Essay 2 PDF
Essay 2 PDF
Abstrak
Toleransi merupakan masalah yang actual sepanjang masa, terlebih lagi toleransi beragama.
Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap perlunya toleransi beragama sejak awal
perkembangan Islam, baik tersurat di dalam Al Quran maupun tersirat dalam berbagai
perilaku Nabi. Aktualisasi toleransi beragama di Indonesia dipandang masih jauh dari ideal
karena itu sosialisasi dan pembinaan umat beragama di Indonesia perlu terus ditingkatkan.
A. PENDAHULUAN
dan terorisme menjadi masalah besar bangsa dan harus dicarikan penyelesaian
secara tepat. Agama tampaknya bukan lagi alat kedamaian umat, tetapi sudah
menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari hubungan positif antara
praktik beragama dengan aksi kekerasan yang sering terjadi. Sebab kekerasan adalah
adanya faktor pemahaman agama, terutama praktik dan pemahaman beragama yang
mengarah sikap fanatisme dan militansi.
Adanya konflik dan ketidakharmonisan antarpemeluk agama akan sangat
merugikan bagi bangsa dan negara termasuk bagi pemeluk agama itu sendiri.
Ketidakharmonisan, apalagi konflik akan berdampak pada semua aspek kehidupan.
Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan sosial dan budaya akan
terganggu. Sedangkan masyarakat berada pada suasana ketidakpastian, ketakutan,
dan akan muncul perasaan saling tidak mempercayai.
Agama yang dipandang dan diamalkan semata-mata sebagai perangkat
upacara dan hukum, tidaklah cukup. Agama, khususnya Islam mendorong umatnya
untuk melaksanakan ajaran secara utuh dan integral dalam bentuk hubungan yang
harmonis dengan sesama manusia, alam lingkungan, dan dengan Allah Sang Khalik.
Penataan hubungan antar penganut agama dalam ajaran Islam berakar pada
“benih’ yang telah ditanamkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang ke dalam diri manusia. Adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari bahwa
manusia diciptakan-Nya senasib, secara kodrati ditempatkan di permukaan bumi ini,
secara kodrati satu keturunan, secara kodrati diberiNya sifat-sifat dasar yang sama,
ringkasnya banyaklah “kebersamaan kodrati” sesama manusia. “Pengalaman” paling
awal manusia terjadi ketika seseorang mulai dari rahim ibunya, dipelihara secara
lahir dan bathin. Selanjutnya lahir ke permukaan bumi ini, terus menerus dipelihara
oleh ibu dengan penuh “kasih sayang” (dalam bahasa Arab disebut “rahim” juga),
sampai remaja dan dewasa. Keturunan manusia terus berkembang secara lahiriyah
(genealogis), demikian pula hubungan kasih sayang berkembang secara rohaniyah,
secara kekeluargaan dari generasi ke generasi. Hingga saat inipun, ketika umat
manusia telah berkembang menjadi berbagai ras, bangsa, suku bangsa, dan berbagai
kelompok yang lebih kecil ataupun berbagai “campuran”, hubungan kasih sayang
(silaturrahim) yang kodrati itu tetaplah ada.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan dan kerja sama
dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material
maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan
tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja
tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Seorang mukmin dengan mukmin seperti satu tubuh, apabila salah satu
anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya.
HR.Muslim dan Ahmad
Kata umat dalam ayat di atas dikaitkan dengan tauhid karena itu umat
yang dimaksud adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada
hakekatnya menunjukkan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu
dalam prinsi-prinsip usulnya; tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun
dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Karena itu, kesatuan umat
bukan berarti bersatu dalam satu wadah, melainkan kesatuan dalam aqidah.
Bisa saja berbeda dalam ras, bahasa, maupun budaya, tetapi semuanya bersatu
dalam aqidahnya.
Salah satu masalah yang dihadap umat Islam sekarang ini adalah
rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi
lemah. Kelemahan umat Islam terjadi hampir di semua sektor kehidupan, baik
ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Kelemahan ini tidaklah disebabkan
karena sedikitnya jumlah umat Islam, melainkan rendahnya kualitas sumber
daya manusianya.
Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan
umat Islam adalah karena rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.
Konsep kejamaahan yang tidak terpisahkan dari salat telah diabaikan dalam
konteks kehidupan sosial. Individualisme dan materialisme yang merupakan
produk dari westernisasi telah menjadi pilihan sebagian umat Islam. Salat,
puasa dan haji hanya dipandang semata-mata ibadah ritual, sedangkan ruhnya
tidak terbawa atau mewarnai kehidupan umat. Oleh karena itu, umat Islam
masih memerlukan pendalaman lebih lanjut terhadap nilai-nilai esensial
ajarannya yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai
implikasi sosial dari keberpihakan terhadap kebenaran dan kebaikan, kerukunan
dan perdamaian sebagaimana yang dikandung dalam pengertian Islam itu
sendiri.
Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan
jamaah. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan
kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan muslim dikenal dengan istilah
ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.
Nabi menggambarkan eratnya hubungan muslim dengan muslim sebagaimana
anggota tubuh dengan anggota tubuh lainnya, jika salah satu anggota tubuh
terluka, maka anggota tubuh lainnya merasakan sakitnya. Perumpamaan
tersebut mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu
persengketaan antar muslim berarti mencederai wasiat Rasul.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan
secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab
perpecahan umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada umumnya bukanlah
hal yang bersifat mendasar. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya
perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap sesuatu fenomena. Dalam
hal agama, di kalangan umat Islam misalnya seringkali terjadi perbedaan
pendapat atau penafsiran mengenai sesuatu hukum yang kemudian melahirkan
berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada
dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu
menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.
Untuk menghindari perpecahan di kalngan umat Islam dan memantapkan
ukhuwah islamiah para ahli menetapkan tiga konsep:
Universalisme Islam dapat dibuktikan antara lain dari segi agama, dan
sosiologi. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan
doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia,
tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang
sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin
hanya dengan tindakan yang sangat mudah, yakni membaca syahadat. Jika ia
tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap
diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa
wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama Islam,
dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk
menunjukkan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu, maka
pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari
ajaran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam
terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak
negara adalah milik bersama dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
memeliharanya. Karena itu, kerukunan hidup umat beragama bukanlah
kerukunan sementara, bukan pula kerukunan politis, tetapi kerukunan hakiki
yang dilandasi dan dijiwai oleh agama masing-masing.
Kerukunan beragama berkaitan dengan toleransi, yakni istilah dalam
konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang
melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau
tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah
toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat
mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan
dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai
politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak
kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal
maupun konservatif.
Yang perlu dikedepankan kemudian adalah toleransi antar kelompok
agama. Dan toleransi tidak akan menjadi apa-apa tanpa ada perubahan orinetasi
dari kaum agama untuk berani keluar dari pemahaman sebelumnya. Dalam hal
ini diperlukan adanya transformasi internal yang signifikan dalam tradisi
agama. Tanpa perubahan seperti itu, pada akhirnya toleransi tidak lebih dari
sekedar wacana yang tidak memiliki implikasi normative dalam tingkah laku
antar pemeluk agama.
Toleransi memiliki peranan yang penting dalam pluralism saat ini, tidak
hanya dipahami sebagai etika yang mengatur hubungan antar kelompok agama,
akan tetapi juga yang terpenting adalah adanya kepekaan baru untuk
sepenuhnya menghargai keberagaman. Dalam konteks ini, transformasi internal
agama tidak hanya pada aspek doktrin-teologis akan tetapi juga diperlukannya
transformasi pada aspek cultural-sosiologis untuk menghormati dan menghargai
keberadaan dan hak-hak kelompok agama lain.
C. PENUTUP
D. DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim
Ahmad Zaki Yamani. (1388 H.). Islamic Law and Contemporary Issues.
Jeddah: the Saudi Publishing House.