Anda di halaman 1dari 14

Aswaja Dalam Bingkai Ideologi Politik dan Demokrasi

(Tafsir Asjawa di Mata Politisi NU)

Abstrak
Menafsirkan konsep Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) tidaklah sederhana. Latar belakang
dan minat pemaknaan (interpretor) merupakan penyebab munculnya kompleksitas makna
Aswaja, termasuk juga ketika seorang Organisasi elit Nahdlatul Ulama (NU) Aswaja
memaknai konsep, dan menerapkannya pada politik praktis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi kerangka ideologi politik
Aswaja, demokrasi, dan kepemimpinan. Metode penelitian yang digunakan adalah
wawancara kualitatif dengan politisi langsung di berbagai politik NU pesta di Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa menurut para politisi terdapat tiga kelompok elite NU di
menafsirkan dan melamar Aswaja;
1) kaum formalis yang cenderung menafsirkan konsep aswaja sebagai sesuatu yang pasti
Rumusnya, yang dapat disebut sebagai bentuk konkrit dari sejarah masa lalu,
2) cenderung memahami konsep
fungsionalis Aswaja sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan
3) kontekstualis yang cenderung membatasi
Aswaja memahami nilai itu. Ketiga varian elit NU di atas berafiliasi dengan partai politik
yang dirasa mampu menampung kebenaran interpretatif masing-masing, seperti PPP, PKNU,
PKB, dan PKS.
Kata kunci: aswaja, elit NU, formalis, fungsionalis, kontekstualis

1. Perkenalan
Dialektika politik agama, atau yang biasa disebut sebagai "politik Islam" (Aziz, 2006),
lebih menonjol seiring dengan berlalunya kebebasan politik sebagai salah satu hasil
reformasi 1998. Pola ini sebenarnya punya pernah terjadi dalam sejarah Islam dalam
perpolitikan Indonesia, yaitu pada tahun 1945-1965 pada masa pemerintahan Soekarno
(Rudianto, 2003) dan tahun-tahun 1965 sampai 1973 pada masa pemerintahan Soeharto,
tetapi berbeda skala dan intensitasnya.
Ditinjau dari persoalan politik keagamaan di era reformasi, peluang untuk
membangun kembali kekuatan politik berbasis massa Islam (NU), dimanfaatkan oleh para
elit ulama NU dalam kehidupan politik praktis. Ulama NU seperti menemukan kembali
"hilang dunianya "karena politik represif dari orde baru yang menutup hampir semua ruang
politik untuk setiap orang warga bangsa, terutama yang berbeda pandangan dan berselisih
dengan rezim otoriter yang berkuasa. Memang, Dalam sejarah panjang ulama keliling dan
NU sejak lahir tahun 1926, hampir tak pernah lepas dari politik praktis kehidupan, baik
dalam politik kenegaraan, demokrasi dan aturan Syafiq Hasyim dalam Zada & Sjadzali
(2010). Apakah negara berpolitik
Ide dan sikap politik NU dibangun atas dasar pemikiran keagamaan Aswaja untuk
kepentingan bangsa dan negara bagian. KH. Hasyim Asy'ari, salah satu pendiri NU saat ikut
aktif ikut aktif membela dan menjaga kemerdekaan Indonesia.
Dukungan tokoh muda yang menjadi wakil NU NU di PPKI yaitu Wahid Hasyim, Piagam
Jakarta
Tidak dimasukkannya dasar negara adalah bukti nyata kontribusi NU kepada elite negara. Ini
menunjukkan bahwa NU ditolak formalisasi agama dalam politik. Inilah capaian politik
politik yang ideal ternyata puncak dari NU (Zada & Sjadzali, 2010). Sedangkan politik
kerakyatan adalah konsepsi politik ulama tingkat menengah dan NU lah diarahkan untuk
pencapaian kebaikan dan kepentingan umum (mashlahah 'ammah). Dua model politik
membuat Kiai dan ormas NU dinilai menjalankan Aswaja sesuai garis moderat.
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab hal tersebut adalah tidak adanya
pengikat yang kuat dalam politik, keduanyapribadi dan kelembagaan. Tidak tertutup
kemungkinan, polarisasi dalam politik di kalangan NU juga disebabkan karena adanya
derivasi makna Aswaja tentang nilai-nilai kehidupan politik. Setidaknya, kerangka itu
dibangun di atas nilai dan prinsip Aswaja, namun dapat dielaborasi dan dikonstruksikan
menjadi ideologi politik yang sistematis, terstruktur dan mengakar. Aswaja yang berarti
pemahaman agama ke dalam sistem pemikiran dan tindakan, keduanya dengan masalah
teologis (aqidah), amalan ibadah (fiqh), moral (akhlak) dan perilaku sosial (mu'amalah)
(Musthofa, 1967).
Dinamika hadir setidaknya dalam dua hal. Pertama, penurunan kepatuhan (politik)
tradisional ulama dimasukkan ke dalam "pendeta politik". Kedua, terjadi pergeseran afiliasi
politik di kalangan elite NU.Mereka yang semula menjadi "pendeta politik" di mayoritas
parpol berbasis NU (nahdliyin), khususnya PKB,menjadi "pendeta politik" di partai Islam lain
yang pemikiran agamanya dianggap berbeda, bahkan bertentangan pemahaman agama NU,
PKS. Afiliasi paling elit dan komunitas NU juga bergeser ke parpol Islam lainnya, seperti PPP
dimana NU menjadi elemen utama. Faktanya, kebanyakan dari mereka berafiliasi dengan
partai nasionalis sekuler, seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Fenomena ini tidak secara langsung dipengaruhi oleh
kelonggaran di antara sistem kepartaian, tidak adanya ikatan politik ideologis yang kuat ke
NU, dan konflik internal yang belum terselesaikan di partai berbasis NU (PKB). Eksistensi elit
nasionalis NU Pihak, tidak banyak menimbulkan reaksi internal dari NU. Namun
kenyataannya berbeda dengan keberadaan elite NU di PKS. Secara langsung atau tidak
langsung, telah dan terus terjadi benturan ideologis antara Aswaja NU dengan yang lainnya
filosofi yang mendasari tumbuh kembang PKS (Sunni Salafi Wahabi). Dalam surat edaran
yang dikeluarkan oleh
Pengurus Syariah PKS Pusat, partai ini menyebut dirinya juga mengikuti Aswaja yang
akrab (Hidayat, 2008). Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa ideologi agama tidak
lagi mendasar dan praktis pertimbangan dalam kehidupan politik. Hal semacam ini
berpotensi dipengaruhi oleh arus kuat Ideologi transnasional yang tidak lagi mengenal
batas-batas negara-bangsa, meski di dalamnya sarat dengan politik kepentingan kelompok
tertentu (Baso, 2005).
Keberagaman sikap, tindakan dan perilaku elit politik NU, sebagaimana diuraikan di
atas, dapat dipahami sebagai hasil keragaman makna bagi Aswaja. Sebagai teks agama yang
memuat teologi, ibadah dan etika Praktik sosial lainnya, Aswaja terbuka untuk dimaknai
oleh siapapun yang membaca, termasuk elit NU. Keragaman interpretasi yang menunjukkan
bagaimana konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi pemahaman, interpretasi dan
arti dari mereka.
Realitas sosial Aswaja memiliki makna yang beragam karena akan dipahami dalam
perspektif Gadamer hermeneutika. Gadamer menilai pendekatan dapat diterapkan untuk
memahami makna suatu teks yang beragam, karena ia memberi ruang partisipasi pembaca
dalam pemaknaan teks. Dalam proses membaca, di sana akan menjadi dialog antara
pembaca. Makna tidak bergantung pada teks saja, tetapi muncul dari dialog antara teks dan
pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer dirumuskan dengan memulainya dengan empat
kunci hermeneutika. Pertama, kesadaran akan "situasi hermeneutik". Pembaca perlu
menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan untuk melihat seseorang di teks
bacaan. Kedua, situasi hermeneutik inilah yang kemudian membentuk “pemahaman awal”
bagi pembaca
yang tentunya mempengaruhi pembaca dalam mengartikulasikan teks dalam konteksnya.
Ketiga, setelah pembaca harus menggabungkan antara dua cakrawala, pembaca cakrawala
cakrawala dan teks. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "arti" Makna “teks,
bukan makna obyektif teks. Peneliti berpendapat bahwa Gadamer bersifat hermeneutic
teori dapat memperkuat konsep yang telah metodis dalam metode interpretasi Aswaja
(Grondin, 2002).

2. Aswaja
Pengertian konseptual aswaja, pada hakikatnya sangat sederhana. Namun, interpretasi
banyak kelas dan kelompok penafsiran yang beragam cenderung kontras. Latar belakang
dan kepentingan penterjemah atau pembaca adalah apa menyebabkan kesederhanaan
konseptual pemahaman Aswaja menjadi semakin kompleks.

2.1. Definition Aswaja


Sunnah dalam batasan teolog (teolog) adalah keyakinan (i'tiqad) yang didasarkan
pada
dalil naql (al-Qur'an, hadits, dan qawl atau salam syahabi), bukan hanya mengandalkan
pemahaman. alasan (rasio). Dalam istilah ahli politik, sunnah adalah jejak yang ditinggalkan
Rasulullah dan empat yang pertama khalifah. Apakah Jama'ah umat Islam cikal bakal para
sahabat, tabi'in dan mereka yang mengikutinya jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat.
Mereka berkumpul berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah dan lari menurut yang telah dikejar
oleh Rasulullah SAW baik lahir maupun batin (Musa, 1975).
Mengingat hadits Rasulullah, apakah Jama'ah itu yang telah disepakati oleh
sahabat Rasul SAW selama empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Istilah "Jama'ah" juga berdasarkan hadits nabi ketika menjawab pertanyaan tentang sahabat
(calon) hasil Penghancuran umat manusia terpecah menjadi 71 atau 72 kelompok, dan satu-
satunya kelompok yang selamat, yaitu alJama'ah (Abdusshamad, 2004).

2.2. Interpretasi Luas


Dengan demikian, Aswaja adalah kelompok pengikut setia Nabi dan para sahabatnya. Dari
pengertian ini, tampak berbedainterpretasi siapa mereka disebut sebagai pengikut Aswaja.
Dalam al-Kawakib al-Lamma'ah diberikan surat wasiatOleh karena itu, dinyatakan, "Yang
disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
Sunnah Nabi dan para sahabatnya dalam hal akidah agama, amalan lahiriyah dan hati moral
"(Abdusshamad, 2004).
Kalangan Wahhabi Salafi mengacu pada istilah Aswaja the Salaf. Dalam Wajiz fi al-
Aqidah al-Salaf al-Salih disebutkan
bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah kelompok yang sudah dijanjikan Rasulullah SAW
akan selamat. diantara yang lain. Landasan mereka bertumpu pada doktrin mengikuti
sunnah (ittiba al-sunnah), dan mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad baik
masalah keimanan, ibadah, tuntunan, tingkah laku, akhlak dan senantiasa. menemani
jemaah Muslim. Dengan demikian, definisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah tidak lepas dari
definisi Salaf (al-Atsari, 2007). Dalam perkembangannya memang terjadi perbedaan tafsir
makna dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Istilah sunnah sendiri, misalnya, memiliki dua arti:
pertama, "jalan". Itu dikatakan ahl al-Sunnah, maka pertanyaannya adalah mereka yang
mengikuti jalan para sahabat dan tabi'in menerima ayat mutashabihat (multitafsir) dan
memberi makna kepada Tuhan. Kedua, Sunnah yang artinya "hadits". Artinya, mereka yang
meyakini kebenaran hadits Nabi (Umam, 2009).
Perbedaan pandangan ini, selain memunculkan kelompok Aswaja, juga melahirkan
terminologi lain digunakan untuk menyebut Aswaja. Para pengikut mazhab Imam Ibn
Hanbal, misalnya, menyebut Aswaja ini dengan Ahl alSunnah wa al-Jama'ah wa al-Atsar.
Mereka menambahkan kata "al-Atsar", untuk menunjukkan bahwa mereka melekat pada
teks, bukan pada alasan. Sebutan ini dimaksudkan untuk membedakan dirinya dengan
kelompok yang dianggap memuliakan alasan filosofis adalah religius. Kelompok rasionalis ini
mereka sebut dengan ahl al-Ra'yi, al-Kalam, dan Ahl alBid'ah (Ya'la, 1952).

2.3. Interpretasi NU
NU diterjemahkan dalam kehidupan politik sesuai dengan asas pemahaman Aswaja,
sebagaimana tertuang dalam Pokok Prinsip Sosial Nahdlatul Ulama (NU) yaitu; Pertama,
prinsip tegak lurus (i'tidal), taruh semuanya di tempat secara proporsional. Kedua, prinsip
moderat (tawassuth), dengan sikap dasar ini akan selalu a sekelompok teman yang
berperilaku lurus dan selalu bersikap konstruktif serta menghindari segala jenis pendekatan
yang ada ekstrim. Ketiga, prinsip keseimbangan (tawazun) merupakan prinsip yang
ditekankan oleh ajaran Islam di dalam tatanan penataan masyarakat dan kehidupan sosial
yang baik. Keempat, prinsip toleransi (tasamuh) sebagai isyarat memberi kesempatan atau
kesempatan kepada pihak lain, menurut hak asasi manusia pada umumnya. Harus ada
jaminan bahwa partai-partai kuat, baik pimpinan maupun partai mayoritas, bersedia
berkorban untuk menunjang kesejahteraan dan hak-hak orang miskin atau minoritas.
Kelima, asas kesejahteraan umum (mashlahah 'ammah) yang diinternalisasikan oleh NU
membutuhkan jaminan, 5 (lima) poin utama, yaitu, 1) kebebasan beragama, 2) jaminan
keselamatan hidup, 3) jaminan kebebasan berpikir dan berpendapat, 4) jaminan
kelangsungan keturunan (keluarga), dan 5) jaminan aset / properti (Muzadi et al., 2007).
Secara organisatoris, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah telah mengalami pelembagaan di
kalangan umat Islam Nusantara sejak kehadiran KH. Hasyim Asy'ari dari zaman dan
generasinya. Bersama rekan-rekannya. KH. Hasyim berhasil merintis berdirinya organisasi
Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang tuntutan hukum berdasarkan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama'ah. Dalam statuta hasil konferensi ketiga tahun 1928, secara tegas dinyatakan bahwa
kehadiran NU bertujuan untuk membentengi artikulasi empat mazhab fiqh di Indonesia.
negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Qanun Asasi li Jam'iyat Nahdhat al-'Ulama
(Anggaran Dasar NU), yaitu: di salah satu dari empat mazhab (yaitu Imam Muhammad ibn
madzhab Idris al-Syafi'i, Imam Malik ibn Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu'man, dan Imam
Ahmad bin Hanbal) dan mengatur apa yang menjadikan Islam menguntungkan.

3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam
terhadap beberapa politisi NU di berbagai pelosok partai politik di Indonesia.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Aswaja dan Ideologi Politik
Elit NU di berbagai partai politik (PPP, PKB, PKNU, PKS) memahami dan menerjemahkan
Aswaja ke dan / atau sebagai ideologi politik dengan cara yang berbeda satu sama lain.
Sudut pandang mereka setidaknya terpolarisasi menjadi tiga jenis, sebagai berikut:

1. Formalis-Metodis
Perspektif formalis-metodis menilai pemahaman konsep-konsep Aswaja serta membangun
langkah-langkah metodologis alasan spesifik dalam memahami kelahiran. Karena memang
Aswaja formalis konsepnya bisa dibingkai dalam formula tertentu, dan karena metodis,
maka dimungkinkan untuk berpikir secara metodis menurut Aswaja nilai-nilai. Konkretnya,
salah satu politikus PPP memahami Aswaja sebagai tujuan atau tujuan perjuangan, dan
politik
itu sendiri adalah upaya perjuangan. Anggota Majelis Syariah PPP Jazuli Zainuddin
mengatakan bahwa politik pada dasarnya adalah bagian dari upaya perjuangan kebenaran
(as-siyasah juz'un hiya min al-jihad al-li-haqiqah amr). Partai politik yang kami buat tangga
bisa melawan Ahl al-Sunnah melalui jalur politik.
Aswaja menggambarkan pengertian formalis, tokoh lain, Ketua Majelis Islam PPP
KH. Maimun Zubair menganatomi Aswaja dari perspektif sejarah. Dia berkata, "Pada
dasarnya, pedomannya adalah ditulis setelah Alquran, lalu 100 tahun kedua saat hadis
dikodifikasi, 100 tahun ketiga saat berkembang ijtihad. Ijtihad diperlukan, karena
pemekaran (wilayah) dan perkembangan Islam itu tidak cukup sederhana mengandalkan
Alquran dan hadits tekstual, itulah sebabnya ada ijma '(kesepakatan ulama) dan qiyas
(analogi). Setelah itu semua dicocokkan dengan Alquran dan hadits, maka ada dalil naqli
(teks normatif) yaitu Alquran dan Hadis, dan dalil 'aqli (berbasis akal), maka ijma'
( konsensus para ulama) dan qiyas (analogi). Aswaja melestarikan sunnah dan sunnah
sahabat, serta jamaah Islam. Itu pasti
dipertahankan sampai kapanpun, di bidang apapun, termasuk politik.
Untuk melengkapi cara berpikir formalis, konsep Aswaja kemudian dipahami dengan
metodologi. Sekretaris Jenderal PPP DPC Pamekasan Wazirul menggambarkan Aswaja Jihad
sebagai metode berpikir (manhaj al-Fikr). Dengan metode itu orang bisa memahami dan
menyebarkan Islam seperti yang diajarkan Nabi. Sebagai Cara berpikirnya, maka pasti
produk pikir Aswaja akan selalu dinamis, kapanpun dan dimanapun, sementara tetap
berpegang pada prinsip tawassuth (sedang), tasamuh (toleran), dan i'tidal (tegak lurus).
Oleh karena itu, cara berpikir dan menjadi seseorang yang Ahl al-Sunnah adalah fleksibel
dan moderat.
Untuk menyederhanakan teori Wazirul Jihad tersebut, Kepala Pengacara Cabang PPP
Sampang Fanan Hasib mengatakan, "Aswaja adalah masyarakat yang diajar untuk mengikuti
petunjuk Nabi, atau orang yang melakukan sunnah Nabi dan teladan telah mengajari para
sahabat Nabi. "Eksposur praktis datang dari elit PPP lainnya, KH. Mas Subadar yang
menyatakan, “Aswaja adalah agama utama dalam Islam (ushul al-din) atau tauhid mengikuti
Abu Musa al-Ash'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam bidang hukum Islam (fiqh) harus
mengikuti salah satu dari 4 (empat) pendeta yaitu Malik, al-Syafi'i, Abu Hanifa, dan Ahmad
ibn Hanbal. Sedangkan dari segi spiritualitas (tashawwuf) ikuti Imam Ghazali. "

2. Fungsionalis-Metodis
Sedangkan elit politik NU yang lebih fungsionalis PKB dalam memahami Aswaja. Memahami
Lebih berkesan kehadiran Aswaja memotret sudut fungsi Aswaja. Fungsi yang dimaksud
adalah bagaimana Aswaja menjadi motorik bertindak atau berperilaku dalam pedoman
hidup. Ketua Dewan Pembina DPP PKB KH. Aziz Mansour, misalnya, mengatakan, Ahl al-
Sunnah dipakai oleh NU (nahdhiyyin) di PKB, salah satu partai pendirian NU, terkait dengan
'aqidah (teologi),' amaliyah (praktik keagamaan), dan mu'amalah (hubungan dan transaksi
sosial). Dalam kehidupan bermasyarakat, penganut Aswaja memakai pakaian seperti apa
yang dilakukan Rasul Allah, yakni hukum menekankan mereka yang dijalankan di tengah
masyarakat. Dalam urusan pemerintahan, umat Islam harus mengikuti apa yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad.
Sebagian elite PKB memahami Aswaja secara metodis. Saat menerjemahkan konsep
'amaliyah, member Dewan Perwakilan Rakyat PKB Ali Maschan Moesa memiliki poin
pemahaman yang sama tentang Aswaja Politisi PPP yaitu Aswaja as Manhaj al-Fikr (metode
berpikir). Ali Maschan Moesa berkata, "ya itu Amaliyah, amaliah NU style ”. Ya metode
pemikiran yang dipraktekkan sekolah NU. Artinya, jika Anda bertanya kepada orang-orang
siapa mengurusi NU dan pernah ikut merumuskan PKB, maka NU Aswaja ya. Metode
pemikiran, dengan teologi (aqidah), diikuti al-Ash'ari dan al-Maturidi, dengan mengikuti
Sufisme dan Imam Junaid al-Ghazali. Pada dasarnya itu semua iman, islam, ihsan. Dalam
bahasa lain ada tauhid (teologi), fiqh (hukum), moralitas (Sufi) ".
Elit NU PKB Amin Said Husni lainnya menegaskan sisi fungsionalisme, yaitu dengan
memahami Aswaja sebagai seperangkat prinsip yang dapat memandu perilaku seseorang.
Prinsip kerjanya Aswaja mengarahkan seseorang untuk berpikir dan bertindak sesuai
dengan prinsip Aswaja. Salah satu prinsip Aswaja, Menurut Husni S. Amin, yang dimaksud
dengan prinsip syura (musyawarah), 'adalah (keadilan), mashlahah' ammah (masyarakat
bunga). Jika mashlahah 'ammah ini dirinci lagi maka akan menjadi 3 cincin: mashlahah'
ammah al-nahdliyyah, yaitu manfaat bagi nahdliyin. Cincin 2 adalah mashlahah 'ammah al-
islamiyya, yang bermanfaat bagi Islam komunitas pada umumnya. Sedangkan cincin 3
adalah mashlahah 'ammah al-basyariyyah, yang bermanfaat bagi semua umat manusia.
Padahal, Aswaja memiliki prinsip lain yang berkomitmen untuk menjaga keutuhan Republik.
Dalam pernyataan yang lebih teologis, elite NU di PKB KH. Fathul Huda, Aswaja
mengungkapkan tentang konsep sebagai ideologi. Karena sifat ideologis Aswaja sangat
terkait tindakan fungsionalis. Tak heran jika Fathul Huda yang dipanggil Kyai Huda karena
posisinya sebagai mursyid (guru) Syadziliyyah Thoriqoh Hal ini, mengatakan bahwa ideologi
hampir sama dengan keyakinan (aqidah) yang harus dijaga. Keyakinan adalah yang berakar
di hati adalah motor yang menggerakkan tubuh dan pikiran. Tidak hanya di PKB. Perspektif
fungsionalis tentang Aswaja juga dimiliki oleh elit politik NU di PKNU. PKNU merupakan
partai yang didirikan oleh politisi yang pernah
sebelumnya pernah menjadi pengurus dan elite PKB NU. Karenanya, wawasan dan
pemahaman elit di partai NU di PKNU memiliki beberapa kesamaan dengan elit NU di PKB,
namun kemudian diberikan penajaman, baik secara konsep formal. dan implementasi.
Ketua PKNU Jawa Timur Arif Junaidi mengatakan arti dari istilah tersebut Aswaja,
menurutnya, secara singkat adalah orang-orang yang mengikuti ajaran nabi dan para
sahabat. Dalam politik
PKNU tidak mudah membenarkan yang haram. Aswaja dalam kehidupan sosial membantu
gerakan yang menguntungkannya sebagai bagian dari takwa kepada Allah SWT yang dalam
Al Qur'an disebut ta'awanu ala al-birri wa al-taqwa. Aswaja juga memerintahkan kejahatan
gerakan, bentuknya antara lain gerakan antikorupsi, gerakan bela diri rakyat tanah, dan
sebagainya. Intinya, Aswaja adalah gerakan menuju kebaikan.
Menurut Choirul Anam, kelahiran PKNU dimaksudkan untuk mengamalkan ajaran
Ahl al-Sunnah wa alJama'ah secara konsisten. PKNU lahir dan dijalankan oleh ulama, yang
diharapkan mampu menjadi pedoman berperilaku politik yang sesuai dengan ajaran Islam,
untuk membangun negara dan bangsa ini. Dia berkata, "Ini penting, mengingat itu Negara
Indonesia adalah agama, bukan negara liberal, juga bukan negara sekuler. Keadaan negara
kita untuk ketuhanan, atau negara agama, bukan negara liberal, kapitalis, sekuler, bahkan
komunis. Negara dibangun oleh sila pertama pancasila ideologi yang diawali dengan kata
“ketuhanan”, karena itu dibangun dari ideologi adalah ideologi yang jelas bersumber dari
ajaran agama ".

3. Kontekstualis-Pancasilaist
Perspektif yang sangat berbeda dalam memahami konsep Aswaja dapat ditemukan pada
elite NU di PKS. Aswaja tidak hanya dipahami secara formalis dan fungsionalis tetapi juga
harus ditafsirkan secara kontekstual untuk memenuhi ideologi negara, Pancasila. Mantan
Presiden PKS (sekarang PKS) Nur Mahmudi Ismail mengatakan sila Pancasila, sebenarnya
bisa dijelaskan demi Islam. Misalnya, prinsip pertama, yang tertinggi Ya Tuhan, ini mengarah
pada prinsip doktrin Tauhid. Sedangkan doktrinnya sama saja dengan Islam monoteisme.
Begitu juga dengan sila berikutnya. Menurutnya, Aswaja dipahami dan dimaknai dalam
konteks dua hal dasar ini.
Aspek aswaja sebagai ideologi partai, menurut Mahmudi, kembali pada prinsip
Pancasila ideologi. Menurutnya, ajaran prinsip pertama mengajarkan akidah (teologi) dan
syari'ah (hukum Islam koleksi). Sila kedua mengajarkan prinsip penghormatan hak asasi
manusia, adil dan beradab. Demikian pula, asas musyawarah (demokrasi), keadilan dan
kesejahteraan, ada pada prinsip ketiga, keempat dan kelima. Nur Mahmudi kembali
menegaskan, “Pada hakikatnya ajaran Islam telah tertuang dalam Pancasila. Dengan
demikian orang akan dengan mudah memahami Aswaja, dimulai dari mempelajari Alquran,
mengacu pada Sunnah penerapan Pancasila ".
Kontekstualisasi dalam pemahaman Aswaja hingga selaras dengan nilai-nilai tanda
Pancasila ini perbedaan perspektif dengan dua perspektif sebelumnya, yang cenderung
bersifat terminologis. Selama di NU elite di PKS cenderung mengabaikan perbedaan
terminologis yang seringkali hanya bersifat akademis-ilmiah. Anggota DPP PKS Majelis
Syariah Ahzami Samiun Jazuli menyatakan, yang pertama harus dipahami adalah terminologi
(musthalah). Aswaja. Setiap organisasi muslim (munazhzhamah islamiyah) di dunia Islam,
memiliki definisi yang berbeda-beda dari Aswaja. Ia menjelaskan: “Kami di NU dengan
Aswaja-nya, atau Muhammadiyah, definisi sendiri, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII)
memiliki definisinya sendiri, seperti halnya ormas Islam lainnya. Sedangkan di lainnya
organisasi tidak dibatasi atau dibatasi padanya. Sehingga yang perlu disepakati adalah
“mengikuti sunnah utusan dan jemaahnya ". Dalam dunia akademis, sebaliknya Aswaja
Syi'ah. Makanya adanya istilah Cerah-Syi'i (pengikut Aswaja dan pengikut Syi'ah) ".
Kontekstualisasi dalam pemahaman Aswaja hingga selaras dengan nilai-nilai tanda
Pancasila ini perbedaan perspektif dengan dua perspektif sebelumnya, yang cenderung
bersifat terminologis. Selama di NU elite di PKS cenderung mengabaikan perbedaan
terminologis yang seringkali hanya bersifat akademis-ilmiah. Anggota DPP PKS Majelis
Syariah Ahzami Samiun Jazuli menyatakan, yang pertama harus dipahami adalah terminologi
(musthalah). Aswaja. Setiap organisasi muslim (munazhzhamah islamiyah) di dunia Islam,
memiliki definisi yang berbeda-beda dari Aswaja. Ia menjelaskan: “Kami di NU dengan
Aswaja-nya, atau Muhammadiyah, definisi sendiri, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII)
memiliki definisinya sendiri, seperti halnya ormas Islam lainnya. Sedangkan di lainnya
organisasi tidak dibatasi atau dibatasi padanya. Sehingga yang perlu disepakati adalah
“mengikuti sunnah utusan dan jemaahnya ". Dalam dunia akademis, sebaliknya Aswaja
Syi'ah. Makanya adanya istilah Cerah-Syi'i (pengikut Aswaja dan pengikut Syi'ah) ".

4.2. Aswaja, Demokrasi, dan Kepemimpinan


1. Formalis-Metodis
Perspektif formalis dilihat dari pandangan elite NU-metodis dalam PPP. Seperti diketahui
bahwa pemikiran formalis lebih mengidealkan masa lampau sebagai acuan hidup. Ada
semacam "roman historis", yang membayangkan "usia ideal" seperti zaman nabi dan
sahabatnya. Inilah ciri kaum formalis-metodis dalam berpikir dan dalam semangat
romantisme-historis.
Kalau bicara soal kepemimpinan misalnya, PPP menolak pemimpin non muslim.
Padahal, PPP mensyaratkan pejabat partai dari agama Islam. Menurut Fanan Hasib, “karena
PPP menempatkan Islam sebagai asas dalam PPP, partai ini jelas tidak memperbolehkan
orang dari luar Islam memimpin partai. ”Lanjut Fanan Hasib melakukan perbandingan
antara PPP dengan pihak lain yang memiliki pola pikir dan semangat yang berbeda dengan
PPP. Hasib mengatakan, “Ini pembuktian bahwa Partai Islam PPP berbeda dengan partai lain
(PKB dan PKS). yang masih memberi ruang bagi non muslim untuk memimpin partai dan
pemimpin ". Dilihat dari" kacamata " formalisme dan romantisme pendapat Fanan Hasib
sangat rasional dan logis, mengingat PKB dan PKS berada dalam satu kesatuan pola yang
berbeda, yaitu fungsionalis (PKB) dan kontekstualis-Pancasilais (PKS).
Semangat “romantisme historis” yang melekat kuat pada cara berpikir elit PPP juga
rasional lasan elit NU di PPP karena berbagai model kepemimpinan yang dicap mengkritik
Islam, padahal mereka tetap saja tunduk pada pengaruh non-muslim. Dengan kata lain,
bukan pemimpin Islam yang bertopeng, tetapi mereka yang mengontrol kepentingan non-
Muslim. Kritikan tersebut terlihat pada beberapa komentar elite NU-PPP, satu-satunya tamu
KH. Maimun Zubair
Menurut KH. Maimun Zubair, "para pemimpin negara Islam, yang meski berlabel
Islam, tapi nyatanya tunduk pada pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat (USA). Oleh
karena itu, satu-satunya cara dalam hal kepemimpinan dan demokrasi adalah kembali ke
ajaran Islam. KH. Maimun memberi alasan, "islam akan jangan sampai rusak, karena Tuhan
sudah menjamin dan melindungi. Islam lebih unggul dan tidak akan ada yang lebih kalah
manuver (al-Islamu ya'lu wa la yu'la 'alaihi). Jadi, itu merusak rakyat, pemimpin, negara.
Karena itu Seharusnya tidak ada upaya partai Islam di parlemen untuk berbicara, melalui
konstitusi. Ini mengharuskan itu Umat Islam harus mau mengikuti pemimpin dan pemilihan,
untuk menata kembali negara dan bangsa ini " Tentu saja, non favorit pada unsur non
muslim haruslah logis dan rasional. Oleh karena itu, dianggap demikian menjunjung tinggi
semangat asmara-historis dan bersumber pada cara berpikir formalis. Itu sebabnya, di
antara orang cara berpikirnya romantis-historis-formalis, bukan hanya menentang
kepemimpinan non-Muslim, perempuan kepemimpinan bahkan lebih sulit diterima.
Penolakan tokoh perempuan salah satunya terlihat dari pernyataan KH. Ahmad
Subadar. Ia mengatakan, “Misalnya dalam menentukan kebijakan hukum seorang presiden
perempuan, kembalikan kepada imam atau sekolah sayap-pemimpin Aswaja. Menurut
Imam Syafi'i, wanita tidak boleh jadi presiden. Pertama alasan terkait mental. Pria dan
wanita psikiatri berbeda. Misalnya, permisi, pria di sana itu bisa mempunyai petir yang kuat,
tetapi tidak ada petir yang bisa membuat wanita "kepoyoh" (mengompol) karena panik.
Bagaimana dengan ini, jadi presiden mudah panik? Sedangkan ketua pastor, pastor
memegang peranan penting. Kedua, terkait dengan fisik. Dalam Al Qur'an telah dijelaskan
wa laisa al-dzakaru ka al-untsa, laki-laki tidak menyukai perempuan. Itu adalah tipe pria
lebih sempurna dan lebih kuat dari wanita. "
KH. Jazuli Zainudin mengatakan, “Kita sudah demokrasi liberal. Padahal kita bukan
ahli demokrasi. “Ibarat pitik cilik metu teko kurungan, wuhh…, enek sing nabrak pager,
nabrak macem-macem mergo during ahli, soale gak biasae ”(Pepatah anak ayam,
dikeluarkan dari kandang, lalu ada yang menabrak pagar, menabrak apa saja, karena kita
belum ahli dalam demokrasi). Jadi jangan disamakan dengan Amerika Serikat, “wong masih
belajar demokrasi kok gayane amerika, pikirane Amerika, panganane amerika, kentucky-lah.
Suwe-suwe kenthuk ”(orang masih belajar demokrasi, gaya quasi-Amerika, mind America,
American food, Kentucky, setelah a lama kenthuk stres). Ini kami telah memberi makan
semua yang Amerika ". Sampai di sini dapat memetakan demokrasi itu kepemimpinan dan
ditegaskan oleh kepemimpinan formalis-metodis dan demokrasi yang selaras dengan ajaran
dari versi Islam mereka. Padahal mereka memahami bahwa Islam adalah sebagian Islam
formal yang bisa disebut masa lalu. Ada romansa yang agak historis yang sedikit
mengabaikan pemahaman substansial tentang Islam, seperti yang dimiliki oleh orang lain
Elit NU di berbagai partai politik.

2. Fungsionalis-Metodis
Berbeda dengan romantisme formalis-metodis yang melahirkan metodis. Perspektif
fungsionalis-lebih pemahaman metodis Islam secara substansial tersirat ketika Aswaja
menerjemahkan konsep menjadi kepemimpinan dan wacana demokrasi. Dengan kata lain,
model kepemimpinan dan demokrasi bisa ditegaskan bila sejalan prinsip universal Islam.
Kepentingan substantif ini seringkali mendorong kaum fungsionalis-metodis memberikan
batasan konseptual atau prinsip substantif ketika dihadapkan pada kepemimpinan dan
wacana demokrasi.
Misalnya elite NU di PKB akan menerima konsep kepemimpinan dan demokrasi yang
sejalan beberapa prinsip dasar yang patut dijadikan acuan. Menurut Amin Said Husni,
prinsip dasarnya adalah musyawarah (syura), keadilan ('adalah), dan manfaat (mashlahah).
Prinsip-prinsip dasar ini harus menginspirasi semua hukum dan kebijakan produk yang ada.
Bagi Amin Said Husni, prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi pedoman dan demokrasi
kepemimpinan yang sejalan dengan ajaran substantif Islam.
Lebih lanjut Amin Said menjelaskan bahwa ketika seorang pemimpin berbicara
tetangganya tentang perlindungan sosial, konsepnya keadilan ('adalah) dan kepentingan
umum (mashlahah' ammah) menjadi inspirasinya untuk melaksanakan perlindungan sosial.
Jadi, itu sama-sama diberikan kepada mereka yang berhak, secara proporsional, rasa yang
tidak sama. Amin Said berkata, “Ketika saya membuat kebijakan penataan lingkungan,
ketika saya melakukan perencanaan kebijakan vendor, ketika saya memaksakan beasiswa
untuk yang kurang mampu, dan sebagainya, disitulah konsep 'adalah saya terapkan
merangkap mashlahah. Artinya, posisi pengambil kebijakan menjadi sangat strategis dalam
menerapkan gaya kepemimpinan Aswaja. "
Hal di atas mencerminkan pola pikir dari bentuk pemahaman yang lebih substantif
tentang Islam dan Islam penerapan gaya Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Setiap
tindakan, terutama yang terkait dengan kebijakan publik, bisa dikatakan ada telah sejalan
dengan gaya pengajaran Islam Aswaja bila berpijak pada substansi ajaran Islam. Untuk
dalam konteks kepemimpinan dan demokrasi, keduanya bisa dikatakan sejalan dengan
ajaran Islam, jika berlandaskan pada prinsip syura, 'adalah, dan mashlahah' ammah.
Demikian gaya berfikir fungsionalis-metodis yang diusung semangat substansialisme.
Elit NU mendukung demokrasi di PKB yang ada dan mapan di negeri ini. Termasuk
dukungan untuk prosesi yang menandai pemilihan praktik demokrasi. Dengan argumen
yang berbeda dan tidak mengatasnamakan Islam, Ali Maschan Moesa mendukung pemilu
yang demokratis sebagai penanda. Menurutnya, "berdasarkan Khittah, 1926, NU harus
berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pemilu. Pada dasarnya, Khittah 1926 bukanlah anti
politik, justru itu adalah amanat khittah warga negara untuk berpolitik, dengan beberapa
syarat yaitu: Pertama, jangan menjadikan agama sebagai politik instrumen dan lebih
tepatnya tidak memanipulasi agama untuk tujuan politik. Kedua, makna politik bagi NU
adalah meningkatkan kualitas politisi. Artinya, jika banyak orang yang berkesempatan
menjadi a
politisi, baik di legislatif atau eksekutif, atau di tempat lain, mereka harus memposisikan diri
sebagai negarawan dan bukan bahkan turun pangkat menjadi pekerja politik, apalagi
menjadi calo politik. Ketiga, makna politik Bagi NU adalah peningkatan kualitas SDM
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pemenuhan sandang, pangan, tempat
tinggal, pendidikan dan kesehatan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diharapkan
mampu berperan serta menyelesaikan masalah degradasi alam telah mencapai tahap yang
mengkhawatirkan. Secara khusus, pemilihan dalam Islam pandangan merupakan instrumen
untuk menegakkan kepemimpinan (nashbu al-imamah) (Moesa, 2010).
Dukungan untuk pemilu yang demokratis dan berasal dari elite di PKB NU lainnya,
KH. Abdul Aziz. Di dalam kasus KH. Abdul Aziz atas dasar demokrasi dalam ajaran Islam.
Menurutnya, "PKB memutuskan untuk pergi dalam demokrasi, karena baginya tidak ada
kontradiksi antara demokrasi dan agama. Memang, ada
Beberapa ulama pada awal pembentukan PKB tidak setuju dengan demokrasi, dengan
membuat buku dan leaflet. Isinya adalah demokrasi sekuler, dari komunis dan sebagainya.
Sedangkan mata KH. Abdul Aziz Mansyur sendiri, ditentukan hukum demokrasi (tafshil). Ia
menjelaskan, "Saya tidak melarang secara langsung, juga secara tidak langsung menerima.
Jika Anda melihat sisi manfaatnya dan bahwa hukum Tuhan tidak dipilih dalam demokrasi,
maka (demokratis) ya itu harus ".
Tentu cara pandang yang sangat rasional disampaikan KH. Abdul Aziz di atas. Oleh
karena itu, dengan sebuah pandangan yang substansialis dan tidak terpaku pada
pemahaman formalisme demokrasi akan diterima dan dipertimbangkan sejalan dengan
ajaran Islam ketika memenuhi prinsip-prinsip dasar tertentu, seperti hukum Tuhan tidak
memilih, dan begitu seterusnya. Tentu pendapat yang semacam ini cenderung substansialis
kontras dengan sebagian ulama yang dikritiknya, yakni ulama yang beranggapan demokrasi
adalah produk sekuler, komunis, dan sejenisnya. Karena itu, penolakan terhadap gagasan itu
demokrasi bukanlah produk yang substansial.
KH. Abdul Aziz menjelaskan bahwa lima macam prinsip yang harus dipenuhi untuk
mencapai bentuk pemerintahan yang diinginkan Aswaja. Pertama, para ulama (bi-'ilmi
al-'ulama). Dunia bisa menjadi indah dan indah bila dihias oleh para sarjana sains. Dengan
kata lain, para ulama dalam mengelola bumi ini harus menurut ilmu sesuai dengan perintah
Tuhan. Jadi tidak hanya dibutuhkan pengetahuan bagaimana caranya mengelolanya, tapi
seperti Tuhan yang diberkati, sehingga dari sesamanya tidak saling bertengkar, saling
bertengkar, dan
masing-masing menjajah. Kedua, dengan keadilan penguasa (bi 'adli al-umara). Dunia bisa
indah dan cantik saat didekorasi dengan otoritas keadilan. Ketiga, sifat amanah para
pedagang atau investor (wa amanat al-tujjar). Abdul Aziz Mansyur mencontohkan,
pemerintah menunjuk mitra dagang untuk mengimpor, tetapi akhirnya hanya untuk
kebutuhan sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Keempat, keikhlasan jamaah (alwa
ikhlasi'ubbad) yang berfungsi untuk mendapatkan ridla dan pertolongan Tuhan. Dengan
maksud untuk KH. Abdul Aziz Mansyur, menyembah berbagai bentuk. “Menjadi pemimpin
juga disembah, tergantung niatnya”, terangnya. Kelima, loyalitas karyawan kepada
pemimpin (wa nashihati al-muhtarifin). KH. Abdul Aziz misalnya berkata, "Kalau disuruh
lakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan benar. Jangan sampai rusak dan diambil
sendiri. "
Lima cita-cita tersebut, kata Ketua Majelis Syura DPP PKB, adalah asas dan usaha kita
untuk mencapai kaidah yang diinginkan Aswaja NU dalam masalah penataan kehidupan
bermasyarakat. "Bagaimana itu bisa terjadi, itulah kami yang diperjuangkan melalui PKB,
”ujarnya. Lima prinsip ideal di atas tidak lain adalah rumusan konseptual tersebut substantif
untuk memagari agar model kepemimpinan dan demokrasi tidak keluar dari jalur Islam dan
fungsi yang membuka jalan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Seperti dijelaskan di awal, PKNU adalah partai yang didirikan oleh para politisi yang
sebelumnya berada di partai pengurus dan elite NU di PKB. Oleh karena itu, PKNU juga
memiliki pemahaman fungsionalis yang terpola metodis dalam memahami Aswaja dan
kontekstualisme dalam wacana kepemimpinan dan demokrasi. Tidak ada banyak perbedaan
antara elite pemikir NU-PKB dan NU-PKNU. Hanya saja, pada bagian tertentu ada
penajaman analisis.
Elit politik PKNU memandang kepemimpinan dan demokrasi sangat erat kaitannya
dengan sistem suatu negara pemerintah. Menurut Ketua DPW PKNU Jawa Timur Arif
Junaidi, "Pemerintah harus mengambil intervensi pada aspek kehidupan warganya seperti
ekonomi, politik, dan agama. ”Arif yang juga PP Raudlah al-Qoidi Cangaan Caregiver, Bangil,
Pasuruan itu menyatakan, “Seharusnyaintervensi negara signifikan, yang memberikan
peluang bisnis, dengan menyediakan konsumen menjadi modal yang dijaga. Kedua, negara
melarang perusahaan asing yang mengakibatkan masyarakat lebih miskin. Ketidakadilan
juga dilakukan melalui outsourcing sistem dan sebagainya ".
Dalam konteks agama dan negara, kepemimpinan demokrasi pada hakikatnya
dipahami sebagai "tali “. Konsep kepemimpinan dan demokrasi dalam perspektif elit NU di
PKNU tentunya memiliki keterkaitan pemahaman elit NU di PKB. Sebagai fungsionalis sayap-
substansif elit, mereka menggunakan paradigma "simbiosis" dalam hubungan antara agama
dan negara. Paradigma simbiosis yang dimaksud disini adalah bahwa keberadaan negara
bukanlah agama yang terkooptasi, begitu pula sebaliknya. Agama dan negara saling
membutuhkan jadi jangan batalkan satu sama lain, seperti yang terjadi di negara agama dan
negara sekuler. Dalam agama negara, agama benar-benar negara adopsi. Sedangkan
kepemimpinan demokratis dan media tinggal bagaimana agama dan negara bisa berjalan
sinergis. Dengan demikian, kepemimpinan dan demokrasi telah berjalan sesuai dengan
ajaran Islam yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Menurut Ketua Majelis Syura PKNU Pasuruan KH. Hasan Ma'ruf, "negara Indonesia
bukan agama negara, tapi agama negara ". Jadi, agama dan negara saling melengkapi secara
simbiosis. Tidak perlu membangun agama negara agar ajaran agama bisa dijalankan. Ini
adalah pandangan fungsionalis-substantif dalam konteksnya kepemimpinan dan demokrasi.

3. Kontekstualis-Pancasilaist
Di awal dikatakan bahwa kontekstualis-pancasialis diakomodir oleh partai PKS ke dalam
semangat pemikiran pluralisme. Banyak tokoh PKS dari latar belakang berbeda tapi tetap di
atas sama prinsip sebagai dasar pijakan mereka, yaitu prinsip Islam. Dengan prinsip Islam
inilah PKS menjadi a pesta terbuka untuk semua muslim dari berbagai latar belakang. Tentu
ini mencerminkan semangat pluralis, dan ditambah dengan realitas bangsa Indonesia yang
majemuk. Tak heran jika elite NU di PKS lebih paham kontekstualis AswajaPancasila.
Pluralisme pemikiran dalam tubuh PKS itu sendiri, salah satunya dapat dilihat dari
seorang pemimpin yang beragama Islam ceramah. Mengenai pemimpin Islam, Nur
Mahmudi Ismail berpendapat, “dengan syarat seorang pemimpin, tidakperlu pemimpin
istilah islam, karena otomatis itu akan terpenuhi, karena mayoritas
muslims ". Bagi Nur Mahmudi, tidak boleh ada dakwah atau upaya berlebihan untuk
mencapai kepemimpinan. Katanya, “Itu kan orang yang menentukan. Saya kan wajar saja,
tidak perlu dibuat soal aturan (istilah untuk menjadi Islami pemimpin). Selain itu,
perempuan harus menjadi pemimpin dan pejabat publik atau politisi, asal dipilih terlebih
dahulu oleh
orang-orang. Sekretaris daerah (posisi sekretaris) anak perempuan saya. Pemimpin adalah
pegawai negeri, maka dia harus dekat dan mengetahui kebutuhan masyarakat ". Sementara
tentang masalah yang sama, ada pandangan yang berbeda Ernanto Djoko Purnomo.
Katanya, "(Pemimpin Muslim) wajib. Karena penduduk negara kita mayoritas Muslim. Dan
kita sering berdoa, “Rabbanaa hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alnaa
li almuttaqina imama” (Ya Tuhan, pemberian istri dan keturunan kita menyejukkan dan
menjadikan kita pemimpin bagi mereka yang takut kepada Allah). Kami harus konsisten
dengan doa-doa kami untuk menjadi pemimpin bagi rakyat ".
Pluralisme tokoh pemikiran yang lahir dari semangat kontekstualisasi PKS dan
pancasilaisasi Aswaja Nilai-nilai tersebut semakin berwarna ketika salah satu elite NU di PKS,
Ketua PKS DPC Bangkalan KH. Muhammad Thoha Cholil, yang merupakan cucu dari ulama
karismatik Madura (alm) Syaichona Cholil, berkata, "Islam partai tidak melarang orang selain
Islam untuk mengikutinya. Setidaknya mereka kompeten di dalamnya (struktur dan
manager) adalah orang yang memiliki wawasan tentang Islam. Kalau kebetulan ada yang
minoritas atau wiliyah Islam sederajat sama sekali tidak ada umat Islam, seperti di Nabire,
PKS dipimpin oleh orang non muslim ”.
Aliran pemikiran tokoh PKS yang beragam ini bisa dipahami bila dirujuk pada
pemahamannya cara Aswaja yaitu kontekstualis-Pancasila. PKS sebagai organisasi ibarat
wadah yang menampung berbagai macam anggota dari berbagai latar belakang. Hal ini
selaras dengan realitas masyarakat majemuk bangsa Indonesia. Siapapun boleh melakukan
selama kompeten dan profesional. Tidak ada diskriminasi gender. Khususnya, tidak ada
diskriminasi keanggotaan. Menghormati hak semua orang tanpa perbedaan adalah
karakteristik bangsa yang majemuk dan majemuk. Ini adalah bangsa Indonesia; bangsa yang
membentang dari Sabang sampai Merauke. PKS merupakan partai yang kontekstual dengan
realitas ini. Oleh karena itu, siapapun berhak menjadi pemimpin. Adapun demokrasi, Nur
Mahmudi Ismail mengatakan demokrasi adalah sistem yang paling tepat digunakan untuk
bangsa Indonesia konteks, yang menjadikan Pancasila sebagai negara. Bahkan dibandingkan
dengan Islam, sistem demokrasi masih jauh berbeda. Namun demikian, Islam
mengharapkan nilai-nilai keislaman, seperti kejujuran misalnya dalam berdemokrasi. Nur
Mahmudi Berkata, “Pada prinsipnya demokrasi yang seperti itu dibanding dengan islam, ada
perbedaannya. Tapi islam itu kehadirannya elemen kebenaran dan kejujuran yang
diharapkan dalam sebuah demokrasi. Meski dalam praktek di lapangan, unsur demokrasi
yang ada "kenakalan". Nur Mahmudi mengatakan, “Yang tetap ditekankan dalam Islam
adalah tidak nakal, tapi mendidik kejujuran dalam demokrasi. Demokrasi adalah sistem
pilihan dalam kehidupan bernegara ".
Nur Mahmudi sebenarnya mengakui pihak-pihak yang tidak memiliki sistem
demokrasi. Tapi dia tidak menolak demokrasi tetapi menawarkan solusi untuk
menyembuhkan demokrasi "borok". Ia menyadari ada kelemahan dalam demokrasi sisi.
Salah satu kelemahannya adalah pemerataan suara, yang semuanya terdengar sama (one
man one vote). "Untuk orang-orang yang tidak paham, suara ulama dan suara lainnya pun
sama. Pada prinsipnya apa yang mereka katakan seperti itu? Padahal, sebenarnya berbeda,
ulama memilih keilmuan, sedangkan yang lain mungkin tidak, ”kata Nur Mahmudi Pria satu
suara sampai saat ini menjadi perdebatan dalam demokrasi, tapi mengatakan itu adalah
masalah ijtihad dalam politik. Nur Mahmudi menjelaskan, "Itu banyak yang terjadi, minat itu
mudah dibeli, dan ini bukan representasi dari batin suara, tapi suara modal. Kelemahan
demokrasi ini mungkin dapat dikurangkan jika prasyarat lainnya ada bertemu di komunitas
dan masyarakat. Masyarakat terpelajar tidak akan mudah dibeli. Prasyarat untuk
mewujudkan itu, sebagai baik untuk meningkatkan pendidikan dan informasi setransparan
mungkin kepada publik. Intinya, prasyarat untuk mereduksi kelemahan demokrasi harus
diupayakan dan dipenuhi banyak hal, di tingkat komunitas-komunitas ”.

Cara berpikir seperti ini cukup rasional bagi PKS termasuk dalam partai kontekstualis-
pancasilaist pengertian islam versi aswaja. Dengan kata lain, apa yang telah menjadi kohesi
lengkap antara demokrasi, Pancasila, dan NKRI yang sudah mapan di Indonesia perlu
dipertahankan. Karena itu, dia telah menurut Islam. Meski praktik demokrasi di Indonesia
masih termasuk kecurangan, namun PKS memiliki visi a upaya serius untuk memperbaiki
ulkus demokrasi. Selain itu, kontekstualis-pancasila yang berpikiran PKS setuju dengan itu
pancasila demokrasi sebagai falsafah dan landasan bangsa, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai bangsa rumah.

5. Kesimpulan
Afiliasi elit NU ke beberapa partai politik, pada intinya didorong oleh kesadaran subjektif.
Sosial budaya latar belakang dan elit politik yang dapat dipetakan menjadi tiga varian
sederhana (formal, fungsional, kontekstual). Memang pemetaan semacam ini hanya akan
berangkat dari primordial untuk mengantarkan perbedaan menuju persatuan. Dan bahkan
kemudian hanya akan terjadi jika disertai dengan keinginan subyektif individu; Politisi NU,
bersatu. Perbedaan dalam partai politik, ideologi, dan latar belakang sosial budaya dapat
“dihilangkan” demi pembangunan bangsa dan kerjasama negara.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan kajian mendalam tentang paradigma
sosial budaya di NU politisi di berbagai partai politik di Indonesia dalam mewujudkan
kemajuan bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai