Anda di halaman 1dari 6

1.

Latar Belakang

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tentang hak cipta di
Indonesia telah mengalami proses yang panjang, berawal dari Auteurswet 1912 yang merupakan
suatu undang-undang Belanda yang diberlakukan di Indonesia. Setelah Auteurswet 1912
diberlakukan, Kerajaan Belanda mengikatkan diri pada Konvensi Berne 1886. Indonesia
merupakan negara jajahan Kerajaan Belanda sehingga Indonesia juga ikut serta dalam Konvensi
Berne. Auteurswet 1912 tetap berlaku setelah kemerdekaan Indonesia, walaupun Indonesia telah
memiliki peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur tentang hak cipta, tetapi
peraturan tersebut tertutup dengan Auteurswet 1912. Pada tahun 1958, Indonesia mengudurkan
diri dari Konvensi Berne dan pada tahun 1965 Indonesia kembali mengupayakan cara untuk
membuat undang-undang hak cipta dan pada akhirnya lahirlah UU No. 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta, kemudian diperbarui dengan UU No, 7 Tahun 1987. Kemudian Indonesia ikut serta
dalam perjanjian multilateral GATT/WTO yang dalam perjanjian tersebut tercantum perjanjian
Trade Related Aspect Intellectual Property Rights (TRIPs) sehingga Indonesia harus
menyesuaikan peraturan nasional dengan perjanjian TRIPs, maka Indonesia melaukan perubahan
terhadap UU No. 7 Tahun 1987 dan lahirlah UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta.
2. Permasalahan

Hak cipta sebagai satu bagian dalam bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
merupakan hak yang sangat pribadi atau eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 yang disahkan di
Jakarta dan mulai berlaku pada tanggal 16 Oktober 2014 berikut penjelasannya yang termuat di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5599 yang mengakibatkan
dicabutnya keberlakuan Undang-Undang Hak Cipta yang lama yakni UndangUndang No. 19
Tahun 2002 menyebutkan bahwa, “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara
otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Drs
Suryadi atau Pak Raden sudah bisa bernafas dengan lega karena hasil karyanya boneka Si Unyil
dan teman-temannya mendapatkan perlindungan hak cipta dari Perusahaan Film Negara (PFN).
Ada hal yang menarik dari tercapainya pembaharuan perjanjian baru tersebut yaitu munculnya
ciptaan 'karakter' sebagai obyek perjanjian.

Kuasa hukum Pak Raden, Dwiyanto Prihartono, S.H, M.H., mengatakan bahwa hal
penting yang terkait adalah perjanjian tersebut telah mengintroduksi istilah "karakter" yang
merupakan suatu ciptaan yang seharusnya ditegaskan dilindungi oleh Undang-Undang tetapi
belum dicantumkan dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam perjanjian lisensi
yang ditandatangani oleh Pak Raden dan PFN, dicantumkan bahwa PFN diberi hak untuk
menggunakan atau memanfaatkan secara ekonomi atas ciptaan karakter Si Unyil. Seperti
diberitakan sebelumnya, setelah 2 (dua) tahun perseteruan antara Pak Raden dengan PFN,
akhirnya pada 15 April 2014 terjalin kerjasama yang lebih baik antara Pak Raden (Drs Suyadi)
dengan Perum Produksi Film negara (PFN) atas dasar kesadaran kedua belah pihak yang ingin
kembali menghadirkan karakter “Si Unyil” pada kehidupan anak-anak Indonesia saat ini dan di
masa mendatang.

"Kebutuhan akan perlindungan hak cipta independen bagi karakter fiksi di Indonesia
telah semakin mendesak. Kasus hak cipta Si Unyil adalah salah satu contoh konkrit di mana
suatu karakter bisa memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi penciptanya, dan oleh
karenanya harus dapat dilindungi secara independen sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi
dalam rumusan pasal pada UU Hak Cipta yang baru," terang Risa Amrikasari, S.S., M.H., yang
juga Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Pak Raden.

Dalam konferensi pers babak baru kerjasama Pak Raden dengan PFN (17/04/2014),
diungkapkan juga oleh Risa, bahwa dirinya telah mengirimkan surat resmi kepada Pansus RUU
Hak Cipta di DPR yang berisi usulan perlindungan hak cipta independen bagi karakter seperti si
Unyil untuk dimasukkan sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi dalam UU Hak Cipta.

"Penambahan "karakter fiksi" sebagai jenis ciptaan yang dilindungi secara independen
pada Undang-undang Hak Cipta yang baru akan menjadikan Undang-undang Hak Cipta
Indonesia di masa mendatang lebih mempunyai perspektif yang internasional yang bisa
melindungi ciptaan karakter anak bangsa. Bagi kepentingan industri kreatif dalam dan luar
negeri, diharapkan akan menjadi lebih bergairah apabila Undang-undang Hak Cipta kita
merupakan Undang-undang yang progresif, antisipatif, dan memadai," pungkas Risa.
3. Pembahasan

Artikel diatas adalah salah satu titik temu mengenai kasus hak cipta karakter fiksi “Si
Unyil”. Kasus ini bermula pada Desember 1995, Drs Suryadi atau Pak Raden sang kreator
karakter si unyil menandatangani perjanjian dengan PFN. Isinya, menyerahkan kepada PFN
untuk mengurus hak cipta atas boneka Unyil.
Pada 23 Desember 1998, Pak Raden menandatangani surat penyerahan hak cipta atas 11
lukisan boneka, termasuk si Unyil, Pak Raden, Pak Ogah, dan lain-lain. Perjanjian itu berlaku
selama lima tahun sejak ditandatangani. Perjanjian ini dilakukan untuk menghindari pemanfaatan
karakter si unyil untuk kepentingan ekonomi secara ilegal serta untuk melindungi hak royalti
penciptanya. Namun, selama masa berlaku perjanjian tersebut, Pak Raden tidak pernah
menerima royalti atas hak ciptanya.
Secara hukum, PFN juga memiliki hak atas hak cipta tersebut. Hal ini didasarkan oleh
fakta bahwa pada 15 Januari 1999, PFN mendapat surat penerimaan permohonan pendaftaran
hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman atas 11
tokoh itu. Selain itu, sebelum tahun 1999, Pak Raden tidak pernah mendatarkan hak ciptanya
sehingga hak royalti yang seharusnya diterima Pak Raden hanya berdasarkan perjanjian dengan
pihak PFN.
Jika dilihat dari sisi hukum perundang-undangan, terdapat peraturan hukum yang telah
mengatur mengenai Hak cipta yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1989. Peraturan ini membahas tentang Penterjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk
Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ditetapkan Tanggal
14 Januari 1989.
Namun, kelemahan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989
adalah hanya mengatur penggunaan hak cipta tanpa memperjelas apa saja yang termasuk dalam
hak cipta. Sehingga dalam kasus Pak Raden, terdapat kurangnya kejelasan mengenai posisi hasil
cipta pak raden karena dikategorikan dalam hak cipta paten, bukan hak cipta independen.
Selain itu, berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak
tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima
hak tersebut. Dalam kasus hak cipta si unyil, Pak Raden selaku pelaku pertunjukan yang
menciptakan tokoh si unyi, memiliki kurang kejelasan posisi dalam hukum sebab tidak termasuk
dalam pencipta yang dijelaskan dalam UU tersebut sehingga tidak memiliki hak cipta dari hasil
ciptaannya.
Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, Pak Raden pun memiliki kejelasan posisi dalam hukum. Salah satu poin dalam UU
tersebut membahas mengenai Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang
merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.
4. Kesimpulan

Hak Cipta dan Hak Terkait dengan Hak Cipta bagi peserta/pemenang, dan penyelenggara
kontes kecantikan mencakup obyek dan subyek yang berbeda. Dalam hal penyelenggaraan
kontes kecantikan, obyek dalam Hak Cipta adalah foto, rekaman video, artikel, dan buku
pedoman penyelenggaraan yang memenuhi Standard of Copyrigts’ Ability. Sedangkan Subyek
Penciptanya atau pemegang Hak Ciptamya adalah fotografer, kameramen, dan wartawan yang
menulis artikel, dan pembuat buku pedoman penyelenggaraan. Obyek dalam Hak Terkait dengan
Hak Cipta adalah ekspresi kepribadian dalam rekaman suara, gambar pertunjukan, serta karya
siaran dan originality-nya yang tidak setinggi Hak Cipta. Subyek Hak Terkait dengan Hak Cipta
adalah Penampil (peserta/pemenang kontes kecantikan), dan organisasi penyiaran (official
broadcast penyelenggaraan kontes kecantikan). Baik hak Cipta ataupun Hak Terkait dengan hak
Cipta memberikan Hak Eksklusif bagi subyeknya yang berdimensi Hak Moral dan Hak
Ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai