Anda di halaman 1dari 12

TATALAKSANA FRAKTUR EKSTREMITAS ATAS PADA DEWASA

Abstrak

Fraktur ekstremitas atas cukup sering terjadi dan dapat menyebabkan kecacatan. Kami akan
meninjau fraktur-fraktur ekstremitas atas yang umum terjadi pada dewasa dan sering ditemui
di unit gawat darurat, dengan gambaran umum dari klasifikasi, tatalaksana non-operatif, dan
operatif.

Kata kunci: Klasifikasi; tatalaksana, fraktur ekstremitas atas.

PENDAHULUAN

Fraktur adalah kondisi yang cukup sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup mendekati
40% dan kejadian tahunan 3.6%. Fraktur ekstremitas atas adalah yang paling sering terjadi, di
mana kondisi ini mewakili hingga 51% dari semua fraktur.

Prinsip Tatalaksana Umum

Prinsip tatalaksana pada fraktur umumnya sama dengan semua pasien trauma. Pada kasus
trauma sistemik atau multisistem, pasien memerlukan stabilisasi dan fraktur perlu
mendapatkan penanganan pertama dalam bentuk alignment, splinting, dan analgesia. Pada
kasus cedera yang terisolasi dan/atau di mana pasien mampu memberikan keterangan, maka
dokter perlu melakukan anamnesis yang terperinci, khususnya mekanisme cedera dan
kebutuhan sosial dan mobilitas pasien saat ini. Pemeriksaan awal pada ekstremitas dengan
suspek fraktur harus mengecualikan adanya fraktur terbuka, sambil melakukan pemeriksaan
neurovaskular dan sindrom kompartemen. Ekstremitas yang cedera awalnya harus
distabilisasi dengan splint, cast, atau sling dan pemeriksaan lanjutan yang umumnya
dilakukan pada awal tatalaksana adalah foto polos. Tatalaksana selanjutnya adalah pencitraan
lanjutan, stabilisasi definitif, dan rehabilitasi.

FRAKTUR KLAVIKULA

Sebagian besar fraktur klavikula terjadi akibat jatuh pada sisi fraktur, terutama jatuh dengan
posisi bertumpu pada lengan/tangan yang dalam keadaan terentang. Fraktur sepertiga tengah
klavikula adalah yang paling sering (65.4%), diikuti oleh fraktur lateral (29.7%) dan medial
(4.5%).

Status neurologis dan vaskular sangat penting untuk dinilai, terutama plexus brachialis dan
pembuluh darah subclavia. Dokter perlu melakukan penilaian integritas kulit di atas fraktur
atau menilai apakah ada tenting akibat fragmen fraktur. Pencitraan dengan foto polos
biasanya cukup. Umumnya, sudut pengambilan foto yang digunakan adalah AP dan AP
sefalik (sudut sefalik 15-30o) (Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Fraktur klavikula posisi AP.

Gambar 2. Fraktur klavikula posisi AP-sefalik.

Klasifikasi

Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan adalah sistem Allman atau Neer (dibagi
menjadi sepertiga medial, tengah, dan distal). Sistem klasifikasi Robinson lebih terperinci
dibandingkan sistem Allman/Neer.

Tatalaksana

Pada tatalaksana awal, fraktur klavikula perlu ditangani dengan sling yang menyokong siku
untuk menurunkan efek gravitasi yang menarik bahu dan klavikula.

Untuk tatalaksana non-operatif, latihan ROM halus dapat dimulai sekitar 2 minggu dengan
latihan ROM aktif pada waktu 6 minggu, diikuti oleh latihan penguatan.

Hal-hal berikut ini yang harus dipertimbangkan sebagai indikasi absolut fiksasi:

 Fraktur terbuka
 Fraktur multipel yang menyebabkan floating shoulder
 Mal/non-union simptomatis
 Gangguan vaskuler

Indikasi relatif adalah disfungsi plexus brachialis, pemendekan > 2 cm, mekanisme cedera
berenergi tinggi, pasian politrauma, keterlibatan/ekstensi kerusakan ke sendi dan ligamen.
Situasi-situasi seperti ini berkaitan dengan kejadian non-union dan/atau gangguan fungsi
yang cukup tinggi apabila tidak distabilisasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa angka
non-union cenderung lebih tinggi pada tatalaksana non-operatif. Di samping itu, fiksasi
operatif cenderung memungkinkan kembalinya pasien melakukan aktivitas lebih dini.

Fiksasi bedah dapat dilakukan dengan menggunakan pelat dalam mode locking atau bridging
(Gambar 3), pelat hook untuk fraktur distal di mana fragmen tulang terlalu kecil (Gambar 4),
atau alat intrameduler.

Gambar 3. Pelat klavikula.

Gambar 4. Pelat hook.

Rehabilitasi pasca bedah tergantung pada jenis fiksasinya. Pelat hook akan diangkat setelah
12 minggu; dengan kata lain, pengangkatan pelat tidak perlu dilakukan kecuali terjadi efek
samping.

FRAKTUR HUMERUS PROKSIMAL

Fraktur humerus proksimal adalah fraktur tersering ketiga pada lansia dan merupakan yang
paling sering terjadi pada wanita.

Pemeriksaan/Tatalaksana Awal

Nervus axillaris sangat beresiko terkena dampak cedera dan statusnya harus diperiksa dengan
baik. Pencitraan harus dilakukan setidaknya pada dua proyeksi, yaitu AP dan lateral scapular
‘Y’. Proyeksi aksilla khususnya membantu pada pasien yang mampu menoleransi
pemeriksaan. Pencitraan fraktur humerus proksimal umumnya menimbulkan masalah
dimensi gambar sehingga CT scan kadang diperlukan sebagai pemeriksaan tambahan.
Dislokasi akan menambah kompleksitas masalah. Tatalaksana awal yang direkomendasikan
adalah reduksi dengan sedasi/anestetik yang tepat dan dilakukan oleh dokter yang telah
terlatih karena umumnya terjadi cedera saraf iatrogenik atau displacement tulang terjadi lebih
berat.

Klasifikasi

Fraktur humerus proksimal dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Neer. Fragmen


tulang dikatakan mengalami displacement apabila ia displace > 1 cm atau mengalami
angulasi > 45o. Di Gambar 5, fraktur Neer satu bagian tidak mengalami displacement,
sedangkan fraktur dua bagian hanya mengalami satu displacement dan fraktur empat bagian
mengalami tiga displacement.

Gambar 5.
Tatalaksana

Tatalaksana fraktur humerus proksimal harus dilakukan dengan mempertimbangkan


kebutuhan fungsional, sosial, dan fisiologis pasien sehubungan dengan pola frakturnya.
Tatalaksana non-operatif adalah tatalaksana utama dari pasien lansia dengan fraktur fragilitas,
dalam bentuk collar dan cuff (gravitasi akan membantu alignment fraktur) selama 2-3 minggu
diikuti oleh rehabilitasi aktif progresif. Pada pasien berkebutuhan tinggi dengan displacement
100% atau fraktur kominutif, tatalaksana operatif adalah pilihan yang lebih baik. Penelitian
Proximal Fracture of the Humerus: Evaluation by Randomization (PROFHER) menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan klinis atau statistik dalam tatalaksana fraktur humerus proksimal
baik secara non-operatif maupun operatif. Penelitian ini adalah penelitian kohort heterogen
dari pasien dengan fraktur displaced dan tidak menunjukkan bahwa manajemen operatif
dikontraindikasikan pada kelompok pasien ini; namun, perlu diingat bahwa luaran dari fiksasi
operatif atau hemiartroplasti dapat memberikan luaran fungsional yang buruk terlepas dari
bagusnya gambaran foto polos pasien setelah operasi, dan tatalaksana non operatif dapat
memberikan hasil fungsional tanpa menunjukkan fraktur yang sudah tereduksi secara
anatomis. Kuncinya adalah fungsi bahu sangat mampu beradaptasi dengan rentang gerakan
yang luas, dan luaran yang paling dihindari dari tatalaksana fraktur humerus proksimal adalah
timbulnya kekakuan.

Apabila kita memutuskan untuk melakukan operasi, maka metode yang dapat digunakan
adalah fiksasi pelat, fiksasi baut, dan paku intrameduler atau ganti sendi. Hal ini harus
dipertimbangkan pada pasien dengan kelainan jaringan lunak, cedera neurovaskular, fraktur
patologis, dan kasus-kasus cedera multipel (untuk membantu angkat beban/mobilisasi). Di
samping itu, vaskularisasi caput humeri harus dipertimbangkan: pada fraktur empat bagian,
vaskularisasi ini akan selalu terganggu dan dengan displacement yang bermakna dari fragmen
ini, jarang terjadi revaskularisasi yang adekuat. Rehabilitasi pasca operasi setelah fiksasi
biasanya dapat dilakukan dalam waktu 2-3 minggu dengan latihan ROM terbatas dalam sling,
diikuti oleh mobilisasi aktif dibantu kemudian dilanjutkan dengan mobilisasi aktif pada
minggu keenam.

FRAKTUR CORPUS HUMERI

Fraktur corpus humeri mewakili 3-5% dari semua fraktur. Umumnya fraktur ini bersifat
bimodal, yaitu sering pada pasien tua dengan trauma energi rendah dan pasien muda dengan
trauma energi tinggi.

Pemeriksaan/Tatalaksana Awal

Ketika memeriksa pasien dengan fraktur corpus humeri, saraf yang paling rentan mengalami
cedera adalah nervus radialis karena ia berjalan mengitari humerus pada sulcus nervi radialis
(spiral groove). Nervus radialis dapat diperiksa dengan memeriksa sensasi punggung tangan
jari pertama dan fungsi motorik dari otot-otot ekstensor jari dan pergelangan tangan. Nervus
radialis emngalami cedera pada hampir 16% kasus fraktur corpus humeri. Walaupun
fungsinya umumnya bisa pulih, tetap saja saraf ini berpotensi mengalami cedera jika terjadi
fraktur. Cedera nervus radialis khususnya sering pada fraktur di pertemuan antara sepertiga
tengah dan distal humerus (fraktur Holstein-Lewis), di mana saraf ini akan terjebak pada
ujung tajam dari fragmen distal ketika ia berjalan ke sisi lateral dari humerus.

Pencitraan fraktur ini dapat dilakukan dengan posisi AP dan lateral. Imobilisasi awal dapat
dilakukan dengan casting, bracing, dan simple sling.

Klasifikasi

Klasifikasi utama yang digunakan adalah klasifikasi AO, seperti pada Gambar 6. Penting pula
untuk mendeskripsikan lokasi fraktur dengan membagi corpus humeri menjadi 3 bagian,
yaitu proksimal, tengah, dan distal.

Tatalaksana

Tatalaksana non-operatif adalah pemasangan brace, dan metode ini sangat baik dengan angka
non-union yang rendah. Dengan mengingat rentang gerakan bahu, metode ini memungkinkan
untuk memberikan kompensasi fungsional untuk mal-union sedang: 20 o bowing anterior, 30o
angulasi varus, dan 15o rotasi masih dapat diterima dengan pemendekan 3 cm.

Beberapa indikasi absolut untuk operasi:

 Fraktur terbuka
 Cedera vaskuler
 Cedera neurologis dengan kecurigaan laserasi atau kompresi
 Politrauma
 Floating elbow (fraktur humerus + fraktur lengan bawah ipsilateral)
 Defisit nervus radialis progresif
 Kulit/jaringan ikat tidak layak untuk bracing
 Fraktur patologis
 Manajemen non-operatif gagal

Indikasi relatif:

 Ketidakmampuan untuk menerima atau mempertahankan reduksi dalam batas yang


biasanya dapat diterima secara umum

Operasi juga memberikan manfaat berupa mampu menahan beban terkontrol lebih dini untuk
mereka yang perlu menggunakan alat bantu jalan, namun, hal ini bergantung pada pasien,
kualitas tulang, dan fiksasi.

Tatalaksana operatif dapat dilakukan baik dengan fiksasi pelat atau pemasangan paku
intrameduler (Gambar 7). Ada beberapa pro dan kontra untuk kedua metode ini. Pemasangan
paku menyebabkan insisi yang lebih kecil, angka infeksi lebih rendah, dan digunakan untuk
fraktur patologis di mana seluruh tulang harus distabilisasi. Kekurangannya adalah,
pemasangan paku ini harus melalui otot rotator cuff sehingga berpotensi menyebabkan
disfungsi otot. Fiksasi pelat memiliki angka union yang lebih tinggi. Sudah ada beberapa
penelitian mengenai teknik osteosintesis pelat invasif minimal (MIPO) dengan hasil yang
baik, di mana dua insisi dibuat di kedua sisi fraktur dan pelat akan melewati keduanya.

Fraktur diafisis sepertiga proksimal berbeda dari fraktur sepertiga tengah. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa 76% dari fraktur sepertiga proksimal meluas sampai ke caput humeri.
Hal ini harus dipertimbangkan dalam menginterpretasikan gambar radiologi dan pemilihan
implan.

Fraktur sepertiga distal, termasuk fraktur Holstein Lewis, dapat ditangani dengan fiksasi
pelat, terutama jika frakturnya meluas sampai ke siku. Hal inimemungkinkan eksplorasi
nervus radialis selama fiksasi dan memungkinkan kontrol fragmen yang baik pada bagian
paling distal dari corpus humeri.

Gambar 7. Paku intrameduler pada humerus.

FRAKTUR HUMERUS DISTAL

Fraktur sekitar siku mewakili 7% dari semua fraktur pada dewasa, dan fraktur humerus distal
mewakili 30% dari angka tersebut. Fraktur humerus distal juga bersifat bimodal, terutama
paling banyak pada lelaki muda dengan trauma energi tinggi dan wanita lansia dengan trauma
energi rendah.

Pemeriksaan/Tatalaksana Awal

Pemeriksaan cedera ini harus meliputi pemeriksaan status neurovaskular, terutama arteri
brachialis, nervus radialis, ulnaris, dan medianus. Pencitraan harus meliputi foto polos AP
dan lateral humerus dan siku, serta lengan bawah. CT scan umumnya dilakukan untuk
perencaan pra operasi. Fiksasi khususnya penting untuk fraktur kominutif tipe C.

Tatalaksana awal sebaiknya meliputi reduksi dan stabilisasi di atas siku dengan plaster atau
brace.

Klasifikasi

Klasifikasi yang paling komprehensif dan umum digunakan adalah klasifikasi AO (Gambar
8).
Gambar 8.

Tatalaksana

Tatalaksana harus mempertimbangkan kebutuhan fungsional pasien dan derajat


displacement-nya. Tatalaksana non operatif meliputi penggunaan brace atau sling untuk
menahan siku dalam keadaan fleksi selama 2-3 minggu yang diikuti dengan mobilisasi
progresif. Pasien lansia dengan fraktur dua bagian tanpa displacement perlu diawasi jika
hanya menjalani tatalaksana non operatif karena lebih beresiko mengalami displacement dan
non-union simptomatik.

Ada dua pilihan utama ketika mempertimbangkan tatalaksana operatif. Reduksi


terbuka/fiksasi internal (ORIF) dan artroplasti siku total (TEA). ORIF perlu dipertimbangkan
untuk semua pasien indikasi operasi; namun, pada kasus pasien lansia dengan kualitas tulang
yang buruk, hal ini akan sangat menantang. Untuk pasien dengan fraktur yang dianggap tidak
dapat direkonstruksi, TEA adalah pilihan operasi yang tepat. TEA memang memiliki resiko
jangka panjang untuk mengalami kelonggaran, fraktur periprostetik, dan survivorship yang
terbatas di mana batas angkat beratnya 5 lbs untuk memiliki daya tahan permanen. Namun,
untuk pasien lansia yang rapuh, metode ini adalah prosedur tunggal definitif dengan
pemulihan fungsional yang cukup dini.

Fiksasi fraktur interkondilar dapat dilakukan dengan double plating perpendikuler atau
paralel. Penelitian biomekanik menunjukkan bahwa plating paralel meningkatkan stabilitas
mekanis; namun, masih belum jelas apakah metode tersebut memberikan dampak pada luaran
klinis pasien.

FRAKTUR LENGAN BAWAH

Fraktur lengan bawah cukup jarang dibandingkan fraktur ekstremitas atas lainnya pada
dewasa. Mekansime cedera yang mendasarinya adalah beban aksial dari jatuh atau dari gaya
langsung.

Pemeriksaan/Tatalaksana Awal

Pemeriksaan dan dokumentasi yang jelas dari status neurovaskuler sangat penting. Sindrom
kompartemen harus dipertimbangkan pada trauma energi tinggi. Foto AP dan lateral sudah
cukup untuk pemeriksaan awal; sangat penting untuk mencakup sendi radioulnaris distal dan
sendi siku pada foto ini.

Klasifikasi

Secara umum, ada tiga fraktur utama di lengan bawah, yaitu fraktur tulang tunggal, fraktur
kedua tulang, dan fraktur disertai dislokasi (Monteggia/Galeazzi). Fraktur radius distal
memiliki golongannya tersendiri.

Fraktur Monteggia (Gambar 9) adalah fraktur corpus ulna dengan dislokasi caput radii
sedangkan fraktur Galeazzi (Gambar 10) adalah fraktur corpus radii disertai dislokasi sendi
radioulnaris distal. Fraktur tunggal salah satu dari corpus ulna atau radii harus didiagnosis
setelah kita memastikan tidak ada dislokasi.

Apabila mempertimbangkan tatalaksana dari cedera ini, lengan bawah harus dianggap
sebagai satu kesatuan seperti halnya tulang panjang, artinya, reduksi anatomis dari fraktur
adalah hal yang harus dilakukan. Disfungsi rotasional adalah resiko yang dapat terjadi jika
hal tersebut diabaikan. Fraktur ulna terisolasi umumnya disebabkan oleh benturan langsung
sedangkan fraktur radius terisolasi biasanya karena gaya rotasional. Fraktur ulna terisolasi—
bahkan jika tidak terjadi displacement, memiliki resiko tinggi mengalami non-union jika
tidak ditangani secara operatif. Jika fraktur salah satu tulang tidak stabil, maka harus
ditangani dengan ORIF.

Tulang yang mengalami deformitas atau displace, fraktur Monteggia, atau Galeazzi harus
ditangani secara operatif. Dengan kompresi fraktur sederhana, plating saja sudah cukup untuk
mencapau reduksi anatomis dan penyembuhan tulang primer. Pada kasus dislokasi fraktur,
hal ini akan memungkinkan penentuan panjang tulang untuk menstabilisasi sendi yang
terlibat; hal ini sulit dicapai pada fraktur kompleks/kominutif. Mobilisasi ekstremitas setelah
fiksasi bergantung pada pola fraktur dan fiksasinya. Fraktur tulang dengan stabilitas absolut
setelah fiksasi pelat dapat dimobilisasi dalam satu minggu setelah penyembuhan jaringan
lunak. Fraktur yang kompleks dan fraktur disertai dislokasi memerlukan proteksi atau
rehabilitas terbatas dalam minggu-minggu pertama.

Gambar 9. Fraktur Monteggia.

Gambar 10. Fraktur Galeazzi.

FRAKTUR RADIUS DISTAL

Fraktur ini adalah fraktur ekstremitas atas tersering pada usia pertengahan hingga dewasa tua
dan lebih sering pada wanita di atas usia 65 tahun. Normalnya, fraktur ini terjadi ketika
seseorang menahan diri dari jatuh namun dapat pula berkaitan dengan trauma energi tinggi
pada pasien muda.

Pemeriksaan/Tatalaksana Awal

Seperti biasa, anamnesis yang melibatkan mekanisme cedera, eksklusi fraktur terbuka, dan
pemeriksaan status neurologis adalah hal yang penting. Imobilisasi awal memerlukan padded
splint, back slab, atau cast. Foto AP dan lateral cukup untuk diagnosis dan tatalaksana; CT
dapat dilakukan untuk perencanaan pra operasi pada kasus kompleks.

Klasifikasi

Ada beberapa sistem klasifikasi yang dapat digunakan: sistem Fernandez berdasarkan
mekanisme cedera, sistem Frykman berdasarkan keterlibatan sendi, dan sistem AO.
Fraktur yang tersering ditemukan adalah fraktur Colles: fraktur radius distal dengan displace
ekstraartikuler ke dorsal (Gambar 11). Kemudian ada fraktur Smith, yang merupakan
kebalikan dari fraktur Colles, di mana displacement-nya terjadi ke arah volar. Ketiga adalah
fraktur Barton (Gambar 12), yaitu fraktur intraartikuler dengan dislokasi sendi radoiokarpal.
Displacement-nya bisa terjadi ke dorsal ataupun volar. Ada pula fraktur-fraktur intraartikuler
yang tidak disertai dislokasi.

CT scan akan sangat bermanfaat untuk fraktur kompleks atau kominutif dalam perencanaan
praoperatif.

Tatalaksana fraktur radius distal cukup bervariasi. Pilihannya adalah splint, cast, kawat
Kirschner (K-wires) dan fiksasi dengan pelat kunci. Fraktur stabil dan sederhana dapat
ditangani secara konservatif dengan casting setelah manipulasi untuk mereduksi dengan
bantuan anestesia regional atau general. Perlu diingat bahwa fungsi yang baik dapat dicapai
meskipun terjadi mal-union yang bermakna pada radius distal, dan usia serta keperluan
fungsional pasien seringkali lebih bermakna dibandingkan gambaran X ray dalam
menentukan tatalaksana. Pasien yang lebih muda dengan kebutuhan fungsional tinggi
dan/atau pasien dengan permukaan sendi inkongruen lebih memerlukan reedukasi. Setelah
reduksi, pasien perlu dipantau dengan foto berulang sampai terjadi union.

Fraktur yang tidak stabil mungkin lebih cocok untuk K-wire atau fiksasi pelat. Terlepas dari
meningkatnya popularitas pelat volar terkunci dalam beberapa tahun terakhir, penelitian
kontrol acak terbaru yang meneliti tentang K-wire versus fiksasi pelat untuk fraktur radius
distal dengan displace ke dorsal tidak menunjukkan perbedaan pada luaran pasien atau
komplikasi antarkelompok.

Fraktur tipe Barton—sebagai cedera sendi yang tidak stabil—memerlukan fiksasi operatif.
Kondisi ini cocok dengan plating menggunakan buttress sederhana, namun stabulitasnya
harus dinilai di meja operasi.

Komplikasi jangka sedang fraktur pergelangan tangan meliputi ruptur otot ekstensor pollicis
longus, secara paradoks lebih sering pada fraktur tanpa displace pada lansia, dan CRPS.
Gambar 11. Fraktur Colles.

Gambar 12. Fraktur Barton.

Anda mungkin juga menyukai