Anda di halaman 1dari 342

KUMPULAN CERPEN XI MIPA

2018-2019
8

KISAH TAK BERSEKAT i


Kisah Tak Bersekat

Kumpulan Cerita Pendek XI MIPA 8 2018-2019

Copyright © 2019

Tim Penyusun :

Ilyasa Ahmad M

Ar-Rumaisha Zahra

Hasnan Muhammad F

Andrea Salsabila R.

Logistik :

M. Esa Rafdi Z.

Raihan Naufal

Kata Pengantar :

Giava Zahrannisa

Sampul :

Hasnan Muhammad F
Cerita Pendek Karya :

Adhitia ZN Ahmad SS Arrumaisha Z

Andrea SR Azkia NA Della FTP

Fahmy RM Fasya K Dityoseno R

Fiska AD Giava Z Hafizh MF

Hasnan MF Herliana BP Ilyasa AM

Ismi K Lulu R Meina NAA

M Esa RZ M Daffa R Nadya AP

Nisrina NQ Novsya TD M Najwal K

Presti PA Rahmi NA Raihan N

Regina IM Reinetha RW Rizki NIS

Sarah H Sina SR Waqi AR

Syelvie IRM Yuli L Zettira DZ


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

Tim Produksi....................................................................................................….I

Kata Pengantar....................................................................................................III

Daftar Isi.............................................................................................................IV

1. Berlogika – Adhitia Z. N.....................................................................…1


2. Jendela Harapan – Ahmad S. R.............................................................13
3. Au Revoir – Andrea S. R.......................................................................15
4. Relikui Kematian – Ar-Rumaisha Z......................................................30
5. Kau Tak Sendiri – Azkia N. A...............................................................55
6. Melupakanmu Ibu – Della F. T. P.........................................................61
7. Lucifer’s Fragment – Dityoseno R........................................................75
8. Zahraku Miliku – Fahmy R. M..............................................................83
9. Ksatria Telanjang – Fasya K..................................................................91
10. Good Bye Road – Fiska A. D................................................................95
11. Paradigma – Giava Z...........................................................................106
12. Aktor Luar Biasa – Hafizh M. F..........................................................128
13. Nara – Hasnan M. F.............................................................................136
14. Makna Suatu Lagu – Herliana B. P.....................................................146
15. Cinta di Pesantren – Ilyasa A. M.........................................................150
16. Maaf, Karena Tuhan Kita Berbeda – Ismi K.......................................157
17. Kaki Tangan – Lulu R.........................................................................165
18. Selembar Kertas – Meina N. A. A.......................................................171
19. Mawar Gelap – M. Esa R. Z................................................................178
20. Norland si Pembohong – M. Daffa R..................................................195
21. Kukira Ku Kan Bahagia – M. Najwal K..............................................201
22. Perjuangan Mencapai Suatu Keinginan – Nadya A. P........................206
23. Rana dan Rafa – Nisrina N. Q.............................................................209
24. Pudar – Novsya T. D............................................................................221
25. Ayo Dikit Lagi – Presti P. A................................................................227
26. Keenan dan Bintang Jatuh – Rahmi N. A............................................233
27. Bangkit Lagi – Raihan N.....................................................................240
28. Arifal Parengkuan – Regina I. M.........................................................243
29. Träumen – Reinetha R. W...................................................................263
30. Hidup yang Berarti – Rizki N. I. S......................................................272
31. Waktu – Sarah H..................................................................................278
32. Retorika Rasa – Sina S. R....................................................................302
33. Perintik Rindu – Syelvie I. R. M,........................................................316
34. Indahnya Hijab Indahnya Hidup – Waqi A. R.....................................326
35. Caroline – Yuli L.................................................................................329

36. Kasih Ibu – Zettira D. Z........................................................................335


Berlogika
Oleh : Adhitia Zain N

Pukul 16.15, seperti biasa aku pulang sekolah menggunakan bus


Transjakarta. Telah menjadi kebiasaanku dikelas sepulang sekolah, yaitu
mengganti baju seragam menggunakan baju kaos. Kenapa? Ya, telah kita ketahui
semuanya, Jakarta begitu pengap dan panas dengan polusi, sayang kalau baju
seragam ku terkena keringat karena panas dan bau asap karena polusi.

“Indonesia lagi kena adzab kayanya ya!” Seru seorang penumpang pria
kantoran yang sedang membaca artikel di handphone-nya.

Aku yang berdiri disamping pria itu, spontan meliriknya.

“Emang nya kenapa?” Tanya seorang wanita yang duduk disebelahnya.

“Liat aja nih!” Pria itu memperlihatkan handphone-nya “Banyak banget


bencana alam di Indonesia akhir-akhir ini, dari mulai banjir, tsunami dan bencana
lainnya. Apa ini mungkin karena banyaknya drama tentang Agama dinegara kita?
Atau karena kepemimpinan presiden kita yang melakukan banyak dosa? Atau
karena…..”

Perempuan disebelahnya langsung menyingkirkan handphone pria itu dari


pandangannya dan memotong perkataan pria tadi “Aduh! Sudahlah Roy! Gak
penting amat ngurusin yang kaya gini!”

“Pentinglah! Ini Negara kita, harusnya yang kena adzab yang ngebuat dosa
aja!” Tegas si pria.

“Yaudahlah, terserah kamu. Daripada ngedengerin argumen kamu yang


gak penting, lebih baik aku dengerin musik” Jawab si perempuan sembari
memakaikan earphone ke telinganya.
Aku yang sedari tadi melihat perdebatan mereka, hanya terheran-heran dan
bergumam dalam hati dan pikiran. Sebenarnya ada apa dengan Indonesia? Dan
sebenarnya siapa yang harus disalahkan?.

Selama diperjalanan hingga tibanya dirumah, aku dibuat heran dan berfikir
keras akan hal yang dibicarakan pria di bus tadi.

“Assalamualaikum” Salamku sembari membuka pintu “Bagas pulang!”

“Waalaikumsalam!” Jawab bunda yang sepertinya baru selesai masak,


karena datang dari arah dapur dan membawa piring yang berisi ayam goreng .

“Bun! Bagas mau nanya” ucapku sambil mengikuti bunda menuju ruang
makan.

Sudah jadi kebiasaanku, mengikuti Bunda dan mencium tangannya.

“Tentang apa? Matematika? Fisika? Ki…” Jawab bunda.

“Ih bukan bun”

“Terus apa?” Tanya bunda.

“Menurut bunda, apa Indonesia lagi kena adzab?” Tanyaku polos.

“Wushh..” Respon bunda.

“Cepat sini duduk!” Suruh bunda . “Keyla…!! Key, sini makan!” Ajak
bunda ke adikku.

“Iya bun” Jawab Keyla dengan suara imutnya.

“Eh abang, udah pulang!” Sapa Keyla.

Mendengar sapaanya dalam lamunan, aku hanya mengangguk mengiya


kan. Kepala dan pikiranku masih dibuat berpikir keras, penasaran dan
kebingungan.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu nanyain itu ke Bunda gas?” Tanya
bunda dipertengahan makan malam kami.

Aku yang mendengarnya, langsung menaruh sendok yang sedang ku


pegang dan segera menghabiskan kunyahan, karena begitu semangatnya.

“Gini bun, jadi tadi di bus…..” Aku menceritakan semua yang terjadi di
bus sore tadi, tanpa dikurang lebihkan.

Selesai bercerita, aku bertanya “Menurut bunda bener gak kalau Indonesia
kena adzab karena alasan-alasan tadi? Terus, Bunda heran gak sih sama mereka
berdua? Yang satu sangat ambisius sedangkan yang satu lagi begitu tidak peduli”

“Hadeuh..!! Pusing bunda kalau udah ngomongin orang Indonesia Gas,


kebanyakan orang Indonesia memang punya pikiran sedangkal itu, padahal udah
tahu bahwa apa yang terjadi didunia ini itu kehendak Gusti Allah”. Keluh bunda.

“Tapi bun..”

Bunda memotong ucapanku “ Nah kalau soal perbedaan respon orang-


orang tadi, itu biasa lah. Namanya juga manusia, gak ada yang sama. Lagian,
kalau bunda disuruh milih, lebih baik bunda jadi wanita itu yang cuek sama apa
yang terjadi, daripada sok ambisius tapi dengan argumen yang gak berbobot,
tambahnya lagi menyalahkan orang lain yang sebenarnya belum terbukti salah.
Kan itu namanya fitnah. Ngerti kamu?”.

“Ia, tapi bun…”

Bunda memotong pembicaraanku lagi “Udahlah, lebih baik sekarang


kamu habisin makanan kamu, terus mandi , bentar lagi adzan. Kalau kamu masih
penasaran dan butuh kejelasan, cari saja di internet apa yang sebenarnya terjadi,
dan cari fakta-fakta yang bersangkutan sama masalah yang kamu pertanyakan,
buat diri kamu membangun argument mu sendiri dari fakta-fakta yang telah kamu
cari nanti. Sekarang segala sesuatu udah mudah Gas, gunakan teknologi dan
semuanya bisa selesai.”
“Baiklah bun” Turut ku tak bersemangat.

Selesai shalat dan berdoa, segeralah aku membuka laptop dan


menyambungkan signal wifinya. Kutulis dilaman google Bencana yang terjadi di
Indonesia 2018 , tampilan paling atas tertulis 6 Bencana Alam Terparah yang
Terjadi di Indonesia Tahun 2018, dan klik. Dimulai dari Gempa di Banten,
Longsor di Brebes, Aktivitas Vulkanik Gunung Sinabung, Gempa di Lombok
Gempa dan Tsunami di Palu serta Banjir dan Longsor di di Sumatera semuanya
ada di artikel itu , dengan rincian kejadian beserta penjelasannya.

“Wah ternyata banyak juga yah, aishhh.. aku terlalu banyak baca novel
akhir-akhir ini jadi ketinggalan berita” Keluh ku sambil garuk-garuk kepala.

Tapi disemua artikel ini, gak ada yang ngejelasin sekaligus menyalahkan
bahwa semua yang terjadi karena Pemerintah, gumamku dalam hati.

“Ternyata yang dibilang bunda kalau orang Indonesia kebanyakan


beripkiran dangkal, gak bener! Toh aku nyari dibeberapa artikel gak ada satu pun
yang menyalahkan pemerintah!” gerutu ku sambil terus mengscroll timeline
mencari sumber lain.

Bahkan kalau dibaca dari tadi, justru orang Indonesia berpikirnya sangat
panjang dan dalam, dari mulai kondisi geografis, penjelasan letak Indonesia
yang strategis, Rings of Fire semua dijelaskan begitu rinci, gumamku lagi.

Pada akhirnya, aku membuat beberapa point alasan untuk argumen ku.
Hingga terciptalah argumenku sendiri mengenai permasalahan bencana alam yang
ada di Indonesia.

“Ya, sekarang aku setuju dengan bunda ! Kalau nyalahin pemerintah yang
salah atas semua bencana yang terjadi memang tidak dibenarkan” Ucapku sembari
menutup laptop dan membereskan segala alat tulis yang telah aku gunakan.
Walaupun aku mendapatkan argumen ku selarut ini, tapi aku puas. Karena
akhirnya aku dapat tertidur dengan nyenyak tanpa dihantu rasa penasaran yang
membuatku bertanya-tanya dan berpikir keras.

Waktu berlalu dengan kecepatannya, malam berganti pagi dan aku


melakukan aktvitas seperti biasa hingga berangkat kesekolah.

“Lo liat di Instagram gak?” Tanya Reza. “Tentang Negara ini kena adzab
gara-gara menghukum ahli agama?” lanjutnya.

Baru saja aku masuk kelas sudah mendengar omong kosong Reza ‘teman
lelaki tergosip dikelasku’.

“Wah, belum liat aku eung” Jawab Asep dengan logat sundanya.

Langsung saja aku mendekat ke mereka.

“Ada apa nih?” tanyaku sembari mengangkat alis. “Lagi pada ngutuk
negara sendiri yah?” ejekku.

“Apa sih lo Gas, kiat bukan lagi ngutuk negara. Tapi, kita lagi maparin
kesalahan negara kita yang menghukum ahli agama. Adzab itu jalan Gam!” jelas
Reza.

“Gini aja deh, pantes gak kalau kita ngomong ini adzab? Lo tau ini adzab
darimana? Lo dikasih tau sama tuhan emang?” Tanyaku.

“Ya enggaklah, ya nyimpulin kalau itu adzab ya nyamain sama kisah-kisah


umat rosul terdahulu yang diadzab, kan karena manusia-manusia yang bedebah
pada tuhan, mereka diberi adzab. Penyetaraanya sama kaya pihak pemerintah
yang ngebiarin ahli agama dihukum karena berdakwah, berbicara kebenaran.
Sedangkan, aparat pemerintah yang ketahuan korupsi , semua gempar dan
berlomba-lomba menyelamatkannya” ucap Reza sambil mengacung-acungkan
tanganya.
“Bisa gak sih lo dizaman modern ini berifkir yang lebih masuk akal? Gua
juga masih percaya adanya adzab, tapi gua gak berhak seolah-olah gua Tuhan dan
ngutuk Negara gua sendiri kena adzab, Lagian yah….”

Kringgg~

Bel masuk sekolah memutus penjelasan gua. Semua siswa seperti


keharusannya, masuk kelas masing-masing dan mengikuti jalannya pembalajaran.

Dringdringdring~

Bel istirahat bunyi.

“Za!” sapa ku, “gua mau nerusin omongan gua tadi, gak tenang gua!”
pinta gua.

“Ah Gas, udahlah peduli amat sama yang kaya gini, ini waktunya istirahat,
sayang kalau dipake debat”

“Gua bayar lo jajan satu minggu kalau lo gak berubah fikiran mengenai
Indonesia kena adzab” Tantang gua dengan pd-nya.

“Kull, gua terima !” Semangat Reza.

Reza nyamperin ketempat duduk ku , dan forum peryakinan argumen


dimulai.

“Za, kenapa sih lo mudah kebawa sama suasana media sosial?” Tanyaku.

“Bukan mudah kebawa, emang gua setuju kalau sama permasalahan yang
tadi Gas, lo juga harusnya setuju, secara lo kan anak yang taat agama banget,
masa loh gak percaya sama adzab yang diturunin sama Tuhan” Jelas Reza

“Can u tell your opinion with the logic reason first,please?” Tanya ku “
Za, gini yah, kalau lo mikir bahwa kejadian adzab disamain sama kisah-ikisah
umat bedebah zaman rosul, maka lo sala besar nyamain kejadian ini sama
kejadian-kejadian itu. Lo baca dengan bener gak sih? Itu bisa disebut adzab
karena jelas kesalahannya. Contohnya aja kaum Sodom dizaman nabi Luth, jelas
banget kesalahannya kan? dan itu bisa disebut adzab karena Gusti Allah sendiri
yang langsung berfirman langsung kepada nabi luth bahwa dia akan mengadab
kaumnya.” Jelas ku.

“Lo fikir, kesalahan negara kita gak jelas? Can you open your eyes as big
as earth? Udah gua jelasin juga tadi pagi, gak ngerti juga. Lo itu kan selain taat
agama, lo juga dapet peringkat bagus dikelas? Harusnya lo lebih pinter dari gua
dalam menyetujui argument” Sentak Reza.

“Ya itu, karena gua pinter, gua lebih ngutamain dulu penyebab yang logis
menurut keilmuan, bukan asal kata kaya lo tadi! Lo tau gak kondisi Indonesia ada
di Rings of Fire? Tau gak penyebabnya dari kondisi Indonesia itu?” Sentak balik
ku.

“Keren, orang pinter emang semuanya sama. Gua baru tau lo se sombong
itu Gas, taat agama lo dimata gua sekarang nol besar. Udah cukup, muak gua. Lo
gak perlu ngejajanin gua seminggu kedepan, gak sudi gua” Kata Reza, sembari
meninggalkan tempat dudukku.

“Bukan gitu maksdu…”

Ucapanku dipotong “Alah, udah berisik Gas!!” sentak Reza sembari


meninggalkan kelas.

Astaghfirullah, apa yang telah aku lakukan? Apa aku seburuk itu. Keluh
ku dalam hati.

Hari demi hari, waktu demi waktu berjalan dengan alurnya. Setelah
kejadian perdebatanku dengan Reza, banyak sekali teman sekelasku menjadi sinis
kepadaku. Sepertinya, Reza sang raja gosip memang membeberkan semuanya.
Dikelas, seringnya aku dikucilkan tanpa ada sapaan selama dua minggu dari
perdebatan itu.

“Gas maafin gua” Ucap Reza.


Aku yang sedang mencatat materi, spontan langsung menghentikan
pekerjaanku dan melirik keseblah kiri mejaku yang mana Reza tepat berdiri.

“Gua serius, gua minta maaf. Gua salah, karena gua udah ngikutin
generasi yang berfikiran dangkal jadi gua….”

Aku langsung berdiri dan menepuk pundaknya Reza.

“Udah lah za, gak apa-apa, lagian gua juga minta maaf karena kekesalan
gua kemarin ngebuat gua jadi terkesan sombong” Ucapku.

“Gak apa-apa, orang kesal biasa kalau gitu” Respon Reza.

“BTW, kenapa lo bisa setiba-tiba ini menyadari kesalahn lo?” Tanyaku


penasaran.

“Lo nonton TV atau liat di medsos atau baca artikel di internet gak?” Reza
tanya balik.

Sepertinya aku ketinggalan berita lagi. Gumamku dalam hati

“ehm..”

“Pasti enggak, lo terlalu serius belajar Gas, jadi beberapa hari lalu
diberbagai media membahas tentang bencana alam di Indonesia juga, yang mana
mereka para ilmuan mencari alasan kenapa semua bencana ini bisa terjadi. Yang
bikin gua kaget, ternyata hasil dari penilitian bilang bahwa Indonesia emang ada
dikawan yang ekstrim rings of fire, jadi gak aneh kalau banyak bencan. Diketahui
juga, kalau memang bencana-bencana ini sudah diprediksi sebelumnya di tahun
2013. Nah, dari situ gua sadar berarti semua bencana ini terjadi memiliki alasan
yang lebih keilmuan dan mudah dicerna logika, bukan seperti gua kemarin-
kemarin yang berpikiran dangkal dengan berbicara bahwa itu adzab dengan alasan
menyalahkan negara gua sendiri” Jelas nya sambil geleng-geleng kepala.

Noh kan bener, ketinggalan berita! Seruku didalam hati.


Selesai Reza menjelaskan, aku langsung membuka handphone dan
membuka laman situs berita dan ternyata benar, beberapa hari lalu para ilmuan
melakukan penelitian, mengadakan diskusi ilmuan dan mengungkap alasan
keilmuan mengenai bencana yang terjadi di Indonesia ini.

“Alhamdulillah, berarti dengan ini sedikitnya masyarakat Indonesia akan


sedikit maju dengan pikirannya, tidak sedangkal kemarin yang dengan mudah
mengutuk Negara tanpa alasan yang masuk logika” Ucapku berbisik keras.

“Nah Za!” Tepukku lagi kepundaknya, “Kalau kita udah sepemikiran,


berarti lo bisa bantu gua dong!”

“Apa?” Tanya Reza.

“Jadi gini, untuk lebih meminimalisir masyarakat Indonesia yang


berpikiran dangkal, kita viralkan kiriman atau artikel ilmuan yang membahas
alasan mengapa semua bencana ini terjadi. Terus, kita buat media donasi di
Internet untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena benca” Jelas ku.

“Setuju! Gua mau bantu” Seru Reza.

Kami pun mulai bekerja, yang awalnya pesimis menjadi optimis dengan
dukungan teman sekelas, teman sesekolah, guru keluarga dan masyarakat
Indonesia.

#daripadamengutuklebihbaikmembantu

#Indonesiaberfikiranmaju

Dua hastag yang kita buat menjadi trending di Indonesia dan beberapa
negara Asia Tenggara, laman twitter dan instagram dipenuhi postingan dengan
poster bertuliskan ‘Mari membantu Indonesia berpikiran maju ’dengan hastagnya.

E-mail masuk ! Nontifikasi dilayar hanphoneku.

Setelah kubuka, terkaget bukan kepalang. Aku diminta untuk mengikuti


wawancara pemuda berkarya disalah satu stasiun televisi. Aku pun menyetujui
dengan mengikuti wawancara tersebut, betapa bahagia dan bangganya aku ketika
mengucapkan ‘‘Negara kita akan maju apabila pikiran rakyatnya telah maju’’
kepada seluruh masyarakat Indonesia yang sedang menonton chanell yang
menayangkan wawancaraku.

Pada akhirnya, semua begitu indah. Didalam bus sepulang sekolah, sudah
tidak pernah kudengar lagi ocehan masyarakat yang mengutuk negaranya, yang
kudengar hanya kebanggaan masyarakat atas masyarakat yang dapat merubah
pikiran dangkalnya.

Masyarakat Indonesia nyatanya begitu hebat, mudah terbawa oleh


pengaruh baik dan mudah berubah kearah yang lebih baik. Namun, masyarakat
Indonesia pun nyatanya masih mudah termakan rumor yang belum jelas
kebenarannya, suatu sikap yang bercabang yang harus dibenarkan. Apabila
masih ada alasan yang berlogika, abaikan rumor yang belum pasti realita.
Tulisku diakhir artikel yang sedang kutulis.

Jemari bermain dan klik, uploading….

Uploaded !
Jendela Harapan
Oleh : Ahmad Shidiq S

Banyak orang yang bertanya mengapa aku selalu membiarkan jendela


terbuka setiap malam, bahkan ketika udara dingin di bulan November menusuk
tulang.

Mereka yang jendelanya tertutup saja masih menggunakan setidaknya


lima lapis pakaian untuk menghangatkan diri. Apa yang membuatku begitu
kuat? Jawabannya sangat sederhana ----- harapan.

Jendela yang terbuka mempertemukanku dengan "dia", membuatku


merasakan sebuah petualangan hebat yang bahkan aku sendiri sulit
mempercayainya. Membuatku merasakan apa itu cinta dan kapan saat yang tepat
untuk merelakan.

Jangan memintaku untuk menceritakannya lebih jelas karena kalian tidak


akan mengerti. Kisahku dengan-nya aku terdengar seperti dongeng picisan yang
pasti pudar dimakan waktu. Biar hanya hatiku yang mengukir kisah itu dan
menyimpannya rapat- rapat.

"Kau tidak akan melupakanku, 'kan?"

"Aku? Lupa? Tidak akan!" jawabnya begitu angkuh dengan tangan


menyilang di dada.

"Kau akan kembali?"

"Untuk mendengarkan kisah tentangku. Tentu saja."


Bocah berambut ikal itu lantas terbang lurus, menuju bintang kedua dari
Barat. Dengan senyum dan lambaian terakhirnya. Membawa semua kenangan
pergi ke Neverland, serta sebuah janji bahwa ia akan kembali.

Namun aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku membiarkan jendela kamar
tetap terbuka. Agar dia tahu aku disini senantiasa menunggunya, tanpa lelah,
tanpa mengeluh sekalipun.

Mata sayuku terbuka setiap kali ada gemerincing lonceng yang


menjadi tanda kedatangannya, tapi saat aku terjaga, itu hanya lonceng jam
yang menandakan tengah malam.

Terkadang di depan jendela, aku menceritakan tentang-nya kepada


anak-anakku. Sampai suatu hari aku melihat mereka menceritakannya
kembali kepada anak-anak mereka.

Sampai sekarang jendelaku masih selalu terbuka, bahkan sampai kapan


pun jendelaku akan tetap terbuka. Hanya untukmu. Oh, andai aku bisa melihatmu
untuk terakhir kali Peter.
Au Revoir
Oleh : Andrea Salsabila R

Dengan berat hati aku melangkahkan kakiku keluar dari tempat ini,tempat
yang bagiku seperti neraka. Orang-orang menyebut tempat ini dengan nama
“sekolah”. Sebenarnya,aku bersyukur bisa keluar dari tempat yang begitu
menyiksaku ini,tapi tetap saja aku tidak terima dengan cara mereka
mengeluarkanku. Iya aku memang orang yang biasa saja,tidak berguna,dan hanya
bisa mengganggu orang lain.Aku orang yang lemah. Saat seseorang menyakitiku
aku hanya bisa diam dan tidak bisa melindungi diri sendiri. Aku rasa,semua orang
di tempat ini membenciku. Tak satupun dari mereka yang bisa menghargaiku. Tak
ada satupun yang mau mendengarkanku saat aku mencoba menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi. Setiap ada masalah yang melibatkanku,selalu saja aku yang
disalahkan. Aku dikeluarkan dari tempat ini hanya karena aku tidak menuruti
perintah dari Clarin. Clarin itu anak kepala sekolah, sehingga saat aku tidak
melakukan perintahnya, aku akan dilaporkan kepada ayahnya yang memiliki
kuasa itu. Mungkin ayahnya yang berkuasa itu sudah tidak tahan lagi dengan
rengekan dari Clarin yang selalu saja melaporkanku yang tidak mau menuruti
perintah-perintahnya aku pun dikeluarkan dari sekolah ini.

Namaku Narada,diambil dari Bahasa Yunani yang artinya kuat atau


sungguh-sungguh. Orang yang memberi nama itu padaku pasti berharap aku bisa
menjadi orang yang seperti arti dari namaku. Tapi nyatanya? aku hanyalah orang
yang lemah. Bahkan orang yang memberi nama itu padaku membenciku. Saat ini
aku tinggal bersama ayahku yang tidak peduli padaku, ibuku pergi entah kemana
saat aku masih berusia lima tahun. Ketika ayah tahu aku dikeluarkan dari sekolah,
dia memarahiku. Aku disebut sebagai anak yang gak berguna dan hanya bisa
malu-maluin orang tua. Aku tidak merasa sedih saat ia berkata seperti itu,karena
aku sudah biasa menerima kata-kata yang lebih menyakitkan daripada itu dari
orang lain.
Setelah berbulan-bulan aku tidak sekolah karena tidak ada satupun sekolah
yang mau menerimaku, akhirnnya ada sekolah yang mau menerimaku ,sekolah ini
memang tak sebagus sekolahku yang lama.Sekolah ini bukanlah sekolah favorit
ataupun sekolah yang elite. Tapi aku berharap,semoga di sekolah ini orang-orang
bisa menerimaku.

Hari pertama masuk sekolah hari ini, aku sama sekali tidak merasa senang,
aku khawatir kejadian di sekolah lamaku akan terulang lagi disini. Dengan penuh
kekhawatiran aku masuk ke bangunan sekolah ini. Aku pun mencari kelas yang
katanya akan menjadi kelasku kata guru yang menerimaku di sekolah
ini.Akhirnya aku menemunkan kelas baruku, kelas 10 IPS 1. Pintunya sudah
tertutup karena memang sudah bel masuk daritadi.Aku mengetuk pintu kelas
ini.”Iya silahkan masuk”,kata seseorang yang di dalam. Aku pun membuka pintu.
“Ayo sini perkenalkan dirimu.” Ucap seorang guru yang sedang mengajar di kelas
itu.Aku pun masuk dan memperkenalkan diriku,”Namaku Narada.”. Aku tidak
tahu harus berkata lagi karena aku sangat merasa tidak percaya diri. Aku melihat
ke arah semua orang yang ada dikelas itu. Mereka semua bisik-bisik
membicarakanku, entah apa yang mereka bicarakan tentangku, yang jelas aku bisa
merasakan bahwa mereka berpikiran negatif tentangku. Setelah sekian lama aku
berdiri dan tidak mengatakan apapun lagi, guru itu memerintahku untuk duduk
“Narada,kamu bisa duduk dibangku yang paling belakang itu.” Aku pun duduk
disana. Sepanjang pelajaran, aku tidak bisa focus ,aku terus saja memikirkan apa
yang orang-orang pikirkan tentangku.Ah,rasanya aku ingin keluar dari tempat ini
kemudian kabur. Tapi tidak jadi kulakukan,karena akhirnya bel istirahat pun
berbunyi.Aku yang tidak memiliki teman dan belum kenal dengan siapapun hanya
bisa berdiam diri di bangku tanpa melakukan apa-apa. Tiba-tiba ada orang yang
menepak bahuku sambil berkata ”Hey!” Aku pun melihat ke arahnya. Ia pun
melihat ke arahku sambil tersenyum.”Namaku Ariadna,kamu Narada kan,salam
kenal.”ucapnya. Aku tidak menjawab perkataannya, karena aku tidak tahu harus
mengatakan apa, pikiranku kosong. Meskipun begitu, ia terus saja mengajakku
mengobrol.
“Boleh ya aku duduk dipinggir kamu?” katanya. Aku pun mengangguk
tanpa mengatakan sepatah kata pun. Setelah sekian lama keadaan awkward,
Ariadna mengajakku berbicara lagi. “Narada,kamu bisa panggil aku Ria,anna,atau
apa aja yang kamu mau.”ucapnya,”Kamu biasa dipanggil apa Narada?” tanyanya.
Aku pun terdiam sejenak, karena sebelumnya tidak ada seorang pun yang pernah
menyebutkan ataupun memanggil namaku dengan baik dan benar, biasanya di
sekolah lamaku mereka memanggilku dengan hinaan seperti si bodoh, autis, dan
lainnya. Saat aku akan bicara,tiba-tiba bel masuk berbunyi.”Aku mau balik lagi
kebangku ya Narada,nanti pulang sekolah kita ngobrol lagi. Ariadna pun pergi ke
bangkunya. Jujur saja aku merasa senang saat ada orang yang mengajakku bicara,
kayaknya Ariadna emang orang yang baik.

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Dengan semangat aku mengambil tas
ranselku dan menggendongnya, karena akhirnya aku bisa pergi. Aku pun berjalan
keluar kelas.”NARADA TUNGGU AKUU!!!!” Seru seseorang kepadaku, aku
menghentikan langkahku dan berbalik ke arahnya, ternyata itu Ariadna. Dia lari
menghampiriku sambil tersenyum.

“Narada rumah kamu dimana?” tanyanya.

“Di Perumahan Lavender”, jawabku.

“Wahh,searah dong sama aku, ayo pulang bareng.” ajaknya.

Aku pun menggangguk tanda setuju. Dia meraih tanganku dan


menggenggamnya sampai depan gerbang sekolah. “Itu disana.” katanya sambil
menunjuk sebuah mobil berwarna putih. Aku pun mengikutinya. Ariadna
membuka pintu mobil itu kemudian ia masuk.”Narada sini masuk.”ajaknya
padaku. Aku pun masuk ke dalam mobil itu.”Pak ke Perumahan Lavender dulu
ya.” kata dia kepada supirnya.”iya neng.” jawab supirnya.

“Narada jadi nama panggilanmu apa?” Tanya Ariadna.


“Kamu bisa manggil aku Nara.” Jawabku. Sepanjang perjalanan kita pun
mengobrol membicarakan tentang sekolah, ternyata Ariadna orang yang asyik.
Setelah sampai di depan rumahku aku pun pamitan pada ariadna dan supirnya

“Ria, Pak, aku turun dulu ya, makasih tumpangannya,hehe.” kataku.

“Iya Naraa,besok kita pulang bareng lagi yaa.” Jawab Ariadna.

Aku pun meng-iyakan sambil melambaikan tangan, Ria pun pergi. Sejak
saat itulah aku pikir kami mulai berteman.

Hari-hari pun berlalu, aku dan Ria pun semakin dekat, kita sudah seperti
sahabat yang selalu bersama - sama kemanapun, dan saling bercerita satu sama
lain kalau tentang hal apa saja yang dialami. Orang tua Ria pun sudah
menganggapku seperti anaknya. Setiap hari,aku selalu berkunjung ke rumah Ria,
bahkan saat hari libur pun aku tetap berkunjung ke rumahnya. Setiap dia dan
keluarganya pergi berlibur,aku selalu ikut.

Ria itu orangnya cantik, baik banget ,cerdas ,keluarganya harmonis tidak
seperti keluargaku, dan semua orang pasti menyukainya. Meskipun dia
sesempurna itu dan gak pernah jahat padaku, entah mengapa aku membencinya,
padahal dia temanku satu-satunya.Bahkan, aku tidak bisa menganggapnya sebagai
temanku padahal dia udah baik banget sama aku. Entah mengapa, setiap orang-
orang berbicara padanya, dia mendapat nilai bagus,orang tuannya memperlihatkan
kasih sayang padanya aku merasa tambah membencinya. Aku selalu saja merasa
kesal padanya, meskipun tidak kutunjukan. Mungkin aku merasa iri pada
kehidupannya yang nyaris sempurna, tidak seperti kehidupanku yang buruk?
Entahlah.Sebenarnya,aku tidak tahan berteman dengannya karena aku selalu
merasa kesal yang aku sendiri pun tidak mengetahui sebab jelas mengenai hal itu.
Tapi,karena tidak ada orang lain yang mau menemaniku selain dirinya, aku pun
terpaksa selalu mengikuti dan selalu berada disampingnya. Aku terpaksa
melakukan semua itu. Setiap aku bersamanya,aku selalu saja pura-pura bahagia
dan senang berada di sampingnya. Dari hari ke hari rasa benciku padanya terus
saja bertambah.
Setelah satu semester berlalu,aku pun naik kelas ke kelas sebelas, yang
artinya aku akan pindah kelas karena sistem di sekolah ini kelas diacak satu tahun
sekali. Pindah kelas sama artinya dengan aku akan berpisah dengan
Ariadna,”YAY FINALLY.” kataku dalam hati. Tapi,saat di depan Ariadna aku
harus pura-pura merasa sedih harus berpisah kelas dengannya,pikirku.Tiba-tiba
Ariadna datang memecah lamunanku.”AHH NARA KITA HARUS PISAH
KELASS,AKU SEDIH BANGETTT.” Ucapnya padaku. Aku diam sejenak,
sambil berusaha menyembunyikan senyumku darinya. “Ah iya Ria, aku juga
sedih.” Ucapku sambil berpura-pura akan menangis. Ria pun memelukku,
sebenarnya aku tidak mau, tapi apa boleh buat aku merasa harus
melakukannya,karena jika tidak dia akan berpikiran negatif tentangku. Perasaan
dan perilakuku sangat bertolak belakang saat aku bersama Ria, termasuk saat ini
yang sedang aku lakukan. Aku sedikit capek terus berpura-pura seperti ini, aku
pun berbicara padanya sambil melepaskan pelukan

“Ah Ri, aku mau ke WC dulu ya gak kuat kebelet.”,

”Oh iya Nar, mau aku temenin?” tawarnya padaku.

”Gak usah Ria, byeeee.” kataku padanya.

Aku pun langsung lari dan meninggalkan Ria.

“Akhirnya aku aku bisa lepas.”pikirku.

Seperti biasa, kenaikan kelas itu identik dengan libur. Sekolahku juga
meliburkan murid-muridnya selama 1 bulan. Aku merasa senang sekali, meskipun
di rumah aku merasa gabut atau bosan karena gak ada kerjaan yang bisa aku
lakukan, setiap kali Ria mengajakku untuk bermain, aku selalu menolaknya
dengan berbagai alasan, seperti aku gak bisa karena sakit, aku harus jagain
rumah,aku dilarang ke luar rumah oleh ayahku, dan kebohongan-kebohangan
lainnya yang aku lakukan untuk menghindari ajakannya. Sejujurnya,aku merasa
sedikit tidak enak pada Ria, akan tetapi aku terus melakukannya karena aku
merasa tidak nyaman dan tidak tahan saat bersamanya.
Liburan pun berakhir, aku merasa sedih sekaligus senang. Sedihnya karena
aku harus kembali lagi ke rutinitas melelahkan yang biasa aku lakukan dan
senangnya karena aku akan berpisah dari Ria. Aku pun berangkat ke sekolah
dengan ceria. Sesampainya di sekolah, aku mengecek mading untuk melihat aku
akan ditempatkan di kelas yang mana,dan tentu saja aku berharap tidak sekelas
lagi dengan Ria.”YAYYYY!!!!!”sorakku. Semua orang melihat ke arahku karena
aku teriak terlalu keras saking senangnya. Tapi aku tidak peduli muahahahaha,
aku merasa sangat senang karena aku tidak sekelas lagi dengan si Ria itu,
akhirnya aku bisa terbebas darinya. Kemudian aku pun pergi dari mading menuju
ke kelas baruku, XI IPS 3. Aku berjalan menuju ke kelas dengan hati yang sangat
riang, mungkin aku jadi orang yang paling bahagia di dunia hari ini. Tiba-tiba aku
berpapasan dengan Ria dijalan, aku langsung mengubah ekspresiku dari awalnya
yang sumringah menjadi pura-pura murung. Ria pun menghampiriku.

“Yah Narrr,kita gak sekelas aku sedih banget.” Ucapnya padaku.

“Tapi aku seneng,hehe.” ucapku dalam hati. Yakali aku bilang kayak gitu
secara langsung ke dia.

“Iya Ria, aku juga sedih banget, eh BTW aku mau ke kelas yaa.” kataku
karena ingin segera mengakhiri pembicaraanku dengannya.

“Iya Narrr,semoga kamu bisa dapet temen ya disana, jangan lupain aku.”
ucapnya.

“Iya Ria.” kataku seraya pergi meninggalkannya.

Aku pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas baruku. “Ini dia
kelas baruku.” kataku dalam hati ketika melihat kelas ini yang didepannya tertulis
“XI IPS 3”. Saat aku melangkahkan kakiku masuk ke kelas, tiba-tiba ada yang
menyentuh punggungku dari belakang. Aku menghiraukannya karena aku pikir
dia tidak sengaja. Tapi ia terus saja mengikutiku dari belakang. Aku pun menoleh
kepadanya,lalu bertanya

“Ada apa?”
”Kamu Narada kan?” tanyanya memastikan.

”Hah? darimana dia tau namaku, perasaaan aku gak kenal dia” pikirku.

”Hmm, iya.”jawabku.

“Sebangku yuk?” tawarnya padaku.

Aku pun mengangguk tanda aku mengiyakan tawarannya. Kami pun


duduk di bangku yang paling belakang karena semua bangku yang di depan udah
terisi penuh.

“Narada, kenalin nama aku Adora, dari kelas X IPS 2.” katanya.

”Ohh iyaa.” jawabku.

”By the way, kamu biasa dipanggil apa? Nara, Nada, Dara atau apa?”,
tanyanya.

“Nara”,jawabku.

”Ohh, okay. Aku mau panggil kamu Nara aja yaa.”

”Kamu bisa panggil aku Ador, Dora atau Dor, hehe.”katanya.

”Iya Dor.” Kataku sambil tersenyum.

”Eh Nara, kamu temennya Ariadna kan?”tanyanya.

Sialan, kenapa dia menyebutkan nama itu didepanku,batinku.

”Hehe,iya. Kok kamu bisa tau Dor?” Tanyaku.

Dia pun menjawab,

“Siapa sih di sekolah ini yang gak kenal sama Ariadna. Aku yakin semua
orang di sekolah ini pasti tau yang namanya Ariadna. Masa kamu gak tau sih,
padahal kamu kan temennya.”Jelasnya.
Ya ya ya, tentu saja aku mengetahui hal itu, tapi aku tidak mau
mengakuinya karena aku tidak suka jika dia disukai semua orang seperti itu,
ngedenger si Dora ini ngomongin Ariadna kaya gitu, ngebuat aku nyiptain first
impression aku ke dia tuh jadi buruk banget, aku jadi sedikit kesel sama Adora.

“Iya aku tau.” jawabku pada Adora sambil memperlihatkan fake smile
karena aku merasa tidak senang mendengarnya. Bel masuk kelas pun berbunyi,
semua murid kelas XI IPS 3 masuk ke dalam kelas.

Aku ngerasa keadaan kelas XI IPS 3 ini suasananya jauh lebih nyaman
dibandingkan kelasku yang lama, X IPS 1 karena gak ada Ariadna. Disini juga
keliatannya sih orang-orangnya baik-baik, gak banyak tingkah kayak anak IPS
yang biasa diomongin sama orang lain. Semoga aku terus betah dikelas ini.

Gak terasa, hal-hal yang aku nantikan sejak daritadi pun tiba, bel berbunyi
tanda pulang. Aku pun langsung pulang ke rumah, gak kemana-mana dulu seperti
biasanya, bedanya kali ini gak bareng Ariadna. Aku merasa senang walaupun
pulang dengan berpanas-panasan di angkutan umum, tidak seperti saat bersama
Ariadna yang pulang menggunakan mobil pribadi yang full AC.

Berbulan-bulan pun berlalu, aku, Adora,dan temannya Adora yang


sekarang menjadi temanku juga, Leandra menjadi semakin dekat. Kemana-mana
dan ngelakuin apapun suka bareng. Aku nyaman bersama mereka, walaupun
mereka orang biasa gak kayak Ariadna.

“Eh Nara, Ariadna itu sebenernya orangnya kayak gimana sih?”tanya


Leandra padaku.

Aku menjawab, ”Hmm, gimana ya aku gak bisa bilang sama kalian, kasian
dianya.”

”Lah emangnya dia kenapa Nar? yang aku liat sih dia orangnya baik
banget, udah gitu pinter, kayak gak punya kekurangan.”Adora bertanya.

“Ahh,aku gak bisa ngasih tau kalian.”kataku.


”Ih kasih tau aja kenapa, gapapa kali? sans aja, iya kan Dra?”

”Iya Nar kasih tau aja.” Jawab mereka.

“Tapi kalian janji ya, jangan bilang sama siapa-siapa soal ini.” kataku.

Mereka pun mengiyakan.

“Jadi gini ya, sebenernya Ariadna itu gak sebaik keliatan dari luarnya,

“Tiba-tiba Leandra memotong pembicaraanku”

“Hah, maksud kamu apa?”

“Ya jadi dia tuh dari luar emang keliatannya kaya yang baik, tapi kalian
gak tau kan kelakuan asli sama keluarga dia tuh kaya gimana?”

“Sebenernya tiap ulangan itu, dia selalu pake kunci jawaban, makanya
nilainya selalu bagus, terus udah gitu dia tuh suka pura-pura baik sama aku kalau
didepan orang-orang. Padahal aslinya, dia tuh jahat banget sama aku, aku ngerasa
aku itu pesuruhnya dia, dia suka nyuruh aku ini lah itu lah, mentang-mentang dia
punya segalanya.”

“Ah masa sih?”Leandra meragukan.

”Dengerin dulu sampai beres, baru boleh komen yahhh.”kataku,

”okay” kata Leandra.

”Aku selalu direndahin sama dia, terus dia itu sebenernya orangnya
tempramen. Sedikit-sedikit marah, kalau ada yang dia ngga suka dikit langsung
marah, ada orang yang gak sependapat sama dia, dia marah meskipun gak
ditunjukin di depan orang-orang, tapi dilampiasinnya ke aku.”

”Udah gitu,kalian tau kan ayahnya itu pejabat? ayahnya itu sebenernya
korupsi makanya keluarga dia bisa kaya. Terus sebenernya ibunya Ariadna itu
selingkuh. Udah yah aku gak bisa ngelanjutin lagii.” kataku sambil menundukan
kepala, aku berbohong kepada mereka tentang Ariadna agar mereka juga
membenci Ariadna sama sepertiku.

”Ahh gak nyangka aku, ternyata dia tuh sebenernya orang yang jahat dan
selicik itu ya, untungnya kamu gak sekelas lagi sama dia Nar.” Kata Adora.

Aku pun mengangguk sambil menundukan kepala dengan wajah yang


memelas. Mereka pun memelukku, karena mereka percaya padaku bahwa aku
diperlakukan seperti itu oleh Ariadna, mereka iba padaku. Padahal aku hanya
berbohong saja.

Seperti virus, gosip itu mudah menyebar. Sudah menjadi rahasia umum
kalau cewe itu biasanya gak bisa ngejaga rahasia, bilangnya sih “Iya aku gak akan
bilang siapa-siapa” tapi taunya nyebar gitu aja. Bilangnya,”Ini rahasia” tapi
nyatanya dibilangin ke semua orang. Gosip tentang Ariadna ini juga sama, tiba-
tiba menyebar aja ke satu sekolah. Saat Ariadna datang ke sekolah, semua orang
menatapnya dengan sinis sambil bisik-bisik. Ariadna yang gak tau apa-apa dia
jalan dengan santai. Saat dia menyapa orang-orang,yang biasanya orang-orang
menyapanya balik dengan senang hati, sekarang mereka tidak balas menyapanya
dan menatapnya penuh kebencian. Ariadna heran, dia gak tau kalau gosip buruk
tentangnya menyebar ke satu sekolah. Aku melihat hal itu merasa
senang .”Muahahahahahahah rasakan itu.” batinku. Aku terus saja memantau
bagaimana keadaan Ariadna setelah gosip itu tersebar. Saat Ariadna masuk ke
kelasnya, yang biasanya orang-orang menyambutnya, sekarang berbeda, mereka
semua langsung membuang muka saat Ariadna datang. Bahkan,teman sebangku
Ariadna pun gak mau sebangku lagi sama Ariadna, jadi dia duduk sendirian di
kelas. Seharian dia berdiam diri di kelas sambil merenung, kayaknya dia mikirin
apa yang ngebuat orang-orang jadi berubah padanya, padahal dia gak ngerasa
ngelakuin kesalahan apa-apa pada mereka.

Handphone ku berdering seperti ada yang meneleponku, aku pun


membuka Handphone ku tertulis, Ariadna is calling you. Aku pun
mengangkatnya.
“Halo Ria ada apa?” tanyaku. Tapi dia gak ngejawab,aku hanya bisa
mendengar tangisannya.

“Ada apa?” tanyaku lagi, pura-pura tidak tahu.

”Shh,hiks…ke…ke…napa ya semua orang jadi berubah sama aku.”


katanya sambil terisak.

”Berubah gimana Ri?” tanyaku.

”Eh bentar ya Ria, aku lagi sibuk, udah dulu yaa.” kataku sambil
mematikan teleponnya.

Aku merasa senang sekali melihat dia kesusahan seperti itu, maaf ya
Ariadna hehehe.

Hari demi hari berlalu .Gosip tentang Ariadna yang tersebar bukannya
membaik,malah tambah memburuk.Orang-orang semakin berpikiran negatif
tentang Ariadna, apalagi ceritanya malah tambah yang macam-macam. Ariadna
merasa sangat tertekan, dia kayaknya bingung darimana asal gosip itu. Saat ia
ingin membela diri, dan ingin menjelaskan bahwaa gosip itu hanyalah fitnah
,orang-orang mengabaikannya. Aku yang hanya memperhatikan merasa
rencanaku berhasil.

Hari ini ternyata Ariadna gak pulang ke rumah, Aku tau soalnya ditelepon
ibunya Ariadna, yaudah aku bilang aja kalau Ariadna pergi sama pacarnya. Maaf
ya Ria, aku pengen kamu hancur.

Seminggu kemudian aku denger dari temen sekelasnya sih, Ariadna udah
seminggu gak masuk sekolah. Pantesan aja selama seminggu ini aku gak ngeliat
dia. Jujur saja aku merasa senang.

Saat aku pulang sekolah, aku ngerasa ada orang yang ngikutin aku
daritadi. Karena aku takut, jadi aku lari biar cepet nyampe ke rumah. Sesampainya
di rumah, ada yang ngetuk pintu. Saat aku buka,ternyata itu Ariadna.
“Aku kecewa sama kamu Nara.” Katanya sambil menangis.

“Hah? maksud kamu?” tanyaku.

“Aku tau kamu yang nyebarin semua fitnah di sekolah itu tentang aku, aku
juga tau kamu yang fitnah aku ke Ibu aku kalau aku pergi sama pacarku malem-
malem padahal aku gak punya pacar. Makasih ya Nara kamu udah ngancurin
hidup aku. Orang tua aku cerai gara-gara hal itu. Aku kira selama ini kamu
sahabat aku, tapi nyatanya kamu gini,S ekali lagi makasih ya Nara, Aku gak bisa
marah sama kamu karena aku masih nganggep kamu sahabat aku, bye.” katanya,

Kemudian ia berlari meninggalkanku.”ARIADNA TUNGGU AKU BISA


JELASIN.” kataku,tapi dia tidak mendengarku dan pergi begitu saja. Aku
senang,tapi entah kenapa aku ngerasa sedikit bersalah. Tapi ngga apa-apa kali ya
nanti juga dia baikan.

Keesokan harinya,pas aku ngebuka grup angkatan aku baca,”Inalillahi wa


inna ilaihi raajiun, Ariadna meninggal karena gantung diri kemarin malem,baru
ketemu tadi pagi sama orang tuanya.”.DEG!!! saat aku baca itu, aku emang benci
sama dia, tapi aku gak nyangka dia bakal ngelakuin hal itu, Maafin aku Ariadna.
Aku pun berangkat ke sekolah dengan penuh rasa bersalah. Tiba-tiba Leandra
mengampiriku.

“Kamu udah denger kabar Ariadna gantung diri belum? kasian ya dia, tapi
dia gak nyadar apa kalau dia itu salah?”

”Iya ya, masa kaya gitu doang dia bunuh diri sih.”sambung Adora.

Aku pun hanya terdiam tanpa mengatakan apapun. Sepulang sekolah,aku


datang ke makamnya Ariadna untuk meminta maaf. Saat di makam, aku bertemu
dengan ibunya Ariadna,

“Maafin Ariadna ya kalau selama ini dia banyak salah kamu Nara.”kata
mamanya. Ugh,aku ingin mengakui kesalahanku tapi rasanya berat sekali.

“Iya tante gak apa-apa.”kataku dengan watados.


Setelah dari makam aku pun pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya, hari
ini ayahku pulang ke rumah.”Nara kita makan malam yuk.” ajak ayah padaku
tidak seperti biasanya. Aku pun mengangguk dan langsung duduk di meja
makan.Tiba-tiba aku seperti melihat bayangan Ariadna disampingku dan berkata
“mati kau,mati kau,mati kau.”,okay aku biarkan,tapi semakin lama semakin sering
itu terngiang ditelingaku. Aku pun berteriak “DIAMMMM!!!”,ayah pun
menatapku dengan aneh.

”Lah kenapa, kamu gila?”ucap ayah.

“BERISIKKK!!!” teriakku lagi.

“Kamu berani ya sama ayah?”ucap ayah.

Tapi yang terdengar di telingaku hanya kata-kata dari Ariadna, lebih


tepatnya halusinasiku yang berkata “mati kau,mati kau,mati kau.” Ayah merasa
kesal dan pergi meninggalkanku. Aku terus saja berhalusinasi tentang Ariadna
yang membuatku tidak bisa tidur.

Keesokan harinya,aku pergi ke sekolah meskipun aku kurang tidur karena


halusinasi. Tapi seenggaknya aku udah gak berhalusinasi lagi. Sesampainya di
sekolah, orang-orang sibuk membicarakan tentang Ariadna. Hal itu membuatku
berhalusinasi lagi Ariadna datang kepadaku dan mengatakan “mati kau,mati
kau,mati kau.”,aku menahan diri agar tidak terpancing berteriak karena
halusinasiku.Tapi itu terus saja muncul, aku tidak tahan lagi, aku berteriak di
lapang sekolah.”PERGI KAU,JANGAN GANGGU AKU LAGI.” Semua orang
langsung melihat ke arahku.Aku berteriak lagi karena halusinasi ini masih
menggangguku,”BISA DIEM ENGGAK?” Semua orang langsung
membicarakanku.Aku pun lari ke kelas.

Setiap ada suatu hal yang mengingatkanku pada Ariadna, pasti halusinasi
itu akan muncul.Bahkan ketika di kelas sekalipun.”PERGI KAU JANGAN
MACAM-MACAM.” semua orang langsung meilhatku dengan sinis, Bu Rika,
Guru Fisika langsung mengusirku keluar,”PERGI KAMU NARA JANGAN
GANGGU SAYA SEDANG NGAJAR.” Aku pun pergi keluar kelas.Aku pun
terus dihanntui oleh halusinasi itu. Saat istirahat tiba, Leandra dan Adora
mengahampiriku,

“Kamu gila ya Nara? aku malu temenan sama kamu, suka gak jelas.” kata
Adora sambil meninggalkanku pergi bersama Leandra. Ya aku pun pasrah saja,
tidak bisa menyangkal bahwa mungkin aku ini “gila” karena aku terus dihantui
rasa bersalahku pada Ariadna.

Sebulan setelah kematian Ariadna, aku masih behalusinasi tentangnya.


Aku masih merasa bersalah padanya. Semua orang pun menjauhiku, karena
mereka menganggapku gila. tiba-tiba grup angkatan rebut, gak kayak biasanya
yang suka sepi. Aku pun baca ada yang bilang “Tau gak guys ternyata selama ini
gosip yang tersebar tentang Ariadna itu bohong, itu semua cuma bualan Nara,
temen deketnya dulu, Aku tau ini dari mamanya Ariadna, katanya mamanya nemu
surat terakhir dari Ariadna sebelum dia meninggal. Kata mamanya dia udah
ngelaporin Nara ke polisi atas pembunuhan direncanakan, kalau ada yang ketemu
Nara bilang ya sama mamanya Ariadna, Makasih.” Aku shock membaca itu. Aku
semakin merasa bersalah pada Ariadna. Karena shock dan takut ,aku pun tidak
berani keluar rumah atau pun pergi ke sekolah, aku hanya berdiam diri di rumah
karena takut ditangkap polisi.

Semakin hari rasa bersalah ku pada Ariadna semakin besar, apalagi semua
orang yang terus menerus membicarakanku di Grup Angkatan semakin
membuatku tertekan .Aku menjadi buronan polisi. Aku pun mencari obat tidurku
yang ada di lantai bawah. Aku tau ini bunuh diri bukanlah jalan yang terbaik, tapi
aku rasa aku sudah tidak tahan dan aku ingin menebus rasa bersalahku kepada
Ariadna selama ini.

Ariadna maafkan aku. Aku udah ngebuat kesalahan yang besar sama
kamu. Aku harap kamu bisa maafin aku meskipun aku udah jahat banget sama
aku. Ariadna makasih selama ini kamu udah baik sama aku meskipun aku gak
bisa ngebales kebaikan kamu dan malah jahat sama kamu.Ariadna makasih,
selama ini kamu udah menjadi teman terbaik selama aku hidup di dunia ini.
Ariadna aku ngucapin terimakasih sebesar-besarnya. Kamu satu-satunya orang
yang mau nerima aku jadi temen kamu. Semoga dengan ini aku bisa menebus
kesalahanku .

Aku menenggak satu botol obat tidur sambil menangis.

Aku mengucapkan kata kata-terakhirku,

Au revoir.
Relikui Kematian
Oleh: Ar Rumaisha Zahra

Philadelphia, salah satu ibu kota terbesar di Amerika Serikat yang kini
menjadi tempat tinggal seorang Ashlyne Axton, putri dari kedua pasangan
tersohor salah satu pengusaha kaya yang telah mengembangkan sayapnya dan
tentu saja pengaruhnya ke luar Amerika yaitu Gerald Axton dan istrinya Angeline
Axton.

Memandang kearah langit malam menjadi kesukaannya untuk merasakan


dunia yang tak dapat dijangkau oleh Ashlyne karena sejak kepergian ibunya
rasanya dunianya pun ikut pergi bersama jiwa orang terkasihnya itu.

Sepertinya untuk sekarang dia tidak akan keluar menuju balkon sekedar
memandang langit malam karena diluar salju sedang turun untuk yang pertama
kalinya dan menyebabkan jiwanya pun ikut membeku. Yang sekarang dapat ia
lakukan hanya berdiam diri di dalam kamarnya dan berlatih untuk proyek
sekolahnya pada malam natal nanti. Rencananya ia beserta teman-temannya akan
menampilkan drama musikal bertajuk Swan Lake sebagai penghangat malam
natal bersama kerabat yang akan datang untuk menonton pertunjukkan tersebut.

Maka dari itu, ia dengan sungguh-sungguh menghapal dan mengulang


rekaman dialog yang direkam oleh salah satu sahabatnya yaitu Luna yang dengan
senang hati tentu saja membantunya. Sudah hampir sebulan lamanya ia berlatih
jauh-jauh hari agar menghindar kesalahan saat ia tampil nanti karena ayahnya
yang super sibuk itu akan meluangkan waktunya nanti untuk datang dan ia tidak
ingin mengecewakan ayahnya yang sudah berusaha meluangkan waktu untuknya
itu spesial malam natal nanti, padahal teman-temannya saja pada saat itu masih
bingung membahas apa yang akan ditampilkan nanti di panggung teater.

Disaat ia memejamkan matanya mencoba untuk jatuh ke alam mimpi, ada


seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Jika ia tidak menghapal dan
mengetahui derap langkah siapa itu dapat dipastikan orang itu akan ia sumpal
menggunakan bantal. Orang itu pun mendekati peraduannya dan berhenti tepat di
samping ranjangnya sembari mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.

“Sudah kuduga kau telah tertidur, kalau begitu tidurlah yang nyenyak.
Daddy merindukannmu dan maafkan Daddy Ash.” ucap seseorang itu yang
memasuki kamarnya tadi tanpa izin adalah ayahnya, Gerald Axton sembari
mengecup kepalanya setelah membisikkan kalimat tersebut dengan nada sedih
yang tersirat. Lalu terdengar olehnya suara pintu yang menutup dengan pelan. Ia
tau kebiasaan ayahnya jika sudah pulang ke rumah pasti hal pertama yang
dilakukannya adalah menemui dirinya terlebih dahulu dan mengucapkan kalimat
pengantar tidur. Ashlyne pun membuka matanya perlahan dan termenung
memikirkan kalimat terakhir ayahnya yang tidak pernah ayahnya ucapkan saat ia
berpura-pura tidur setiap malamnya. Firasatnya menunjukkan hal yang tidak baik
akan datang sebentar lagi, akan tetapi semakin dia memikirkannya hal apa itu
membuat kepalanya makin pusing dan mengantuk karena lelah berpikir akhirnya
ia pun tertidur.

...

Seberkas cahaya tampak mengusik tidur pulas seseorang yang masih


terlelap dan mengarungi mimpinya itu, memberikan tanda bahwa sang rembulan
telah tergantikan oleh sang mentari. Menggeliat dengan pelan sembari
mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang memasuki rentinanya dan
menunggu kesadarannya terkumpul. Setelah itu hal pertama yang dia lakukan
adalah mandi terlebih dahulu sebelum memulai aktivitasnya di hari itu.

Tidak butuh waktu yang lama mempersiapkan dirinya untuk mengawali


hari, setelah ia siap dengan pakaiannya tanpa berpikir panjang lagi ia segera turun
menuruni tangga lalu sarapan seorang diri karena ia tahu ayahnya telah pergi
bekerja terlebih dahulu pastinya saat ia masih terlelap sebab ayahnya harus
bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan perusahaan yang dinaunginya agar
cepat selesai dan tidak menumpuk saat beliau akan meluangkan waktunya saat
malam natal tiba nanti dua bulan lagi.

Setelah sarapannya habis, Ashlyne bergegas menuju halte bus yang tidak
jauh dari mansionnya karena ia tidak ingin diantar oleh supir keluarganya ke salah
satu tempat untuk menghilangkan rasa penatnya selama musim dingin di salah
satu cafe milik paman Dominic yang merupakan teman dekat mendiang
ibundanya dulu. Saat Ashlyne sampai di tempat tujuannya ia pun masuk kedalam
cafe tersebut yang disambut oleh suara gemerincing bel di atas pintu saat pintu
cafe terbuka dan ia langsung menemui paman Dominic untuk sekedar
menyapanya terlebih dahulu dan pergi menuju ke arah dapur dimana paman
Dominic sedang membantu karyawannya disana untuk memantau keadaan dapur
dan pesanan pelanggan.

“Hai paman selamat pagi, sepertinya kau sedang sibuk?” ujar Ashlyne
sambil menyembulkan kepalanya di celah pintu dapur tidak berniat menghampiri
untuk menganggu pria itu.

“Oh selamat pagi juga Ash akhirnya kau datang, yah seperti yang kau lihat
nak pria paruh baya ini sedang berperang bersama kompor untuk melawan
daging-daging ini.” Ucap pria itu sambil melirik sebentar untuk menemukan
keberadaanya dan kembali berkutat dengan pekerjaanya itu.

“Owh paman... kalian tampak serasi saat bersama” jawab Ashlyne disertai
kekehannya bermaksud menggoda paman Dominic yang memang belum menikah
hingga sekarang.

“Ashlyne, paman tidak ingat kapan terakhir kali paman mengasah pisau
daging ini. Sepertinya akhir-akhir ini tangan paman terasa sangat pegal hingga
ingin melemparkan pisau ini kesiapa saja” ucap paman Dominic yang
melemparkan glare kepadanya yang disambut dengan kerlingan mata dari
Ashlyne.

“Sampai jupa paman, aku sibuk.” Teriak Ashlyne mengambil langkah


seribu menghindari tomat yang dilempar oleh pamannya itu.

“Dasar anak itu. Ah andai saja kau masih disini Eline, aku tidak perlu
melihatnya tumbuh dalam kesepian.” Ucap paman Dominic sembari bergumam
dan menerawang ke arah jendela didepannya.

...

Tak terasa malam pun tiba, Ashlyne segera pergi ke bilik khusus karyawan
untuk mengganti seragam waiternya dan berganti shift malam. Tentunya ia sudah
sangat familiar dengan tempat ini karena Ashlyne sering diajak kemari bersama
ibunya sekedar bernostalgia sebab berkat paman Dominic lah ibunya
dipertemukan dengan ayahnya saat sedang bernyanyi di sana. Satu hal yang dia
sukai di tempat ini adalah piano milik mendiang ibundanya hadiah pertama dari
sang ayah masih dibiarkan disana sebagai salah satu kenangan terakhir ibunya.

Setelah mengganti setelannya menjadi gaun yang biasanya memang


tersedia disana untuknya, ia pun menuju panggung kecil di sudut cafe
menghampiri piano mendiang ibunya yang terletak disana lalu memainkannya.
Hanya dia yang diperbolehkan untuk memainkan piano tersebut sebab ia tidak
ingin ada tangan lain selain ia dan ibunya mengotori kenangan piano tersebut.

Alunan demi alunan melodi yang berdentang menghantarkan rasa tentram


tersendiri bagi Ashlyne. Ia seperti dapat merasakan kehadiran ibunya disana di
saat ia memainkan salah satu musik instrument milik Tchaikovsky berjudul Lake
in The Moonlight favorit mendiang ibunya tiap kali pergi kesini dan memainkan
pianonya. Ke khusyuannya dalam memainkan instrument tersebut membuatnya
tidak sadar bahwa Ashlyne sedang diperhatikan oleh sepasang mata yang
mencoba mengenali sosoknya yang sedang bermain piano, akan tetapi
pandangannya terputus ketika keluarga orang yang memperhatikan Ashlyne
akhirnya datang ke meja yang telah dia duduki dan pesan sebelumnya.

“Kak apa yang sedang kau perhatikan hingga tidak menyadari kami dari
tadi telah sampai disini?” tanya seorang gadis remaja yang berdiri didepannya itu
dan memanggilnya kakak hingga memecahkan lamunannya.
“Hn, tidak ada, dan jangan bertanya lagi.” Jawab sang kakak dengan
dingin dan menyela sebelum adiknya itu membuka mulutnya ingin bertanya
kembali sembari memasang wajah datarnya seketika membuat adiknya tersebut
menciut dan diam tak berkutik.

“Dean Spencer kau sebagai anak pertama terutama anak laki-laki kami
tidak seharusnya memperlakukan adik perempuanmu seperti itu, dia adalah
saudara yang kau punya satu-satunya. Sudah ibu peringatkan berkali-kali jangan
membuat adikmu merasa seperti tidak dinerima keberadaannya oleh kakaknya
sendiri.” Tegur ibunya yang duduk bersebelahan dengan ibunya.

“Yang kulakukan bukan membuatnya merasa seperti itu lagi tapi memang
begitu adanya. Jika kalian lupa, aku masih memiliki seorang lagi yang kalian
buang di luar sana. Dan jika kau memintaku untuk berperilaku baik kepadanya...”
ujar Dean sembari mengendikkan dagunya kearah gadis yang dibela ibunya.

“Tidak ada alasan bagiku untuk memperlakukanya dengan baik juga, dan
aku tidak membutuhkan seorang adik kecil sepertinya karena aku masih memiliki
seseorang yang jauh lebih baik darinya. Sudah cukup, aku muak dan selamat
malam.” Ujar sesosok pria yang dipanggil Dean itu dan segera mendorong
kursinya lalu keluar dari cafe itu tanpa menatap mereka yang terpaku disana
mendengar ucapannya.

“Sampai kapan anak itu akan bersikap seperti itu dan berhenti
mengungkit-ungkitnya. Kupikir dia telah sadar apa yang kita lakukan itu adalah
hal yang benar dan agar nama baik keluarga kita tidak tercoreng dengan adanya
noda yang tidak diharapkan.” kepala keluarga mengangkat suaranya untuk
memecahkan keheningan.

“Bahkan anak itu tidak repot-repot untuk memesankan kita makanan.


Sudahlah, aku akan memanggilkan pelayan kalau begitu.” perempuan setengah
baya itu pun mengalihkan pembicaraan dan memanggil waiter.

...
Di lain tempat, Ashlyne yang telah memainkan beberapa melodi pun turun
dari panggung dan bersiap akan pulang dengan mengganti bajunya terlebih
dahulu. Akan tetapi, belum juga ia melangkahkan kakinya sebanyak tujuh
langkah, Ashlyne dipanggil oleh paman Dominic dari arah dapur untuk meminta
bantuannya mengantarkan pesanan pelanggan di meja nomor 13A. Apa boleh buat
karena semua waiter sedang sibuk karena pelanggan yang membuldak di malam
minggu ini maka Ashlyne tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu mengantarkan
pesanan tersebut dengan senang hati.

Saat Ashlyne hampir sampai ke meja yang dimaksudkan oleh paman dominic,
tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan rasanya kakinya tidak sanggup melangkah
kembali ke sana. Jika ia ingin memilih, maka pilihannya sekarang adalah kabur
dari sana secepatnya ketika melihat keluarga yang tengah berbincang hangat
disana. Sayangnya ia tidak memiliki pilihan selain mengantarkan pesanan tersebut
karena mereka rupanya telah melihatnya. Maka dengan terpaksa ia memberanikan
diri untuk tetap berjalan kesana dan menaruh pesanan mereka satu persatu dengan
menundukkan kepalanya berusaha menutupi wajahnya agar tidak dikenali.

Tapi, apa yang diharapkannya tidak terjadi karena wajah identik seseorang
yang sedang memperhatikan Ashlyne dengan seksama itu menyadarinya dan gadis
itu pun menyeringai kepadanya dengan wajah pura-pura terkejut.

“Ternyata seorang Spencer juga bisa berakhir menjadi pelayan heh. Oh


aku lupa, hanya orang lain selain keluarga saja yang dapat melakukannya.”
menyindir dengan telak kepadanya yang mebuat dua orang dewasa lainnya di sana
menjadi memperhatikannya.
“Untungnya putriku tidak bernasib sama sepertimu walau rupamu kuakui
nyaris identik dengannya tapi nasib kalian jauh berbeda dan aku senang itu terjadi
karena kau pantas tetapi putriku tidak.” tambah nyonya besar tersebut tanpa
melirik seorang Ashlyne yang tengah mengepalkan tangannya menahan sakit di
ulu hatinya atas penolakan yang terjadi sekian kalinya setelah lama ia tidak
berjumpa dengan keluarganya atau sekarang tidak karena ia bukan bagian
keluarga itu lagi.

Saat Ashlyne ingin segera berbalik pergi setelah meletakkan hidangan


yang mereka pesan, gadis dari keluarga itu tentu saja tidak membiarkan Ashlyne
pergi begitu saja. Dengan sengaja ia mengulurkan kakinya keluar dari meja dan
menginjak terusan gaun panjang yang masih dikenakan oleh Ashlyne sehingga
Ashlyne yang tidak mengetahuinya pun limbung dan jatuh mencari pegangan
yang berakhir sia-sia karena Ashlyne hanya mampu menggapai serbet meja
makan dan berakhir dirinya yang tertumpah oleh makanan yang ada diatas meja
pelanggan lain. Gadis yang menginjak gaun Ashlyne pun tersenyum puas karena
Ashlyne tentu saja kena amukan pelanggan yang ditarik serbet meja makannya
sehingga makanan mereka tertumpah dan berceceran disana-sini. Merasa belum
cukup puas, gadis itu pun menghampiri Ashlyne yang dalam keadaan kacau
setelah membungkuk berkali-kali terhadap pelanggan tersebut untuk meminta
maaf.

“Hei, aku tidak akan meminta maaf karena tidak sengaja menginjak
gaunmu itu karena kau lupa untuk membawa ini.” dilemparkannya uang tip
tersebut kearah Ashlyne dan berlalu meninggalkan Ashlyne yang menahan tangis
karena dipermalukan di depan orang banyak.

Dengan langkah lunglai Ashlyne pun segera membereskan kekacauan


tersebut dan masih menggunakan gaun yang ia pakai tadi agar pelanggan lain
tidak merasa bahwa cafe ini memiliki pelayanan yang buruk terhadap tempat yang
disediakan.
Setelah semuanya ia rasa bersih, Ashlyne pun pergi dengan keadaan yang
buruk menuruni tangga untuk mengganti pakainnya. Saat ia tiba di lantai bawah,
paman Dominic yang melihatnya turun dengan keadaan kacau seperti itu
menghujaninya berbagai pertanyaan yang hanya bisa dijawab seadanya oleh
Ashlyne tanpa memberitahu bahwa ia bertemu keluarga lamanya kepada paman
Dominic. Tak lupa ia meminta maaf kepada pamannya itu karena telah berulah di
cafe nya itu yang dibalas anggukan dan kalimat menenangkan dari paman
Dominic bahwa ia tidak apa-apa dan malah merasa kasihan kepada Ashlyne lalu
memnyuruhnya segera mengganti pakaiannya karena telah larut malam untuk
baginya pulang ke rumahya.

“Semoga hidupmu baik-baik saja nak.” gumam paman Dominic dengan


pandangan menyendu setelah Ashlyne hilang dari pandangannya.

...

Ashlyne terus memikirkan kejadian delapan hari yang lalu dialaminya di


cafe milik paman Dominic. Saat latihan untuk menjelang drama musikalnya pun
yang tinggal tiga minggu lagi acap kali ia mengacaukannya ditengah-tengah
latihan karena ia yang sering melupakan dialognya dan melakukan adegan yang
tidak berurutan dengan yang ada di naskah.

Ashlyne berharap hari ini ia tidak mengacaukan lagi latihannya dan


berakhir mengecewakan. Sepanjang lorong menuju kelasnya, Ashlyne mendengar
kasak-kusuk hampir seluruh siswa yang berada di lorong bahwa akan ada murid
baru yang datang ke sekolahnya dan anak baru tersebut masih memiliki ikatan
kekerabatan dengan anggota bangsawan Inggris. Seketika tubuhnya membeku
mendengarnya, berharap bahwa apa yang ia pikirkan tidak terjadi.

Ashlyne pun bergegas menuju kelasnya hari ini dengan tergesa-gesa dan
bersamaan dengan masuknya ia ke kelas, apa yang dia tidak harapkan pun terjadi.
Guru walikelasnya membawa murid pindahan itu ke kelasnya dan masuk
berbarengan dengannya ke kelas. Berusaha tenang, Ashlyne pun menyapa
gurunya yang akan masuk bersamaan dengannya itu tanpa bertatap muka dengan
orang yang berada di belakang gurunya yang dapat dipastikan adalah anak baru
yang tidak diharapkannya itu. Ashlyne mempersilakan gurunya untuk masuk
terlebih dahulu. Setelah gurunya masuk, tanpa diduganya murid baru itu
melangkah mendekatinya dan membisikkan sesuatu di telinganya yang
membuatnya gentar tetapi masih bisa dikendalikannya agar raut mukanya tidak
memunculkan ekspresi sama sekali. Murid baru itu pun pergi menyusul gurunya
dan Ashlyn menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam kelasnya.

Segera ia menuju bangkunya bersama Luna sahabatnya yang sepertinya


tidak masuk sekolah hari ini sehingga ia duduk sendirian untuk hari ini. Setelah
mendudukan dirinya diatas kursi tersebut sayup-sayup ia mendengar perkenalan
murid baru tersebut di depan kelas.

“Hai, selamat pagi semuanya, namaku Evelyne Spencer. Senang bertemu


kalian, semoga hari kalian menyenangkan setelah ini dan mohon bantuannya.”
Ujar murid baru tersebut yang diketahui bernama Evelyne sambil menekankan
kata menyenankan dan melirik seseorang Ashlyne yang tengah menatap jendela
seolah tidak mendengarkan sebab yang ada dipikiran Ashlyne saat ini adalah apa
yang dibisikkan oleh Evelyne tadi sebelum mereka berdua masuk ke dalam kelas.

“Kita bertemu lagi dan kupastikan hidupmu tidak akan semudah


sebelumnya.”

...
Bel istirahat pun berbunyi. Para murid yang biasanya berlomba-lomba
pergi menuju kantin, sekarang terlihat mengerumuni satu bangku berisikan murid
baru tersebut dan banyak yang mengajaknya untuk sekedar berkenalan dan
mengajaknya ke kantin bersama.

Ashlyne yang melihatnya pun bersyukur setidaknya untuk hari ini


sepertinya petaka belum akan menghampirinya. Akan tetapi satu celetukan
seorang murid teman sekelasnya berhasil membuatnya diam di tempat tak jadi
beranjak dari bangkunya untuk pergi ke kantin seorang diri karena apa yang
ditanyakan oleh salah satu teman sekelasnya itu cukup membuatnya was-was dan
mulai tak tenang ditambah lagi moodnya sedang dalam keadaan tidak baik karena
akhir-akhir ini ia merasa tertekan dikarenakan salju yang hampir menutupi semua
wilayah sekolah sehingga seluruh yang ia lihat hanya warna putih dan ia tidak
menyukai itu karena ini pertanda buruk baginya. Kembali kepada pertanyaan
teman sekelasnya tadi sepertinya bukan hanya dia saja yang terusik akan tetapi
semua temannya juga tampak menyadari hal tersebut karena yang ditanyakan oleh
salah satu temannya itu adalah kenapa Ashlyne tampak mirip dengan Evelyne
meskipun kedua memiliki warna rambut dan mata yang berbeda, belum lagi nama
mereka yang dalam pengucapannya hampir mirip di akhir kata.

“Menurut mu George? Apakah aku dan Ashlyne adalah saudara kembar?


Seandainya kenyataan itu dipaksakan tapi kau tau bukan bahwa marga ku dengan
marga Ashlyne itu berbeda belum lagi status murid pindahanku dari Inggris yang
memperkecil kemungkinan tersebut. Mungkin ini hanya sekedar kebetulan, kau
tau kan istilah doppelganger? Bisa saja itu terjadi antara aku dan Ashlyne.” jawab
Evelyne dengan tenang dan denga sengaja memperkeras suaranya. Teman-teman
pun setuju atas apa yang diungkapkan oleh Evelyne, apalagi Evelyne yang masih
memiliki keturunan darah biru sedangkan Ashlyne tidak.

“Oh ya Evelyne, mau kah kau bergabung ke acara tahunan kelas di gedung
teater bersama kami untuk menampilkan sebuah drama musikal Swan Lake? Ini
belum terlambat untukmu bergabung sekarang, kau masih punya banyak waktu
untuk berlatih.” celetuk Hanna, ketua kelas menawarkannya kepada Evelyne.

“Apakah tidak apa? Aku tidak ingin menggangu kalian dengan bergabung
begitu saja.” Jawab Evelyne

“Ah tidak perlu khawatir, lagipula kami masih belum menyempurnakan


penampilan tersebut karena banyaknya hambatan.” sahut Hanna. Ashlyne tau
Hanna tidak bermaksud menyinggungnya tapi perkataannya barusan tanpa sengaja
menyentil hati seorang Ashlyne yang sekarang berharap-harap cemas ingatannya
akan membaik hari ini untuk dipakai latihan. Karena sungguh selama ini ia begitu
sulit untuk menerima berbagai pelajaran secara visual karena disleksia yang
dideritanya sejak lahir. Belum lagi sekarang masuk musim dingin, akhir-akhir ini
kondisinya makin memburuk karena depresi yang dialaminya makin menjadi
setiap musim dingin tiba. Biasanya mendiang ibunya akan memberikan bubur
hangat kesukaannya untuk mendampingi hari-hari beratnya selama musim dingin.
Sayangnya sekarang bubur hangat itu hanya akan menjadi obat rindu satu-satunya
kepada mendiang ibunya yang tidak akan pernah ia dapatkan lagi.

Selama tiga tahun ini ia melakukan terapi lagi yang sudah lama tidak dia
lakukan untuk mengembalikan keadaannya yang memburuk serta membuatnya
susah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebab dia telah mengalami
kehilangan mendalam sehingga membuat dirinya didiagnosis kembali akan
menjalani sepanjang hidupnya dengan gangguan disleksia dimana keadaan itu
membuat dirinya susah untuk mengeja kata-kata pada keadaan tertentu dan
membaca yang apabila dipaksakan akan membuatnya merasa pusing hingga
merasa mual hanya sekedar untuk melihat sebuah kata ditambah lagi dulunya ia
adalah seorang penderita disleksia yang dinyatakan telah sembuh saat ia berumur
sebelas tahun hanya saja karena ini adalah yang kedua kalinya dia bertemu dengan
gangguan ini maka dokter pun sepertinya telah angkat tangan dan hanya bisa
menawarkan perawatan tiap minggu untuk membantunya.

Ia merasa senang karena mendapat kepercayaan dari teman-temannya di


kelas setelah ia berjuang untuk membuktikan walau ia memiliki kekurangan ia
dapat menutupinya dan berakhir mendapatkan peran sebagai pemeran utama
wanita dari drama berjudul Swan Lake. Tidak perlu heran bagaimana ia akan
tampil nanti dan menghapal semua naskah bagiannya karena ia cukup pintar dan
masih mempunyai pendengaran yang bagus untuk menerima informasi.

Akan tetapi akhir-akhir ini pikirannya sangat kacau ditambah lagi


kehadiran seorang Evelyne yang tidak diduganya membuatnya tidak fokus
sepanjang hari dan hal yang tidak diinginkannya pun tiba.

Saat bel pulang sekolah pun tiba, semua anak kelas bergegas menuju
aula sekolah untuk berlatih drama musikal hari ini. Dengan gugup Ashlyne pun
memulai perannya sebagai Odette sang Ratu Angsa yang hanya bisa berwujud
manusia antara tengah malam sampai fajar karena kutukan yang diberikan oleh
Von Rothbart dan akan terpatahkan jika ada seorang laki-laki yang mau
mengikrarkan janji cinta sejati abadi. Ashlyne memilih cerita ini karena ia
menyukai akhir dari bagaimana cerita ini berakhir dimana Odette tidak memiliki
pilihan lain selain bunuh diri karena Pangeran Siegfried yang mengingkari
janjinya sebab tipu muslihat dari Rothbart yang menggantikan Odette dengan
Odile di pesta dansa sehingga Pengeran memberikan ikrarnya kepada orang yang
salah. Dua sejoli itu pun berakhir mati menceburkan diri ke danau.

Ya, seharusnya alurnya seperti itu. Tapi apa yang dilakukan Ashlyne
melenceng jauh dari apa yang diharapkan padahal sebelum-sebelumnya ia dapat
berlatih dengan baik. Karena merasa tidak ada waktu lagi untuk dibuang, Hanna
pun memegang kendali dengan mengsulkan pergantian peran Odette atas saran
dari Evelyne dan memberikan kesempatan bagi Ashlyne satu kali lagi percobaan
hari ini untuk berlatih ulang. Semua yang ada di sana pun setuju, lalu yang
menjadi permasalahannya adalah siapa yang akan menjadi kandidat untuk
menggantikan Ashlyne jika dia gagal lagi?

“Evelyne yang akan menggantikannya, beri dia waktu untuk


menghapal sebagian scene dan dailognya karena dia baru pertama kali
mencobanya hari ini.” seru George karena dia merasa hanya Evelyne lah yang
dapat menggantikan Ashlyne sebab kemiripan antar keduanya. Ashlyne yang
masih berada di sana sejak tadi mendengarkan merasa tidak dihiraukan apalagi
saat mendengar sorakan persetujuan semua orang yang mendukung Evelyne untuk
menggantikannya sebagai Odette jiga Ashlyne gagal pada kesempatan terakhirnya
ini dan berarti usahanya selama ini untuk berlatih selama sebulan sia-sia. Karena
sudah tidak tahan berada di sana dengan waktu yang lama, Ashlyne ijin undur diri
sebentar menuju toilet yang berada di luar aula sebab sekarang adalah waktunya
jam istirahat latihan. Sambil berjalan menuju toilet yang harus melewati parkiran
aula, Ashlyne melamun mengenai apa yang harus ia lakukan sekarang agar
mempertahankan posisinya dan tidak mengecewakan ayahnya saat datang nanti di
malam natal. Tentu saja ia tidak ingin merusak kado yang hanya ia bisa berikan
kepada ayahnya itu karena ibunya sangat menggemari drama Swan Lake maka ia
harus bisa mempertahankan posisinya sebagai Odette sebab ia tidak
memberitahukan ayahnya ia akan menampilkan apa nanti. Sambil termenung,
Ashlyne tidak menyadari menabrak seseorang hingga ia terjatuh. Segera ia
bangkit dari jatuhnya dan meminta maaf karena telah berjalan tanpa melihat
sekitarnya. Saat ia mendongakkan kepalanya seketika wajahnya berubah pucat
pasi saat orang tersebut memanggilnya dengan sebutan nama kecilnya yang hanya
diberikan oleh satu orang selama hidupnya.

“Ashley...”

Dan orang itu adalah kakak kandungnya, tapi sekarang tidak lagi dan
harus ia ralat bahwa pria itu bukan kakaknya lagi tapi kakak dari Evelyne
Spencer. Ashlyne merasa dunia begitu sempit sehingga dipertemukan dengan
orang-orang yang ingin dilupakannya karena telah memberikannya ke paman dan
bibinya yang tidak mempunyai anak yang sekarang Ashlyne panggil dengan
sebutan Daddy dan Mommy nya. Hanya karena ia tidak bisa berbicara dan
membaca lebih cepat dari anak-anak lainnya, Ashlyne kecil dioperkan ke paman
dan bibinya sendiri. Itu juga yang membuat Ashlyne bersyukur karena keluarga
yang menerimanya masih memiliki hubungan darah dengannya meski tidak secara
langsung. Kejadian belakangan ini menyebabkan luka lama yang telah ia pendam
terbuka kembali, di tambah lagi kakaknya ini yang dulunya sering menemaninya
dalam kesendirian terkurung di dalam kamarnya tanpa diperbolehkan keluar.
Satu-satunya alasan ia masih bertahan dikeluarga tersebut hanya karena seorang
Dean Spencer yang masih menganggapnya sebagai seorang Ashlyne Spencer
disaat yang lain tidak menerimanya.

Sekarang yang bisa dia perbuat hanya lari sekencang ia bisa


mencoba menghindar sebelum Dean dapat mengejarnya. Yang terlintas dalam
benaknya saat ini hanyalah jalan menuju toliet dan terburu masuk kedalam salah
satu bilik toliet wanita tersebut sambil menenangkan dirinya disana. Sudah
sepuluh menit Ashlyne berada di sana dan hampir melupakan kalau sebentar lagi
jam istirahat latihan akan habis. Ia pun bersiap dan membuka pintu bilik toilet
yang ia tempati, tetapi entah mengapa pintu toiletnya ini tiba-tiba susah untuk
dibuka. Ashlyen pun berteriak meminta tolong walau ia tau pada jam-jam ini
sekolah sudah sepi kecuali ada siswa yang masih berkeperluan di sekolah,
setidaknya ia berusaha terlebih dahulu walaupun tidak ada yang mendengar.
Setelah percobaan sekian kalinya ia ingin membuka pintu tersebut, tiba-tiba dari
arah atas ada seember air kepelan lantai yang di banjurkan ke tubuhnya dan
membuatnya tubuhnya basah kuyup serta menggigil kediginan kini. Ini sungguh
sudah keterlaluan, berarti ada yang sengaja ingin melakukan ini padanya.tidak
mungkin ia memanjat keatas karena dengan tubuh mungilnya ini dipastikan ia
akan terpeleset jatuh karena licin dari air kepelan yang ditumpahkan oleh
seseorang. Sudah dipastikan ia tidak akan memiliki kesempatan untuk
memerankan Odette sekali lagi selama ia masih terkurung disini. Karena cuaca
yang makin dingin sebab malam hampir menjelang, Ashlyen mulai merasakan
seluruh prsendiannya merasa ngilu dan tubuhnya menggigil belum lagi
pandangannya yang mulai memburam. Satu nama yang ia duga sebagai dalang
dari ini semua sebelum semua terasa gelap adalah,

“Evelyne”

...

Dilain tempat Dean masih mencari keberadaan Ashley, adikknya yang lari
begitu saja sesaat setelah Dean memanggilnya. Entah mengapa firasatnya
membawa Dean ke arah toilet wanita yang cukup sepi di dekat area parkir aula
tersebut. Saat ingin melangkahkan kakinya lebih jauh lagi, Dean melihat Evelyne
di dalam sana sedang memasang tongkat pengepel untuk disilangkannya seperti
ingin mengunci bilik toilet itu. Tunggu, sepertinya ada yang tidak beres di sini.
Maka Dean pun bersembunyi dan melihat apa yang sedang di lakukan Evelyn di
sana sambil merekam kejadian tersebut.

Tak disangkanya setelah itu ada suara yang masih amat dikenalinya
berasal dari dalam yang Dean yakini milik Ashley. Dean ingin sekali menarik
Evelyne keluar dan menamparnya tidak peduli dia adalah seorang gadis atau
apapun itu karena telah melukai adiknya, Ashley. Terutama ketika dilihatnya
Evelyne mengangkat tinggi ember berisi air kepelan yang sudah pastinya bau itu
untuk di lemparkannya ke dalam bilik toilet tersebut.

Setelah kepergian Evelyne, Dean segera membuka pintu bilik toilet itu dan
menemukan Ashley sudah tak sadarkan diri dalam keadaan yang mengenaskan.
Tanpa rasa jijik Dean menggendong Ashley menuju rumah pamannya, Gerald
Axton dengan perasaan murka yang membuncah.

...
Tiga minggu lamanya Ashlyne tidak masuk sekolah, dan selama tiga
minggu itu diri Ashlyne berubah dalam sekejap. Harinya hanya dihabiskan oleh
Ashlyne dengan melamun di depan jendela tanpa ekspresi berarti di wajahnya.
Pipinya yang dulu terlihat ranum dan chubby kini terlihat pucat dan tirus. Selama
ini Dean berusaha mengajak adiknya berbicara tapi selalu berakhir dengan dia
yang bermonolog seorang diri. Pamannya pun menjadi khawatir dan selalu
menyempatkan waktu untuk anak semata wayangnya itu untuk diajak
berkomunikasi, akan tetapi hasilnya masih tetap sama. Mereka berdua tampak
bergantian untuk menjaga dan menghibur Ashlyne tapi yang didapat tidak ada
sama sekali kemajuan yang berarti pada Ashlyne.

Hari ini adalah hari natal dimana seharusnya Ashlyne berada dipanggung
teater untuk menampilkan drama musikalnya. Akan tetapi, dirinya hanya bisa
berdiam diri disini. Tidak ingin ke sekolahnya karena ia tahu bahwa Odette
bukanlah tempatnya lagi untuk berdiri di atas panggung. Satu hal yang
dipikirkannya adalah piano mendiang ibunya yang telah dikirimkan oleh paman
Dominic ke gedung teater dimana ia akan bermain musikal disana. Terngiang-
ngiang oleh dirinya bagaimana jika piano itu dimainkan oleh orang lain selain
dirinya dan ibunya. Ia tidak rela jika Evelyne akan menggunakannya hari ini di
panggung.

Maka ia meminta Luna, sahabatnya untuk datang ke rumahnya sekedar


untuk meminta bantuannya dan Luna dengan senang hati menyetujuinya.

...
Tampak orang beramai-ramai datang memenuhi Broadway Verizon Hall
Theater tempat acara tahunan sekolah Evelyne sekarang akan diselenggarakan.
Evelyne sungguh tak menyangka dengan begitu mudahnya merebut posisi
Ashlyne tanpa bersusah payah, ditambah lagi teman-teman Ashlyne yang
sekarang berpihak kepadanya membuat hatinya makin senang melihat Ashlyne
sudah tidak memiliki kepercayaan mereka lagi setelah menganggap Ashlyne lepas
tanggung jawab atas drama musikal kelasnya. Dari belakang panggung Evelyne
dapat melihat betapa megahnya teater itu hanya untuk menonton dirinya menari
dan memerankan Odette dari Swan Lake yang menurutnya membosankan itu.
Tapi selama ia mendapatkan perhatian sebegitu banyaknya dari semua orang yang
seharusnya adalah posisi Ashlyne, ia sudah sangat lebih dari cukup merasa puas.

Sebentar lagi adalah waktunya perunjukkan dimulai, semua pemain


tampak mempersiapkan dirinya sebelum naik ke atas panggung. Saat semua kursi
telah terisi penuh maka itu adalah waktu mereka untuk menampilkan hasil latihan
mereka selama hampir dua bulan ini. Apalagi adanya pergantian pemain utama
dikarenakan Ashlyne yang tidak tau pergi kemana setelah mereka memutuskan
untuk memberikannya sekali lagi kesempatan sehingga teman-temannya kini
merasa tidak lagi mempercayai Ashlyne yang melepas tanggung jawabnya begitu
saja. Untung saja ada Evelyne yang dengan senang hati menggantikan posisi
kosong tersebut dan menyelamatkan pertunjukkan mereka sekarang. Semua
pemain tampak gugup sembari berharap acara akan berjalan dengan lancar.

Semua kursi penonton pun telah terisi penuh dan tinggal menunggu
beberapa menit lagi sehingga semuanya siap. Tanpa menunggu lama pemain
sudah berbaris dibelakang panggung sebagai pembuka. Sekitar dua baris penari
latar akan masuk untuk menarikan balet diiringi musik instrument Dance of The
Swans selama lima menit dengan indahnya dan membuat banyak orang berdecak
kagum karena tidak menyangka anak sekolah atas dapat mementaskan drama
musikal seapik ini dan para penonton mulai penasaran siapa orang di belakang
layar yang membuat skenario dan naskah drama yang dikemas dengan semenarik
ini.

Selang beberapa menit munculah Evelyne sebagai Odette ditengah-tengah


tarian, menggambarkan kebebasan Odette sebelum diberi kutukan oleh Von
Rothbart. Dimana awal mula cerita ini akan berlanjut menjadi akar permaslahan
utama yang akan dihadapi oleh Odette yang malang.
Odette yang berusaha mencari cinta sejatinya hingga Sang Pangeran
Siegfried yang memberikan satu-satunya harapan yang ia punya untuk kembali
menjadi manusia.

Ditengah-tengah pertunjukkan itu, semua orang tidak menyadari seseorang


yang tengah mereka perbincangkan, seseorang yang selama ini berada di belakang
layar menyiapkan drama spesial malam natal ini yang seharusnya menjadi hadiah
untuk sang ayah, tengah berjalan memasuki gedung teater dengan riasan dan gaun
putih panjang yang memikat siapa saja orang kebetulan berpaspasan melihatnya.

Ia hanya bisa menunggu waktunya untuk pergi ke atas sana. Dilihatnya


satu-satunya harapan yang dimiliki Odette pupus karena Pangeran Siegfried
dalam pengaruh Odile menyatakan cintanya dan terlanjur bersumpah akan
menikahi Odile. Odette yang melemah akibat sihir dari Von Rothbart pun pergi ke
danau, dan tibalah waktunya untuk naik ke atas panggung karena Evelyne
seharusnya naik ke atas panggung setelah berganti pakaian.

Semua pemain yang ikut turun pun terheran-heran menatap ke arah


panggung yang masih melanjutkan musiknya. Seharusnya musik itu diputar untuk
nanti setelah mereka naik kembali ke atas panggung. Dari arah tirai yang tertutup
kemudian terbuka kembali, keluarlah sesosok gadis cantik yang menari dengan
anggun dan elok menunjukkan keanggunan seekor angsa dibalut tarian baletnya
yang memukau.

Saat gadis itu menunjukkan wajahnya yang tadinya tertutup oleh cadar
tipis, semua orang yang berada di belakang panggung merasa kaget karena
kedatangan sesosok Ashlyne Axton yang secara mengejutkan datang tiba-tiba
bukan sekedar untuk menonton, melainkan melakukan perannya yang seharusnya
ia lakukan sekarang. Tapi posisinya kini seharusnya adalah milik Evelyne. Tidak
ada yang bisa mereka lakukan disana kecuali melihat Ashlyne menari mengikuti
irama lagu tanpa kesalahan sedikit pun seperti saat ia latihan selama ini.

Mereka menyadari Ashlyne memanglah pantas berada tempatnya kini dan


terpaku akan keindahan yang ditunjukkan di atas panggung dan itu benar-benar
diluar dari naskah yang mereka latih untuk ditampilkan sekarang. Bahkan mereka
mengakui pertunjukkan mendadak ini jauh lebih memukau daripada apa yang
mereka bisa bayangkan. Evelyne yang juga berada di belakang panggung juga
ikut terkejut dan geram melihat Ashlyne yang dengan lancangnya naik ke
panggung miliknya. Sayangnya, Evelyne hanya bisa menahannya dan tidak bisa
berbuat apa-apa juga selain melihat Ashlyne yang bersinar dari bawah panggung.
Merasa penasaran apa yang akan Ashlyne lakukan ketika mereka melihat
Ashlyne berjalan menuju piano mendiang ibunya. Ashlyne pun menduduki
dirinya di hadapan grand piano tua itu dan bersiap untuk memainkannya.

Terdengar suara dentingan piano River Flows in You yang mulai


dimainkan Ashlyne. Yang tidak mereka ketahui adalah dibalik keindahan
panggung yang disajikan, akan terlihat tetesan darah yang mengalir dari
pergelangan tangan Ashlyne. Walaupun mereka menyadarinya, mereka semua
akan mengira Odette memang akan bunuh diri sama seperti apa yang
dilakukannya di dalam dongengnya. Tapi semua itu salah karena apa yang mereka
lihat adalah darah segar yang benar-benar mengalir langsung dari nadi
pergelangan tangan Ashlyne Axton.

Sekelabatan bayangan melintas dibenaknya ketika ia memainkan lagu ini.


Dimana ia memikirkan hal yang membuatnya memilih berakhir disini dan
mengikuti jejak Odette yang memilih mengakhiri hidupnya bersama hal yang
dianggapnya berharga baginya, yaito piano kesayangan ibunya.
Flashback

Setelah pulang dari cafe milik paman Dominic dan berakhir dipermalukan
di depan orang banyak, dengan perasaan campur aduk Ashlyne segera pulang
dan membawa gaun kotor tertumpah makanan pelanggan tersebut untuk
dibersihkannya.

Sesampainya di Mansion keluarganya, Ashlyne pun langsung


membersihkan diri dan menyimpan baju kotornya di keranjang pakaian. Saat ia
telah keluar kamar mandi, Ashlyne keluar menuju walk in closet untuk memakai
pakaian tidur dan pergi ke alam mimpi. Tapi pandangannya tak sengaja jatuh ke
arah kotak berpita yang ia ingat tidak pernah menaruhnya disana dan lalu
membukanya. Isi dari kotak tersebut adalah sepasang sepatu balet indah dan di
dalamnya terdapat sebuah sticky note dari pengirimnya yang sudah ia duga
adalah ayahnya.

“Ashlyne, pakai lah sepatu ini di hari kau menari dengan indah di depan
ayahmu ini tanpa keraguan sedikit pun karena saat kau memakainya, semua
orang hanya akan tertuju padamu anakku yang cantik. Langkah demi langkahmu
yakinlah ibumu juga akan selalu menyertaimu. Semoga kau menyukainya.”

Setelah membaca pesan dari ayahnya ia merasa sedikit lebih baik dan
bepikir setidaknya masih ada orang yang menyangi dirinya dengan tulus.

...

Tetapi apa yang diharapkan ayahnya mugkin tidak akan pernah terjadi
semenja Ashlyne terkunci di toilet sekolahnya dan berakhir tidak bisa
memberikan penampilannya di atas panggung yang telah menjadi milik Evelyne.
Harapannya pupus dan ia merasa sedih apalagi saat ia mengingat hari natal
adalah hari ulang tahun mendiang ibundanya.

Suatu ketika, entah mengapa ia merasa tertarik untuk membuka kado


terakhir dari mendiang ibunya yang tidak ingin ia buka karena takut merasa
terluka dan kehilangan kembali. Tapi entah dari mana rasa penasarannya
akhirnya membimbingnya untuk membuka kado tersebut.

Saat kadonya terbuka, ia dengan pandangan menyendu melihat isi kado


tersebut yang berisikan gaun putih cantik desain dan karya dari tangan ibunya
sendiri dimana pada saat itu ia begitu menginginkan gaun buatan ibunya itu
khusus untuk dirinya. Terselip rasa kasih sayang yang telah lama tidak
dijumpainya melalui jahitan demi jahitan dari gaun itu. Ketika Ashlyne henda
mengambil gaun tersebut dan ingin memakainya, terjatuh sepucuk surat yang
segera dibukanya dan memperlihatkan tulisan khas ibunya disana sebelum
menjelang kematiannya.

“Ibu tau ini akan sia-sia saja, tapi setidaknya ibu memperpanjang
hidupmu walau sejenak, berikan ibu waktu sayang. Dan akan tiba saatnya kau
membutuhkanku nak, maka kembalilah ke pangkuan ibumu ini. Maafkan ibu yang
pergi begitu saja tanpa mengucapkan perpisahan terlebih dahulu karena ibu
ingin saat kau kembali ke pelukan ibumu ini, ibu telah mempersiapkan tempat
yang indah bersamamu kelak dan kau tidak akan merasa kesepian lagi sebab
sudah ada ibu yang menunggumu sayang. Percayalah ibu selalu bersamamu.”

Ashlyne tak dapat membendung kesedihannya dan menitikkan air matanya


sembari menggenggam surat itu setelah membacanya. Selama ini ia menganggap
dirinyalah alasan kepergian ibunya tiga tahun silam karena ibunya telah
mendonorkan hatinya kepada Ashlyne putri kecil satu-satunya yang Angeline
Axton punya. Selama ini apa yang selalu dikatakan ayahnya benar bahwa ibunya
tak pernah meninggalkannya sebab hatinya pun akan selalu bersamanya. Dan
karena surat ini pun Ashlyne membuat sebuah keputusan besar dengan meminta
bantuan Luna untuk mendandaninya dan mengatur ulang scene akhir menuju
ending hanya untuknya dan meminta undangan khusus diberikan kepada ayah
dan kakaknya agar bisa menontonnya diatas panggung sebagai permintaan
terakhir. Jika Luna tahu tentu saja ia tidak akan membiarkan Ashlyne pergi
begitu saja.
End flashback

Dentingan piano itu pun perlahan melemah dan berhenti yang disambut
tepuk tangan meriah dari para penonton. Mereka tidak tahu pada saat itu, diwaktu
yang secara bersamaan mereka telah mengantarkan jiwa seseorang yang kini telah
pergi dengan damai serta meninggalkan piano yang telah bersimbah darah itu.
Kau Tak Sendiri
Oleh : Azkia Nur Azwajina

Adinda Az-zahra namanya. Ia adalah seorang remaja perempuan yang


sangat malang. Dia memiliki keluarga yang jauh dari kata bahagia.

Sewaktu ia kecil, ia tinggal di Bandung di sebuah rumah yang sederhana


bersama ibu dan ayahnya. Tetapi, ibu dan ayahnya sering kali bertengkar. Ketika
ayahnya pulang kerja, bahkan ketika ayahnya ada di rumah sekalipun mereka
selalu saja bertengkar. Saat itu, Adinda hanya bisa meratapi kedua orang tuanya
dengan raut wajah yang sedih dan muram. Sesekali ia selalu menangis dalam
diam, dan ketika tangisnya sudah tak bisa dibendung ia akan meluapkan segalanya
seperti bom yang meledak sangat cepat dan menghancurkan sekitarnya, sangat
miris bukan. Tak hanya itu, ia juga kerap dimarahi oleh ayahnya karena hal yang
spele.

"Maafkan aku ayah, aku tak sengaja. Tolong jangan hukum aku, aku tak
sengaja menumpahkan minyak ini di lantai", ucap Adinda sambil menangis.

"Dasar kamu anak tak tahu diri !!! Berani-beraninya kamu menumpahkan
minyak goreng itu di lantai. Memang minyak itu dibeli pakai daun? Mikir dong!
Saya susah-susah cari uang buat kamu, buat keperluan rumah ini. Kamu
seenaknya menghamburkannya. Hah!!!", bentak ayahnya.

Mendengar suara keributan di dapur, Aliya yakni ibu dari Adinda


langsung bergegas pergi ke asal suara tersebut. Dia kaget melihat anaknya
menangis sesegukan karena suaminya telah memarahi puterinya. Ia berkata,
"Hei !!! Cukup mas ! Kamu telah menyakiti anakku. Kamu memang berhak
memarahinya, tetapi itu ada batasannya Mas."
"Heeuh, aku sudah pusing mendengar ocehanmu Al. Sudahlah aku tak
ingin berdebat dengan dirimu.", ucap suaminya, lalu iapun beranjak pergi dari
dapur.

"Hei, nak. Janganlah kamu menangis sayang. Nanti wajahmu tak imut lagi
loh", ucap ibunya menenangkan.

"Bu, apakah ayah tak sayang aku? Ayah selalu saja marah padaku, bahkan
ketika aku tidak berbuat salah." ucap Adinda dengan tatapan sendu.

"Tidak sayang. Ayah justru sangat menyayangimu, memang sikapnya agak


kasar, tetapi rasa sayangnya padamu pasti melebihi amarahnya," jelas ibunya.

Keesokan harinya, Adinda sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Ia


diantar oleh ibunya, kenapa? Karena Ayahnya selalu saja sibuk dengan
pekerjaanya sendiri.

"Ibu, aku sudah siap," ucap Adinda.

"Wah, cantik sekali anak ibu. Ingat ya di sekolah kamu gak boleh nakal
ya," nasihat ibunya.

"Siap bu. Adinda kan sudah cukup besar bu." jawab anaknya.

Lalu, ibunya berkata" Tapi bagi ibu, kamu itu masih bayi kecil ibu yang
lucu, nak."

"Ya sudah kalau begitu, ayo ibu antar!", ajak ibunya.

"Oke bu," jawab Adinda bersemangat.

Ketika anaknya pergi menjauh, ibunya bergumam dalam hati, "Ketika


nanti kau sudah benar-benar dewasa, pasti kau akan bisa mengerti apa yang terjadi
pada keluarga kita sekarang."

Ketika di sekolah, Adinda merupakan anak yang aktif dan ceria. Dia
merupakan seseorang yang mudah tersenyum kepada orang lain. Tetapi, keadaan
ini sangat berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini ketika berada di dalam
atau sekitar rumahnya sendiri, aneh memang.

"Aku bahkan lebih nyaman tinggal di sekolah ini daripada di rumah," ucap
Adinda pilu.

"Andai saja ibu dan ayah tidak selalu bertengkar, aku mungkin tak akan
merasa seperti ini."

'Krinnngggg', bel pulang sekolah berbunyi. Ini waktunya untuk kembali


pulang ke rumah kan. Adinda sedang sendirian menunggu jemputannya. Tak
menunggu lama, ibunya pun datang menghampiri anak gadisnya tersebut, dan
berkata

"Nak, apakah kamu menunggu lama?"

"Tidak kok bu", jawab anaknya.

"Baiklah kalau begitu, ayo nak !", ucap ibunya.

" Ayo bu !" , kata Adinda semangat.

Sesampainya dirumah, Adinda melihat ayahnya sedang duduk di ruang


tamu. Ia lalu menghampiri ayahnya itu, dan berkata

“Ayah, kenapa ayah merenung di sini ? Sendiri lagi.”

"Ayah sedang memikirkan kamu, nak." ucap ayahnya.

Lalu, Adinda bertanya, "Aku? Memang ada apa?"

"Emmm, Dinda anak ayah. Kamu sekarang sekolah di asrama ya, " ucap
ayahnya tersebut.

"Apa!!! ASRAMA ??? A-Aku gak mau, Yah." jawab Dinda.

"Aku ingin sekolah biasa saja," lanjut Adinda.


"Tetapi kamu sudah besar, nak. Ayah tahu mana yang terbaik untuk kamu.
Kamu harus turutin kata-kata ayah !!!" jawab ayahnya dengan suara tegas dan
beratnya.

"Yang terbaik ayah bilang. Huh, ayah saja gak pernah menemani aku
tumbuh besar, ayah saja gak tahu makanan, minuman, dan semua kesukaanku.
Jadi, mana mungkin ayah tau mana yang terbaik untukku." ucap Adinda dan ia
pun langsung pergi meninggalkan ayahnya sendirian di ruang tamu.

Adinda langsung pergi berlari ke kamarnya dan menguncinya. Ia menangis


sejadi-jadinya dan menghancurkan kamarnya. Mendengar keributan di dalam
kamar puterinya tersebut, Alya langsung menghampiri anaknya. Betapa
terkejutnya dia ketika melihat seisi kamar berantakan dan anaknya yang sedang
menangis sambil memeluk lututnya.

"Adinda sayang, kamu kenapa nak?", tanya ibunya dengan penuh


kelembutan.

"A-Ayah, ayah. Aku gak mau mengikuti permintaan ayah untuk masuk ke
asrama, bu." jawab Adinda sambil menangis.

" Ya sudah biar nanti ibu yang bilang ke ayah ya, supaya kamu tidak jadi
ke asrama. Oke !". Kemudian, Adindapun berpikir sejenak lalu ia mengangkat
wajahnya sambil mencoba tersenyum,

"Baiklah bu. Terima kasih ya."

Makan malampun tiba, pada saat itu Alya mencoba membujuk suaminya
agar tidak memasukkan Adinda ke asrama. "Mas kalau aku saranin, mending
kamu gak usah kirim Dinda ke asrama. Kalau kamu masih maksa berarti kamu
ayah yang tidak pengertian."

"SUDAH CUKUP !!!! AKU SUDAH BENAR-BENAR MUAK


DENGAN OCEHANMU. AKU HANYA INGIN YANG TERBAIK UNTUK
ANAKKU NANTI, AL. APA KAMU MENCOBA UNTUK
MENGGAGALKAN RENCANAKU HAH???" bentak Ifan, suaminya.

Kaget. Itu adalah hal pertama yang saat ini Aliya dan Adinda rasakan.
Apakah ibunya salah membujuk ayahnya? Adinda hanya ingin bisa mengikuti
keinginannya sendiri, tanpa paksaan dari siapapun. Sekarang ia hanya bisa
menundukkan wajahnya agar ia tak terlihat menangis.

"JUSTRU AKU YANG HARUSNYA BILANG CUKUP MAS. KAMU


ITU EGOIS, DAN KARENA KEEGOISANMU ITU ANAKMU MENJADI
KORBAN." kata istrinya dengan marah. Ia pun berkata lagi, "SEKARANG AKU
PUTUSKAN KITA SUDAHI SAJA SEMUA INI. PERCUMA KITA
MEMPERTAHANKANNYA. AKU SUDAH LELAH DENGAN SIKAPMU
ITU."

Sang suami menatap manik istrinya tak percaya, setelah lama terdiam ia
pun akhirnya angkat bicara, " Baiklah kalau itu maumu. Aku tak akan
memaksamu lagi. Besok aku akan urus semuanya."

Istrinya hanya bisa diam seribu bahasa dan setelah itu ia pergi menuju ke
kamar Adinda.

'Tok tok tok' bunyi suara ketukan pintu membuat Adinda tersadar dari
lamunannya. Lalu, ia akhirnya beranjak dari tempat tidur dan langsung membuka
pintunya. Melihat siapa yang datang, ia langsung menuju ke tempat tidurnya lagi.

"Nak, ibu harap kamu bisa mengerti. Ibu dan ayahmu sudah tidak cocok
dan tak sepaham lagi. Masih banyak rintangan yang harus kita lewati, nak." ucap
ibunya. Lalu, ia pun mendongkakkan wajahnya dan menatap ibunya "Benarkah
bu. Apa aku bermimpi, aku harap ini hanya mimpi", ia lalu memukul-mukul
kepalanya menggunakan tangannya sendiri, "Aku harap ini mimpi, pasti hanya
mimpi, sadar Din, sadar." ucap Adinda sambil mengulang kata-kata tadi.

"Hei-hei nak, sudah cukup! SUDAH CUKUP, ADINDA AZ-ZAHRA!!!",


bentak ibunya cukup keras sehingga membuat Adinda terdiam.
Adindapun mulai meneteskan air mata dan tak lama kemudian ia langsung
memeluk ibunya. Ia sakit, bahkan sangat sakit. Keluarga impiannya kini telah
hancur, ibu dan ayahnya sudah tak bersama. Apa kata orang-orang nanti? Gak-
enggak mungkin !!!

"Sudahlah nak. Mungkin inilah jalan terbaik yang telah Tuhan berikan
kepada kita. Semoga semua ini bisa menjadi pelajaran untuk ayah, ibu, dan kamu
ya. Semoga ini juga bisa membuat kita berubah menjadi pribadi yang lebih baik
lagi di kehidupan yang akan datang."

"Percayalah bahwa kamu tidak pernah sendiri, nak. Ada Tuhan yang selalu
menjagamu, ada ibu dan ada ayah yang selalu bersamamu meskipun kita sudah
tak bersama." ucap ibunya dengan suara yang sangat halus, sehalus hatinya.

Dari kejadian ini, Adinda Az-zahra kini sangat bersyukur. Meski kedua
orang yang dicintainya berpisah, tetapi ia tak merasa kesepian karena mereka
selalu ada untuk menemani. Juga ia percaya bahwa ' YOU ARE NOT ALONE'
karena pasti setiap orang memiliki orang lain yang sayang padanya, dan jangan
lupa ada Tuhan yang selalu di dekatnya.
Melupakanmu Ibu
Oleh : Della First Tania Putri

Suara terdengar riuh dari arah dapur, Ibu sedang sibuk menyiapkan
sarapan bagi 3 anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mereka menikmati
sarapan meski hanya dengan lauk tempe tahu. Mas Adi,Mbak Ninda, dan juga
Bagus adik paling bungsu dalam keluarga itu sedang bersiap ke sekolah. Bagus
sedang memakai sepatunya dan mbak Ninda sedang merapikan rambutnya,dan
Mas Adi yang meletakkan sarang burung Alm.Bapak ke atas atap rumah yang
sangat khas adat Jawa dengan atap yang pendek dan bentuk limasan. Rumahnya
sudah terlihat rapuh dengan posisi soko guru atau (tiang penyangga di rumah adat
jawa) yang sudah miring,belum lagi dinding yang hanya terbuat dari bilik kayu
juga lantai rumah yang belum di plester dengan semen sedikitpun bisa disebut
lantai nya masih bentuk tanah. Bagas sedang memakai sepatunya dan mbak Ninda
sedang merapikan rambutnya. Kemudian mereka pamit dan bersalaman dengan
ibu yang juga harus pergi bekerja mencacah batu di sungai

“Bu, aku pamit pergi sekolah dulu, Assalamualaikum”

“Iyo,Lek sing pinter yo sekolah’e”

“Ninda juga pamit yo Bu, doain Ninda yo Bu biar jadi wong sukses”

“Iyo pasti tak Ibu doain”

“Bagus yo pamit Bu, doain Bagus juga yo Bu”

Mas Adi kemudian menaiki sepeda ontel yang sering dulu Bapak pakai
ketika mengantarkan mereka sekolah sewaktu kecil. Mas Adi meletakkan kaki nya
pada kayuhan sepeda bergegas cepat agar tidak terlambat.

“Ayo to Nin, kita udah terlambat sekolah !!!” perintahnya cepat.

“Iyo,Mas bentar!”
“Kamu juga Gus,cepetan di sepatunya.”

“Iyo Mas ini udah selesai”

Mereka berangkat bersama diantar Mas Adi yang memang sekarang


menjadi kepala keluarga setelah bapaknya meninggal. Dia yang harus
mengemudikan arah keluarga ini dengan baik agar tidak jatuh dan terjerumus
seperti apa kata nasihat Bapaknya. Perjalanan mereka cukup jauh dari rumah ke
sekolah apalagi harus melewati jembatan yang ada di desa mereka sebagai
penghubung desa satu dengan yang lainnya. Mereka tak pernah lelah dan selalu
penuh semangat belajar untuk mengejar cita citanya seperti apa yang dipesankan
Bapaknya “Kalian itu harus belajar yang rajin biar nanti gede bisa jadi wong
sukses.” Mas Adi pula sekarang yang menggantikan Bapaknya mengantarkan
kedua adiknya setiap hari ke sekolah.

Sepeda sudah berhenti tepat di depan sekolahnya Bagus.

“Mas, aku pamit sekolah dulu yo” turun dari boncengan depan sepeda

“Iyo,belajar yang rajin sana biar bisa kejar cita citamu itu!”

“Iyo Mas” ucap Bagus yang menyalami Masnya itu.

“Yo wis sana ke kelas”

“Assalamualaikum Mas, Mbak”

Akhirnya Mas Adi dan Mbak Ninda telah sampai di sekolah mereka yang
memang agak terlambat. Mereka bersekolah di sekolah yang sama. Jarak usia
mereka memang hanya terpaut satu tahun. Mas Adi kemudian masuk kelasnya.
Mbak Ninda pun sama halnya pergi ke kelasnya masing masing. Mas Adi dan
Mbak Ninda memang pintar termasuk dalam hal matematika. Ketika di kelaspun
mereka bisa menjawab soal soal yang diberikan Bapak/Ibu Guru.

“Ini ada soal yang sudah bapak berikan di papan tulis, siapa yang bisa
mengerjakan maju ke depan!”
“Saya Pak” Mas Adi mengacungkan tangannya

Dia sibuk menyelesaikan soal yang diberikan di papan tulis dengan benar
di depan kelas. Anak anak kelas sudah tau memang kepintaran Mas Adi ini
bahkan memang Mas Adi ini rajin dan selalu bisa mengerjakan soal soal yang
sulit sekalipun.

“Iyaa, Bagus ! Jawaban kamu benar, Adi”

Mas Adi kembali ke bangkunya memperhatikan lagi materi yang


disampaikan Pak Guru dengan seksama dan selalu mencatat apa yang dipelajari.

Bel pulang sekolah berbunyi tandanya jam sekolah sudah usai. Para murid
cepat cepat ingin pulang ke rumah. Mas Adi pun begitu, ia langsung pergi ke
mengambil sepedanya dan menghampiri adiknya, untuk diajak pulang seperti
biasa. Ketika ia sampai ke gerbang, ia melihat adiknya sedang berbicara dengan
lelaki yang berseragam SMA juga sama, tetapi ia kaget ketika mendengar si lelaki
di depan adiknya ini menyatakakan rasa suka dan cintanya kepada adiknya dan
ingin berpacaran juga selalu ingin mengantarkannya pulang bersama. Kemudian
meninju lelaki yang ada di depan adiknya itu.

“Kamu itu ingin hancurin cita cita adikku yo. Jangan menyuruh adikku
untuk pacaran lagi. Awas kalau aku sampai liat kamu masih deketin adikku ini!!!
Sekarang kamu harus jauhin adikku” Bentaknya.

“Tapi Mas, aku memang tulus cinta dan suka sama dek Ninda. Aku
pengen kita pacaran mas. Aku juga bakal jagain adikmu Mas” katanya

Betapa marahnya Mas Adi mendengar ucapan itu, lalu menyeret paksa
lengan adiknya untuk pulang sekarang dengannya .

“Mas lepasin tanganku sakit mas” ucapnya merintih kesakitan

“Kamu itu udah berani melawan sama Masmu ini ya!!!”

“Mas dengerin penjelasanku dulu to Mas”


“Lelaki itu beraninya nyatain cinta ke kamu!!! Mau jadi apa kamu kalo
pacaran” bentaknya lagi

“Tapi Mas aku juga suka sama dia. Aku juga gak bakal lupa belajar kok
Mas. Tetep pengen ngejar cita citaku juga” katanya

“Alahh itu cuman bohong, kamu mau jadi apa kalo pacaran terus!!!!”

“Mas tapi perasaanku gak bisa bohong, aku juga suka sama dia Mas”

“KAMU ITU UDAH MAS BILANGIN!!! MASIH AJA NGELAWAN”

*PLAKKK*

Kesabaran Mas Adi sudah habis, melihat adiknya yang terus terang saja
baru melawan masnya seperti itu. Pipi adiknya itu terkena tamparan masnya yang
sudah tak terbendung lagi amarahnya. Mas Adi kemudian mengajaknya itu
pulang. Dalam perjalanan pulang Mas Adi tetap memberi nasihat lagi ke adiknya
itu apalagi dia sekarang sebagai pengganti kepala keluarga yang harus bisa
menjaga keluarganya.

“Kamu itu bapak kan sudah bilang dulu belajar,belajar,belajar dulu yang
rajin nanti biar bisa jadi wong sukses bahagiain ibu juga bapak disana!”

“Kamu itu udah berani ngelawan perintah mas!”

“Kita itu orang miskin. Orang miskin itu ndak boleh pacaran! Belajar dan
kerja dulu sampai jadi wong sukses!”

“Iyo Mas” menunduk pasrah dengan sedikit rasa kesal yang masih ada

Hari semakin sore, matahari mulai hilang ke peraduan, langit mulai senja.
Ibu juga baru pulang dari sungai setelah seharian mencacah batu. Terlihat jelas
guratan lelah di wajahnya , peluh lelah dan juga keringat megalir di pelipisnya. Ia
kemudian meletakkan caping juga alat nya yang digunakan ke dapur. Hari ini
terlihat sangat lelah dan pusing melanda kepalanya. Ia pergi ke kamarnya untuk
beristirahat walau hanya dalam ranjang kayu bilik yang juga rapuh dan selimut
yang hanya berupa jarik. Mbak Ninda lalu menghampiri kamar ibunya dan ingin
menceritakan apa yang baru saja terjadi antara dia dan masnya itu.

“Bu, capek ya bu habis dari cacah batu di kali tadi? Sini ninda tak pijitin
kaki ibu biar ga pegel lagi.”

“Hhmm” berdehem pelan sambil memejamkan matanya menahan rasa


pusingnya

“Bu, tadi ninda berantem sama mas”

“Kenapa kamu berantem sama masmu to? Ada apa?” dengan nada pelan
dan lemah

“Tadi ada mas marah ngelihat aku yang sedang ngobrol dengan teman
lelakiku”

“Bener itu temanmu? bukan orang yang suka sama kamu? Kamu ngobrol opo?”

“Itu bener temenku kok bu ,tapi tadi dia nyatain suka nya ke Ninda bu.”

“Terus jawabanmu opo?”

“Aku ndak pacaran kok bu sama dia, tapi aku juga punya rasa suka bu sama dia.”

“Mas mu itu bener nduk, mas mu itu takut kalau kamu jadi lupa belajar, apalagi
sekarang masmu yang gantiin bapakmu,pasti tugas masmu itu berat nduk.”

“Tapi bu mas sampai berkelahi sama lelaki itu.”

“Yo wis, mas mu paling terlalu emosi liat adiknya begitu. Sana pergi minta maaf
dulu sama masmu itu,gak baik loh nduk marahan terus sama masmu.” Ucapnya
lembut menasihati Mbak Ninda

Mbak Ninda kemudian pergi ke dapur untuk memasak makan malam


mereka. Hanya dengan lauk seadanya mereka makan malam bersama,tetapi
mereka menikmatinya bersama. Suara dan jangkrik, keheningan malam, dan
redup cahaya dari lentera menambah kehangatan makan malam mereka. Biasanya,
ketika ada bapak mereka sering bercengkrama membahas tentang banyak hal.
Mas Adi, Mbak Ninda, Bagus juga Ibu berkumpul bersama. Mas Adi tiba tiba
membuka pembicaraan,

“Nin, maafin mas tadi udah nampar kamu, mas tadi kelewatan batas, mas
cuman kesel liat kalian begitu, mas keingetan omongan bapak, mas harus bisa
tanggung jawab sama nasihat bapak apalagi kamu tau sekarang bapak gak ada jadi
semua tanggung jawab bapak dikasih ke masmu ini”

“Iyo mas, maafin Ninda juga udah gak nurut sama omongan mas, Ninda
udah berani ngelawan sama mas. Ninda tau pasti berat jadi mas itu apalagi
nanggung tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga. Maafin Ninda ya mas.”
Ucapnya menundukkan kepala merasa bersalah

Saat hari pengumuman yang lolos PTN jalur undangan tiba, Mas Adi
datang terburu buru menghampiri sang Ibu di sungai yang sedang mencacah batu.
Ia membawa surat keterangan hasil lolos atau tidaknya masuk PTN yang
diinginkan.

“Bu,Ibu,Bu aku keterima jalur undangan universitas favorit di Jogja”


ucapnya bersemangat

“Opo iyo to lek? Bener itu ?”

“Yo bener to Bu,masa aku bohong”

“Alhamdulillah yo Lek kamu diterima, Rat, Yu Mbak Yu, liat anakku iki
diterima di Universitas favorit Jogja” ucapnya bangga memamerkan ke temannya
yang juga sedang mencacah batu di sungai.

Hari semakin sore, Ibu kemudian pulang ke rumah setelah lelah seharian
mencacah batu. Di ruang tengah rumah, Mas Adi, Mbak Ninda juga Bagus
dengan belajar bersama sama saling bantu mengajari pelajaran yang sulit. Tiba
tiba, Mas Adi mengajak Sang Ibu pergi mengobrol,

“Bu, aku mau ngomong sesuatu sama Ibu.”


“Ada apa to lek? Opo serius banget?”

“Gini loh Bu, Ibu sama Bapak kan udah tau dari kecil kalau cita cita Adi
ingin jadi pilot, Adi kepengen ke Jakarta Bu sekolah pilot disana”

“Lek, Jakarta itu luas,Ibu tau kamu pengen jadi pilot, tapi biaya jadi pilot
mahal lek, ibu belum punya cukup uang”

“Ibu gak usah khawatir masalah biaya Bu, nanti Adi di Jakarta kerja
sambil sekolah Bu”

“Nanti tak Ibu pikirkan lagi” ucapnya sambil melenggang pergi

Malam ini sang Ibu tidak bisa tidur nyenyak,Ia terus teringat dengan
keinginan anak mbarepnya itu. Ketika tengah malam, Adi menyiapkan pakaian
yang akan dia bawa ke Jakarta. Dia berniat akan pergi tanpa sepengetahun Ibu
agar Ibu tidak khawatir dan mencemaskannya. Mas Adi lalu menulis sepucuk
surat untuk ibu sebelum ia pergi.

“Ibu maafkan aku” ucapnya pelan saat melihat ibunya tertidur di dalam
kamar.

Ketika Adi berusaha untuk membuka pintu dengan pelan, tetap saja
terdengar suara yang membuat ibunya terbangun. Adi pun kembali menutup
pintunya dan pergi. Ketika sang Ibu melihat ke arah sumber suara, terlihat Mas
Adi yang pergi membawa tas.

“Lek lek kamu mau kemana lek” teriak ibu sambil berlari membawa
simpanan uang hasil kerja cacah batu dan simpanan uang sepeninggal bapak.

Tetapi Mas Adi tidak menghiraukan Sang Ibu yang ikut menyusulnya, ia
terus berlari menghindari Sang Ibu dan menghampiri Pak Lek nya yang sudah
berjanji akan mengantarkannya ke jembatan untuk naik mobil pergi ke Jakarta.
Sang Ibu terduduk lemas melihat Mas Adi yang sudah menaiki mobil ikut pergi
ke Jakarta. Ia menangisi kepergian Mas Adi yang sangat mendadak bahkan tidak
berpamitan dahulu dan tidak membawa uang sedikitpun. Sang Ibu sangat sedih
melihat anaknya kabur begitu saja dari rumah.

Waktu cepat berlalu,setelah kepergian Mas Adi ke Jakarta, kelulusan mbak


Ninda pun tiba. Ia mendaftarkan dirinya di Universitas ternama di Jogja bahkan
Indonesia yaitu UGM dengan mengambil fakultas kedokteran. Dengan kepintaran
dan prestasi Mbak Ninda, akhirnya ia diterima di Fakultas Kedokteran UGM
seperti keinginannya sejak kecil. Ia kemudian bergegas pergi menghampiri sang
Ibu di rumah.

“Bu, Mbak Ninda diterima di UGM bu.” Ucapnya sangat senang

“Wah? Opo bener itu nduk?”

“Iyo Bu, Ninda diterima di fakultas kedokteran nanti Ninda kuliah di Jogja
Bu” ucapnya sangat senang

“Alhamdulillah Ya Gusti Allah, matur suwun sanget” ucapnya sembari


sujud syukur kepada Gusti Allah

Setelah mempersiapkan barang barang yang harus dibawa untuk kuliah


selama di jogja, Mbak Ninda kemudian berpamitan pergi dan menyelami Sang
Ibu. Pak Lek nya juga kemarin sudah Ibu suruh untuk mengantarkannya ke Jogja.

“Bu, Ninda pergi kuliah dulu di Jogja doain mbak Ninda selama kuliah
selalu dilancarkan Gusti Allah” pamitnya sambil mengecup sang Ibu

“Iyo nduk, kamu hati hati disana yaa, jaga diri kamu baik baik disana, yang
rajin yo nduk, ibu cuma ngasih kamu doa nduk.” ucapnya sambil menitikkan air
mata dan memeluknya

“Ini ibu ngasih uang simpanan sepeninggal Bapak sama hasil uang kerja
yang ibu kumpulin, kamu pake disana dengan baik yo nduk” ucapnya lagi sambil
menyodorkan uang simpanannya yang ada di kaleng

“Bu, gak usah Ninda malah ngerepotin Ibu.” Ucapnya menolak


“Udah bawa aja itu uangnya nduk”

“Ibu Ninda saying sama Ibu dan bakal kangen sama Ibu, nanti kalau sudah
di Jogja Ninda kabarin Ibu.”

“Yo wis sana, Pak Lek mu sudah nunggu”

“Assalamualaikum, Ninda pamit Bu”

Di semester pertama kuliah Mbak Ninda memang sering mengirimi ibu


pesan atau sekedar menelpon ibu ketika sedang waktu luang, tetapi akhir akhir ini
setelah semester akhir mendekati hari wisuda Mbak Ninda jarang mengabari lagi
Sang Ibu bahkan sudah berbulan bulan.

Tiba hari wisuda mbak Ninda, ia menelpon sang Ibu mengabari hari
wisudanya,

“Assalamualaikum Bu, ini Ninda maaf jarang mengabari Ibu lagi, akhir
akhir ini Ninda sibuk menyusun skripsi Bu kemarin kemarin.”

“Iyo gapapa Ibu maklum nduk kuliah mu itu pasti sibuk, ibu kangen sekali
sama kamu nduk.”

“Bu, besok hari wisuda Ninda, Ibu besok datang yaa pergi ke Jogja sama
Pak Lek sama Bagus juga pake baju yang rapi bu ajak keluarga kesini Bu, lihat
hari wisuda Ninda Bu.”

“Iyo nanti Ibu datang” ucapnya bohong

“Ya sudah yo Bu, Ninda harus gladi resik buat besok wisuda,
Assalamualaikum Bu” ucapnya menutup sambungan telepon

Sang ibu ternyata berbohong dan berniat tidak ikut ke acara wisuda Mbak
Ninda

“Pri, nanti kamu aja yang berangkat ke Jogja sana buat acara wisuda Ninda
sama Bagus.”
“Kepiye to Mbak Yu?”

“Udah kamu aja sama Bagus sana, Mbak Yu gak pantes buat ikut nanti
Mbak Ninda kasihan malu sama Ibunya yang dari desa seperti ini.” Ucapnya
sambil melenggang pergi

Mas Adi kemudian tiba tiba ada di depan pintu dengan mengenakan
seragam pilot juga membawa koper. Bagus dan Pak Lek kaget melihat ada yang
datang tak disangka. Mereka lalu menghampiri Mas Adi dan memeluknya

“ Mas Adi, darimana aja Ibu sama aku kangen sama Mas Adi. Mas sekarang
sudah jadi pilot. Bagus ,Ibu juga Bapak bangga sama Mas.” Ucapnya
menghampiri Mas Adi dan memeluknya

“Iyo Gus, Masmu ini sudah jadi pilot sekarang, tapi banyak ceritanya Mas
juga gak langsung masuk sekolah pilot Mas harus kerja dulu di Jakarta. Mas
ngalamin susah dulu.”

“Lek, kamu pulang to? Gak salah dulu Pak Lek mu ini nganter kamu
sampai cari mobil buat ke Jakarta.”

“Iyo Pak Lek, nanti Pak Lek ,Ibu, sama Bagus mau kamu kemana nanti tak
anter.”

Bagus kemudian memanggil sang Ibu untuk melihat mas Adi yang datang.

“Bu, Ibu ini Mas Adi datang Bu.” Ucap Bagus sambil berteriak

Sang Ibu kemudian bergegas keluar dari kamarnya. Betapa terkejutnya


sang Ibu ketika melihat Mas Adi yang dulu kabur dari rumah tak berpamitan dan
sekarang melihatnya sudah memakai seragam pilot.

“Bu, Adi pulang Bu.” Ucapnya menghampiri sang Ibu kemudian


memeluknya sambil menitikkan air mata

Mas Adi memeluk erat sang Ibu sambil menitikkan air mata melepaskan
kerinduan yang sudah lama tak bertemu sang Ibu
“Kamu darimana saja lek? Ibu kangen banget sama kamu.”

“Adi kerja keras dulu Bu di Jakarta terus Alhamdulillah sudah jadi pilot
seperti cita cita Adi dulu Bu.”

“Bu, ini Adi bawain Ibu oleh oleh Baju yang bagus biar Ibu cantik.”

“Ayo masuk dulu lek, Ibu tak siapin minum dulu buat kamu, Gus bawain
tas dan koper masmu itu.”

“Iyo Bu.”

Mas Adi hanya sebentar mengunjungi sang Ibu. Ia tidak bisa berlama lama
disana karena jadwal penerbangannya yang padat. Akhirnya esok hari kemudian
Mas Adi balik ke Jogja. Hari ini juga hari wisuda Mbak Ninda. Ketika melihat
yang datang, Mbak Ninda kaget melihat sang Ibu yang tidak ada.

“Pak Lek mana Ibu? Bagus mana Ibu kok ndak ikut?”

“Nin, ibumu itu ngeyel sudah tak ajak tapi tetep gak mau padahal pak Lek
mu ini sudah menyewa mobil buat ke Jogja. Kata Ibumu, dia gak pantes ada di
acara wisuda kamu nanti kamu malu punya Ibu dari desa seperti dia.”

Mbak Ninda merasa kecewa dan sedih sang Ibu tidak bisa datang ke acara
penting dan berharga baginya.

Beberapa tahun kemudian, Mbak Ninda juga sudah kerja di rumah sakit
ternama di Jogja tetapi semenjak dari awal kuliah hingga sekarang hanya Mbak
Ninda yang belum pernah pulang lagi ke rumah menengok Ibu. Mas Adi pun
sama terakhirnya kali nya ketika mendadak pulang waktu itu dan belum
mengunjungi ibu lagi, tetapi Mas Adi selalu memberi ibu uang setiap bulannya.
Sang Ibu sangat rindu sekali dengan Mas Adi dan Mbak Ninda bahkan sampai
terbawa mengigau belum lagi sang Ibu sering sakit, tetapi masih saja
memaksakan kerja cacah batu di sungai.
“Gus coba telpon Mbakmu itu, ibu kangen sekali ingin ngobrol dengan
mbakmu.”

“Sebentar yo Bu.”

(sambungan telepon tersambung)

“Assalamualaikum Bu, ada apa?”

“Waalaikumsalam nduk, gimana kabarmu? Ibu kangen sekali sama kamu,


kenapa ndak pulang ke rumah? Sudah lama sekali nduk kamu gak pulang.”

Mbak Ninda memang sedang sibuk menangani pasiennya saat itu


kemudian ia menutup sambungan

“Bu, Ninda lagi ada pasien nanti kita ngobrol laginya yo Bu,
Assalamualaikum.”

(Terdengar suara sambungan terputus)

“Ini Gus, Mbakmu lagi sibuk sama pasien.” Ucapnya sambil melenggang
pergi

Akhir-akhir ini kesehatan ibu sangat menurun, Ibu sering merasa pusing
dan kondisi matanya yang kurang baik. Bagus kemudian berinisiatif menelpon
Mas Adi dan Mbak Ninda untuk memberitahukan kondisi sang Ibu.

(sambungan telepon tersambung)

“Mas, Ibu lagi sakit di rumah bahkan udah 3 hari Ibu gak keluar kamar
cuman berbaring di tempat tidur. Mas kalau tidak sibuk, bisa tidak mas pulang
jengukin ibu? Kadang ibu pas tidur sampe nyebut nama mas sama mbak.”

“Iyo nanti tak usahain mampir dulu ke jogja di sela jadwal penerbangan mas, udah
dulu ya Gus. Mas lagi sibuk, Assalamualaikum.”

(sambungan telepon tersambung)


“Mbak, Ibu lagi sakit di rumah bahkan udah 3 hari Ibu gak keluar kamar
cuman berbaring di tempat tidur. Mbak kalau tidak sibuk, bisa tidak mbak pulang
jengukin ibu? Kadang ibu pas tidur sampe nyebut nama mbak sama mas. Mbak
udah lama gak pulang mbak, Ibu kangen banget katanya. Mbak kan sekarang
sudah jadi dokter, mbak kan bisa rawat ibu disini yang lagi sakit.”

“Iyo Gus, nanti tak usahain minta izin cuti dulu ke atasan mbak. Sudah
dulu yo Gus mbak lagi banyak pasien hari ini.”

Tak berapa lama kemudian Mas Adi dan Mbak Ninda datang, mereka
langsung pergi ke kamar sang Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Ketika melihatnya,
kondisi ibu sudah sekarat dan perlu pertolongan bantuan medis. Mbak Ninda
kemudian menelpon temannya untuk membawakan Ambulance ke rumah mereka.
Sayangnya nyawa Ibu mereka tak tertolong ketika dalam perjalanan. Mereka
sangat terpukul dengan kepergian ibu. Mereka juga sangat menyesal terutama
Mbak Ninda yang sekarang sudah jadi dokter, dirinya merasa menyesal karena
tidak bisa merawat sang Ibunya sendiri ketika sedang sakit padahal dia sendiri
adalah dokter. Dia terus menyesali dirinya dan menangisi sang Ibu. Mas Adi pun
menangisi sang Ibu mengingat dulu ia pergi kabur tak berpamitan dengan Ibu
bahkan jarang menjenguk sang Ibu ketika sudah mendapat pekerjaan, dan tidak
menyempatkan untuk ketemu dengan sang Ibu. Mereka sangat menyesali
perbuatan mereka sekarang. Mereka seperti sudah lupa dengan sang Ibu ketika
sudah sukses.

Setelah selesai pemakaman, mereka kembali pulang ke rumah dengan


perasaan yang masih sangat menyesal. Bagus dan Pak Lek kemudian pergi
menghampiri Mas Adi dan Mbak Ninda untuk mengajak ngobrol di ruang tengah,
ada hal yang perlu disampaikan ke Mas Adi dan Mbak Ninda.

“Mas, Mbak sebenernya ada yang ingin bagus sampaikan mengenai Ibu.”

“Ada apa to Gus? Apa ada yang disembunyikan ibu dari Mas dan Mbak?”
“Jadi gini mas, Ibu dulu pernah bilang sama Bagus kalau halaman depan
rumah kepengen dibongkar kalau mbak Ninda itu Nikah Mas, pawon juga
dibongkar Mas. Sebenernya juga Mas sakitnya ibu itu udah lama, mata ibu itu
sakit sampe bikin ibu pusing. Ibu bilang kalau itu karena kena batu pas lagi cacah
di sungai. Uang kiriman mas juga aku suruh untuk biaya ibu berobat ke dokter,
tapi ibu itu ngeyel selalu gak mau diajak ke dokter. Katanya ibu ‘masa uang
masmu itu dipake buat berobat ibu yang sudah tua begini gak mungkin bisa
sembuh, kasian masmu itu udah capek capek kerja terus uangnya buat biayain ibu
yang kaya gini’, ibu itu selalu nolak pas diajak berobat mas jadi keadaan nya
makin parah. Bagus kadang disuruh ibu harus bohong kalau mas atau mbak nanya
gimana kabar keadaan ibu.” Ucapnya sambil menitikkan air mata

Mendengar penjelasan Bagus, mereka terkejut sekaligus menyesali


perbuatan mereka. Kalau bisa waktu diputar kembali, mereka pasti akan merawat
ibu dengan baik juga menyempatkan waktu pulang ke rumah mengunjungi ibu,
tetapi mereka sudah terlambat semua hanya tinggal harapan saja. Mereka tidak
bisa mengabulkan permintaan ibu yang terakhir.
Lucifer’s Fragment
Oleh: Dityoseno Riadussurur

“Kriiiiinnnnngggg....kriiiiinnnngggg...kkrriiiinngggg” suara alarm yang


kencang itu membangunkanku,aku pun mematikannya dan duduk.

“Hmmm,ah sepertinya ini adalah waktuku untuk pergi ke sekolah” aku


pun bergegas untuk wudhu dan shalat, setelah itu aku pun mandi dan bersiap-siap
untuk pergi ke sekolah.

“Ibu, ayah, aku berangkat” kataku sambil berangkat ke sekolah.

“Hati hati dijalan nak, semoga sukses” jawab kedua orangtua ku sambil
melambaikan tangan

Namaku Kuro Raizel, aku sekolah di Hachimitsu Fumizuki Academy.


Hidupku seperti layaknya siswa biasa, belajar, bermain, dan sering menghabiskan
waktu bersama teman dan keluarga,aku selalu berharap semoga hidupku akan
selalu berjalan lancar setiap harinya,ya semoga saja...

“Hoooiii, Kuro tunggu sebentar” sapa seseorang di belakangku

“Oh, Yuuki selamat pagi” sapaku sambil tersenyum

Kusanagi Yuuki, teman sejak aku masih kecil, dulu kita sering bermain
bersama di sebuah taman bernama Ryujin, sekarang taman itu sudah tidak ramai
lagi dan jarang dikunjungi karena cukup jauh dan tersingkir oleh sebuah theme
park yang ada di pusat kota. Tetapi aku dan yuuki masih sering mendatangi
tempat itu.

“Kuro? kau sudah merencanakan liburan musim panas mu?

“Hmm? tidak,paling aku cuma diam dirumah dan bermain game sepanjang
hari”

“Oh,kalau begitu kau mau tidak menemaniku jalan-jalan sesekali?”


“Baiklah,tentu saja”, kami pun berbincang saat pergi ke sekolah dan
akhirnya sampai di sana. Dari jauh sudah terlihat dua temanku yang lain, Nakiri
Erina dan Raito Yagami, sudah menungguku.

“Hei Kuro, cepatlah sebentar lagi bel masuk akan berbunyi” ucap Raito
dengan wajah kesal

“Aduh, anak itu...”gumamku sambil menghampirinya. Tak lama kemudian


bel masuk pun berbunyi.

Hari ini adalah pelajaran biologi, yang gurunya bernama Bu Fumiyo, Bu


Fumiyo mahir membuat para muridnya agar tidak mudah bosan pada saat
mengikuti pelajaran.Kali ini kami diharuskan untuk uji lapangan di belakang
sekolah untuk mencari tanaman herbal di sekitar lapangan. Aku pun berkelompok
dengan Yuuki, Erina, dan Yagami.

“Lihat teman-teman,apakah ini adalah tanaman herbal?”teriak yagami yang


sedang memperhatikan sebuah tanaman.semua orang pun langsung
menghampirinya,tetapi perhatianku teralihkan pada sebuah tanaman berwarna
hitam di ujung lapangan.

“Apa-apaan kau ini Yagami? itu adalah rumput liar biasa” ucap Erina
dengan nada kesal

“Hehehe,aku tidak tau,mau bagaimana lagi:v”suara mereka terdengar samar


olehku yang sedang fokus mendekati tanaman itu.

“Tanaman apa ini?” gumamku dalam hati. Aku pun menyentuh tanaman
itu,tetapi saat ku sentuh aura hitam yang menyelimuti tanaman itu terbang ke
langit.

“Apa......itu?”aku pun terus memperhatikan distorsi hitam itu

“Kuro?”

“Kuro!?”panggil Yuuki sambil menggoyangkan bahuku

“Eh..a-ada apa?”
“Apa yang sedang kau lakukan?”

“Tidak,aku sedang tidak melakukan apa-apa,ayo kita lanjutkan”

Kami pun melanjutkan pencaarian dan menemukan beberapa tanaman


herbal,lalu tibalah waktunya istirahat.Kami pun beristirahat di kantin favorit
kami,kantin isshiki.Kami pun makan dan minum disana,lalu Yuuki pun datang
membawa es krim.

“Hei,Yuuki apakah kau tidak membawakanku eskrim juga?”

“Hah,eh....hmm, maafkan aku, aku tidak tau ka....

“Hahaha,tenang saja,aku hanya bercanda. Bagaimana kalau....aku mencicipi


punyamu saja?”ucapku dengan mata menyipit sambil terus mendekatinya.

“T-tapi,hmm,eh,eh?” wajah Yuuki terlihat bingung dan memerah.

“Bwahahaha,lihat wajahmu sangat merah Yuuka,aku hanya bercanda”

“Aduh dasar anak ini” ucap Erina.Waktu pun berlalu sangat singkat,dan
akhirnya tibalah saat pulang.

“Sampai jumpa semuanya.Ayo kita pergi Yuuka”

“Hmm”timpal Yuuka sambil mengangguk

Aku dan Yuuka memnag sering pulang bersama,karena rumah kita


searah,hanya saja berrpisah di suatu gang. Aku selalu mengantar Yuuka sampai
rumah, lalu balik lagi dan pulang ke rumahku.setelah beberapa saat,kami pun tiba
di rumah Yuuka.

“Terima kasih karena telah mengantarku,Kuro”

“Hmm?tidak usah berterima kasih,kan sudah hampir setiap hari aku


mengantarmu pulang”

“Ya, justru karna itu” jawab Yuuka dengan wajah tersenyum

“Hmm Baiklah.Sampai jumpa Yuuka”

“Bye bye,sampai jumpa ”teriak Yuuka sambill melambaikan tangan.


Aku pun berjalan pulang ke rumah,pada saat melewati sisi bukit,ada seseorang
yang berlari dan sangat aneh.

“Hmm?orang itu aneh biarkan saja”gumamku dalam hati

“Eh, tunggu dulu!orang itu tidak sedang mengejarku kan?” seketika aku pun
berlari,entah kenapa orang itu terus mengejarku.

“Apa apaan orang itu?”aku terus berlari,sampai akhirnya sampai di depan


rumah.Saat menengok ke belakang orang itu pun sudah tidak ada.

“Huft,huft,huft.Dasar orang aneh”gumamku sambil masuk ke rumah

“Assalamualaikum? kemana semuanya kok sepi amat?”ucapku sambil


berjalan mencari orang orang.pada saat sampai di kamar,ada sebuah surat.

“Ibu dan ayah akan pergi keluar kota sekitar sebulan,jaga diri baik
baik,kalau ada keadaan darurat hubungi aja ibu”gumamku yang sedang membaca
surat.

“Hah?,besok lusa sudah liburan,tetapi mereka meninggalkanku


sendirian,haduh kejamnyaT_T”

Aku pun berjalan dan melamun di balkon,melihat ke arah langit yang gelap
gulita.kemudian ada setitik cahaya terang disana.

“Hmm?bintang jatuh ya?cukup indah ternyata.eh?tunggu,kenapa bintang itu


terus melaju ke arah bukit ini,eh?”

“JEDAAAARRR”suara meteor yang menabrak bukit terdengar sangat keras


hingga memekakan telinga.Aku pun terkejut dan langsung berlari menghampiri
ledakan tersebut.

Tidak lama kemudian,aku pun sampai di tempat ledakan itu,seluruh benda


yang ada disitu pun terbakar,dan aku melihat ada sebuah permata hitam
disana.Aku pun mengambilnya,tetapi saat aku menyentuhnya aku tak sadarkan
diri

Pada saat terbangun hari pun sudah pagi dan...


“A-apa yang terjadi?”separuh kota sudah hancur dan aku hanya diam
ditengahnya.

“Teman-teman?dimana teman temanku?” aku bergumam sambil berlari


mencari mereka.

“Hei,Kuro?”

“Kalian?kalian darimana?”

“Kami habis datang ke rumahmu,tetapi tak ada siapapun.kami pun


mencarimu kemana mana.”

“Syukurlah,untung kalian tid.....AKH!!!”

“Kenapa ini?kenapa aku kehilangan kontrol atas tubuhku?”gumamku dalam


hati.

“Kuro kau tidak apa-apa?”ucap Erina menjulurkan tangannya.

“PERGI!!!jangan mendekat”

“Hei apa yang ter-

“JLEB!!!”aku pun tak sengaja menyerang Yagami dengan sesuatu...yang tak


bisa kujelaskan, seperti tombak hitam hingga tangannya tertusuk.

“Eh,maaf aku harus pergi”aku pun berlari menjauhi mereka,tetapi tak lama
kemudian ada seseorang yang menghalangiku,orang itu...yang mengejarku
kemarin.

Orang itu langsung berlari dan menyerangku.

“Hei,apa yang kau lakukan?”

“diam dan jangan MENYERANGKU”aku pun mengeluarkan tombak itu


dan menyerang balik.

“Akhirnya kau mengeluarkan Dark spear” kata orang itu sambil


mengeluarkan senjata Halberd berwarna hitam.lama kelamaan pandanganku pun
kabur,aku tak bisa lagi mengontrol tubuh ini tetapi aku bisa melihat semuanya.
“Ada apa Urushihara kenapa kau menjadi lemah?” ucap seseorang dalam
tubuh ini

“Diamlah Alshiel” Kata orang asing itu

“Oh jadi dia bernama Urushihara?”gumamku dalam hati

“HAHAHAHA,ayo,ayo,ayo,ayo.lebih kuat lagi”

“JLEB”

“Ups aku menusukmu,hahahaha”

“Sialan kau, Alshiel...”

“Aku akan pergi,sampai jumpa....Di neraka. HAHAHA”

“Kuro!jangan pergi”

“Tuan,apakah tuan bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan Kuro?”Tanya


Yuuki pada Urushihara.

“Kuro ya? anak itu, hmm tubuhnya sedang diambil alih oleh kakakku,
Alshiel.Beberapa hari yang lalu permata yang menyegel roh kakakku dicuri dan
hancur,potongan nya tersebar ke lima penjuru dunia,semua pecahannya sudah
ditemukan kecuali satu,yang ada di dalam tubuh anak bernama kuro itu.jka tidak
segera mengambilnya tubuh anak itu akan diambil alih oleh Alshiel.Jika kita bisa
menyadarkan jiwa sejati yang ada pada tubuh itu,kita dapat mengeluarkan
pecahan itu dan menyelamatkan Kuro.sekarang sepertinya dia sedang pergi untuk
membangkitkan cochlea,sumber kekuatan iblis.kita harus menghentikannya
sebelum itu terjadi.Sekarang aku harus pergi untuk mencegahnya,selamat
tinggal.”

“Tunggu dulu,kami juga ingin menyelamatkan Kuro,izinkan kami


membantumu.”ucap Mereka bertiga

“Hmmm?Tidak bisa,kalian tidak cukup kuat bahkan untuk mendekatinya”

“Kami mohon, kami akan melakukan apa saja untuk menyelamatkannya”


“Hmph,baiklah,aku akan meminjamkan kalian beberapa senjata
dariku,kalian pasti tidak punya pengalaman bertarung sama sekali, jadi kalian
hanya akan membantu jarak jauh saja.”

“Baiklah”ucap mereka dengan serentak

“Ayo kita berangkat”

Tak lama kemudian pun mereka sampai di atas bukit tempat Alshiel
membangkitkan cochlea

“Hentikan Kuro!!!”

“Hmm?siapa..itu..Kuro?”

“Tch,Alshiel matilah”

Alshiel pun bertarung dengan urushihara dan teman-temanku,aku pun tidak


tidak bisa berbuat apa apa,hanya bisa melihat mereka bertarung.

“keluarkan aku dari sini. KELUARKAN AKU DARI SINI!!!”

“Ukh,dasar manusia sialan diamlah”

“JEDAR”

“Akhirnya,aku membangkitkan cochlea,kemarilah kekuatan ku”Alshiel pun


menyerap kekuatan di dalam cochlea.Badai besar pun terjadi.

“Matilah kalian semua!!!STEINZ:THUNDERGATE”petir yang sangat


besar pun meledak ke bumi,semua teman temanku dan Urushihara terluka.

“hahaha,terimalah kekalahan kalian,dark spear.matilah kali—

“jangan sakiti....TEMAN TEMANKU!!!,keluar dari tubuhku”

“Ukh,ahhh,diamlah”

“Kuro?aku tahu kau ada disana,kumohon sadarlah”ucap Yuuka sambil


mendekati Alshiel”

“Diam kau,jangan mendekat,ukh.orang bernama Kuro itu sudah tidak ada”

“Dengarlah Kuro,aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu bahwa-


“Diam kau,jangan men—

“Aku mencntaimu Kuro” ucap Yuuki sambil memelukku.

Seketika semua badai pun berhenti,dan aku kembali sadar sepenuhnya.

“Yuuka..Aku juga...Mencintaimu”

“Ahhh”,Cahaya dari tbuhku memancar ke langit,lalu jatuh sebuah potongan


permata hitam dari langit.Urushihara pun bergegas mengambil permata tersebut.

“Sepertinya,tugasku disini sudah selesai,kuambil lagi senjataku dari kalian.”

“Terima kasih Urushihihara”ucap kami semua

“Hmm”ucap dia lalu menghilang melalui portal.

“Semua ini sudah selesai kan?”tanya Yuuka padaku

“Ya, sepertinya begitu”

“Ekhem,sepertinya kita berdua akan duluan saja,kami akan menunggu di


bawah bukit.”ucap Yagami dan Erina

“Hmm Kuro?mulai saat ini kita berdua akan menyelesaikan semua masalah
bersama kan?”Tanya Yuuka lagi sambil menatapku.

“Tentu saja,Yuuka”jawabku sambil menatapnya dan memegang tangannya


dengan erat.
ZAHRAKU MILIKU
Oleh : Fahmy Rizky Megantara

Namaku Rizky, Rizky Muhamad Al Fatih. Lahir di Garut 8 juli 2001. Ibuku
orang Cibatu yang dulu dikenal dengan kecantikannya. Ayahku seorang
Pengusaha orang Bandung. Setelah menikah mereka pindah ke suatu daerah di
Garut Kota.

Di Garut aku sekolah di salah satu SMA yang terkenal, SMAN 1 Garut
namanya, dan disinilah ceritaku dimulai, tentang dia yang singgah selamanya
didalam kehidupanku.

Jum’at, 4 April 2018. Aku berangkat ke sekolah menggunakan angkutan


umum, karena Ibuku belum mengizinkanku untuk naik motor. Setelah naik
angkot,aku harus berjalan kembali, karena angkot terebut tidak melewati depan
sekolahku.

Selagi berjalan, aku bertabrakan dengan seorang perempuan yg cantik dan


imut.Brukkk...buku perempuan tersebut berjatuhan.

”Ma..maaf ”merunduk sambil membereskan bukunya.

“Kamu gapapa, mari saya bantu” akupun membantu membereskan buku


perempuan tersebut.

“Makasih ”

“Iya sama sama ,lain kali hati-hati yaa”,

”Iyaa”.

Setelah itu dia pun pergi tak tau kemana.

Tadinya aku mau menanyakan namanya,tapi dia langsung pergi. Sejak


kejadian itu,aku mulai tertarik dengan dia dan ingin tau lebih dalam siapa dia
sebenarnya.Lalu aku kembali melanjutkan perjalananku ke kelas. Sesampainya
dikelas aku disapa oleh teman temanku, kami berbincang bincang hinnga bel
masuk pun berbunyi dan memulai pelajaran.

Bel istirahat pun berbunyi,aku bersama teman-temanku pergi ke kantin


membeli mie. Selagi aku dan teman-temanku menyantap mie tersebut,aku melihat
perempuan yang menabrakku tadi pagi. Lalu aku bertanya kepada Adnan teman
sebangkuku

“Nan, lu tau gak cewek yang duduk dipojok itu?,

“Ohh itu tau,emang kenapa?”

“Dia itu nabrak gue pas pagi di deket gerbang sekolah,tadinya gue mau nanya
namanya,tapi dia keburu pergi”

“Ohh dia itu bernama Azzahra kelas XI MIPA 6, lu naksir ya?”

“Ada-ada aja lu wkwkwk...” Sekarang aku tau namanya, hmm....nama yang


cantik.

Sepulangnya sekolah,aku kembali bertemu dengan Azzahra, lalu aku


mendekatinya untuk sekedar berbincang-bincang.

“Hai...kamu Azzahra ya?”

“Kok tau namaku,tau dari mana?”

“Adadehh...eh kenalin,namaku Rizky, tepatnya Rizky Muhamad Al Fatih.


Kamu rumahnya dimana?”

“Di Cipanas, kalo kamu rumahnya dimana?

“Oh aku rumahnya di Garut Kota”

“Ouuuu...deket dong”

“Iyaaa,kamu pulang naik apa?”


“Naik angkot”

“Sama dong, tapi beda jalur”

“Iya wkwkwk” sayangnya angkot yang tujuannya ke Cipanas sudah datang

“Rizky,angkot ku sudah datang , aku duluan yaa”

“Oh iya iya hati hati dijalan”

“Iyaa “.

Dia pun pergi meninggalkanku,akupun kembali berjalan menuju tempat yg


biasa angkot yang ditumpangi oleh ku lewat.

Sesampainya dirumah,aku tersenyum sendiri.”Apakah ini yang dinamakan


cinta?”tanyaku dalam hatiku. Kemungkinan besar sih iya,tapi aku takut di tidak
suka padaku. Aku lupa tidak menanyakan nomor teleponnya ,tadinya aku berniat
meminta nomor teleponnya supaya kita lebih akrab lagi.

Sekarang hari Sabtu, rutinitas yang kujalani seperti biasa, bangun tidur,
makan, main game.Itu adalah siklus yg sering kujalani ketika libur. Aku
mendapatkan info dari temen bahwa besok adalah ulang tahunnya Azzahra, itu
kesempatan yang sangat bagus bagiku untuk ngedeketin Azzahra. Aku langsung
menelpon alamat rumahnya Azzahra ke Adnan,

“Nan, lu tau gak alamat rumah si Zahra?”

“Tau,emang kenapa?”

“Gapapa,pengen tau ajaa”

“Hmm... lu naksir yaa?”

“Nggak”

“Jujur ajaa dehh ,kalo lu jujur gue kasih deh alamatnya”

“Iyaa..iyaa...gue naksir, tapi jangan bilang kesiapa-siapa”


“Cieee......iya.iya gue gak akan bilang kesiapa-siapa”

“Alamatnya mana dong”

“Alamatnya Jl.Cipanas No.178 Garut”

“Ok ok makasih ya Nan”

“Sama-sama”

“Nanti anterin gue ya pergi ke rumah si Zahra oke?”

“Kok gue sih yang nganter?”

“Kan lu yang tau rumahnya”

“Hmm... iya deh iyaa “.

Sesampainya dirumah Zahra, aku sedikit agak gugup, karena ini pertama
kalinya aku mengunjugi rumah cewek.

“Ki, lu kenapa?”

“Gue gugup Nan”

“Yaelah..lu mah baru segini aja udah gugup”

Lalu aku mengetuk pintu rumah Zahra, tok...tok...tok...

”Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam” jawab suara dari dalam.

”Mau cari siapa ya?” termyata itu pembantu Zahra,

“Zahranya ada bu?”

“Ada, tunggu sebentar ya”

“Iyaa bu” lalu aku menunggu sebentar dengan Adnan.


“Iyaa ada apa?” aku terkejut mendengar suara Zahra tersebut.

”I..ini.ada hadiah untuk kamu, selamat ulang tahun yaa”

“Iyaa makasih”

“Sama sama “

“Kok tau rumahku?”

“Aku tau kapan ulang tahunmu, aku juga tau siapa Tuhanmu”

“Allah”

“Sama”

Lalu Zahra tersenyum mendengar gombalan yang dibuat oleh sang peramal
tersebut.

“Aku buka kadonya sekarang yaa”

“Jangan, tunggu aku pulang dulu, baru kamu boleh buka kado itu”

“Hmm...iyaa deh”

“Zahra, boleh minta no WA kamu gakk?”

“Boleh”

Dirumah Zahra ,aku berbincang sangat panjang sekali sambil tertawa ria.
Sore hari telah tiba, waktuku untuk pulang kerumah.

“Aku pulang dulu yah, Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam, hati-hati dijalan yaa” mendengar perkataan tersebut aku


menjadi yakin ,aku bisa ngedapetin Zahra.Kado tersebut berisi boneka
Doraemon, karena dia sangat suka sekali dengan kartun tersebut. Aku
menamainya dalam kontak ku buakan nama aslinya, tapi aku namai dia Dorami,
tokoh kartun tersebut sama lucunya dengan Zahra.
Hari demi hari kuleweatkan bersama Zahra, mulai dari pulang bareng, jajan
bareng, nonton bareng, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan lainya yang tidak
dapat aku sebutkan karena saking banyaknya cerita diantara aku dan Zahra lalui.
Aku berpikir aku harus segera mengungkapkan perasaanku selama ini, tapi
bagaimana aku harus mengungkapkanya.

Guru agamaku mengadakan pengajian kelas bulanan, dan sekarang yang


mengikuti pengajian tersebut harus dua kelas, dan beruntungnya kelas aku
pengajiannya dengan kelasnya Zahra yaitu kelas XI MIPA 6 “Wahh...ini saatnya
aku mengungkapkan perasaanku kepadanya” kataku dalam hati.

3 November 2018 adalah hari yang akan bersejarah dalam hidupku, karena
aku akan mengungkapkan perasaanku kepada Zahra. Kebetulan aku dibolehkan
membawa motor oleh Ibuku, aku langsung menjemput Zahra kerumahnya untuk
berangkat bareng bersamaku ke pengajian, sesampainya di pengajian tadinya aku
mau mengungkapkan perasaanku kepada Zahra, tapi aku malu, karena banyak
teman-teman Zahra didekatnya, jadi aku memutuskan tidak jadi menembak Zahra.
Sepulangnya dari pengajian, aku langsung mengantar pulang Zahra. Sesudah
mengantarkannya aku langsung pulang kerumah dan chat-an dengan Zahra sampai
malam, dan pada saat itu juga aku langsung mengungkapkan perasaanku
kepadanya dan Alhamdulillah nya aku diterima olehnya yeay....Pada tanggal 3
November 2018 menjadi saksi bahwa kita resmi berpacaran.

Hari demi hari aku jalani bersana Zahra seperti biasa,tapi kini agak sedikit
berbeda, apakah karena kita pacaran? Aku rasa ada benarnya. Kali ini kegiatan
kami lebih menyenangkan dibandingkan yang dulu,makan bareng, jalan bareng,
belanja bareng semuanya terasa lebih menyenangkan. Apakah ini yang dinamakan
saling mencintai?

Suatu hari aku berpapasan dengan Zahra yang sedang dibonceng oleh cowok
lain. Pada saat aku melihat Zahra, sebaliknya Zahra pun melihat aku,lantas aku
langsung ngebut meninggalkannya dan langsung pulang kerumah. Sore
harinya,aku pergi ke supermarket untuk membeli makanan. Tak disangka Zahra
melihatku,dia langsung menghampiriku dan membawaku ke suatu tempat untuk
menjelaskan kepadaku tentang kejadian kemarin

“Ada apa Ra?”

“Aku akan jelasin semuanya tentang yang kemarin. Sebenarnya aku tidak ada
hubungan apa-apa dengan dia, dia bernama Doni,s audaraku yang sudah lama
tidak bertemu. Karena itu,Doni mengajakku jalan-jalan ke suatu tempat yang ada
di Bandung.”

“Ohh jadi itu saudaramu?”

“Iyaa,kamu cemburu?”

“Aku tidak pernah cemburu Ra, aku hanya bisa mencintaimu” Zahra pun
tersenyum dan pipinya pun memerah seperti biasa apabila digombal olehku. Lalu
aku menawarkan untuk jalan-jalan karena waktu menunjukan jam setengah
delapan malam.

“Mau jalan-jalan gak?” tanyaku kepadanya

“Kemana?”

“Adadeh”

“Udah malem tapi”

“Kamu tau gak, Garut lebih indah pada malam hari dibandingkan siang”

“Emang bener?”

“Makanya mau ikut gak?”

“Hemm...” Zahra sedang berpikir, entah apa yang sedang dipikirkannya.

”Ikutlah, biar kutunjukan betapa indahnya Garut dimalam hari” rayuku


kepadanya.

“Iyaa deh aku ikut”


“Nah gitu dong”

Aku mengajaknya jalan-jalan ke suatu tempat yang dulu pernah dikunjungi


oleh Ir.Soekarno yang dapat melihat kota Garut seluruhnya dan disanalah awal
mula Garut disebut dengan julukan Kota Intan. Di tempat tersebut aku merasa
berada di puncak tertinggi dunia dengan Zahra yang memberiku pelajaran
bahwa,cinta sejati adalah kepercayaan dan juga dukungan antara satu sama lain.
Kalau kamu tidak setuju, aku tak peduli, yang penting aku sudah merasakan apa
itu cinta sejati bersamanya. Sedang apa ya sekarang dirinya,sudah 3 hari tidak
bertemu, mungkin dia sedang merindukanku.
KESATRIA TELANJANG
Oleh: Fasya Kautsar

Pagi yang cerah menyinari Kerajaan Demacia yang indah ini,tanahnya


subur, bunga bunganya bermekaran, rakyat hidup damai dan bahagia. Raja Robert
merupakan raja dari kerajaan yang indah ini,dia sangat dermawan baik dan tidak
sombong. Raja Robert memiliki satu anak laki laki yang sangat angkuh,dia sangat
sombong dan suka berucap besar yang bernama Gary. Gary sangat suka
menintimidasi orang dia percaya diri bahwa dia sangat kuat,padahal orang orang
takut kepadannnya karena dia merupakan anak seorang raja.Para rakyat kerajaan
Demacia sangat tidak suka Gary karena sifatnya itu yang selalu merugikan orang
lain.

Di suatu pagi ada banyak sekali rakyat yang melapor berdatangan kepada
raja Robert yang bijaksana

“Paduka Raja tolonglah kami rumah dan ladang kami semua habis
dimakan”ucap para rakyat dengan kondisi terluka

“Ada apa ini memangnya siapa yang berani melukai rakyatku dan wilayah
kerajaan ku ini” ucap sang raja yang penuh keheranan

“Kami di serang oleh seekor babi hutan yang besar paduka raja badan dia
sangat keras seolah olah kulitnya terbuar dari baja”

Mendengar hal tersebut Raja Robert tidak hanya diam dia dengan segera
mengirim pasukannya. Namun tidak lama kemudian para pasukan yang dikirim
oleh raja kembali ke istana dengan keadaan yang terluka. Raja sangat terkejut
kenapa hal itu bisa terjadi, Raja Robert pun mencari lagi apa ada yang ingin
bersedia untuk mengalahkan babi tersebut dengan membuat poster yang berisikan
sebuah misi.
“Barang siapa yang berhasil mengalahkan dan membawa kepala babi
hutan tersebut maka akan diberi 100 koin emas”

Mendengar hal tersebut Gary langsung tertarik untuk mengambil misi


tersebut. Gary pun dengan cepat mengambil peralatan perangnya dan keluar istana
untuk membunuh babi hutan tersebut.Sesampainya Gary di lokasi babi hutan
tersebut Gary dengan ceroboh melawan babi hutan tersebut dengan
pedangnya,namun semua itu sia sia karena kulitnya yang sangat keras hanya
memberi goresan kecil pada badan babi hutan tersebut, Gary pun terkejut bahwa
serangan pedangnya itu tidak memberikan luka besar pada babi hutan tersebut,
Gary pn lari terbirik birik meninggalkan peralatan perangnya.

Gary tidak menyerah secepat itu dia lalu mengumpulan beberapa pasukan
terhebat di kerajaan tersebut tanpa sepengetahuan raja. Gary dan pasukannya
tersebut sudah bersedia untuk melawan babi hutan tersebut,namun Gary lupa
bahwa dia telah meninggalkan pedangnya di lokasi babi hutan. Gary pun pergi ke
toko senjata dan memerintahkan penjaga toko terebut

“Hey kamu yah penjaga toko senjata ini cepat berikan aku pedang dan
armor terkuat di toko ini”

“Baiklah kami akan memberikannya kepada anda tolong tunggu sebentar


yah saya akan membawakan pedang dan armor yang anda inginkan”

“Tunggu?? kamu penjaga toko dekil, jelek ini menyuruh aku anak satu
satunya Raja Robert yang hebat ini menunggu,kamu gila yah? cepat berikan
senjata dan armor yang aku inginkan atau kepalamu yang akan jadi gantinya”
ucap Gary dengan nada yang sangat marah

Penjaga toko senjata tersebut sangat merasa sakit hati bahwa tokonya telah
dihina oleh Gary. Penjaga toko sangat ingin memukul wajah Gary dengan keras
namun penjaga toko pun tahu akibatnya apa yang akan terjadi apabila dia
memukul wajah Gary. Penjaga toko pun mempunyai ide yang hebat untuk
dendamnya pada Gary
“Ksatria Gary ini saya akan berikan armor terhebat kami”

“Mana armornya kok gk kelihatan? kamu ingin kepalamu dipenggal yah?”


ucap Gary dengan sangat marah dan kebingungan

“Ini dia armor terkuat nya Kesatria Gary armor ini terbuat dari kulit hiu
megalodon yang kuat,namun saking hebatnya armor ini tidak akan bisa dilihat
oleh orang yang bodoh dan lemah,apa jangan jangan Kesatria Gary tidak bisa
melihat armor ini?

“Oh ini armornya hebat juga yah warnanya emas sangat menawan dan
sepertinya ini sangat kuat” ucap Gary dengan ragu ragu

“Satu hal lagi kesatria Gary apabila anda memakai ini anda tidak boleh
menggunakn baju karena armor itu tidak akan bekerja apabila pengguna armor itu
menggunakan baju”ucap penjaga toko dengan mukanya yang merah karena tidak
kuat menahan ketawa.

Gary terpaksa berkata bohong bahwa dia bisa melihat armor yang penjaga
toko bilang karena Gary tidak ingin terbilang bodoh dan lemah oleh penjaga toko
tersebut. Namun sebenarnya armor itu memang tidak ada,armor itu hanyalah
bualan si penjaga toko untuk membodohi Gary. Gary pun melepaskan pakaiannya
dan memakai armor itu.

Gary dengan bodohnya berjalan ke lokasi babi hutan tanpa busana.Salah


satu pasukan yang Gary bawa pun bertanya kepada Gary

“Kesatria Gary apa anda yakin ingin melawan babi hutan tanpa busana?”
ucap pasukan Gary sambil penuh kebingungan

“Kalian dasar orang bodoh apa kalian selemah itu sampai tidak bisa
melihat armor hebat yang aku pakai ini” ucap Gary dengan angkuh dan sombong

Setibanya di lokasi babi hutan Gary dan pasukannya langsung menyerbu


bab hutan yang kuat namun pada saat Gary ingin melawan babi hutan tersebut
Gary terjatuh karena jalannya licin dan pingsan.
Saat sadar dari pingsannya Gary melihat bahwa babi hutan itu sudah mati
dan kepalanya sudah dipenggal ooleh pasukan Gary. Gary mengkira bahwa saking
hebatnya armor itu ia tidak ingat kapan dia melawan babi hutan dan tahu tahu babi
itu sudah kalah, Gary dan pasukannya itu langsung membawa babi hutan itu
keliling kerajaan untuk dipamerkan.Gary berharap saat ia membawa babi hutan itu
berkeliling ia akan dipuji oleh para rakyat namun pada kenyataannya ia malah di
tertawai oleh semua rakyat dia dihina oleh semua rakyat yang melihatnnya

“Lihat ada orang gila tidak pakai baju jalan jalan hahahaahahahahaaha…”
ucap para rakyat dengan tertwa yang terbahak bahak

“Kalian saja yang payah dan bodoh tidak bisa melihat armor ku ini yang
sangat hebat armor ini hanya bisa dilihat oleh orang yang hebat tau,bukan orang
bodoh macam kalian”ucap Gary dengan penuh emosi

“Orang hebat? hahaahaha mungkin hanya orang gila saja yang bisa
melihat armor telanjangmu itu”rakyat semakin terbahak ketawannya mendengar
pernyataan Gary

Saat itu pun penjaga toko senjata datang kepada Gary dan ikut menertawai
Gary yang telanjang

“Kau sungguh percaya aku berkata bahwa armor itu adalah armor yang
hanya bisa dilihat oleh orang hebat dan tidak bisa dilihat oleh orang bodoh?
hahahahahaah kamu sungguh bodoh kesatria Gary”

Gary pun segera lari ke istana dengan penuh rasa malu meninggalkan babi
hutan dan para rakyat yang menertawainya.Gary yang malang pun tidak berani
lagi keluar istana karena kenangannya yang membuat dia ditertawai seluruh
kerajaan.
Good bye Road
Oleh : Fiska Afiliana D

Desir air mengalir membasahi batu-batuan di taman. Air nya jernih sampai
dapat terlihat ikan yang mencari lumut di kolam tersebut. Ayam jago milik
penduduk sekitar sudah berkokok dari tadi. Udara disini pun segar, tak seperti di
kota yang penuh dengan polusi. Terlihat sosok wanita yang sedang berdiri di
pinggir kolam tersebut. Wanita itu seperti tak menikmati kesegaran yang
disuguhkan di pagi ini. Padahal roti dan susu telah disiapkan di meja dekat orang
tersebut.

“Rana, habiskan dulu makananmu baru kamu boleh berangkat ke Jakarta”


ucap seorang wanita yang lebih tua.

“Beneran bu? Terus gimana acara syukuran rumah ini?” jawab wanita di
pinggir kolam tersebut.

Ternyata wanita yang mempunyai tahi lalat dibibirnya dan rambut pendek
tersebut namanya Rana.

“Gapapa, ibu nanti yang bicara sama Papahmu” ucap Ibunya dengan
senyum yang menenangkan hati.

Setelah ucapan dari ibunya, Rana langsung menghabiskan segelas susu


dan dua helai roti isi selai kacang tak tersisa. Ia pun bergegas untuk siap-siap pergi
ke ibukota Indonesia, meninggalkan ibunya yang tersenyum sayu karna ulah sikap
anaknya itu.

“Ibu dimana Rana? Seharusnya dia sudah bersiap-siap untuk acara siang
ini.” Ucap lelaki dengan tubuh yang masih dibilang cukup bagus untuk seorang
kepala lima.

“Dia sedang bersiap untuk pergi ke Jakarta untuk menemui pacarnya.”


Lelaki tersebut hanya diam tak membalas ucapan istrinya tersebut. Hingga
Rana pun datang dari arah kamarnya membawa tas ransel yang terisi penuh.

“Pah, Bu, Rana berangkat dulu, doakan Rana semoga baik-baik saja
selama disana” pamit Rana, yang dibalas pelukan dari kedua orang tuanya
tersebut. Ia pun menggunakan mobilnya untuk menuju ke kota pacarnya tersebut.

Selama perjalanan hanya helaan nafas yang terdengar, tak ada musik dan
juga obrolan yang biasa didenggar dari radio. Rana hanya menatap perjalanan
dengan tatapan kosong, bahkan dia hampir menabrak mobil lain, tapi untungnya
tidak terjadi.

Mobil Jazz dengan warna merah mengkilap terparkir di restoran sederhana


yang memiliki desain yang cukup bagus untuk berfoto disana. Dan keluarlah
seorang wanita cantik dengan jeans navy nya dan juga kemeja bergaris kebesaran
yang membuatnya terlihat mungil. Sneakers putih yang dipakai nya terlihat serasi
dengan setelannya dan potongan rambutnya yang pendek membuat ia terlihat
lebih imut.

Kringg, bel direstoran tersebut berbunyi bersama masuknya wanita cantik


tersebut dan disapa hangat oleh pelayan disana. Ia duduk di tempat paling ujung
restoran tersebut, dan memesan milkshake strawberry dan juga nasi ayam
serundeng. Setelah pesanannya datang, ia diam beberapa menit lalu mengabadikan
makanan yang tersaji di ponselnya. Dan menghabiskannya dalam diam.

Setelah makanan yang ia pesan habis, ia pergi ke kasir untuk membayar


makanan tersebut.

“Atas nama Mba Rana, totalnya jadi Rp.145.000” ucap sang kasir.

Rana pun pergi dengan struk yang diberikan kasir tersebut. Ia masuk
kembali ke mobil merah kesayangannya dan melajukan mobil tersebut pelan
menuju keluar parkiran. Rana merasa bosan yang hanya melihat jalanan dan
macetnya di kota orang lain, ia pun memasukan CD yang baru kemarin ia beli di
KFC ke Tape. By the way, Rana suka sekali dengan Tulus. Dia pernah nonton
konser Tulus bersama pacarnya. Jadi jangan heran kalo dia cuman dengerin lagu-
lagu Tulus dimobilnya.

Ternyata mendengarkan lagu Idol-nya itu membuat ia tersenyum berkali-


kali, pasalnya ia sedang mendengarkan lagu ‘Monokrom’ yang mengingatkanya
dulu saat pertama kali bertemu pacarnya itu. Bahkan ia mengabadikannya di
Insta-story nya. Hari sudah sore, saat ini matahari sudah ingin berputar dan
menggelapkan kota ini. Padahal, tadi ia pagi-pagi sekali pergi dari Bandung.

Karena sudah mau malam, Rana bersinggah dulu ke Hotel yang dekat di
lokasinya saat ini. Di resipsionis Rana terdiam sejenak, kali ini ia baru teringat
kalo Hotel ini yang pernah dikunjunginya bersama pacarnya dulu. Mereka tidak
tidur bareng kok, mereka pisah kamar. Hanya saja bersebelahan, soalnya pacarnya
itu takut kalo Rana enggak bisa tidur. Pacarnya itu suka menyanyikan lullaby
untuknya yang susah tidur. Nanti kalo Rana sudah benar-benar terlelap, ia akan
pergi ke kamarnya.

Setelah termangu sejenak, ia tersenyum kecil untuk ingatannya yang


muncul tiba-tiba itu. Rana pun memesan kamar di lantai 12. Sampai di kamarnya,
ia langsung menghepaskan tubuhnya di kasur yang empuk itu. Tak pernah
terpikirkan olehnya, jika ia akan tiba di Jakarta hanya sendirian tanpa ada yang
menemaninya. Ia semakin yakin, jika ini waktunya untuk mandiri.

Rana pun membersihkan badannya yang lengket itu sebelum tidur. Setelah
selesai, ia langsung merangkak ke ranjang dan memejamkan kedua matanya.
Mungkin ia kelelahan, mari beri waktu untuknya tidur sebentar.

Kilau cahaya membuat sang putri tidur membuka matanya sedikit demi
sedikit. Membuatnya kebingungan karena Rana masih memakai handuk hotelnya,
padahal ia belum mandi pagi ini. Ah, dia baru ingat tadi malam ia langsung tidur
tanpa memakai piyamanya. Tring, bunyi ponselnya membuat Rana mencari
keberadaan ponsel tersebut.
-Vina-

Kamu lagi di Jakarta?

Kok ngga ngabarin? Aku tunggu di Café biasa yaa.

Jam 10.00

Langsung ia melihat jam tangannya yang berada di nakas pinggir tempat


tidur. ‘OMG! sekarang udah jam 9.00’ teriak Rana dalam hati. Ia pun langsung
bergegas ke kamar mandi, dan membersihkan diri. Ia tak sempat ber-make up
karna ia tahu Jakarta tak membiarkan nya untuk mmelakukan hal itu. Benar saja
setelah selesai check out, Jakarta sudah macet. Bahkan ia susah untuk hanya
keluar dari parkiran Hotel tersebut.

1 jam 12 menit, Rana baru sampai di Café yang di janjikan oleh Vina. Dan
ternyata Vina sudah menunggu disana, ia terlihat bosan dengan ponsel yang di
pegangnya. Menjadikan Rana ragu untuk menyapanya, bagaimana pun ia merasa
bersalah karena Vina harus menunggu selama 30 menit yang hanya untuk bertemu
dengannya.

“Hai, maaf lama. Tadi aku kejebak macet, terus aku baru baca line mu jam
9.00 hehe.”

“Ya ampun gapapa kali, aku juga baru nunggu 15 menit kok. Sini duduk!”
suruh Vina.

“Udah lama banget kita enggak ketemu, 2 bulan ya? Aku kangen kamu
tau!”

“He he iya aku juga kangen kamu kok” balas Rana dengan senyumnya.

Pelayan di café tersebut menyodorkan menunya. Sebenarnya, tak diberi


menu juga pelayan disana pasti tahu jika Rana akan memesan Ice Americano dan
Roti Lapis Kacang. Ia sering nongkrong disini saat kuliah, jadi kedua menu itu
sudah menjadi langganan Rana.
“Kamu belum berubah ya, masih aja Ice Americano dan Roti Lapis
Kacang.” Ucap Vina, yang dibalas senyum manis dari Rana.

“Sebenarnya aku juga mau mengajak mu ke panti asuhan Ibu Pertiwi,


kamu mau kan?” tanya Rana.

“Mau dong, aku bahkan akan mengantarkanmu kemana pun kamu mau
sekarang ini!” semangat Vina.

“Makasih ya” ucap Rana yang tak pernah luntur dengan senyumannya itu.

Kali ini, Rana menggulung rambutnya yang sebahu itu. Ia juga memakai
kemeja putih kebesaran, rok selutut berwarna army dan sendal Gucci yang
menjadi tren akhir-akhir ini. Vina pun tak kalah cantiknya yang memakai dress
bunga-bunga berwarna pink selutut yang membuat terlihat flawless di mata orang-
orang yang melihatnya.

Makanan sudah datang, mereka mengabadikannya dengan ponsel nya


masing-masing. 45 menit sudah mereka mengobrol dan memakan semua
pesanannya. Mereka bergegas untuk pergi ke panti asuhan Ibu Pertiwi, tapi
sebelumnya mereka membayar dulu di kasir. Mereka tidak mungkin makan tanpa
bayar bukan?

Vina tak membawa kendaraannya, tadi dia menggunakan Go-Car untuk ke


café ini. Jadi mereka memakai mobil Jazz milik Rana. Sebelum ke panti asuhan
Ibu Pertiwi, mereka membeli bunga, kue, balon udara, dan lain-lain. Sepertinya
mereka akan mengadakan pesta disana.

Setiba di panti asuhan, mereka langsung di serbu oleh anak-anak dan


berteriak memanggil mereka berdua. Sebenarnya, Rana dan Vina dulu sering
kesini. Rana si anak tunggal merasa bosan karena tak punya adik. Jadi ia sering
bermain kesini dengan selalu membawa kejutan untuk anak-anak di panti asuhan.
“Kak Rana, aku kangen banget sama kak Rana, kakak udah 3 bulan
enggak datang ke panti ini. Kami selalu menunggu kakak.” Ucap salah satu dari
anak-anak tersebut.

“Maafin kakak ya, kakak lagi sibuk 3 bulan kemarin. Mendingan sekarang
kita siap-siap yuk!” ucap Rana yang dibalas semangat dengan anak-anak tersebut.

Sebagian dari mereka, menurunkan barang-barang yang telah dibeli oleh


Rana dan Vina di dalam mobil. Mereka membeli banyak sekali barang, ini akan
menjadi pesta yang meriah. Sebagian orang juga terlihat sedang memasangkan
balon, kursi, meja, da pernak-pernik lainya di halaman panti ini. Semua orang
yang berada di panti ini sangat sibuk, tak ada yang duduk berleha-leha disini.

Mereka pun merayakan hari Anniversery panti asuhan ini dengan gelak
tawa yang terpapar di wajah mereka. Semua merayakannya dengan bahagia.
Hingga gelap pun datang menghampiri pesta mereka.

“Wah, ngga kerasa ya udah malem.” Lirih Rana

“Mendingan kamu nginep aja dulu disini, udah gelap lho. Ngga baik untuk
anak cewek kayak kamu.” Ucap Ibu pemilik pantin ini.

“Iya bu, saya sama Rana mau ijin nginep disini semlaem ya bu.” Jawab
Vina

“Iya, mau berapa malem pun ibu ijinin kok.”

Pesta pun selesai dengan doa penutup dari Ibu panti. Dan Ibu panti
menyuruh anak-anak segera bersiap diri untuk tidur. Rana, Vina, dan remaja
lainnya membereskan halaman panti dengan cepat, karena mereka juga mulai
mengantuk. Halaman telah bersih tepat pada pukul 10.00 malam. Membuat helaan
nafas semua orang yang berada disana senang karena akhirnya telah selesai.

Rana dan Vina pun membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.
Mereka tidur bersama di ranjang yang cukup untuk 2 orang. Sebelumnya ada 2
orang yang telah diambil hak asuh nya oleh orang lain, jadi ranjang itu ‘bekas’
orang tersebut.

Vina yang kelelahan langsung memejamkan matanya, sedangkan Rana


masih terjaga. Ia masih melihat keluar jendela yang tertutup dengan gorden tipis
putih dan cahaya bulan memasuki jendela tersebut. Rana menitikan air mata nya
saat itu. Ia langsung mengusap pipinya kasar. Sepertinya ia tak ingin ada yang
tahu jika ia menangis seorang diri.

Pagi sekali mereka pamit untuk berpulang. Padahal Vina masih terlihat
mengantuk, tapi Rana memintanya untuk mengantarkannya ke Taman langsat
yang tak jauh dari panti ini. Vina sudah berjanji akan mengantarkan Rana
kemanapun, jadi ia tidak bisa membantahnya.

Melihat taman pagi-pagi memang sudah hal biasa Rana di Bandung, tapi
untuk Vina itu luar biasa. Pasalnya Vina orang yang malas untuk pergi ke taman
seperti ini, jadi Ia merasa bosan dan malah tidur di bangku yang berada ditaman
tersebut. Alih-alih membangunkan Vina, Rana malah berkeliling di taman dengan
menikmati udara yang cukup segar.

Langkah kakinya terhenti di sebuah jembatan kecil yang berada di atas


sungai buatan itu. Rana terdiam lama, sembari melihat matahari yang mulai naik.
Hidung dan matanya memerah. Ia terlihat sedang menahan tangisannya. Tiba-tiba
ada yang menepuk pelan pundaknya dan terdengar bisikan ‘Jangan menangis,
anak kecil!’. Rana langsung menoleh dan melihat sekitaran disana, dan nihil tak
ada seorang pun disana. Membuat air matanya mengalir dengan derasnya.

Setelah menemukan toilet dan membasuh wajahnya, Rana kembali ke


Vina yang masih terlihat tidur. Dan mau tak mau Rana menggoyangkan pelan
badan Vina agar dia terbangun. Vina hanya membalas dengan anggukan dan
berucap ‘5 menit lagi ma’. What the hell, Rana bukan mamah nya Vina. Akhirnya
rana menggoyangkannya dengan cukup keras dan bilang bahwa mereka sedang
berada di taman, yang membuat Vina langsung membuka matanya lebar-lebar.
“Apa?! Kok kita ditaman? Tadi kan kita ada di rumah gue. Kamu
ngangkat aku kesini ya?!” tanya Vina.

“Vin, kita kan malem nginep di panti, lap tuh iler kamu, jijik tau” balas
Rena.

Buru-buru Vina mengelap bibirnya yang basah oleh ilernya sendiri.


Untung masih temen, coba kalo musuh pasti Rana bakal foto tuh Vina yang ileran
terus masukin ke Instagram.

“Vin, sekarang anter gue ke Rumah sakit ya?”

“Lah kamu sakit? Sakit apa?”

“Engga kok, cuman pengen kesana aja.”

Vina yang mengerti pun, meng-iyakan ajakan Rana itu. Setiba di tempat
ajakan Rana, mereka langsung naik lift. Rana memencet tombol lantai paling atas.
Mereka tiba di atap, banyak pasien yang berada disana. Rana langsung menuju ke
pinggiran pagar meninggalkan Vina yang hanya terdiam disana. Vina tak
mengganggu nya, alih-alih ia mendekatkan diri kepada anak-anak pengidap
kanker yang sedang bermain di atap.

30 menit sudah Rana melamun, membuat Vina khawatir dengan temannya


itu. Vina pun menyadarkan lamunan Rana.

“Kamu baik-baik saja? Mau pulang ke Bandung?” tanya Vina yang hanya
mendapatkan gelengan dari Rana.

“Aku mau ke toilet dulu sebentar.” Jawab Rana.

Ia pergi meninggalkan atap tersebut dan turun kebawah untuk mencari


toilet. Ting , Rana tiba di lantai 3. Ia langsung menyusuri lorong-lorong yang
berada di lantai tersebut untuk mencari toilet. Langkah nya terhenti di kamar 098.
Ia terlihat ingin memasuki kamar tersebut, namun disisi lain ia juga terlihat ragu.
Dengan tangan mungilnya, ia meraih knop pintu nya dan membukanya
secara perlahan. Tangannya sedikit gemetaran saat membuka pintu itu. Seolah-
olah ia takut akan suatu hal. Tak ada hal apapun di kamar itu hanya ada sebuah
ranjang, nakas, dan juga sebuah TV kecil. Oh, ada juga bunga lavender yang
menghiasi kamar tersebut yang disimpan di atas nakas.

Rana melihat kamar itu dengan sesak didadanya. Ia bahkan menepuk-


nepuk keras dadanya. Air matanya pun mengalir keluar tak henti-hentinya.
Sampai ia pun ambruk dan terduduk di lantai cukup keras. Tak mau kehilangan
kesadaran, Rana berlari keluar dari kamar tersebut yang meskipun badannya berat
sekali untuk ia angkat.

Rana berlari menuju toilet yang berada di dekat kamar tersebut. Ia


menghapus air matanya dengan kemeja putihnya yang ia pakai. Lalu membasuh
wajahnya yang terlihat sembab itu. Tak mau berlama-lama, ia langsung kembali
keaatap tanpa menoleh ke kamar 098.

“Ran! Kamu ngga apa-apa?” tanya Vina khawatir. Dan dibalas anggukan
oleh Rana.

“Anter aku ke Kampung Kandang ya?” ajak Rana, Vina hanya bisa
mengangguk ajakan Rana itu.

Selama perjalanan menuju Kampung Kandang, tak ada obrolan yang


terucap. Kali ini Vina yang membawakan mobilnya. Rana hanya melihat ke luar
jendela. Vina parkirkan mobilnya di dekat warung. Mereka berjalan ke tempat
tujuan Rana.

Mereka terhenti di gundukan tanah yang di hiasi potongan bunga-bunga.


Rana langsung memeluk batu yang berada di atas gundukan tanah itu. Rana
mengucapkan berkali-kali maaf dengan tangisan yang menyedihkan. Dan ia
langsung membuka surat yang ia simpan di dalam tas kecilnya. Surat itu berisi
“ Dear Rana,

Kamu ingat? Dulu pertama kali aku bertemu dengan mu di


restorant? Kamu keliatan seneng banget. Aku yakin kalo yang berada di sisi
kamu itu kedua orang tua mu. Aku ngeliat senyummu membuat aku pun
ikut tersenyum. Bahkan aku ngikutin kamu ke Jakarta. Dan ternyata kita
ada di Universitas yang sama. Itu bener-bener membuat aku seneng.

Ngga sampai disana, ternyata kamu juga nerima cintaku setelah 4


bulan pertemuan itu. Aku juga ngajak kamu ke café favorit kita. Bahkan
pelayan disana tau apa menu yang bakal dipesen kita berdua. Aku suka
sekali sama anak kecil, karna aku anak tunggal. Dan ternyata kamu juga
sama. Aku mengajak mu ke panti asuhan Ibu Pertiwi karna aku pernah
tinggal beberapa minggu disana.

Saat pertama kali aku melihatmu menjaga anak-anak di panti,


membuat ku merasa yakin jika kamu akan menjadi ibu yang baik. Aku ingin
sekali pergi ke taman bersamamu, tapi akhir-akhir ini dadaku sakit dan
tubuhku lemas. Maafkan aku.

Melihat mu yang panik karna aku tak sadarkan diri membuatku


merasa bersalah sekaligus senang. Bersalah karna mumbuatmu khawatir,
dan senang karena kamu mengkhawatirkanku. Maafkan aku.

Beberapa bulan yang lalu dokter memvonis hidupku sebentar lagi.


Dulu aku pasrahkan diri saja. Tapi setelah melihatmu, aku ingin hidup lebih
lama lagi. Aku tak ingin meninggalkanmu. Maafkan aku.

Ciuman di atap Rumah Sakit itu menjadi hadiah ulang tahun ku yang
paling aku suka. Namun, aku benci juga karena itu ciuman terakhirku.
Maafkan aku.

Jangan nangis ya anak kecil! Kamu udah besar!


Di kehidupan nanti, aku harap kita bertemu lebih lama dan
menikmati indahnya dunia. Terima kasih selama 2 bulan ini. Aku sangat
mencintaimu. Maafkan aku.

Good bye my road

Romi”
PARADIGMA
Oleh : Giava Zahrannisa

Pernikahan berhasil menjadi senjata yang sukses menyayat hati gue


sedalam-dalamnya. Gue bersumpah, gue nggak butuh romansa yang lo bayangkan
—bagaimanapun bentukannya dan sesederhana apapun kegiatannya. Hati gue
tersayat saat menyadari gue sudah menjadi suami yang gagal dalam
mempertanggungjawabkan janjinya. Dari mulai menjadikan Nadine sebagai pacar,
melamar, sampai menikahi, yang gue janjikan sebenarnya cuma satu.

Kebahagiaan.

Gue gagal membuat senyuman Nadine sebagai pemandangan yang gue


lihat saat pertama membuka mata. Di samping itu, yang pertama kali gue lihat
malah sisi kiri kasur yang selalu kosong, tempat di mana Nadine seharusnya
berada.

Gue gagal membuat kecupan di kening Nadine sebagai obat penyemangat


kerja sampai larut. Daripada itu, yang menjadi kegiatan rutin sebelum kerja hanya
menelan makanan tanpa dikunyah untuk menahan air mata. Karena sebaik apapun
rasanya, tenggorokan gue tetap nggak bisa menerima makanan yang dibuat
dengan penuh penderitaan sang istri.

“Kalau kita tidak menjual sebagian saham ini ke perusahaan yang


dimaksud, kita akan pailit, Pak. Kita tidak punya kekuatan apa-apa lagi selain
bantuan dari perusahaan pemegang saham yang lain.”

“Pak, di meeting terakhir kita semua sudah sepakat untuk jual saham. Dan
sekarang seharusnya kita membicarakan operasional penjualan, Pak, bukan
pembatalan.”

“Omset penjualan kita sedang berada di bawah, Pak, ini sudah tidak bisa
ditolong.”
Rapat kemarin berlangsung sangat lama. Semua pihak nggak ada yang
setuju dengan pembatalan rencana yang gue inginkan. Dan lagi-lagi, gue gagal.
Sekarang gue gagal menjadi pemimpin yang seharusnya bisa mengayomi
bawahannya.

“Saya bilang batalkan penjualan sahamnya. Kita naikkan omset penjualan


dengan cara lain. Kita cegah pailit dengan cara lain.”

Egois.

Sabtu pagi ini, gue kembali terduduk di kursi, menyandar ke dinding dan
mengamati sang istri yang memasak dengan penuh rasa sakit. Matanya nggak bisa
membuat gue sejuk, yang ada di sana hanya kesengsaaraan yang disebabkan oleh
suaminya sendiri.

“Nadine, maaf.” Persetan dengan suara lirih gue, yang penting gue bisa
menegaskan bahwa Nadine masih gue anggap sebagai istri.

Gue memberanikan diri untuk beranjak. Mendekati Nadine yang sibuk


dengan peralatan masaknya. Setelah sekian lama, gue baru bisa menyentuh tangan
kurusnya lagi dengan segala kehati-hatian. Tangan itu, sudah jauh lebih berharga
daripada intan yang ada di dunia.

“Nadine.” Dia diam, membiarkan tangannya dipegang oleh orang yang


membuatnya menderita hebat kemarin. “Penjualan sahamnya udah aku batalkan,
Ne, maaf.”

Satu detik.

Dua detik.

Air bening mengalir dari pelupuk mata sayunya. Tanpa suara, hanya
decitan napas yang sepertinya terlalu sulit untuk diambil. Gue berdiri di sana,
berteriak sekencang-kencangnya di dalam hati. Sekali lagi, lo membuat istri lo
tidak bahagia, Ta.
Manusia adalah makhluk yang nggak pandai bersyukur. Gue tahu betul
kalimat itu benar adanya. Ya karena manusia bisanya mengeluh, bukan bersyukur.
Katanya, manusia itu nggak akan bersyukur ketika dia diberi kenikmatan.
Nikmatnya dicabut, nggak mikir buat bersyukur tapi malah jadi menyalahkan
keadaan. Cukup segitu sih kritik gue. Kritik buat manusia, khususnya gue sendiri.

Kalau sudah begini, nggak ada yang bisa gue inget selain bagaimana
perjuangan kita—apa mungkin cuma gue—untuk sampai ke titik ini. Titik saat
kita seharusnya membangun rumah tangga berdua. Aku kangen kita, Ne. Aku
kangen kita dengan candaan klise nya yang selalu berhasil bikin kita tergelak,
bahagia dengan sesederhana itu. Aku kangen candaan-candaan kamu yang selalu
beda setiap kamu buka pintu.

“Indomie abang adek atas nama Paramita Nadine, ya, mas?”

“Yah, saya salah alamat kayaknya mbak. Ini bukan Indomie nya mbak
Nadine.”

“Terus?”

“Ini Genta-nya mbak Paramita Nadine Kusuma.”

Kita ketawa, “Apaansih nggak jelas banget nih kita berdua.”

Dulu, bahagianya gue itu mudah bin sederhana. Tinggal mampir ke


rumahnya Nadine sepulang kerja, terus ngobrolin topik apapun berdua. Di umur
gue ini adalah pertama kalinya gue dapet lawan bicara yang seimbang. Orang
yang ketawa sama jokes gue—yang kata orang lain—terlalu berat. Ya siapa lagi
kalau bukan si mbak pacar ini. Humor gue sama Nadine itu receh, man. Nggak
perlu susah nyari becandaan buat bikin kita ketawa. Cukup nostalgia waktu
pertama kali gue ketemu di seminar sama Nadine aja kita udah ketawa berat.

“Ekhem, mbak.”

Nadine menoleh kaget kala itu. Ya siapa yang nggak kaget coba, ada orang
nggak dikenal tiba-tiba nepuk pundak.
“Eh, iya. Siapa ya, Pak?” Pak, katanya.

Ya sudah, lupakan tentang muka gue yang dianggap tua. “Oh, anu,” gugup
gue. “Saya Genta, Genta Putra Anjasmara.”

“Oh! Pasti putranya Bu Anjasmara, ya?” Dia senyum. Manis pake banget.
“Saya Nadine Kusuma. Nama saya dibaca ‘Nadin’ tapi saya dipanggil ‘Ne’.
Terserah masnya mau manggil apa.”

Gila, gila, gila. There it comes when someone steals your heart without a
sec.

“Iya, saya putranya beliau.” Gue tetep senyum-senyumin aja meskipun


gue tau senyum gue pasti kikuk as fuck kala itu.

“Oh begitu. Ada apa ya, mas?” Mampus, gue juga nggak tahu kenapa gue
nekad pergi ke backstage hanya untuk nyamperin perempuan ini tanpa tujuan
yang jelas.

Tunggu, itu tujuan, kan?

“Nyamperin mbak Nadine, hehe.” Nadine malah ketawa. Ya gue bingung


harus gugup atau seneng karena dia ketawa.

“Ya iya nyamperin saya, mas, tapi tujuan nyamperin saya tuh apa?”
Mampus, lagi.

“Mbak—”

“Hm?”

“Ada waktu?” Gue berdehem, “Saya butuh temen ngopi, hehe.”

Selepas seminar kala itu, gue sebenarnya berencana buat ngajak dia ke
café. Agak jauh sih, ya nggak apa-apa. Tapi sekali lagi, hati gue diambil karena
dia justru menawar buat makan jajanan-jajanan berminyak di pinggir jalan.
“Ta, deket dari sini ada tempat jajanan PKL tau. Ke sana lebih asik
kayaknya. Mau?”

Gue mengangguk. Ya mau mau aja deh mbak, asal sama mbaknya.

“Ini nih, Ta, aku lagi pengen banget cuanki. Udah lama tau aku nggak
makan cuanki ini. Berapa bulan yang lalu, ya? Lupa.” Nadine ketawa, gue jatuh
cinta.

“Udah ini mau kemana, Ta? Langsung pulang?”

“Aku sih bebas, Ne. Gimana senengnya kamu aja.”

“Yeay! Kita jajan lagi ya! Kali ini aku yang traktir, oke?”

“Eh, gapapa Ne, aku aja yang bayar.”

“Nggak nggak, mumpung aku lagi ada uang sisa awal bulan nih. Aku aja
yang bayar, oke?”

Dulu, gue nggak begitu bersyukur atas hal-hal kecil tersebut. Dan sekarang
ketika semuanya udah pergi, gue disadarkan oleh Tuhan bahwa semua itu bukan
hal kecil. Itu kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah hal yang besar.

Kebiasaan gue yang selalu mampir ke rumah Nadine selepas kerja


semakin membuat gue merasa kehilangan. Sore-sore sepulang kerja biasanya ada
Nadine di pintu dengan senyum lebarnya. Habis itu dia jinjit sedikit, tangannya
bertumpu ke bahu gue, lalu dikecuplah kening penuh keringat gue tanpa rasa jijik
sekalipun.

“Padahal kamu bisa langsung pulang, capek kan?”

“Kalo langsung pulang nanti tambah capek, mbak.”

Dia ketawa, “Lho, kenapa?”

“Kan nggak mampir ke pereda lelah dulu.”


“Bisa aja.” Kita tergelak.

Berdua sama Nadine sepulang kerja itu betulan penawar lelah. Kebiasaan
kita duduk di depan jendela besar di ruang baca itu selalu jadi waktu yang paling
gue suka. You will see universe in her mind, seriously. Nadine and her mind never
fails to make me fall deeper and deeper again.

“Kamu…” Gue memberi jeda agak lama. “Pacaran sama aku, pandangan
kedepannya apa, Ne?”

Nadine cuma diam kala itu, tersenyum dan tetap menatap jendela.
Tangannya masih tetap memeluk lututnya sambil memegang pegangan cangkir
the panas. Cantik.

“Rumah tangga, mungkin? I don’t know, but that’s our vision, right?
We’ll never have commited for nothing, Ta.”

Gue mengangguk. Iya, di umur kita ini bukan waktunya lagi untuk
menjadikan cinta sebagai cinta monyet. Bgaimanapun, segala komitmen pasti
berujung ke pernikahan.

“Kalau kita nikah, Ne, apa kamu mau jadi wanita karir? Atau ibu rumah
tangga?”

“Both, why not?”

“Mau punya anak berapa, Ne?”

“Dua, ya.”

“Aku pengen empat.”

Gua tergelak begitu Nadine langsung menyerang gue dengan tatapan


tajamnya. Iya, bagi Nadine dua anak itu memang ukuran yang ideal. Nggak
kebanyakan, nggak kedikitan. Apalagi angka kelahiran di Indonesia tinggi, jadi
Nadine ini ingin bantu program pemerintah.
“Kalau mereka masih kecil, kamu mau kasih mereka apa?”

“Buku. Kamu kayak nggak kenal aku aja.”

Gue terkekeh sebentar, “Buku politik?”

“Kancil dan buaya, tolong deh ah.” Kita tergelak karena dia tahu kalau
santapan gue sejak kecil itu buku-buku berat sampai akhirnya gue kurang bisa
menikmati masa-masa kecil dengan pikiran bocahnya.

“Kamu bakal marah-marah nggak kalau anak kita lari-lari pas main?”

“Ya nggak lah, Ta. Kamu tuh apaan sih pertanyaannya—”

“Ya kan ibu-ibu kebanyakan gitu.”

“Bahkan kalau anak aku jatuh, aku nggak bakal marah, Ta. Biarin aja dia
jatuh.”

“Okay but give your hubby the reasons, wife.”

Nadine memutar bola matanya. Mungkin lelah sama gue yang bertindak
seakan gue sudah jadi suaminya.

“Karena kalau aku marahin, nanti anaknya takut buat lari, Ta. Lagian
nggak ada atlet lari yang nggak pernah jatuh. Kita harus dilatih oleh rasa sakit
supaya kita kuat di segala situasi.”

Gue berharap itu benar. Mungkin rumah tangga kita berdua juga nggak
beda jauh. Rumah tangga kita dijatuhkan dulu supaya nantinya kuat. Mungkin kita
harus dijauhkan dulu supaya nantinya melekat.

“Ta?”

“Ya?”

“Kamu kenapa sih suka sama aku? Aku ini kan perempuan idealis. Suka
nggak nurut sama prinsip-prinsip kamu.”
“Aku nggak tahu, Ne.”

“Yah, yang kamu suka dari aku apa aja coba?”

“Semuanya.”

“Semuanya tuh apa aja?”

“Ya nggak tahu, pokoknya kamu deh, yang ini.”

“Ish, nggak ada pikiran karena aku baik, cantik, atau pinter gitu? Sedih
nih.”

“Cinta itu nggak butuh ‘kenapa’ Ne. Kalau masih ada ‘kenapa’ itu bukan
cinta. Itu kalkulasi, perhitungan.”

“Jadi?”

“Jadi ya aku cinta kamu nggak dari apa-apanya. Pokoknya kamu yang ini
deh, nggak tahu apanya yang aku suka, beneran.”

Sampai sekarang, Ne, aku bahkan nggak tahu alasan apa yang selalu
menahan aku untuk mengeluarkan kata perceraian ketika rumah tangga kita sudah
sebobrok ini. Bahkan ketika kamu bukan lagi Nadine yang aku kenal, aku nggak
tahu alasan apa yang masih membuat aku cinta sama kamu, Ne.

Belum merasa puas dengan pertengkaran gue dan Nadine, angin sudah
menyampaikan kabar gue ke papa di hari lain. Selesai shalat Jum’at, gue diminta
untuk sudah ada di rumah beliau. Gue pikir, papa mau membahas perusahaan,
soalnya mau apa lagi coba yang dibahas selain itu?

Nah, gue salah. Papa memang membahas tentang perusahaan, tapi itu
cuma selintas. Yang banyak dibahas justru keadaan rumah tangga gue dan Nadine.
Maaf Ne, masalah rumah tangga kita sudah nggak bisa dirahasiakan.
“Papa yakin perusahaan kamu pailit bukan karena kamu nggak bisa
ngurus, Bang. Ini pasti kamu ada masalah, masalah rumah tangga.” Papa
menebak, “Ada masalah apa kamu sama istrimu?”

Gue menunduk, diam nggak tahu harus apa. Masalahnya, gue masih ingat
betul bagaimana Nadine akhirnya meminta untuk dipulangkan. Meminta
hubungan sah ini diputuskan, tanpa gue ketahui masalahnya apa.

Senin kemarin, gue masuk ke kantor. Kosong, nggak ada satu orang pun
selain gue berdiri di sana. Beberapa jam kemudian, gue mendengar teriakan
ratusan orang –entah ribuan—berdiri di bawah, di luar kantor. Banyak yang
membawa pengeras suara, spanduk kecaman sudah nggak bisa gue hitung berapa
jumlahnya.

“KAMI MINTA GAJI KAMI!!!”

“KELUARGA SAYA TIDAK BISA MAKAN!”

“BAYAR GAJI KARYAWAN!”

Iya, semua orang di sini mogok kerja. Ini hampir akhir bulan dan gaji
mereka belum turun juga. Jelas, perusahaan gue terlilit hutang dan nggak ada
pemasokan materi buat bayar para pekerja. Gue sempat berencana menjual
sebagian saham, dan memotong beberapa produksi yang profitnya rendah demi
membayar hutang perusahaan. Tapi semuanya gue batalkan, gara-gara Nadine
nggak mengizinkan.

Malam itu, sepulang dari kantor gue bawa semua data kantor. Gue masuk
ke rumah yang senantiasa akrab dengan kedinginannya. Nggak ada yang menyapa
kepulangan, yang ada hanya makanan dingin di meja makan yang menyambut.

Gue bahkan nggak sempat mengganti baju. Ini jam satu malam. Kalau gue
nggak inget Nadine udah masak buat gue, gue bakalan terus kerja di kantor
sampai selesai. Tapi gue pulang, karena masakan Nadine perlu gue makan.
Yang harus gue kerjakan malam ini banyak. Segitu banyaknya sampai
ruang kerja gue nggak bisa dipakai. Gue terpaksa harus diam-diam kerja di ruang
keluarga. Beruntung, Nadine sudah tidur pastinya. Jadi gue masih bisa
menyembunyikan kedaruratan perusahaan gue dari Nadine.

Tapi lagi-lagi, gue salah. Gue yang lagi berantakan ini, dengan kemeja
panjang yang digulung sampai sikut, dasi yang sangat longgar juga kancing yang
nggak ditutup atasnya, kepergok sama Nadine yang tiba-tiba turun dari tangga.
Nadine diam dulu memperhatikan gue. Sampai akhirnya gue bangkit, berhenti
dulu kerja karena kaget melihat mata sembabnya mbak istri, meskipun sudah
nggak aneh.

“Nadine, kenapa?” Gue menghampiri Nadine kala itu. Karena jujur,


seberapa sering pun gue sudah melihat matanya bengkak, gue masih tetep nggak
bisa berhenti khawatir.

Gue ingat, mata Nadine yang sudah kering kala itu mengeluarkan air mata
lagi. Dan gue berpikir lagi, sekarang kesalahan gue yang mana yang bikin dia
nangis.

“Aku mau pulang, Ta.” Sakit, hati gue benar-benar tersayat mendengar
suara Nadine yang hampir nggak terdengar sama sekali. Kalau lo denger suaranya,
gue yakin lo pasti ingin menyiram tenggoroknnya dengan banyak air.

“Sekarang, Ne? Tapi aku lagi banyak kerjaan.” Gue menggigit bibir,
sedikit mikir mana yang harus diprioritaskan. “Oke deh, kamu siap-siap ya, aku
anter kamu sekarang. Kerjaan aku bisa ditunda.” Meskipun ancamannya ya pailit.

Nadine menggerakkan kepalanya, menggeleng sedikit. “Bukan itu


maksudku, Ta.” Gue mengernyitkan dahi, sedangkan Nadine sibuk mengambil
napas.

“I… want a divorce.”


Gue terdiam sangat lama mendengar permintaannya Nadine. Selama itulah
gue menyadari bahwa rumah tangga yang berjalan hampir setahun ini nggak
membahagiakan siapapun. Jangankan membahagiakan, untuk menjadi rumah
tangga yang biasa-biasa pun kami nggak memenuhi kategori itu.

Gue nggak punya tenaga, bahkan untuk membuka mulut. Tapi


bagaimanapun, gue mesti tahu alasan Nadine meminta perceraian.

“Why, Ne? Why are—”

“I’m bad, Genta. I am bad for you!” Nadine meninggikan suaranya. “Jadi
kenapa aku harus diam di sini dan nggak menjauhkan diri dari kamu sejauh
mungkin, sejauh manusia manapun bisa?!”

“Because I love you, Paramita Nadine Kusuma. Because I chose you. And
because I stand by my choice.”

Nadine mengeluarkan napasnya berat. “Well now I’m choosing. And I’m
choosing to go.”

“Kamu mau aku berdiri disini dan gitu aja memutuskan perjuangan kita
selama ini?”

“Berhenti mempertahankan aku, Ta! Aku nggak akan merubah


kepitusanku. Aku nggak bisa.”

“Don’t be angry with me!”

“I am angry with you! I have a good reason to be angry with you!!! You
must do this, you must!” Gue tersentak. Selama gue kenal Nadine, ini adalah
suaranya yang paling keras. “Aku udah ngasih kesempatan buat kamu supaya
menghentikan pernikahannya, tapi kamu keras kepala! Kamu keras kepala Genta!
Kita jadi merasakan semua ini, kita harus melewati semua masalah ini!”
Terakhir kali gue mengeluarkan air mata itu sekitar setahun yang lalu.
Ketika papa mengizinkan anaknya ini buat menjalin rumah tangga dengan seorang
perempuan yang melengkapinya. Ketika papa memeluk gue dan berkata papa
telah berhasil mendidik seorang anak yang bertanggungjawab.

Tapi, hari ini Nadine berhasil memancing air mata gue keluar.

“Aku… Aku benci kamu, Ta. Aku mengubah hidup aku cuma buat kamu,
aku menggagalkan tujuan hidup aku hanya untuk kamu, Ta!” Nadine sibuk
mengambil napas. Pipinya sudah basah nggak karuan, dan gue bukan berada di
posisi yang bisa mengeringkan air matanya. “Aku nggak pernah selingkuh, aku
take care sama kamu. Dan aku bertanggung jawab, aku bikinin kamu sarapan dan
makan malam—”

“You are not in love with me, Ne!” Maaf, Ne, tapi aku juga lelah. “Aku
benci aku nggak disambut kepulangannya, aku benci aku nggak bisa nganter
kamu kerja, aku benci nggak bisa makan bareng kamu, aku benci nggak bisa
megang tangan kamu, aku benci nggak bisa mencium kamu. AKU BENCI
RUMAH TANGGA KITA BEGINI, NADINE!”

“Genta—”

“I HATE YOU, NE!”

“I just give you happiness—”

“I DON’T NEED A HAPPINESS! I AM A GROWN MEN. I JUST NEED


YOU TO FIGHT FOR US, I JUST NEED YOU TO STAND BY MY SIDE, I JUST
NEED YOU TO BE HAPPY!”

“YOU—”

“I’m done.”
Gue menyesal malam itu lebih memilih keluar membanting pintu rumah.
Menyetir mobil ngebut-ngebutan dan balik lagi ke kantor. Gue menyesal lebih
memilih meninggalkan istri sendirian. Sendirian, setelah dibentak hebat suaminya.

Sekarang, di sinilah gue. Bersimpuh di hadapan papa, cerita semua


masalah kami dari awal. Meminta bantuan, meminta pertolongan, meminta solusi
supaya rumah tangga yang sudah hanyut oleh banjir bandang ini bisa
terselamatkan. Meskipun mustahil, tapi gue nggak sudi untuk berhenti mencoba.

“Genta nggak tahu Nadine ada di mana sekarang, Pa. Barang-barang


penting Nadine di rumah udah nggak ada, Nadine juga sampai hari ini nggak
pulang ke rumah.”

Gue sempat yakin betul papa bakal sangat marah. Tapi entah karena alasan
apa, gue juga ingin dimarahi papa habis-habisan karena gue pantas mendaapatkan
itu. Gue ingin dipukul papa, gue ingin papa melarang semua keinginan Nadine.
Dan untuk kesekian kalinya gue salah.

“Papa dukung kamu, Bang.”

Telepon rumah gue berdering entah untuk keberapa kalinya. Posisi gue
baru pulang dari rumah papa kala itu. Nadine belum juga pulang, cuma ada gue
sendiri di rumah. Jujur, perasaan gue campur aduk begitu mengangkat telepon,
karena itu telepon dari mamanya Nadine. Dan ini merupakan pertama kalinya
mama Nadine menghubungi rumah sejak kita menikah.

“Genta, Nadine ada di sini, di rumah mama.” Gue bernapas lega


mendengarnya. Karena selama ini mencari tahu Nadine ada di mana tapi nggak
ada seorang pun yang tahu. Atau lebih tepatnya, nggak ada seorang pun yang
membiarkan gue tahu.

“Mama minta kamu segera siap-siap ke sini, Ta. Bawakan barang-barang


Nadine juga,” katanya. Gue terdiam mencerna perkataan beliau, karena gue nggak
mengerti kenapa gue harus membawakan barang-barang Nadine sementara yang
ada di rumah ini tinggal baju-bajunya Nadine yang jarang dipakai.

“Kamu langsung ke sini, ya, jemput Nadine sama mama. Kita pergi
bareng-bareng.”

Satu kalimat yang beliau katakan setelah kalimat itu membuat gue lari,
ganti baju secepat yang gue bisa. Dengan pakaian serba hitam juga kejuali kemeja
yang gue kenakan, warna putih. Setelah itu gue berlari ke kamarnya Nadine yang
suer kosong. Berharap semoga nggak sulit menemukan setelan serba hitam untuk
ke pemakaman.

“Genta, papa wafat.”

Satu anak panah berhasil menusuk gue lagi setelah ratusan anak panah
lainnya. Gue sempat menyalahkan Tuhan kenapa hidup gue harus seberliku
begini. Gue merasa jadi orang yang paling banyak diuji, karena siapa lagi selain
gue yang mengalami masalah bertubu-tubi seperti ini?

Gue mau marah, tapi nggak ada siapapun yang bisa dimarahi, nggak ada
siapapun yang bersalah. Nggak ada, selain gue sendiri. Masalah perusahaan,
rumah tangga, perceraian dan antek-anteknya sudah menghantui. Dan sekarang
gue dibayangi sama bagaimana menderitanya Nadine di sana.

Sesak. Tahu fakta bahwa yang menyatukan kami itu salah satunya adalah
kondisi keluarga kita yang sama-sama hancur. Kondisi kita yang nggak
menyatukan mama dan papa pakai garis di pohon keluarga. Kondisi di mana kita
marah, tapi terlalu menyayangi, terlalu berhutang budi, terlalu mampu untuk
memaafkan.

Gue baru bisa memaafkan papa gue yang menceraikan mama tepat saat
Nadine cerita tentang masalah keluarganya. Juga tentang bagaimana dia bisa
memaafkan papanya itu. Saat itu, gue baru berani lagi menemui papa, meminta
maaf, sampai akhirnya gue berani bercerita tentang belahan jiwa gue yang
menuntun gue untuk meminta maaf pada beliau.
Dari gue kecil, daripada banyak perang dan teriakan, keluarga gue justru
terlalu diam. Mama dan papa seakan mempunyai sekat, nggak bisa bersatu. Mama
selalu membawa gue ikut seminar, membuat gue menjadi lebih bijak dalam
menghadapi masalah. Dan papa selalu menjauhkan gue dari mama dengan banyak
buku. Positif, pikiran gue jadi lebih kritis dalam menanggapi sesuatu.

Paradigma mama dan papa mengenai cara mengurus seorang anak itu
bertentangan. Mereka bercerai waktu Gista menginjak bangku SMP. Gista tinggal
sama mama, karena anak perempuan mungkin lebih dekat sama ibunya atau entah
karena apa. Dan gue, seharusnya tinggal bareng papa, tapi gue menolak dan malah
membeli rumah baru untuk ditinggali sendirian.

Bertemu Nadine bagaikan gue bertemu kertas kosong yang siap menerima
darah yang gue rubah jadi tinta. Nadine menjadi satu-satunya orang yang tahu
bahwa hidup seorang Genta Anjasmara nggak sesempurna yang orang lain kira.

Bahkan janji kita berdua nggak muluk-muluk. Cukup menjadi orang tua
yang bertanggung jawab, cukup menjadi orang yang menyelimuti anaknya dengan
kehangatan, bukan kepanasan perang keluarga atau kedinginan dari perang itu
juga.

“Perceraian mama sama papa selalu membuat aku merasa bersalah, Ta.
Aku seharusnya nggak lemah. Aku seharusnya membelaa mama. Aku seharusnya
berani menyelesaikan masalah mereka berdua. Aku seharusnya berani, bukan
bersembunyi di balik selimut.”

Gue mengerti betul perasaan itu. Tapi kita dulu cuma seorang anak, Ne.
Seorang anak yang cita-citanya melihat papa mamanya saling mencintai saat anak
lain cita-citanya jadi dokter, jadi pengusaha, jadi guru, astronot, pilot, arsitek.

Pikiran Nadine kadang selalu berada di luar nalar gue. Seandainya orang
tua kita nggak berpendidikan, mungkin mereka lebih sering menasihati anaknya.
Seandainya papa kita bukan orang besar, mungkin papa kita akan pulang ke
rumah sore-sore dan meminta dimasakin mama, bukan lebih memilih pulang larut
dan makan di kantor.

Masih banyak nostalgia lainnya yang menemani gue sampai akhirnya


sampai di rumahnya mas Radit, temen kerjanya Nadine. Mas Radit sudah berdiri
sigap dengan pakaian serba hitamnya juga. Mata lesunya adalah satu-satunya hal
yang menyambut kedatangan gue dengan tas hitamnya nadine di tangan kanan.

Yang gue sesali hanya satu. Seharusnya gue bisa menjadi sandarannya
Nadine sekarang. Seharusnya gue jadi orang yang menenangkan Nadine, orang
yang meyakinkan Nadine bahwa semuanya akan berjalan baik. Tapi nggak ada
suami manapun yang ingin melihat istrinya terlalu menderita. Gue nggak mungkin
meyakinkan Nadine bahwa semuanya nggak apa-apa sementara gue adalah orang
yang membuat dia terlalu kenapa-napa.

“Mama merasa berdosa sama Nadine, nak.” Mamanya Nadine langsung


mengeluarkan air mata begitu dia pertama kali berbicara.

Cuma ada kita berdua di mobil yang berlari ke Lembang ini. Nadine
diantar mas Radit. Cukup sekarang Nadine bersedih karena kepergian papanya,
jangan ditambah lagi sedihnya karena mengingat perceraiannya dengan gue yang
akan datang dalam waktu yang nggak lama.

“Ma, kalau mama nggak siap untuk cerita juga nggak apa. Mama diem
juga Genta nggak apa, mama istirahat aja, ma. Kepergian papa jangan terlalu
dipikirkan.” Gue menenangkan, berusaha keras supaya nggak melihat tangisan
wanita yang berarti di hidup gue untuk kesekian kalinya.

“Jangankan ‘terlalu,’ bahkan mama nggak memikirkan kepergian Kusuma


sama sekali. Yang mama pikirkan hanya satu, Nadine, putrinya mama, istrinya
kamu.” Iya, sekarang masih istrinya saya, ma. “Nadine nggak pernah medapatkan
yang dia mau, keluarga bahagia. Dia nggak bisa menjadi guru karena mau
menghibur mama bahwa penulis juga pekerjaan luar biasa. Sekarang, Nadine
nggak bisa mendapatkan janji papanya juga.”
Gue terdiam, secara gue sudah tahu tentang itu semua kecuuali janji
papanya. Tapi gue pikir itu bukan hal yang patut gue pertanyakan karena Nadine
pun selalu menutupi janji papanya yang dulu sering gue pertanyakan.

“Nadine sering malu karena janji papanya itu spele, Ta. Hanya
menjanjikan untuk bertemu di usianya yang ke-27. Hanya berjanji untuk bertemu
saat Nadine sudah sukses, sudah berpendidikan tinggi, sudah menemukan orang
yang luar biasa untuk memimpinnya. Kusuma itu orang sibuk sama seperti Pak
Anjasmara. Selama hidupnya Nadine bekerja keras memang untuk sukses, tapi
kesuksesan itu sebenarnya akan dia gunakan sebagai tiket untuk bertemu dengan
papanya.”

Pernah merasakan menjadi manusia terbodoh? Semuanya sebenarnya


sudah Nadine katakan sejak awal. Semuanya sudah dunia paparkan sejak awal.
Alasan kenapa Nadine nggak pernah menerima pernikahannya dengan gue itu
tidak lain karena ulah gue sendiri.

Gue terlalu sombong, terlalu percaya diri bahwa gue bisa mengobati
lukanya Nadine setiap malam. Terlalu percaya diri bahwa gue bisa memberikan
keluarga bahagia yang Nadine inginkan. Terlalu percaya diri bahwa pernikahan
kami akan membuat Nadine bahagia dan lupa luka masa lalunya.

“Aku mau menikah di usia 27, Ta.”

Sampai sekarang, gue berpikir bahwa Nadine bilang begitu karena Nadine
nggak mau menikah lebih dari usia 27. Tapi memang benar, gue terlalu sombong
untuk menyadari bahwa itu adalah satu-satunya cita-cita Nadine yang gue
hancurkan. Satu-satunya alasan kenapa Nadine nggak bisa menerima gue sebagai
suaminya. Karena gue adalah orang yang menghancurkan hidupnya.

“Seandainya, seandainya mama nggak memaksa Nadine untuk menerima


lamaran kamu, dulu. Mungkin Nadine bisa bahagia, mungkin hidupnya nggak
akan seberat ini. Mungkin rumah tangga kalian berdua nggak sekacau ini.”
Tangan mamanya Nadine meraih lengan kiri gue. Mengusapnya dengan
lembut seakan menenangkan gue karena tanpa terasa, mobil ini gue jalankan
terlalu cepat.

“Sekarang, Genta, semuanya sudah menjadi hal yang disesali, semuanya


sudah terjadi. Ibu yakin kalian masih saling mencintai, rumah tangga kalian masih
bisa diselamatkan. Jadi tolong, berikanlah Nadine hal yang dia inginkan.”

“Keluarga bahagia.”

Nadine bukanlah Nadine yang gue kenal di malam begitu kami sampai di
Lembang. Nadine yang ini bukanlah Nadine yang gue lamar, yang gue jadikan
teman hidup sampai menua. Matanya dingin, sebegitu dinginnya sampai gue ingin
menyelam ke dalamnya, mengeluarkan semua hal yang menyebabkan matanya
nggak bersinar lagi.

Mamanya Nadine masih berlutut menggenggam tangan Nadine. Nadine


masih menangis dalam diam, nggak histeris seperti sinetron ala-ala. Tapi gue tahu,
yang begitu lebih menyakitkan.

And you know what? When I see her eyes, I know that she’s dealing with
depression.

Gue pernah merasakan hal yang sama seperti Nadine. Ketika keluarga gue
yang begitu hancur tetap nggak bisa menjadi alasan gue untuk menangis, karena
gue ini laki-laki. Laki-laki harus kuat, harus teguh, harus berprinsip, sama seperti
yang papa bilang.

Gue memang tersenyum, tapi gue berpura-pura. Gue memang nggak


cerita, tapi bukan berarti gue nggak punya banyak hal yang perlu diceritakan. Gue
ini orang yang berhutang budi sama Nadine karena berkat dia, gue nggak lagi
berpura-pura.

Gue tertawa bukan untuk menutupi tangis, tapi karena gue bahagia. Gue
diam bukan karena menyembunyikan cerita, tapi karena rasa sakit dari cerita itu
tersembuhkan. Dan gue ingin memastikan bahwa gue sembuh selamanya, gue
bahagia selamanya. Karena itu, gue menikahi perempuan ini dengan egoisnya.

Bodohnya, gue nggak sadar bahwa selama ini orang yang gue cintai
mengalami depresi. Mental illnes yang nggak bisa dispelekan sama sekali. Nadine
nggak banyak cerita tentang kesedihannya, she hides her pain, dan dia
menjauhkan diri dari orang yang dia cintai.

Segera setelah menyadari itu, gue berdiri, membantu mamanya Nadine


bangkit dari berlututnya. And I hug her so tight. Nggak peduli kalau Nadine nggak
membalas pelukannya, nggak peduli gue dilihat sama papa, mama, Gista, mas
Radit. Yang penting, Nadine jangan sampai merasakan bahwa dia membebani
orang lain.

Gue memeluk sang istri sampai dia terpaksa berdiri. Gue menghadapkan
badannya ke dinding, biarlah gue yang menahan pandangan takut dari keluarga,
Nadine jangan merasakan apapun.

“Paramita Nadine Kusuma.” Gue memanggil, bermaksud menyadarkan


Nadine karena pandangannya terlalu dingin seperti orang kesurupan.

“I want you to close your eyes.” Gue memberikan jeda agak lama,
memilih dan memilak kalimat apa yang sebaiknya digunakan untuk membawa
kembali Nadine yang gue kenal. “I wanna ask you something.”

Gue bisa melihat keluarga gue yang ikut berdiri, seakan bertanya-tanya
apa yang sebenarnya gue lakukan saat ini.

“Paramita Nadine Kusuma, apa kabar kamu?”

Sebentar, gue bisa merasakan bagaimana Nadine menahan napasnya.

“Beban apa yang kamu tanggung?”

“Tangis yang mana yang kamu tahan?”

“Kesakitan seperti apa, ketakutan seperti apa, yang ada di sana?”


“Kamu nggak perlu mempertahankan rasa takut itu, kamu hanya perlu
mengambil langkah.”

“Aku nggak berjanji suatu hari rasa takut itu akan hilang sepenuhnya, tapi,
bisakah kamu memaafkan siapapun yang menyakitimu?”

“Because that’s when healing starts.”

Bahu gue perih. Gue yakin air mata Nadine yang sedari dulu dia tahan
akhirnya bisa tumpah dengan derasnya sampai luka akibat pukulan sabuk gue
basah. Perih, tapi gue yakin hati Nadine menanggung perih lebih dari ini.

“Nadine, bayangkan kamu berada di suatu tempat yang kosong. Nggak ada
bangunan, nggak ada dinding, nggak ada apapun. Hanya ada badai di atas kamu.
Dan badai itu merepresentasikan kondisi kehidupanmu. Kamu nggak
memberitahu siapapun apa yang kamu jalani, karena mereka nggak mungkin
mengerti dan mereka nggak bisa membantu kamu pada akhirnya.”

Beberapa detik setelah itu, gue bisa merasakan tangan Nadine


mencengkram kemeja putih yang belum gue ganti. Nadine menyandarkan
wajahnya pada bahu gue dan tanpa segan membasahinya.

“Nadine, you don’t have to do this… alone.”

“Kamu bisa cerita ke konselor, kamu bisa cerita ke orang-orang yang


kamu percaya. Kamu bisa cerita sama aku, Ne. Bertahanlah sama aku, orang yang
pasti membantu kamu melewati semua yang kamu takuti. Aku nggak bisa
menghentikan badainya sekarang, tapi aku akan peluk kamu dan menjagamu
supaya tetap hangat sampai badainya berlalu. Karena ketika aku ada di samping
kamu, Ne, badainya masih tetap ada. Tapi itu semua nggak apa, because I’m with
you all the way.

Nadine jadi nggak bertenaga. Badannya jatuh ke lantai, lututnya menjadi


tumpuan dan tangannya masih memeluk gue erat, tangisannya masih berlanjut.
Kala itu, Nadine betul-betul dingin, betul-betul lemah. Tangisnya mengartikan
bahwa dia berpikir bahwa semua ini adalah akhirnya.

Tapi ini bukanlah akhirnya, Ne, rumah tangga kita masih bisa
diselamatkan.

“Nadine, kamu masih belum di sini?”

“Open your eyes.”

Gue melepaskan pelukannya. Menahan bahunya supaya nggak jatuh.


Menatap matanya sangat dalam, mencari-cari sampai akhirnya Nadine yang gue
kenal sudah kembali.

“You’re still here.”

Mata Nadine menatap ke bawah, mungkin belum berani untuk menatap


mata suaminya ini yang sudah lama menjadi beban bagi dirinya sendiri.

“Genta,” lirihnya pilu. “Tolong, Ta, sakit.”

Tangan Nadine memegangi dadanya sendiri. Gue bahkan bisa merasakan


sakitnya. Gue memeluk badannya lagi, nggak kalah erat dari pelukan sebelumnya.
Tangis kita berdua ditumpahkan di hadapan keluarga yang menyaksikan. Nggak
perlu bertanya-tanya apakah ini tangisan sakit, bahagia, sesal, atau syukur, karena
bahkan gue sendiri pun nggak tahu harus menangis karena alasan yang mana.

Malam itu, akhirnya si map merah berisikan delapan rangkap surat


gugatan cerai bisa gue robek dan gue bakar dengan puas. Malam itu, semua orang
yang ada di ruangan kembali ke kamar mereka masing-masing setelah mengantar
Nadine ke kamarnya.

“I know you can pass it, Ta. Happiness is waiting for you two.” Ini mas
Radit, yang menepuk bagu gue, memberikan separuh tenaganya agar gue bisa
tetap kuat kedepannya.
Gue tidur sekmar dengan Nadine, tapi gue tidur di bawah. Bagaimanapun,
Nadine butuh ruang dulu untuk sendiri. Sudah terlalu banyak beban yang dia
tanggung sendiri dan gue nggak boleh memaksakan diri untuk menjadi obatnya.
Biarlah Nadine memilih bagaimana dia akan mengobati dirinya sendiri.

Pagi ini, gue sudah siap dengan celana hitam yang digulung sampai lutut,
kemeja yang digulung sampai sikut. Mengantarkan sosok yang sangat berarti bagi
seorang Paramita Nadine Kusuma, orang yang gue cintai lebih dari gue mencintai
diri sendiri.

Nadine berdiri di sana dengan dress dan mantel serba hitamnya. Matanya
sembab, tapi meneduhkan. Seakan matahari pagi yang menyinari Bandung pagi
ini dikalahkan oleh sejuknya mata Nadine.

Dengan membaca “Bismillaahi wa’alaa sunnati Rasuulillahi shallallaahu


‘alaihi wa salama,” saya menyerahkan papa pada Yang Maha Kuasa, dan saya
berjanji untuk menjaga putri Anda sampai saya yang diserahkan kepada Tuhan.
Aktor Luar Biasa
Oleh: Hafizh Muhammad Faza

“Hey, bangun”, Daru bergumam.

“Baiklah”

Sam terbangun didalam bangunan rusak yang sudah kelihatan tidak layak
pakai, atau bisa dibilang, hancur. Meskipun terlihat begitu, tempat ini adalah
tempat yang paling aman yang dapat dia huni selama bekerja, sebagai detektif.
Ya, tempat ini adalah tempat persembunyian Sam dengan temannya. Setelah
terbangun, Daru memberikan segelas kopi hangat kepada Sam.

“Thank you, Daru”, Ucap Sam.

Los Cabos adalah salah satu kota yang penuh dengan kejahatan.
Penculikan, pencurian, pembunuhan, dan tindakan kriminal lainnya seringkali
terjadi di kota ini. Bertahun-tahun Los Cabos ini dilanda dengan banyak tindak
kriminal. Tidak heran kalau kota ini adalah kota dengan tidak kriminal paling
tinggi di dunia. Itulah salah satu sebab Sam diutus oleh Scarlet ke kota ini untuk
mengidentifikasi, memecahkan masalah dan kriminal yang terjadi. Tidak hanya
Sam, ada juga beberapa orang dari Scarlet untuk bekerja dalam hal yang sama,
dan juga untuk menemani Sam, yang dipimpin oleh Alexander Kyouma.

“Halo, orang asing!. Sepertinya kamu orang baru disini, ya! Aku baru
melihat muka mu di kota ini”, Orang yang tidak dikenal menyapa.

“Err, iya. Aku baru saja beberapa bulan disini, ada apa memangnya?”,
jawab Sam sambil cemas karena ada orang yang menyapa secara tiba-tiba.

“Eheheheh! Jangan cemas begitu. Maukah kamu mengobrol sebentar di


Café Ressence denganku? Mungkin kau bisa santai disana” Ajak orang tersebut.

“Hal itu? Apa kau tidak—“


“Ayolah!”, ucap orang itu sambil menarik Sam ke Café.

Tibalah di Café Ressence. Sebuah Café dengan nuansa tempo dulu.


Bertema retro, tidak ragu kalau tempat ini adalah tempat yang nyaman untuk
bersantai seharian.

“Jadi, yang akan aku bicarakan adalah—”.

“Tunggu dulu, sebelum kau bicara itu, Siapa dirimu?”, Ucap Sam.

“Baiklah, namaku Braun, Ferdinand Braun. Kamu bisa memanggilku


apapun yang kamu suka. Tapi seringkali aku disebut oleh teman-temanku Braun”.
Aku adalah pemilik dari Café Ressence ini. Alasanku mengajakmu kesini adalah
untuk memperkenalkan Café-ku ini kepadamu, itu saja”, Jawab Braun.

“Baiklah, sepertinya kau adalah orang yang dapat menjadi teman


mengobrolku dan menjadi teman dekatku. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”,
tanya Sam.

“Apakah kamu sudah tau bahwa kota ini adalah kota kriminal? Apakah
alasanmu datang kesini?”, Braun balik bertanya.

“Ya, aku sudah tau bahwa kota ini adalah kota kriminal. Alasanku datang
kesini adalah—“ Sam seketika berhenti menjawab.

“Adalah?”, Braun bertanya kembali.

“Tidak! tidak ada apa-apa. Kota ini memiliki pemandangan yang bagus
bukan? Aku datang ke kota ini untuk mencari sensasi yang baru. Kota klasik
dengan pemandangan yang bagus adalah hal yang indah bukan?”, jawab Sam
yang sedikit panik.

“Eh? Iya…”, ucap Braun.

“Untung saja aku tidak memberitahu dia bahwa aku adalah detektif disini,
itu terlalu berbahaya bukan?”, Sam bergumam dalam hati.
*Bzzzzt*, handphone Sam bergetar.

“Halo? Sam disini”, ucap Sam.

“Aku Daru, dari Scarlet”.

“Daru? Ada apa tiba-tiba menelpon disaat seperti ini?”, tanya Sam.

“Bisakah kamu datang ke persembunyian sekarang? Ada yang harus kami


bicarakan”, Daru balik bertanya.

“Baiklah, aku datang kesana sekarang”, jawab Sam.

Sam menutup teleponnya, lalu menghabiskan Americano miliknya dan


berpamitan dengan Braun.

“Maaf Braun, aku harus pergi sekarang”, ucap Sam.

“Eh? Baiklah. Semoga kamu bisa datang kesini lagi ya. Terima kasih
sudah mengunjungi Café-ku!”, cakap Braun.

Sam pun langsung pergi ke tempat persembunyian. Karena suara Daru


cukup serius, mungkin ada sesuatu hari ini.

“Hey Sam. Apa kau tahu? Telah terjadi pembunuhan tadi pagi. Aku tadi
telah mencoba mengidentifikasi korban, tapi dikarenakan penjahat ini handal
dalam melakukan kriminalnya, sulit sekali untuk mencari siapa pelakunya. Tidak
ada sidik jari apapun”, Ucap Daru.

“Hah? Apa kau serius? Aku tadi berjalan-jalan di sekitar kota pagi hari.
Dimana pembunuhan tersebut terjadi?”,Tanya Sam panik.

“Pembunuhan terjadi di Mariano Matamoros, korban tergeletak di gang


kecil dengan beberapa tusukan di perutnya. Pisau nya pun masih menusuk di
perutnya. Meskipun begitu, di pisaunya, seperti yang aku bilang tadi, tidak ada
sidik jari. Setelah diidentifikasi dan dibantu oleh polisi setempat, nama korban
adalah Alexander Kyouma. Mungkin kau cukup kenal dengan nama itu. Ya, dia
adalah salah satu seperti kita, dari Scarlet. Organisasi yang sama bukan? Tetapi,
dia memiliki tempat persembunyian yang berbeda dari kita”, Ucap Daru.

“Tuan Alex? Yang benar saja?!”, Sam kebingungan.

“Ya, tuan Alex adalah korbannya. Clue yang kudapat adalah ada tulisan
dari darah yang bertuliskan ‘FB’ di dekat tangan tuan Alex. Sepertinya dia
menulis itu sebelum dia benar-benar tewas. Tulisan itu pasti memiliki makna,
Sam. Dan, melihat tuan Alex bisa tewas seketika, bisa jadi orang tersebut telah
mengetahui Scarlet dan sudah tahu apa yang kita lakukan di kota seperti ini. Jadi
sepertinya kita harus lebih berhati-hati lagi, Sam”, Cakap Daru.

“Baiklah. Besok aku akan mencari informasi tentang ‘FB’ ini ke orang-
orang sekitar dan orang-orang yang kukenal”, Ucap Sam.

“Ookay! Satu hal yang harus diingat, hati-hati, Sam. Bisa jadi kau yang
menjadi target selanjutnya. Jika terjadi apapun, langsung telpon aku”, Cakap
Daru.

Esok hari pun tiba, dengan hanya bekal ‘FB’, Sam datang ke sekitar kota
Los Cabos dan ke sekitaran jalan Mariano Matamoros, tempat tuan Alex tewas.
Dan Sam seketika ingat, bahwa Café Ressence milik Braun berada di sekitar jalan
tersebut. Maka dari itu, Sam berkunjung ke Café tersebut untuk bertemu dengan
Braun dan bertanya tentang pembunuhan yang terjadi kemarin.

“Hello, Mr Sam! Long Time No See! How’re you bro?”, Braun


menyambut.

“Long time no see… huh? Aku baru saja datang ke sini kemarin, Braun.
Mengapa long time no see?. Yap, ngomong-ngomong, ada yang aku ingin bahas
sesuatu denganmu”, Cakap Sam.

“Baiklah duduk disini, Sam”, Jawab Braun.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”, Tanya Braun.


“Apa kau tahu tentang ‘FB’?”, Sam bertanya balik.

“FB? Hah? Facebook?”, Braun kebingungan.

“Bukan itu, apa kau tahu disekitar sini ada pembunuhan waktu kemarin?
Tepat di sisi mayat terdapat tulisan FB disana. Apa kau mengetahui sesuatu
tentang itu?”, Sam bertanya kembali.

“FB, ya. Maaf Sam, aku kurang tahu tentang ini. Jika aku memang tahu,
aku akan memberitahu-nya kepadamu. Ngomong-ngomong, tentang pembunuhan
yang terjadi kemarin, mengapa kau menanyakan ini kepadaku? Apakah
pembunuhan ini ada sangkut pautnya denganmu?”, Ucap Braun.

“Yaa… Tidak. Aku hanya penasaran saja, karena pembunuhannya terjadi


di sekitar sini”, Cakap Sam.

“Oh.. begitu. Daripada tegang begini, minumlah terlebih dahulu


Americano buatanku, itu akan membuatmu lebih tenang”, Ucap Braun.

“Baiklah, dan, terima kasih”, Cakap Sam.

Setelah mengabiskan Americano nya, Sam keluar dari Café dan kembali
lagi ke pekerjaan-nya. Dia kembali mencari info-info tentang FB ini. Dan setelah
beberapa lama, dia bertemu wanita yang muka-nya cemas. Seketika itu pun Sam
menghampiri dia dan bertanya tentang FB.

“Halo, apakah kamu baik-baik saja? Muka mu terlihat cemas begitu,


nona”, Tanya Sam.

“Kau tahu pembunuhan yang terjadi kemarin? Kyouma-nii adalah kakak-


ku, aku tidak habis pikir siapa yang melakukan ini semua”, Cakap wanita tersebut.

“Siapa nama-mu?”, Sam kembali bertanya.

“Michele Kurisu”, Jawab wanita itu.


“Jika begitu, aku akan menjelaskan tentangku. Namaku Sam Rendezvous.
Aku diperintah oleh Scarlet, yaitu organisasi penyelidikan kasus kriminal yang
mana Tuan Alex adalah pemimpinnya untuk sektor kota Los Cabos ini, untuk
menyelidiki kasus kriminal yang terjadi di kota ini”, Cakap Sam.

“Apa kau tahu tentang FB?”, Tanya Sam.

“FB? Apa Maksudmu? Aku tidak mengerti. Mengapa kau bertanya tentang
ini?”, Tanya Michele.

“Karena sebelum Tuan Alex tewas, dia sempat menuliskan FB di jalan, di


pinggir badannya”, Ucap Sam.

“Jika begitu. Jelas kalau FB-lah yang membunuhnya”, Cakap Michele.

“Apa alasan Tuan Alex menuliskan itu? Apakah pembunuhnya adalah


teman dia sendiri?”, Tanya Sam.

“Aku pun kurang tahu tentang itu”, Gumam Michele.

Setelah lama mengobrol tentang itu, langit mulai redup. Malam mulai tiba.
Sudah saatnya Sam dan Michele untuk pulang.

“Nona Michele, biarkan aku mengantar-mu pulang. Ini sudah malam.


Kondisi ini berbahaya”, Ucap Sam.

“Baiklah. Dan, terima kasih, Sam. Kau benar-benar orang yang baik”,
Cakap Michele.

Ditengah jalan, Sam merasa ada yang aneh. Dia merasa ada yang memata-
matai mereka berdua. Sam pun mulai mengeluarkan pistol-nya sebagai alat
pertahanan untuknya. Setelah itu, Terlihat ada bayangan orang tersorot oleh
lampu. Sam seketika panik dan menembakkan pistolnya, dan mengenai dia. Tak
lama setelah itu, orang tersebut seketika hilang.
“Siapa kamu?!!! Tunjukkanlah badanmu wahai pembunuh sialan!!! Nona
Michele, jangan jauh-jauh dariku. Aku mencemaskanmu”, Cakap Sam yang
sedang panik.

Seketika ada orang dibelakang yang menikam Sam dengan pisau tajam.
Untung saja, Sam terluka tangannya dan sedikit sayatan di perutnya. Sam
menendang pembunuh tersebut, dan dia terjatuh. Orang itu langsung berlari jauh.

“Sam! Apa kau tidak apa-apa ?!!”, Michele panik.

“Aku tidak apa-apa. Aku hanya terluka sedikit”, ucap Sam.

“Bertahanlah sebentar, kita akan mencari tempat yang aman terlebih


dahulu, lalu mengobati mu. Apa kau sanggup?”, Tanya Michele.

“Ya, aku sanggup”, Cakap Sam.

Sampailah di tempat yang aman. Dan Tempat tersebut adalah Café


Ressence. Untunglah tempat tersebut masih buka dan mereka bisa mengamankan
diri disana. Saat memerban luka Sam, mereka bertemu Braun, si pemilik Café ini.

“Hey Sam! Jika kau masih kesakitan begitu, kau bisa berdiam dulu disini”,
Ucap Braun.

“Baiklah. Terima kasih Braun, kau adalah teman baikku”, Cakap Sam.

Tak lama setelah itu, Braun berteriak kesakitan. Dan celana-nya menjadi
berlumuran darah, cukup terluka. Sam dan Michele membantu untuk
membersihkan luka Braun, pada saat membersihkan darahnya, Sam kaget karena
luka tersebut adalah luka tembakkan. Tak lama berpikir, Sam langsung mengira
bahwa Braun adalah pelakunya.

“Kenapa kau selalu cemas begitu, Sam? Ada apa?”, Tanya Braun.

“Kau…Kau!!, Sialan!!!”, Teriak Sam.


Langsung saja Sam menelpon pihak polisi bahwa dia telah menemukan
satu penjahat. Dan tak lama setelah itu, Braun pun ditangkap dan dibawa ke pihak
kepolisian. Dan dia dipenjara. Ya, dia adalah Ferdinand Braun. Jika disingkat
namanya, dia adalah FB. Yaitu tulisan yang ditulis oleh Tuan Alex sebelum dia
tewas.

“Aku tidak bisa menyangka bahwa FB itu adalah Ferdinand Braun. Aku
benar-benar tidak menyangka bahwa teman dekatku itu adalah pembunuh
professional. Dia benar-benar adalah aktor yang luar biasa. Bahkan detektif
sepertiku tidak bisa menyangka dia adalah pembunuhnya”. Gumam Sam.

“Aku lupa berkata bahwa Kyouma-nii adalah pelanggan dari Café


Ressence, aku rasa dia adalah teman baik Braun, sama sepertimu”, Ucap Michele.

Pada saat diinterogasi, Braun tetap saja ngotot bahwa dia bukanlah
pembunuhnya, bagaimana bisa dia membunuh temannya sendiri. Tapi setelah
beberapa lama kemudian, telah teridentifikasi bahwa dia adalah dalang dari
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Los Cabos ini. Dan dia akhirnya
mengaku bahwa dia adalah pembunuh Alexander Kyouma sekaligus dalang dari
pembunuhan-pembunuhan di kota ini.

“Misi kita telah selesai, Daru. Kita berhasil”, Cakap Sam.

“Syukurlah. Mari kita kembali ke markas Scarlet”, Ucap Daru.

Mereka-pun pulang ke Markas Scarlet yang berada di Swiss dengan


keadaan bahagia karena telah menyelesaikan misinya dengan sukses.

Keesokan harinya, hari itu adalah hari dimana hari yang pertama kali tidak
ada satupun kriminal yang terjadi di Los Cabos. Kota tersebut telah berubah dari
kota yang penuh kriminal, menjadi kota yang damai tentram, terima kasih kepada
Sam dan kawan-kawan nya yang berusaha mengungkap kasus-kasus kriminal
disana. Jasa mereka, tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Los Cabos.
NARA
Oleh: Hasnan Muhammad Fauzan

10.10

“Ini uangnya bu, terimakasih.”

Ia keluar dari kantin yang pengap dan sesak penuh orang. Lalu berjalan
sambil membawa nasi kuning yang ia beli. Nasi kuning di istirahat kedua memang
terlihat sangat lezat. Tidak seperti hari-hari biasanya, mading yang sangat tidak
menarik itu dipenuhi oleh kerumunan orang ditambah dengan suara yang berisik.
Hal itu cukup menarik perhatian Merin, siswa kelas 2 di SMA Negeri.

Ia mulai masuk kedalam kerumunan, samar-samar ia melihat poster yang


menjadi pusat perhatian para siswa. Setelah bersusah payah dengan badan
mungilnya menembus kerumunan, akhirnya dengan jelas ia melihat poster
tersebut. Dengan tulisan warna merah ber-font menarik dengan ukuran cukup
besar, ditambah lagi dengan efek bold, terpampang tulisan “Latihan Dasar
Kepemimpinan”. Dibawah tulisan tersebut terdapat tulisan yang menyatakan
bahwa Latihan Dasar Kepemimpinan diadakan tanggal 25 Januari 2019.

“Parah sekali, masa baru diumumin H-1 sih?” Gerutu Merin.

“Kring! Kring! Kring!”, Bel masuk berbunyi, Merin pergi meninggalkan


mading yang masih dikerumuni banyak orang sambil membawa nasi kuningnya.

Sesampainya di depan kelas, ia menghampiri Eri dan Sera, yang sedang


mengobrol di lorong depan kelas.

“Kok masih pada di sini sih? Bu Ade ga masuk ya?” Tanya Merin.

“Iya, katanya anaknya masih sakit, lagian di dalem gerah banget, jadi kita
ngadem diluar aja, hehe” Jawab Eri
“Kamu darimana—"

“Eh kalian tau gak? Besok bakal ada LDK loh.” Ujar Merin tiba-tiba
memotong ucapan Sera.

“Hah? Sumpah?” Eri terkejut.

“Iya beneran. Tadi liat pengumumannya di mading.” Merin berusaha agar


Eri percaya.

“Halah, males ah, ngapain ikut yang gituan, paling juga ntar dijahilin
kakak kelas.” Sera berkata sambil memasang muka malas.

“Kalo kalian gak ikutan, kalian harus ngulang LDK tahun depan, tau!,”
tiba-tiba Edgar, salah satu calon ketua OSIS menghampiri mereka.

“Emangnya wajib banget ya, Gar ?” Eri bertanya.

“Iya lah, semua siswa kelas 2 wajib ikut, terutama anak-anak yang ikutan
organisasi,” jawab Edgar “kalian kan pengurus KIR, wajib ikut lah.”

“Hmm, yaudah deh daripada harus ngulang tahun depan, mending ikut
sekarang aja” tiba-tiba Sera menarik kembali ucapannya.

“Widih seru banget nih, lagi ngomongin apaan sih?” Tanya Pak Engkus,
salah satu penjaga sekolah yang sedang menyapu tiba-tiba ada di samping mereka.

“Ini loh pak, katanya besok ada LDK” jawab Merin.

“Woah, sudah LDK lagi aja. Bapak sih cuman nitip pesan aja, kalian
jangan ke daerah WC belakang sekolah saat LDK nanti” kata Pak Engkus.

“Emangnya kenapa pak?” tanya Eri dengan penuh penasaran.

“Pokoknya jangan aja, disana serem, udah lama gak dipakai juga, kan
udah rusak dari beberapa tahun lalu.” jawab Pak Engkus sembari menakut –
nakuti mereka berempat
“Halah, itu mah rumor disekolah doang, aslinya gak ada apa-apa. Udah
percaya aja.” Edgar menyanggah pernyataan pak Engkus yang membuat Eri, Sera,
dan Merin ketakutan

“Aku juga gak percaya yang gituan sih.” sambung Merin.

“Yasudah kalau kalian tidak percaya.” Pak Engkus meninggalkan mereka


berempat dan kembali menyapu lorong sekolah.

Eri bertanya, “Harus bawa apa aja, Gar ?”

“Ntar juga diumumin di grup organisasi kalian, kata ketua OSIS sih kayak
gitu” jawab Edgar.

“Oke, deh” jawab mereka bertiga kompak.

Keesokan harinya.

06.45

Pagi hari ini tidak seperti biasanya, langit terlihat sangat indah,
memunculkan cahayanya malu-malu dibalik awan.

Lalu di sekolah, Sera, Eri, dan Merin bertemu dengan Edgar

“Eh, udah dapet list barangnya kan? Udah nyiapin barang-barangnya


kan?” tanya Edgar.

“Udah dong!” jawab Merin mewakili teman-temannya.

“Sampai jumpa sore hari ya!” Edgar pergi meninggalkan mereka bertiga,
biasa, calon ketua OSIS kegiatannya padat, tiap hari dispen terus.

17.25

Sore hari, mereka kembali berkumpul di GOR dengan setumpuk barang


yang diperintahkan ketua OSIS untuk dibawa saat LDK.
“Halo adik-adik semua! Selamat datang di Latihan Dasar Kepemimpinan
tahun ini! Dengan Latihan Dasar Kepemimpinan, kalian akan dilatih bagaimana
menjadi seorang pemimpin dan melatih pengetahuan serta mental kalian” tiba-tiba
salah seorang panitia berbicara menggunakan pengeras suara. Namanya Kak Elan.

“Untuk yang pertama, kalian harus membuat kelompok 4 orang, harus satu
organisasi. 30 detik dimulai dari sekarang!” Perintah Kak Elan.

Seluruh peserta langsung mencari teman kelompoknya. Merin, Sera, dan


Eri sudah berkelompok, tetapi masih kekurangan satu orang. Mereka berusaha
mencari Edgar, tetapi tidak dapat menemukannya. Ah ya, mereka baru ingat,
Edgar dan mereka bertiga berbeda organisasi.

Untung saja, ada 1 orang yang belum mendapatkan kelompok, ia berasal


dari kelas tetangganya Merin, Eri, dan Sera. Namanya Reyhan. Ia terlihat sangat
cemas karena belum mendapatkan kelompok.

Eri, Merin, dan Sera pun mengajaknya bergabung. Reyhan dengan senang
hati menerima penawaran mereka.

“Sudah berkelompok semuanya ?” tanya Kak Elan.

“Sudah kak!” jawab seluruh peserta LDK dengan kompak.

“Baik, setelah membuat kelompok, acara selanjutnya yaitu games!” ujar


Kak Elan.

Seluruh peserta bersorak senang. Acara demi acara mereka lewati dengan
hati yang gembira. Tidak sia-sia, Merin, Eri, dan Sera mengikuti kegiatan LDK
ini.

Hingga pukul 8 malam, mereka semua memasuki ruangan-ruangan yang


telah disediakan, lalu tidur di dalam ruangan tersebut.

00.10
“BANGUN!. BANGUN!”. Seluruh peserta LDK terkejut dengan teriakan
para panitia.

“DALAM 5 MENIT SUDAH BERADA DI GOR KEMBALI!”. Perintah


panitia tersebut. Seluruh peserta panik dan mereka berhamburan keluar dari
ruangan dan memasuki GOR seperti ayam yang dikeluarkan dari kandangnya,
padahal saat itu jam menunjukkan pukul 12 malam.

Setelah memasuki GOR, mereka dibariskan per kelompok.

“Baik, untuk acara malam ini, kita akan melaksanakan jurit malam. Setiap
kelompok harus mendapatkan 4 kertas yang bertuliskan LDK dengan cap OSIS
yang sudah kami sebar di seluruh sekolah. Paham?” Kak Elan kembali
menjelaskan apa yang harus mereka lakukan kala itu.

“Siap paham, kak!” Jawab mereka serentak, padahal sebagian dari mereka
terlihat masih sangat mengantuk.

“Waktu kalian 1 jam, dimulai dari sekarang!” Teriak Kak Elan.

Eri, Sera, Merin, dan tentu saja teman barunya, Reyhan berkumpul untuk
merencanakan strategi agar mereka dapat mengumpulkan 4 kertas tersebut.

“Kita berpencar aja, nanti kita kembali ke GOR terus nungguin di sini,
tempat kita berdiri sekarang.”, Saran Reyhan, yang ternyata punya ide cemerlang.

Akhirnya, mereka berempat pun berpencar. Merin dengan langkah yang


sangat berani berjalan ke belakang sekolah sendirian, karena ia tidak mempercayai
apa yang dikatakan oleh Pak Engkus.

Tanpa disadari, ia telah sampai di wc belakang sekolah yang menurut Pak


Engkus sangat angker. Namun dia tidak mempedulikan hal itu. Yang ia pikirkan
hanyalah mencari kertas tersebut.

“Itu dia, kertasnya!.” Ujar Merin sangat senang karena ia berhasil


menemukan kertas bertuliskan LDK lengkap dengan cap OSIS.
Merin pun mengambil kertas tersebut. Setelah ia mengambil kertas
tersebut, ia berbalik badan. Betapa terkejutnya Merin, sekelilingnya tiba-tiba
menjadi hutan, bukan sekolah lagi. Dengan panik dan cemas ditambah kaki yang
gemetar, ia berlari-lari mencari jalan keluar dari hutan itu.

Setelah cukup lama ia mencari jalan keluar, hasilnya nihil. Ia tidak dapat
menemukan jalan keluar dari hutan tersebut. Yang ada, dia hanya kembali ke
tempat awal ia berlari.

Merin pasrah, ia hanya bisa terduduk dan perlahan ia menangis, tanpa ia


sadari. Yang ia butuhkan saat itu hanyalah pertolongan untuk keluar dari tempat
aneh tersebut.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang berbisik “Tolongin saya, Tolongin saya,


Huhuhuhu tolong.” Merin menoleh ke kiri dan ke kanan, namun ia tidak dapat
menemukan siapa-siapa, yang ada ia merasa sangat ketakutan.

“Siapa itu? Siapa kamu?” Ujar Merin sambil mencari-cari sumber suara
tersebut dengan kaki yang mati rasa.

“Tolong saya! Tolong!” Suara tersebut kembali terdengar, kini makin


keras suaranya.

“Siapa kamu? Dimana kamu? Muncullah!” Tanya Merin dalam keadaan


ketakutan, rasanya setengah tubuhnya mati rasa.

Tiba-tiba, muncul sesosok wajah depan merin, wajahnya hancur, penuh


darah, dan mukanya terlihat sedih.

Lalu ia berteriak “TOLONG SAYA!”. Merin yang terkejut langsung


pingsan seketika.

01.00

Sudah satu jam, Merin belum kembali ke tempat yang telah dijanjikan.
Sera, Eri, dan Reyhan terlihat cemas menanti Merin.
01.15

Eri, Sera, dan Reyhan melaporkan kehilangan temannya, Merin kepada


pihak panitia. Akhirnya mereka dan para panitia termasuk Kak Elan mencari
Merin.

01.45

Setengah jam mereka mencari, Kak Elan menemukan Merin di dalam WC


belakang sekolah, terduduk diatas kloset duduk, dan memasang tampang
tersenyum seringai seram dan matanya yang terbelalak satu bulatan penuh dan
tatapan kosong.

“Merin, sadar Merin, Merin!” ujar Kak Elan berusaha menyadarkan


Merin.

Merin tidak berubah, ia tetap terduduk diatas kloset duduk sambil


memasang tampang seram.

“Cek, cek, disini Elan melaporkan telah menemukan Merin, Lokasi WC


belakang sekolah. Tolong panggilkan Ustadz Yusuf.”

Eri, Sera, dan Reyhan yang mengetahui lokasi Merin langsung


menghampiri Merin, berikut pula para Panitia dan Ustadz Yusuf, guru yang
menjaga mereka pada acara LDK tersebut.

“Astaga, Merin!” ujar Sera yang pertama kali melihat Merin dalam kondisi
mengejutkan.

“Ayo, kita bawa ke UKS terlebih dahulu!” perintah Ustadz Yusuf.

Para panitia laki-laki dan Reyhan menolong untuk mengangkut Merin.


Sesampainya di UKS Merin tiba-tiba menunjukkan raut muka yang berbeda,
tampak sedih dengan sedikit senyum.

“Tolong saya…” ujar roh yang bersarang di tubuh Merin, mereka yakin
bahwa itu bukan Merin.
“Siapa namamu?” tanya Ustadz Yusuf.

“Saya Nara.” Jawab Merin.

Teringat kembali kisah kelam itu. Nara, anak dari Pak Asep, penjaga
sekolah yang tiba-tiba menghilang 2 bulan yang lalu dengan dugaan diculik.
Hingga saat ini tidak ada tindak lanjut dari pencarian Nara tersebut. Polisi pun
tidak ingin menyelesaikan kasus ini, karena Pak Asep, bukan merupakan orang
yang mempunyai banyak uang untuk membayar tindak lanjut kasus ini.

“Nara? Kamu Nara yang hilang 2 bulan yang lalu itu?” tanya Pak Ustadz

“Iya.” ucap Nara yang singgah di tubuh Merin, lirih.

“Apa yang kamu mau, Nara? Dimana tubuhmu sekarang?” tanya Pak
Ustadz.

“Tolong saya, tolong makamkan tubuh saya dengan layak.” ujar Nara.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Pak Ustadz

“Aku dibunuh, oleh dirinya yang kejam. Saat itu 2 bulan yang lalu, seperti
anak-anak pada umumnya, setelah pulang sekolah, aku bermain bersama teman-
temanku. Saat aku mengunjungi rumahnya untuk mengajak anaknya bermain
bersama, tiba-tiba aku dibawa masuk ke kamar dan diperkosa olehnya, dengan
nafsunya yang sangat menggebu-gebu.” Ujar Merin.

“Aku yang tidak tahan dan terkejut akan hal tersebut merasa pusing, lalu
sekelilingku menggelap, aku tidak bisa melihat apapun, yang aku lihat terakhir
kali hanyalah mukanya yang bejat. Setelah itu, darah mengucur dari jantungku
dengan pisau yang menancap, ia membunuh seperti tanpa dosa, membabi buta,
dan menguburkanku dengan sangat tidak layak.” jelas Nara.

“Ya Tuhan, Nara anakku!. Siapa dirinya yang kamu maksud?” tanya Pak
Asep yang telah dipanggil oleh Kak Elan.
“Pak Engkus temanmu, ayah! Dia yang telah membunuhku!” ucap Nara
dengan mata yang membelalak dan terlihat sangat marah.

“Dimana mayatmu sekarang, nak?” Tanya Pak Asep berkaca-kaca melihat


anaknya diperlakukan keji oleh temannya sendiri.

“Aku dimasukkan kedalam kantong keresek. Lalu dikuburkan secara tidak


layak di WC belakang sekolah. Tolong kuburkan aku setidaknya dengan layak,
Ayah!” Ucap Nara lalu menangis.

“Maaf aku tidak bisa berlama-lama tinggal di tubuh ini, selamat tinggal
semua.” Sambung Nara, lalu Nara keluar dari tubuh Merin, dan Merin kembali ke
tubuhnya.

“Apa yang terjadi?” Merin terkejut, ia tiba-tiba berada di UKS dan


dikelilingi banyak orang. Termasuk teman-temannya.

“Jadi begini, Nara, anak Pak Engkus yang hilang 2 bulan lalu merasuki
tubuhmu.” Reyhan menceritakan seluruh kejadian.

“Lalu apa yang terjadi denganmu hingga sampai di wc belakang sekolah?”


Tanya Sera khawatir.

“Awalnya begini, kita kan berpencar, lalu aku pergi ke wc belakang


sekolah.” Lalu Merin menceritakan kejadian supranaturalnya.

Hari itu, suasana acara Latihan Dasar Kepemimpinan berubah, menjadi


mencekam sekaligus menyedihkan.

Mayat Nara ditemukan di WC belakang sekolah, dikuburkan dengan tanah


yang dangkal, dan ditutupi dengan perabotan sekolah yang tidak terpakai. Kak
Elan langsung menelepon ayahnya yang merupakan seorang polisi dan
menangkap Pak Engkus, yang telah membunuh Nara.

Pak Asep menangis sejadi-jadinya, anak semata wayangnya yang telah


hilang 2 bulan, ditemukan secara tidak layak, dan dibunuh oleh temannya sendiri.
Malam itu juga, Nara langsung dikuburkan secara layak di TPU. Disertai
do’a agar arwahnya tenang.

Keesokan harinya.

08.00

Merin dan teman-temannya mengikuti Apel Pagi Latihan Dasar


Kepemimpinan. Usai apel pagi, ia menoleh ke arah belakang dan melihat UKS.
Tiba-tiba muncul sosok yang dulu mengagetkannya, namun dengan wajah yang
sangat manis. Yap, dia adalah Nara.

Samar-samar Nara mengucapkan “Terimakasih, Merin.” Lalu tersenyum.


Merin yang terkejut pun ikut tersenyum.

“Heh, lagi ngapain liat ke belakang?” Tanya Eri.

“Ah, tadi ada Nara, dia ngucapin terimakasih.” Jawab Merin.

“Ya Tuhan, betapa menyedihkannya hidup dia, dasar Pak Engkus yang
keji” ujar Eri.

“Ya sudahlah, ini kan sudah terjadi, kita gak bisa ngubah takdir. Lagian,
untung kemarin Merin ke belakang sekolah, kita jadi tau kan siapa pembunuh dan
dimana mayat Nara dikuburkan” kata Sera.

“Selamat ya Merin! Kamu jadi peserta LDK terberani tahun ini” tiba-tiba
Edgar menghampiri.

“Terimakasih, Edgar.”

Setelah kejadian hari itu, Merin menjadi populer di kalangan anak sekolah,
ia juga menjadi indigo dan dapat berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Pak
Asep pun mengucapkan banyak terimakasih kepada Merin, karena dengan
keberanian Merin, ia dapat menemukan anaknya.
Makna Suatu Lagu
Oleh: Herliana Budiarti P

~Ketika kau berpikir bahwa semua orang tak menginginkanmu, ketika kau
membenci dirimu sendiri dan kamu ingin menghilang dari dunia ini., buatlah
pintu dihatimu dan jika kamu masuk ke dalamnya akan ada suatu tempat dimana
aku akan menunggumu. Tak apa, Percayalah padaku, aku akan menghiburmu di
Magic Shop~

Saat matahari hampir terbenam dan langit menjadi warna orange. Di saat
itu juga Salvina sedang mendengarkan lagu kesukaannya di balkon kamarnya,
bukan hanya lagunya saja yang sangat Salvina sukai tapi tujuh orang lelaki yang
menyanyikan lagu ini adalah menjadi alasan utama kenapa Salvina menyukainya.
Alasan kedua kenapa Salvina menyukai lagu ini di antara banyaknya lagu mereka
yaitu makna, makna dari lagu ini sangat berbekas di dalam hati Selvina. Lagu ini
seperti diperuntukan kepadanya, yang merasa tidak ada yang menginginkannya,
tidak ada yang mempedulikannya, dan selalu merasa sendiri di dunia ini. Tapi
sebelumnya Selvina tidak merasa sedih dengan kehidupannya seperti itu Selvina
selalu memiliki kebahagian dengan rasa berbeda setiap harinya, Kenapa? dan
Dari mana perasaan itu? Jawabanya adalah karena tujuh orang itu, tujuh orang
yang menyanyikan lagu tersebut, tujuh orang yang membuat Selvina sangat
menyukai lagu tersebut, tujuh orang yang juga membuat Selvina menyadarkan
sesuatu akan realita dunia ini. kebahagian yang dirasakan oleh Selvina sendiri dan
tidak mementingkan yang lainnya adalah kebahagiaan fiktif belaka.

Matahari sudah terbenam sempurna dan langit pun sudah gelap tapi
Selvina tetap tidak bergerak sedikitpun dan masih terus mengulang lagu tersebut
Magic Shop dari tujuh lelaki yang Selvina sangat sayangi, Selvina sendiri tidak
tau kenapa Selvina sangat menyayangi ke tujuh orang itu. Bukankah Kasih
sayang, Suka, dan Cinta tidak memiliki Alasan? Mereka yang memberikan
kebahagiaan kepada Selvina setiap harinya, Mereka yang membuat Selvina tidak
merasakan Pedihnya Realita dunia ini. Bukankah itu sudah jelas bagaimana
pentingnya mereka di kehidupan Selvina sebelumnya.Tapi mengapa ? mengapa
mereka mengeluarkan lagu itu? Mengapa mereka menyadarkan Selvina bahwa
Selvina harus berbuat sesuatu yang terbaik untuk Selvina sendiri di galaksi
Selvina sendiri di kehidupan Selvina sendiri. Bukankan kita selalu bersama ?,
bukankah kita memiliki kehidupan yang sama, mempunyai galaksi yang sama?
Mengapa mereka mengatakan Salvina memiliki kehidupan sendiri dan berbeda
dengan galaksi mereka? Lagu tersebut memang benar-benar menjadi pukulan
telak bagi Salvina.

Hilir angin malam yang menusuk dirasakan oleh Selvina. Ketika Selvina
mulai terasa dingin Selvina pun langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup
pintu balkonnya. Salvina duduk di atas tempat tidurnya dan langsung menghadap
ke suatu poster besar yang tepat menempel berada di hadapan Salvina dan
akhirnya Salvina merenung kembali.

“Apa memang selama ini aku sendiri? Kalian benar-benar tidak ada disisiku?
Kenapa aku selalu merasa kalian begitu nyata bersamaku, ataukah aku yang salah
memberikan pandangan kepada kalian? “ Salvina berguman sendiri tapi tidak
mengalihkan pandangannya dari poster tersebut

“Ahh, Seharusnya aku tidak menjadikan kalian sumber kebahagianku... ba-


bagaimana bisa kalian melakukan ini kepadaku, ini sangat menyakitkan” Tak
terasa Salvina meneteskan air mata di pipi kanannya dan tangan kanan Salvina
tidak diam saja tangan kanan Salvina memukul-mukul dada kanan Salvin karena
mungkin dipikiran Salvina itu akan menghilangkan rasa sakit hati di dadanya.dan
akhirnya Salvina menangis di dalam diamnya.

Sekedar mengingatkan bahwa jika seseorang menangis dalam diam bahkan tidak
ada satupun orang yang mengetahui hal tersebut, maka orang tersebut benar –
benar merasakan hal yang sangat teramat menyakitkan dalam hidupnya dan itu
akan membekas sampai akhir hayatnya.

5 Tahun Kemudian..
Salvina sedang bergegas untuk meeting pagi ini, Ia terlambat bangun
karena begadang semalam.

“Huhh, kalo bukan karena tugas langsung dari atasan aku tak akan begadang
semalam, proposalku dimana lagii?!” Salvina mengobrak-abrik laci untuk mencari
proposalnya untuk meeting pagi ini. Meeting pagi ini benar-benar penting untuk
masa depan perusahaan tempat kerja Salvina, Apa jadinya jika salvina tidak
menemukan proposal itu.

“ Sial, dimana Proposal itu, ku bisa dipecat jika tidak menemukannya. Ah ini dia!
Akhirnya..” Salvina menemukan Proposal itu. Ia sebenarnya ingin langsung
berdiri dan bergegas langsung pergi tetapi tubuh Salvina terasa kaku setelah
melihat sesuatu di bawah Proposalnya, Posternya dulu.

Tangan kanan Selvina memegang poster itu, poster ke tujuh lelaki yang
sangat berarti di masa lalu Selvina. Lima tahun yang lalu Selvina merasa sangat
bahagia karena keberadaan yang tidak nyata oleh tujuh orang ini, dan ke tujuh
orang ini pun yang menyadarkan Selvina tentang ketidaknyataan itu. Dan Selvina
sangat terpukul karena kenyataan itu, Salvina dan Ketujuh orang itu memang
benar – benar berbeda kehidupan dan galaksi mereka.

Dan setelah malam itu Selvina mulai merubah hidupnya untuk mencari
kebahagian di kehidupan sebenarnya, di lingkungan terdekatnya. Dan itu sangat
tidak mudah untuk dilalui oleh Salvina. Ketika kita sudah bergantung terhadap
seseorang apakah akan semudah itu kita untuk melepaskannya. Tidak kan, dan itu
pun yang dilaui Selvina, Dia butuh bertahun - tahun untuk mengetahui tentang
dirinya sendiri dan bagaimana cara melakukan Sosialisasi yang baik dengan orang
lain. Dan itu dilakukannya oleh Salvina sendiri tanpa orang lain bahkan tidak
dengan ketujuh orang yang memberikan kebahagiannya dulu. Dan akhirnya,
sampai titik ini Salvina memiliki teman-teman, rekan kerja, yang sangat baik
kepada Salvina yang memberikan kebahagiaan yang nyata kepada Salvina. Dan
Salvina Sangat bahagia Atas itu.

Drttttt…Drttt
Handphone Salvina tiba-tiba bergetar langsung menyadarkan Salvina dari
Lamunannya.

“Halo Cit.. iya, iya aku bentar lagi kesana, udah kok proposalnya udah ada, iya..
ini udah mau jalan, langsung ke perusahaannya kan. Yaudah Okee”

ketika salvina Menutup telepon tersebut Dia kembali melihat ke arah poster
tersebut. dan tersenyum penuh arti..

“Terima kasih pernah datang dan menjadi kisah di kehidupan aku” Salvina
tersenyum dan meletakkan kembali poster tersebut dilacinya.

Salvina segera pergi dari Apartemennya sambil membawa Proposalnya. Salvina


mencari taksi untuk pergi ke tempat meeting nya. Setelah masuk kedalam taksi
Selvina tiba – tiba memasang earphone ke telinganya dan mendengarkan lagu
yang memiliki banyak arti baginya

~ Kau memberikan yang terbaik untukku. Jadi, kau akan memberikan yang
terbaik bagi dirimu sendiri, Kau menemukanku, Kau mengakuiku, dan kau akan
menemukannya. Jika, galaksimu ada pada dirimu sendiri. Jadi, tunjukanlah aku
galaksimu maka akan kutunjukan padamu galaksiku~

Beyond the Scene - Magic shop


Cinta di Pesantren
Oleh : Ilyasa Ahmad M

Alangkah senangnya Adnan ketika dia akan meninggalkan masa SMP nya
dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Ya, Adnan merupakan seorang
remaja baik hati serta sholeh akhlaknya. Dia merupakan salah satu murid SMP
Negeri yang sangat terkenal di Bandung, bukan hanya di Bandung mungkin,
mungkin sangat terkenal se-Jawa Barat. Sekarang Adnan duduk di kelas 9, yang
artinya Adnan akan meninggalkan masa SMP nya. Saat dia lulus dari SMP
tersebut, dia berharap bahwa dirinya akan masuk SMA favorit di Bandung.

Waktu acara perpisahan telah tiba, ini adalah moment terakhirnya di SMP
tersebut. Selepas pulang dari acara tersebut, dia langsung berbicara kepada
ayahnya.

“Ayah, kayanya Adnan pengen masuk ke SMAN 3 Bandung deh.” Ucap


Adnan

“Iya Adnan, mau diomongin dulu sama Ayah ya.” Jawab ibunya.

“Oh iya Bu” jawab Adnan.

Sempat terlintas di pikiran Adnan, kenapa Ayahnya tak langsung


merespon keinginannya tersebut, tapi itu tak dipikirkan Adnan. Langsung saja
Adnan pergi ke kamarnya untuk beristirahat.

Setibanya di kamar, langsung saja dia mencari barang kesayangannya,


apalagi kalau bukan Handphone, langsung saja dia menelpon sahabatnya yang
juga ingin masuk SMA 3 Bandung, sahabatnya itu bernama Aqmal.

“Mal, kayanya gue bakal jadi ke SMA tiga.”

“Heem gue juga jadi Nan, soalnya Ayah sama Bunda udah ngizinin.”
Jawab Aqmal. “Ouh syukur ya kalo gitu mah.” Jawab Adnan kembali.
Tak ada angin tak ada hujan, Aqmal melotarkan bercandaan terhadap
Adnan “Nan, cepet – cepet punya pacar atuh, biar gaya.”

“Ah gue mah dari dulu sampe sekarang belum pernah jatuh cinta ke
cewe,” Jawab Adnan.

“Ah jadi takut temenan sama lo, jangan – jangan lo suka sama gue,
hahahahah.” Jawab Aqmal sambil tertawa.

“Eish, masa iya gue suka sama cowo, maksud gue tuh ya, belum ada yang
bisa yang ngisi hati seorang Adnan Fariz Husain, hahahaha.” Jawab Adnan kesal

“Ouh gitu ya, hahaha”

Mereka melanjutkan bercandaan tersebut sambil tertawa terbahak – bahak


sehingga tanpa sadar mereka sudah tidur dikarenakan mengantuk.

Keesokan harinya, Adnan tak sabar mendengar keputusan dari ayah dan
ibunya. Belum sempat Adnan berbicara kepada ayahnya, Ayah Adnan langsung
berbicara.

“De, segera packing baju, kita ke Garut sekarang.”

“Buat apa Yah?”

“Ade mau di masukkan ke Pesantren oleh Ayah sama Ibu.” Jawab Ayah
Adnan.

“Hah?! Kenapa ngga bicara dulu sama Adnan?!”

“Ini sudah keputusan Ayah sama Ibu, supaya Adnan bisa mengerti tentang
agama serta pergaulan kamu terjaga.”

Sontak Adnan berlari ke kamar sambil menangis karena merasa kecewa.


Tak lama, dia merasa bersalah kepada orang tuanya karena membuat mereka sakit
hati dengan cara menolak untuk masuk Pesantren. Di dalam kamar, Adnan
menelpon Aqmal,
“Nan, kenapa?” Jawab Aqmal dengan nada terkaget – kaget.

“Mal, kayanya gue ngga jadi ke SMA tiga, sorry ya.”

“Hah?! Kenapa?!”

“Udah jangan banyak tanya, itu udah keputusan gue.” Jawab Adnan
sambil menutup teleponnya.

Kurang lebih 3 jam Adnan berdiam diri di kamar sambil merenung,


akhirnya Adnan keluar kamar sembari membawa koper berisi baju dan
perlengkapan pribadinya. Adnan langsung berbicara kepada ayah dan ibunya.
“Ayo Yah, aku siap.” Mendengar itu, tak perlu basa – basi mereka bertiga
langsung masuk mobil lalu pergi ke sebuah Pesantren di Kabupaten Garut.

Setelah sampai disana, langsung saja ayah dan ibunya menitipkan anaknya
ke Kepala Pesantren disana, yaitu Ustadz Zaki.

“Ustadz, saya menitipkan anak saya disini, semoga anak saya menjadi
anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.”

Tak lama kemudian ayah dan ibunya Adnan memeluk nya sembari
meneteskan air mata

“Dek, semoga Adek betah disini, sok sing sholeh nya.” Kata Ibu Adnan
sambil menangis

“Iya siap Yah , Bu. Jangan kangen sama Adnan ya.”

“Iya Dek, ibu sama ayah pulang dulu ya.” Kata Ibu Adnan sambil
melepaskan pelukannya pada Adnan.

“Iya Bu, hati – hati di jalan ya”

Setelah percakapan tersebut, Adnan ditinggalkan oleh ayah dan ibunya


untuk kembali lagi ke Bandung. Dari sinilah kehidupan baru Adnan dimulai.
Lingkungan Pesantren dan lingkungan di kota memang sangatlah jauh
perbedaannya, contonya saja dalam hal berpakaian antara Pesantren dan Kota
sangatlah kontras perbedaannya, di Pesantren baik wanita maupun pria
menggunakan pakaian yang menutupi auratnya dan busana nya pun terkesan
islami, sedangkan di kota, masih banyak orang yang tak memerhatikan auratnya.

Di asrama, Adnan sangat ramah terhadap sesama, maka tak heran dia
langsung mempunyai banyak teman baru, dan dia mendapatkan sahabat baru yang
bernama Fahmi. Di Pesantren ini, Adnan mempelajari banyak hal mengenai
agama, misalnya saja dia belajar Bahasa Arab, Tafsir, dan sebagainya, diantara
banyak pelajaran yang ia dapatkan, ternyata Adnan mempunyai bakat dalam
Murrotal Qur’an sehingga diantara Santri Putra, Adnan lah yang paling berbakat
dalam bidang tersebut. Hingga suatu saat Ustadz Zaki menawarkan sebuah lomba
kepada Adnan

“Nan, kalau kamu ikut lomba Murrotal se-Pesantren mau atau tidak?”
Tawar Ustadz Zaki

“Insya Allah siap Ustadz.” Jawab Adnan menerima tawaran tersebut.

Hari pelaksanaan lomba telah tiba, Adnan berhasil menempati peringkat 1


dari kalangan peserta laki – laki di lomba tersebut dan berhak mengikuti babak
final melawan peringkat 1 dari kalangan peserta perempuan. Di babak final ini,
semua santri Pesantren menyaksikan acara puncak ini, baik santri laki – laki
maupun santri perempuan. Waktu babak final telah dimulai, dan Adnan menjadi
peserta pertama yang menunjukan keahliannya membaca Al-Qur’an, ketika
Adnan membacakan ayat suci Al-Qur’an tersebut, semua penonton merasa takjub
mendengar suara Adnan. Setelah Adnan menyelesaikan pembacaan Al-
Qur’annya, masuklah finalis kedua, dan tatkala si gadis tersebut membacakan ayat
suci Al-Qur’an, semua penonton dan termasuk juri sampai terdiam dan tak bisa
berkata apa – apa, saking merdunya suara gadis tersebut, termasuk Adnan.
Langsung saja Adnan berbicara kepada Fahmi

“Mi, gadis itu siapa sih namanya?” Tanya Adnan


“Kalo ngga salah itu Annisa.” Jawab Fahmi

“Ouh.. Annisa ya.”

Setelah selesai membereskan bacaannya, langsung ketahap pengumuman


juara lomba ini, dan sesuai dengan perkiraan, Annisa lah yang memenangkan
lomba ini dan Adnan sebagai juara kedua. Sesaat sesudah pembagian hadiah,
mereka sempat berbincang – bincang sebentar di belakang panggung

“Ehm, salam kenal ya nama saya Adnan”

“Oh muhun, nama saya Annisa, Alhamdulillah bisa kenal sama Adnan.”
Jawab Annisa dengan senyuman tipisnya

Adnan terlihat sangat canggung dan malu saat berbincang dengan Annisa,
wajahnya pun terlihat memerah.

“Ehm, Ehm tipayunnya, Assalamu’alaikum”

“Ouh iya mangga, Wa’alaikumsalam.”

Di asrama, Adnan bercerita tentang Annisa kepada Fahmi,

“Mi, kayanya aku punya rasa deh ka Annisa, Ya Allah Annisa tuh ya
cantik, terus ngajinya bagus, kalo senyum juga Masya Allah.”

“Eish Adnan, jangan gitu, belum mukhrim tau”

“Eih Astagfirullah”

“Kalo emang kamu bener – bener cinta sama dia, caranya ya…..”

“Apa caranya?” Tanya Adnan penasaran.

“Caranya yaitu, doakan aja di sepertiga malammu, semoga Allah


menjodohkan mu dengannya, berharaplah kepada Allah, karena Dia lah Yang
Maha Pembolak-balik Hati” Jawab Fahmi.

“Ouh gitu ya, ashiaap kalo gitu”


“Tapi kalo emang kamu ingin berkomunikasi dengannya, aku punya
kenalan di asrama putri, kayanya dia bisa bantu”

“Oh.. kayanya bisa dimintain tolong tuh, makasih ya Fahmi.” Ungkap


Adnan.

“No problem.”

Selepas itu, setiap hari Adnan saling berbalas surat dengan Annisa lewat
perantara Fahmi dan temannya Fahmi. Isi suratnya antara lain tentang aktivitas
dan lain – lain. Pertemuan mereka berdua pun dikatakan sangat jarang, mungkin 1
tahun 3 kali, itupun saat acara Pesantren yang melibatkan semua santri.

3 tahun dilalui Adnan di Pesantren ini, tiba waktunya perpisahan santri,


dan tiba saatnya Adnan mengungkapkan rasanya kepada Annisa, di Taman Bunga
Pesantren, Adnan menemui Annisa bersama Fahmi, agar tak terjadi fitnah. Adnan
pun langsung berbicara kapada Annisa.

“Nisa, sudah 3 tahun menyimpan rasa kepadamu, jadi intinya Adnan


mencintai Annisa, tapi jangan dijawab sekarang, nanti setelah Adnan lulus dan
menjadi sukses, Insya Allah Adnan kesini lagi untuk menghalalkan rasa cinta ini,
pegang janji Adnan ya.” Ungkap Adnan.

“Iya, Nisa juga mempunyai rasa yang sama, Nisa disini kok masih di
Pesantren, Nisa pegang janji Adnan ya.” Jawab Annisa.

Setelah momen tersebut, akhirnya mereka berpisah, Adnan melanjutkan ke


Universitas, sedangkan Annisa mengajar sambil kuliah di Pesantren tersebut,
biarlah mereka tak berpapasan, untuk menjadi pasangan yang saling
memantaskan.

5 tahun berlalu, Adnan sudah menjadi orang yang sukses, akan tetapi
Adnan masih menjadi Adnan yang masih sama seperti yang dulu. Adnan datang
ke Ustadz Zaki sembari silaturahmi ke Pesantren yang sangat dia rindukan.
“Assalamu’alaikum Ustadz”
“Wa’alaikumsalam, eh ini Adnan ya? Udah sukses ya sekarang.”

“Ehehe, Alhamdulillah Ustadz berkat didikan Ustadz juga saya bisa


menjadi seperti ini, oh iya Ustadz saya ingin bertemu Annisa, apakah boleh?”
Tanya Adnan.

“Oh iya pasti, ayo Ustadz antar”

Ustadz Zaki pun mengantar Adnan kepada Annisa. Ketika Annisa melihat
Adnan dari kejauhan, Annisa sangat terkejut dan berlari menemui laki – laki yang
ia rindukan selama 5 tahun. Terjadilah percakapan diantara mereka

“Nisa, Adnan mau nepatin janji. Nisa mau jadi pendamping hidupnya
Adnan?”

“Insya Allah mau.” Jawab Annisa.

Setelah itu, Adnan menikah dengan Annisa dan menjadi keluarga yang
Sakinah Mawadah Warohmah. Seperti itulah seharusnya cinta berada, biarlah
cinta itu ada, tetapi tidak disalurkan dengan salah, salurkanlah dengan menikah,
agar keberadaan cinta itu menjadi amal dan ibadah bagi yang merasakannya.
Maaf, Karena Tuhan Kita Berbeda
Oleh: Ismi Khoerunisa

Hatiku untukmu

hatimu pun untukku

Kita adalah satu hati yang tak saling berhadapan

Di tanganku butiran tasbih digerakkan beriringan

Sedangkan, rosario terselip diantara jemarimu begitu kau agungkan

Di saat hati kita bersatu, namun arah kita berbeda

Siapa yang bisa di salahkan, Tuhan?

-Naufal

Gadis berambut panjang itu kembali tersenyum kearahku, menenteng


sebuah tas hitam yang terlihat penuh oleh tumpukan buku-buku. Entahlah, dia
anak yang rajin, senyum nya terlihat mengembang ketika aku melambaikan
tangan untuk menyapanya.

"Hai juga, bagaimana kabar tugas mu?" katanya sambil menepuk


tanganku.

"Eh, ayolah Sarah, jangan sentuh aku.., Tuhanku tak


memperbolehkannya.." kataku tegas.

"Oh Naufal, maaf aku lupa, sudah sampai mana tugasmu?" katanya sambil
menggeserkan tubuhnya mendekat ke arah ku, membuat debaran hangat dalam
jantungku menggebu-gebu.
Perkenalkan dia adalah Sarah, seorang gadis yang cantik, berhidung
mancung, mempunyai mata yang tajam dan hitam serta lesung pipi di bagian
kanan yang menambahkan kesan imut pada dirinya. Dia gadis yang begitu cerdas,
di usianya yang baru menginjak 18 tahun, ia telah banyak mendapat penghargaan
baik secara nasional maupun internasional dari perlombaan yang ia ikuti.

Jujur saja, aku sudah menyukai dirinya ketika dia mulai mengajak ku
berdiskusi tentang pendidikan yang ada di Indonesia. Pada saat itu, semangat nya
begitu menggebu-gebu saat menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia memang
seharusnya mengutamakan karakter, tapi apalah daya jika nilai tentunya tetap
menjadi tujuan utama sebagian siswa. Sejak saat itu aku telah jatuh hati padanya.

"Maafkan aku Naufal, sekarang aku harus pergi ke gereja, ada acara
disana, nanti kita lanjut ya" katanya sambil membereskan beberapa jurnal yang
berserakan di meja. "Sekarang udah jam 12 kurang 10 loh, jangan lupa untuk
shalat dzuhur ya" pesannya sebelum pergi meninggalkanku. Ada saja gelagat
Sarah yang membuat ku selalu tersenyum, walaupun aku dengannya berbeda
agama, akan tetapi dia selalu mengingatkanku akan kewajibanku kepada Allah
SWT.

Aku pun mengangguk sambil tersenyum simpul ke arahnya. Ya Allah


salahkah aku jika pada detik ini aku belum mampu menghilangkan perasaannya
untuknya.

Hari demi hari, perjumpaan ku dengan Sarah menjadi sangat sering,


hampir setiap hari berjumpa untuk saling bertukar pikiran mengenai tugas kuliah
yang tak pernah absen dari kamus seorang mahasiswa sepertiku. Terkadang aku
berpikir, aku harus berterima kasih kepada dosen yang selalu memberikan tugas
ini padaku, setidaknya aku punya alasan untuk bertemu dengan Sarah seperti saat
ini. Bahkan, sekarang aku dan dirinya telah resmi menjalin hubungan pacaran.
Sarah bilang, jalani dulu saja, untuk akhirnya nanti Tuhan saja yang memutuskan.
Berpacaran dengan orang yang berbeda agama tidak semudah yang aku
pikirkan. Apalagi, aku adalah seorang Rohani Islam dan Sarah pun seorang
Rohani Katolik, banyak temanku yang menyuruhku mengakhiri hubungan ini,
akan tetapi aku tak bisa, aku sudah terlanjur cinta dengan Sarah, dan untuk
melepasnya tak semudah seperti apa yang mereka pikirkan.

Hubunganku dengan Sarah semakin dekat, terkadang Sarah menungguku


ketika aku shalat fardu di mesjid, bahkan pada suatu hari, aku dan dirinya
berpuasa di hari yang sama akan tetapi ditujukan pada Tuhan yang berbeda. Aku
pun selalu mengantarnya menuju gereja apabila ia ada kegiatan peribadatan
disana. Walaupun Tuhan kita berbeda tapi rasa ini memang ada dan begitu nyata
dan aku menyadarinya.

****

“Naufal, ayahku sudah tau hubungan kita lebih dari teman” katanya di
balik layar telpon yang menampilkan wajah nya yang cemberut.

“Bagaimana reaksinya?”

“Dia marah, dan meminta ku untuk mengakhiri hubungan kita Naufal,


katanya aku buta karena cinta, apakah kita berdosa Naufal?"

Aku menghela nafas, apakah kita berdosa? pertanyaan yang sering ku


ajukan pada diri ku sendiri, apakah Tuhan menciptakan cinta untu membuat
hambanya berdosa?

"Entahlah Sarah, tapi ini mungkin waktunya kedua orang tua kita
mengetahui hubungan kita" kataku pasrah.

"Apa rencana mu kali ini?"

"Aku akan memberi tau ibuku, ini jalan yang terbaik"

"Kau tak akan pergi meninggalkanku kan Naufal"


"Bila kita di takdirkan bersama, aku yakin pada akhirnya Tuhan akan
menyatukan kita dengan cara apa pun, namun jika takdir tak berpihak pada kita,
kau sudah tau kan jawabannya?"

Video call kami pun berakhir dengan keheningan antara aku dan gadis
yang ada di sebrang sana. Hati kita serasa beku, di hadapkan di dua pilihan,
meneruskan cinta tapi tak bisa, memutuskan harapan tapi tak mampu, tak ada
pilihan yang benar, semuanya terasa berat.

"Ibu" kataku sambil mengetuk pintu kamar ibu yang tidak terkunci sama
sekali.

"Masuk Nak" jawabnya cepat.

"Ibu, Naufal ingin bercerita, perihal gadis yang Naufal cintai Bu" kataku
pelan

"Berceritalah Nak, ibu menantikanmu menceritakan seorang gadis pada


ibu"

"Iya bu, aku mencintai seorang gadis, dia begitu cantik, berpendidikan,
sangat cerdas”

"Oh, baguslah bagaimana dengan akhlaqnya?"

"Kepribadiannya bagus Bu, baik hati dan dia juga beberapa kali menjadi
relawan dalam aksi kemanusiaan di kampus bersama Naufal"

"Oh begitu, ibu penasaran dengan gadis yang berhasul mencuri hati anak
ibu, kau begitu beruntung Nak kalau bisa mendapatkannya"

"Tapi Bu,, " ucapku ragu. "Dia seorang Katolik" sambungku.

“Apa kau telah hilang akal? jauhi gadis itu, ibu tak menyetujui hubungan
kalian, putuskan hubungan kalian!“ jawab ibu tegas.
“Tidak bisa bu, aku mencintainya, dia pun mencintaiku, aku tak akan
berani meninggalkannya Bu, aku tak tega Bu”

“Coba pikirkan perkataan ibu, kalau kalian berbeda bagaimana kalian bisa
bersama, umur mu sudah dewasa Nak, kau akan mengerti yang ibu maksud, cinta
itu bukan sekedar kasih dan sayang di antara dua orang manusia, tapi proses
kehidupan dan cita-cita yang mulia, apa kau tak berharap kelak kau dan istrimu
bisa hidup bahagia di Surga? Libatkan Allah dalam rasa cintamu Nak”

“Lalu, apa yang harus ku lakukan Bu? Aku sudah terlanjur mencintainya,
apa ada cara agar kita bisa terus bersama?”

Ibu tersenyum halus, dan berbisik lembut pada telingaku “coba ajak dia
untuk mengenal islam lebih dalam”

***

Langit malam begitu menenangkan, diiringi dengan angin lembut yang


membelai rambut hitam seorang perempuan yang ada di hadapanku. Aku mengela
nafas gusar, mencoba menghilangkan rasa takut dan gugup yang dari tadi
menyelimuti tubuhku. Ku tatap bola mata hitamnya dengan paksa, sambil
memikirkan apa yang akan terjadi setelah aku mengungkapkannya.

"Sarah, 3 tahun yang kita lalui bukanlah waktu yang singkat, aku dan
kamu istimewa Sar, Tuhan mempertemukan kita dan menumbuhkan benih-benih
cinta diantara kita. Kamu tau diriku, dan perasaanku bukan? aku mencintaimu
Sarah, akan tetapi dalam konsep cintaku, tidak hanya bahagia di dunia saja,
melainkan bahagia di akhirat juga, tapi kau pun mengetahui bukan kalau kita
berbeda?”

Gadis yang ada di hadapanku mengangguk pelan, sedikit bingung dengan


apa yang aku ucapkan.
“Untuk itu, maukah kau selalu bersamaku disisiku? maukah kau menjadi
islam untukku" tanyaku dengan bibir yang bergetar.

Sarah menatapku lekat, tangannya pun bergetar hebat kala itu, matanya
bulat nya terpejam sesaat, kristal bening mula merembes keluar dari matanya,
membasahi pipi lembutnya. Ia membuang nafas gusar dan diam beberapa saat.

"Maaf aku gak bisa masuk dalam agamu Naufal, aku sangat mencintai
agamaku, aku tidak bisa berpaling dari Tuhanku hanya karena cintaku ini”
ucapnya tersedu-sedu.

"Baiklah, kalau begitu aku akan melepaskanmu Sarah, maaf mungkin ini
jalan yang terbaik"

"Kenapa kamu melepaskanku, apa kau sudah tak mencintaiku?”

"Tidak begitu Sarah, aku mencintaimu, sungguh cinta, kalau saja Tuhan
kita sama, pasti aku akan memperjuangkanmu dan tak akan kulepaskan dirimu,
kau tau? Hubungan kita berat, orang tua kita tak menyetujuinya, terlalu banyak
perbedaan”

“Sebenarnya apa yang Tuhan inginkan untuk kita Naufal? mengapa ia


menciptakan cinta diantara kita? mengapa? aku cinta kamu, kamu cinta aku, tidak
ada yang salah diantara kita, akan tetapi Tuhan kita berbeda bukan? kenapa
kenyataan ini begitu menyakitkan" katanya sambil menangis lebih keras.

"Maafkan aku Sarah, aku mencintaimu tapi kita tak bisa bersatu, maaf.. "
ucapku.

“Tapi aku mencintaimu, apa kau tega meninggalkanku, setelah semua


perjuangan yang telah kita lakukan?”

“Aku menyerah Sar, aku menyerah, apa lagi yang kau harapkan?”
“Kenapa kau begitu begitu cepat menyerah, ingatlah semua perjuangan
kita”

Aku menatapnya tajam, mencoba memahami apa yang ia rasakan, aku tau
Sarah hanya sedang berjuang, berjuang untuk sebuah kekalahan yang
menatapnya kelam.

“Dengar aku, apa yang kita harapkan dari sebuah hubungan yang
berlandaskan perbedaan kepercayaan? Percayalah melepasmu pun aku sulit, tapi
mau sampai kapan kita terjebak dalam hubungan penuh duri nan menyakitkan?
Ayah mu pun tak setuju bukan? Mau sampai kapan?”

Sarah hanya diam mematung, garis bekas air matanya pun mengering,
beberapa menit ia terdiam, mencoba meredam ego dan berfikir keras tentang apa
yang akan ia lakukan.

“Baiklah Naufal, kau benar, aku pun menyerah dan memilih pasrah, aku
mengaku kalah dengan perbedaan di antara kita, selalu bahagia ya, semoga Tuhan
mu selalu menjaga setiap pergerakan dirimu, dan selalu melindungi mu,
terimakasih atas berkas kenangan yang tak mungkin ku lupakan, semoga kau
mendapat perempuan yang begitu kau idamkan, dan tentunya satu iman, walaupun
terasa berat, aku siap melepaskanmu”

Aku menghapus tetesan air mata yang tanpa sadar jatuh membasahi rahang
kuat yang aku miliki.

“Doaku pun selalu menyertaimu, semoga Tuhanmu selalu memberkati


dirimu, terimakasih atas perjuangan gigih yang kau berikan, tetaplah menjadi
Sarah yang hebat, cerdas dan kuat”

Ia pun tersenyum simpul aku pun begitu, menyembunyikan luka yang


sebenarnya bisa kapan saja menghantam dasar jiwa tak kasat mata.
Dan di heningnya malam, aku dan dirinya hanya diam menyaksikan
bintang malam, berpikir dengan pikiran masing-masing, mengapa takdir bisa
begitu terasa menyakitkan.

Di bawah langit malam

Ijin kan aku bercerita padamu Tuhan

Tentang sebuah kisah yang terasa menyakitkan

Tentang dua insan yang saling jatuh cinta dalam perbedaan.

Apakah itu sebuah kesalahan

Sampai Engkau menghukum kami dengan sebuah perpisahan.

Dengan orang-orang yang menuntut kami untuk mengakhiri sebuah


hubungan

Apa salah kita Tuhan?

Mencintai karena perbedaan?

-Sarah
Kaki Tangan
Oleh: Lulu Riva

Minggu pagi yang sejuk ditambah dengan suara gemericik hujan yang
seakan menjadi melodi yang menenangkan dan menghipnotis Joseph untuk terus
terlelap tidur. Hal ini ditambah keadaan Joseph sendiri yang belum tidur selama 3
hari, karena ia yang notabenenya merupakan polisi detektif harus menyelesaikan
sebuah kasus pembunuhan. Detektif Joseph memang merupakan salah satu
detektif paling terkenal di kota ini.

BRAAK.. tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kasar lalu muncul


sosok adiknya dari Joseph yaitu Joselline dengan terburu-buru. “Ka Jos, Brown
hilang aku mau pergi, cariin ” ujarnya merengek sambil menggoyang goyangkan
tubuh Joseph. Alih-alih bangun Joseph malah membalikkan tubuhnya dan berkata
sambil menutup telinganya dengan bantal “Bentar ya Selline, tunggu 5 menit aja
udah gitu kakak langsung cari Brown”.

Joselline yang melihat hal itu mulai naik pitam, diraba-rabanya kasur milik
Joseph sehingga menemukan sehelai kain yang ia percaya selimut lalu ditariknya
dengan keras, tubuh Joseph yang dilingkari oleh selimut itu pun terguling dan
akhirnya jatuh. Seketika itu juga ia bangun dan langsung memegangi bokongnya
yang baru saja menghantam lantai.

“Selline! Kamu apa-apaan sih” bentak Joseph pada adiknya.

“Kak, aku udah telat, kakak kan udah janji bakal selalu bantuin aku dan
sekarang aku mau pergi tapi Brown gak ada.” Kata Joselline sambil menahan
tangis karena dibentak oleh Joseph.

Mendengar itu Joseph jadi teringat janjinya untuk selalu menjaga dan
menolong adiknya setelah kecelakaan yang merenggut penglihatan adiknya itu.
“Eh kamu jangan nangis, kaka minta maaf ya sekarang kaka cariin Brown”.
Joseph pun keluar dari apartemen nya di lantai 1 dan mulai mencari
Brown, anjing cerdik selevel dengan anjing pelacak yang sengaja ia latih untuk
menjadi penuntun jalan untuk adiknya. Baru saja ia melangkahkan kakinya keluar
tiba-tiba terdengar gonggongan anjing dari arah luar apartemennya. Joseph pun
bergegas kesana dan menemukan Brown yang sepertinya sedang mengacak-
ngacak tempat pembuangan sampah di samping apartemen.

Dengan cepat ia menarik Brown dan mengikatnya di sebuah tiang untuk


menjemur di samping apartemennya. Untungnya Brown baru mengacak-ngacak
bagian luar dari tempat sampah itu. Sehingga tidak memerlukan waktu lama bagi
Joseph untuk merapihkannya kembali. Dengan cepat ia membawa Brown ke
dalam karena mengingat adiknya yang sudah terlambat.

Setelah mengantarkan adiknya pergi, Joseph kembali ke kamarnya dengan


niat untuk kembali tidur dan menikmati waktu berliburnya. Sekitar jam 2 siang ia
bangun dan “AAAAAAAA….” Tiba-tiba terdengar teriakan yang berasal dari
kamar yang tepat berada di atasnya. Mendengar itu pun Joseph segera berlari ke
atas. Sesampainya disana ia melihat ada 2 orang lelaki dan seorang wanita yang
berada di depan kamar apartemen no. 203 dengan tampang ketakutan.

Dari pintu depan dapat terlihat ruangan yang sangat berantakan dan
Joseph menemukan tubuh Pak Cartos tetangganya yang sudah membujur kaku
dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya. Ia pun segera memeriksa denyut nadi
Pak Cartos sayangnya tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Disaat bersamaan terdengar suara teriakan wanita dari arah kamar tidur.
Joseph buru-buru menghampirinya dan melihat wanita itu sedang mencoba
mengeluarkan tubuh seseorang yang terperangkap dalamtumpukan banyak sekali
baju di dalam lemari baju yang terbuka. Ketika tubuhnya keluar dari tumpukan
baju itu, dapat di identifikasi bahwa itu adalah istri dari Pak Cartos yaitu Bu
Merta. Tangan dan kakinya di ikat dan mulutnya di tutup oleh lakban. Melihat itu
wanita tadi segera membuka lakban tersebut dan mulai mencoba memberikan
pertolongan pertama. Sayangnya nyawa Bu Merta juga tidak dapat di selamatkan.
Joseph segera menelpon polisi dan melaporkan kejadian ini. Setelah itu ia
mulai mengintrogasi ketiga orang yang pertama kali menemukan insiden ini. Dari
ketiga orang itu yang pertama ada Bu Rachel yang merupakan teman dari Bu
Merta dan ia datang kesini karena di minta oleh Bu Merta untuk menemaninya
belanja siang ini, yang kedua adalah seorang kurir yang mengantarkan makanan
yang dipesan oleh Bu Merta untuk makan siang dan yang terakhir adalah Pak
Tono satpam di apartemen ini.

“Lalu bagaimana kalian dapat membuka pintu apartemen no. 203 ini?”
tanya Joseph.

“Awalnya saya datang untuk mengirimkan makanan ini, dari awal Bu


Merta telah berpesan untuk memasukan saja makanannya langsung ke dalam
apartemennya karena dia akan berada di luar dengan meminta bantuan Pak Tono.
Saat saya kemari Bu Rachel sudah ada dan akhirnya kami membukanya bersama,
tapi setelah kami membukannya, tapi yang kami lihat……” Terang kurir tersebut
dengan raut wajah sedih

Ketika polisi datang mereka mulai melakukan investigasi lebih dalam.


“Korban dari kejadian ini adalah Pak Cartos berumur 32 tahun pekerjaanya adalah
pemain saham yang di perkirakan meninggal karena kehabisan darah waktu
kematiannya diperkirakan sekitar jam 11.00 dan Bu Merta berumur 28 tahun
pekerjaanya ibu rumah tangga yang diperkirakan meninggal karena kehabisan
nafas setelah disekap waktu kematiannya diperkirakan jam 12.30. Setelah
dilakukan penyelidikan ditemukan bahwa seluruh barang barang berharga seperti
kartu,uang dan perhiasan hilang dan setelah mengkonfirmasi dengan perusahaan
Pak cartos diperkirakan bahwa ia baru menghasilkan banyak uang dari saham
barunya. Sehingga dicurigai motif dari pembunuhan ini adalah perampokan yang
berujung pada pembunuhan.”jelas Detektif Joseph setelah investigasi sementara

“Lapor komandan, kami menemukan ini dari kamera cctv di depan


apartemen” lapor seorang anggota polisi sambil menyerahkan selembar foto.
Dalam foto itu terlihat sosok misterius yang menutupi tubuhnya dari atas hingga
bawah. “Hanya ditemukan sosok ini memasuki apartemen tapi tidak keluar.
Sepertinya sosok ini keluar melalu tangga darurat sayangnya cctv yang berada di
tangga darurat rusak sekitar 2 hari yang lalu” lanjutnya.

“Cepat kalian cari orang ini” perintah Joseph pada anggota polisi yang
lain. Tiba-tiba terdengar suara Brown yang menggongong di lantai bawah.
Mendengar itu Joseph segera turun karena mengkhawatirkan adiknya. Dilihatnya
Brown menggonggong kembali di hadapan tempat sampah persis seperti pagi tadi.
Melihat itu ia segera bergegas untuk menarik Brown dan membawa adiknya ke
kamar. Tiba-tiba ia tersadar bahwa Brown selevel dengan anjing pelacak.

Joseph segera mengeluarkan semua isi tempat sampah dan menemukan


sebuah plastik biru besar. Ia membukanya dan ternyata didalamnya terdapat baju
yang dikenakan oleh sosok tadi dan sudah bersimbahan darah lengkap dengan
pisau sebagai alat pembunuhannya. Ia pun segera memanggil anggota polisi yang
lain dan meminta untuk melakukan identifikasi terhadap baju itu setelah itu ia
mengantarkan adiknya ke apartemennya.

“Lapor, kami menemukan rambut yang diidetifikasi milik Bu Merta dan


kami mengkonfirmasi bahwa Bu Merta membeli baju ini sekitar 1 minggu yang
lalu, diperkirakan bahwa pembunuh dari insiden ini adalah Bu Merta lalu untuk
menyembunyikan kejahatannya ia berpura-pura untuk tersekap tapi sepertinya
terjadi kesalahan dimana baju-baju yang ada di atas lemari jatuh dan
memerangkap dirinya sehingga akhirnya meninggal dunia. Motif diduga untuk
mendapatkan uang ansuransi dari Pak Cartos.”jelas salah satu anggota kepolisian
yang berhasil mengidentifikasi baju dan pisau itu.

Mendengar itu Joseph sedikit kurang yakin karena masih merasa ada yang
mangganjal. Ia pun pergi ke kamar tidur dimana Bu Merta di temukan dan mulai
memperhatikan sekeliling.ia melihat tumpukan baju dan mulai mengerutkan
keningnya, ia pun mencoba mencium baju tersebut dan kemudian tersenyum
misterius. Dia lalu membuka laci baju yang ada di kamar dan menemukan isinya
kosong. Terakhir ia melihat lakban yang tadi menutup mulut Bu Merta, pada
lakban itu terdapat banyak bekas lipstick Bu Merta. Lalu akhirnya ia berkata “Aku
mengetahui semuanya sekarang”

Setelah itu ia mengumpulkan semuanya termasuk ketiga orang tadi di


ruang tengah. “Aku telah mengetahui mengenai pembunuhan ini. Pelaku dari
pembunuhan Pak Cartos adalah istrinya sendiri. Setelah ia membunuh suaminya
ia membuang baju dan senjata yang dipakainya di tempat sampah. Lalu ia
berpura–pura di sekap tapi diperkirakan terbunuh karena tertumpuk oleh baju-baju
yang jatuh kepadanya”. Dengan motif untuk mendapatkan uang asuransi kematian
suaminya.” Jelas Joseph

“Kalau begitu tidak ada satu pun di antara kami yang merupakan tersangka
kan, kalau begitu aku ijin pulang karena aku masih memiliki pekerjaan lain” kata
kurir berpamitan. “aku juga memiliki urusan lain, kalau begitu saya mohon diri”
Bu Rachel juga berpamitan. Ketiganya pun bergegas untuk pergi.

“Itu mungkin yang di ingin kamu dengarkan” kata Detektif Joseph berkata
tiba-tiba. Membuat ketiga orang tadi menghentikan langkah mereka dan berbalik.
“Akan aku jelaskan yang sebenarnya terjadi kenyataan bahwa Bu Merta yang
membunuh Pak Cartos adalah kenyataan, tetapi sangat keci kemungkinan pelaku
yang bahkan membuat dirinya berpura-pura tersekap untuk menyembunyikan
kejahatannya membuang barang bukti di tempat sampah yang sangat mudah
ditemukan. Oleh karena itu saya berpikir bahwa Bu Merta memiliki kaki tangan
untuk membuang jauh barang buktinya, Tapi sepertinya terjadi masalah antara Bu
Merta dengan kaki tanganya sehingga akhirnya Bu Merta dibunuh”

“Bu Merta di bunuh? Apa maksudmu bukankah Bu Merta tewas karena


kecelakaan terperangkap baju?” tanya kurir itu.

“Jika kalian perhatikan lemari itu dipenuhi oleh banyak sekali baju,
sedangkan hal itu dapat merusak baju-baju yang mahal, Bu Merta tidak akan
melakukan itu. Pelaku sengaja memasukkan baju-baju itu untuk membuat seakan-
akan baju itu jatuh menerangkap Bu Merta karena terlalu penuh. Tapi kalo kita
perhatikan di dalam lemari itu ada baju yang sudah dipakai kalian bias mencium
bau rokok dari beberapa baju yang ada disana, bahkan kaos-kaos yang biasanya
disimpan di dalam laci pun di gantung hal ini terlihat dari laci kamarnya yang
kosong. Dan yang terakhir adalah lakban, di lakban dapat dilihat ada beberapa
tanda lipstick padahal kalo Bu Merta melakukan semuanya sendiri hanya aka nada
sata tanda bekas lipstick.” Jelas Joseph

“Lalu siapa pembunuh Bu Merta detektif?” tanya seorang anggota polisi.

“Orang yang berusaha menghilangkan barang bukti adalah pelakunya. Dan


itu adalah Bu Rachel dari awal ia sengaja menjadi orang yang pertama kali
menemukan Bu Merta dengan tujuan untuk membuka lakban itu dengan
tangannya dan menjadikan alibinya, benarkan Bu Merta”

Mendengar itu Bu Merta tidak dapat berkata-kata lagi ia hanya menyesali


perbuatannya “pada awalnya Bu Merta berjaji akan membagi dua uang ansuransi.
Tapi pada saat itu tiba-tiba ia bilang tidak akan memberikan bagianku karena
hutangku padanya. Padahal ia tau aku sanagat membutuhkan uang itu untuk
pengobatan anakku. Dan saat itu pula aku memutuskan untuk membunuhnya”

“Apa pun alasanmu kau telah berbuat salah Bu Rachel” kata Detektif
Joseph pelan.
Selembar Kertas
Oleh : Meina Nur Aeni Adistie

Bel berbunyi keras bahkan sampai terdegar keluar gerbang sekolah tanda
upacara hari senin akan dimulai, tapi Wendy masih dalam perjalanan ke sekolah.
Wendy adalah gadis SMA biasa yang memiliki senyum manis, tapi sedikit pemalu
dan sangat meyukai hal – hal yang teratur dan rapi. Tetapi , tidak seperti
biasanya pagi ini Wendy bangun kesiangan, karena pada saat malam hari ia
harus menyelesaikan tugas bahasa indonesia membuat cerpen. Syukurlah jarak
rumah Wendy ke sekolah tidak jauh, hanya membutuhkan waktu kurang
lebih 10 menit untuk sampai kesekolahnya.

Wendy sendiri kurang pandai dalam urusan membuat suatu cerpen, oleh
karena itu semalaman bahkan saat awal dia diberi tugas ini ia hanya terus berfikir
bagaimana cara mengerjakan dan memulai suatu cerita. Saat diberi tugas seperti
ini tidak biasanya imajinasi Wendy menjadi “sedikit macet”, itulah yang
membuatnya sedikit kesusahan mengerjakan tugas ini dan harus bergadang
sampai tengah malam disaat besok adalah hari senin. Tapi akhirnya dengan proses
yang susah payah akhirnya cerpen itupun selesai.

“Duh bakal telat nih.”, ucap Wendy di perjalan menuju sekolah, dengan
tergesa – gesa sambil mempercepat jalannya. Melihat dia sudah deket dengan
gerbang sekolah, dengan membawa tas berat dipunggungnya dan beberapa lembar
kertas di tangannya dia mempercepat jalannya dan bahkan mulai berlari kecil agar
cepat sampai.

Untunglah walaupun bel telah berbunyi masih ada beberapa siswa yang
masih memasuki gerbang bertanda kalau gerbang belum ditutup. Wendy pun
akhirnya sampai di gerbang sekolah dengan napas yang terengah dan keringat
yang sedikit membasahi tubuhnya karena ia tadi harus sedikit berlari untuk
sampai ke sekolahnya.
Saat sudah memasuki sekolah ia berniat tidak langsung kelapangan untuk
upacara tapi, ia akan pergi ke kelas dahulu untuk menyimpan tasnya. Wendy pun
bergegas pergi ke kelasnya dengan menaiki tangga dan menyusuri lorong kelas
sembari sedikit berlari agar lebih cepat sampai kekelas.

BRUKKKKK!!!!

“WOY KALO JALAN LIAT – LIAT DONG!!!”, ucap Wendy saat


seseorang tiba – tiba menabraknya dari arah yang berlawanan. Membuat lembaran
kertas yang berada ditangannya berserakan jatuh.

“Eh maaf – maaf gak sengaja.”, ucap orang itu.

Tanpa melihat ke orang yang menabraknya, ia langsung membungkuk


untuk memunguti kertasnya yang berserakan kemana – kemana.

“Sini biar gue bantu ambilin kertasnya.”, ucap orang itu sembari
mengikuti gerak Wendy pada saat akan mengambil kertasnya .

“Gak usah.”, jawab Wendy dengan nada sedikit ketus.

Dengan raut wajah dan perasaan yang kesal dia akhirnya mengumpulkan
kertas itu, setelah selesai dia langsung berdiri dan orang yang menabraknya juga
ikut berdiri.

Setelah keduanya berdiri tegap dan bertatap muka, betapa terkejutnya


Wendy mengetahui orang yang menabraknya adalah Kak Dirga, kakak kelas yang
dia sukai selama ini. Kak Dirga ini adalah tetangga baru disebelah rumah Wendy
yang baru pindah mungkin 6 bulan yang lalu, nah disaat itulah Wendy mulai
menyukai Kak Dirga. Walaupun bertetangga Wendy jarang mengobrol dengan
Kak Dirga, karena bila bertemu dengannnya Wendy selalu tidak bisa menahan
sikapnya atau lebih jelasnya sih salting.

Wendy pun hanya bisa diam tertegun dan malu karena sikapnya kepada
Kak Dirga beberapa detik yang lalu.
“Ehh ternyata Wendy tohh, aduh sekali lagi maaf ya, gue bener – bener
gak sengaja nabrak lo.” ,Ucap Dirga.

“Kak Dirga, gak apa – apa kok, gue juga salah kak, masa malah lari – lari
dilorong yang sempit.”, ucap Wendy dengan wajah yang mulai panas dan
memerah karena perasaannnya menjadi campur aduk, kemudian Wendy pun
kembali terdiam.

Tiba – tiba terdengar suara guru yang menyuruh para siswa yang bandel
yang masih ada di kelas agar segera pergi kelapangan, membuat Wendy dan
Dirga tiba – tiba terperanjat. Wendy pun segera ingat kalau dia masih harus pergi
ke kelas untuk menyimpas tas.

“Kak, aku duluan ya!”, ucap Wendy sambil lansung berlari, tanpa
menunggu jawaban dari Dirga.

“Ehhh dek tunggu dulu, itu......”,ucap Dirga yang mungkin sudah tidak
terdengar lagi oleh Wendy karena larinya yang sangat cepat.

Akhirnya sekarang Wendy sudah berada di lapangan upacara, dia pun


mengikuti upacara dengan perasaan yang campur aduk dan mukannya yang masih
merah, membuat temannya yang sering disapa dengan nama Gwen ini bertanya.

“Wen, kenapa tuu muka lo merah banget udah kaya tomat aja haha.”, ucap
Gwen.

“Ihhhh Gwen, tau ah gue ga mau inget – inget lagi kejadian tadi lagi.”,
balas Wendy.

“Hmmm gimana lo aja daaahhhh.”, ucap Gwen.

Setelah upacara selesai mereka pun pergi ke kelas bersama.

Wendy dan Gwen sudah beteman sejak di SMP dan sekarang saat di
SMA mereka berdua sekelas dan sebangku, itulah yang membuat mereka cukup
dekat dan bisa dibilang bersahabat.
Pelajaran pun dimulai seperti biasanya, dimulai dari jam pertama yaitu
pelajaran Prakarya dan selanjutnya pelajaran Bahasa Indonesia. Sembari
menunggu guru Bahasa Indonesia masuk Gwen bertanya pada Wendy tentang
tugas cerpennya.

“Wen, tugas Bahasa Indonesia yang cerpen itu, lo udah beres? Gue pengen
baca cerpen buatan lo dong.” , ucap Gwen.

“Sudah dong, ni baca.”, ucap Wendy sambil memberi lembaran kertas


yang dia bawa tadi kepada Gwen.

Gwen pun membaca hasil cerpen Wendy, halaman demi halaman


dibacanya.

“Wen, kok cerita lo kayannya ada yang dilewat?!”, ucap Gwen saat sudah
membaca cerpen Wendy.

“Masa sihh? Coba sini aku cek ceritanya.”, ucap Wendy

“Nihh.”, ucap Gwen sambil memberi kertas cerpen Wendy.

Wendy pun memeriksa cerpennya, ternyata benar saja ada satu lembar
ceritanya yang hilang.

“Gwennnnn, bener cerpennya ada satu lembar yang hilang!!, padahal pas
gue print malem dan pas cek waktu gue berangkat sekolah cerpennya bener ada
5 lembar kokk, kemana yaa mungkin.....”, ucap Wendy tetapi dipotong oleh
Gwen.

“Lo ini jangan nyerocos terus, tenang. Mungkin keselip kali di tas lo atau
lo selipin di buku kali. Coba cek!”, ucap Gwen.

Wendy pun membuka isi tasnya dan memeriksa diseluruh buku dan tempat
ditasnya. Tetapi hasilnya nihil, satu lembar cepennya itu tidak di temukan.

“Aaaaaaa Gwen cerpen gue kemanaaaaaaa padahal kan deadline nya


sekarang, gue mesti gimana, gue gak bawa file cadangan, lo tau kan kalo gak
ngumpulin sekarang nilainya bisa di minus minus minus huhuhuhu:( .”, ucap
Wendy kepada Gwen.

“Tenang, sekarang loe tarik napas dari idung terus keluarin dari mulut,
tenang.”, balas Gwen.

Wendy pun mengikuti intruksi Gwen.

“Sekarang lo inget – inget .....”, ucap Gwen, tapi terpotong oleh suara
teman sekelasnya yang berteriak ke Wendy.

“Wendy, ada yang nyariin lo tuuuu di depan pintuuu!!!!”, ucap salah


seorang teman mereka yang ada di kelas.

Wendy dan Gwen saling menatap heran karena tidak biasanya ada
seseorang yang mencari Wendy. Gwen langsung menggoda Wendy.

“Wah keren lo sekarang pake ada yang nyariin segala,cepet samperin gih
siapa tau penting!”, ucap Gwen.

Tampa membalas ocehan dari Gwen, Wendy langsung pergi keluar


bangku menuju ke pintu untuk bertemu seseorang yang mencarinya. Sebenarnya
Wendy juga cukup bingung karena jujur saja jarang sekali bahkan mungkin ini
pertama kalinya ada seseorang yang mencarinya.

Saat sampai didepan pintu dan melihat siapa yang mencariya, ia terkejut
bukan main karena ternyata orang yang ingin menemuinya adalah Kak Dirga.
Beberapa saat kemudian didalam benaknya, melihat Kak Dirga membuatnya
mengingat kejadian tadi pagi dan membuatnya sangat malu. Ya Kak Dirga, orang
yang menabraknya tadi dan orang yang ia marahi padahal jelas dia sendiri juga
salah karena berlarian dilorong kelas. Akhirnya Wendy memberanikan diri
menatap ke wajah Kak Dirga.

“Eh Kak Dirga, ada apa ya kok nyariin saya?” ucap Wendy dengan nada
malu – malu.
“Ini, gue mau ngembaliin kertas ini, tadi pas gue nabrak lo dan kertas
yang lo bawa jatoh, sebenarnya ada satu kertas yang gak kebawa , pas gue mau
ngasih tau ehh lo malah nyelonong kabur.”, ucap Kak Dirga sambil memberikan
selembar kertas itu.

Wendy pun menerima kertas itu dan melihat ternyata kertas itu adalah
selembar dari cerita cerpenya yang tadi dia cari. Wendy langsung tersenyum dan
begitu senang.

“Kak Dirga Makasih banget kertas ini aku cari kemana – mana ternyata
ada di Kakak, makasih, makasihh banget.”, ucap Wendy.

“Okey tenang aja, maaf ya kertasnya baru dianterin sekarang, tadi soalnya
abis upacara ada guru killer masuk kelas jadi gak bisa permisi buat nganterin
kertasnya, sama buat yang tadi pagi juga maaf ya gue bener – bener gak sengaja.”
Balas Kak Dirga

“Ehh kak yang tadi pagi gak usah dibahas lagi, lagi pula akunya juga
emang salah gak hati – hati kalo jalan. Sekali lagi makasih ya kak udah di anterin
kertasnya”, ucap Wendy.

“Okey dehh, kalo gitu gue balik ke kelas lagi ya”, ucap Kak Dirga sambil
tersenyum ke Wendy dan pergi meninggalkan kelas Wendy.

“Ya Kak, masihh yaa.”, sahut Wendy.

Wendy yang melihat Kak Dirga tersenyum saat berpamitan padanya,


membuat Wendy ingin mengukir senyuman di wajahnya juga dan dia sangat
senang karena bisa mengobrol dengan orang yang telah lama ia sukai, Kak Dirga.

Wendy masih berdiri di depan pintu, melihat Kak Dirga yang perlahan
menghilang kembali ke kelasnya dengan wajah yang masih mengukir senyum
lebar tanda sangat senang.
Wendy melirik selembar cerita cerpen yang ada di tangannya sejenak dan
bergumam didalam hati.

“Selembar kertas keberuntungan terimakasih, kau telah membuat hati ku


berbunga – bunga hari ini.” , gumam Wendy sambil memeluk kertas itu.

Wendy pun kembali masuk ke kelas dengan perasaan yang berbunga –


bunga dan masih memeluk selembar kertas sambil tersenyum lebar sampai
menuju ke bangkunya.

Saat kembali ke kelas, Gwen yang melihat Wendy berjalan ke arah bangku
sambil tersenyum lebar dan memeluk kertas hanya bisa terdiam heran dengan
perilaku aneh sahabatnya.

Dan begitulah cerita selembar kertas dari Wendy.


Mawar Gelap
Oleh : Muhammad Esa Rafdi Z

Malam itu sangat sunyi sekali, hujan turun berintikan kencang membasahi
baju yang penuh noda lumpur, kilatan petir terceminkan pada mata yang penuh
sesal, sang anak pun berteriak namun ia sendiri tak dapat mendengarnya, sang
anak mengenggam sebatang mawar dikedua tangannya, dan tangannya pun
terluka karena durinya yang sangat tajam, ia pun merasa hilang.

Namaku Reza Anggra Putra, aku adalah anak dari penjual bunga dikota
ini, kami mempunyai toko bunga sendiri bernama Roses Rey, seperti namanya
kami menjual berbagai jenis bunga dan produk terlaris kami adalah black
baccara ,mawar yang mempunyai warna hitam.

Aku bersekolah di salah satu SMA di kota ini dan sekarang aku sedang
duduk di kelas 11, aku menjalani kehidupan sekolah yang biasa - biasa saja, nilai
akademik dan olahragaku standar.

Di pagi yang dingin, aku berangkat ke sekolah mengendarai sepeda,


setelah itu aku pergi ke kelas, disana sangat sepi sekali dan sepertinya baru
dirikulah yang telah sampai disana. Setelah itu akupun menyimpan tas ditempat
dudukku, datanglah seorang perempuan ketempat dudukku dengan senyumnya
yang lebar penuh dengan keceriaan dia menyapaku.

“ Hii, selamat pagi Reza”

“ Oh hi juga Dinda”

“ Kamu tadi berangkat naik apa?”

“ Naik sepeda, kalo kamu?”

“Aku diantar papah”


“ By the way, semangat belajarnya hari ini”

“ Okeh makasih, semangat belajar juga”

Namanya Dinda Zahira, ia merupakan teman kecilku, kita juga


bertetanggaan, keluarganya dengan keluargaku sangat akrab,tapi entah kenapa
kami selalu sekelas dari tk sampai sekarang, dia itu sangat hyperaktif, dia
memiliki banyak teman, dia juga baik kepadaku, dia itu bagaikan mentari dikelas,
namun aku tidak menganggapnya begitu, aku menganggap dia seperti teman
biasa. Banyak sekali teman teman ku yang meminta nomornya kepadaku bahkan
orang yang tidak aku kenalpun meminta nomornya kepadaku, namun aku tidak
mau memberikannya karena itu sangat menyusahkan aku.

Kemudian datang orang yang pagi-pagi sudah menyebalkan

“ Zaaaaaaa....”

“ Hah... apa?”

“ Kita kan udah sahabatan dari lamaa-”

“ Gak, terima kasih”

“ Huumm aku juga belum beres ngomong”

“ Palingan kamu mau minta nomor si Dinda kan”

“ Ehehehe tuh ka mu tau, Jadiii-“

“ Gak makasih, minta aja sendiri kenapa harus lewat aku”

“ Maluu Zaaa-“

“ Ya kalo maluu gak usah berharap dapat nomornya dia”

“ Pleaseee Rezaa Anggra Putra...”

“ Enggakk Reno Bachtiar..”


“ Yaudah deh, lain kali aku pasti berhasil dapetin nomornya si Dinda”

“ Iyah goodluck”

Seperti yang kalian baca, dia adalah sahabatku Reno Bachtiar, kami mulai
bersahabatan sejak SMP, dan dia menyukai teman kecilku Dinda Zahira.
Meskipun tingkah lakunya yang menjengkelkan tapi dia baik kepadaku, dia juga
sering membantu merawat bunga ditokoku. Begitupun sebaliknya aku juga sering
membantu dia terutama dibidang akademik karena dia emang agak idiot.

Dihari yang sama aku mendengar bahwa kelas kami akan kedatangan
murid baru tapi kami belum melihatnya sejak pagi. Saat bel masuk berdering, wali
kelas ku masuk untuk mengumumkan siapa teman kita yang baru

“Anak anak, mulai hari ini kita akan belajar dengan teman baru kita”

“Wahhhhhhhh,siapaa yah” seketika kelas pun menjadi berisik

“ Hey kamu silahkan masuk”

“ Baik pak”

Seketika aku pun terkesima dengannya, diriku seperti melihat bidadari,


mata nya indah serta rambutnya lembut bagaikan kapas, jantungku berdetak
kencang, entah kenapa saat aku melihatnya, aku merasa bahagia.

“ Silahkan kamu memperkenalkan dirimu sendiri”

“ Baik pak, Perkenalkan nama saya Kirana Sabila, salam kenal semuanya”

“ Baiklah Kirana,silahkan duduk dikursi yang kosong”

” Dimana pak?”

“ Hmm itu sebelah Reza”

Akupun kaget dan menjadi salah tingkah, kemudian ia menyapaku

“ Hii, Selamat pagi namaku Kirana Sabila”


“ H..h..h..hiii, Na..na..namaku Re..”

“Re?”

“Reza Anggra Putraa”

“Ohh Rezaaa,aku baru disini jadi mohon bantuannya yah”

“ Ba..ba..baik”

Dan kini dikelas kita memiliki dua mentari Dinda, dan Kirana. Semua
murid disekolah menjadikan Kirana dan Dinda sebagai idola mereka, para murid
laki-laki berharap untuk menjadi pacar bagi Dinda atau Kirana, dan para
perempuan menghormati mereka layaknya menghormati ratu.

Aku pun juga terpesona kepada Kirana, begitupun sahabatku Reno ia


terpesona,sampai-sampai kebingungan untuk memilih antara Kirana atau Dinda.

Bel istirahat pun berbunyi...

Aku pun mengajak Kirana keliling sekolah kami.

“ Kirana bolehkah aku mengajak km keliling sekolah?”

“ Ohh dengan senang hati”

Jantungku berdebar debar, tiba-tiba Dinda dan Reno ingin menemani

“ Heyyy zaaa kalian mau kemana ?..” Reno berkicau

“ Aku mau ngajak Kiran keliling sekolah”

“ Ehh.... kalian mau keliling sekolah ?” saut Dinda

“ Iyahh”

“ Aku ikut boleh yah ?”

“ Ehh aku juga mau ikut,kiran kita ikut boleh yah ?”


“ Iyah silahkan Din”

Dalam hati akupun berbicara “chh padahal ini kesempatanku buat


berduaan dengan kiran”

Dengan begitulah akhirnya kami berempat keliling sekolah, kami pergi ke


kantin, ke taman, ke gymnasium,dan lain-lain.

Setelah itu kami berempat menjadi teman nongkrong.


Aku,Reno,Dinda,dan Kiran sering kumpul disalah satu tempat favorit kami, yaitu
di atap sekolah, disana kami membahas tentang segala apapun,mulai dari hal kecil
seperti makanan favorit sampai ke rahasia masing-masing.

Suatu hari aku mengajak mereka untuk datang kerumah ku, untuk Reno ia
sudah biasa mampir kerumahku karena kita sering bermain sejak SMP, tapi untuk
Kirana,mereka baru pertama kalinya pergi kerumahku.

“ Zaa dimana rumah kamu ?” Kiranberbicara

“ Bentar lagi nyampe kok”

Sesampai dirumah

“Wahhhhhh jadi rumah mu adalah toko bunga”

“ Iyah zaa aku terkejut” Kiran terkrjut

“ Hehe biasa saja kok”

“Jangan salah yah bunga ditoko reza itu kualitas internasional, apalagi
bunga mawarnya yang jenis black baccara” Reno memujiku

“ Engga kok ren,jangan berlebihan, sudahlah daripada diem aja disini lebih
baik kita masuk dulu kerumah” Aku tersipu malu.

Kami pun masuk kedalam rumah, saat itu ibuku sedang belanja dan
dirumah hanya ada ayahku saja, ia sedang merawat bunga dirumahku. Kamipun
langsung pergi kekamar.
“Hahhh...” Aku membaringkan badan kekasur

“Ohh ini kamarnya Rezaa..” Kirana berbicara

“Kalian tau gak dulu reza itu cengeng ?” Dinda berbicara dengan wajah
yang menyebalkan

“ Apaan sih Din,Aku gk cengeng”

“ Kamu jangan gitu Zaa ke Dinda, Dinda kan hanya berbicara fakta” Reno
membela Dinda

“ Iyahh iyah..”

Tiba-tiba Reno teringat sesuatu tentang mitos dari bunga mawar hitam

“ Ehh kalian tau gak,mitos mawar hitam?”

“ Mitos mawar hitamm?”

“ Iyahh mitos mawar hitam”

“ Aku baru dengar tuh, emang gimana mitosnya?”

“ Jadi gini, dulu ada seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita,
ia pun akan berjuang untuk mendapatkan hati wanitanya, wanita tersebut berasal
dari golongan konglomerat, sedangkan pria tersebut hanyalah penjual bunga,
mereka berdua saling mencintai tetapi karena perbedaan status ayah dari wanita
tersebut melarang hubungan mereka berdua dan wanita tersebut sudah dijodohkan
dengan yang lain. Selain itu juga pria tersebut memiliki sahabat wanita yang
mencintai dirinya.”

“Ohhh jadi cintaa segitigaa..”

“ Iyah, jadi sang teman mencintai si pria, namun pria mencintai anak
konglomerat, dan si pria tidak mengetahui bahwa sahabatnya itu menyukai
dirinya, dan si pria sering curhat kepada sahabatnya itu bahwa dia menyukai anak
konglomerat itu, ia meminta saran kepada sahabatnya apa yang harus ia lakukan,
sahabatnya pun terpaksa memberikan saran karena tidak mau si pria sakit hati, ia
memberi saran bahwa ‘bagaimana jika memberikan dia bunga mawar dari
perkebunanmu?’ sang pria menerima saran tersebut. Suatu hari sahabat wanita itu
mengajak pria untuk memetik bunga mawar tiba-tiba ia menyatakan cintanya
kepada si pria, pria tersebut pun terkejut namun ia menolak cinta dari teman
wanitanya itu. Sang teman wanita pun menangis dan pergi, ia menganggap bahwa
dirinya bodoh untuk menyukai sahabatnya sendiri. Dan akhirnya sang pria merasa
bersalah terhadap sahabatnya tersebut namun ia tetap melanjutkan perjuangan
kepada anak konglomerat tersebut, saat tiba dikediamannya dengan membawa
bunga mawar untuk diberikan kepada wanita tersebut,namun ia sudah terlambat
anak konglomerat tersebut sudah dinikahkan oleh ayahnya dan mereka berpindah
tempat tinggal keluar negeri. Pria itu pun tersakiti hatinya, ia pun menangis, tiba-
tiba saat ia menangis,ia mendengar kabar bahwa sahabatnya terkena kecelakaan,
ia pun bergegas pergi ketempat kecelakaan itu terjadi, ia berlari-lari berharap
sahabatnya tersebut baik baik saja, saat tiba ditempat kecelakaan ia melihat
sahabatnya terjatuh dan berlumuran darah,dengan sigap ia menuju kearahnya dan
me-“

“ Sudahlahh aku jadi takut”

“ Dasar penakut kamu Ran”

“ Itu kan cuma mitos”

Seketika suasana jadi hening,dan aku terpikirkan ide untuk memperbaiki


suasana tersebut

“Hey bagaimana jika aku beri kalian masing-masing bunga mawar jenis
black baccara, nanti kalian berikan bunga ini kepada orang yang kalian cintai.”

“ Setujuu”

“ Bagaimana dengan mitos itu?”

“ Sudahlah jangan dipercaya, itukan cuma mitos”


Akhirnya kami diberi bunga mawar masing-masing, tiba-tiba Kiran
dipanggil oleh orang tuanya.

“ Halo ayah, ada apa?”

“..........”

“ Apa!!”

“......”

Kami semua bingung, apa yang dibicarakan Kiran dengan ayahnya

“ Iyah ayah, nanti Kiran kesana”

“ Ada apa Ran?..”

“ Iyah Ran ada apa kok kamu kayak yang khawatir”

“Enggak kok zaa,ren enggak ada apa-apa, oh iyah kalian aku pulang
duluann yah”

“ Ohh iyah Ran, hati-hati”

Kami semua terheran kebingungan, sebenarnya ada apa dengan Kiran.


Setelah Kiran pulang, yang lain pun ikut pulang. Keesokan harinya kami sekolah
seperti biasa, namun pada saat itu Kiran tidak masuk sekolah, kami pun mulai
khawatir, akupun langsung menelponnya.

“ Halooo...”

“...”

“Halooo kiraaan”

Kiran belum juga mengangkat teleponnya

“ Maaf nomor yang anda tujui sedang berada diluar jangkauan, silahkan
tinggalkan pesan”
“ Haloo Kiran, ini dengan Reza, kamu kenapa gak masuk sekolah?, kita
semua mulai khawatir denganmu Kiran, ditambah kemarin kamu seperti yang
kepanikan, kalo ada masalah cerita aja.”

Kami semua khawatir karena Kiran tidak menjawab telponnya

“Gimana zaaa,kiran gimana?...” ucap Dinda

” Gak diangkat Din, jadi aku tinggalin pesan aja”

“ Kiran sebenarnya ada apa sihh!? Tiba-tiba hilang gitu aja” , ucap Reno

“ Tenang Ren,kita percaya aja sama Kiran dan berdoa semoga Kiran gak
ada apa-apa”

Bel pulang pun berbunyi, hari sekolah yang biasanya seru menjadi sangat
membosankan. Kami pun mampir lagi kerumahku, disana kami merenung. Tiba-
tiba Kiran menelpon, kamipun langsung mengangkatnya.

“ Haloo zaa”

“ Iyahh Halooo Kiraannn, kamu kemana ajaa, kami semua khawatirr”

“ Maaf zaa, Kiran gak bisa bilang, Kiran mau ngasih tau besok Kiran
sekolah”

“ Kenapaaa Ran? Kita semua kan sahabatannn”

“ Iyah ran kita semua kan sahabatan” Ucap Reno

“ Betul itu” Ucap Dinda

“ Mohon maaf temen-temen, Kiran belum bisa ngomong sekarang, nanti


kalo waktunya udah tepat,Kiran kasih tau semuanya.”

“ Hmm baiklah kalo gitu ran, tapi inget kamu harus ngasih tau kita semua”

“ Iyah Din, Kiran bakal ngasih tau kok”


Keesokan harinya Kiran sekolah, tapi dengan suasana yang beda, dia
selalu murung.

“ Heyy Ran, yuk ke kantin bareng”

“ Maaf zaa, Kiran gak mau”

“ Kenapa ran?”

“ Enggak apa-apa kok”

“ Hmm baiklah, aku ke kantin dulu yah”

Saat aku pulang dari kantin, tiba-tiba kolong mejaku ada surat, aku
langsung buka isi suratnya. “ Reza, pulang sekolah aku tunggu di atap sekolah”,
tidak ada nama pengirim surat tersebut, akupun heran dan berpikiran siapa yang
membuat surat ini.

Saat bel pulang berdering, aku pun langsung ke atap sekolah

“ Hmm siapa sih yang ngirim surat,ah gak usah dipikirin nanti juga
ketemu di atap sekolah”

Saat tiba diatap sekolah, aku melihat seorang gadis membawa bunga
mawar hitam, dan ternyata gadis itu adalah Dinda, teman kecilku sendiri

“ Hi Zaa”

“ Eh Din, kenapa kamu disini?, dan kenapa kamu membawa bunga mawar
itu?”

“ Aku disini menunggumu za”

“ Hahh? jangan-jangan kamu yang menulis surat?!!”

“ Betul zaa aku yang nulis surat”

“ Hmm jadi ada apa?”


Tiba-tiba suasana hening

“ .......”

“ Apa?!”

Tak disangka Reno pun datang, dan Reno menyimak percakapan kami
berdua

“ Si Dinda kemana sih?,aku cari ke atap aja ahh”

“ Hah? Itu kan Reza sama Dinda, mereka berdua ngapain diatap?”

Dinda tiba-tiba menyatakan cintanya kepadaku

“ Sebenarnya zaa, aku suka sama kamu dari dulu, sejak kita masih kecil”

“ Hah Din jangan bercanda deh, mana mungkin kamu suka sama aku”

“ Aku serius Zaa, dan aku sering sakit hati saat kamu memperlakukan
Kiran sangat baik, seperti saja kamu menyukainya zaa”

“ Hahaha jangan bercanda deh Din,ini gak lucu”

“ Apa kamu masih belum percayaa hahh?!!, Aku itu tulus dari hati suka
kamuu”

“ ....”

“ Kenapa zaa kamu diem aja?, sekarang aku tanya kamu suka Kiran kan?”

“ E..e..e..enggak kok Din”

“ Kamu jangan bohong!!!, kita ini udah temenan dari kecil, jadi aku tau
persis sikap kamu saat kamu berbohong”

“ ....”

“ Zaaa tolong jawab pertanyaan aku!!!,gini aja deh kalo kamu suka aku
kamu terima bunga ini,dan kalo kamu suka Kiran buang saja bunga ini”
“ Maaf Din aku gak bisa gitu”

“ Cepet Zaaaa”

“ Gak bisa Dinn”

“ Kalo kamu diam aja, aku anggap kamu suka sama Kiran”

“....”

“ Ternyata bener, kamu suka sama Kiran”

“ Enggak Din”

“ Udah jangan bohong”

“ Baiklah Din, sebenarnya aku itu suka sama Kiran sejak aku lihat pertama
kali Kiran, maaf aku gak menyukaimu”

“ Baiklah..., bodoh sekali aku menyukai sahabatku sendiri, menyukai


temen kecilku sendiri dari dulu”

“ Enggak Din kamu gak salah”

Tiba - tiba Dinda menangis dan berlari ke arah pintu sambil membawa
bunga mawar ditangannya, dan saat membuka pintu aku melihat Reno dengan
wajah yang kecewa kepadaku. Reno pun berlari mengejar Dinda. Aku hanya bisa
terdiam sunyi disana.

Pada saat itu juga, tak disangka Kiran menelpon ku

“ Haloo zaa”

“ Iyah kiran, ada apa?”

“ Aku ingin ketemu sama kamu sekarang dikelas”

“ Ada apa Rannn?”

“ Nanti juga kamu tau sendiri”


Saat tiba dikelas, hanya ada Kiran sendiri disana sambil memandang ke
arah jendela.

“ Hii Ran, sebenarnya ada apa?”

“ Gini zaa, besok aku akan pindah sekolah lagi”

“ Apaaa!!!?”

“ Iyah...”

“ Kamu kan baru beberapa bulan disini, masa mau pindah lagi”

“ Aku serius zaa”

“ ...... ”

Akupun berfikir ini kesempatan untuk menyatakan perasaanku kepadanya

“ Ran, sebelum kamu pergi biarkan aku mengatakan sesuatu kepadamu”

“ Apa zaa?”

“ Sebenarnya aku suka sama kamu, aku mau kamu jadi pacarku”

“ Maaf zaa, aku gak bisa”

“ Kenapa Ran? Kamu juga kan suka sama aku”

“ Iyah, tapi maaf aku gak bisa”

“ Kenapaaaa? Apa karena aku gak pantes buat kamu”

“ Bukan, itu karena aku akan dijodohkan dengan anak dari teman ayahku,
karena itu aku harus pindah sekolah”

“ Tapi kan kamu gak mau dijodohin, kenapa gak bilang sama ayah kamu
saja”
“ Ayah ku sedang sakit zaa, jika aku tak menuruti nya bisa saja kondisinya
semakin memburuk.”

“ Tapi – “

“ Maaf zaa”

Tiba-tiba dia meninggalkanku sendirian disana, akupun berfikir baru


sekarang aku merasakan apa yang dinamakan patah hati, dadaku terasa sesak
seolah olah aku kesulitan bernafas. Saat itu aku mulai terpikir “ Jadi seperti ini
yang dirasakan Dinda, sangat menyakitkan”. Tiba-tiba datang hujan dan aku
mulai khawatir terhadap Dinda, kemudian akupun mencari Dinda, aku berlari
kesana kesini tapi tetap saja belum menemukan Dinda, aku pun pergi ke tempat
bermain saat kita masih kecil.

Disana aku menemukan Dinda duduk diayunan sambil kehujanan, aku


langsung mendekatinya.

“ Hey Dinn!!!”

“ Eh zaa,ada apa kamu kemari” Dinda sambil mengelap air matanya

“ Maafkan aku Dinn, aku salah”

“ Kamu gak salah zaa, aku yang salah!!!”

“ Enggak Din, aku yang salah”

Akupun memegang tangannya, dan menatap matanya dengan tulus, tapi ia


malah berlari.

“ Dinn jangan larii, maafkan aku”

“ Enggak zaaa”

“ Dindaa!!! Awas!!”

“ Hah...”
Tiba-tiba ada mobil yang menabrak Dinda. Saat itu dunia terasa gelap dan
dingin, waktu seolah olah berhenti. Akupun berlari menghampirinya

“ Dindaaaa!!!,Dinn bangun dinnnn, apa yang harus aku lakukannn?!!!, Oh


telepon ambulann”

“ Arghhhh matiiii hpnyaaaa”

“ Dindaaa bangunn dinnnnnn” akupun menangis sambil memegang


tangannya, tiba tiba tangan Dinda satunya lagi mengelus pipiku

“ Zaa, maafkan aku yah zaa”

“ Dinn jangan bicaraa”

“ Zaa, aku maaf yah kayaknya aku gak bisa ngumpul lagi sama temen-
temen kita”

“ Dinnnn gak papa, jangan bicara gitu, lebih baik kita cari pertolongan
yah”

“ Ssssttt zaa, udah gak usah, aku cuma mau ngomong sama kamu”

“ Iyah apa Din?!!!”

“ Zaa, sekali lagi aku mau ngomong maaf dan berterima kasih, aku ini
bodoh yah bisa-bisanya ninggalin kamu duluaann”

“ Tolong Din jangan ngomong gitu”

“ Zaa, aku masih bawa bunga mawar ini, aku mau kamu menerimanya, ini
adalah bukti bahwa aku sayang sama kamu”

“ Iyahh Dinn aku akan jaga baik – baik bunga mawar ini.”

“ Makasih zaa, aku sayang sama kamu”

“ Aku juga Din”


Tiba-tiba tangan Dinda menjadi sangat dingin, tangan manisnya kemudian
terjatuh dari pipiku, pada saat itu aku tau Dinda sudah tiada.

“ Dinnn?!!!”

“ Dinnnnn?!!!!!”

“ Dindaaaa!!!!”

“ Dinda bangun dinnnn”

“ Jangan tinggalin aku Dinnnnn”

“ Dindaaaaa!!!”

Saat itu aku menangis sampai air mataku tak keluar lagi, aku berteriak
sampai suara ku tak terdengar lagi, aku menggenggam bunga mawar itu sampai
akupun terluka berdarah memegang erat durinya. Kemudian datanglah Reno

“ Dinndaaaaaaaaaaaaaaa, Zaaaa kamu apakan Dindaaaaa”

“....:”

“ Jawab zaaaaaaaaa”

“....” Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong

“ Dinda telah tiada, Ren”

“ Apa!!!?, Gak mungkin itu gak mungkin, aku pasti bermimpi yah, iyah
aku benar-benar bermimpi, Bangunn Dinn, kita nongkrong bareng lagi Din, Aku
juga Din mau menyatakan perasaanku Din bahwa aku itu suka sama kamu Din,
Jadi kamu harus bangun Dinn...”

“ RENOOOO, DINDA UDAH GAK ADA”

“ INI SEMUA GARA-GARA KAMU REZAA, GARA - GARA KAMU


DINDA MENINGGAL, KALAU AJA DINDA GAK SUKA SAMA KAMU,
MUNGKIN DINDA SEKARANG MASIH HIDUP!!!”
Kemudian Reno memukulku dengan sangat keras, dia sangat marah sekali
kepadaku, Ia pun memanggil ambulan, saat telah datang ia menggendong Dinda
ke mobil ambulan dan meninggalkan ku sendiri.

“ Hah aku ditinggal lagi, pertama Kiran, kedua Dinda, dan ketiga
sahabatku sendiri Reno, hahhahahahahhahhahahahahahah lucu sekali.”

Sejak saat itu aku berfikiran aku tidak butuh teman, dan setelah itu aku
membakar semua bunga mawar hitam dirumahku, aku berharap jika saja aku tidak
memberikan bunga mawar itu maka tidak akan ada kejadian seperti ini. Tapi apa
yang sudah terjadi sudahlah terjadi, akupun menjalani kehidupanku seperti
biasanya, tapi tanpa teman karena aku takut kejadian yang sama akan terulang
kembali.
Norland si Pembohong
Oleh : Muhammad Daffa Rabbani

Dahulu kala kira kira di wilayah utara di bumi di Kerajaan Lvvnoel, Ada
seorang pelaut bernama Montblanc Norland, dia adalah ahli botani tumbuhan
pergi ke laut untuk mencari tanaman atau tumbuhan di berbagai pulau di lautan,
dia selalu menceritakan kisah-kisah yang sangat menakjubkan hingga masyarakat
di negaranya tidak tau kisah tersebut adalah hal asli atau palsu, setelah kembali ke
negaranya ia menceritakan kepada raja bahwa ia menemukan gunung emas/ kota
emas. Lalu dia kembali berlayar ke lautan setelah 5 tahun menceritakan kisah
tersebut dia pergi dengan raja dan 2000 pasukan ke lautan lepas, tetapi pada saat
dia dan raja sampai di pulau yang dimaksud tidak ada apa apa selain hutan saja,
karena disangka sudah membohongi raja dia dihukum mati atas kebohongannya,
dan pada saat saat terakhirnya ia berkata “ Benar, Pulau itu tenggelam di dasar
laut!! ” raja dan pengikutnya terkejut dan tidak pernah percaya pada omongan
Norland lagi.

Setelah 400 tahun berlalu, cucu dari cucu cucu nya Norland yaitu Monblan
Cricket ingin menyelesaikan masalah yang telah di lakukan oleh keluarganya, dia
mencoba menyelam terus ke dasar lautan pulau yang telah dikatakan oleh Norland
itu, sampai-sampai fisiknya terganggu akibat tekanan air laut dalam, dia dan
keturunan dari Norland selalu di olok-olok oleh masyarakat sekitar bahwa dia
adalah keturunan pembohong, Cricket melakukan hal tsb bukan karena ingin
membersihkan nama keluarganya, tetapi dia melakukan nya karena yakin bahwa
nenek moyangnya tersebut tidak berbohong, sampai suatu ketika dia didatangi
oleh sekelompok pelaut muda yang ingin pergi ke Pulau Langit.

“Hey tua bagaimana caranya pergi ke pulau langit.” Kata kapten dari
seorang pelaut itu,

“Namaku bukan tua bodoh namaku adalah Montblanc Cricket ingat itu
baik-baik”
“Apakah kau benar percaya bahwa pulau langit itu ada” kata Cricket.

“Tentu saja” jawab dari moria kapten kapal tadi.

Tak lama kemudian mereka pun bercerita tentang nenek moyangnya


Cricket dan mereka pun mulai akrab. Ternyata saat hasil menyelam yang sudah di
lakukan Cricket selama 10 tahun yang lalu ia menemukan Ingot emas yang
berbentuk lonceng dan berbebntuk burung. Dan si cricket teringat bahwa ada teori
yang menjelaskan untuk pergi ke langit ada suatu cara yaitu dengan menaiki
knock up stream, knock up stream adalah suatu penyurutan air laut pada saat
itu hari akan tiba tiba gelap karena matahari tertutup awan tebal dan terbendung
dibawah dan saat hal tersebut terjadi air laut akan mennyurut kebawah dan ketika
saat yang tepat air laut tersebut akan menyembur ke atas dengan sangat cepat,
ketika ingat hal tersebut dia lalu menyuruh moria dan awak kapalnya untuk segera
menambah hal yang diperlukan untuk membuat kapalnya bias kuat dan tahan atas
knock up stream tersebut. Moria dan awak kapalnya pergi ke hutan dan mencari
kayu untuk membuat sayap pada bagian kapalnya.

Ketika moria dan awak kapalnya pergi ke hutan, dating seorang pelaut lain
dengan kru nya yaitu Bellamy dia pergi menemui cricket dan berkata

“Ohh ternyata kau adalah keturunan dari seorang pembohong ya”

“Terus hal apa yang mengganggumu anak muda” kata cricket

“Tidak, hanya saja saya ingin menghancurkan mukamu itu karena kau
adalah seorang pemimpi yang hanya bisa berhayal bahwa untuk membenarkan hal
kebohongan yang telah dilakukan nenek moyangnya,”

Dan setelah selesai mencari kayu ternyata paman cricket sudah dihajar
habis habisan oleh para pelaut tadi dan emas yang sudah didapatkan ketika
menyelam di laut pun diambil. Tanpa pikir panjang moria pergi ke kota ( bagian
lain dari pulau tersebut) untuk mengembalikan emas yang telah diambilnya.
Ketika sampai di kota
“Ehh kau ya, seorang pemimpi yang menanyakan bagaimana cara pergi ke
pulau langit.” Kembali ke 12 jam yang lalu, Moria sampai di sebuah pulau dan
Pulau itu adalah pulau jaya, dia pergi ke sebuah bar di kota tersebut dan bertanya
kepada pemilik bar tersebut “Hei paman bagaimana caranya agar kita bias pergi
ke pulau langit.” Serentak pengunjung bar disana tertawa dan menertawakannya,
tak lupa disana juga ada kapten kapal Bellamy dia menjelaskan bahwa pulau
langit itu tidak ada dan tidak ada bukti bahwa pernah ada yang pergi kesana “Kau
hanyalah seorang pemimpi bodoh yang hanya ingin pergi ke suatu pulau” kata
Bellamy. Moria dihajar habis habisan oleh Bellamy dan krunya tapi ia berkata
kepada krunya “jangan melawan !!!”. Moria dan krunya pergi keluar bar dan saat
di luar ada seorang kakek tua yang berkata padanya “Tetaplah berpegang teguh
dengan keyakinanmu dan Pulau langit itu ada dan buktikanlah” Moria tersenyum
dan kembali kekapalnya dan pergi ke sisi bagian dari kota di pulau jaya tersebut
untuk bertemu seorang pemimpi yang bernama Norland.

“Kenapa kau kembali lagi kesini apa kau ingin dihajar habis-habisan lagi
oleh ku” kata Bellamy

“Aku kembali kesini hanya untuk mengambil kembali emas paman tua
tadi” ucap Moria.

“Kalau begitu ambilah kalua bisa”.

Dia menghajar Bellamy hanya dengan satu pukulan dan mampu


membuatnya pingsan. Setelah berhasil membawa emas itu kembali ia pergi lagi ke
bagian lain dari pulau tersebut untuk bertemu lagi dengan krunya dan siap untuk
berlayar. “Menurut perhitungan ku Knock up Stream akan terjadi pagi hari pukul
sebelas”. Maka dari itulah pagi nanti kalian akan berlayar jam 7 dan akan sampai
ditempat tujuan pukul 11 nanti dan disanalah akan terjadi Knock up stream.

Mereka pun berlayar dan sampai di tempat tujuan, tetapi ternyata


fenomena Knock Up Stream mulai lebih awal ketika jam sebelas,
“Ketika fenomena tersebut awan akan menutupi daerah tersebut bahkan
cahaya matahari pun tidak akan mampu menembusnya, dan disana akan terjadi
pusaran air dan kalian harus masuk kedalam pusaran tersebut dan air akan mulai
menembakan ke atas” kata Cricket,

“Tetapi knock up stream sangat dahsyat bahkan kapal kalian akan hancur
jika timmingnya tidak tepat jadi kalian akan mendapatkan resiko 50:50 untuk
melakukan hal itu”

Sebelum pergi moria mengatakan kepada paman cricket bahwa dia berjanji
dia akan menemukan pulau langit. setelah mengikuti saran dari Cricket tersebut
Kapten Moria menyuruh untuk pergi ke pusaran tersebut walaupun para krunya
sangat ketakutan jika hal tersebut gagal, tetapi Moria sangat yakin dengan apa
yang dikatan paman tua tadi. Ketika fenomena itu terjadi kapal mereka terangkat
keatas sampai ia tiba disebuah pulau awan. Pulau tersebut bernama Skypie. Pulau
itu dihuni oleh masyarakat disana yang setiap orangnya memiliki sayapdi
punggungnya. Pulau itu semuanya terbuat dari awan hingga rumah penduduk
disana pun terbuat dari awan.

Setelah mencari berbagai informasi ternyata ada sebuah pulau yang tidak
boleh dilewati oleh siapapun karena pulau itu dijaga oleh seseorang yang sangat
kuat. Ketika mendengar hal tersebut Moria pun merasa tertarik untuk pergi ke
pulau tersebut, tetapi ada kru yang menentangnya karena ketakutan mendengar hal
tadi, karena keputusan kapten itu mutlak maka ia dan krunya pergi ke pulau
tersebut, di pulau itu tertnyata banyak pohon yang sangat besar, sebenarnya pulau
itu adalah pemilik dari suku Shandia dan orang kuat Enel dan Pasukannya
mengambil alih pulau tersebut, para suku Shandia ingin mengambil kembali pulau
tersebut yang sudah lama dicuri oleh orang orang dari nenek moyangnya enel.
Dan suku shandia yang ingin mengambil kembali pulau tersebut disebut pasukan
gerilya tetapi ada seorang pemimpin gerilya yang bernama wiper mencoba untuk
terus mengambil kembali pulau itu sejak lama karena pulau itu adalah tempat
tinggal suku nya sejak dulu.
Tetapi Moria dan krunya pergi ke pulau langit untuk mengambil emas
yang ada, krunya berpikir bahwa ada yang aneh dengan pulau ini, pulau ini
berbeda dari pulau yang tadi karena disini ada sebuah pohon dan ada tanah juga
hingga mereka berpikir suatu saat bahwa pulau ini terangkat dari Lautan bawah
oleh Knock up stream. Lalu mereka mulai mencari emas itu di pulau jaya tersebut,
tetapi mereka terlibat konflik antara suku shandia dan orang yang berkuasa di
pulau tersebut yaitu Enel. Mereka akhirnya saling bertarung antara pasukan
gerilya, kru moria, dan enel pasukannya. Pemenang dari pertarungan itu akan
mendapat kan Pulau ini. Tetapi disetiap kubu hampira sudah terjatuh semua dan
akhirnya ada sebuah kota yang bernama Shandora, seharusnya kota tersebut
adalah kota emas tetapi leluhur enel mengambil emas tersebut karena mereka
menyukainya, hal mengejutkan lainnya bahwa kota shandora tersebut adalah kota
yang dahulu diduduki oleh suku Shandia, tetapi karena saat naiknya sebagian
pulau jaya kelangit dan terjadilah pertarungan dan suku shandia yang kalah
mereka pinda tempat bermukimnya jauh dari kota Shandora.

Lalu setelah tersisa 3 orang dari setiap kubu tapi Enel terlalu kuat dan
hamper di akhir hayat si pemimpin gerilya wiper, ia teringat oleh ketua sukunya
bahwa, dulu seorang pasukan shandia yang kuat yang bernama Kalgara
mempunya teman. Lalu kalgara teringat cerita yang dikatakan ketua suku itu.

Kira kira 400 tahun yang lalu sebelum pulau ini terangkat dari bawah, ada
sebuah kapal yang datang ke pulau ini, Kapten dari kapal tersebut adalah
Montblanc Norland dia datang kesana karena dia mendengarkan adanya sebuah
suara dari loncengan bel dan dia juga harus membutuhkan persedian pangan dan
sampailah di pulau itu, sebelumnya masyarakat shandia menolak datang nya
mereka dan Kalgara mencoba mengusir mereka dan Norland dan Kalgara pun
bertarung, setelah selesai bertarung mereka saling menghargai dan ternyata di
pulau itu ada sebuah masalah yaitu orang orang disana terkena penyakit dan orang
orang disana harus mempersembahkan nyawa orang kepada tuhan dengan cara
membakarnya di aula pengorbanan. Tetapi Norland tidak setuju dengan hal
tersebut dan membenarkan bahwa hal tersebut hanya mengsiasiakan nyawa saja,
dia berkata kepada masyarakat disana “Apakah tuhan mu itu setuju dengan hal
yang dilakukan ini, saya berjanji atas nama Monblanc Norland akan
menyembuhkan wabah penyakit ini”. Masyarakat disana pun sembuh dan ikatan
shandia dan Norland dan krunya semakin menguat, Kalgara memberitahukan
bahwa di pulau ini ada sebuah kota yang bernama Shandora, Kalgara mengajaka
Norland ke kota bawah tanah itu dan ternyata kota itu adalah kota Emas dan
semuanya terbuat dari emas, tetapi Norland hanya melihat Lonceng yang sangat
besar yang terbuat dari Emas, lalu ia berbicara kepada Kalgara

“Aku datang kesini karena mendengarkan lonceng itu, sebenarnya apa arti
dari lonceng itu?”

Kalgara menjawab “ arti dari lonceng itu adalah ‘Kami ada


disini’ditunjukan kepda leluhurnya yang sudah mati” hingga suatu saat mereka
pun harus berpisan karena Norland harus kembali ke kerajaan nya. Sebelum
mereka berpisah mereka berjanji akan saling bertemu lagi dan jangan lupa untuk
membunyikan bel itu setiap hari agar aku bisa tau arah dari pulau ini ucap
Norland. Tetapi setahun kemudian setelah Kalgara membunyikan Bel itu tiba-tiba
Langit mulai gelap dan Pulau pun mulai terangkat. Pada akhirnya Norland
kembali ke pulau itu dengan rajanya tapi sebagian dari pulau itu menghilang dan
akhirnya mereka tidak saling bertemu, setelah mendengarkan kisah itu Ketua suku
shandia berkata “itu adalah kesalahan terbesar yang dilakukan kalgara karena
tidak bisa menepati janjinya”.

Wiper pun mulai sadar kembali tetapi fisiknya tidak kuat dan dia berharap
moria memenangkan pertarungan ini dan akhirnya Moria memenangkan
pertarungan itu dan mulai membunyikan Bel emas raksasa tersebut, untuk
mengatakan kepada paman Cricket bahwa pulau langit dan kota emas itu ada.
Suara Bel tersebut sampai ke lautan bawah dan Paman Cricket mendengarkannya
dan terharu akan hal yang dilakukan Moria itu. Dan Paman Cricket percaya bahwa
nenek moyangnya itu tidak berbohong. Moria dan krunya pun kembali ke lautan
bawah sambil membawa emas yang telah didapatkan di pulau langit tadi.
Kukira Ku Kan Bahagia
Oleh : Muhammad Najwal K

Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan lingkungan Pesantren. Bangun


sebelum Subuh, berjamaah, ngaji sampai pagi sebelum berangkat sekolah, pulang
sekolah pun ngaji lagi,di waktu sore setelah mengaji main bola bareng santri,
setelah itu mandi,ngantri,,ke Masjid ngaji lagi sampai malam,setelah beres ngaji
ngobrol bareng sebelum tidur ,dan aku sangat menyukainya dan aku rasa juga
mereka para santri menyukai rutinitas ini. Hingga pada akhirnya aku pun ingin
mencoba seperti mereka yaitu mesantren.saat aku kelas 6 SD aku bilang ke orang
tua aku kalau aku ingin melanjutkan sekolah sambil mesantren dan Alhamdulillah
nya mereka menyetujui nya.

Aku dan kedua orang tuaku pun mulai mencari pesantren yang bagus untukku dan
pada suatu hari saat aku sedang di sekolah,waktu itu aku lagi istirahat,wali
kelasku memanggil aku. Aku pun mendatangi beliau,setelah aku bertemu
beliau,aku melihat tiga orang lelaki berumur sekitar 30 tahun-an. Wali kelas
berkata kalau mereka bertiga dari pesatren Situwangi Islamic Boarding School
yang ingin menawarkan beasiswa full sekolah sambil pesantren,saat aku
mendengar itu aku sangat bahagia,aku pun lansung menyetujuinya.Setelah itu aku
pun melanjutkan test Bersama teman teman yang lainnya,terst nya berupa test
hitung hitungan terkadang digabung dengan jumlah ayat ayat dalam Al
Quran.Setelah selesai mereka menghitung hasilnya,dan Alhamdulillah nya aku
lulus.

Setelah itu mereka ikut ke rumah aku untuk men’survei’ rumah aku karena
beasiswa ini hanya untuk siswa berpreastasi kurang mampu atau yatim piatu.
Setelah mensurvei mereka pulang lalu menyuruh ku untuk datang untuk test
psikotes dan test lain nya.Sebelum mereka pulang mereka memberikanku brosur
tentang profil Situwangi. Saat aku lihat brosur ternyata fasilitas fasilitas yang ada
di Situwangi sangat bagus dan banyak, seperti lapangan bola,out bond,flying
fox,climbing place,berkuda,tempat memanah dan lain lain,selain itu program
program nya juga bagus,tempat na juga sangat indah karena terletak di tengah
tengah kebun teh dan di terdapat juga danau buatan yang airnya sangat jernih,juga
terletak di Kaki Gunung Cikuray.

Dihari test kedua,aku menjalani test psikotes,aku di test psikotes selama 6


jam,sampai pusing kepala hehe,setelah itu aku di test mengaji dan lain lain.
Setelah test aku lansung pulang karena pengumuman hasilnya nanti dikirim lewat
sms.Dan pada tanggal 1 Agustus 2014 aku mendapat sms,saat aku buka ternyata
dari Situwangi tentang pengumuman orang orang yang diterima di Situwangi,dan
Alhamdulillah aku keterima yee haha.

Pada hari itu, 10 Agustus 2017,aku berangkat ke Pesantren bersama


keluarga ku,sebelum berangkat aku berpamitan dulu dengan saudara dan
tetanggaku,mereka juga memberi ku doa ada juga yang sambil memberi uang
hehhe,tetapi saat itu aku merasa bingung dengan mereka karena setiap mereka
memberi doa selalu saja ada kalimat semoga betah di pesantren nya. Aku berfikir
kenapa mereka mendoakan aku seperti itu. Aku ini mau beramgkat ke Pesantren
yang mana Pesantren ku ini mempunyai banyak fasilitas yang sesuai dengan
hobiku seperti lapangan futsal dan berkuda,jangankan aku yang mesantren di
tempat seperti itu, teman teman santri ku juga yang mesantren di kampungku
mereka betah betah saja,bahagia,ga ada yang keliatan sedih padahal di pesantren
yang di kampungku biasa biasa saja ga banyak fasilitas yang bagus bagus yang
dapat menghibur.

Setelah selesai aku pun berangkat,aku merasa itu adalah hari terbaik dalam
hidupku,selama perjalanan aku sangat merasa senang sekali ingin rasanya cepat
sampai.Akhirnya jam 8 lebih aku sampai di Situwangi,aku sangat bahagia.Setelah
sampai aku dan keluargaku mencari kamar ku untuk membereskan
pakaian,setelah semua beres kita pergi ke sebuah gazebo untuk makan makan
bersama,dan hebatnya pemandangan dari gazebo itu sangat indah yang lansung
berhadapan dengan Gunung Cikuray,selain itu gazebo tersebut berada di atas
danau dan dikelilingi kebun yang,sungguh indah dan itu membuat aku nambah
yakin kalau aku akan sangat bahagia disini.setelah solat dzuhur kedua orang tuaku
mengikuti rapat antar orang tua dan asatidz atau guru guru.

Setelah jam 2 siang orang tua ku selesai rapat mereka bersiap siap untuk
pulang,dan setelah selesai mereka berpamitan kepadaku,mereka menunggu aku
diluar aku pun keluar sekalian mau berjamaah solat ashar,saat diluar aku lihat ibu
ku,aku lihat beliau menangis dan aku tidak mengerti kenapa beiau
menangis.Beliau memelukku sambil menangis saat itu aku tidak mengerti kenapa
bisa begitu kenapa bisa beliau menangis,dan beberapa keluargaku juga
menangis,aku semaki tidak mengerti lagi saat mereka mengusap usap punggungku
sambil berkata “Semoga betah ya”,malahan aku ingim segera mereka pulang
bukan apa apa selain karena malu banyak yang melihat,aku juga ingin segera
merasakan menjadi santri sepenuhnya.Setelah semuanya sudah berpamitan,aku
pun pergi ke masjid dan solat berjamaah ashar.

Setelah selesai berjamaah kami memperkenalkan diri satu persatu di depan


semua asatidz,dan kaka kelas,setelalah selesai beberapa ustadz menyampaikan
beberapa nasihat dan motivasi,dan saat para ustadz berbicara,ada yang menjanggal
di dalam hati ku aku merasa ada yang aneh aku merasa sedih aku merasa
kehilangan,dan aku sangat ingin menangis tanpa tau kenapa aku merasakan hal
aneh ini.Setelah acara selesai aku dan para santri lain keluar dari masjid lalu ke
asrama disana aku berkenalan dengan seorang yang bernama Hazmi,dia berasal
dari karawang,setelah itu aku ajak dia keluar asrama,ceritanya sih untuk jalan
jalan padahal aku pengen curhat ke dia soal perasaan sedih ini hehe.

Kami berjalan jalan dilingkungan pesantren,saat itu cuacanya sedang


berkabut jadi pas bangeut buat nangis nangis hehe soalnya ga akan keliatan.Aku
ajak dia ke belakang masjid,disana aku lansung curahin perasaan ku dan ternyata
dia juga merasakan hal yang sama.Kami disana ngobrol ngobrol juga curhat
hingga percakapan kami terpotong oleh pengumuman jam waktu makan uda
mulai kami pun pergi meninggalkan tempat tersebut lalu pergi ke “math’am” atau
dalam bahsa Indonesia tempat makan. Aku sangat tidak bernafsu untuk makan,
aku cuman ambil sedikit itu juga tidak habis.Setelah selesai makan aku lansung
pergi ke lapangan out bond aku duduk di kursi tepat dibawah pohon dan tepat
diatas danau. Aku sengaja pergi kesana karena aku sudah tidak tahan lagi
menahan air mata,disana aku lansung menangis,aku berteriak teriak memanggil
ibu ku.Setelah beberapa lama menangis aku pun berpikir untuk kabur dari
pesantren,aku pun mencari cari jalan unuk kabur,namun rencana kabur tersebut
gagal karena ada petugas kebersihan yag menghampiri ku.”Nuju naon de didieu?
Geura ka asrama atu hujan tidieu mah” kata petugas kebersihan itu,aku pun
kaget,aku lansung lari ke asrama tanpa menjawab pertanyaan dia,karena kaget dan
takut ketauan kalo aku menangis. Dan setelah maghrib ada lagi hal yang
membuatku nambah tidak betah,karena saat itu kami dikasih tau soal peraturan
peraturan yang ada disana,dan peraturan nya itu sungguh waw,,sangat ketat
sampai kalau aku telat saja sedikit bangun tidur,berjamaah atau makan pun itu
akan dihukum dan hukumannya juga tidak tanggung tamggug.

Setelah selesai,aku pulang ke asrama disana aku ingin cepat cepat naik
Kasur dan lansung menangis namun aku dan yang lainnya disuruh mengambil
peralatan tidur dulu yang dikasih oleh pesantren,setelah selesai aku pun segera
naik ke kasur dan kebetulan tempat tidurku berada dia atas jadi aga aman untuk
menangis hehe.Disana aku lansung menangis aku memikirkan kedua orang tuaku
keluargaku tempat tinggalku,dan yah aku sangat merindukannya padahal aku
belum sehari meninggalkannya,akhirnya aku mengerti kenapa ib ku menangis
kenapa mereka mendoakannku semoga betah.Aku terus menangis hingga akhirnya
aku tertidur.

Hari demi hai minggu demi minggu dan ulan demi bulan berlalu cuman
aku masih tetap saja sedih,masih saja menangis masih sah saja tidak betah,pada
akhirnya aku coba meminta nasihat kepada seorang Ustadz. Diantara nasihatnya
ada beberapa yang aku catat dalam hatiku.hingga akhirnya aku merasa lebih
tenang namun ada nasihat yang paling aku suka dan dijadikan penyemangat,yaitu
“Hidup ditentukan seberapa besar kita menikmatinya”.Hingga aku sadar bahwa
jika aku ingin bahagia disini aku harus menikmatinya.

Dan akhirnya aku pun bisa merasa betah disana,aku menikmatinya walau
terkadang sering teringat akan keluargaku saat aku dihukum heheh.Samapai
sekarang aku merasa bahwa semua hal terindah yang pernah aku alami adalah saat
aku berada di pesantren.Dan yang KUKIRA KU KAN BAHAGIA tenyata bukan
hanya perkiraan tapi memang kenyataan.
PERJUANGAN MENCAPAI SUATU KEINGINAN
Oleh : Nadya Adistya P

Dua tahun yang lalu saya lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP),
setelah itu saya berniat untuk mendaftarkan diri di SMAN 1 Garut. Sebelumnya
saya telah mencari informasi tentang penerimaan siswa di sekolah tersebut kepada
kakak kelas saya di SMP yang diterima di sekolah tersebut melalui jalur prestasi.
Setelah itu saya didaftarkan oleh Pembina organisasi PKS di SMP saya ke sekolah
tersebut. Saya mendaftarkan diri melalui jalur prestasi saya pada saat saya
mengikuti organisasi PKS atau baris berbaris di SMP, pada waktu itu saya
mendaftarkan diri dengan satu teman SMP saya ke sekolah tersebut. Setelah
beberapa hari kemudian semua calon siswa yang mendaftarkan diri ke sekolah
tersebut di panggil untuk melakukan tes pysicotes. Pada waktu itu saya mengikuti
tes pysicotes tersebuut diantarkan oleh orangtua teman saya. Sesampainya saya
disana, saya mencari kelas dan nama saya yang telah dipasangkan di papan
jendela kelas. Saya mengikuti tes pysicotes di kelas 12 Mipa 2, disana saya tidak
satu kelas dengan teman saya tersebut. Setelah itu saya memasuki kelas tersebut
dan memilih kursi yang telah disediakan, setelah itu saya duduk dan merapihkan
alat tulis yang akan digunakan nanti saat saya melaksanakan tes. Bel pun berbunyi
saya mulai mempersiapkan diri dan merapihkan alat tulis yang akan digunakan.
Pada saat itu saya mengerjakan soal kurang lebih 500 soal. Setelah itu bel pulang
pun berbunyi, saya pulang sendiri menggunakan angkutan umum. Setelah
beberapa hari kemudian semua siswa dipanggil kembali untuk mengambil surat
diterima tidaknya di sekolah tersebut. Pada waktu itu saya pergi bersama ibu saya
untuk mengambil surat tersebut, dan sesampainya saya disana saya menunggu
untuk giliran panggilan penerimaan surat. Setelah itu saya dipanggil ke ruangan
untuk menerima surat diterima tidaknya, lalu ibu saya mengambil surat tersebbut
dan memberikan surat tersebut kepada saya. Lalu saya membuka surat tersebut
dan membacanya, saat itu saya merasa waswas untuk membuka surat tersebut
karena saya takut tidak diterima. Namun saya mencoba membuka surat tersebut
dengan membaca Basmallah, dan disaaat saya membaca surat tersebut tertulis
tulisan DITERIMA disaat itu saya langsung merasa kaget dan tidak menyangka
bahwa saya diterima di sekolah tersebut. Lalu saya terseyum kepada ibu saya dan
mengatakan Alhamdulillah diterima. Beberapa menit kemudian saya membuka
HP saya dan disaat saya membuka HP saya ada beberapa panggilan tak terjawab
dan pesan dari teman saya. Isi pesan tersebut dia mengatakan :

“Nad, gimana hasilnya?”

Lalu saya membalas pesan tersebut dengan isi:

“Alhamdulillah diterima idz”

Sebelumnya saya sempat berfikir bahwa saya tidak akan diterima di


sekolah tersebut karena saya tahu bahwa kemampuan saya berada di bawah teman
saya, namun saya percaya bahawa takdir telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Setelah itu saya bergegas pulang bersama ibu saya. Sesampainya saya di rumah,
ayah saya menanyakan kepada saya diterima atau tidak ?

Lalu saya menjawab:

“Alhamdulillah diterima”

Keesokan harinya saya memenuhi data-data yang diperlukan untuk


melakukan pendaftaran ulang. Setelah saya memenuhi data-data yang diperlukan
saya bergegas pergi bersama ibu saya ke sekolah untuk memberikan data tersebut.
Setelah saya selesai membereskan data-data, sesampainya saya dirumah ibu saya
mengatakan:

“Sekolah yang benar, jalani apa yang telah kamu pilih, jangan banyak
mengeluh.”

Dan saya menjawab:

“Iya mah.”
Setelah itu saya mempersiapkan baju untuk mengikuti MPLS. Setelah
beberapa hari kemudian, saya mengikuti MPLS selama kurang lebih 5 hari. Pada
waktu terakhir saya mengikuti MPLS, semua siswa disuruh untuk memasuki GOR
untuk melakukan kegiatan pembagian kelas. Setelah itu saya ditempatkan di kelas
IPA 8, saya memasuki kelas tersebut dan mulai mencari teman sebangku. Setelah
beberapa hari kemudian saya mulai belajar efektif kembali dan memulai semua
dengan hal yang baru. Rutinitas saya berangkat pada pukul 05.45 dari rumah
menggunakan angkutan umum dan pulang sekolah pada pukul 16.15 dan sampai
ke rumah pada pukul 17.30. Awalnya saya merasakan lelah dengan rutinitas saya
sekolah dengan jarak yang sangat jauh, tetapi saya pikir ini adalah pilihan yang
telah saya pilih dan saya harus menjalankannya. Waktu terus berjalan, semua hal
telah saya lewati dan pada akhirnya tidak terasa saya telah menduduki kelas 11
Mipa 8 di sekolah tersebut. Dan sekarang dimana saya harus belajar dengan
sungguh-sungguh dan menyusun apa yang akan saya inginkan dan saya harus
memenuhi itu semua untuk masa depan saya sendiri.
Rana dan Rafa
Oleh : Nisrina Nabila Qurotuaini

Cerahnya mentari pagi, menembus kaca jendela kelas. Siswi-siswi kelas


tersebut saling mengeluarkan handphone nya dan menyegerakan untuk selfie di
tempat tersebut. Katanya kids jaman now, itu namanya “cahaya ilahi”. Salah
satunya adalah Rana.

Rana. Ketika menyebut nama nya, semua orang tau bahwa dia cantik, lucu,
dan mempunyai ciri khas, pipinya yang overload, dan selalu berwarna pink. Rana
duduk dikelas 11 SMA Negeri.

Selain teman sekelas, Rana juga mempunyai sahabat yang sangat dekat
dengannya, yaitu Rafa dan Nada. Enggak kalah dari Rana, Nada pun sama, ia
cantik, elegan, dan terlihat lebih flawless daripada Rana. Sedangkan Rafa, ia
memiliki sifat yang klop sama Rana. Padahal, saat ini Rafa dan Nada tengah
menjalani hubungan special.

Rana dan Rafa memiliki hubungan yang lebih dekat ketimbang dengan
Nada. Padahal, Rana lebih lama bersahabat dengan Nada, tapi entah kenapa Rana
malah lebih dekat dengan Rafa. Rana pun terkadang jauh lebih tau tentang Rafa,
daripada Nada. Pacar Rafa sendiri. Mungkin, karena Rana dan Rafa itu satu kelas,
dan, ibu Rafa sangat sering menghubungi Rana ketimbang Nada. Entah kenapa.
Bahkan, teman-teman sekelas Rana dan Rafa sering sekali menjodoh-jodohkan
mereka berdua.

“Na” kata Rafa yang tiba-tiba menghampiri Rana yang tengah ber-selfie
ria.

“Hm” katanya sembari pose

“Ih gitu amat, lirik dikit”. Lalu Rana menoleh.


“Kenapa Fa?”

“Rafa mau curhat, bentaran aja”

“Tumben, kenapa?” kata Rana yang langsung menghentikan per-selfiean


nya.

“Ikut dulu.” Kata Rafa yang menarik lengan Rana, dan menuntunnya
menuju bangku kantin, sebelah kelas mereka

“Ada apaan Fa?”

“Rafa jadi males sama Nada, Na”

“Hah? Kenapa?”

“Dia itu posesif banget, Na. Males jadinya. Tau gini sih dari dulu, Rafa
temenan aja, nggak usah ada yg namanya pacaran-pacaran”

“Aduh Fa, dewasa dikit bisa nggak sih.” kata Rana, setelah Rana berbicara
seperti itu Rafa menempelkan jari telunjuk nya kepada bibir Rana

“Kamu itu nggak bisa tau permasalahan Rafa gimana, Na. Cape”

“Maunya Rafa, Nada itu kayak kamu, Na. Bisa bersahabat sama
kekurangan Rafa.” Kata Rafa, lagi.

“Fa, kita kan nggak sama” kata Rana

“Kayaknya Rafa harus break dulu sama Nada. UTS itu bentar lagi, Na.
Gimana Rafa bisa fokus, kalau masalah eceng aja diribetin” kata Rafa. Namun,
ketika Rana hendak menjawab, Rafa memotongnya.

“Tau deh tau, Rafa. Kamu pasti mau bela Nada kan? Tapi tetep Rafa mau
teguh pendirian sekarang” katanya. Huft, Rana hanya bisa menghela nafas.
Bel masuk pun berbunyi, semua siswa-siswi diharuskan masuk ke kelas
dan mengikuti pelajaran. Selama pelajaran, Rafa benar-benar tidak bisa fokus
belajar. Ia hanya uring-uringan, dan terkadang melamun.

“Fa” kata Rana menggoyahkan lamunan Rafa

“Hah? Apaan?” katanya kaget

“Ngelamun terus, kerjain”

“Males”

“Rafa, nggak boleh. Katanya mau UTS yang bener”

“Asal Rana temenin Rafa”

“ Hah kemana?”

“Ada deh, besok malem ya, Rafa jemput”

“Huft, iya iya. Yaudah belajar yg bener”

“Ok, bu bos” kata Rafa. Setelah perbincangan tersebut, barulah Rafa bisa
fokus untuk belajar.

Setelah berjam-jam mereka belajar, akhirnya bel pulang pun berbunyi.


Nada terlihat sudah di depan kelas menunggu Rana. Lalu setelah bersiap, Rana
pun menghampiri Nada.

“Kenapa Nad?” Tanya Rana

“Badmood, Na. Kenapa sih Rafa beda banget sekarang?” kata Nada. Rana
kebingungan. Disisi lain, Rana sangat kasihan kepada Nada jika dia memberi tahu
yang sebenar-benarnya.

“Hm, kayaknya dia butuh space dulu deh Nad, dia mungkin pengen
sendiri”

“Terus gak kamu tanyain dia kenapa?”


“Udah Nad, dan tau sendiri lah, dia itu sering banget becandain Rana.”

“Huft.” Nada hanya bisa menghela nafas. Lalu mereka berdua pun jalan
menuju gerbang.

Tak lama, Rana telah dijemput. Lalu mereka berdua pun berpisah.
Masuklah Rana ke dalam mobil jemputannya. Sekitar 25 menit setelah mobil
berjalan, Rafa menelfon Rana.

“Iya Fa, kenapa lagi?”

“Break dulu sekarang gitu?”

“Aduh Fa, jangan tanyain hal itu sama Rana deh. Rana gatau. Dua-duanya
itu temen baik Rana”

“Yaudah kalo gitu, putusin aja sekalian”

“Dih, ya nggak gitu juga kali”

“Hm, dasar. Yaudah berarti terserah Rafa yaa, bye” kata Rafa sembari
menutup telfonnya. Rana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Malamnya, sekitar jam 2 dini hari, Nada menelfon Rana. Kebetulan, Rana
masih belum tertidur karena masih menanggapi chat dari Rafa.

“iyaa Nad kenapa?”

“Na, aku break sama Rafa” katanya sembari sedikit menangis. Aduh, padahal
Rana paling tidak bisa kalau orang-orang terdekatnya menangis. Padahal dia
sendiri sangat amat cengeng

“Aduh Nad, udah yaa jangan nangis. Rana tau banget kok rasanya gimana,
tp kamu harus sabar aja Nad. Siapa tau, besok-besok Rafa berubah. Dia kan suka
gitu Nad.”

“Tapi Na, aku tau banget, kalau Rafa nggak akan balik lagi”
“Nad, pasti dia bakalan balik lg deh, percaya sama Rana. Nanti Rana
bantuin”

“Beneran Na?”

“Iyaa beneran, udah dong Nad jangan sedih-sedih lagi”

“Hm, thanks banget ya Na”

“Iyaa sama-sama Nad” kata Rana mengakhiri pembicaraan. Lalu Nada


mematikan telfonnya.

Keesokan harinya, seperti kebiasaan pelajar pada umunya, Rana, Rafa,


Nada dan siswa-siswi lainnya pergi ke sekolah dan belajar. Kebetulan hari itu,
kelas Rana dan Rafa banyak jam pelajaran kosong, jadinya Rana dan Rafa
membicarakan beberapa hal tentang hubungan Rafa dan Nada. Namun, Rafa
selalu menghindari pembicaraan itu.

“Udah atuh ah, Rafa cape ditanyain itu terus. Mending Rana nanti malem
siap-siap aja, kan mau jalan” katanya mengalihkan pembicaraan

“Huft, Rana kan mau kalian berdua itu biasa-biasa aja”

“Rafa udah males, Na. Asli. Kalau bukan karena Rana nyuruh mertahanin,
Rafa udah putusin dari kemarin.” Kata Rafa ketus. Akhirnya, Rana hanya bisa
terdiam. Ia juga tidak tau harus seperti apa, dan bagaimana.

Malamnya, Rafa menepati janjinya untuk mengajak Rana pergi. Rafa


mengajak Rana terlebih dahulu untuk pergi kerumah Rafa, katanya ibu Rafa ingin
bertemu Rana.

Sesampainya di rumah Rafa, ibu nya langsung menyambut Rana dengan


penuh semangat. Senyumnya merekah melihat Rana.

“Ayo Na, masuk-masuk”


“Eh iya bu” kata Rana malu-malu. Lalu Rana dan Rafa pun masuk ke
dalam rumah.

“Rafa, ambilin minumnya buat Rana”

“Eh ibu, nggak usah. Rana nggak akan lama kok” kata Rana

“Iya bu, lagian ade sama Rana mau pergi lagi. Ini sih ade bawa Rana
karena request ibu yang kangen sama Rana” lanjut Rafa

“Oh.. begitu. Yasudah kalian pergi aja. Ibu lebih suka kalian pergi berdua”
kata ibu. Rana dan Rafa hanya saling melirik saja

“Mana Nada, nggak pernah Rafa kenalin sama ibu. Kalau ibu chat tentang
Rafa aja, Nada jawabnya lama, ketus lagi. Jadi kurang suka ibu sama dia, lebih
sreg liat kalian berdua” kata ibunya Rafa, lagi. Dan, lagi-lagi mereka berdua
hanya saling pandang.

“Hm, yaudah bu, ade pergi dulu”

“Iya yaudah, jangan terlalu malem ya, kasian Rana. Anak cewek satu-
satunya”

“Iyaa bu” kata Rafa. Lalu mereka pun berpamitan dan segera pergi ke mall
yang ada disana.

Setelah sampai, Rafa memutuskan untuk menonton film bersama Rana.


Rafa memilih genre horror untuk ia tonton bersama Rana. Mereka berdua sangat
suka genre horror, apalagi mereka seringkali berdebat masalah isi film nya, atau
bisa dibilang sering beradu pendapat. Rafa juga seringkali menenangkan Rana
ketika Rana ketakutan, atau mencemaskan kelanjutan filmnya.

“Rame nggak?” kata Rafa

“Hm, yaa boleh lah”

“Boleh lah, orang tadi aja takut”


“Hehe, yaudah sih, abisnya sadis.”

“Hm, Na” kata Rafa

“Yap?”

“Seandainya Rafa saat itu temenan aja sama Nada. Kayaknya nggak akan
serumit ini deh”

“Aduh Fa, udah deh. Rana males dengernya. Lagian, waktu juga nggak
bisa diulang lagi kan?”

“Iyasih, yaudah lah, nikmatin aja”

“Bagus”. Kata Rana. Tak terasa mereka berdua telah sampai parkiran.

“Yuk pulang sekarang, udah malem” kata Rana

“Males pulang”

“Kenapa?”

“Males aja ketemu ibu”

“Ih Fa, nggak boleh gitu. Biar gimanapun juga itu kan ibu nya Rafa, kalo
gaada ibu emang kamu berani idup sendiri?”

“Kan ada kakak sama ayah”

“Fa, tolong deh”

“Hehe iya iya, becanda”

“Nanti ah pulangnya, nunggu langitnya cerah” kata Rafa, lagi.

“Dih, yaudah nginep aja sekalian.” Kata Rana.

Suasana malam itu begitu nyaman. Mungkin semesta menyetujui adanya


perasaan diantara mereka. Selama perjalanan pulang, Rana dan Rafa tak henti-
hentinya bercerita, apapun. Dari mulai yang serius, hingga mencoba membuat
prank untuk orang-orang yang sama-sama melintas dijalanan.

Dua minggu berlalu. Ujian Tengah Semester keesokan harinya akan


dimulai. Rafa tengah mempersiapkan UTS nya dengan semangat. Ia disuruh untuk
belajar bersama Rana dirumah Rana oleh ibu nya. Dan, dengan senang hati Rafa
mau. Selain Rafa, memang anak-anak kelas Rana dan Rafa itu sering mengadakan
belajar bersama ketika hendak ulangan. Dan kebetulan, saat ini jadwal nya
dirumah Rana.

“tumben nggak telat” kata Rana yang keheranan ketika Rafa sangat bersemangat
belajar bersama kali ini, karena disaat semua masih bersolek dirumahnya masing-
masing, Rafa malah sudah standby dirumah Rana.

“Iya dong”

“Eh Fa, gimana sama Nada”

“Nggak Rafa kabarin”

“Aduh pantesan aja Nada nangis-nangis terus ditelfon kemarin”

“Gimana ya Na, sebenernya Rafa nggak tega juga sih, tapi, Rafa udah
nggak mau sama dia”

“Fa, anak orang lho”

“Iya Na, tau. Cuman gimana? Dipertahanin kayaknya udah nggak akan
bener”

“Fa tolong lah, Rana gamau ah kayak gini terus”

“Hm, yaudah deh nanti udah UTS keputusannya.”

“Bener?”

“Iya”
“Janji?”

“Janji.” Kata Rafa

“Eh Na” kata Rafa, lagi.

“Hm?”

“Nanti deh udah UTS Rafa mau bicara sama Rana”

“Bicara? Hahaha tumben bahasanya gitu banget”

“Ih nggak bisa diajak serius”

“Iya iyaaa”

“Oke deh”

Akhirnya tak lama setelah obrolan mereka berakhir, datanglah teman-


teman kelas mereka. Lalu, Rana dan Rafa menjadi bahan ceng-cengan mereka,
karena yaa seperti biasa, Rana dan Rafa seperti sudah cocok untuk disandingkan
sebagai seorang kekasih.

Satu minggu akhirnya berlalu. UTS akhirnya selesai. Selama itulah Rafa
selalu bolak-balik rumahnya dan rumah Rana untuk belajar. Selama itu pula, Rana
dan Rafa semakin dekat.

“Fa” kata Rana ketika sedang asyik bertelfonan bersama Rafa

“Hmm?”

“Bolehkan Rana share video kita yg main kemarin?”

“Boleh lah, kenapa enggak?”

“Hm, sembunyikan Nada ya?”

“Nggak usah, biar dia liat aja”

“Nggak mau, ntar Rana yang kena marah”


“Hm, yaudah terserah.” Kata Rafa. Akhirnya Rana share video tersebut
melalui akun whatsapp nya.

“Udah?”

“Iyaa udah” kata Rana

“Tidur, besok sekolah”

“Iyaa Fa, Rafa juga ya”

“Pasti”

“Yaudah, salam ke ibu”

“Waalaikumsalam ceunah”

“Hahaha yaudah, Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam.” Jawab Rafa.

Keesokan harinya, Rana bangun dan sholat subuh. Lalu ia mandi dan
menyengerakan untuk pergi ke sekolah. Ketika ia membuka handphone nya, ia
terkejut adanya pesan dari Rafa yang berisi tentang kemarahan Nada kepada Rafa
sebab video yang Rana share ke akun Whatsapp nya. Ia semakin panik ketika
membaca bacaan teks dari Nada yang berbicara bahwa Nada ingin putus saja dari
Rafa. Rana pun segera berangkat ke sekolah, untuk segera bertemu Rafa.

“Na!” panggil Rafa

“Fa, maafin Rana. Semuanya Karena Rana, padahal Rana udah


sembunyiin Nada kok”

“Tenang aja Na, gapapa”

“Kok gapapa sih Fa, Rana pasti dibenci banget sama Nada”

“Gapapa, santai aja. Masih ada Rafa.”


“Rafa lagi, malah belain Rana. Nada itu nggak suka Fa.”

“Na, kamu tau nggak sih? seorang sahabat mana ada yang kayak gini.”

“Hah?”

“Udah lah, nggak usah difikirin. Biar ini jadi urusan Rafa”

“Tapi, Fa”

“Gapapa, udah gausah difikirin yaa” kata Rafa menenangkan. Sedikit kata-
kata penenang membuat Rana semakin tenang. Namun, tetap saja ia tak bisa
membohongi diri kalau ia merasa sangat bersalah kepada Nada.

“Rana minta maaf ya sama Nada?”

“Nggak usah, Na. Biar Rafa” kata Rafa. Rana semakin dibuat bingung.

Setelah hari ini dilewati Rana dengan sangat berat, akhirnya bel pulang
sekolah yang Rana tunggu-tunggu tiba. Rana pun menyegerakan untuk segera
pulang. Ia butuh waktu sendiri saat itu. Namun, Rafa menarik tangannya. Di
depan koridor kelas, mereka berbicara.

“Na, kamu marah sama Rafa?”

“Enggak Fa, kok marah? Rana cuman butuh waktu sendiri aja”

“Na, jangan difikirin lah. Biar aja, emang ini udah harusnya”

“Fa, kamu enak enggak dirundungi rasa bersalah. Rana?”

“Na, masalah Rana, masalah Rafa juga”

“Fa”

“Na, Rafa mau bicara sesuatu yang udah Rafa janjiin waktu itu”

“Apa?”
“Sebenernya, Rafa udah nyimpen perasaan sama Rana dari dulu. Jauh
sebelum Rana kenal sama Rafa. Cuman ternyata, Rana sukanya sama temen Rafa,
Deva. Jadi, Rafa nggak bisa apa-apa. Dan untuk obatnya, Rafa macarin Nada.
Kedengeran aneh, tapi ini beneran. Tapi, ternyata, siapapun juga, nggak ada yang
bisa gantiin Rana. Ibu, ayah, kakak, sreg banget sama Rana. Rafa jadi semakin
yakin, kalau Rana harus Rafa perjuangin, Na.”

“Jadi?” kata orang di belakang Rana. Ketika Rana dan Rafa melihat,
ternyata itu adalah Nada. Setelah Rana dan Rafa menyadari itu, Nada langsung
pergi dan berlari entah kemana. Rana ditahan Rafa untuk tidak mengejarnya.

“Tapi Fa! Rana gamau Nada sedih.”

“Na, kamu tau? Kamu itu berhati mulia. Bahkan ketika Nada jauh lebih
menyakiti kamu, kamu masih dibuat takut untuk dia pergi? “

“Fa, tapi Rana belum minta maaf, Rana ngerasa bersalah banget”

“Na, kamu boleh minta maaf, kamu juga boleh ngerasa salah. Tapi kamu
harus tau, Tuhan enggak akan semena-mena ngasih ujian kayak gini kalau nggak
ada maksud. Semesta dari dulu menyetujui, kalau kita bersama-sama.” Kata Rafa.
Rana hanya menatap Rafa dengan perasaan bersyukur

“Rana juga, punya perasaan dari dulu, sama Rafa. Cuman Rana belum
sadar, kalau itu juga terjadi sama Rafa.”

Semenjak itu, Rana dan Rafa menjadi dekat. Mereka berteman baik,
sharing satu sama lain, dan mungkin akan segera berbahagia.

Ternyata, status tak menjamin cinta.


PUDAR
Oleh : Novsya Tria Dewi

Di bulan Juli ada mahasiswi yang baru saja lulus kuliahnya, dia
mendahului teman temannya karena dia anak akselerasi. Dia adalah Gebriel
Anatasya. Sebut saja dia Tasya, dia yang memiliki sifat manja ini menjadikan
semua cowo tertarik, tidak hanya lucu tasya juga cantik, yaa jelas dong rata rata
cowo pada tertarik. Tasya ini adalah mahasiswi manajemen di salah satu
universitas swasta Bandung, tau kan yaa kalo akselerasi pasti IPKnya besar, yap
Tasya mendapatkan ipk 3,9 cumlaude dong. Meskipun pintar, tapi Tasya ini tidak
lupa menyisipkan tentang cinta di kehidupannya, Tasya tipe orang yang mudah
jatuh cinta bukan berarti murahan dan tidak memiliki harga diri yaa. Karena
menurut Tasya “cinta apalah rasa hidup tanpa hadirnya”.

Setelah wisuda Tasya langsung melamar untuk kerja. Dia melamar ke


salah satu sekolah dan Tasya adalah alumni di sekolah tersebut. Tasya ini pernah
dekat dengan kakak kelas yang bedanya itu 2 tahun, hanya pernah dekat saja yaa
gk sampai jadian, dikarenakan kakak kelasnya mau kuliah dan Tasya nggk mau
LDRan jadi mereka saling melepaskan. Sebut saja dia Reynaldi Rahman
Ardiansyah.

Keesokan harinya

“Bu Tasya melamar – lamar dulu yaa, doain Tasya” sambil sun tangan ke
ibunya

“Iyaa atuh ibu mah selalu doain kamu neng” ibunya Tasya memang agak
nyunda gitu bahasanya.

Semampainya di sekolah..

“Tasya?”
“eh Rey?”

“Kenapa ada disini Ca?”. Caca adalah panggilan sayang Rey, meskipun
sudah lama tak jumpa tetapi Rey tak sungkan memanggil nama kesayangannya itu
kepada Caca

“Aku? Hmmmm mau melamar nih ke tata usaha, kamu sendiri kenapa ada
disini?”

“Oh ya? Aku di sini kerja loh ca, di tata usaha juga” dengan wajah
gembira

“Oh asli Rey? Atuh bakal ketemu wae yaa, tapi itu juga sih kalo aku di
terima disini hehe”

“ iya ihh bakal ketemu wae, sok aja da bakal keterima”

“Iyaa aamiin, makasih ya Rey”. Ucap Tasya sambil pergi menuju ruang
kepala sekolah

Setelah 2 minggu menunggu Tasya akhirnya di terima di sekolah itu,


karena kepala sekolahnya sudah tau Tasya jadi yaa masuknya juga lumayan
gampanglah yaa, yaiyalah kepala sekolahnya tau orang Tasya ini anak yang
berprestasi. Kepala sekolahnya aja kenal apalagi siswa/i nya coba beuh..

Setelah tau di terima, Tasya chat Rey “Rey... aku diterima siah di sekolah.
Seneng pisan ihh” meski Tasya agak canggung

“Wah asli ca? Ih ikut seneng alhamdulillah, yaudah atuu yaa sampai
ketemu besok caca❣” kan Rey mah belum apa apa udah ngasih emot hati, Rey
mah gitu orangnya

Besok pagi Tasya datang sangat pagi karena hari pertama kerja jadi
semangat, yaa semoga saja seterusnya semangat ya hehe

“heh ca, meuni udah datang gening, tanginas”


“iyaa dong semangat yeuh”

Setelah beberapa hari kerja, Rey dan Tasya dekat lagi, dan sekarang udah
mulai chatan lagi, gk baper lagi gimana coba Rey ini cowo yang disukai banyak
cewe, “Wadaww aku teh deket sama laki laki yang diinginkan ku batur”. Kata
Tasya di dalam hati sambil baca pesan dari Rey.

Pada saat makan siang Rey dan Tasya ngobrolin yang kerja di tata usaha.

“Rey siapa itu yang kerja di pinggir kamu?”

“Oh si Rifki, kenapa emang?”

“Enggk dia teh kaya yang sholeh banget yaa, atau emang iya sholeh
beneran?”

“Hmmmm, namanya juga Rifky Sholehin” dengan raut muka yang


cemburu

“Wah asli namanya itu? Naha asa gk pantes sama mukanya yaa, ganteng
soalnya, sans atuh nanya aja ih aku mah, gk usah cemburu”

“Ihh siapa yang cemburu”

“Raut muka kamu tuh gk bisa disembunyiin”

Semakin lama kerja di sekolah, Tasya juga sudah kenal dengan yang
namanya Rifky itu. Dan sekarang kalau makan siang juga suka bertiga.

Jam menunjukan Nine o’clock.

“Assalamualikum, Tasya?”

Hah Rifky nge chat? Ada apa?

“Walaaikumsalam, iya Rifky?” Tasya membalas dengan rasa senang +


degdegan
Akhirnya Tasya dan Rifky-pun sering chatan, tanpa sepengetahuan Rey.
Dan Rifky juga tidak tahu bahwa Rey dan Tasya ini sedang dekat

Pada suatu hari Rey bercerita ke Rifky bahwa dia tuh pernah dekat dengan
Tasya dan sampai sekarangpun Rey masih suka kepada Tasya. “hah? Aku deket
sama gebetan temen aku sendiri? Gak mungkin ahh, jangan sampe terjadi” ucap
Rifky di dalam hati

Setelah itu..., Rifky langsung menanyakan kepada Tasya tentang apa yang
membuatku mudah berikan hatiku padanya, ih naha kalah nyanyi hehe. Next
pasti inget lagu thank u, next ya khan? Haha. Udah ah serius lagi

“Tasya aku mau nanya sesuatu boleh?”

“yaa boleh atu, piraku nggk boleh”

“tapi jujur yaa”

“iyaa ikyy”

“Tasya, kamu teh udah lama deket sama Rey?”

“Kok nanya gitu? Tau dari siapa?” jawab tasya sambil bingung harus
jawab bagaimana

“Yaa jawab dulu pertanyaan akulah”

“Hmm iyaa Ky, maaf aku baru bilang sekarang”

“Kenapa kamu gak bilang dari dulu tasya? Kalo udah kaya gini kan
bingung, Rey itu sahabat aku loh, masa iya aku deket sama gebetan temen sendiri?
Aku gak enak banget sama Rey, kamu tau gk aku ini udah suka sama kamu? Kalo
udah suka kaya gini mah susah, perasaaan mah gk bisa di bohongin, terus
sekarang kamu deket dengan 2 cowo gitu? Sampe Rey bilang, sama Tasya tuh
kaya yang udah pacaran, astaghfirullah Tasya. Yaudahlah yaa kita jaga jarak aja.
Aku gk mau hubungan dengan rahman bisa ancur gara gara merebutkan cewe
yang sama. Kenapa kamu respon chat aku kalo kamu udah deket sama Rey? Aku
kira kalo kamu respon chat aku berarti kamu belum punya temen deket cowo,
ternyata salah ya perkiraan aku”

“Iyaa maaf aku salah, aku bukan gak akan bilang, hanya aku lagi cari
waktu yang tepat. Kenapa aku respon? Karena aku juga suka kamu Ky. Iya maaf
aku salah, aku ini terlalu perasa hingga aku mencintai 2 orang cowo yang
berteman baik. Kini yang aku takutkan terjadi, bener kan kata kamu perasaan gk
bisa di bohongin? Sekarang juga aku bingung, aku ini sayang kalian, dan aku
harus bagaimana? Jika aku memilih salah satu diantara kalian, berarti aku ini telah
menyakitkan 1 hati. What should i do?” balas Tasya sambil nangis

“Yaudah kamu sama Rey aja, aku mengalah, biar aku sama Rey
hubunganya baik baik aja lagipula ini salah aku, kenapa aku waktu itu gk nanya
ke kamu apa kamu udah punya gebetan atau nggk, kira aku kamu merespon tuh
karena gk puya gebetan, yaudah lain kali kamu harus menjaga dan memilih satu
hati saja yaa. Yaudah jaga jarak aja ya mulai dari sekarang. Makasih loh yaa
Tasya, kalo ada apa apa kamu masih bisa curhat ke aku kok”

“Rifky maafin aku, bukan kamu yang salah, ini semua salah aku, kenapa
aku berani beraninya merespon cowo lain sedangkan aku ini udah deket sama
salah satu cowo. Maafin aku rifky.”

Rifky tidak membalas pesan Tasya

Keesokan harinya

Mata Tasya sangat sembab, lalu Rey menanyakan itu

“Tasya mata kamu kenapa? Kamu udah nangis ya? Kenapa? Sini coba
cerita” Rey berbicara seperti itu di depan Rifky.

Dan Rifky hanya menoleh sedikit.

“Aku gak apa apa Rey, malam kemarin aku nonton Drakor”

“Beneran?”
“Iyaa rey, udah ah gak usah nanya terus”

“Kok kamu jawab gitu? Gak biasanya kamu jawab gitu” Tasya hanya
terdiam

Rey keluar ruangan untuk mengambil tisu.

Lalu Rifky bilang kepada Tasya “Gak usah jadi beda gitu ke Rahman,
kesian dia udah tulus sama kamu, oh iyaa lain kali jujur aja yaa gk usah bohong
udah nnton drakor” Tasya masih terdiam

Pada waktu pulang kerja Tasya dan Rey makan diluar dan Tasya
meceritakan kejadian dengan Rifky. Setelah Tasya menceritakan semua itu, makin
hari Rahman menjadi jaga jarak ke Tasya. Tasya kebingungan dan akhirnya Tasya
curhat ke Rifky tentang semua yang dilakukan oleh Rey kepada Tasya, dan Rifky
hanya menjawab

“Sesaat kamu memiliki keduanya, suatu saat kamu akan kehilangan keduanya”

Dan pada akhirnya mereka bertigapun menjalankan kehidupan masing


masing, dan pilihan hati masing masing. Meskipun butuh proses untuk saling
melepaskan. Tuhan memiliki rencana lain yang sangat baik untuk umatnya.
Percayalah...
Ayo Dikit Lagi
Oleh : Presti Putri Anggraeni

Bersama senja dengan biasan cahaya yang memancarkan keindahannya


kulangkahkan kedua kaki ini untuk menjemput kedua sayapku.

Disepanjang perjalanan aku berlari-lari kecil sambil bersenandung ria,


merasa tidak sabar ingin segera bertemu kedua sayapku alias kedua sahabatku.

“Hai Ummy, hai Amirah, akhirnya kalian tiba juga di desa ku.” Sapaku
sambil tersenyum kepada kedua sahabatku.

“Iya nih Put Alhamdulillah, lumayan juga yah menguras tenaga sekali
perjalanan menuju desa mu ini. Tapi semua rasa lelah itu tidak terasa karena
pemandangan dan udara disini masih asri serta indah terasa sejuk.” Sahut Amirah
dengan mengeluarkan tissu dari tas kecilnya berniat untuk mengusap keringat di
dahinya, namun langsung di serobot oleh Ummy yang kelihatannya dia capek
sekali.

Aku terkekeh melihat kelakuannya. Aku tidak menghiraukan keluhan


mereka, namun malah tersenyum dan berkata dalam hati beginilah desa
ku,meskipun terpencil jauh dari kota, namun begitu indah alamnya menarik dan
udaranya begitu sejuk, jauh dari polusi udara.

Kita bertiga melanjutkan perjalanan sampai akhirnya sampai dirumahku.


Rumah sederhana yang akan dijadikan tempat menginap kedua sahabatku ini.
Mereka menginap dirumahku karena besoknya mereka ingin pergi mendaki
gunung yang ada di daerahku. Sudah sejak lama mereka menati-nantikan ingin
sekali hiking bercengkrama dengan keindahan alam di pedesaanku.

Tak terasa malam pun telah tiba, bukannya tidur kita malah becanda, asyik
mengobrolkan rencana buat besok.
“Jadi kita besok ready jam berapa?” Amirah bertanya ditengah-tengah
candaan kita.

“Paling sekitar jam 6 pagi, soalnya kata My Mam harus pagi biar
pulangnya nggak terlalu sore, perjalanannya lumayan jauh.” Kataku sambil
membuka snack yang disediakan Mamaku.

“Waduh kira-kira berapa jam tuh nyampe ke puncaknya?” Ummy bertanya


dengan penasaran.

“Kira-kira 4 atau 5 jam perjalanan.” Jawabku dengan polos.

“Hah!” Ummy dan Amirah sontak kaget.

Aku malah cekikikkan karena memang sangat jauh, kalo dihitung dalam
kilo bolak-balik itu sekitar 30 kilo. Apalagi perjalanannya cukup ekstrim.

“Udah ayo tidur, siapin diri buat besok, supaya vit.” Ajakku santai tanpa
menghiraukan mereka yang kaget mendengar penjelasanku.

Kong korongok petok...petok... petok... Ayam sudah siaga dengan


tugasnya, yang tandanya gelap telah berganti menjadi remang-remang menuju
terang. Adzan subuh pun berkumandang, sehingga kita bertiga bersiap-siap untuk
menunaikan sholat subuh.

“Put indah banget ya lampu-lampu dari kota yang masih menyala


disebelah sana.” Ujar Amirah terkagun-kagum.

“Iya begitulah Mut namanya juga kita ada didataran tinggi, pasti terlihat
daerah kota dari sini.”

“Ahhhhhhhh.....”

Tiba-tiba Ummy yang tadinya kebelet dan langsung lari ke wc umum,


menjerit. Sontak aku dan Amirah langsung menghampirinya.

“Ada apa Ummy? Kamu nggak apa-apa?”Tanyaku buru-buru.


“Aku nggak apa-apa, yang kenapa-kenapa itu air ini, gila dinginnya udah
kayak air kulkas aja.” Jawab Ummy sambil merangkul badannya sendiri.

“Uhhhhhh kirain ada apa, kamu itu Mi bikin kita jantungan aja.” Sambung
Amirah setengah kesal.

“Hhehe, iya maaf.” Tutur Ummy merasa bersalah.

Setelah selesai mandi dan berwudhu kita pun pergi sholat.

Mentari dengan bersemangat pun muncul menunjukkan keindahannya.


Kita bersiap-siap untuk pergi hiking ke Bukit Parama Satwika Gunung Putri
Garut. Dengan barang bawaan kita masing-masing, kita berjalan menyusuri jalan
yang terlihat. Disepanjang jalan kita bercanda, bercerita, berfoto-foto
mengabadikan moment ini. Ditengah perjalanan kita bertanya kepada petugas
yang ada di daerah dekat Gunung Putri itu, untuk menanyakan jalan yang benar
menuju ke bukit yang kita akan tuju, karena aku sendiri lupa lagi jalan untuk
menuju kesana. Setelah bertanya kita melanjutkan perjalanan.

“Amirah, Putri berhenti dulu kenapa, capek nih, dari tadi kita naik turun
naik turun perasaan tidak nyampe-nyampe.” Teriak Ummy yang lumayan
tertinggal jauh dibelakang.

“Huss kamu tuh, kalo ngomong nggak bisa dijaga, kita tuh lagi ada di
gunung jangan ngomong kayak gitu, ntar kalo kita di sesatin jalannya gimana
coba.” Ujar Amirah menasihati

“Ya udah kita istirahat dulu, kasian Ummy udah kelihatan capek banget.”
Kataku melerai mereka.

“Iya udah sini, buy the way kita bikin vlog yuk, kayak artis youtubers gitu,
yang kalo lagi apa-apa pasti di rekam kamera.” Dengan bibir mengerucut dia
memanggil kita, namun langsung bergaya menunjukan gaya youtubers itu.

“Oke boleh tuh, pake semua handphone aja, jadi ada sudut pandang
berbeda.” Sahutku antusias.
“oke” mereka berdua serentak menjawab dengan kedipan mata.

Kita pun melanjutkan perjalanan sambil merekam perjalanan kita


menggunakan handphone masing-masing. Karena keasyikan bikin vlog kita
bertiga tidak sadar bahwa kita tersesat masuk ke semak-semak yang tinggi dan
sedikit gelap. Putri pun yang menyadari ada yang aneh dari jalan ini langsung
berhenti.

“Tunggu deh, ini kayaknya bukan jalan buat ke puncak, ada yang aneh sama jalan
ini.” Putri merasa aneh melihat ke sekeliling jalan yang makin kesini makin
sempit.

Ditengah kebingungan itu, mereka bertiga dikejutkan seorang kakek tua


yang tiba-tiba muncul dari balik semak-semak yang tinggi itu.

“Kalian sedang apa disini? Kenapa adik semua bisa sampai sini?” Kakek
tua itu bertanya heran.

“Kita mau ke Puncak Gunung Putri kek, tapi kok Putri merasa aneh sama
jalan ini, nggak seperti dulu waktu Puput pernah kesini.” Jelas Putri pada sang
kakek.

“Hmmm, adik semua salah jalan, ini jalan menuju jurang, lebih baik adik
semua kembali lagi ke ujung jalan semak-semak yang tadi adik lewati
sebelumnya, lalu adik belok ke kanan, dan disana pasti ada sebuah warung kecil,
adik tanyakan saja jalan menuju ke puncak itu.” Perintah Kakek itu sambil
menunjukkan arahnya.

Dengan merasa kaget setelah kita melihat arah yang ditunjukkan kakek itu
dan berniat untuk berterima kasih, namun kakek itu sudah tidak ada ditempatnya.

Akhirnya dengan membaca Bismillah memohon pertolongan kepada


Allah, kita bertiga pun pergi mengikuti arahan Sang Kakek.
Setelah berjalan cukup jauh dengan hati yang tak karuan, dengan rasa
syukur akhirnya kita menemukan titik puncak Gunung Putri dari bawah tempat
kita saat ini,.

“Ayo Mirah, Mi dikit lagi kita sampai!” Kataku menyemangati

“Iya Mi ayo dikit lagi!” Timpal Amirah tidak mau kalah.

“Uhhh Alhamdulillah akhirnya nyampe juga.” Sahut Ummy merasa lega.

“Iya Mi, coba lihat diatas sana, kita tinggal satu puncakan lagi.” Menunjuk
tempat yang dituju.

“Heem wow indah sekali, ayo kawan dikit lagi.” Melihat ke atas sambil
bangkit dan berlari.

Kita pun berlari sambil tertawa karena akhirnya lelah kita akan segera
terbayarkan dengan keindahan diatas puncak nanti.

Sampailah kita di puncak.

“Subhanallah... indah sekali iya Mi?”

“Iya Ya Allah, nikmat mana lagi yang akan kau dustakan.”

“Sini kawan kita makan minum dulu, nanti baru kita nikmati keindahan
alam diatas puncak bukit ini.” Teriakku kepada kedua sahabatku.

Terhanyutlah kita oleh alam, mengabadikannya melalui jepretan kamera,


dan menikmati keindahan alam dari atas bukit. Sungguh memang indah ciptaan
dari-Nya, janganlah kita mencoba untuk merusaknya, tanamkanlah di hati untuk
teguh melestarikan alam di negeri ini.
Kita berada di atas untuk turun

Berada dibawah untuk naik

Jatuh untuk bangkit

Terbang untuk mendarat...

#Asriaci
Keenan dan Bintang Jatuh
Oleh : Rahmi Nur Azizah

“Dek, jangan lari-lari!” Teriak Keenan pada adiknya, Alisha.

Melihat Alisha yang tak kunjung berhenti berlari, Keenan dengan iseng
mengejar Alisha. Membuat Alisha semakin cepat berlari dan terjadilah aksi kejar-
kejaran antara kakak-beradik itu.

“Kamu itu jangan keras kepala! Nanti kalo jatoh sakit.” Nasehat Keenan
lembut saat Keenan berhasil menggenggam tangan Alisha dan membuat mereka
berhenti berlari.

“Kalo Isha jatoh, kepalanya bakal kena batu terus kepalanya bakalan
pecah. Duarrr. Kepala Isha gak akan keras lagi ka Ke” ucap Alisha yang
memanggil dirinya Isha dan memanggil kakak Keenan dengang pengucapan
kakek.

Mendengar kalimat itu Keenan segera menutup mulut Alisha dengan


telapak tangannya. Bahkan mendengarnya saja sangat mengerikan. Keenan
bingung bagaimana mungkin Alisha menyebutkan hal itu dengan sangat mudah.

“ Jangan ngomong gitu lagi! Janji?” Ucap Keenan.

Alisha yang melihat wajah khawatir kakaknya hanya bisa mengangguk.


Kemudian Alisha berlari ke dalam rumah.

“Alisha jangan lari-lari!” Teriak Keenan dengan sedikit kesal.

“Gak janji!” Jawab Alisha dengan teriakannya dari dalam rumah, tak lupa
diikuti dengan suara tawa khasnya.

Keenan hanya bisa menggeleng, dia kembali ke halaman rumahnya.


Tepatnya kembali ke depan kanvas dan lukisannya yang belum selesai. Dalam
lukisan tersebut terlihat gadis yang terjatuh diantara bintang-bintang.
Lukisan itu merepresentatifkan Alisha dengan semua kepercayaan yang
ditanamkan Keenan padanya, yaitu tentang Keenan yang selalu berkata bahwa
Alisha adalah salah satu bintang yang ada di langit. Saat Keenan meminta pada
Tuhan untuk memberikan satu bintang-Nya. Tuhan mengabulkan permintaan itu
dengan memberikan Alisha pada keluarga mereka. Alisha adalah sebuah bintang
jatuh yang diberika Tuhan pada Keenan, begitulah ungkapan Keenan kepada
Alisha.

Meski sebenarnya semua doktrin Keenan yang ditanamkan pada diri


Alisha itu hanyalah penutup bagi semua kisah sedih yang menyerang keluarga
mereka dua belas tahun lalu. Tentang Keenan yang selalu ingin mempunyai
seorang adik, kemudian Bunda hamil dan melahirkan seorang gadis kecil yang
cantik, dimana wajahnya adalah tiruan dari wajah cantik Bundanya.

Sayangnya kemunculan wajah Alisha adalah pengganti wajah Bunda di


dunia. Bunda dan takdirnya memutuskan tak bisa bersama dengan keluarga
bahagia mereka, dengan seorang figur suami yang merupakan psikiater terkenal di
kota itu, dengan bocah lelaki tampan yang sejak kecil sudah terlihat bakatnya
dalam berkarya di atas kanvas, serta dengan seorang bayi kecil jelita yang baru
saja di beri nama Alisha Alfian.

Keenan pernah menyesal karena ingin mempunyai adik yang akhirnya


harus mengorbankan sang Bunda dalam proses kelahirannya. Semua rasa bersalah
itu tumpah ruah selama tiga tahun Alisha tumbuh. Keenan tak mau mengakui
Alisha.

Apalagi Alisha hanya tumbuh ditemani Bi Inah, karena sibuknya dokter


Alfian yaitu ayahnya, atau mungkin dokter Alfian memang sengaja menyibukkan
diri? Menjadi orang yang gila kerja, dengan semua prestasi tentang bagaimana
hebatnya dia menangani orang yang memiliki masalah psikis. Tapi untuk apa?
Mengejar prestasi untuk melupakan betapa sedihnya di tinggal pendamping hidup
yang sangat dicintai? yang lucunya prestasi itu membuat dirinya lupa bahwa
masih ada sesosok malaikat kecil yang dititipkan sang istri sebagai pengganti
kepergiannya.

Saat Alisha beranjak dari balita menuju kanak-kanak, ada hal yang ganjil.
Pertumbuhan fisik Alisha normal. Namun ternyata bagaimana cara Alisha berfikir
tak ada perkembangan yang signifikan, yang seharusnya dimiliki anak-anak
nomal. Alisha mengidap gangguan mental. Bahkan tak aneh jika Alisha selalu
percaya doktrin yang diberikan Keenan.

Rasa penyesalan, kecewa, dan benci Keenan kepada Alisha memudar saat
Keenan mengetahui adiknya memiliki perkembangan tak yang tidak normal. Usia
Keenan dan Alisha hanya terpaut lima tahun, namun Keenan sadar adiknya butuh
Keenan sebagai teman, sebagai kakak, dan pastinya sebagai pelindung. Keenan
juga sadar, bahkan Bunda dalam kepergiannya menghadirkan seorang gadis cantik
yang memiliki wajah persis Bunda.

Namun dokter Alfian tidak pernah mau berdamai dengan keadaan, dengan
mengetahui Alisha bermasalah, dokter Alfian semakin terpuruk. Beliau semakin
kecewa, bahwa istrinya tak pernah menjelma menjadi sesosok kekanak-kanakan
dan memiliki gangguang mental. Dokter Alfian semakin gila kerja, dan gila
wibawa. Dia tak pernah menampakan wajah Alisha di depan teman-temannya.
Keenan adalah anak satu-satunya. Seorang anak lelaki yang berbakat melukis dan
berprestasi disekolahnya. Yah setidaknya begitulah yang orang lain ketahui.

Bahkan sampai saat ini Keenan berusia 18 tahun dan Alisha berusia 15
tahun, pengakuan sang ayah hanyalah untuk Keenan.

“Keenan, suruh adikmu masuk kamar! dua jam lagi akan ada pasien yang
datang kerumah buat konsultasi.” Perintah seorang lelaki yang merupakan ayah
Keenan. Wajahnya terlihat berantakan dan tidak terurus. Munkin itulah akibat dari
orang yang gila kerja.

Keenan yang sedang melukis dan mengingat betapa sendiriannya Alisha


selama ini tanpa figur kedua orang tua, kemudian secara seenaknya datang dokter
Alfian dan menyuruh Keenan menutupi keberadaan Alisha saat setiap tamu akan
datang, padahal seharusnya beliau menjadi sosok ayah yang lebih perhatian, pada
Alisha.

Keenan kini geram, tak sudi lagi Alisha dikorbankan untuk menjaga
kewibawaan ayahnya. Keenan tak segera melaksanakan perintah sang Ayah.

“Keenan kamu dengar ayah?” Tanya dokter Alfian dengan nada sedikit
meninggi.

Keenan tetap bergeming, melanjutkan melukis objek favoritnya yaitu


adiknya dan bintang.

“Keenan!!!” Kini dokter Alfian benar-benar marah, dia sampai mengambil


kanvas Keenan yang sedang di lukis dan membantingnya kelantai.

“Kenapa? kenapa kalau Keenan tidak mau?” Tanya Keenan lantang pada
ayahnya. Sungguh, Keenan tak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya pada
sang ayah. Namun kali ini ayahnya sangat keterlaluan.Dan menurut Keenan ini
harus menjadi akhir dari penderitaan Alisha.

“Keenan kamu kenapa?” Tanya ayahnya dengan suara yang lebih lembut.

“Akui Alisha dihadapan teman-teman ayah, didepan guru-guru ayah,


didepan pasies-pasien ayah.” pinta Keenan.

“Alisha… Alisha…Alisha” dokter Alfian mengulangnya sampai tiga kali


pengulangan dimana semakin lama semakin tinggi dan keras nada suaranya,
kemudian berkata dengan suara lantang. “Maksud kamu gadis gagal itu?” tangan
dokter Alfian menunjuk kedalam rumah, meski didalamnya tidak terlihat wajah
Alisha.

“Jangan pernah berani lagi ayah mengatakan hal itu! Dia adiku” ucap
Keenan semakin geram.
“Huh dia anak tak berguna, kau lihat dia? sekarang seharusnya dia sudah
berseragam putih biru. Tapi saking bodohnya dia. Ayah yakin dia belum bisa
membaca dan menulis.” Entah setan apa yang merasuki tubuh dokter Alfian saat
ini.

Keenan hanya bisa menangis.

“Liat dia! Dia datang ke dunia ini, hanya meninggalkan luka, bagi kamu
atau bagi ayah.“

Tubuh Keenan bergetar karena masih menangis.

“Tidakkah ayah lihat? Wajah bunda ada di Alisha. Kenapa ayah tak bisa
mencintai Alisha setidaknya sebagai seseorang yang memiliki wajah tiruan dari
Bunda?”

“Ayah tak pernah ingat ada wajah cantik Bunda di sana dengan tingkah
kekurangan mentalnga. Yang ayah ingat Bunda kamu adalah hal yang sempurna,
tentang wajah jelitanya dan pemikiran dewasanya. Bukan dengan otak yang tidak
bekembang seperti dia. Itu tidak relevan Keenan.” papar dokter Alfian.

“Kamu harus berkata jujur padanya Keenan, bahwa dia datang ke dunia
dan membuat kamu kehilangan sosok seorang perempuan hebat. Lupakan tentang
doktrin dia adalah sebuah bintang yang jatuh. Biarkan dia dewasa! Dia
menghancurkan kehidupan indah ayah dan kamu. Apalagi dengan pemikiran
dungunya itu yang tidak berkembang. Dia hanya memberi beban. Dia tidak bisa
berprestasi seperti kamu. Bahkan tak ada sekolah yang mau menerima
kedunguannya kecuali LSB.”

“Diam dokter Alfian! Yang saya ketahui dari anda adalah bahwa anda
seorang psikiater yang hebat dan professional. Tapi untuk mengatur psikis anak-
anaknya saja anda tidak becus. Jangan pikir saya bahagia dengan prestasi saya
selama ini. Karena kebahagiaan saya tak dapat tercapai seiring dengan sibuknya
sesosok ayah, yang seharusnya memberi perhatian yang lebih pada anak-anaknya
apalagi setelah Bunda meninggal. Dan mungkin anda lupa sesosok ayah itu adalah
anda.” karena rasa marah dan kecewa yang meluap, Keenan sampai berani
menyebut anda pada ayahnya.

Keduanya terdiam. Namun tiba-tiba sesuatu terjatuh dari atas, tepatnya


dari atas balkon lantai tiga, lebih tempatnya lagi balkon kamar Alisha. Ya Alisha
terjatuh dari atas balkon. Dia jatuh tepat di atas bebatuan yang ada di taman rumah
yang dijadiikan Alisha sebagai area kejar-kejaran dengan Keenan sebelumnya.

Keenan yang baru sadar itu adalah Alisha yang terjatuh segera
menghampiri Alisha. Keadaan Alisha kini sangat menkhawatirkan dengan semua
darah yang mengalir dari tubuhnya. Sebagian berasal dari kepalanya yang
memang merupakan bagian yang pertama membentu bebatuan.

“Ayah!!! Cepat panggilkan ambulans! Tolong!!!” Pinta Keenan pada


dokter Alfian yang masih berada di halaman rumah. Wajahnya mengisyaratkan
kekagetan yang luar biasa.

Sambil menelepon ambulans, dokter Alfian menghampiri Alisha.

“Ka Ke, aku itu bintang jatuhkan?” Tanya Alisha yang masih memiliki
kesadaran.

Keenan hanya mengangguk dengan wajah cemah dan mata berlinangan air
mata.

“Tapi… Kenapa jatoh dari kamar Isha aja sangat sakit?” sambung Alisha.

“Kata ayah aku bukan bintang jatoh. Kata ayah aku tidak berguna. Kata
ayah, ka Ke kehilangan bunda karena Isha. Maafin Isha ka Ke.” ucap Alisha yang
sedang berada dipangkuan Keenan. Kini Keenan merasakan suara Alisha
melemah.

Keenan hanya menggeleng.

“Ayah maaf membuat ayah sibuk. Maaf ayah kehilangan Bunda karena
Isha. Maaf Isha ga bisa pinter kaya ka Ke.” saat melihat wajah itu, dokter Alfian
baru menyadari wajah istrinya masih terpatri indah disana. Di wajah gadis
kecilnya yang merupakan titipan dari sang istri tercinta.

Dokter Alfianpun menggeleng menolak permintaan maaf Alisha. Karena


Alisha tidak salah. Dokter Alfian merasa menjadi orang yang sangat buruk,
bahkan untuk menjaga titipan istrinya saja dia tidak becus.

Penyesalan selalu datang di akhir, yaitu ketika semua kesadaran dan


keegoisan dalam diri seseorang telah benar-benar tersingkap. Meninggalkan
sesuatu yang awalnya dianggap salah menjadi benar, dan yang benar menjadi
salah.

Ambulans baru datang 15 menit setelah dokter Alfian menelepon. Namun


kematian menjemput Alisha sebelum ambulans yang menjemput. Alisha
dinyatakan meninggal karena cidera otak yang serius.

‘Isha akan kembali menjadi bintang. Kembali menjadi sebuah hal yang
kakak Keenan harapkan. Semoga ayah lebih mencintai Isha, dengan sosok Isha
yang berada bekelap-kelip disetiap malam. Semoga membuat kakak Keenan dan
ayah tersenyu saat memandangnya.’ itulah isi secarik kertas yang ditulis Alisha.
Kata Bi Inah kertas itu ditulis Alisha sendiri dengan susah payah dan dengan
kekurangannya yang baru saja bisa membaca dan menulis di usia 15 tahunan.
Bangkit Lagi
Oleh : Raihan Naufal

Nama gua Brian lengkapnya Brian Imanuel umur gua 17 tahun.Hobbi gua
main Futsal.Gua kelas 2 SMA dan gua sekolah di salah satu SMA terkenal di kota
gua. Gua suka futsal dari umur gua 8 tahun,dari SD gua selalu ikut pertandingan
hingga sekarang,sampai ada 1 kejadian yang membuat saya sangat kecewa.

Baru 2 tahun ini ada Liga Pelajar Futsal di kota gua dan itu ajang yang
sangat bergengsi dan ditahun pertama gua ikut tapi saying tim kami kalah.Disaat
itu saya berlatih terus rutin hampir seminggu 3 kali tim kami latihan dengan fokus
dengan fikiran ditahun depan kami menang.sampai saat ada turnamen sebelum
liga yaitu turnamen kecil-kecilan yang hanya ada 3 tim sekolah besar di kota
gua.Saat latihan kami optimis bermain dengan baik karena kata coach kami perna
berkata “Bermain ulu dengan baik insyaallah hasil tidak akan
mengecewakan”.Walaupun pelatih kami tidak mengincar juara hanya mengukur
kekuatan tim kami.

Dan pada hari itu tiba,kami sangat pede dan optimis bias juara 1 hari
itu.Priiittttt suara peluit wasit ditiupkan.Awal babak kami bermain dengan sangat
baik namun belum bias menghasilkan gol,tibalah di babak 2 stamina kami mulai
menurun dan permainan kami mulai ngawur dan kami kalah di posisi
terakhir,mungkin ini bukan pencapaian yang baik bagi kami.Pelatih bilang kita
harus mengevaluasi lagi tim

Saat H-15 pertandingan liga pelatih kita ada pekerjaan di Luar kota
otomatis kita ditinggal oleh pelatih kita untuk 10 hari kedepan dan susunan
pemain untuk liga pun belum di konfirmasi oleh pelatih.

Saya pun tenang karena saya yakin pelatih bakal membawa saya ke
pertandingan liga nanti.Setiap ada latihan saya izin tidak dating dan bermain
dengan teman-teman saya.Selama 10 hari itu ada latihan 4 kali dan saya hanya
dating satu kali.Ternyata kesombongan diri itu menjadi boomerang bagi saya.Saat
pelatih mengumumkan 18 pemain untuk pertandingan liga nanti nama gua tidaak
disebutkan.Dan saya langsung bertanya ke pelatih.

“Pelatih kenapa saya tidak ikut pertandingan liga?”

“Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Apa yang kau katakana aku tidak mengerti?”

“Begini ya aku tau kamu salah satu pemain yang hebat di kota ini tapi
kehebatanmu itu menjadi boomerang bagi dirimu sendiri, kamu bagus saya
mengakui itu tapi kamu sombong dan mengabaikan latihan.Saya lebih suka
pemain yang tidak punya skil tapi rutin berlatih dan rasa ingin bias menjadi
pemain futsal,bukan seperti anda bagus tapi sombong.”

Setelah itu saya sangat kecewa terhadap pelatih .Dan saya sangat benci
kepada pelatih saat itu dan ingin membuktikan bahwa saya pemain hebat ingin
menunjukan kepada pelatih bahwa dia kecewa tidak membawa saya kedalam
pertandingan.

Aku berlatih sendirian berlatih teknik,fisik,dan lainnya supaya menjadi


pemain hebat.

Namun saat aku beristirahat aku berfikir,benar kata pelatih kehebatan ku


menjadi boomerang.Aku langsung dating ke tempat latihan tim ku dan meminta
maaf kepada pelatih.

“Pelatih aku mengerti apa yang dibicarakan pelatih waktu itu.”

“Syukurlah kalau kau mengerti Brian”

“Iya pelatih,maafkan saya pelatih.”

“Baik, Next turnamen kamu ikut asal latihan mu serius.”

“Baik pelatih”
Pesan yang dapat diambil dari cerita ini adalah, sehebat apapun kamu jika
kamu sombong orang tidak akan suka denganmu dan bias saja jadi boomerang
buat dirimu sendiri,makanya jika kita punya kehebatan jangan somobng cukup
biasa saja biarkan orang lain yang menilai kita.
Arifal Parengkuan
Oleh : Regina Intan M

_______________________________

Ditulis 18 januari 2019 pada malam, dengan binarnya semua hatiku.

Tertanda sayang, Akasita Niadi.

“Ifal, aku bahagia kamu ada meski dari kejauhan sana”

___________________________________________

[25 mei 2018]

Sore hari, tapi tak tau kapan pastinya aku lupa. Sepertinya ada yang
mencari. Namanya di line Arifal Parengkuan. Oh, dia yang dulu pernah kenal
sebentar denganku. Kukira ada apa awalnya. Hahaha ternyata iseng dan ingin
kenal lagi katanya.

Hari itu aku masih sadar, aku masih dimiliki orang lain. Tapi degan tepat
ifal datang ketika aku tengah merasa jenuh dengan dia. Dia yang kumiliki dulu
namanya Gusti Rayhan. Lelaki yang mungkin di dunia per-posesif-an dialah
juaranya. Mei itu, tanggal 25 adalah hari ketiga kita berantem. Sejujur jujurnya,
aku kalah dengan jenuh. Sudah mulai ingin keluar dari zona Gusti. Sudahlah ya,
sifat Gusti selebihnya kalian yang mengira. Intinya posesif. Aku tidak ingin
membahas dia panjang panjang. Karena kini yang terpenting adalah...

[26 Mei 2018]

Hampir lupa. Yang paling bisa dirindukan itu, Mei adalah Bulan Puasa.
Rindu, rintik sendu ku. Ramadan kemarin, bawa aku kembali.
Oke malamnya, berlanjut obrolan di sosial media sama Ifal. Malam itu Ifal
ngajak teleponan. Ha! Malu. Baru satu hari kita ngobrol. Apalagi hanya di sosial
media. Kesemsem sih emang, tanyain aja Malaikat Rokib Atid ku. Duh, lupa lagi.
Waktu itu lupa aku masih punya Gusti. Tapi Gusti ... Sudahlah ya, kamu punya
Ifal hari ini.

“Assalamu’alaikum. Naon ieu sinyal, balikan deui telepona”

Telepon diakhiri.

Ifal : “Assalamu’alaikum”

Ita : “Waalaikumsalam Ifal”

Segitu saja ya yang aku bocorkan. Isi nya sampai akhir, mmm konyol
semua parah. Pertama kali bertukar suara sama Ifal. Ternyata ya Ifal itu...

[3 Juni 2018]

Hitung selang berapa hari dari tanggal 25 Mei sampai 3 Juni.

Waktu 3 Juni ada kejadian. Buka puasa yang bikin aku terkesan. Ifal
datang jemput depan rumah untuk bukber (buka berdua kata Ifal hehe). Sore jam
setengah enam-an, sebentar lagi jam buka puasa, Ifal bawa aku ke Warung
Upgrade.

Paling berkesan dan paling canggung sekaligus. Hari itu, Ifal kamu
ganteng. Makasih bawa aku ketemu buka berdua seperti ini. Sederhana, ita suka.
Malam, ita suka juga. Kamu, Ita juga mulai...

Ifal yang menulis menu. Dua piring nasi goreng, dengan sorai adzan yang
menjadi teman. Ifal dan aku makan di meja nomor 5, yang menghadap meja 4,
yang ada teman Ifal dan sangat malu. Tapi tak apa, ifal asal kita berdua saja
malam malam Ramadhan yang aku rindu pada jam ini juga.

Selesai makan, Ifal ngajak ke Mesjid Agung, Solat Maghrib katanya. Dari
Warung Upgrade kita jalan, Ifal megang bahu aku tanpa sengaja, mungkin. He,
kesemsem beneran. Tanya lagi aja malaikat Rokib Atidku.

Dan kemudian dengan mempercepat untuk menceritakan kejadian itu, kita


jalan dari Masjid tanpa tujuan, tanpa sekali. Akhirnya Ifal ngajak duduk pinggir
jalan, di Jalan Ahmad Yani.

Sudut pandang sebrang Goma Kitchen, restoran makanan Jepang gitu.


Kalau dari kamera, kita duduk sebelah itu, dengan seperempatnya terhalang mobil
Corola DX warna hijau. Ifal memandang ke sebrang.

“Ita, cape ya”

“Hehe iya fal”

Trotoar sedikit ramai karena sebentar lagi jam Solat Terawih. Namun
bukan menjadi pengganggu, Ifal terus mengajak ngobrol sampai seribu topik. Dan
kemudian Ifal merogok ke saku jaketnya.

“Ta, Ifal punya ini”

Kertas kecil berwarna biru. Seukuran kartu pelajar. Eh ternyata iya kartu.
Kartu ujian nasional. Ifal itu sudah lulus SMA sebenarnya. Lebih dua tahun
umurnya dariku.

“Hah. Buat apa ini Fal?”

“Simpan aja, nanti kalau ita kangen ifal tinggal liat kartunya”

Hahaha bisa saja dia. Ukuran foto tiga kali empat dia di pinggir kiri.
Berkumis tipis, senyum kecil pakai seragam SMA. Kesemsem lagi.
Masih ngobrol. Mungkin selama setengah jam melewati solat terawih.
Tetap di pinggir jalan, saling memandang jalan. Lampu kuning yang hangat
menghias mata Ifal ketika ku lihat. Suasana itu.

3 Juni, itu kejadiannya. Sederhana atau mungkin biasa saja. Tapi ita
menyukai. Akasita suka.

3 Juni yang sangat malam, berubah. Bukan lagi yang berkesan. Gusti
merusaknya. Kenapa Gusti lagi orangnya. Ternyata dia tahu aku jalan dengan ifal.
Tapi, Gusti marah padahal kita sudah tidak ada hubungan apapun, kembali
menjadi teman.

Di line :

Gusti : Mengirim foto

(foto aku dan ifal sedang jalan keluar dari Warung upgrade)

Gusti : Apa maksudnya, ta?

Ita : Kamu masih nanya? Kita kan udah ngga ada apa apa

Gusti : Tapi kan kita teman dekat

Ita : Kalau teman dekat kenapa? Sama saja seperti masih pacaran? Ga boleh deket
cowo lain?

Gusti : Kamu khianat.

[4 Juni 2018]

Sehari setelahnya, Ifal cerita tentang Gusti. Ga taunya Gusti nge- line ke
Ifal. Katanya, Gusti mau minjem aku besok pas di sekolah. Mau ngobrolin
masalah ini. Padahal apa lagi yang perlu diobrolkan. Sudah jelas Gusti yang
meminta kita menjadi teman. Manusia di bumi memang memusingkan.

Ifal menenangkanku. “Kalau besok ada apa apa telepon Ifal aja. Nanti ifal
jemput ke sekolah, ya. Sok ngobrol aja dulu besok biar jelas”

[5 Juni 2018]

Sekolah kedatangan tamu. Siswanya diminta datang dan mengikuti


seminar Konferensi Asia Afrika di gedung olahraga. Dimulai jam 9, teman teman
kelas sudah duduk di tribun sebelah kanan. “Ita, sebelah sini” tangan Anya
melambai.

Duduklah aku di situ. Gusti terlihat jelas ada karena dia duduk di bawah
tidak di tribun. “Ta, kamu jadi ngobrol sama Gusti hari ini?”

“Ga tau”

Malas, Gus. Tidak mau ngobrol dengan kamu lagi. Tapi Gusti mandang
Ifal ga positif. Mau tidak mau sih aku harus ngobrol agar Gusti tidak memandang
aneh aneh lagi kepada ifal.

Tiga jam berselang. Lelah selepas duduk lama lama tanpa alas. Dan lebih
lelah lagi ketika teringat harus ngobrol dulu dengan Gusti. Tapi lima belas menit
ku tunggu di ruang kelas, dia tidak ada. Sedikit bahagia, tapi tak lama Gusti
datang. Manusia tidak bisa ditebak, sebal!

Tanpa berbicara, Gusti memberi isyarat. Tangannya mengajakku keluar


ruang kelas. Karena di sana masih banyak teman yang lain. Mungkin ingin sedikit
butuh privasi. Oke.

Gusti tampak sudah duduk di koridor. Dia hanya terdiam. Dan aku duduk
di sebelahnya, terdiam juga.

“Ta, sebenarnya kita ini apa?”


“Apa sih Gus? Bukannya cuma teman?”

“Aku kira teman itu yang masih punya perasaan dan sayang. Tapi ita
mandangnya berbeda”

Ketika Gusti berbicara seperti itu, aku kesal. Yang namanya teman, ya
teman saja biasa. Tidak berbatas ingin dekat dengan siapa saja terserah. Kenapa
dia sebegitu tidak ingin kehilangan aku padahal dia berulang kali membuatku
sakit. Lagi lagi Gusti sudah tidak sepemahaman denganku.

“Gus, cewe mana yang kalau disebut teman bakal berharap lebih bisa
sedekat ketika pacaran? Tidak, Gus”

“Kamu khianat, Ta. Aku sakit kamu secepat ini ninggalin Gusti”

“Sudahlah, Gus. Cukup aku sakit gara gara kamu sampai sini saja. Kamu
juga sudah cukup menyia nyiakan ku enam bulan terakhir ini”

“Tapi Ta. Aku sayang kamu, sepenuh hati”

“Sayang tapi tak sepaham itu hal yang percuma”

Dan hening lagi. Tidak ada yang memulai bicara. Entah dari Gusti yang
mulai menangis, dan aku yang mulai memikirkan Ifal. Kemudian dia masuk ke
dalam kelas. Sepertinya mengambil sesuatu dan nampak mengobrol sebentar
dengan Gio. Dia pun keluar dan melempar beberapa cetakan foto kita berdua dulu
ketika masih tidak banyak masalah.

“Apa maksudnya semua ini Ta?”

Aku makin lelah menjawab. Aku hanya diam dan beropini dalam hati.
Gus, hanya beberapa cetak foto yang kita tinggalkan, bukan suatu hal yang besar
yang harus dipertimbangkan ketika aku harus meninggalkan mu atau tidak.
Hening kembali mengalahkan kita. Tiba tiba dia memecahkannya,

“Ta, kalau kamu udah ga sayang sama Gusti kamu boleh robek semua foto
ini”
Ya tanpa mikir lagi, beberapa detik aku langsung merobek semuanya
dengan acak. Bukannya bertindak tega. Teman, aku sudah tidak sayang lagi
semenjak sebulan lalu karena kamu sudah terlalu banyak menciptakan luka.

Setelah merobeknya, lekaslah aku kembali ke ruang kelas. Menanyakan


kabar ifal lewat handphone. Dan sangat ingin ingin ingin pergi dari muka Gusti.

Di Line :

Ita : Fal dimana? Jemput Ita di gerbang belakang sekolah

Ifal : Oke Ta. Tunggu di situ.

Gusti terlihat seperti masih ingin berbicara. Namun kupikir semua sudah
jelas. Dan akan selalu ada jawaban ketika banyak orang lain yang bertanya
tentang bagaimana aku dengan Gusti sekarang. Selamat tinggal, Gus. Cari saja
yang lebih sepemikiran denganmu.

Hanya sepuluh menit, Ifal datang. Dengan motor tinggi berwarna hijau tua
yang dia pernah cerita, milik ayahnya dulu. Helm barunya dia pakai, hampir tak
ku kenali tampangnya. Tepat di depanku, terparkir. Langsung aku naik, karena
tidak ingin Gusti mengetahui hal ini.

“Siap, Ta?”

“Ayo”

Di motor, tak sengaja ku pegang pinggang sebelah kanannya, karena tiba


tiba dia rem mendadak. Kulepaskan lagi karena setelahnya sadar, itu belum jadi
hal yang wajar. Hehe malu Fal.

“Ta, gimana tadi sudah jelas?”

“Iya gitu aja sih”

“Yaudah, udah males bahas ya ta?”


“Paling males itu dia, mening sama kamu hehe”

“Wahh iya Ta”

Refleks. Wajar tidak ya kalau berkata seperti itu dengan hanya baru
sepuluh hari dekat. Semoga tidak apa apa.

Ifal kau tahu? Pertama kamu menyelamatkanku dari hari yang hampir
buruk itu. Dengan hanya menopang di belakangmu, mendengar riuh ceritamu hari
itu, dan sekali kali melihat wajah coklat mu di kaca spion. Aku suka. Terimakasih.

[6 Juli 2018]

Tidak terasa, sebulan ya Fal. Arifal Parengkuan. Ketidaksengajaan nemu


kontak line. Konyol kamu.

Hari ini, Ifal bakalan pergi ke Kediri. Sebelumnya sudah direncanakan saat
dia masih kelas dua belas. Mengisi waktu yang kosong katanya, sebelum masuk
Universitas. Di Kediri ada Kampung Inggris katanya. Mau belajar di sana.

Malam hari dia diantar papa nya sampai ke Stasiun Kediri. Nanti di sana,
Ifal sendirian selama dua minggu. Dia mengirim lokasi langsung. Ku lihat layar
handphone sambil meminum susu hangat, semakin jauh. Sampai akhirnya jam 1
malam, total jauhnya 455 kilometer. Mau di sebut LDR, kita bukan pasangan.
Tapi pasti ada rindu, dari pertama Ifal pergi pake kereta. Baik baik di Kediri.

[12 Juli 2018]

Pagi, sepagi mungkin, aku pergi ke toko kue. Beli bahan bahan, iseng
ingin bikin kue. Di sana, adanya adonan brownies. Kuputuskan membuat itu saja.
Setelah di rumah, dengan tidak membuang waktu, langsung aku buat kue
brownies. Tidak sendiri, dibantu mama ku. Sebenarnya aku sedang sakit, pusing
dan flu sedikit. Tapi ingin buat kue, tak apa ya.

Agak susah ternyata. Tapi Alhamdulillah selesai siang jam dua. Ukuran
kue nya kecil saja, dibagi menjadi beberapa bentuk. Aku simpan di lemari es. Ku
buka nanti malam.

Setelah maghrib, ternyata ada pertandingan timnas u19 semifinal dengan


Malaysia. Sampai lupa ingin buka kue brownies tadi. Mulai aku bawa krim,
menulis ala ala di atas kue tersebut. Kusimpan lagi ke dalam lemari es. Menjelang
tengah malam, aku ingat kue itu lagi, ku bawa kue dan dua lilin ke kamar. Ifal
ulang tahun 13 Juli esok. Sengaja aku buat kue kecil, merayakan dari jauh sini.
Ifal, maaf sesederhana ini.

11.59 malam, aku menelepon ifal. Takutnya dia sudah tertidur atau sedang
mengerjakan tugas. Dia mengangkat telepon. Aku memencet video call. Dengan
lilin yang sudah menyala, ifal merasa terkejut sedikit kelihatannya.

[13 Juli 2018]

“🎼Selamat ulang tahun,

Selamat ulang tahun

Selamat

Ulang tahun

Slamat ulang tahun”

“Tiup ta lilinnya”

“Tiup bareng bareng ya”


“1, 2, 3”

Woooooosh.

Kita mengobrol sebentar sekedar mengucapkan selamat delapan belas


tahun. Dan tidak lama menutup telepon karena sudah malam dan khawatir aku
semakin drop.

Di line :

Ita :

Happppppppyyyyyyyyyyy

Happy apa ya

Mau kamu apa

Tanggal 13 nih

Happy birthday aja ya

Wah

Udah 18 taun

Si tua

Baik baik ya di Kediri

Ita nunggu di garut

Hahaha
Wish nya:

Sama Ita terus aamiin

Ifal : Hehehe makasih ita, aku sayang ita♥

Ita : Sama sama Ifal. Baik baik ya di Kediri, cepet pulang itu aja

Kemudian aku terlelap tidur karena sangat cape membuat kue dan tidur tengah
malam.

[20 Juli 2018]

Jum’at ini Ifal pulang dari Kediri. Berdua sama temennya dari Bandung,
pake kereta. Ifal, aku rindu. Dua minggu saja sangat lelah. Apalagi nanti ya kamu
sudah masuk Telkom. Hmm.

Di Line :

Ita : Fal, sabtunya main bisa?

Ifal : Ita kangen?

Ita : Iya kalau ga bisa gapapa fal

Ifal : Ifal masih cape mungkin Ta. Hari minggu aja

Ita : Oke Fal. Istirahat aja ya, aku kangen

Dan dua hari kemudian, kita bertemu lagi setelah sekian lama. Berharga
sekali rasanya waktu itu. Ingin terus berdua saja.

[10 Agustus 2018]


Waktunya Ifal masuk ke Telkom tiba. Hari itu, check-in asrama. Dia
dianter papahnya. Tidak tahu harus sedih atau gimana. Bakalan jadi hari hari yang
sepi di Garut tanpa dia.

Mulai 10 Agustus itu, hari pertama aku ngerasain bagaimana yang


namanya jauh untuk waktu yang lama. Begini ya, aku dengan Ifal itu belum ada
hubungan apa apa sampai sekarang. Rasa takut, banyak. Tapi aku tidak ada hak
menuntut apapun dari dia. Ku taruh percaya di hati, bahwa ifal tidak akan apa apa
di sana. Tenang, Ita.

Dua hari setelah check-in ifal udah mulai ospek dan segala macam. Dia
bisa semangat di sana.

Sampai sampai di line, kita buat janji di notes :

Janji Akasita dan Arifal

1. Gaakan ninggalin

2. Saling Percaya

3. Selalu ketawa

4. Arifal punya Akasita

5. Akasita punya Arifal

6. Jangan jaim

7. Akasita adalah teteh

8. Arifal adalah dede

9. Akasita adalah Ita

10. Arifal adalah Ifal


11. Tiap hari kangennya nambah

12. Ketemu pertama 3 juni

13. Paling ga bisa dilupain jam 7 malem di sebrang Goma Kitchen

14. Jangan ada belik diantara kita

15. Kalo waktu luang ketemu.

Oke banyak yang melenceng. Tapi itulah yang membuat Ita ketawa
sekencang sebisa Ita. Dari jauh, ga kelewat tiap hari Ita pasti ketawa.

Janji itu, Fal jaga sepenuhnya ya. Di Bandung inget aku ada di sini.
Selayaknya Ifal selalu ada di hati Ita.

[21 Agustus 2018]

Persiapan Idul Adha ramai. Malam ini malam Takbir. Di rumah pun,
mama masak daging dagingan, dengan tumbennya bahkan sampai tengah malam.
Wonder woman!

Sadar aku, besok hari ulang tahunku ke enam belas. Sengaja saja seperti
orang orang, sebagai yang bertambah umur, menunggu pergantian hari. Tengah
malam itu di temani suara masak di dapur, Ifal meneleponku. Sebenarnya sudah
dari sejam yang lalu. Di telepon itu dia berbohong dan dia ketauan.

“Kamu ga pulang ya? Padahal besok Idul Adha.”

“Engga nih, masih banyak tugas di sini.”

“Kamu dimana?”

“Di asrama”
` “Masa sih ga pulang. Idul Adha ini”

“Iya Ta kan aku...”

Tiba tiba ada suara perempuan yang teriak, seperti yang ketakutan melihat
kecoa. Ifal di situ tertawa dan aku curiga. Ku kira dia membawa perempuan lain
ke asramanya. Dasar.

“Suara siapa itu?”

“Bukan siapa siapa”

“Kamu bawa cewe?”

“Engga, Itu suara Teh Dian”

“Ih kamu di rumah?”

“Hehe iya Ta”

“Kamu ngebohong ih”

“Ah gagal euy”

Curiga aku dia pulang tidak bilang. Awalnya mungkin ingin memberi
kejutan, ifal tiba tiba ada di sini. Hahaha gagal kamu kali ini, payah.

Tak lama, telepon diakhiri.

[22 Agustus 2018]

Seperti biasa, banyak yang mengucapkan selamat ulang tahun. Termasuk


Ifal dan teman teman yang masih belum tertidur. Iya, hal yang biasa tentunya.
Jam setengah dua dini hari, aku belum kunjung tertidur karena asyik
menjawab chat satu persatu. Haduh hari ini enam belas tahun, akan seperti
menyebalkan apa aku di tahun ini.

Ku bangun, biasa. Disuruh menyapu dan membereskan rumah. Kaya


nothing special hari ini. Memang tradisi keluarga juga yang jarang merayakan
ulang tahun. Iya, pada keluarga aku tidak curiga apapun.

Sebelum mandi, banyak sekali sate ayam dan semangkuk sambel matah
menggoda. Ku habiskan sepuluh tusuk dengan kerupuk.

Keponakan, om dan tante datang sekitar dua jam setelahnya. Setelah aku
mandi tentu. Om dan tante hanya makan sebentar dan langsung pergi lagi dan aku
tidak tahu kemana. Keponakan kecil nya di rumah, ku gendong kemana mana.

Handphone ku, penuh dengan ucapan. Aku terus ngobrol dengan Ifal di
Line. Seperti biasa saja. Aku sudah mengira ifal akan merayakan, tapi dengan
mengajakku ke sebuah tempat, perkiraanku.

Satu jam kemudian, om dan tante membawa kotak agak besar, aku yang
pertama menerimanya. Ih, kue ulang tahun! Langsung aku teringat mama. Ini
mama ini yang beli. Tidak menyangka saja, selama enam belas tahun, pertama
kali aku di beri kue. Ah mama, aku sayang.

Idul Adha hari itu. Aku terus makan, banyak sekali. Hingga aku
mengantuk terlalu banyak makanan masuk ke mulutku. Akupun tertidur jam dua
siang, di samping handphone ku. Tidur pun, karena mungkin ifal tidak jadi
memberi kejutan karena sudah terlalu sore.

Ifal 16 missed calls.


Aku langsung membuka Handphone dan memberi kabar pada Ifal.
Ternyata Ifal di depan rumah. Aku baru saja terbangun, mukaku kusut dan malu
sekali. Aku berani, akhirnya keluar rumah. Tidak tepat di depan rumah, kurang
sedikit. Menunggu kabar dariku dulu mungkin. Empat orang datang masuk, ku
kira dia hanya sendiri. Sudah curiga sih, bakalan memberi sesuatu.

“Ta, aku nunggu setengah jam loh”

“Yah, maaf fal. Tidur hehehe”

Sore itu, sama Ifal dan kue gambar beruang yang manis, aku suka lagi. Ifal
menyalakan lilin angka satu dan enam. Kita tiup sama sama, dan make a wish
sama sama.

Malamnya,

Di line:

Ita : Fal, makasih ya

Ifal : Gagal tapi, ta

Ita : Gapapa, kamu ke rumah nya ga gagal kok

Ifal : Hehe berhasil

Setiap kata kata sederhana, perbuatan sederhana dia, tak pernah aku tak
menyukainya. Mungkin semua, jiwa raga hati Ifal.

________________________________

Semua berjalan seperti biasa. Dua orang yang bukan pasangan tapi bisa
disebut pasangan teman. Sudah hampir setengah tahun sama Ifal, sangat tidak
terasa. Bulan Desember.

Dari Bulan November, Ifal denganku sedang sangat suka lagu hujan di
Bulan Desember milik efek rumah kaca. Bulan November yang sering hujan,
ditambah dengan lagu kesukaannya, aku merindu. Sampai Bulan Desember, lagu
itu tetap menduduki posisi pertama sebagai lagu paling disukai Ifal dan Ita, dalam
keadaan jauh. Ifal di Bandung dan Ita di Garut.

[31 November 2018]

Hari itu aku tengah mengikuti Penilaian Akhir Semester. Sebentar lagi
waktu libur, dan sebentar lagi naik ke kelas dua belas. Karena itu hari terakhir,
aku, Anya, dan Cia, pergi main kaya biasa. Pergi kemana saja.

Ditengah perbincangan saat sedang menunggu pesanan, Cia katanya ingin


ngomong serius denganku. Aku taruh telinga karena harus mendengarnya baik
baik.

“Ta, katanya ifal sering chat dengan cewe lain”

Kaget. Hanya itu, aku terus bertanya pada Cia siapa kapan dan bagaimana
pastinya. Sampai akhirnya, semuanya sudah jelas.

Ifal, aku tahu aku bukan sepenuhnya milikmu. Kamu tak bisa ku atur
seinginku. Tapi, kalau kamu merasa aku tidak cukup seperti orang lain, kamu
boleh memilih siapa yang pantas. Aku tidak akan memaksamu terlalu sempit,
tidak menekan kamu supaya terus bersamaku.

Semesta, akankah sampai isi hatiku?

Kepada Arifal malam ini

Sebelum dia terlelap tidur

Bahwa di sini, Akasita begitu cemas

Yang cemas secemas cemasnya

Aku harap dia hati hati


Seperti aku berhati hati di sini, menjaga hatinya

31 November Malam, Akasita Niadi.

[1 Desember 2018]

Awal bulan ini, aku ada di Bandung. Sekedar melupakan dulu semua
pikiranku. Semoga terobati hari itu.

Dan sial nya tidak sama sekali. Walaupun aku bersikeras seperti tidak apa
apa di hadapan ifal, tetap pikiran itu ada. Apalagi masih terlalu lama menunggu
waktu bertemu. Ifal masih banyak tugas di Telkom, sekitar seminggu lagi.

Bandung, hari ini aku di atasmu. Dia juga. Kuharap isi hatiku akan cepat
sampai, karena lumayan dekat. Langit, bantu Bandung ya. Aku mendo’akan
kalian.

[2 Desember 2018]

Ini hari kedua. Sekarang sudah di Garut. Tapi Ifal belum saja peka
semuanya. Semakin jauh untuk menyampaikan ini. Bagaimana selanjutnya
chatting mereka? Lebih ramaikah notifikasi nya di banding kolom chat ku?

[3 Desember 2018]

Sama

[4 Desember 2018]
Sama

[Sampai 14 Desember 2018]

Hari itu bertemu dengan Ifal lagi. Sebernarnya, dari 7 Desember Ifal sudah
di sini. Dan apa kabar denganku? Belum berani mengatakan hal itu.

Bertingkah biasa tapi sebenarnya ada masalah sangat sulit ternyata. Aku
hari itu, tidak ada bedanya hadapan dia. Senyum, tertawa, dan sama sama
membuat guyonan meski masam. Sakit sebenarnya, tapi ya sudahlah.

[Malam akhir Desember]

Tiba tiba, otak dan hatiku berubah malam ini. Mereka menyuruhku :

Ita, ini otakmu

Ini dengan hatimu.

Ta, dia mungkin cerita dari dunia mu

Tapi jangan ragukan apakah dia juga begitu?

Maafkan dulu, sederhanakan ego kamu

Kamu bisa berpikir, mungkin kamu yang nomor satu

Bumikan dulu ragamu

Damaikan semua yang berseteru

Biarlah hal kecil seperti ini jadi tanggunganmu

Tapi perlahan kikis


Masalah sekecil itu tidak pantas berada di aliran darahmu

Menyamai manusia – manusia yang kau sayang.

Untuk Ifal, siapapun nomor satunya, aku hanya butuh waktu – waktu kita
berdua. Berbicara alakadarnya yang bukan tentang kita. Aku butuh riuh suaramu,
bercerita lelahnya hari itu. Cukup aku yang menjadi tempat berpulang. Aku tak
butuh perbincangan di cafe sore hari, hanya sangat cukup berbincang di warung
nasi goring pinggir jalan. Tidak peduli aku ada di nomor berapa, aku hanya ingin
jadi rumahmu.
“träumen”
Oleh : Reinetha R Wafa

“ Dalam perjalanan untuk menggapai impian…


yang berujung ke tujuan, yang tidak pernah kita duga ”

-Amouris Café, Berlin, Jerman-

Hari masih pagi. Salju turun cukup lebat, menandakan matahari benar-
benar tidak akan muncul dengan terang hari ini. Jalanan kota Jerman sudah ramai
dengan hiruk pikuk kendaraan yang seolah tidak ada hentinya bergerak kesana
kemari. Seorang laki-laki berperawakan tinggi tampak menyesap kopi panasnya
dalam diam. Bola mata kecokelatannya tampak menari-nari menikmati
pemandangan yang berkelebat di luar jendela café itu. Sepertinya ia sedang
menunggu seseorang.

Suasana café sangat sepi. Tidak ada pengunjung lain selain dia dan aku.
Mungkin karena terlalu pagi sehingga café masih sepi. Ya, ini memang hari libur.
Tapi café ini selalu sepi. Jadi ku sempatkan datang ke café untuk menikmati hari
libur ini tanpa ada gangguan.

Setelah 5 menit ia terduduk disana. Tepat di hadapan laki-laki itu telah


duduk seorang gadis cantik dengan rambut kecokelatan bergelombang. Gadis itu
mengaduk milkshake strawberry-nya tanpa minat sambil berbincang dengan laki-
laki itu. Mungkin itu pacarnya? Aku tidak peduli.

- oo -
- Sekolah Regensburg, Jerman-

Tak terasa setelah kemarin aku menghabiskan waktuku di café, aku harus
kembali untuk melanjutkan kuliahku. Aku sudah 3 tahun berada di Jerman tanpa
di temani kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia saat mendengar bahwa aku
akan melanjutkan sekolahku di Jerman. Ya, mereka sangat ingin anaknya ini
menggapai impiannya dan sukses kedepannya.

Musim salju telah berakhir, Pagi sebelum matahari terbit datang ke


sekolah memang sudah kebiasaanku dari dulu. Di sekolah ini para siswa beradu
gengsi, mereka selalu datang ke sekolah dengan mobil yang sangat mewah dan
diantar oleh para supir mereka. Mungkin hanya aku yang berjalan kaki atau
menaiki angkutan umum. Karena memang, aku diterima di sekolah ini karena
ilmuku bukan karena uang.

“Mala!” teriak seseorang yang membuat badanku berputar menghadapnya.


“Astaga! Mengapa kau sudah datang sepagi ini?” jawabku sambil
membulatkan mataku karena terkejut akan keberadaannya.
“Hey, Mala Valdemar, Jika aku tidak boleh datang sepagi ini lalu mengapa
kau datang lebih pagi dariku hm?” godanya sambil mengodok sesuatu didalam
tasnya.
“Kaupun tau alasannya Risa Bomsbt” jawabku menundukkan kepalaku.
“Aku baru saja membeli buku ini kemarin, mau ikut membaca?” ia
mengeluarkan 3 buku yang sebagiannya adalah buku novel.
Dia sahabatku, Risa Bomsbt. Dia lahir di Jerman, namun kedua orang
tuanya tinggal di Indonesia. Sama sepertiku. Namun dia masuk sekolah lewat
jalur uang. Memang, dia kurang pintar tapi dia sangat menarik. Dengannya aku
selalu tau apa kehidupan.
Aku berjalan sendirian menuju kelas, karena 10 menit lagi kelas akan
dimulai. Hari ini memang pelajaran yang Risa tidak sukai. Makanya ia selalu
bolos dan selalu mendapat nilai F. Bukan hanya pelajarannya, tapi gurunya juga
Risa sangat tidak suka.

- oo -
“Selamat Pagi” seseorang bertubuh tinggi dengan jas berwarna hitam dan
tas yang digendongnya memasuki kelas dan menyapa para siswanya. Namun
keliatannya ia tidak sendiri, ia membawa seseorang. Mukanya sangat tidak asing.
Sepertinya aku pernah melihatnya.

“Perkenalkan, dia siswa pindahan dari Indonesia. Kalian bisa berteman


baik dengannya. Silahkan duduk ditempat yang nyaman untukmu, Disebelah Mala
mungkin” Guru Ellrich menyuruh siswa baru itu untuk duduk disebelahku.

Aku tersenyum padanya saat ia hendak duduk disebelahku, namun ia


mengabaikan senyumanku. “Astaga, jutek sekali orang ini” batinku. Aku
mengulurkan tanganku Yang berarti mengajak berkenalan dengannya.
“Halo? Namaku, Mala Valdemar” sapaku.

Sepertinya ia mengabaikanku. Kedua kalinya aku mengucapkan dan


mengajaknya berkenalan tapi ia tetap mengabaikanku “Jutek sekali, mana
mungkin ada yang mau berteman dengannya” batinku sekali lagi.

- oo -

Bel pulang berbunyi. Aku dan Risa duduk disebuah taman dekat sekolah.
Terlihat seorang laki-laki yang sedang tertunduk dibawah pohon. Sepertinya aku
mengenalnya. Ya, Mungkin saja itu laki-laki tadi yang jutek.

“Ris, kau lihat laki-laki yang disana?” tanyaku.


“Tentu, akukan punya mata” jawabnya sambil sibuk memainkan
handphonenya.
“Aku sudah bertemu dengannya kemarin di café”
“Benarkah?!” ia menutup handphone nya dan mengalihkan pandangannya
padaku.
“Ya, kemarin dia datang pagi sekali, kalo tidak salah ia bertemu seorang
gadis. Aku tidak tau gadis itu siapa namun mereka terlihat dekat. Aku lihat
kemarin dia terlihat asik. Tapi sekarang ia terlihat sangat jutek” jelasku.

“Apa kalian membicarakanku?” suara yang terdengar sangat berat


mendarat ditelingaku. Aku meliriknya, terlihat seorang laki-laki tinggi berpakaian
kemeja dengan sepatu berwarna hitam tepat didepanku. Mengapa ia tahu bahwa
kami sedang membicarakannya? Apakah dia seorang peramal? Ah tidak mungkin.
“Mengapa kau tahu?” Tanya Risa gugup.
“Jadi kalian benar membicarakanku? Astaga, padahal aku hanya
bercanda.”
“Mengapa saat ada Risa ia terlihat sangat bahagia dan terbuka? beda
dengan tadi saat aku mengajaknya berkenalan” batinku sambil terus
memandangnya dengan keanehannnya.

- oo -
Setelah pertemuannya denganku dan Risa kemarin, ia lebih sering makan
dan bergabung bersama kami. Meskipun aku tidak terlalu dekat dengannya tapi
Risa terlihat sangat bahagia. Berbeda dengan Risa yang dulu, tidak sebahagia ini
sebelumnya. Tak terasa, 1 tahun aku bersama mereka bertiga. Namun, tak pernah
sekalipun aku berbincang dengan laki-laki itu. Bahkan nama lengkapnya pun aku
tak tahu. Yang aku tahu “Mikkel” Risa selalu memanggilnya dengan nama
Mikkel. Ia masih terkenal dengan kejutekannya.

Tidak terasa juga, 4 Tahun aku berada di Jerman dan sebentar lagi menuju
kelulusan. Ya, tepatnya besok. Kami lulus dari sekolah ini. Sepertinya kami akan
berpisah. Risa akan melanjutkan sekolahnya di Vietnam. Mikkel? Aku tidak
pernah tahu apa yang ia rencanakan.

“Apa impian kalian berdua?” tanyaku.

“Bertemu kalian dialam yang berbeda” jawab Mikkel.


“Hey! Bercanda kau berlebihan” ucap Risa sambil menepuk bahu Mikkel.

Aku dan Risa tertawa lepas, berbeda dengan Mikkel ia terlihat melamun
dan sedih. meskipun sebentar lagi kami akan berpisah, Namun kami sudah
berjanji. Genap 2 Tahun kami bersahabat, kami akan bertemu kembali. Disini di
Sekolah yang menyimpan banyak kenangan, dimana kami bertemu dan bercanda
tawa bersama. Meski aku tahu, bahwa Mikkel sepertinya semakin tidak suka
padaku. Namun, Mikkel selalu mempunyai pikiran yang berbeda, yang tidak kami
duga.

-Amouris Café, Jerman-

Pagi ini, pagi terakhirku di Jerman. Air mata terus mengguyur wajahku.
Berat rasanya meninggalkan Risa dan Jerman begitupun dengan Sekolah
Regensburg, Dimana aku banyak meninggalkan banyak kenangan. Namun, apa
daya. Aku harus kembali ke Indonesia bertemu kedua orang tuaku dan
melanjutkan pekerjaanku setelah aku lulus dari Sekolah Regensburg. Begitupun
dengan Risa, ia akan memulai penerbangannya dengan pesawat Lufthansa 5 menit
lagi. Aku akan selalu berdoa bahwa ia baik-baik saja.

Sama seperti biasa, café ini masih terus terlihat sepi pada pagi hari. Namun
kesepian itu tiba-tiba hilang, saat seorang laki-laki masuk dan duduk tepat
didepanku. Bagaimana mungkin aku tidak terkejut? Ia adalah Mikkel. Seseorang
yang selama ini selalu mengabaikanku berada tepat didepanku, serta
memandangku

“Kau akan kembali ke Indonesia?” untuk pertama kalinya ia menyapa dan


berani menatapku.

“I-iya, bagaimana denganmu? Apakah kau juga ikut kembali ke


Indonesia?” jawabku gugup.

“Tidak, Jaga dirimu baik-baik” ia lalu pergi tanpa mengucapkan selamat


tinggal padaku.
“Mikkel, Tunggu” teriakku,tak peduli bagaimana orang-orang melihatku.
Mikkel menghentikan langkahnya lalu membalik badannya. Aku menghampirinya
dan berlari.

“Mengapa kau baru berbicara denganku hari ini? Kemana saja 1 tahun
yang lalu? Kau hanya asik dengan Risa tanpa memikirkanku? Apa kau tidak mau
berkenalan denganku? Kau tidak mau berbicara denganku?”

“Aku mengabaikanmu karena aku takut kehilanganmu” jawabnya sambil


memelukku. Namun ku lepaskan pelukannya.

“Apa maksudmu?” Tanpa menjawab pertanyaanku, dia keluar dari café.


Sebelum ia keluar ia memberikan sebuah sapu tangan yang bertuliskan namaku.
Aku tidak pernah mengerti apa yang dipikirkannya, dilakukannya dan yang ia
katakan.

- oo -
-Bandara Rhein-main, Jerman-

“ Penerbangan 10 menit lagi akan dimulai, kepada para penumpang


untuk segera bersiap-siap dan memasuki Pesawat “

Meskipun aku mendengar bahwa mereka sudah menyuruhku untuk segera


bersiap siap dan memasuki pesawat namun sepertinya badan ini sangat sulit untuk
beranjak dari kursi ini. Ku hirup nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya
sambil berjalan menuju Pesawat. Dari jauh terlihat para penumpang sudah mulai
memasuki Pesawat. Ya, tinggal giliranku. Langkah demi langkah, Aku mulai
menaiki tangga-tangga pesawat dan duduk disamping seorang wanita paruh baya
yang terlihat sangat lemas tanpa ekspresi.

“Apa kau baik baik saja?” tanyaku.

“Tidak, Aku sedang memikirkan keluargaku disana”

“Memangnya kenapa?”tanyaku lagi.


“Hanya beberapa waktu lagi, aku akan meninggalkannya selamanya”
jawabnya sambil menghapus air mata yang sudah terlanjur membasahi wajahnya.

Apa yang dimaksud nenek ini? Akan meninggalkan keluarganya selamanya?


Mungkin ia hanya meratapi nasibnya dan menghabiskan sisa hidupnya dengan
berbicara seperti itu.

Pesawat sudah mulai lepas landas, air mataku ternyata jatuh lagi. Mengapa
aku sangat sulit meninggalkan tempat ini? Padahal tempat lahirku sebenarnya
adalah Indonesia. Harusnya aku bahagia karena akan menemui keluargaku.
Mungkin aku terlalu nyaman dengan Negara itu sehingga melupakan tanah airku
sendiri.

“ KRING… KRING…. ”

Dering handphoneku yang menandakan ada sebuah pesan singkat,


membangunkanku. membuat mataku kembali terbuka. “Cepatlah Ibu sangat
merindukanmu, jangan terlalu lama tinggalkan ibu” Ternyata sebuah pesan dari
Ibu mungkin ia sangat tidak sabar menantikan kedatanganku. Aku tidak sempat
membalasnya karena pulsa yang tidak cukup untuk membalas sms itu. Akupun
segera membuka BBM untuk membalas pesan ibu.

“Astaga, berapa lama aku tidak membuka BBM? Begitu lamakah? Banyak
sekali yang mengirimkan pesan padaku” ucapku pelan sambil menghela nafas.

“Sepertinya ini bukan sebuah pesan, namun sebuah Broadcast yang


ditujukan untuk semua orang dan bukan untukku saja. Mungkin sesuatu yang
sangat penting.” Lanjutku berucap.

Baru saja aku berniat membuka pesannya, namun hatiku terasa sangat
tidak yakin. Tiba-tiba badanku bergetar mengikuti pesawat yang tiba-tiba tak
terkendali. Teriakan para penumpang sangat terdengar jelas ditelingaku. Suara
tabrakan yang sangat keras mendarat jelas ditelingaku. Apa yang sedang terjadi?
Apakah aku berada dalam Mimpi? Bukan, ini sebuah kenyataan. Aku berteriak
kebingungan. Wanita paruh baya disampingku memegang erat tanganku.
“Semoga tuhan selalu ada bersama kita” wanita itu meneteskan air mata
lalu menutup matanya.

“Selamat Tinggal Risa Mikkel, semoga impian kalian tercapai” ucapku


pasrah tak berdaya.

- oo -

“ Pesawat Lufthansa baru saja dikabarkan hilang kontak, Bagi para


keluarga dari penumpang pesawat Lufthansa diharapkan segera menuju
Bandara, Dan untuk para penumpang yang sedang dalam Penerbangan
diharapkan untuk memberi tahu Pilot agar berhenti sejenak karena situasi yang
tidak memungkinkan ”

Ya, itulah pesan yang belum sempat kubaca. Lufthansa adalah pesawat
yang dinaiki oleh Risa. Lalu? Ia sekarang berada bersamaku. Berada di alam yang
berbeda. Alam dimana kami sudah tenang. Bagaimana dengan Mikkel? Kami
hanya perlu menunggu nya, mungkin beberapa saat lagi? Janji dan Impian kami
tidak akan pernah terhapus ataupun terlupakan. Kami akan bertemu kembali saat 2
tahun genap kami bersahabat.

“Sekarang aku mengerti, apa yang Mikkel katakan” ucapku.

“Ya, impian dia tercapai juga” senyum Risa.

- oo -
“ Terkadang sesuatu yang kita anggap tidak mungkin terjadi bisa saja terjadi.

Berpikir bahwa itu mustahil kadang menjadi kenyataan.

Pikiran dan ucapan orang lain yang tidak pernah kita mengerti

Pada suatu saatpun pasti kita akan mengerti.


Seperti impian bukan?

Impian seseorang yang tidak begitu berarti

Begitu cepat Menjadi kenyataan

Selamat Mikkel, Impianmu menjadi kenyataan”


Hidup yang Berarti
Oleh : Rizki Nur Indah Sari

“Kita sebentar lagi lulus SMA tau,,, seneng banget bakal cepet masuk
Universitas Dim.”

“Iya Ra, kamu tuh semangat banget. Kamu ga sedih apa? Kamu bisa aja
jarang banget ketemu temen-temen kamu.”

“Tau kok Dim. Yang namanya hidup, disetiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Aku ini bukannya ga sedih. Cuman hidup juga harus realistis. Kalo
berpisah karena mengejar mimpi untuk masa depan dan kita semua akan sukses,
kita semua bisa kumpul bareng lagi. Aku juga ga sabar untuk hal itu.”

Dimas hanya tersenyum dengan apa yang dikatakan Rahmania. Iyaa,


Rahmania sebegitu realisitisnya agar tidak menykiti hati nya ketika sesuat terjadi.
Entah itu hal yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan.

Rahmania berniat berkunjung ke rumah Julia minggu nanti untuk


menjemputnya dan pergi bersama ke toko buku.

Hari Minggu pun tiba,

“Ra, hari ini jam 10 jemput lho ya… kamu kan udah punya SIM.
Wkwkkw” pesan Julia untuk Rahmania

“Iya bos, siap siap. Segera laksanakan. Hm.” Balas Rahmania

Setelah bersiap, Rahmania mengeluarkan motornya dan ya, Dimas sepupu


Rahmania pun menghampiri nya karena rumah mereka yang berhadapan.

“Kamu mau kemana ra?” Tanya Dimas sambil membantu Rahmania


mengeluarkan motornya

“Ke toko buku dong bareng Julia.”


“Hm, hati-hati kamu di jalan Ra.”

“Iyya Dim, pasti. Aku berangkat ya. Dadah” Rahmania pergi dengan
membunyikan klakson motonya.

Rahmania pun tiba dirumah Julia dan membunyikan klakson motornya


untuk memberi tanda bahwa dia sudah tiba. Julia pun keuar rumah.

Mereka pun berangkat. Setibanya di toko buku

“Aku mau nyari buku dulu ya Ra, kamu bebas udah di sini. Anggap aja
mall sendiri wkwk”

“Dasar kamu Jul. Kita ketemuan di mana setelahnya Jul?”

“Di depan toko buku aja”

Mereka mencari buku yang mereka inginkan masing-masing. Menikmati


banyaknya buku yang tersusun rapih di rak-rak dan terus mencari sampai dapat
yang diinginkn. Merk pun membayarnya. Julia yang lebih dulu menemukan
bukunya pun segera membayarnya di kasir. Disusul oleh Rahmania dan mereka
pun bertemu di depan toko buu.

“Kamu beli buku apa jul?”

“Beli komik sama novel nih, hehehe. Kamu beli apa?”

“Aku beli buku lucu nih, semacam buku diary.”

“Eh iyya, lucu banget. Kamu pinter banget milihnya. Wkkwk.”

“Rahmania gitu lho,, wkwkkw. Makan bakso yu, lapar.”

“Iyya, ayo.”

Mereka segera mencari tempat bakso yang berada di dalam toko buku itu.
Setelah mereka menemukan tempatnya
“Besok kita udah lulus, tinggal urusin pendaftaran masuk universitas.”
Rahmania bicara

“Iyya, cepet banget. Padahal baru kemarin sibuk belajar buat UN. Aku
kayaknya bakal ngambil universitas yang di Solo Ra, kamu di mana?”

“Aku nagmbil di Surabaya Jul. Besok udah berangkat bareng keluarga nih
ke sana.” Rahmania memberitahu.

“Kesannya hari ini terakhir kita ketemu aja.padahal masih ada banyak
kesempatan buat ketemu. Wkwkkw”

“Hmm, sedih ya. Kita harus sama-sama sukse ya Jul. Kamu harus tetep
ngehubungin aku kalo ada apa-apa. Aku pasti luangin waktu ko.”

“Iya, Ra. Kamu juga ya…

Pesanan pun datag. Mereka menikmatinya sampai habis dan segera


pulang. Rahmania mengantar Julia ke rumahnya.

“Dah Julia, see you on top dah pokoknya.”

“Peluk sini, bakal kangen banget tau. Wkwk. Semoga pendidikan kita
lancer terus tanpa hambatan yaa.. aamiin”

“Iyya, aamiin.kalo gitu, aku pulang ya. Dahhh”

“Hati-hati Ra.”

Rahmania membunyikan klaksonnya tanda mengiyyakan Julia.

Besokya, Rahmania dan keluarga pergi ke Surabaya. Mereka sudah


mengetahui bahwa Rahmania telah lulus di salah satu Universitas di Malang.

Begitu pula dengan Julia dan kelurga, sudah berangkat ke Solo untuk
daftar ulang.
Yang namanya takdir memang tidak ada yang tahu. Ayah Rahmania yang
handal dalam menyetir pun kalo ada pengemudi lain yang seenaknya, akan
menyebabkan kecelakaan lampu lalu lintas.

Mobil yang dipakai Rahmania tertabrak bis pariwisata yang melaju dengan
kencangnya. Tanpa terkendali, mobil yang Rahmania tumpangi sekeluarga jadi
menabrak tiang listrk. Dengan luka yang mereka derita pun tidak kalo tidak parah.
Baik penumpang di mobil Rahmania maupun di Pariwisata segera dilarikan ke
Rumah Sakit terdekat.

Di Rumah Sakit, Ibu Rahmania yang cepat sembuh duluan pun segera
menelpon ke salah satu universitas di Malang, memberi tahu bahwa jika salah satu
mahasiswanya yaitu “Rahmania” mengalami kecelakaan lalu lintas. Sehingga
akan izin untuk beberapa minggu dan Rahmania tetap terdaftar di kampus itu.
Tetapi ketinggalan mata kuliah.

Di lain tempat, Julia dan Dimas satu Universitas. Mereka pun cukup dekt
megingat mereka ta jika masing-msing dari mereka teman dekat Rahmania.
Mereka sedang sama-sama mencoba menghubungi Rahmania sejak hari pertama
mereka pergi, hari ini adalah hari ke 5. Tidak ada satu balasan pun yang diterima
Julia dari Rahmania.

Julia dan Dimas tetap menunggu. Saat sudah seminggu, mereka Julia tidak
henti-hentinya mengabari Rahmania lewat pesan.

“Jul, ada berita tentang rahmania, aku baru nanya ini ke mamah. Telat
banget nanya ini ke mamah hari ii, ga dari dulu.” Ucap dimas yang menghampiri
Julia di taman kampus.

“Apaan Dim? Ayo kasih tau.” Jawab Julia dengan nada ingin tahu dan
khawatir.
“Hmm, Rahamania kecelakaan udah dari seminggu yang lalu ternyata Jul.
Mereka semua di rawat di Rumah Sakit dekat dengan kejadian. Ibunya cepat
sembuh karena tidak mengalami luka parah dan dia duduknya pun di tengah-
tengah mobil. Sedangakn Julia di depan.”

“Innalillahi, hiks,” Julia menangis setelah mendengar kabar tersebut, sedih


mendengar sahabat yang terkena musibah

Tapi tiba-tiba handphone Julia bordering tanda telepon masuk dengan


nomor tidak dikenal.

Julia pun mengangkatnya dan mencoba menjawab dengan suara normal


karena sehabis menangis.

“Assalamualaikum” ucap penelpon terlebih dulu

“Waalaikum salam, maaf ini dengan siapa?” jawab Julia dengan keadaan
nya yang mencoba terus untuk tenang

“ini aku Jul, Rahamani.” suaranya begitu lemah

“Hiks, hiks, hiks,” Julia tidak bisa membendung air matanya lagi. Dia
kangen celotehan bersama sahabatnya, curhat dengan sahabatnya.

“Jangan nangis Jul, sedih banget dengernya.”

“Kondisi kamu gimana Rah?”

“Hari ini sudah baikkan, besok sudah boleh keluar dari Rumah sakit. Jul,
maaf banget ga bisa telpon lama-lama.”

“Iya, ga apapa Rah. Kamu cepet sembuh ya.” Satu isakan keluar dari
tangis Julia, dan Julia mencoba menahannya.

Telpon diantara mereka telah selesai, Dimas yang mendengarkan


percakapn mereka jelas ikut sedih. Dimas pun mencoba menenangkan Julia dan
mengantar Julia ke bangunan kos yang Julia huni dan pulang setelahnya.
Jelas sekali Julia dan dimas tidak bisa menjenguk Rahmani dalam waktu
dekat.

Libur panjang masih 5 bulan lagi. Tapi,

Julia dan Rahmania tidak pernah putus komunikasi setelahnya. Selalu ada
yang mengabari duluan. Mereka sesayang itu sebagai sahabat. Setiap ada tanggal
merah, mereka saling mengunjungi dengan menggunakan kereta api. Juga setiap
pulang semester pun, mereka pulang bareng dengan menggunakan kereta api.

Waktu itu memang benar-benar tidak terasa. Dan mereka bertahan dengan
jalinan silaturahmi yang semakin mengutkan ikatan sahabat di antaranya.
Waktu
Oleh : Sarah Herawangsa

Sore itu, matahari menunjukkan lembayungnya. Terlihat dua orang


sahabat kecil yang bermain mengisi waktu kosong mereka, tanpa sedih, tanpa
beban. Mengitari desa tempat mereka tinggal dengan sebuah sepeda pemberian
ayah. Alam seolah tersenyum pada mereka, melambaikan warna jingga di ujung
langit. Padi-padi yang menguning itu memantulkan sinar senja, angin pun ikut
meniupkan hembusan nafasnya. Sampai akhirnya, terdengarlah kumandang adzan
Maghrib yang memanggil mereka untuk pulang ke tempat mereka masing-masing.
Mereka adalah Gantari dan Adhi.

Gantari. Dia adalah seorang anak perempuan yang rajin dan cerdas, tetapi
dia tidak memiliki orang tua. Sejak kecil dia telah tinggal di sebuah Panti Asuhan
dimana dia bisa bersama-sama dengan anak lainnya yang senasib dengannya,
tetapi dengan latar belakang berbeda. Bahkan sampai saat ini pun Gantari tidak
mengetahui siapa dan dimana orang tuanya. Hanya pengasuh dan kepala Panti
Asuhan yang membimbingnya sampai dewasa. Walaupun begitu, Gantari tetaplah
gadis yang periang dan ceria, membuat orang orang disekitarnya gembira.

Adhi. Sahabat Gantari yang paling baik. Adhi juga anak yang pintar dan
pemberani. Nasibnya berbeda dengan Gantari. Adhi bukanlah anak Panti Asuhan
yang kehilangan orang tuanya. Dia masih memiliki keluarga yang utuh, hanya saja
rumahnya yang dekat dengan Panti menakdirkannya untuk bertemu dengan
Gantari, dan menjadi sahabatnya. Beruntung Gantari memiliki sahabat seperti
Adhi. Adhi pun beruntung memiliki sahabat seperti Gantari.

Persahabatan itu bermula ketika orang tua Adhi memberikan bantuan dana
ke Panti Asuhan dekat rumahnya. Saat itu Adhi ikut mengunjungi Panti tersebut
dan berjalan-jalan di sekeliling Panti dengan ibunya. Tak sengaja, Adhi melihat
seorang anak perempuan seumurannya sedang melukis di salah satu ruangan yang
ada di Panti Asuhan tersebut.
“Ma, itu ada yang lagi ngelukis, Adhi pengen ngelukis juga disana, ma.
Boleh yaa” Rengek Adhi kecil kepada ibunya.

“Iya, Adhi sayang.. ayo kesana”

Akhirnya Adhi dan ibunya menghampiri si pelukis itu yang ternyata


adalah Gantari.

“Dek, bagus banget lukisannya. Nama adek siapa?” Tanya ibu Adhi
kepada anak perempuan itu.

“Hehehe, makasih tante. Nama aku Gantari. Tante bisa panggil aku Tari.”
Jawabnya. “Tante, ini siapa?” Tanya Gantari sambil melihat anak laki-laki yang
ada disamping wanita paruh baya tersebut.

“Oh ini anak tante, namanya Adhi.” jawab ibu Adhi.

Gantari yang periang pun langsung mengulurkan tangannya dan


mengajaknya berkenalan. Beruntung Adhi bukan orang yang pemalu jadi mereka
bisa berkenalan dengan baik.

“Tari, kalo Adhi ikut ngelukis disini, boleh gak?”

“Ikut aja, catnya masih banyak kok.” Setelah itu, Adhi pun ikut melukis
dengan didampingi ibunya. Sampai akhirnya, tiba waktunya untuk pulang dan
keluarga Adhi berpamitan kepada Kepala Panti Asuhan. Adhi yang sedang
melukis dengan Gantari pun harus berpisah.

“Tari, kalo nanti aku mau ngelukis lagi, aku kesini lagi ya! Dadah Tari”

“Iya, Adhii, dadaaah!”

Tak disangka, karena pertemuan itu, mereka akhirnya menjadi sahabat


yang baik. Sampai akhirnya, mereka menginjak usia remaja dan memasuki SMA.
Gantari dan Adhi senang bisa berada di sekolah yang sama, hanya saja kelasnya
berbeda. Tetapi mereka masih bisa bertemu. Berangkat bersama, pulang bersama.
***

Di SMA, mereka menemukan seorang yang arogan, sombong, dan suka


mencari masalah. Sepertinya orang itu tidak baik untuk dijadikan teman. Dia
adalah Wira, anak laki-laki tunggal dari salah seorang pengusaha yang memiliki
saham terbesar di perusahaan terkenal di kota itu. Gantari tidak begitu kenal
dengan Wira, tapi dia tahu, karena Wira sudah dikenal seantero SMA. Jadi, sangat
aneh jika ada murid yang tidak tahu tentang Wira.

Sepulang sekolah, ketika Gantari menunggu Adhi di kantin dekat tempat


parkir, gadis itu melihat sekelompok orang yang sedang sama-sama berkumpul.
Ternyata salahsatu diantara mereka adalah Wira si sombong.

Gantari berakata dalam hatinya “Hmmm, kenapa ya masih ada yang mau
temenan sama orang sesombong itu, banyak pula. Ah, itu bukan urusanku.”

Ketika Gantari sedang membaca buku sains sambil menunggu Adhi untuk
pulang bersama, tiba-tiba Wira menghampirinya.

“Lo Gantari, kan?”


“Iya.”
“Lo pasti anak Panti Asuhan dari kampung itu, kan? Hebat banget bisa
masuk ke sekolah kota disini. Pasti lo pinter ya, wuih bacaannya buku sains,
biologi! Gila. Lo mau jadi dokter? Cih, mimpi kali. Jadi dokter itu mahal cuy!”
ucap Wira yang diikuti tawa teman-temannya dibelakang sana.

“Terus, apa urusannya sama lo, Wira? Ini hidup gua. Bukan lo yang atur.”

“Weiz, dia ngelawan guys!”

Gantari tidak menjawab. Gantari hanya diam dan hanya mendengarkan


semua ocehan Wira yang tajam seperti cakar yang menggores kayu. Memang
sakit hati, tapi untuk apa dia membalas? Tak akan berpengaruh apa-apa. Dia
hanya diam, dan menangis.
Adhi yang sedang berjalan menuju kantin, melihat Gantari yang tertunduk
menangis dan dikata-katai oleh Wira, langsung berlari dan mendorong Wira.

“Waaah, pahlawan pembela kebenaran akhirnya datang juga. Ikut campur


aja lo, Adhi!”

Lalu Adhi dan Wira pun berkelahi tanpa ada yang memisahkan. Teman-
teman Wira itu hanya melihat dan mengelilingi mereka berdua sambil bersorak
dan mengompori satu sama lain. Gantari masih tetap terdiam disana, melihat
keadaan yang berubah, sampai akhirnya perkelahian itu berhenti. Adhi terlihat
babak belur oleh pukulan Wira. Gantari langsung menghampiri Adhi yang
terduduk di tanah.

“Lo beruntung Gantari. Masih ada yang mau temenan sama anak yang
asal-usulnya ga jelas kaya lo.” Lalu Wira dan komplotannya pergi meninggalkan
Adhi dan Gantari disana.

Gantari memang sakit hati, tapi hal itu tidak dihiraukannya. Sekarang, dia
harus pastikan Adhi baik-baik saja.

“Adhi, lo gapapa?”

“Gapapa kok, Tari. Ayo pulang”

“Beneran, Dhi? Kalo lo sakit gua anter ke puskesmas dulu!”

“Beneran kok, ayo pulang. Udah sore, nanti lo dicariin lagi kaya dulu.
Hahaha”

“Hmmm, kalo gitu, yaudah. Yuk, pulang.”

Akhirnya mereka pulang, diiringi sinar senja yang menerpa jalan yang
mereka lalui. Di perjalanan, Adhi bertanya kepada Gantari.

“Tari, tadi si Wira ngomong apa? Lo sampai nangis gitu.”

“Bukan apa-apa kok.”


“Jangan bohong.”

“Hmmm, oke. Tadi itu si Wira….”

Gantari menceritakan kejadian yang tadi menimpanya. Adhi dengan


seksama mendengarkan apa yang diceritakan sahabatnya. Sepanjang perjalanan,
mereka bercerita.

“Dasar anak sialan. Kok tiba-tiba ngomong gitu sih? Ga ada masalalah
apa-apa kan sebelumnya?”

“Gaada, Dhi. Gua juga ga tau kenapa.”

“Oh iya Tar, maaf ya tadi gua telat datang ke kantinnya, bikin lo nunggu
lama dan akhirnya ketemu si Wira. Lain kali kalo ada geng mereka, lo hindarin
aja. Pokoknya lo harus hindarin mereka sejauh mungkin. Emang ga bener kalo
deket deket sama geng sinting kaya gitu. Ya? Lo sabar ya, Tari. Cita – cita itu ga
diatur sama mereka. Selama lo berusaha, cita – cita lo pasti tercapai!”

“Iya, Adhi. Makasih banyak ya. Oh iya, katanya hari ini kan jadwal lo
ketemu sama Pak Robi yang guru killer itu. Tadi di kelas gimana? Ada lagi
kejadian ga? Pasti ada ya, hahaha”

“Oh iya, tadi itu si Jojo ketiduran, lo tau kan si Jojo yang kribo itu? Terus
anak-anak yang lain….”

Merekapun bercengkrama sepanjang perjalanan pulang, tertawa, seolah


lupa dengan cerita menyakitkan dan tugas yang memberatkan. Sampai akhirnya
merekapun sampai ke tempat tujuan mereka. Berpisah di pertigaan jalan yang
membawa Adhi menuju rumahnya dan Gantari menuju Panti Asuhan.

Hari-hari berlalu, berubah menjadi minggu, dan minggu berubah menjadi


bulan. Persahabatan antara Gantari dan Adhi pun semakin dekat, tetapi lain halnya
dengan Wira yang makin hari makin berkurang jumlah komplotannya. Seperti
yang diarahkan Adhi sebelumnya, jika Gantari bertemu dengan Wira dan kawan-
kawannya, Gantari pasti akan pergi menghindari. Dia tidak ingin sakit hati lagi.
Cukup saat itu saja, saat beberapa bulan lalu dimana dia dicaci maki dengan kata-
kata hina yang keluar dari mulut Wira. Sampai suatu hari, di lorong depan
laboratorium bahasa yang sepi itu, ketika Gantari berjalan menuju kelasnya, dia
melihat Wira berjalan sendirian tanpa ada kawan-kawan yang dulu menemani.
Dapat ditebak, apa yang dilakukan Gantari? Ya, dia berjalan lebih cepat untuk
menghindari Wira.

“Gantari !, tunggu dulu!” teriak Wira. Tapi Gantari tetap melanjutkan


langkahnya, tanpa menghiraukan Wira.

“Gantari, gua mohon tunggu dulu. Gantari…”

Tapi Gantari tetap bersikukuh pada apa yang dilakukannya. Dia tidak
melihat kebelakang dan akhirnya masuk kedalam kelasnya. Itu artinya Wira tidak
bisa mengejar Gantari lagi. Wira yang melihatnya pun hanya terdiam dan
akhirnya pergi.

Tiba-tiba hari itu seluruh murid dipulangkan dari sekolah karena ada rapat
guru dadakan. Seperti biasa, salah satu diantara Adhi dan Gantari pasti ada yang
menunggu, ada yang ditunggu. Kali ini, Adhi yang menunggu Gantari di pos
satpam dekat gerbang sekolah.

“Tari !” teriak Adhi diantara banyaknya murid yang berjalan keluar


gerbang.

“Iya, Dhi !” balas Gantari yang berjalan menuju Adhi.

Akhirnya Gantari dan Adhi pun pulang bersama. Hari itu, mereka tidak
disapa langit jingga yang menghangatkan, tetapi mereka ditemani cerahnya
matahari dan langit biru diatas sana. Gantari bercerita kepada Adhi tentang
kejadian yang dialaminya tadi.

“Adhi, tadi gua kaget banget. Wira tiba-tiba mau nyamperin gua. Tapi tadi
gua ga liat Wira bareng-bareng sama gengnya, dia cuma sendirian. Dia terus-
terusan manggil, tapi ga gua denger, takut kaya dulu lagi. Lo inget, kan.” cerita
Gantari.

Adhi turut terkaget ketika mendengar cerita Gantari itu. Sepertinya


obrolan ini tidak akan selesai jika durasi yang dipakai hanyalah jarak dari sekolah
ke rumah. Akhirnya mereka pergi ke sebuah toko roti lalu memesan dua potong
roti dan dua cangkir minuman, teh dan susu.

Adhi masih memikirkan, kira-kira apa yang akan dilakukan Wira kepada
sahabatnya itu?

“Tar.” Adhi memulai percakapan.

“Iya?”

“Kayanya si Wira itu ada yang mau disampain deh. Lo sebaiknya jangan
dulu pergi pas si Wira manggil.”

“Lo gila ya, Dhi? Ogah banget gua ngobrol sama orang sejahat itu. Ga
mau.”

“Ehhh, ga boleh gitu dong, Tar. Mungkin si Wira itu ada niat baik mau
nyamperin lo.” Pikir Adhi. “Kalo dia minta maaf, lo bakal gimana, Tar?” tambah
Adhi.

“Ga mungkin. Jangan ngaco gitu lah, Dhi. Hahaha”

“Eh, itu bisa aja Tar, kaya di drama-drama gitu loh. Awalnya musuhan,
terus minta maaf, eh malah saling jatuh cinta. Hahaha.”

“Duh, lo emang ga waras ya Dhi, untung lo sahabat gua.” mereka berdua


tertawa, lalu kembali bercengkrama sembari menghabiskan pesanan mereka
perlahan.

***

“Gantari. Tunggu sebentar.” Ucap Wira.


Seperti biasa, Gantari tidak menghiraukannya. Tapi kali ini kejadiannya
berbeda dengan kemarin.

“Gantari, gua cuma mau minta maaf atas kejadian yang dulu !” Teriak
Wira. Gantari yang berjalan cepat-cepat pun sontak menghentikan langkahnya dan
melihat kebelakang dimana Wira berdiri, sendirian. Lalu Gantari berjalan kearah
Wira.

“Lo pikir semudah itu gua memaafkan orang kaya lo? Lo coba bayangin
ketika lo pecahin gelas sampai hancur, terus lo benerin lagi gelas itu. Pasti
berbekas, kan? Bekasnya gaakan pernah bisa ilang, Wir !” lalu Gantari pun pergi,
meninggalkan Wira.

“Gantari, tolong.. gua mohon..”

Saat seperti itu, tiba – tiba Adhi hadir ditengah-tengah Gantari dan Wira.
Lalu Adhi menghampiri Wira yang terdiam.

“Ada apa, Wir? Tumben ngejar – ngejar si Tari.”

“Cuma mau minta maaf, Dhi. Gua sadar, gua salah.”

Adhi yang mendengar Wira berkata seperti itu hanya bisa diam, tanpa
memberikan jawaban apapun terkait hal itu. Tapi kemudian…

“Wir, nanti pulang sekolah kita ketemu di kantin deket parkiran.” Lalu
Adhi pun pergi, tanpa berkata-kata lagi.

Wira tertegun mendengarnya. Wira tahu bahwa biasanya Adhi selalu


pulang bersama Gantari, gadis yang dulu pernah dia sakiti. Wira berharap, semoga
dia dapat bertemu Gantari sepulang sekolah nanti. Akhirnya, Wira pun kembali ke
kelasnya dengan rasa tak sabar untuk menyampaikan maafnya.

Tibalah waktu untuk pulang sekolah. Adhi sudah menunggu Wira


ditempat yang dia katakan tadi pagi. Lalu Wira pun datang dan bertanya…

“Dhi, si Gantari mana ? kok gaada ? biasanya suka bareng.”


“Kebetulan hari ini dia gaakan pulang bareng. Katanya ada kerja
kelompok. Jadilah sendirian. Sekarang lo ceritain kenapa lo ngejar – ngejar
Gantari ?”

Mendengar kata – kata itu, Wira sedikit kecewa. Tapi tak apa, mungkin ini
adalah prosesnya.

“Jadi gini. Lo tau kan dulu gua selalu bareng – bareng sama temen gua
yang banyakan itu. Gua juga ga tau kenapa gua bisa sejahat itu. Gua ga sadar gua
salah. Dan semuanya tiba – tiba berubah sejak kejadian itu..” Wira menghentikan
ceritanya. Adhi masih tetap terdiam, mendengarkan Wira dengan seksama. Wira
pun melanjutkan ceritanya.

“Dhi, perusahaan tempat orang tua gua tanam saham itu bangkrut, karena
ada kasus korupsi dari orang yang ngelola bagian keuangan di perusahaan itu. Lo
terbayang betapa shocknya orang tua gua. Dan kebetulan ayah gua yang
keluarganya punya riwayat penyakit jantung, langsung kambuh saat itu juga.
Keadaan ekonomi keluarga gua pun ikut melemah bersamaan dengan jatuh
sakitnya ayah gua. Teman-teman yang gua yang tau tentang hal ini, perlahan
mulai ninggalin gua. Entahlah, gua ga ngerti. Lama – lama, mereka semua pergi.
Dan tinggal gua sendiri.

“Gua sebagai anak satu – satunya yang nakal, ga bisa bantu apa – apa. Dan
dua bulan setelah itu, ayah gua meninggal, Dhi.” Wira terdiam sejenak, lalu
terisak tangisnya, dan melanjutkan ceritanya “Ayah gua meninggalkan gua dan
ibu, selamanya.

“Gua dan ibu sadar, kita berdua ga mungkin hidup bergantung sama
warisan peninggalan ayah. Kebetulan, ibu masih punya relasi sama rekan – rekan
ayah dulu di kantor. Ibu sama temennya itu berencana buat buka usaha di luar
negeri. Akhirnya, ibu berangkat. Gua cuma bisa anterin ibu sampai bandara, dan
setelah itu, kita pisah. Ibu pernah bilang gua harus bisa mandiri, ibu juga bilang
dia gaakan pergi lama – lama dan gua harus sabar nungguin ibu. Dua minggu
kemudian, gua liat berita di tv, ada kecelakaan pesawat. Dan lo tau? Ternyata
nama ibu gua ada dalam daftar orang hilang yang jadi penumpang pesawat itu.
Dan setelah berbulan – bulan lamanya, gua masih tetap ga dapet kabar tentang
kecelakaan itu.”

Adhi yang mendengar cerita Wira pun berusaha untuk menenangkan Wira.
Dan mengingatkan Wira untuk selalu sabar dan menerima semua yang terjadi.
Langit seolah ikut mendengar cerita Wira dan akhirnya turunlah gerimis kecil
yang membasahi tumbuhan hias dengan lembutnya.

“Saat itu gua depresi banget, Dhi. Gua ga tau harus ngapain lagi. Rasanya
sulit banget buat nge-ikhlasin semua hal yang udah terjadi. Seakan – akan dunia
ini ga adil. Gua sadar, mungkin ini cara Tuhan untuk menegur gua yang selama
ini jauh dari Tuhan. Gua mencoba mengingat semua kesalahan yang udah gua
lakukan, dan itu susah banget. Gua mau minta maaf sama orang – orang yang
pernah gua sakitin saat gua masih bergabung sama geng sialan yang udah bawa
gua ke jalan yang ga bener. Tapi rasanya ga mungkin. Gua bener – bener sendiri
dan kesepian sekarang. Gua cuma bisa berdoa sama Tuhan dan berjanji gaakan
ngelakuin hal sekejam itu lagi. Yang gua benar – benar ingat itu ketika gua ngata
– ngatain si Gantari. Jadi, gua berusaha untuk minta maaf. Apapun syaratnya, gua
bakal penuhi, asalkan gua bisa dapet maaf dari Gantari.”

“Gua turut berduka ya atas kejadian yang menimpa lo. Yang sabar ya.
Pasti ada hikmah dibalik semua yang terjadi. Lo pasti kuat, Wira.” Jawab Adhi.
“Oh iya, tentang permintaan maaf lo ke si Tari, entar gua sampein ya. Semoga si
Tari bisa maafin lo.” Sambung Adhi.

“Gua juga mau minta maaf sama lo, Dhi.”

Adhi hanya diam tak menjawab. Lalu Adhi mengajak Wira pulang karena
hari sudah mulai gelap. Mereka harus segera pulang.

***

Ketika matahari baru mengintip di ujung timur sana, dengan cahaya


kuningnya yang menyapa dan memberikan semangat untuk setiap orang yang
melihatnya. Terlihat orang – orang desa bekerja bakti dengan giat. Membersihkan
tiap – tiap tempat yang ada. Membuat desa itu semakin asri dengan tanaman dan
pepohonan serta kebersihannya. Terlihat Adhi yang sedang membersihkan daerah
sekitar taman bersama – sama dengan warga lainnya. Di lain tempat, Gantari dan
perempuan lainnya bahu – membahu menyiapkan makanan untuk disantap
bersama setelah pagi yang melelahkan. Sungguh desa yang rukun.

“Tar, ada yang mau gua omongin.” Sapa Adhi ketika bertemu Gantari.

“Oh, apaan tuh?” jawab Gantari dengan santainya.

“Ini, tentang si Wira.”

“Yah, udah lah ga usah diomongin. Males ah” Gantari menolak.

“Tapi, Tar, ini penting banget dan lo harus tau tentang ini.”

Gantari menghela nafasnya dalam – dalam, meredam emosi. Lalu bertanya


“Apa ?”

“Si Wira, kemaren cerita sama gua. Jadi dia itu..”

Akhirnya Gantari pun mendengarkan kisah sedih yang dilontarkan Adhi


tentang Wira. Tak ada sedikitpun dugaan tentang itu di benak Gantari. Hatinya
terenyuh mendengar kisah itu, tapi luka hati yang sudah ada sejak berbulan –
bulan yang lalu tetap ada disana, tak mau pergi. Pertarungan antara luka dan lara
tak dapat dihindari.

“Oh jadi itu alesannya si Wira suka sendirian akhir – akhir ini. Kasian ya,
jahat banget temen – temennya itu. Ckckck”

“Iya, Tar. Makanya, lo harus bisa maafin si Wira. Bisa, kan?” Tanya Adhi.

“Soal itu, gua masih ragu, Dhi. Ga tau, kaya ada yang bikin gua ga bisa
memaafkan kesalahannya. Semoga nanti gua bisa ikhlas.” Kata Gantari.

Adhi hanya diam saja mendengarnya.


Esoknya, di sekolah. Ketika Adhi dan Gantari berjalan bersama, tak
sengaja mereka berpapasan dengan Wira.

“Gantari” Wira memanggil dari kejauhan.

“Tar, itu si Wira.” Bisik Adhi. “Kayanya dia mau minta maaf. Lo jangan
kabur dulu ya, hehehe”

“Iya iyaa, gaakan kok.”

Akhirnya Gantari, Adhi, dan Wira bertemu di depan perpustakaan yang


sangat sepi. Bukan sepi pengunjung, tapi setiap pengunjung yang datang ke
perpustakaan diharuskan untuk tidak berisik agar ilmu yang mereka temukan di
buku dapat mereka serap dengan baik.

“Wira.” Tak seperti biasanya, kali ini Gantari yang memulai percakapan
kepada Wira. “Gua udah denger semua cerita tentang lo dari Adhi. Lo yang sabar
ya.”

Adhi hanya diam saja.

“Gantari, sekarang gua sadar. Gua salah. Gua mohon.. tolong maafin
kesalahan gua yang dulu. Gua bener – bener nyesel. Apapun syarat yang lo kasih,
gua sebisa mungkin bakal penuhin, asalkan lo bisa maafin gua.” Wira memohon
dengan sangat.

“Lo, sekarang jadi keliatan lemah ya. Hahaha” ejek Gantari. Tapi Adhi
yang ada disana langsung mengingatkan “Eh, Tari !” dan Gantari pun langsung
meminta maaf atas candaannya.

“Wir. Gua udah berusaha. Tapi entah kenapa, kaya ada yang bikin gua
sulit buat maafin lo. Gua minta, lo jangan pernah bawa – bawa sikap buruk lo
yang dulu ke masa depan. Orang tua lo pasti nangis dan kecewa kalo lo ga
berubah. Lo harus janji, gaakan pernah ngulangin kesalahan yang dulu. Janji ?”
Gantari mengacungkan kelingking kanannya didepan Wira yang tertunduk malu.
Hari itu adalah hari yang bersejarah untuk mereka bertiga, dimana seorang
Wira yang sombong meminta maaf dan berjanji kepada Gantari yang dulu pernah
dia rendahkan dengan disaksikan seorang sahabat yang setia, Adhi.

***

Waktu terus berlalu. Pertemanan mereka pun menjadi lebih erat sejak itu.
Bersama Adhi dan Gantari, Wira menjadi tahu apa arti persahabatan yang
sebenarnya. Sahabat tidak dilihat dari banyaknya orang yang bersama kita setiap
waktu, tapi dia dilihat dari kesetiaannya membantu dan menemani dikala senang
atau sedih. Sahabat bukanlah orang yang membenarkan setiap perkataan yang
kamu keluarkan, tapi dia akan mengatakan hal yang benar kepadamu. Sahabat
adalah dia yang peduli kepadamu, tanpa memandang siapa kamu. Mereka menjadi
satu kesatuan baru, tiga orang sahabat, bukan dua orang lagi. Mereka saling peduli
dan saling melengkapi satu sama lain, seperti nama mereka yang memiliki makna
yang berkaitan. Menurut bahasa sanskerta, Wira artinya pahlawan, pemimpin;
Adhi artinya teguh, bijaksana; dan Gantari artinya menyinari. Mereka bertiga
memang ditakdirkan untuk bertemu dan mengikat satu sama lain dalam ikatan
sahabat.

Tetapi, Wira tejebak dalam suatu konflik batin. Semua kepedulian yang
dilakukan Gantari telah membuatnya memiliki perasaan yang lebih dari sekadar
sahabat. Wira telah melanggar aturan persahabatan. Tanpa ada yang menyadari,
termasuk Adhi, Wira telah jatuh hati kepada Gantari. Tapi Wira hanya memendam
semuanya, tanpa mengungkapkannya.

Tibalah hari dimana mereka harus menentukan kemana mereka akan


melanjutkan kehidupannya setelah masa – masa SMA yang penuh dengan putih
dan abu. Sangat beragam pilihannya. Ketiga sahabat itupun berkumpul didepan
ruang BK setelah mereka bertiga konsultasi jurusan yang mereka minati.

“Adhi, Wira, kalian udah yakin buat masuk ke jurusan yang kalian pilih?”
Tanya Gantari kepada dua sahabatnya.
“Kalo gua sih, udah yakin mau ngambil prodi Biologi. Gua aneh sama lo
Wir. Katanya lo mau gabung jadi tim Basarnas, tapi lo malah masuk sastra, sastra
Arab lagi. Ngaco banget sih hahaha” Adhi menertawakan Wira. “Iya wir, lo ga
kesambet mahluk ghaib kan? Hahaha” timpal Gantari.

“Eh kalian ga tau ya. Di universitas yang mau gua masukin itu ada UKM
SAR nya, jadi selain belajar bahasa Arab, gua juga bisa mengembangkan minat
gua UKM itu. Lo berdua pendek mikirnya ah, gimana sih.” Balas Wira, tak mau
kalah. “Eh, Tari. Lo mau masuk ke kedokteran kan? Semangat ya, setau gua,
kedokteran itu susah banget masuknya. Saking banyaknya pendaftar.”

“Oh iya, makasih Wir. Gua yakin kok, selama gua berusaha, gua pasti bisa
gapai cita – cita. Hasil gaakan pernah mengkhianati usaha.” Ucap Gantari sambil
tersenyum memandang langit dan pohon – pohon rindang di halaman sekolah.

Wira hanya tersenyum mendengar jawaban Gantari yang menenangkan.


Adhi yang sejak tadi bersama dengan mereka, hanya terdiam, dingin dan
membisu. Memang seperti itu sikapnya.

“Udah jam makan siang nih, ke kantin yu.” Ajak Adhi. Akhirnya mereka
bertiga pergi ke kantin.

***

“Hari berganti, angin tetap berhembus. Cuaca berubah, daun – tetap


tumbuh. Kata hatiku pun tak pernah berubah, berjalan dengan apa adanya…” lirik
itu terdengar dari earphone yang terpasang di telinga Wira. Ya, malam itu Wira
mendengarkan lagu Slank yang berjudul Terlalu Manis. Besok adalah hari
perpisahan SMA, hari terakhir mereka bertemu di sekolah. Suasana yang
dirasakan Wira memang sengaja dibuat dramatis seperti itu.

Akhirnya, tibalah hari perpisahan itu, hari dimana siswa angkatan SMA
merayakan hari kelulusannya dengan pesta perpisahan. Semua murid perempuan
beserta para ibu guru memakai gaun dan murid laki – laki dan para guru laki –
laki pun memakai jas lengkap dengan dasinya.
“Adhi, akhirnya kita lulus ya! makasih ya Dhi udah mau jadi sahabat gua
dari kecil hahaha.” Ucap Gantari kepada Adhi.

“Halah, lo ini. Lucu juga ya. Kalo dulu gua ga minta ibu buat nemenin
ngelukis di Panti Asuhan itu, gua ga akan bisa ketemu dan temenan sampai sejauh
ini!” balas Adhi.

“Iya kah? Gimana sih ceritanya gua lupa” Gantari memang pelupa.

“Iya, jadi kan waktu itu gua lagi jalan sama ibu di Panti Asuhan, terus
ngeliat lo lagi ngelukis…” Mereka berdua bernostalgia bersama di hari perpisahan
itu sambil sesekali tertawa bersama.

Tapi, Wira ada disana. Wira tidak punya cerita masa kecil yang manis
bersama Gantari ataupun Adhi karena Wira mulai mengenal mereka sejak SMA,
itupun dengan awal yang buruk, sangat buruk. Melihat mereka berdua
bercengkrama, ada sedikit rasa iri dan cemburu di hati Wira walaupun dia tau,
bahwa Gantari dan Adhi hanya sebatas bersahabat. Tapi, apa daya. Dia tidak
berhak menghentikan apalagi melarang mereka untuk tidak seperti itu. Beruntung,
Gantari dan Adhi adalah orang yang pemaaf sehingga dia pun bisa berdamai
dengan mereka berdua, dan dengan masa lalunya.

Adhi yang sedari tadi duduk bersama Gantari pun mengajak Wira untuk
bergabung bersama. Akhirnya mereka bertiga bersama, bercerita, dan saling
meminta maaf sebelum mereka pergi menjalani kehidupan mereka masing –
masing.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun.


Selama bertahun – tahun mereka berpisah, tapi mereka tetap bisa mengabari satu
sama lain lewat teknologi canggih yang sudah ada di zaman ini. Setelah beberapa
tahun berlalu, mereka akhirnya bertemu dengan gelar mereka masing – masing.
Adhi, sahabat Gantari yang paling baik itulah yang pertama kali bertemu
dengan Gantari disebuah toko roti yang mereka janjikan untuk reuni di hari itu.
Adhi sudah tak sabar untuk menceritakan tentang hari – hari kuliahnya kepada
Gantari.

“Eh Dhi, apa kabar lo? Makin ganteng aja sahabat gua ini. Udah dapet
pacar belom disana? hahaha” sapa Gantari ketika pertama kali melihat Adhi lagi.

“Baik - baik dong. Ga ah, gamau pacaran dulu, takut dimarahin mama
papa hehehe.” Adhi mengeluarkan candaanya.

“Hah bocah, dasar. Udah kuliah masih mama papa mama papa. Dasar anak
mamih.” Gantari membalas.

“Eh lo gendutan, Tar. Gila, makan apa aja lo selama ini.”

“Lo ga bersyukur ya udah gua puji diawal eh malah kaya gini, kurang ajar
ya!” Candaan semacam itu sudah biasa terucap diantara Adhi dan Gantari. Mereka
sudah kebal ketika mereka saling hina dan menganggap itu hanya hiburan semata.
Disaat – saat seperti itu, datanglah Wira yang telah mereka ajak untuk bertemu
lewat group chat yang mereka buat sejak SMA itu. Wira sudah tidak sabar untuk
bertemu Gantari, gadis yang dia cintai dalam diam.

“Eh Wira, akhirnya lo dateng juga, sini duduk Wir. Apa kabar lo? Gimana
tentang SAR nya?” Adhi menyapa Wira.

Akhirnya mereka bertiga bercerita tentang perkuliahan mereka masing –


masing, sambil ditemani harum aroma roti dan kopi yang keluar dari dapur toko
roti itu. Mereka saling bertukar cerita tentang penatnya kuliah, Gantari yang
mengambil spesialis forensik bercerita tentang pengalamannya mengidentifikasi
jenazah dengan beragam bentuk; Adhi dengan praktikum biologi dan
laboratorium tempat ia meneliti tiap – tiap spesies baru dan nama - nama ilmiah
yang asing; dan Wira dengan kuliah sastra Arab yang memusingkan tetapi tetap
terobati dengan indahnya alam yang dia kunjungi bersama mahasiswa lainnya
yang tergabung dalam UKM SAR. Sekali – kali mereka tertawa bersama,
mengundang perhatian dari pengunjung toko roti lainnya. Sampai akhirnya
mereka sampai pada suatu topik.

“Tar, Wir, gua rencananya beberapa bulan lagi bakal berangkat ke Papua.”
Ucap Adhi.

“Mau ngapain lo jauh – jauh ke Papua sana ?” Tanya Wira.

“Jadi gini, gua ada penelitian di kampus tentang spesies ikan. Nah
masalahnya, ikan yang jadi objeknya itu cuma hidup di perairan Papua.” Jawab
Adhi.

Gantari yang mendengar hal itu terkejut. “Kenapa harus ikan yang ada di
Papua, Dhi? kan di perairan Jawa juga masih banyak ikan – ikan.” Tanya Gantari
sedih.

“Ya, lo tau kan sekarang gua udah terikat sama Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Jadi gua ga bisa nolak tugas ini. Ini adalah bentuk pengabdian gua
terhadap negara.” Wira dan Gantari yang mendengar hal itu hanya bisa diam.
“Lagian gua juga bisa sambil jalan jalan ke Raja Ampat, tempat yang Indah itu, lo
berdua pasti mau kan? Kaya gua dong, jalan – jalannya dibayarin, gratis!
Hahahaha” tambah Adhi yang mengundang tawa dari kedua sahabatnya.

“Berapa lama diem disana, Dhi?” Tanya Wira.

“Mungkin sekitar dua bulanan.” Jawab Adhi.

Entah kenapa, tiba – tiba muncul rasa takut dan khawatir dari hati Wira.
Begitupun dengan Gantari, dia merasakan kecemasan yang mendalam, padahal
Gantari dan Wira tidak pernah berkompromi tentang hal yang mereka rasakan saat
itu. Rasa itu muncul secara tiba – tiba.

Tak terasa, hari yang semakin malam dan langit yang semakin gelap sudah
memberikan isyarat kepada mereka bertiga untuk pulang ke tempatnya masing –
masing. Kembali ke rumah yang mereka rindukan selama ini.
“Yah, udah malem lagi, ga kerasa ya daritadi kita ngobrol terus disini. Gua
pulang duluan ya, pengasuh gua udah nelponin. Sorry ga bisa ngumpul lebih lama
lagi. Lo berdua kalo mau ngobrol, ngobrol aja. Tapi hati hati disangka homo ya.
Hahaha. See you guys!” Ucap Gantari kepada Wira dan Adhi.

“Oke bye, Tar! See you.” Teriak Wira membalas Gantari.

Setelah itu, hanya tersisa mereka berdua, Adhi dan Wira, yang duduk
ditempat itu.

“Dhi.” Wira membuka percakapan.

“Eh gua mau ada yang diomongin, Wir. Jadi gini..” Adhi berhenti sejenak.
Lalu melanjutkannya lagi. “Tapi lo jangan kaget, ya.”

“Iya, gua ga selebay itu kali.” Jawab Wira.

“Gua rencananya mau lamar si Tari setelah pulang dari Papua. Lo, bisa
bantuin gua kan?” ucap Adhi.

Wira yang terkejut mendengar hal itu sebisa mungkin menahan diri untuk
tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya kepada Adhi. Bagaimana mungkin
Wira bisa tenang mendengar hal itu? Hatinya remuk ketika mengetahui gadis yang
dia cintai akan dilamar oleh seseorang yang merupakan sahabat kecilnya. Kata –
kata itu seakan memukul Wira dengan sangat keras. Dia sadar, dia hanyalah orang
baru yang muncul dalam sebuah kehidupan persahabatan yang terjalin sejak lama.
Dia sadar, tak banyak yang dapat diperbuatnya untuk memperjuangkan
perasaannya.

“Wih, lo gercep juga, Dhi. Hahaha. Semangat ! Gua yakin lo gaakan dapet
banyak rintangan. Lo kan sahabat dia dari kecil.” Ucap Wira yang turut
berbahagia dalam kebohongan.

“Hehehe, iya Wir. Makasih ya. Mohon doanya oke.” Ucap Adhi tanpa
menyadari keadaan hati Wira sudah seperti tercabik – cabik.
***

Tiga bulan kemudian. Akhirnya tibalah hari keberangkatan Adhi ke Papua.


Dua orang sahabatnya, Wira dan Gantari ikut mengantarkannya ke Bandara.
Sebelum Adhi boarding, mereka bertiga menghabiskan waktu mereka dengan
berbincang tentang Papua, Gantari meminta Adhi untuk membawakannya burung
cenderawasih yang tidak mungkin Adhi lakukan, karna hewan tidak boleh masuk
pesawat. Tak lupa, Wira yang membawa kamera pun mengabadikan momen
mereka bertiga. Momen dimana salah seorang diantara tiga orang yang bersahabat
akan pergi jauh. Tak terasa, akhirnya Adhi harus melakukan segera meninggalkan
Gantari dan Wira. Sebelum benar – benar boarding, Adhi dan kedua sahabatnya
saling mengucapkan ucapan selamat tinggal.

“Adhi, baik – baik disana ya. Jaga diri lo. Jangan lupain kita yang
nungguin lo pulang.” Ucap Wira kepada Adhi.

“Dhi, jangan lama – lama ya, cepet pulang. Semuanya gaakan seru kalo
gaada lo. Jangan lupa buat selalu ngabarin ya.” Tambah Gantari.

“Iya, iya. Kalian berdua rewel banget sih. Doain gua ya semoga nugasnya
lancar dan bisa cepet pulang. Lo berdua jaga diri baik – baik juga.” Ucap Adhi
sambil memeluk sahabatnya satu persatu. Ketika Adhi memeluk Wira, Adhi
berpesan “Wir, titip Gantari selama gua pergi ya.”

Akhirnya mereka bertiga pun berpisah.

***

Sebulan telah berlalu. Adhi semakin jarang mengabari, entah karena apa,
mungkin tugas yang sangat banyak membuatnya lupa. Hal ini membuat Gantari
dan Wira semakin khawatir. Pikiran yang tidak – tidak mulai menghampiri
mereka. Tapi diantara mereka tidak ada yang mau memberi tahu satu sama lain.
Sampai akhirnya…
“Halo. Wir, gua dapet surat dari Adhi!” ucap Gantari yang panik kepada
Wira lewat telepon.

“Halo. Gimana katanya? Dia akhir – akhir ini jarang banget muncul di
grup chat juga kan?” balas Wira.

“Nah itu dia Wir. Dia ngejelasin di surat ini. Dia jarang ngabarin karena
selain tugas yang banyak, sinyal di Papua juga minim banget, dan itu bikin dia
sulit buat kabarin lewat chat. Surat ini dikirim tanggal 14, sekarang udah tanggal
20. Gila, lama banget nyampenya dari Papua kesini.”

“Oh gitu, Tar. Iya lama banget, parah. Tapi seengganya dia kabarin lo,
walaupun pake surat. Berdoa aja semoga Adhi baik – baik aja disana.” Wira
menenangkan Gantari.

“Iya Wir. Oh iya, si Adhi tanggal berapa sih pulangnya ? lo masih inget ga
dulu si Adhi bilangnya kapan?” Tanya Gantari.

“Oh, dia bilang mau pulang tanggal 30 bulan depan. Masih lama, 40 hari
lagi. Sabar sabar sabar.”

“Tapi gua kangen Adhi.”

“Iya, semua orang pasti kangen Adhi.”

Begitulah Wira, dia harus bisa menguatkan hatinya sendirian ketika tahu
bahwa dia tidak lebih dari sekadar sahabat di mata Gantari. Setelah beberapa saat,
akhirnya Gantari pun menutup percakapan dan menyimpan smartphonenya lalu
membaca isi surat yang dikirim Adhi.

“Gantari. Maaf ya gua jarang kabarin lo berdua, bukannya gua lupa, tapi
disini daerahnya jarang banget bisa dapetin sinyal. Sabar ya, ini juga udah
kabarin lewat surat, hehehe. Lo ga usah cemas tentang keadaan gua. Gua baik –
baik aja. Disini tempatnya lumayan nyaman, cuman, senyaman – nyamannya lo
pergi ke tempat lain, masih tetap nyaman kampung halaman, apalagi di kampung
halaman ada sahabat gua yang sering nemenin. Oh iya Tar, gua juga udah pergi
ke Raja Ampat, ternyata bener – bener Indah banget, ga kaya yang lo liat di tv
atau di gugel. Surga dunia.

Tentang tugas gua? Ah itumah gampang. Disini rekan – rekan gua bisa
diajak teamwork jadi semuanya kerasa ringan. Ternyata banyak banget spesies
yang gak ditemuin di pulau Jawa, Tar. Dari mulai spesies ikan yang lucu sampai
yang mau gigit – gigit, pokoknya keren banget!

Tar, sekali lagi, lo ga usah cemasin gua. Lo harus tenang dan doain gua
semoga penelitiannya cepet selesai, biar gua bisa cepet pulang. Lo ga usah
kangenin gua, biar gua aja. Eh kok kaya si dilan ya? hahaha. Jangan lupa
sampein salam gua buat Wira ya.

See you, Gantari. Gua bakal pulang dan kita pasti ketemu lagi.”

Begitulah pesan dari Adhi yang jauh disana, untuk sahabatnya, Gantari,
yang akan dia lamar sepulang bertugas.

***

Akhirnya tibalah hari dimana Adhi akan pulang. Tapi sayangnya Gantari
dan Wira tidak dapat menjemput Adhi di bandara karena mereka harus
menjalankan kesibukannya. Mereka hanya akan menunggu kabar yang datang dari
chat group. Namun, hari itu, nama Adhi tak kunjung muncul di smartphone milik
Gantari maupun Wira. Tiga hari berlalu, Adhi masih belum berkabar.

“Tar, si Adhi kemana ya? kok gaada kabar sih, udah tiga hari dari hari
kepulangan.” Wira mengirimkan pesan kepada Gantari.

“Iya, gua juga ga tau, khawatir dia kenapa – napa Wir.” Gantari membalas.

Gantari yang saat itu berada di dekat televisi tak sengaja mendengar
sebuah berita mengejutkan. Berita itu mengatakan bahwa telah terjadi kecelakaan
pesawat yang terbang dari Bandara Sentani Jayapura menuju Bandara Soekarno
Hatta. Pikiran Gantari langsung dipenuhi tentang Adhi yang belum memberinya
kabar. Saat itu pula Gantari yang berprofesi sebagai dokter forensik menerima
telepon untuk ikut dalam kegiatan pencarian korban – korban kecelakaan pesawat
itu. Wira juga turut menelpon Gantari, memberitahu bahwa Wira mendapat kabar
yang sama dan akan segera pergi ke tempat kejadian bersama tim SAR. Esoknya,
Gantari dan Wira pergi dengan kendaraan yang sama dengan tujuan yang sama.
Menuju suatu tempat dimana pesawat itu jatuh di sekitarnya.

Gantari sangat cemas dan semakin khawatir. Dimana Adhi? Apakah dia
masih hidup? Apakah dia berada didalam hutan dan bertahan hidup disana? Atau
mungkinkah dia menaiki pesawat yang berbeda? Lantas mengapa dia tak memberi
kabar? Gantari berharap semoga Adhi baik – baik saja.

Wira yang bergabung dengan tim SAR pun dengan semangat menjalankan
tugasnya, mencari korban – korban dari kecelakaan pesawat itu, baik yang masih
bernyawa ataupun yang sudah tak bernyawa. Namun korban yang ditemukan
selalu dalam keadaan tak bernyawa. Korban – korban itu lalu dimasukkan
kedalam kantung jenazah yang berwarna jingga, kemudian di autopsi oleh para
dokter forensik yang turut hadir dalam kegiatan itu, agar identitas mereka
diketahui. Wira berharap, semoga dia tidak menemukan Adhi dalam keadaan tak
bernyawa. Semoga Adhi masih hidup dan pulang lalu menemui mereka dan
berkumpul bersama.

Sudah banyak sekali jenazah yang Wira temukan, sudah banyak pula
jenazah yang berhasil di autopsi oleh Gantari. Tapi tetap, Adhi belum memberikan
kabar tentang kepulangannya. Rasa cemas di hati Gantari dan Wira masih tetap
ada, dan makin kuat setiap harinya.

Suatu hari, ketika Wira sedang melakukan tugasnya dengan blusukan ke


tempat – tempat yang menjadi objek pencarian korban, dia melihat seseorang
yang memakai pakaian seperti yang dikenakan Adhi saat keberangkatannya,
pakaian saat terakhir kali melihat Adhi di bandara. Akhirnya dia dan timnya
menghampiri dan betapa terkejutnya Wira yang melihat Adhi sudah tak bernyawa.

“Adhi…” ucap Wira, lirih. Betapa sedihnya Wira saat itu, melihat orang
yang pertama kali mendengar kisah tentang kehidupannya yang seperti bukit dan
lembah, tergeletak begitu saja dengan tubuh yang dingin dan kaku.
Kekhawatirannya ternyata menjadi sebuah kenyataan. Dia melihat orang yang
telah menjadi teman baiknya, yang menjadi sahabatnya, yang telah memberikan
dia pelajaran tentang arti sahabat, pergi untuk selamanya. Tak terasa, air mata pun
membasahi pipi Wira.

Di lain tempat, Gantari masih menunggu kabar dari Adhi yang tak kunjung
pulang. Tiba – tiba Gantari melihat Wira bersama timnya membawa kantung
jingga yang berisikan seorang jenazah yang Gantari tidak ketahui siapa. Wira
menatap Gantari dengan tatapan sedih, seperti ada pesan yang ingin dia
sampaikan, tetapi Gantari tidak cukup pandai dalam menangkap pesan isyarat itu.
Untuk menjawab rasa curiganya, dia pergi ke tempat dimana jenazah baru tersebut
diletakkan.

“Adhi!” ucap Gantari setelah membuka kantung jenazah yang baru saja
dibawa oleh Wira. Tangisnya pun pecah saat itu juga. Rekan Gantari yang lain
langsung menghampirinya dan menenangkannya. “Kenapa lo harus tinggalin gua
secepat ini, Dhi..!?”

Perkataan Adhi memang benar. Dia benar – benar akan pulang dan
bertemu dengan sahabatnya. Tapi dengan cara berbeda, yang tak pernah
diharapkan oleh siapapun yang memiliki sahabat. Hari itu adalah hari yang cerah,
sekaligus menyedihkan. Benar – benar hari yang tak akan pernah bisa dilupakan.

***

Akhirnya tiba lah hari pemakaman Adhi di kampung halamannya. Orang –


orang pun tidak menyangka Adhi akan meninggal di usianya yang masih muda.
Gantari dan Wira pun turut hadir dalam acara pemakaman itu. Semua orang
terlihat memakai pakaian serba hitam, untuk saling menghargai rasa duka yang
hadir dalam hati orang – orang yang menyayangi Adhi.

Skenario kehidupan memang sulit ditebak. Satu tambah satu bisa menjadi
tiga. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi didepan sana. Wira dan Gantari
memang tak akan pernah lengkap jika tanpa Adhi, tapi itu semua tidak mungkin
terjadi lagi. Perasaan yang dimiliki Wira pun masih ada disana, di dalam hati yang
juga mendapat amanat dari Adhi untuk selalu menjaga Gantari saat Adhi pergi.
Gantari pun merasa hidupnya menjadi hampa setelah kepergian Adhi. Namun,
Wira selalu hadir menghibur Gantari atas kepergian sahabat yang sangat
disayanginya. Mereka tetap bertemu, bertukar cerita, memberi solusi satu sama
lain, sambil sesekali mengunjungi makam Adhi untuk berziarah.

Wira dan Gantari memang bersama, tapi mereka tak bersatu. Entah itu
belum bersatu, akan bersatu, atau memang tidak bersatu. Biarkanlah waktu yang
menjawab semuanya.
Retorika Rasa
Oleh : Sina Sabila Rahmania

Hari ini adalah Hari Senin, hari paling memberatkan buatku. Ya, berat.
Berat untuk bangun dari kasur kesayanganku karena sepertinya gaya gravitasi hari
ini sangat besar. Ditambah lagi, hari ini adalah hari terakhirku ada di Indonesia.
Mengapa? Karena mulai minggu depan aku mulai bersekolah di Perancis.
Sebenarnya aku sangat takut harus pergi jauh dari orang tua, teman, bahkan
sahabat-sahabatku di Indonesia, apalagi aku hanya seorang perempuan yang
masih berumur 18 tahun. Tapi, hal itu tidak akan membuatku mundur, sebab ini
demi masa depanku.

Karena aku sangat suka pemandangan dari atas langit saat malam hari,
akhirnya aku pun memutuskan untuk berangkat ke Perancis menggunakan
pesawat dengan jadwal malam. Setibanya di Bandara Soekarno Hatta, aku
berpelukan dengan kedua orang tuaku berharap agar mereka selalu mendoakanku
dan merindukanku karena aku adalah anak perempuan mereka satu-satunya. Tak
lama kemudian terdengar suara :

“Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor


penerbangan GA-88 tujuan Perancis dipersilahkan naik ke pesawat udara
melalui pintu A12.”

Deg. Aku menangis dipelukan ibuku. Karena, saat aku di Perancis nanti
tidak akan ada orang yang cerewet menyuruhku ini atau itu. Aku pun akhirnya
bergegas memasuki pintu sembari melambaikan tangan kepada kedua orang
tuaku.

Setelah sampai didalam pesawat, aku mengeluarkan sebuah novel dan


membacanya. Akan tetapi, karena aku ngantuk akhirnya aku memutuskan untuk
tidur.
Aku terbangun dan tak menyangka bahwa aku sudah sampai di Perancis.
Dalam benakku, aku berkata “Fyuh, akhirnya sampai juga.” Aku berjalan menuju
keluar airport, dan berencana untuk menaiki sebuah taksi yang sudah ada daritadi.
Saat aku akan membuka pintu taksinya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang
menyerobot masuk ke dalam taksi tersebut. Sontak aku terkejut dan berkata “Hey!
Ini taksi aku tahu! Kok asal nyamber aja sih?! Ladies first, dong!.” tapi laki-laki
itu tidak menghiraukannya, karena aku lihat dia sedang sibuk berbicara dengan
ponselnya. Aku sangat kesal melihatnya, rasanya ingin aku lempar saja dia dengan
sepatu. Akan tetapi tidak bisa, karena taksi yang dia naiki sudah pergi. Aku pun
menaiki taksi yang lain dan pergi menuju ke apartemenku.

Setibanya di apartemen, aku langsung merebahkan diri diatas kasur dan


merasa kelelahan mungkin ini terasa karena aku terkena jet lag. Setelah
memanjakan diri di kasur, aku pun bergegas untuk mandi dan menonton film “To
All The Boys I’ve Ever Loved Before”. Akhirnya, Film itu beres dan mood-ku
kembali membaik. Akan tetapi, aku teringat dengan kejadian tadi siang. Seorang
laki-laki yang seenaknya menyambar taksi yang akan aku naiki lalu pergi begitu
saja dengan wajah polos nan menyebalkan itu, mood-ku memburuk lagi. Daripada
terus kesal memikirkan itu, aku pun memutuskan untuk segera berlayar menuju ke
pulau kapuk alias kasurku.

6 hari kemudian..

“Haaah… today is the first day of my school. Semoga kamu bisa dengan
mudah beradaptasi dengan lingkunganmu dan jangan lupa kamu harus bisa
mendapatkan teman baru, Val.” Aku berkata kepada diriku sendiri tepat didepan
cermin sambil menata semua penampilanku. Tidak lupa aku meminta doa kepada
orang tuaku agar hari ini semuanya dilancarkan. Aku bergegas pergi ke sekolah
dengan berjalan kaki, karena apartemenku tidak terlalu jauh dari sekolah.

Aku tak menyangka sekarang aku bersekolah disini, aku sedikit nervous
karena aku belum mempunyai teman yang bisa diajak untuk berbicara dan
mungkin bisa membantuku beradaptasi disini. Tanpa keraguan, aku pun
memasuki gerbang sekolahku dengan penuh semangat. Saat aku sedang duduk,
ada kakak kelas yang menghampiriku dan menyuruhku untuk segera memasuki
gedung aula yang berada didekat taman. Saat aku mulai memasuki aula, aku
langsung tertegun dan tanpa sadar bilang “Wow, this is so cool.” Bangunan yang
megah dan luas. Oh dan tentu saja, banyak murid-murid berkualitas yang masuk
ke sekolah ini. Aku pun duduk di kursi yang sudah disediakan. Tak lama
kemudian, datang seorang perempuan dan akhirnya dia pun duduk disebelahku.

“Hai.” Sapa perempuan itu.

“Oh, Halo.” Aku tersenyum canggung karena sangat malu, tapi sepertinya
dia juga berasal dari Indonesia.

“Kamu orang Indonesia ya? Kayaknya aku ga asing deh liat muka kamu,
kayak yang pernah lihat dimana gitu.”

“Kok aneh ya? Kenapa dia ga asing melihat mukaku? Apa karena muka
aku yang pasaran ya? Tapi, gamungkin deh.” Aku melamun sambil memikirkan
itu dan mengulang-ngulang pertanyaan itu dalam pikiranku.

“Oh, ya! Aku inget sekarang!” Aku langsung terbangun dari lamunanku
karena kaget mendengar suaranya.

“Kamu Valerie Agatha, kan? Aku inget banget! Kamu kan temen deket
aku waktu SMP, masa ga inget? Aku Emily, Val! Coba deh inget-inget.” Aku
mencoba mengingat-ngingat, dan ternyata benar dia adalah teman dekatku waktu
SMP. Emily si periang dan cerewet.

“Iya! Aku inget kamu, Em. Kamu kan temen deketnya aku, aku kan tiap
hari kerjaannya curhat mulu sama kamu, hahaha.”

Akhirnya, aku menemukan teman baru. Eh, bukan deng. Aku telah
bertemu lagi dengan teman dekatku saat SMP, aku sangat senang karena telah
dipertemukan lagi dengannya terutama di Perancis ini. Setelah bercerita panjang
lebar, acara pun dimulai.
Acara terus berlanjut. Dan sekarang adalah waktunya pengumuman bagi
orang yang berhasil masuk lewat jalur beasiswa dengan nilai tertinggi. Jujur, aku
sangat penasaran siapa orang yang berhasil masuk jalur beasiswa dengan nilai
tertinggi. Aku sudah berekspetasi bahwa orangnya itu akan terlihat seperti orang-
orang yang kutu buku plus kacamata yang tebal.

“Orang yang berhasil masuk lewat jalur beasiswa dengan nilai tertinggi
tahun ini adalah… Kent Imanuel. Silahkan, bagi Kent Imanuel untuk segera naik
keatas panggung untuk berbicara dan pihak sekolah akan memberikan sebuah
penghargaan. Berikan tepuk tangan bagi Kent..”

Saat dia naik keatas panggung, semua ekspetasi yang sudah aku
bayangkan langsung hancur seketika. Ternyata, orang yang masuk lewat jalur
beasiswa dengan nilai tertinggi itu sangat tampan, cool, bahkan mampu
melelehkan hati wanita yang baru saja melihatnya. Ditambah lagi, cara
berpakaiannya yang stylish membuat aku terkagum-kagum olehnya.

“Wah, gila. Udah ganteng, pinter lagi.” Emily berkata sambil terus melihat
ke arah panggung.

“Hahaha, dasar dari dulu kamu emang ga berubah ya.” Kataku sambil
menyadarkan Emily karena dia sampai tidak bisa berkedip melihat ke arah laki-
laki itu.

Akan tetapi, saat aku melihat kembali ke arah panggung. Aku sangat tidak
asing melihat wajah laki-laki itu, “Apa dia teman SMP ku juga ya? Kok aku
ngerasa ga asing sama wajahnya.” Kataku dalam hati. Akhirnya, semua murid
baru dipersilahkan untuk bubar dan segera memasuki kelasnya masing-masing.
Betapa beruntungnya aku bisa sekelas dengan Emily, aku sangat senang karena
bisa sekelas dengannya. Kami pun duduk berdekatan.

Murid baru yang lain pun mulai memasuki kelas, dan betapa terkejutnya
aku melihat laki-laki yang bernama Kent tadi sekelas denganku. Aku langsung
putus harapan, karena mungkin dia akan menjadi rivalku dalam belajar. Aku pun
berbisik-bisik dengan Emily.

“Em, gimana nih dia masuk kelas kita? Pasti bakal susah nih kalo mau
dapetin juara satu.”

“Gapapa, Val. Aku ikhlas, yang penting ada yang bening aja di kelas kita
jadi kalo belajar tuh ga suntuk.”

“Lah? It’s not okay for me, Em. Pindah kelas aja, yuk!”

Emily tidak mendengarkanku, karena dia terfokus pada Kent. Aku merasa
kesal, walaupun ya ada untungnya juga dia masuk ke kelas kita.

Bel pun berbunyi, menandakan bahwa sekarang waktunya istirahat.


Kebetulan aku dan Kent duduknya berdekatan, dia berada tepat dibelakangku.
Saat aku melihat ke arahnya ternyata dia juga sedang melihat ke arahku, sontak
saja aku langsung mengalihkan pandanganku. Tapi, ada sesuatu yang masih
mengganjal di pikiranku, sepertinya aku pernah melihat dia dan tidak tahu kami
bertemu dimana.

Aku langsung berpikir keras, dan tiba-tiba di pikiranku muncul begitu saja
kejadian saat aku pertama kali datang ke Perancis. Dimana ada seorang laki-laki
yang menyambar taksiku dengan seenaknya, dan ternyata dia adalah orangnya,
Kent si pintar namun menyebalkan itu. Ketika aku ingat kejadian itu, rasanya aku
ingin memukulnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, aku menahannya sendirian
walaupun, rasa kesal ini sangat menggebu-gebu.

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah walaupun ada rasa malas karena
harus bertemu dengan orang yang sudah merebut taksiku. Tapi, aku harus tetap
semangat karena aku datang ke Perancis untuk belajar, untuk menggapai cita-
citaku. Saat aku datang ke kelas, Emily sedang ribut mengobrol dengan yang lain
termasuk Kent. Aku pun dengan sangat terpaksa, memutuskan untuk bergabung.

“Ada apaan sih, Em? Pagi-pagi gini udah ribut aja.”


“Ini katanya kita harus daftar ekstrakurikuler gitu. Tiap orang harus ikutan
minimal satu, Val.”

“Oh, ekstrakurikuler? Kamu mau ikutan apa, Em?”

“Kayaknya aku ikutan vocal group aja deh, Val. Kamu mau ikutan apa?”

“Kalo aku sih, kayaknya mau ikutan debat.”

“Ya, udah aku duga kamu bakal ikutan debat. Kamu kan terkenal jago
banget debat dari dulu, haha.”

Ya, memang benar. Aku sejak SMP, sangat terkenal jago debat. Bahkan,
aku pernah mengikuti lomba debat sampai ke kancah Internasional. Sepertinya,
aku jago debat karena memiliki bakat menurun dari ayahku. Ayahku adalah
seorang aktivis politik yang sangat cakap dalam berbicara, bisa dibilang aku
sangat terinspirasi oleh ayah.

Aku dan Emily terus berbincang mengenai hobi kita masing-masing, dan
terkadang kami juga tertawa kecil. Saat aku dan Emily selesai berbincang, aku
baru sadar ternyata Kent sedaritadi melihat ke arah kami berdua. Entah apa yang
ada dalam pikiran Kent, yang jelas aku sangat terganggu dengan sikapnya yang
seperti itu.

Bel pulang sekolah berbunyi menandakan kegiatan belajar mengajar telah


selesai. Akan tetapi, bagi murid yang baru masuk debat club mereka harus
berkumpul terlebih dahulu. Aku sangat bersemangat untuk mengikuti pertemuan
pertama dari debat club ini, tapi semua semangat, tekad, dan tentu saja mood-ku
langsung hancur berkeping-keping ketika melihat Kent juga mengikuti
ekstrakurikuler ini.

“Oh my god, why this is happen to me? MOM, HELP ME.” Aku berteriak
dengan kencang dalam hati, dan tentu saja tidak ada orang yang mendengar
teriakkan ku. Aku hanya sanggup melontarkan senyuman saja kepada Kent. Kent
pun membalas senyumanku dan berkata,
“Hai, kamu sekelas sama aku kan?”

“Oh, iya kita emang sekelas.”

“Kita sekelas, tapi aku belum tahu nama kamu. Aku Kent, kamu siapa?”

Rasanya, aku ingin berteriak di telinga dia “Woi, aku cewe yang kamu
samber taksinya! Masa lupa? Bagus ya, pura-pura lupa.” Akan tetapi, aku masih
bisa menggunakan akal sehatku untuk menanggapi Kent yang memasang muka
polos tanpa dosa.

“Oh, aku Valerie. Kamu kenapa bisa tertarik masuk debat club?”

“Aku tertarik masuk debat club karena aku suka nge skak mat-in orang
lain, hehe.”

“Wah! Keren banget ya alesannya. Oke, semoga sukses ya.” Aku berkata
sembari memasang senyum sinis kepadanya.

Malam harinya, aku kepikiran terus soal Kent padahal besok akan
diadakan seleksi untuk lomba debat. Aku kepikiran karena ini adalah kali pertama
dia ngobrol denganku dan sepertinya Kent itu orangnya asik kalau diajak ngobrol,
aku sudah salah menilai dia. Karena aku kepikiran terus soal Kent, akhirnya aku
memutuskan untuk curhat kepada Emily. Setelah selesai curhat kepada Emily, dia
malah tertawa dan berkata,

“Awas loh jangan terlalu benci, ntar jadi cinta hahaha..”

Aku langsung menyanggah perkataan Emily, mana mungkin aku bisa jatuh
cinta pada Kent orang yang paling menyebalkan se-planet bumi. Itu tidak
mungkin terjadi, tidak akan. Never ever. Akhirnya aku merasa lega karena sudah
mencurahkannya kepada Emily, aku pun memfokuskan diri latihan untuk
mempersiapkan seleksi debat yang akan diadakan besok.

Hari ini pun tiba. Aku tidak akan mensia-siakan kesempatanku untuk lolos
seleksi debat. Aku harus semangat dan percaya diri, karena ini menyangkut masa
depanku. Seleksi debat selesai, dan aku sangat tidak sabar menunggu hasilnya.
Kent yang juga mengikuti seleksi menghampiriku

“Val, gimana tadi deg-degan ga pas seleksi? Atau jangan-jangan deg-


degan karena ada aku?”

“Dih! Apaan terlalu percaya diri banget ya kamu, Kent. Too much of
something is never good, loh Kent.”

“Iya, iya. Tapi, aku yakin sih kalo kamu sama aku bakalan lolos seleksi
debat. Kamu kan terkenal jago debat, nah aku terkenal karena ganteng dan
kepintarannya. Jadi, kita tuh saling melengkapi, Val.”

“Alay. Udah ya aku mau pergi dulu, buang-buang tenaga kalo ngomong terus
sama kamu.”

“Valerie, tunggu! Anterin aku ke kantin dulu ya, aku takut kalo harus
sendirian ke kantin.”

“Hey, what’s wrong with you, Kent? Sana sendiri aja, lagian males.
Kecuali kalo aku dijajanin, hahaha.”

“Yaudah, aku jajanin.”

Aku merasa senang karena bisa sedekat dan seakrab ini dengan Kent,
padahal baru kemarin kami mengobrol tapi sekarang kami sudah seperti sahabat
dekat. Ternyata Kent adalah orang yang baik, jauh seperti apa yang selama ini aku
pikirkan.

Keesokan harinya, aku sudah sangat tidak sabar melihat hasil seleksi
debat, karena hasil seleksinya akan dipajang di mading sekolah hari ini. Aku pun
pergi ke sekolah, dan aku sangat terkejut ketika aku melihat namaku terpampang
di mading sekolah, ditambah lagi Kent juga lolos seleksi debat. Aku sangat
senang, saking senangnya aku menangis sampai aku tidak menyadari kehadiran
Kent yang berdiri didepanku sambil membawakan tissue.
“Relax, baby girl. Jangan nangis, kan aku lolos seleksi kenapa kamu harus
nangisin aku?”

“Tuh kan, a..a..aku.. bu..kan. na..ngis..nangisin kamu.” Aku menjawab


sambil terisak-isak, karena aku tidak menyangka aku akan lolos seleksi dari
sekian banyak peserta.

“Udah Valerie jangan nangis, nih aku bawain susu melon juga buat kamu.
Sekarang kita ke kelas, yuk!”

Dari semenjak itu, aku dan Kent semakin dekat. Apalagi sekarang kita
berada dalam satu tim debat, sehingga kita bakalan sering bertemu untuk latihan.
Kent semakin perhatian kepadaku, Emily bahkan menilai bahwa perhatian Kent
kepadaku itu sudah melebihi batas ‘teman’ yang wajar. Padahal dari awal, aku
sudah bertekad untuk tidak menyukai Kent. Tapi sepertinya, tekadku itu hanya
menjadi wacana. Sebab, sekarang aku mulai menyukai Kent.

Emily, dia sudah pintar menebak apa yang aku rasakan saat ini. Dia sudah
meramal bahwa pada akhirnya aku akan jatuh hati pada Kent. Mengingat bahwa
Kent itu anak yang pintar bahkan sampai dia bisa mendapat beasiswa dengan nilai
tertinggi, baik, cool, stylish, dan juga ganteng, kadang aku merasa bahwa orang
sepertiku tidak pantas untuk jatuh hati pada Kent. Aku memutuskan untuk
memendam rasa ini dan tidak menunjukkannya kepada Kent, karena aku yakin dia
tidak akan mempunyai perasaan yang sama sepertiku. We’re like two teenagers
who were scared to love one another.

Beberapa hari kemudian..

Tibalah saatnya hari perlombaan debat. Aku dan Kent semakin dekat,
begitu juga dengan perasaanku yang semakin hari semakin besar, tentu saja tanpa
Kent mengetahui yang sebenarnya. Lomba tersebut diadakan di sebuah gedung
yang berdekatan dengan Louvre Museum. Karena letaknya yang cukup jauh dari
apartemenku, aku ditawari Kent untuk pergi bersama dengannya. Akan tetapi, aku
menolak dengan alasan bahwa aku akan diantarkan oleh Emily. Aku terpaksa
berbohong kepadanya, karena jika aku pergi bersama dengan Kent aku akan
merasa gugup dan tidak nyaman. Akhirnya, aku memesan uber dan bergegas
pergi.

Ketika aku sampai di gedung tersebut, aku langsung berlari bergabung


dengan salah satu teman dalam tim debatku. Akan tetapi, aku belum melihat Kent.
Aku khawatir Kent tidak datang, karena panik aku jadi lupa sebagian materi debat
yang sudah disampaikan ketika aku latihan. Aku pun memutuskan untuk mencari
udara segar, agar aku dapat menenangkan pikiran dan memulihkan rasa panikku.

Saat aku sedang mencari udara segar, aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri kalau Kent sedang mengobrol dan diberi semangat oleh seorang
perempuan cantik dengan gaya glamour. Aku berharap kalau ini semua hanya
mimpi, tapi sayangnya bukan. Setelah melihatnya dengan perempuan lain, aku
merasa seperti ada yang mengganjal di hati, semakin aku tahan semakin sakit
rasanya. Akan tetapi, aku berusaha untuk tetap fokus pada perlombaan debatku.
Karena aku tidak mau kalau Kent tahu tentang perasaanku kepadanya and if he
know, things will get worse. Lomba berjalan dengan sangat lancar, tapi lain halnya
dengan hubunganku dan Kent.

Today my forest is dark and all the butterflies have broken wings, same as
me. Aku nangis semaleman karena aku ngerasa, aku udah dibutain sama perasaan
aku ke Kent. Oke, ini semua bukan salah Kent. Dia gatau kalau aku punya
perasaan sama dia, jadi dia punya hak buat deket sama perempuan mana aja. Aku
nangis karena aku gatau kalau sebenarnya konsekuensi suka sama orang diam-
diam itu sesakit, dan sesesak ini.

Aku lupa bahwa hari ini aku harus pergi ke sekolah, mataku bengkak
karena nangis semaleman. Terpaksa aku harus mengompresnya dengan es batu.
Aku berangkat ke sekolah sambil memakai headset dan memutar lagu “This
Love” – Taylor Swift, karena lagu ini sangat cocok dengan keadaanku sekarang.
Di sekolah aku tidak berkata sepatah kata pun pada Emily ataupun Kent. Dalam
sekejap, aku berubah menjadi seorang perempuan yang penyendiri dan juga
dingin. Kent beberapa kali mencoba untuk berbicara denganku, tapi aku tidak
memperdulikannya begitu juga dengan Emily.

Aku pulang ke apartemen dan merebahkan diri di kasur, sesekali aku


mengecek ponselku berharap Emily akan tiba-tiba datang sambil membawakan
cemilan pedas untukku. 5 menit kemudian, terdengar suara bel berbunyi dan benar
saja Emily datang sambil membawakan camilan pedas untukku. Aku memeluknya
sambil menangis tersedu-sedu,

“Emily!!” Teriakku sambil memeluknya dan menangis.

“Kamu kenapa, Valerie? Di sekolah juga kamu tadi ga ngomong sama aku
atau Kent, ayo ceritain aja, Val daripada kamu harus mendem sendirian.”

Akhirnya, aku pun menceritakan semua yang aku lihat ketika lomba debat
kemarin kepada Emily dan benar saja perasaanku menjadi tenang. Setelah selesai
menceritakannya, Emily terlihat tidak begitu yakin kalu Kent adalah orang yang
seperti itu.

“Val, dengerin. Kent bukan orang yang kayak gitu, aku bisa liat kok kalo
Kent itu sukanya sama kamu.”

“No, of course not. Dia aja gatau kalo aku suka sama dia, ya wajar aja dia
deket sama perempuan lain. Dari awal ini salah aku, kenapa aku harus suka sama
Kent yang…” Tiba-tiba Emily memotong omonganku dan berkata dengan nada
yang cukup tinggi.

“WHAT IF HE STARES AT YOU, EVERYTIME YOU LOOK AWAY?! Val,


Kent itu sering ngeliatin kamu, kamunya aja yang ga nyadar. Oke, kalo kamu
bilang itu cuman sekedar ngeliat, tapi dia beda kalo lagi ngeliat ke arah kamu,
Val.”

Aku tertegun, tidak tahu harus menjawab pertanyaan Emily bagaimana. Emily
terus saja melihat ke arahku, apa ini aku yang salah? Atau aku dan Kent yang
sama-sama tidak punya keberanian untuk bersama?
Keesokan harinya, aku sakit dan tidak masuk sekolah. Emily juga cerewet
memarahiku karena akibat aku nangis semalaman, aku jadi sakit. Aku duduk di
sofa, membaca novel, dan tentu saja sambil memakan cookies yang sangat aku
sukai. “Sungguh hari yang sangat membosankan.” Kataku dalam hati.

Aku melihat jam, ternyata ini sudah sore. Emily pasti akan datang
menjengukku, dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.

“Teng… teng… teng… “ suara belku berbunyi, dengan segera aku


membukanya.

“Em…..” Betapa terkejutnya aku melihat Kent ada didepan pintu


apartemenku.

“Eh Val, hehe. Kata Emily kamu sakit, sakit apa?”

“Ga, aku udah sembuh. Ngapain kesini?” Aku menjawab dengan wajah
dingin.

“Ya buat jenguk kamu lah. Aku kesepian karena gada kamu, eh tau ga?
Kita dapet juara satu debat loh, Val! Kita keluar sebentar yuk, cari udara segar.”

Aku dan Kent pun pergi ke taman yang letaknya tidak jauh dari apartemenku.

“Juara satu? Yeay..”

“Kenapa kok kamu keliatan sedih, Val?” Karena Kent bertanya seperti itu,
aku pun memutuskan untuk menceritakan perasaanku yang sebenarnya.

“Because you speak to me in words and I look at you with my feelings, aku
tahu kamu pasti gaakan punya perasaan yang sama kayak aku. Tapi seengganya,
aku udah bilang ini ke kamu dan sekarang aku udah ngerasa lega karena udah
omongin perasaan aku ke kamu. Maaf ya Kent, aku yang kayak gini bisa naruh
perasaan kayak gitu ke kamu. Dan satu lagi, jangan terlalu deket sama aku ya aku
pasti bakal berusaha kok buat ngelupain kamu. Kayaknya sekarang aku harus
pergi deh, Bye Kent.” Aku pergi sambil menahan tangisku, tapi Kent memegang
tanganku dan berkata,

“Val! Dengerin aku dulu, tau ga alasan aku masuk debat club?
Sebenernya, aku masuk debat club supaya aku bisa lebih deket sama kamu. Aku
udah sadar kalo kamu itu perempuan yang aku rebut taksinya waktu di airport.
Aku liat kok wajah kamu dari dalem taksi, dan tanpa sadar aku berkata ‘How
beautiful she is!’ dan sekarang aku seneng kalo ternyata kita satu sekolah dan
kamu anaknya pinter juga, makanya aku berusaha buat ngedeketin kamu. Truth is,
I love you too Valerie.”

Aku kaget Kent bilang kalo dia juga punya perasaan yang sama kayak aku.
Aku bingung harus menjawab apa, tapi seketika aku teringat dengan perempuan
yang Kent temui saat sedang lomba debat.

“Haha maaf, Kent tapi aku ga percaya. Perempuan yang kamu temui
waktu debat itu siapa? Pacar kamu, kan? Mana kamu disemangatin dia lagi.”

“Bukan, Val. Dia bukan pacar aku, dia itu saudara jauh aku. Aku
disemangatin karena aku itu gugup. Aku bukan gugup karena lomba debatnya,
tapi aku gugup karena ada kamu. Maafin aku, udah bikin kamu nangis semaleman
sampe akhirnya sekarang kamu sakit. Emily udah ceritain semuanya ke aku kok.
By the way, kamu mau kan maafin aku?”

“Oh, ternyata begitu. Maafin aku juga ya Kent, udah salah sangka sama
kamu. Iya, aku maafin. Kita masih temenan kan?”

“Nope. Kita sekarang udah ga temenan lagi.”

“Ih kok kamu gitu sih, Kent? Kan aku udah minta maaf dan kamu
juga udah minta maaf. Jadi, sekarang kita udah baikan.”

“Iya, sekarang kita ga temenan. Tapi, kita pacaran! Hahaha, kena kamu.”

“Lah, sejak kapan? Kent kalo kamu bercanda lagi aku pukul beneran, lho.”
“Galak. Kan tadi kamu udah ngutarain perasaan kamu, aku juga udah
ngutarain perasaan aku ke kamu. Jadi, otomatis dong kita sekarang pacaran.
Hahaha, beruntung banget ya aku, bisa pacaran sama sahabatku sendiri.”

“Ya, I’m lucky too Kent. Hal yang paling membahagiakan di dunia ini
adalah having a boyfriend who is also your bestfriend. Makasih Kent, kamu udah
mau ada di kehidupan aku.“

Semenjak saat itu kehidupanku jadi lebih berwarna, yang awalnya hanya
ada Aku dan Emily, sekarang ada Kent. Kent adalah seorang laki-laki yang bisa
kubilang sangat perfect, pintar, baik, dan tentu saja always take care of me. Kedua
orang tuaku juga sudah mengenal Kent, mereka sangat menyukainya karena
disamping mempunyai paras yang tampan, dia juga sangat berprestasi. Aku,
Emily, dan Kent. Kami adalah sahabat yang saling melengkapi, terkecuali Kent.
Dia adalah sahabat sekaligus pacarku.
Perintik Rindu
Oleh : Syelvie Ira

Sabtu, hari pertama gue menginjakan kaki di Jakarta. Hari dimana gue
harus memulai semuanya dari nol. Hari dimana kesialan gue dimulai.

“Dad, seriously? Kita tinggal di tempat kaya gini? Mending kita balik lagi
ke Bandung.. Di Bandung itu lega dad..”

“Agatha! Berhenti merengek! Cobalah untuk menerima keadaan. Dengan


cara begitu Daddy kamu bisa makin depresi!” tegur Mommy. Gue tersentak, ga
kaya biasanya mom kaya gitu apalagi negur gue sampe segitunya. Daddy ga
komentar apa apa, ga negur gue maupun mommy. Dia langsung masuk ke rumah
yang katanya bakal jadi rumah baru kita. Demi apa gue ga suka dimana kalau di
rumah lama gue, halamannya luas banget bangunan aja udah tinggi kek istana
sedangkan rumah ini, jauh dari rumah lama gue yang lebih nyaman buat
ditempatin, rumah ini kotor banget kaya ga ada yang ngurus gitu. Mau ga mau gue
masuk setelah Mommy masuk, exactly tempatnya beneran kaya covernya.

“Agatha kemarilah nak..” tiba tiba ayah memanggil dari ruang tengah, ya
ini menurut gue bakalan berubah jadi ruang keluarga atau ruang tamu sih.

“Ya dad?” kata gue sembari duduk di sofa sederhana yang jauh kerennya
sama sofa di rumah lama.

“Dad pengen kasih tau kalau buat kedepannya kita bakalan tinggal disini
sampai daddy bisa bikin usaha lagi. Temen daddy menipu daddy, dia mengambil
semua modal yang ada dan merusak orderan pelanggan, sehingga pelanggan kita
menuntut ganti rugi. Daddy ga nyangka ini terjadi tapi ternyata dia udah iri sama
daddy dari dulu. Karna apa yang dia pengen malah daddy yang dapet. Jadi untuk
sementara waktu, kita tinggal disini. Ga apa apa kan?” tanya daddy
“Um, iya ga apa apa..” jawab gue ragu

“Nih kunci kamar kamu, kamar kamu di atas. Istirahatlah, pasti kamu
kecapean.”

“Thank you dad.” Jawab gue sambil peluk daddy. “Agatha ke kamar dulu
ya” lanjut gue sembari membawa koper.

Kreekkk..

“Rumah yang cukup indah? Ahh lebih tepatnya cukup membuatku


menyadari bahwa kehidupan ga selalu ada diatas..” gue berbicara sendiri lalu
menjatuhkan tubuh gue ke kasur yang kain penutupnya baru saja dilepas.

Lelah banget hari ini, pengen banget gue tidur tapi ga bangun lagi.. Hhmm

Dua hari kemudian gue masuk sekolah. Pertama kali i mean new school.

Seperti sekolah pada umummya gue disuruh memperkenalkan diri ke


temen temen di kelas baru gue. Dari pertama gue memasuki kelas, aura gelap
udah mengelilingi gue dari tadi. Teman gue tepatnya teman baru gue merengut
saat melihat gue. Gue ga tau kenapa, setau gue sih gue ga ada salah apa apa lagian
gue juga baru ketemu mereka hari ini.

“Ya anak anak ini adalah teman baru kita, pindahan dari Kalimantan.
Silahkan perkenalkan namamu nak” kata walikelas gue mempersilahkan

“Namaku Valerie Agatha. Aku pindah ke Jakarta karena ayahku dimutasi.


Mohon bantuannya untuk menyusul tugas dan catatan yang tertinggal” ucap gue
sambil membungkuk kecil, jujur gue ga suka ngelakuin ini. Ini ganggu gue
banget. Bahkan rasanya gue pengen lari pulang dan langsung meminta ke Daddy
buat balik ke Bandung atau cari sekolah lain.

“Valerie duduk di samping Oliver ya. Oliver itu adalah ketua kelas di
kelas XI A. Oliver, tolong bimbing Valerie.” Kata guru itu mengingatkan
“Terimakasih pak” kata gue berterimakasih dan langsung melangkah
menuju mejanya ‘Oliver’

Saat aku duduk, Oliver sedang membaca sebuah buku yang sangat ingin
gue ketahui judul bukunya namun dia langsung menutupnya dan memasukannya
ke tasnya.

“Silahkan duduk Valirie Agatha” katanya sambil tersenyum manis namun


terpaksa

“Terimakasih Oliver” jawab gue dengan senyum terpaksa juga.

“Lo cantik” dia tiba tiba berbisik. Gue langsung menjauhkan muka gue
dari mukanya lalu gue natap dia sinis. ‘Lo gila? Makan apa lo tadi pagi’ pengen
banget gue ngomong kaya gitu.

“Kok lo diem aja sih. Menurut lo gue ganteng ga? Ya ntaran juga lo naksir
sama gue. Kalo mau gue jadiin pacar gue juga detik ini. Mau?” canda dia

“Demi apa ga lucu, gue ke sekolah buat belajar bukan buat ketemu
bedebah kaya lo. Gur bingung kok kelas ini mau aja jadiin lo ketua kelas. Ketua
kelas gatel, jangan jangan mantan lo lebih dari seribu ya?” sindir gue

“Lo jangan kurang ajar ya! Gue bakal buktiin lo bakalan memohon mohon
buat jadi pacar gue dan disaat itu juga gue bakal nolak lo mentah mentah. Camkan
itu” jawabnya dengan nada tinggi sehingga seisi kelas memusatkan pandangannya
pada cowo kasar itu, Oliver.

“Oliver, Valerie! Kalian mengganggu pelajaran saya!” kata walikelas gue


yang daritadi sedang menjelaskan materi namun terganggu sehingga dia juga
memusatkan pandangannya pada Oliver.

“Bukan gue eh saya pak, nih anak baru ini yang udah bikin saya emosi”
Oliver membela diri
“BUKANNYA LO? TRUS TADI YANG BISIK BISIK KE GUA
SIAPA?! HANTU ? LO BEGO ATAU APA SIH?? MAKAN APA TADI PAGI?!
MAKAN SAMPAH YA? PANTES AJA PIKIRANNYA SAMA KAYA
SAMPAH!” kata gue dengan suara yang ikut meninggi.

“JAGA YA OMONGAN LO. ANAK BARU AJA BELAGU!” Jawab


Oliver

“Sudah sudah! Oliver kamu tau kan apa yang terjadi apabila ada yang
mengganggu pelajaran saya? Kamu itu ketua kelas, contoh untuk teman temanmu.
Dan kamu Valerie, kamu anak baru di sekolah ini udah bikin keributan. Kalian
berdua berdiri dilapang bendera sampai jam istirahat berbunyi! Cepat!”

“Tapi pa bukan salah sa...”

“Ga ada tapi tapi! Cepat!!” kata walikelas gue memotong. Ya gue bahagia
sih sedikit, dia yang so ganteng so cool bisa jadi orang paling cupu di depan
walikelas.

“Cepet lo, malah senyum senyum sendiri, gila ya lo?” kata dia yang
membuyarkan lamunan gue

“iya iya, salah lo juga si” jawab gue agak kalem

Gue bareng dia melangkah keluar kelas, sudah jelas dia yang ada didepan
gue karna gue masih belum terbiasa dengan sekolah ini. Satu dua menit tidak ada
masalah, namun pada menit berikutnya gue melihat sosok Noel pada Oliver.
Engga ga ga ga, ga mungkin Oliver itu noel. Aku menggeleng untuk
membuyarkan bayangan tentang Noel. Noel itu pacar gue di Bandung. Gue sama
Noel udah komitmen buat jaga hubungan kita, ldr? Gamasalah, dia janji bakal
datang tiap bulan ke Jakarta buat nengokin gue. Dan Noel tuh jauh lebih baik dari
Oliver!
“Lo sakit ya hari ini? Ngapain juga lo geleng geleng? Kerasukan ya?”
tanya Oliver dengan nada aneh

“Kaga, gue.. Guee Cuma kepegelan aja. Kenapa si sewot banget. Hidup
hidup gue kok lo yang ngatur?”

“Lo tuh masyarakat kelas gue. Gue tuh wajar buat care. Eh tuh lapang. Lo
aja yang berdiri ya, gua mau ke kantin aja” jawabnya, tanpa pikir panjang gue
tarik tangannya. Seenaknya ngebiarin gue gitu aja. Saat gue tarik mungkin
kondisinya sedang tidak seimbang, dia ketarik kearah gue dan menabrak gue,
sehingga kami berdua terjatuh dengan keadaan terlentang.

“Kalau lo suka sama gue ngomong dari awal, ga kaya gini. Ternyata lo
mesum juga ya, ga apa apa kalo lo mau ntar gue ajakin ke rumah” kata Oliver
terkekeh

“GEER BANGET SI LO. Malesbanget gue kalo sama lo!” kata gue
langsung berdiri dan berjalan ke lapangan. Diikuti oleh Oliver yang masih senyum
senyum sembari godain gue, dia masih nyangka gue suka sama dia. Ogah banget!

Kringgg

Bel pulang sekolah udah bunyi tandanya sekolahan udah bubarin manusia
manusianya buat pulang. Tapi gue rasa manusia yang ada di samping gue ini ga
bisa dimasukin kategori manusia normal.

“Agatha, pulang bareng yu. Gue anterin” kata Oliver

“Ogah banget, udah berapa kali gue ngomong k elu. Gue ga sudi sama lo!”
jawab gue
“Lo jangan jual mahal deh. Jujur nih, dari awal gue suka sama lo. Ga
kepikiran gue juga. Dan jujur ini pertama kali gue suka sama cewe, padahal lo
jauh banget dari kriteria gue” protes Oliver

“Salah gue gitu? Bodo amat sih” jawab gue yang langsung berhentiin
angkot dan ninggalin dia gitu aja. Jujur, dia tuh emang ganteng dan pinter, gue
akuin itu iya. Tapi dia ga sopan sama cewe, trus hal yang aneh satu lagi tuh
kenapa gue bisa kepikiran dia terus ya? Serasa bareng Noel setiap gue bareng dia,
Noel masa pdkt sama gue ya sikapnya kaya Oliver dan tentunya nyaman. Ya aku
akui aku nyaman saat dekat dengan Oliver.

“Eh pa kiri pa kiri, duh kelewat” kata gue sambil mukul jidat

“Eh naha atuh eneng teh meni ngalamun wae?” jawab supir

“Bapa tiasa nyarios sunda? Sa kampung atuh sareng abi. Ieu pa kapikiran
wae Oliver” jawan gue

“Oliver? Oliver Kent Archer?” tanya bapa itu

“Muhun pa..” jawabku singkat sembari membayar ongkos

“Budak bageur eta mah, eh ieu neng angsulanna. Upami Ujang Oliver
nembak, saran ti bapa mah terima we neng..” kata pa supir itu yang lalu pergi
setelah ngasih gue kembalian

“Anak baik? Duh bapa itu telah terbutakan ternyata, apa bapa itu juga suka
sama si Oliver aneh itu? Ga kebayang banget kalo emang iya” batin gue.

Tok tok tok

“Agatha kok baru pulang? Itu temen kamu datang” tanya Mommy

“Temen? Perasaan Agatha ga cerita sama siapa siapa soal rumah Agatha.
Emang siapa sih?!” kata gue langsung masuk ke rumah. Seinget gue, gue ga cerita
sama siapa siapa soal rumah gue, dan gue emang ga berniat buat kasih tau alamat
rumah gue ke temen temen apalagi ke Oliver. Gue harap, bukan Oliver yang
datang. Kok Oliver lagi sih? Dan ketakutanku ternyata benar.

“ELO?” kata gue kaget

“Um hai, gue kesini mau ngajak lo jalan. Gue udaj ijin k nyokap lo dan
nyokap lo ngijinin.” Jelas dia

“Sekarang kamu ganti baju ya” kata Mommy sambil dorong gue ke kamar.
Gue ga ngerti apa yang ada di benak Mom gue, tapi ini ga bener. Seriusan. Tiba
tiba telfon gue bunyi, Noel. Demi apa gue udah pengen cerita sama Noel dari hari
pertama gue di Jakarta, tapi dia sibuk banget sama kuliahnya sampe ga mikirin
atau perhatiin gue lagi. Langsung gue angkat tuh telfon dan pengen banget nyuruh
Noel buat ngomong ke Mommy.

“NOEL NOEL NOEL, ADA YANG PENGEN GUE CERITAINN”seru


gue

“Agatha guemau ngomong dan gue pikir gue yang harus ngomong duluan
karna gue ga punya banyak waktu..” jawabnya pelan

“Ada apa ?” kata gue mulai mendingin, gue takut kalo gue.....

“Kita putus ya.. Udah jangan hubungin gue lagi. Gue minta maaf kalo gue
ada salah sama lo, thank you for all we suffered together.”

BOOM!

Yang gue takutin terjadi lagi..

“Tapi kenapaa? Aku salah apa sama kamu? Gimana soal janji kita? Janji
kamu?!” tanya gue yang ternyata udah nangis dari tadi

“Forget it all, Agatha. It’s end here.” Kata dia dan telfon tertutup. Hari ini
aku ngerasa orang yang paling sial di dunia, i dont know what i must say but i
hate to say this, aku benci Noel.
“Val are you ok?” kata Oliver yang dari tadi udah berdiri depan pintu
kamar dan langsung ngebukanya ketika ngedenger isakan gue. Dia ngehampiri
gue, duduk di samping gue.

“Everything will be okay, Val” Oliver menenangkan. Oliver jadi orang


yang ga gue kenal, yang biasanya nyebelin tapi dia sekarang malah jadi penenang
gue. Oliver itu mirip Noel, ketika gue sedih Noel pun melakukan hal yang sama
seperti Oliver. Tapi engga buat kali ini. Secara spontan gue langsung meluk
Oliver,lalu mukul dada dia.

“Kenapa harus elo yang ada di samping gue sekarang?! Kenapa ga Noel?”
tanya gue, dia cuma diem dan ngelus pundak gue.

“KENAPA COBA KENAPA? KENAPA HIDUP GUE HARUS KAYA


GINI” tanya gue ke Oliver

“that isn’t your fault, Val.” Oliver masih menenangkan.. Hari itu gue
bersyukur Oliver ke rumah. And until now aku ga tau maksud dia ke rumah
ngapain. Tapi ga lama kemudia Mommy gue datang dan ngasihin kertas ke gue.

JIKA RINDU HUBUNGI AKU, JANGAN SEOLAH OLAH TIDAK


MERASAKANNYA

-Oliver, orang paling dikangenin sama Valerie.

Seketika gue tersenyum geli melihatnya, ada nomer telfonnya dibawah


surat? Itu.. Langsung saja gue telfon..

Tut tut tut

Ga diangkat, gue cuma bisa liat tulisan itu.

“Agatha, Agatha, ini ada Oliver mau ngajak keluar” teriak Mommy dari
luar kamar. Seketika gue ganti baju dan nyamperin Oliver. Ga disangka sangka
Oliver datang bawa Bunga yang ada surat kecilnya, kubuka surat kecilnya itu
yang berisi

Jika Salma punya Nathan, Milea punya Dilan. Maka, lo punya gue.

Gue pun langsung tersenyum lagi dan langsung meluk Oliver. Entah sejak
kapan perasaan nyaman ini tumbuh menjadi cinta.

“Thank you Kent” kata gue pelan

“Jadi jalan ga?” dia nanya.

“JADI” jawan gue bersemangat dan langsung menuju ke kendaraannya.


Sore itu kami melewati kota Jakarta yang ramai, meski keras namun orang belum
melihatnya langsunh bahwa kota ini tidak seburuk apa yang dikatakan. Kota ini
adalah rumah keduaku setelah Bandung. Akhirnya kami sampai pada tujuan dan
langsung memasuki Irnes Cafe.

“Bagus bangett” kata gue kagum. Oliver hanya tersenyum dan langsung
narik gue ke lantai paling atas. Di atas ga ada orang lain selain pelayan dan juga
kami. Oliver lalu mempersilahkam gue duduk dikursi yang ada di tengah. Gue
langsung duduk dan diikuti Oliver yang duduk di kursinya.

“Lo ga salah ngajak makan di sini? Ini kan pasti mahal banget?” kata gue

“Ya engga lah, ngapain juga salah. Ngapain juga gue ngajak lo ke pinggir
jalan?” tanya dia

“ya engga apa apa sih lebih mending kaya gitu..” jawab gue. Canggung
tiba tiba menghampiri. Oliver sih terlihat baik baik saja gue ga tau kenapa..

“Gue mau lo jadi pacar gue. Denger, gue ga bisa sweet sweetan, apalagi
kaya orang orang diluar sana. Jadi gue nembak lo apa adanya.” Kata Oliver
membuka pembicaraan
“Ngapain lo nembak gue? Gue mau jawab asal lo jawab. Kenapa lo suka
gue?” tanya gue

“I dont know. I think i love you because its you.” Jawab dia

“Ya aku mau.” Jawab gue. Dihari itu gue seneng ga ketulungan, demi apa
gue sayang banget sama Oliver dan ga tau dari kapan gue suka sama orang ini..
Kami menjalani hubungan kami dengan apa adanya, terlintas seperti ada Noel
dalam dirinya. Tapi aku mencintainya karna itu Oliver bukan karna dia mirip
Noel. Bersama Oliver aku melupakan tentang Noel.

Satu tahun kemudian, Daddyku telah membuka usaha yang baru dan
syukur, itu maju banget. Hingga Daddy mengajak kami kembali ke Bandung.
Jelas gue ga mau, gue udah nyaman disini. Beradaptasi itu sulit, namun ketika gue
udah nemu Oliver. Rasanya Hidup gue berjalan dengan apa yang pernah gue
impikan.. Gue dan Oliver masuk ke Universitas yang sama namun jurusan yang
berbeda. Gue ngambil Aktuaria dan dia ngambil kedokteran. Kami menjalani
hubungan dengan baik meski didalamnya kami suka bertengkar kecil, bercanda
yang berlebihan, dan bertengkar hebat pun masih terjadi. Namun itulah yang
membuat kami semakin dekat hingga kami menikah seperti sekarang. Mom and
Dad juga udah bahagia, karena mereka udah nimang cucu mereka, Olivia Agatha.
Indahnya Hijab Indahnya Hidup
Oleh : Waqi Abdurrahman

Malam minggu ku sangat sepi. Aku memang sudah terbiasa dengan status
jombo yang sudah lama menempel jelas di jidatku. Malah ada teman-teman ku
yang bilang “mungkin jodoh mu hanya akan datang ketika kamu punya
kesempatan buat berubah jadi Aura Kasih.” Ya ampun sadis banget sih.

Malam ini tepat pukul 12 aku menunggu pergantian umur ku yang ke-18.
Ku lihat ponsel ku yang hanya terdiam menambahkan suasana sepi malam ini.
Bisa mati rasa kalau kaya gini terus. Aku menarik selimutku tak lupa BAK biar
gak ngompol. Malu sama umur dong. Aku dengan mudah terlelap karena itulah
aku juga kadang dipanggil Mubal (Muka bantal).

Sekejap aku begitu mudah meninggalkan dunia nyataku dan masuk ke


dalam dunia mimpiku. Aku melihat sesosok wanita tua yang mendekati ku dan
mengelus pipiku. Dia berkata “Tak lama lagi wajah halusmu akan berubah
keriput, rambut hitam ini pasti akan memutih dan tubuhmu ini akan semakin
melemah anak, apakah kau tidak kasian dengan ayahmu jika kamu terus seperti
ini. Tidakkah kamu ingin memakai kain ini untuk menutupi tubuhmu?” dia
memberikan sehelai kain putih. ketika hendak mengambilnya aku terbangun dan
rasanya mimpi itu begitu nyata bagiku.

Pagi ini ku lihat handphone ku menerima banyak sms ucapan untukku. aku
bersyukur ternyata masih banyak teman-temanku yang masih mengingat hari
ulang tahunku. Meskipun Hari ini adalah hari ke-29 aku diam di rumah setelah
masa ujian sekolah ku selesai. Teman-teman ku datang mengunjungiku dan
membawa banyak hadiah. Wali kelas semasa aku kelas 1 SMA pun datang
membawakan kado ulang tahun.

Waktu begitu cepat dan hari ini ku tutup dengan ucapan Hamdalah.
Indahnya hari ini mewarnai hari peringatan aku dilahirkan dari seorang ibu yang
begitu aku cintai. Ku buka satu persatu hadiah yang ku terima hari ini. Kudapati
sebuah pakaian dan kerudung berwarna putih. terselip sebuah surat dan aku tahu
ternyata guruku lah yang memberikan hadiah ini. Di dalam suratnya beliau
berpesan agar aku mencoba pakaian itu dan dia berharap dengan aku memakai
pakaian ini aku bisa menyelamatkan ayahku dari panasnya api neraka. Aku
teringat dengan perkataan wanita tua itu. apa ini yang dia maksud? Apa aku harus
mencoba untuk berhijab?

Sore ini kumantapkan hati dengan mengucapkan basmalah dan kupakai


jilbab yang diberikan oleh guruku. Aku bertanya pada ibu ku “Ibu bagaimana jika
penampilanku seperti ini?” Ibu menjawab “Apa salahnya jika itu memang
keputusan mu.”

Dari mulai tiap sore, sekarang menjadi setiap hari aku berjilbab. Inilah
awalku memulai perubahan dari hidupku. Bukan hanya penampilan tapi aku pun
mempunyai tanggung jawab untuk merubah perilaku ku yang buruk. Berhijab itu
bukan hal yang mudah bagiku. Pertama aku harus memikirkan bagaimana cara
aku menetapkan niatku berhijab yaitu hanya karena Allah. Kedua, kadang kalanya
saat bercermin muncul setan yang menggodaku untuk melepas kerudung karena
sepertinya mataku dibutakan sesaat olehnya dengan memperlihatkan bahwa aku
terlihat cantik saat tidak memakai kerudung. dan aku juga ingat ketika aku begitu
putus asa ketika aku sangat sulit mendapatkan pekerjaan hanya karena tuntutan
untuk tidak memakai jilbab sedangkan teman-temanku begitu mudah mencari
pekerjaan. Tapi disisi lain Allah tetap membantuku dengan memberiku kesabaran
dan kesadaran. Atas kesabaran itu 2 hari kemudian aku mendapatkan pekerjaan
yang memperbolehkan aku memakai jilbab. kemudian aku ditawarkan pamanku
untuk ikut mengajar menjadi guru honor di sebuah sekolah dasar di kampung
pamanku.

Akhirnya Sudah 2 tahun ini aku berhijab, bukan berarti ujianku berakhir
begitu saja. Di kemudian hari mungkin saja aku akan menemui masalah lain. Tapi
lupakanlah. Karena saat ni bukan saatnya aku untuk memikirkan semua itu. Inilah
waktu ku untuk merasakan kebahagiaan di dunia. Dan kalian tahu itu apa.
Akhirnya detik ini, menit ini, jam ini, Allah mempertemukanku dengan jodohku
dengan cara indah. Dengan laki-laki yang begitu menghargai ku sebagai seorang
wanita.
Caroline
Oleh : Yuli Lumbantoruan

Aku memang tidak seperti orang yang diluar sana. Dengan sifatku yang
bisa dibilang pendiam, aku sadar bahwa aku tak bisa bersosialisasi. Orang berkata
bahwa diriku memang sempurna, tapi aku sadar di dunia ini tak ada yang
sempurna, tak ada seorangpun yang tak mempunyai kekurangan. Contohnya aku,
mereka bilang aku sempurna tapi tanpa mereka sadari aku adalah manusia yang
penuh kekurangan.

Pepatah mengatakan, “ tak kenal maka tak sayang “

Let me introduce my self, aku Caroline. Kalian bisa memanggilku Olin,


Caca atau Lin. Senyamannya kalian saja.

Aku sekolah di SMA Nusa Bangsa, dan aku duduk di kelas XI MIPA 1.
Sekolahku termasuk sekolah yang tergolong elit dan terkenal di daerah Jakarta.
Aku anak ke 1 dari 2 bersaudara. Adikku bernama Agatha. Dan pekerjaan ayahku
adalah direktur di sebuah perusahaan ternama di Jakarta dan ibuku seorang dokter
di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Cukup dengan perkenalannya, sekarang aku sudah berada di sekolahku.


Aku memasuki kelasku yang sudah ada beberapa murid didalamnya. Aku duduk
di barisan ujung dan paling belakang karena aku tidak terlalu menyukai duduk
dibarisan yang terlihat oleh guru saat mengajar.

Bel berbunyi dan aku melangkahkan kakiku ke lapangan, ya seperti yang


kalian tau aku akan upacara.

Setelah upacara selesai, aku mulai melangkahkan kakiku ke ruangan yang


bertuliskan XI MIPA 1, ya itu kelasku. Perlu kalian ketahui, aku ini bisa disebut
dingin, teman – temanku berkata seperti. Maka dari itu sampai hari ini aku tidak
mempunyai teman yang sesungguhnya. Dan jujur aku iri dengan temen – temen
kelasku yang bisa merasakan masa SMA.

Daritadi aku membicarakan diriku, sampe lepas kendali. Hahahaa,


maafkan aku.

Oh, aku memusatkan pandanganku ke depan, dimana guru berada tapi di


sampingnya ada seorang siswa yang berseragam beda denganku, sepertinya dia
anak baru.

“Selamat pagi anak – anak, hari ini kita kedatangan teman baru, silahkan
perkenalkan dirimu “ ucap guru tersebut

“ Namaku Marcel Dirgantara, kalian bisa memanggilku Arcel. “ ucap


siswa tersebut

Dari yang aku lihat sepertinya dia orangnya tak terlalu ramah, karena saat
dia berbicara tadi nada bicaranya datar – datar saja. Akhirnya aku ada teman yang
dingin sepertiku. Hahaha, pikiranku memang konyol.

“ Nah sekarang kamu boleh duduk, kamu duduk disebelah Olin.”

“ Olin kamu bisa mengangkat tangamu” ucap guru tersebut

Akhirnya dengan terpaksa aku mengangkat tangan, dan ya benar kebetulan


kursi disebelahku ini kosong, karena kalian tau bahwa jarang sekali yang ingin
dekat dekat denganku.

Dia sudah ada disebelahku, dan hanya melirikku lalu memalingkan


wajahnya menatap guru yang sudah mulai menerangkan materi.

“ menyebalkan “ dengusku

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat. Aku hanya diam dibangku dan
memulai kebiasaanku yaitu mendengarkan music. Aku sangat jarang ke kantin
maka dari itu aku selalu membawa bekal ke sekolah.
Saat sedang fokus dengan alunan music, aku merasa ada yang menoel
lenganku. Oleh karena itu aku membuka mataku dan mendapati anak baru yang
tadi sedang menatapku seolah berkata “ lepaskan headsetmu aku ingin
berbicara”

Seolah aku mengerti kode dia, aku melepaskan headsetku lalu mengangkat
alisku seolah aku balik bertanya “ada apa?”

Lalu dia berkata “temani aku ke kantin, aku tak tau arah jalannya”

Aku hanya mendengarkan lalu memalingkan muka dan menganggap


ucapan dia adalah angin lalu.

“ Sekian banyak orang di kelas ini, mengapa harus aku yang dia ajak
bicara?” gerutuku dalam hati

Karena responku yang jutek, akhirnya dia menarik tanganku secara paksa
dan membawaku keluar kelas.

“ Apa – apaan ini, lancang sekali dia menyeretku seolah aku ini anak
kucing “ gerutuku terus.

Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa mengerutu dan menggerutu karena


siapa yang tidak kesal coba dia menyeretku secara paksa hanya untuk keinginan
dia saja. Aku hanya diam dan dia hanya bisa berceloteh. Aku sempat bingung
“bukankah dia tergolong orang jutek?” mengapa saat ini dia cerewet sekali.

Akhirnya bel berbunyi dan aku bisa bernapas lega. Setelah aku mengikuti
pembelajaran yang sangat membosankan, bel sekolah akhirnya berbunyi.

Aku pulang dan beristirahat dan mengerjakan tugas sebagai rutinitas anak
sekolahan.

5 bulan berlalu
Aku semakin dekat dengan Arcel, ternyata dia orang yang humble dan
friendly.

Banyak yang mengira bahwa aku dan dia berpacaran. Aku sempat kaget
dengan berita itu, dasar netizen anak alay.

Tak terasa aku sudah disekolah dan aku berjalan menuju taman sekolah,
karena Arcel tadi menyuruhku untuk datang menemuinya di taman sekolah.

Aku melihat dia sedang duduk di bangku taman, lalu aku jalan
menghampirinya.

“ Hay bengong aja “ teriakku, sengaja supaya dia terkejut

“ Eh hay hay, duduk sini “ tawar dia kepadaku

Aku duduk disampingnya lalu bertanya “ ada apa?”

“ Oyin “ panggilnya, dan untuk kalian yang bingung mengapa dia


memanggil Oyin, katanya nama kesayangan dan beda dari yang lain.

“ Hemmm?” balasku

“ Aku akan pindah ke German “ ucapnya dengan wajah yang suram dan
membuatku sangat sangat terkejut. “ Apa tadi katanya? Dia akan pergi?”

“ Hey kalo bercanda jangan berlebihan seperti itu “ elakku, karena aku tau
Arcel sangat suka untuk menjahiliku.

“ Aku serius, perusahaan papahku sedang mengalami kritis dan aku


sekeluarga harus segera kesana “ jujurnya, tiba – tiba dia menggenggam tanganku
dan menatap mataku secara intens

“ Oyin, aku ingin jujur, aku sayang kamu bukan dalam artian teman atau
kakak ade, aku sayang kamu sebagai cowo ke cewe “ ucapnya yang sontak
membuatku melepaskan genggaman tersebut
“ Tapi aku tak bisa LDR Cell, kamu tau hubungan yang LDR kadang
berujung putus, susah untuk menjalani hubungan yang seperti itu.” Kataku dengan
nada yang lemah

“ Aku tak memaksamu, tapi aku ingin kau percaya aku selalu mencintaimu
dimanapun kau berada. Dan jika aku tidak kembali dalam 7 tahun mendatang,
kamu boleh mencari pria lain”

“ Aku ingin kamu menjaga hatimu untukku, tunggu aku” katanya sambil
memelukku, seolah pelukan itu adalah pelukan perpisahan.

Hari berganti hari,

Minggu berganti minggu,

Bulan berganti bulan,

Dan tahun berganti tahun.

Dan tak terasa sekarang Caroline Pradiksa adalah seorang CEO di sebuah
perusahaan ternama di Jakarta.

7 tahun dia belajar bersungguh – sungguh dan akhirnya membuahkan hasil


yang tidak mengecewakan. Dan 7 tahun tersebut dia menanti seseorang yang
katanya akan datang.

Aku sekarang sedang bersiap – siap untuk menghadiri ulang tahun


Pradiksa Corp yang dimana perusahaanku sendiri. Aku memakai long dress yang
dipadukan dengan Heels berwarna hitam mengkilau, dan rambut yang
bergelombang.
Aku sudah berada di Ballroom Hotel Pradiksa, lalu aku turun dan menuju
di mana acara akan dimulai. Aku melangkah dengan anggun dan tak sedikit
wartawan yang menanyakan sesuatu yang mengenai diriku.

Aku berada diruangan yang cukup mewah dan dihadiri dengan banyak
orang. Ya itu semua kolega bisnisku, tapi tatapanku kepada satu orang yang dari
tadi menatapku tanpa henti.

Marcel Dirgantara.

Seseorang yang ku tunggu dan ku rindukan. Dia berjalan ke arahku dan


saat sudah berada dihadapanku dia memelukku dengan erat dan seketika aku
mendengar orang – orang yang diruangan ini bersorak senang saat melihat adegan
berpelukkan kami ini.

Dan dengan tak malu Marcel mencium keningku, lalu mengeluarkan


sesuatu dari kantong jasnya. Kotak beludru yang berwana navy. Lalu dia
membuka dan mengeluarkan cincin tersebut.

Dia berlutut dihadapanku!!! Seketika pipiku merona melihat sikap


romantisnya yang dilakukan terhadapku.

“ Will you marry me? “ ucap suara berat dan tegas Arcel.

Tanpa berpikir panjang aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum


sangat lebar. Dia berdiri dan memelukku sangat erat.

“Terimakasih sudah menunggu ku sampai hari ini, my Princess” ucapnya


yang dibalas olehku dengan anggukan.

Hari ini aku bahagia dimana penantianku tidak sia – sia. Inilah ceritaku,
kisah cintaku, dan perjuangku. Happy Ending adalah harapanku.

“ Kekuatan cintalah yang membuatku bisa menantimu sampai saat ini “


Kasih Ibu
Oleh Zettira Dwi Zahra

Suara musik dari mesin pengeras suara di pojokan ruangan saling


bersahutan seakan memperlombakan mana yang terkeras diantara lainnya
sehingga memekakkan telinga pun lampu sorot yang bergerak kesana kemari
membuat pusing juga silau yang melihatnya. Tetapi berbeda dengan suasana dan
keadaan penghuni ruangan tersebut, diantara mereka ada yang berdiam diri
menikmati minumannya di sofa yang tersedia ada pula yang asik meliukkan
tubuhnya mengikuti irama musik.

Arman dan temannya, Dio memasuki ruangan itu. Baru memasukinya


beberapa meter sudah terasa pengap dan pusingnya, bau parfume dipadukan
dengan minuman beralkohol seakan tingkat oksigen diruangan tersebut sangatlah
rendah. Sebelum memasuki ruangan itu, Arman telah membodohi penjaganya
dengan beralasan bahwa ia sudah berumur 21 tahun padahal ia baru memasuki
umur 17 tahun yang penasaran dan tergoda akan kehidupan malam. Dia diajak
masuk lebih dalam menuju meja yang disebut ‘bar’ oleh Dio yang lebih tua 4
tahun dari Arman. Setiba disana, Dio meminta pada bartender atau pelayan bar
minuman yang warnanya serupa dengan jus jeruk lalu diberikan kepada Arman.
“Air apa ini, bang?” tanya Arman yang hanya dijawab oleh Dio “itu cuman jus
jeruk, aman kok kalo diminum anak bawah umur kayak kamu ‘Man.”

Di sisi lain ada seorang ibu yang sudah tua dan renta, ia sedang menggotong
karung yang telah terisi separuhnya dengan barang rongsok. Cara jalan ibu
tersebut sudah tertatih-tatih tapi ia tetap teguh untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Saya harus mencari barang-barang bekas lebih banyak lagi agar Arman,
anak semata wayang saya bisa makan makanan enak malam ini.” Pikirnya.

Beliau tidak tahu bahwa anak yang disayanginya lebih memilih


menghamburkan waktu dan uangnya hanya untuk hal-hal yang tidak penting dan
salah. Tak lama Bu Surti, ibunya Arman telah memenuhi karungnya dan langsung
dijual pada pusat barang rongsok lalu hasil jualnya beliau belikan lauk pauk untuk
makan malam Arman.

Setelah sampai di rumahnya, Bu Surti tidak menemukan Arman di dalam


rumah. Beliau cari di kamarnya juga tidak terlihat barang sehelai rambut pun dan
itu berhasil membuatnya kaget dan khawatir. Biasanya Arman saat ini sedang
belajar atau mengaji, tapi sekarang dia tak ada juga tak belajar.

Tak lama dari itu, Arman pulang ke rumah dengan keadaan tubuhnya yang
bau alkohol dan mabuk. Ibunya yang melihat Arman seperti itu tak dapat
mengontrol rasa sedih, pedih dan kecewa di hatinya. Bagaimana bisa Arman anak
yang disayanginya yang di didik sebaik mungkin mabok-mabokan. Tapi Bu Surti
berusaha sebaik mungkin untuk menahan tangisnya dan membopong Arman ke
kamarnya. Setelah terbaring di atas ranjangnya, Arman sedikit mericau “makasih
cantik.”.

Keesokan harinya Arman terbangun di kamarnya. Yang dirasakannya


hanyalah rasa pusing, kepalanya terasa berat dan sakit. Ia mencoba untuk
mengingat apa yang telah terjadi tadi malam sehingga ia mengalami sakit kepala
yang amat sangat berat. Arman keluar dari kamarnya dan melihat ibunya sedang
salat shubuh, ia pun memperhatikan ibunya sampai beliau selesai dengan
kegiatannya. Setelah Bu Surti selesai salat, beliau menengadahkan tangannya
upaya berdoa kepada Yang Maha Kuasa

“Ya Allah, anak saya sebelumnya tidak pernah seperti ini, entah hal apa
yang memengaruhinya sehingga dia dapat berubah dalam satu malam. Berilah
ampunan-Mu untuk Arman, Ya Allah. Arman sebenarnya anak yang sholeh juga
pen.......”

Tak usai ibunya berdoa, Arman mendekatinya, tetapi bukannya meminta


maaf atau menyatakan penyesalannya, dia malah membentak Bu Surti.
“Apa sih bu? Nih ya Arman tuh udah bosen hidup susah. Arman maunya
hidup dengan harta melimpah dan tak terbatas bukannya kayak gini. Ini salah ibu,
kenapa meminta ampunan untuk Arman? Gak guna!” ucapnya sembari
meninggikan nada suaranya.

Ibunya kaget bukan kepalang mendengar Arman berbicara seperti itu.


Selama ini Arman tidak pernah melawan apalagi membentaknya.

“Man, ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu, nak. Ada terong, ibu juga
sudah buatkan kamu nasi goreng, tapi karna persediaan nasi dan telur kita habis
jadi ibu buatkan hanya untuk kamu, biar ibu makan di jalan saja. Yuk dimakan,
nak!”

Ibunya berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka lalu


mengajak Arman untuk sarapan, tetapi dibalas tatapan merendahkan dan
perkataan yang dikatakan setengah teriak.

“Terong lagi terong lagi. Bosan Arman tuh bu, harusnya Arman makan
dengan daging ayam, daging sapi dan ikan bukannya terong. Lama-lama Arman
tak kuat jadi anak ibu, hidup susah seperti ini cuman bikin Arman muak.”

Arman pergi keluar rumah, sedangkan ibunya hanya bisa mencelos


memandangi kepergian Arman dengan lemah. Ibunya hanya bisa menangis
menghadapi sikap Arman yang berubah dalam semalam.

Arman keluar rumah masih dalam keadaan setengah sadar, hingga tak terasa
ia sudah berjalan menyusuri jalan raya yang masih lengang seakan enggan untuk
keluar karena udara dingin yang menusuk.

Arman menyeberangi jalan raya tanpa menengok sisi kanan dan kirinya,
tiba-tiba saja sebuah truk pengangkut yang sedang mengebut mengarah ke Arman.
Dirinya terpental ke arah berlawanan dan tak disangka ada motor yang sedang
berjalan sesaat sebelum Arman terjatuh didepannya sehingga mengakibatkan
timbul bunyi “krek” seperti sesuatu yang patah. Ia merasakan sakit yang sangat
hebat hingga penglihatannya gelap.
Dua bulan setelah Arman mengalami kecelakaan, ia diperbolehkan untuk
pulang dari rumah sakit. Tetapi Arman bingung mengapa ibunya tidak
menjenguknya selama ia berada di rumah sakit. Setibanya dirumah, Arman tidak
menemukan Bu Surti, lalu ia bertanya kepada tetangganya.

Tetangganya pun menjelaskan bahwa Bu Surti sudah meninggal dunia.


Beliau mencari dana untuk membayar biaya operasi dan pengobatan Arman,
sebab Arman membutuhkan transplantasi tulang rusuk secepatnya tapi karena
biaya yang terbilang besar, beliau rela melakukan hal apapun yang dapat membuat
Arman pulih.

Hingga ada satu keluarga yang sedang membutuhkan donor jantung untuk
putri bungsu mereka. Bu Surti membuat kesepakatan yang intinya beliau akan
mendonorkan jantungnya tapi keluarga tersebut harus membantu pembayaran
operasi Arman dan memberikan bekal atau tunjangan bagi Arman untuk sekolah
lagi hingga Perguruan Tinggi. Jadi Bu Surti mendonorkan tulang rusuknya untuk
Arman dan mendonorkan jantungnya untuk biaya transplantasi anaknya tersebut.

Kasih sayang seorang ibu tak terbatas meskipun anaknya sudah


menyinggung hati dan harga dirinya. Maka jangan sia-siakan waktumu hanya
untuk hal-hal yang tak berguna dan perbanyaklah bercengkrama dengan orang tua
dan membanggakan mereka.

Anda mungkin juga menyukai