah berada di tingkat kabupaten/kota, target capaian SPM berada di tingkat
kabupaten/kota, Rencana Aksi Daerah (RAD) dibuat berdasarkan aksi TB kabupaten/kota dan rancangan sistem rujukan pasien, spesimen
dan pengetahuan dibuat berdasarkan cakupan wilayah kabupaten/kota
7
DKK berperan melaksanakan kewenangan pemerintah daerah di bidang kesehatan.
Dinkes membantu pemerintah daerah dalam mencapai target Standar Pelayanan
Minimum (SPM) yang ada dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2018. Salah satu
jenis pelayanan dasarnya adalah penanggulangan TB. DKK memerlukan partisipasi dari
fasyankes pemerintah dan swasta untuk penanggulangan TB. Oleh karena itu, DPPM
merupakan tanggung jawab dari DKK.
Untuk menerapkan DPPM secara optimal, DKK perlu membentuk sebuah wadah bagi
para profesional yang peduli TB di kab/kotanya. Wadah ini disebut dengan tim DPPM.
DKK dapat melibatkan organisasi profesi (dalam hal ini kesehatan) di dalam tim DPPM
tersebut yang dapat terhimpun dalam sebuah Koalisi Organisasi Profesi untuk
penanggulangan TB (KOPI TB) di wilayahnya. 2
Selanjutnya, berjalannya pelibatan fasyankes pemerintah dan swasta memerlukan
kesepakatan suatu mekanisme jejaring DPPM yang disesuaikan dengan kondisi setempat
di kab/kota dan tim DPPM berperan memastikan mekanisme yang sudah disepakati
berjalan dengan optimal.
Kesepakatan tentang peran dan fungsi masing-masing anggota dalam tim DPPM
harus tercakup dalam surat keputusan pembentukan tim DPPM. Sesuai dengan
kebutuhan kab/kota, tim DPPM minimal beranggotakan DKK (pencegahan penyakit (P2)
dan pelayanan kesehatan (yankes)), BPJS Kesehatan 3 , KOPI TB, perwakilan RS dan
perwakilan puskesmas.
2
KOPI TB adalah Koalisi Organisasi Profesi Indonesia yang dibentuk untuk penanggulangan TB. Saat ini sudah terbentuk KOPI TB tingkat
nasional. KOPI TB memiliki tiga peran penting, yaitu:
- Sebagai fasilitator di tingkat DPPM meningkatkan kapasitas petugas kesehatan fasyankes melalui pelatihan, pembinaan, supervisi
dan mentoring.
- Sebagai tenaga ahli di RS menjadi motivator, fasilitator, pelaksana pelayanan kesehatan dan mendorong terbentuknya jejaring
internal layanan TB yang sinergis.
- Sebagai praktisi ahli di tempat praktik masing-masing menjadi bagian dari PPM dalam pelayanan langsung pada pasien dan
melaporkan langsung ke dalam sistim informasi di kabupaten/kota sesuai pedoman.
3 BPJS Kesehatan perlu dilibatkan karena merupakan unsur pendanaan yang juga berperan dalam program TB.
8
sama dengan LSM (CSO) terkait sesuai dengan PP Nomor 45 Tahun 2017
tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
C. Kegunaan DPPM
Kegunaan dibentuknya DPPM adalah sebagai berikut:
1. Menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB (akses universal) untuk menjamin
kesembuhan pasien TB dalam rangka menuju eliminasi TB.
2. Meningkatkan penemuan kasus dan mengurangi penundaan diagnosis serta wajib
notifikasi kasus TB oleh seluruh pemberi layanan.
3. Meningkatkan kualitas diagnosis, perawatan dan dukungan pasien dengan
pengobatan sesuai standar: DOTS, ISTC, PNPK, PPK-CP.
4. Mengurangi biaya perawatan dan perlindungan finansial bagi pasien TB.
5. Memastikan pengumpulan data epidemiologi yang penting.
6. Meningkatkan kualitas manajemen program penanggulangan TB (kepemilikan dan
kepemimpinan program).
9
BAB III
LANGKAH PENERAPAN DPPM
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk penerapan DPPM di tiga komponen yang
teridentifikasi di atas adalah sebagai berikut:
A. Komponen Dinas Kesehatan Kab/Kota
Jejaring DPPM sudah sejak lama disosialisasikan oleh Program TB nasional. Untuk
menjamin penerapan DPPM tersebut, diperlukan tim DPPM. Pembentukan tim DPPM
diinisiasi oleh DKK dan memerlukan analisis situasi, penyusunan rancangan yang disesuaikan
dengan kab/kota serta pengesahan tim DPPM oleh pemerintah daerah. Bagan di bawah ini
menunjukkan langkah-langkah pembentukan tim DPPM: 4
1. Analisis Situasi
Identifikasi terhadap upaya terkait jejaring antar layanan pemerintah dan swasta perlu
dilakukan oleh DKK, baik secara mandiri maupun dengan melibatkan mitra terkait dalam
tim kecil. Identifikasi perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Tim DPPM
Agar tim DPPM dapat bekerja optimal perlu dilakukan penilaian (asesmen)
tentang keberadaan tim DPPM. Identifikasi terhadap status tim DPPM yang sudah
terbentuk yaitu:
- struktur formal, tugas, peran dan fungsi tim DPPM,
- keaktifan tim melibatkan fasyankes,
- identifikasi pemangku kepentingan yang terlibat,
- mekanisme jejaring DPPM,
- hasil yang sudah dicapai (notifikasi dari fasyankes) dan tindaklanjut yang
sudah dilakukan.
Bila tim DPPM sudah ada, namun tidak berjalan efektif perlu dilakukan revitalisasi.
Sedangkan bagi kab/kota yang belum memiliki tim DPPM maka perlu dilakukan
pembentukan tim DPPM.
4 Catatan: Langkah-langkah berikut bukan merupakan urutan kegiatan, sehingga tidak diharapkan semua langkah tersebut dilaksanakan
dengan kegiatan terpisah ataupun berurutan. Penyesuaian tentang jenis kegiatan dan urutannya sangat dianjurkan dan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah.
10
b. Identifikasi Anggota Tim DPPM
Identifikasi anggota tim DPPM perlu dilakukan terhadap stakeholder, tidak hanya
terbatas pada individu ataupun institusi/organisasi yang telah aktif terlibat dalam
program TB di kab/kota, tetapi juga untuk individu/organisasi yang belum terlibat
dan mempunyai potensi untuk memberikan dukungan terhadap DPPM. Sebagai
rujukan, beberapa stakeholder yang perlu diidentifikasi adalah sebagai berikut sesuai
dengan draft RAN PPM:
- Unit/bidang yang terkait dengan TB di dalam DKK (P2, yankes);
- Rumah sakit (pemerintah dan swasta);
- Puskesmas;
- Klinik pratama dan dokter praktik mandiri dan FKTP lainnya;
- Koalisi Organisasi Profesi Indonesia (KOPI) untuk Penanggulangan
Tuberkulosis (IDI, PDPI, PAPDI, IDAI, PDUI, PERDOKI, PDS PATKLIN,
PATELKI, PDKI, PAMKI, PPNI, PDSRI dan IAI dan lain-lain);
- Semua institusi pendukung dan layanan TB lainnya (organisasi
kemasyarakatan, laboratorium, klinik pratama, apotek dan lain-lain).
Keterlibatan stakeholder yang melebihi dari yang tercantum di atas perlu dikaji
efektivitasnya sebagai anggota tim DPPM. Bila dinilai tidak efektif, perlu fokus
terhadap apa yang sudah ditetapkan di dalam RAN PPM.
5Pemanfaatan IT atau aplikasi pada gawai di era digital saat ini (misal: WhatsApp) dapat mempermudah koordinasi komunikasi dalam
mekanisme jejaring sehingga perlu ditegaskan untuk dipergunakan bila keadaan memungkinkan. Hal ini dapat menjadi sebuah bentuk
mekanisme jejaring dan dimanfaatkan sebagai salah satu sarana melakukan pembinaan kepada fasyankes oleh puskesmas.
11
2. Penyusunan Rancangan DPPM
a. Rancangan Tim DPPM
Luaran dari analisis situasi yang dilakukan sebelumnya dapat digunakan sebagai
rujukan penyusunan rancangan awal tim DPPM. Beberapa hal minimal yang perlu
disusun dalam rancangan tersebut sebagai berikut:
- Status tim DPPM yang akan dibentuk;
- Anggota tim DPPM, peran dan fungsinya;
- Mekanisme jejaring yang disepakati;
- Langkah penerapan di layanan primer;
- Langkah penerapan di layanan rujukan;
- Rencana kerja (disusun bersama antara tim DPPM dan DKK);
- Monitoring dan evaluasi;
Luaran yang diharapkan dari penyusunan rancangan DPPM adalah sebagai berikut:
- Terbentuknya rancangan DPPM.
- Kesepakatan rancangan penerapan DPPM termasuk usulan anggota tim DPPM.
6 Acara pembentukan tim DPPM dapat dilakukan selama 1 atau 2 hari. TOR pembentukan tim DPPM diharapkan memiliki agenda antara
lain:
- Pengantar DPPM
- Analisis situasi (tim DPPM, stakeholder anggota tim DPPM, mekanisme jejaring)
- Rancangan DPPM dan tim DPPM
- Konsultasi kesepakatan
- Identifikasi champions di fasyankes (FKTP dan FKRTL)
- Kesepakatan rencana kerja tim DPPM
7
Bagi kab/kota yang telah memiliki tim PPM perlu diketahui status keaktifannya, bila perlu dilakukan revitalisasi. Adapun langkah-
langkahnya dapat disesuaikan dengan keadaan di kab/kota. Pembentukan KOPI TB, dapat dilakukan secara terintegrasi dalam revitalisasi
tim PPM ataupun secara terpisah. KOPI TB dalam strategi DPPM merupakan bagian penting, terutama dalam komponen pendekatan FKRTL.
8 Contoh SK tim DPPM beserta struktur anggota, peran dan fungsinya dapat dilihat di Buku Suplemen.
12
Luaran yang diharapkan dari pengesahan tim DPPM adalah sebagai berikut:
- Terpaparnya semua stakeholder yang terlibat dalam DPPM tentang strategi
pendekatan yang akan dilakukan dan rencana kerja tim DPPM.
- Komitmen pemerintah daerah untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang ada dalam
rencana kerja Tim DPPM.
13
- Pengenalan alat Penilaian Mandiri Puskesmas (PMP) sebagai asesmen mandiri
untuk perbaikan kinerja puskesmas dalam program TB yang akan dibahas dalam
lokakarya internal puskesmas. 9 (lihat Buku Suplemen)
Luaran yang diharapkan dari pertemuan persiapan penerapan DPPM di FKTP adalah sebagai
berikut:
- Komitmen dari kepala puskesmas untuk melaksanakan kegiatan DPPM dengan segera
dalam rencana kerja Tim DPPM.
- Kesepakatan jadwal untuk pelaksanaan lokakarya jejaring internal dan eksternal di
masing-masing puskesmas
- Komitmen untuk melakukan asesmen mandiri dengan menggunakan PMP.
14
Luaran yang diharapkan dari lokakarya internal puskesmas adalah sebagai berikut:
- Terukurnya capaian penerapan program TB di internal puskesmas, disertai dengan
kesepakatan untuk langkah perbaikan.
- Kerja sama dan keterlibatan antar unit di internal puskesmas dalam program TB.
- Meningkatnya peran petugas TB sebagai penggerak jejaring internal puskesmas dalam
menemukan kasus, melakukan diagnosis dan pengobatan TB sesuai standar hingga
tuntas.
- Meningkatnya kemampuan semua petugas puskesmas dalam penemuan terduga TB.
- Persamaan persepsi mengenai mekanisme alur (rujukan) terduga dan pasien TB di
dalam puskesmas beserta alur pencatatan dan pelaporannya.
15
Pelibatan DPM/Klinik pratama dalam jejaring DPPM dapat diukur dari adanya MoU
tentang kerjasama layanan TB antara puskesmas dengan pihak DPM dan klinik
pratama. 14 Rincian MoU sedapat mungkin mencantumkan kegiatan penanggulangan TB,
seperti :
- Penemuan kasus TB
DPM dan klinik pratama yang menemukan terduga TB diharapkan menegakkan
diagnosis TB dengan pemeriksaan bakteriologis baik BTA ataupun TCM (sesuai
kebijakan daerah setempat). Untuk akses alat TCM, DPM dan klinik pratama
dapat bekerjasama dengan puskesmas ataupun RS setempat yang difasilitasi oleh
DKK.
- Pengobatan
DPM dan klinik pratama yang sudah menemukan pasien terkonfirmasi TB
memiliki pilihan untuk mengobati sendiri atau merujuk ke puskesmas atau RS
sesuai keinginan. Jika ingin mengobati sendiri dengan obat program, DPM dan
klinik pratama diminta bekerjasama dengan puskesmas dengan sepengetahuan
DKK.
- Pemantauan pengobatan
DPM dan klinik pratama yang mengobati pasien TB diminta untuk menuntaskan
pengobatan pasien TB. Untuk pelacakan kasus mangkir atau putus obat, DPM
dan klinik pratama perlu berkomunikasi dengan puskesmas setempat. Jika pasien
DPM dan klinik pratama berasal dari luar wilayah puskesmas, puskesmas dapat
meneruskan informasi tersebut ke wasor kab/kota.
- Pencatatan dan Pelaporan
Setiap kegiatan penanggulangan TB perlu dicatat dan dilaporkan ke pemerintah.
DPM dan klinik pratama dapat memanfaatkan aplikasi Wajib Notifikasi (Wifi) TB.
Aplikasi Wifi TB dapat menjadi sarana pencatatan dan pelaporan bagi kegiatan
penanggulangan TB mulai dari penemuan hingga pemantauan pengobatan.
Aplikasi Wifi TB sudah terkoneksi dengan sistem informasi TB nasional yang
disebut SITT (Sistem Informasi TB Terpadu)
Lokakarya jejaring eksternal Puskesmas adalah kegiatan satu hari dengan
mengundang semua FKTP, apotek dan laboratorium swasta di wilayah kerja puskesmas. 15
Beberapa daerah menggunakan metoda yang lebih luas dengan melibatkan camat
dan stakeholder lain di kecamatan dalam jejaring eksternal puskesmas. 16
14Pembelajaran dari salah satu puskesmas di wilayah Jakarta Pusat dengan melibatkan DPM/klinik pratama adalah kerjasama
pelayanan kesehatan antara Puskesmas dan pihak swasta tidak hanya urusan TB, namun bisa mengikutkan program
kesehatan esensial puskesmas lainnya dan diikat dengan MoU antara puksesmas dan DPM/klinik pratama.
15
Acara lokakarya eksternal puskesmas dapat dilakukan selama 1 hari. TOR lokakarya eksternal puskesmas diharapkan memiliki agenda
antara lain:
- Pemaparan DPPM
- Alur diagnosis dan pencatatan pelaporan TB
- Identifikasi peran masing-masing fasyankes (puskesmas, DPM, klinik, apotek, laboratorium)
- Kesepakatan mekanisme jejaring
- Kesepakatan alur pencatatan dan pelaporan (WiFi TB)
16 Banyak hal positif dengan keterlibatan multi-stakeholder ini, terutama terkait dengan faktor perijinan fasyankes yang pada beberapa
daerah berada di luar kewewenangan puskesmas dan DKK, selain itu juga dukungan lintas sektor dapat sekaligus didapatkan.
16
Luaran yang diharapkan dari lokakarya eksternal puskesmas adalah sebagai berikut:
- Penguatan dan terbentuknya alur jejaring eksternal DPPM di wilayah kerja
puskesmas.
- Teridentifikasi fasyankes yang ada di wilayah kerja puskesmas yang berpotensi untuk
terlibat dalam penanggulangan TB.
- Klinik pratama, DPM, apotek dan laboratorium dapat berperan dan berjejaring
dengan puskesmas terkait penemuan kasus, penegakan diagnosis, pemantauan,
pengobatan TB dan menyepakati alur pelaporan TB serta mewajibkan semua
fasyankes mencatat dan melaporkan kasus TB (melalui WiFi TB atau SITT).
- Meningkatkan kolaborasi lintas sektor di tingkat kecamatan yang dipimpin oleh
puskesmas.
4. Monitoring FKTP
Monitoring pada komponen layanan kesehatan primer dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
a. Monitoring jejaring internal puskesmas
Setelah lokakarya internal puskesmas dilakukan, monitoring terhadap
rencana tindak lanjut perlu dilakukan minimal 3 bulan kemudian. Mekanisme
monitoring jejaring internal dapat menggunakan tool PMP di dalam pertemuan
mini lokakarya.
b. Monitoring jejaring eksternal puskesmas
Setelah lokakarya eksternal puskesmas dilakukan, monitoring terhadap
rencana tindak lanjut perlu dilakukan minimal 1 bulan kemudian. Mekanisme
monitoring dilakukan oleh penanggung jawab jejaring eksternal puskesmas di
antaranya dengan memantau:
- Kontribusi notifikasi kasus dari DPM/klinik pratama.
- Penggunaan WiFi TB oleh DPM/klinik pratama melalui website WiFi TB.
- Dukungan kader dalam memberi dukungan kepada pasien bekerja sama
dengan Aisyiyah dan LKNU.
- Keterlibatan apotek dan laboratorium swasta.
17
C. Komponen Layanan Kesehatan Rujukan
Rumah sakit pemerintah dan swasta dalam DPPM berperan sebagai fasilitas kesehatan
rujukan kasus TB di kab/kota (FKRTL). Dalam tingkatan ini, peran KOPI TB sebagai koalisi
organisasi profesi yang mewadahi para klinisi di RS sangat penting. Keterlibatan para klinisi
di dalam RS, sebagai agent of change dan motivator bagi pelaksanaan program TB di dalam
RS merupakan strategi utama di sini. Secara umum, hal yang diharapkan dalam komponen
FKRTL ini adalah pelibatan RS dalam program TB, mulai dari pelaporan, pencatatan, logistik
dan kualitas layanan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam komponen ini tergambar sebagai berikut:
1. Pemetaan Prioritas
Pelaksana utama dalam kegiatan di RS adalah tim DOTS di RS yang dimotori oleh
klinisi (champions-anggota KOPI TB) dan melibatkan manajemen RS. Champions dalam
hal ini adalah klinisi anggota organisasi profesi (KOPI TB) yang berada di RS yang
diusulkan oleh KOPI TB kab/kota sebagai penggerak dalam kegiatan DPPM di dalam RS.
Peran penting KOPI TB dalam komponen ini adalah melakukan pemetaan terhadap
anggota-anggotanya yang berada di RS dan memberikan dukungan semangat bagi
anggota yang diusulkan sebagai champion untuk benar-benar aktif berperan di RS
masing-masing. Selain itu, komitmen dari pihak manajemen RS penting untuk
mendukung para champions tersebut.
Jika KOPI TB belum dibentuk, rangkaian proses di atas dapat dijadikan sebagai salah
satu agenda dalam pembentukan KOPI TB. 17
Inventory Study tahun 2017 menyebutkan bahwa kemungkinan adanya under-
reporting kasus TB di RS sebesar 62%. Melalui penerapan DPPM di komponen FKRTL
diharapkan adanya sumbangsih RS dalam peningkatan notifikasi kasus TB. Oleh karena
17 Acara pembentukan KOPI TB dapat dilakukan selama 1 hari. TOR pembentukan KOPI TB diharapkan memiliki agenda antara lain:
- Paparan DPPM
- Peran masing-masing organisasi profesi dalam layanan TB, khususnya di RS
- Kesepakatan pembentukan KOPI TB tingkat provinsi (bila belum ada) dan kab/kota
- Struktur organisasi KOPI TB beserta peran dan fungsi
- Kesepakatan rencana kegiatan
18
itu, salah satu upaya seperti pemetaan/penyisiran data kasus di RS prioritas untuk
mengidentifikasi besaran missing cases/under-reporting cases dan lokasi/unit pelayanan
mana saja terjadinya, merupakan langkah utama yang harus dilakukan. Hasil dari
penyisiran tersebut akan menjadi data dasar bagi RS untuk menentukan prioritas dan
langkah selanjutnya. 18
2. Pertemuan Penerapan di RS
Pertemuan ini diselenggarakan oleh DKK dan tim DPPM dengan mengundang RS
yang dipilih menjadi prioritas di wilayah kab/kota. Para manajemen RS, tim DOTS RS dan
klinisi (champions dari KOPI TB) mewakili RS prioritas tersebut. Perwakilan dari RS
tersebut nantinya akan menjadi tim RS sebagai focal point dalam pelaksanaan berikutnya.
Dalam pertemuan ini diharapkan peserta yang diundang berkomitmen untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam komponen layanan rujukan FKRTL. 19
Materi yang perlu disampaikan adalah:
- Update tentang program TB dan tantangannya, terutama terkait dengan missing
cases/under reporting di RS serta under-diagnosed/un-reached serta strategi
program TB nasional spesifik untuk masalah tersebut.
- Pengenalan tentang DPPM khususnya komponen layanan rujukan dan peran
strategis manajemen RS dan klinisi RS sebagai anggota KOPI TB didalamnya.
- Pengenalan alat Penilaian Mandiri RS (PMRS) sebagai asesmen mandiri untuk
perbaikan kinerja RS dalam program TB yang akan dibahas dalam lokakarya
internal RS. 20
18 Penyisiran kasus dilakukan di RS prioritas yang memiliki estimasi kasus tertinggi di wilayah kab/kota. Penyisiran dilakukan pada prinsipnya
untuk memperlihatkan kesenjangan (gap) yang terjadi antara pelayanan TB di RS dan laporan kasus TB yang masuk ke SITT. Hasil dari
penyisiran tersebut selain meningkatkan angka penemuan kasus, juga sebagai masukan bagi pihak manajemen RS untuk memperkuat
pelaporan TB dari RS.
19 Acara pertemuan penerapan DPPM ini dapat dilakukan selama 1 hari. TOR pertemuan penerapan DPPM ini diharapkan memiliki agenda
antara lain:
- Paparan capaian program TB DKK (missing cases)
- Paparan DPPM
- Kesepakatan penguatan jejaring internal RS
- Kesepakatan jejaring layanan RS-RS dan RS-puskesmas
20 PMRS mencakup di dalamnya:
19
Luaran yang diharapkan dari pertemuan persiapan penerapan DPPM di FKRTL adalah
sebagai berikut:
- Komitmen dari majemen dan klinisi RS untuk melaksanakan kegiatan DPPM,
- Kesepakatan jadwal untuk pelaksanaan lokakarya jejaring internal RS,
- Komitmen untuk melakukan asesmen mandiri dengan menggunakan PMRS.
3. Lokakarya Internal RS
Lokakarya internal RS secara umum ditujukan untuk menilai kondisi dan performa RS
melalui pembahasan PMRS dan unit apa saja yang masih belum terlibat/melaporkan
semua kasus TB yang ditangani. Pertemuan internal RS ini minimal mengundang semua
klinisi/spesialis, perwakilan unit-unit/departemen dalam RS dan tim DOTS.
Materi yang perlu disampaikan dalam pertemuan ini adalah:
- Update tentang TB secara umum dan manajemen kasus TB terkini.
- Masalah missing cases dan lokasi missing cases di RS.
- Hasil asesmen mandiri dan kesepakatan rencana tindak lanjut.
4. Monitoring FKRTL
Monitoring pada komponen layanan kesehatan rujukan dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
a. Monitoring jejaring internal RS
Setelah lokakarya internal RS dilakukan, monitoring terhadap rencana tindak
lanjut perlu dilakukan minimal 1 bulan kemudian. Mekanisme monitoring jejaring
internal dapat menggunakan tool PMRS di dalam rapat rutin manajemen atau tim
DOTS. Selain itu, bagi RS prioritas yang dilakukan penyisiran kasus, perlu dilakukan
validasi data kasus under-reporting di RS dan rencana tindak lanjutnya.
b. Monitoring jejaring eksternal RS
Setelah pertemuan DPPM yang dihadiri champions, manajemen dan tim DOTS
perlu diadakan rencana tindak lanjut minimal 1 bulan kemudian. Mekanisme
monitoring dilakukan oleh tim DOTS dengan memantau:
- mekanisme rujukan kasus yang diterima dari FKTP dan kembali ke FKTP
serta angka rujukan ke RS tipe di atasnya (mekanisme rujuk/rujuk balik).
- pasien yang ditangani di RS mendapatkan akses ke mekanisme dukungan
pasien dari kader puskesmas.
20
BAB IV
Monitoring dan Evaluasi DPPM
Monitoring dan evaluasi (monev) DPPM merupakan bagian dari fungsi pemantauan guna menilai efektifitas pelaksanaan DPPM di wilayah
setempat. Monitoring dilaksanakan secara berkala dengan tujuan memastikan aktivitas DPPM berjalan sesuai prioritas agenda kerja yang disusun
oleh tim DPPM setiap tahun. Evaluasi dilakukan guna menilai keberhasilan DPPM untuk mendukung, mendorong, dan memperkuat jejaring layanan
TB di kab/kota.
Pelaksanaan monev DPPM merupakan tanggung jawab pemerintah daerah (DKK sebagai pemangku kepentingan utama). Monitoring dan
evaluasi DPPM dilaksanakan berjenjang di setiap komponen DPPM:
- Komponen Layanan Primer (monitoring lihat halaman 17) dilakukan pada pertemuan rutin minilokakarya puskesmas.
- Komponen Layanan Rujukan (monitoring lihat halaman 20) dilakukan pada pertemuan rutin manajemen atau tim DOTS.
- Komponen Dinas Kesehatan Kab/Kota (Tim DPPM) dilakukan pada pertemuan rutin monev TB kab/kota.
Pemantauan rutin dan berkelanjutan atas proses pelaksanaan semua program penanggulangan TB yang berlangsung di seluruh fasyankes di
wilayah setempat, terutama terlaksananya jejaring antar layanan.
Evaluasi terhadap masalah yang mengemuka terkait program TB merujuk pada indikator pada tabel 2 di bawah. Monev DPPM meliputi monitoring
dan evaluasi atas seluruh kegiatan DPPM yang meliputi proses (input), keluaran (output) dan outcome capaian-capaian target sesuai laporan-laporan
program penanggulangan TB.
21
3. SK resmi tim DPMM dari Ka. Pemda atau sekurang-kurangnya
pengangkatan oleh Ka. Dinas Kesehatan Kab/Kota.
Indikator yang diukur:
Notifikasi TB-SO dan TB-RO dibagi berdasarkan jenis fasilitas
kesehatan (RS pemerintah, RS swasta, puskesmas, DPM, klinik
pratama).
Keberhasilan pengobatan TB-SO dan TB-RO berdasarkan jenis
fasilitas kesehatan (RS pemerintah, RS swasta, puskesmas, DPM,
klinik pratama).
Persentase pasien TB yang dilakukan investigasi kontak.
Komponen Indikator yang diukur: 1. Meningkatnya kontribusi unit di internal
Layanan Primer Notifikasi kasus TB dari Puskesmas, DPM dan klinik pratama. puskesmas dalam layanan TB.
Persentase pencapaian penemuan kasus TB dibandingkan 2. Meningkatnya notifikasi kasus dari
dengan target dan perkiraan beban TB di setiap puskesmas, DPM, klinik pratama.
kabupaten/kota.
Persentase jumlah DPM dan klinik pratama yang berjejaring
dengan puskesmas dibandingkan dengan total DPM dan klinik
pratama di wilayah puskesmas.
Jumlah DPM dan/atau klinik pratama yang terdaftar di WiFi TB.
Jumlah pasien yang dirujuk dan/atau dilaporkan menggunakan
WiFi TB oleh DPM dan klinik pratama .
Angka keberhasilan pengobatan TB.
Komponen Indikator yang diukur: 1. Meningkatnya kontribusi unit di internal
Layanan Notifikasi kasus TB di RS. RS dalam layanan TB.
Rujukan Persentase kasus TB yang ditangani dengan yang terlaporkan. 2. Meningkatnya angka notifikasi kasus
Angka keberhasilan pengobatan TB. dari FKRTL.
22
BAB V
Penutup
Buku Petunjuk Teknis DPPM ini disusun sebagai penerjemahan konsep PPM berbasis
kabupaten/kota di dalam Program TB Nasional. Materi dalam buku ini dirangkum berdasarkan
kegiatan dan hasil penerapan awal DPPM di area binaan Challenge TB. Buku ini diharapkan
menjadi panduan staf Challenge TB dalam melaksanakan kegiatan DPPM.
Buku ini akan terus disempurnakan berdasarkan pembelajaran penerapan DPPM. Oleh
karena itu, saran dan umpan balik dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk perbaikan buku
Petunjuk Teknis ini ke depannya.
23
Buku ini didanai oleh United States Agency for International Development
di bawah Challenge TB, Cooperative Agreement No. AID-OAA-A-14-00029
Buku ini menjadi terwujud atas dukungan yang baik dari rakyat Amerika
melalui United States Agency for International Development (USAID).
Isi menjadi tanggung jawab Challenge TB dan tidak mencerminkan visi
USAID atau pemerintah Amerika Serikat