Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA

Disusun Oleh:
dr. Enggar Yusrina

Pembimbing

dr. Sugeng Santoso

dr. Ade Nurshanty, Sp.PD

RSAU Dr. M. MUNIR

LANUD ABDULRACHMAN SALEH

MALANG

2020

1
2

HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan program internsip di RSAU Dr.
M. Munir. Presentasi kasus dengan judul :

Seorang Laki-laki usia 40 tahun dengan Asma Eksaserbasi


Akut Persisten Sedang

Hari/tanggal : , Juli 2020

Oleh :

dr.Enggar Yusrina Hasyyati

Mengetahui dan menyetujui,

Dokter pembimbing,

dr. M. Muchlis, Sp.A

Dokter pendamping ,

dr. Ade Nurshanty, Sp.PD dr.


Sugeng Santoso
3

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi respiratori bawah merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir

seperlima kematian anak diseluruh dunia, kurang lebih 2 juta anak balita,

meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Data World Health Organization

(WHO) tahun 2016 memperkirakan infeksi respiratori bawah membunuh sekitar

920.136 anak-anak dibawah 5 tahun atau sekitar 16% dari semua kasus kematian

anak-anak balita pada tahun 2015. Berdasarkan data UNICEF, pada 2015 terdapat

kurang lebih 14 persen dari 147.000 anak dibawah 5 tahun di Indonesia meninggal

karena pneumonia1.

Di seluruh dunia, pneumonia adalah penyebab kematian paling umum

pada anak usia kurang dari 5 tahun. Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,5 juta

kasus dan 150.000 rawat inap setiap tahun untuk pasien dengan pneumonia,

terutama untuk Community Aquired Pneumonia (CAP)2.

Bronkopneumonia adalah merupakan salah satu jenis pneumnia yangsring

terjadi pada anak berupa inflamasi pada paru yang terfokus pada area bronkiolus

dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi

saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan konsolidasi yang merata ke

lobulus yang berdekatan. Infeksi yang terjadi pada bronkopneumnia dapat

mengganggu transfer oksigen dari alveolus ke dalam kapiler darah dan

pengangkutan karbon dioksida dari kapiler darah. Penyakit ini dapat disebabkan

oleh virus, bakteri, maupun fungi. Bakteri yang paling sering menyerang anak-

anak adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae type b (Hib),


4

sedangkan virus yang paling sering menyerang adalah Respiratory synctial virus

(RSV), Influenza, dan adenovirus. Faktor resiko yang dapat mengakibatkan

penyakit ini adalah kelahiran dengan berat badan lahir rendah (BBLR), tidak

mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi

vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan

tingginya pajanan terhadap polusi udara3.

Pneumonia sering terjadi pada anak-anak, sehingga apabila

tidak segera ditangani akan mengakibatkan komplikasi seperti empiema, otitis

media akut, atelektasis, emfisema, dan meningitis. Selain itu juga dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak3.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan

jaringan intersisial. Bronkopneumonia merupakan salah satu jenis pneumonia

yang umumnya terjadi pada anak-anak, karena saluran bronkus dan bronkiolus

pada anak masih relatif lebih kecil dan pendek dibanding dengan dewasa.

Sehingga, jika terjadi infeksi yang menyebabkan inflamasi akut pada parenkim

paru dan memicu sekresi eksudat mukopurulen pada paru-paru dapat

mengakibatkan obstruksi bronkus dan bronkiolus dan menyebabkan konsolidasi

yang merata ke lobulus paru yang berdekatan2,4.

2.2 Etiologi

Etiologi dari pneumonia dapat terjadi karena berapa sebab. Yaitu dari

faktor imun seseorang terutama pada anak. Anak laki – laki lebih sering terkena

pneumonia dari pada anak perempuan disebabkan kaliber saluran respiratorik

pada anak laki-laki relatif lebih sempit dibanding perempuan. Balita merupakan

usia paling rentan untuk terjangkit suatu penyakit terutama penyakit infeksi

pneumonia karena sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna. Kelembaban

yang tinggi menyebabkan bakteri penyebab pneumonia dapat tumbuh dengan

pesat dan kelembaban yang kering, maka akan terasa kering dan tidak nyaman

bagi penghuninya. Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak berkaitan

dengan polutan atau zat yang dapat mengakibatkan pencemaran udara di dalam

rumah khususnya di sekitar dapur. Polusi udara dalam ruangan yang tinggi dari
6

bahan bakar yang tidak memenuhi syarat seperti kayu bakar, arang, dan minyak

tanah dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan mempengaruhi

pertahanan tubuh spesifik dan non spesifik pada saluran pernapasan balita

terhadap patogen penyakit. Suhu udara sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan

dan perkembangbiakan bakteri, virus, jamur yang merupakan faktor etiologi

pneumonia. Bakteri penyebab pneumonia, misalnya Streptococcus pneumonia

memiliki rentang suhu optimum dimana bakteri tersebut dapat tumbuh pesat yaitu

suhu 31-37oC. Hal inilah yang dapat menyebabkan pneumonia jika semakin sering

balita berada pada kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang panjang.

Kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan suburnya pertumbuhan

mikroorganisme penyakit. Kelembaban udara yang tinggi merupakan media yang

baik untuk bakteri – bakteri patogen. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke

dalam tubuh melalui udara yang terhirup oleh saluran pernapasan sehingga akan

mengakibatkan infeksi pada saluran pernapasan. Semakin padat suatu wilayah,

maka potensi penyebaran penyakit semakin besar. Kepadatan penduduk juga

mempengaruhi sirkulasi udara dalam lingkungan yang berpotensi terhadap

kontaminasi dari luar yang dapat meningkatkan risiko dan intensitas infeksi yang

dapat memudahkan transmisi penyakit. Suatu daerah dengan kepadatan rumah

yang tinggi atau rumah – rumah penduduk yang saling berdekatan dan saling

berhimpitan menyebabkan terbatasnya ruang gerak. Hal ini akan menyebabkan

kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi16.

Adapun penyebab pneumonia pada pasien imunkompromais adalah

bakteri enterik gram negatif, mikobacteria (M. Avium complex), jamur


7

(aspergilosis, histoplasmosis), virus (CMV), dan Pneumocystic jirovecii carinii

(PCP) 2.

Tabel 2.1 Etiologi patogen pada Pneumonia2

Katergori Usia Patogen yang umum terjadi


Neonatus ( < 1 bulan) Streptococcus Group B, Escherichia coli,Klebsiela, Listeria

monocythogenes, bakteri gram negatif lainnya, Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus.
1-3 Bulan (Pneumonia dengan Respiratory syncytial virus, virus respiratorik lainnya (parainfluenza

demam) virus, influenza virus, adenoviruses), S. Pnemoniae, H. Influenzae

(tipe b, nontypeable)
1-3 bulan (Pneumonia afebril) Chlamydia trachomatis, Mycoplasma hominis, Ureaplasma

urealyticum, sitomegalovirus
3-12 bulan Streptococcus Group A, Respiratory syncytial virus, virus

respiratorik lainnya (parainfluenza virus, influenza virus,

adenoviruses), S. Pnemoniae, H. Influenzae (tipe b, nontypeable),

Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae


12-60 bulan (1-5 tahun) Streptococcus Group A, virus respiratorik lainnya (parainfluenza

virus, influenza virus, adenoviruses), S. Pnemoniae, H. Influenzae

(tipe b, nontypeable), Chlamydophila pneumoniae, Mycoplasma

pneumoniae, S. Aureus
5-8 tahun virus respiratorik lainnya (parainfluenza virus, influenza virus,

adenoviruses), S. Pnemoniae, H. Influenzae (tipe b, nontypeable),

Chlamydophila pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae


≥ 18 tahun virus respiratorik lainnya (parainfluenza virus, influenza virus,

adenoviruses), S. Pnemoniae, H. Influenzae (tipe b, nontypeable),

Chlamydophila pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella

pneumoniae
8

Tabel 2.2 Etiologi patogen pada Pneumonia sesuai usia

Sumber: www.pedsinreview.aappublications.org/infectiousdiseasepneumonia

Gambar 2.1 Perbedaan etiologi pneumonia bakteri dan virus

Sumber: www.ebmedicine.net/pempissues/Peditric-Community-Acquired-Pneumonia

2.3 Epidemiologi
9

Berdasarkan data pada Profil Kesehatan Indonesia menyatakan bahwa

jumlah penemuan balita yang menderita pneumonia sebesar 568.146 balita.

Provinsi yang menduduki 3 teratas penemuan kasus pneumonia balita yaitu Jawa

Barat (174.612 balita), Jawa Timur (93.279 balita), dan Jawa Tengah (59.650).

Angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar 0,11%

sedangkan tahun 2015 sebesar 0,16%. Provinsi dengan angka kematian balita

akibat pneumonia tertinggi adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung.

Mortalitas akibat pneumonia pada anak-anak sangat terkait dengan faktor

kemiskinan, seperti kekurangan gizi, kurangnya air bersih dan sanitasi, polusi

udara dalam ruangan dan akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan5.

Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan dalam lingkup penemuan

pneumonia di atas 50% terlepas dari fakta bahwa itu belum mencapai target

nasional yang telah diputuskan. Target cakupan penemuan pneumonia tahun 2016

ditetapkan sebesar 70% dengan ruang lingkup rujukan pneumonia pada tahun

2016 sebesar 79,61%5.

2.4 Faktor Resiko3

Gambar 2.2 Jumlah kasus pneumonia pada Balita

Sumber:www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018
10

Gambar 2.3 faktor resiko pneumonia balitadan neonatus

Sumber: www.pedsinreview.aappublications.org/infectiousdiseasepneumonia

2.5 Patofisiologi

Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan

anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme

pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier

aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Imunoglobulin lokal dan

respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,

makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila

satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme

bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi

atau aspirasi dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus

dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian

bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.

Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan


11

infeksi virus. Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif

jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.

Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran

pembuluh darah, eksudasi cairan intraalveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi

neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan

menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran

darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran

fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan

terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan

kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan

disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan

kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara

enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.

Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura

menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung

secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan

pembentukan perlekatan6

Pembagian pneumonia berdasarkan etiologi:7

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru:

a. Pneumonia lobaris

b. Pneumonia atipikal atau intersisial

c. Bronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi

a. Penumonia komuniti
12

b. Pneumonia nosokomial

c. Pneumonia acquired ventilator

d. Aspirasi pneumonia

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:7

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari

sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-

mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel

mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler

paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan

di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh

oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai

bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
13

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna

paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini

udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa

sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap

padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu

dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh

makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.6 Manifestasi Klinis

Usia merupakan faktor penentu dalam manifestasi klinis pneumonia.

Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa ditemukannya gejala-

gejala fisis pneumonia. Pola klinis yang khas pada pneumonia viral dan bakterial

umumnya berbeda antara bayi yang lebih tua dan anak, walaupun perbedaan

tersebut tidak selalu jelas pada pasien tertentu. Demam, menggigil, takipneu,

batuk, malaise, nyeri dada akibat pleuritis, retraksi, dan iritabilitas akibat sesak

respiratori, sering terjadi pada bayi yang lebih tua dan anak.2
14

Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi, atau

stridor, dan gejala demam lebih tidak menonjol dibanding pneumonia bakterial.

Pneumonia bakterial secara tipikal berasosiasi dengan demam tinggi, menggigil,

batuk, dispneu, dan pada auskultasi ditemukan adanya tanda konsolidasi paru.

Pneumonia atipikal pada bayi kecil ditandai oleh gejala yang khas seperti

takipneu, batuk, ronkhi kering (crackles) pada pemeriksaan auskultasi dan

seringkali ditemukan bersamaan dengan timbulnya konjungtivitis chlamydial.

Gejala klinis lainnya yang dapat ditentukan adalah distres pernapasan termasuk

napas cuping hidung, retraksi interkosta, dan subkosta, dan merintih (grunting).

Semua jenis pneumoni memiliki ronkhi kering yang terlokalisir dan penurunan

suara respiratori. Adanya efusi pleura dapat menyebabkan bunyi pekak pada

pemeriksaan perkusi.2

Ditemukan hal-hal sebagai berikut:6

1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,

interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah

retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping

hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan

intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi

tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah

terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,

dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang

interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang

semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana
15

jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak

yang lebih tua. Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus

dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda

yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada

infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati

dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus

dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang

lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat

dicurigai. Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan

adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek

secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan

hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi

jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan

napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan

getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi

perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi

vibrasi akan berkurang.

3.    Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4.    Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi

pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa

bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi


16

yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo) jarang

atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar

(tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang

melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

2.7 Diagnosis

Diagnosis pneumonia dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:8

1. Anamnesis

Bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum dapatditemukan:

 Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan, keluhan gastrointesinal (mual, muntah,

diare).

 Gangguan respiratorik: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,

napas cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis.

2. Pemeriksaan fisik

Dapat dtemukan pekak pada perkusi thorax, suara napas vesikuler yang

melemah, dan terdengar ronki. Pada neonatus dan bayi kecil, gejala

bronkopneumonia tidak selalu jelas terlihat. Umumnya tidak ditemukan

suara pekak pada perkusi dan auskultasi paru. Pola Pernapasan irreguler

dan hipopnea dapat ditemukan pada bayi muda.

3. Pemeriksaan penunjang

Pada anak yang tidak memiliki kelainan lain dan tanpa penyakit yang

mengancam jiwa, prosedur invasif untuk mengambil jaringan respiratori

bawah atau sekret umumnya tidak diindikasikan dan sediaan sputum


17

dengan kualitas baik sangat sulit didapatkan pada pasien anak.

Pemeriksaan serologis tidak berguna untuk menentukan penyebab pada

kebanyakan pneumonia bakterial.6

 Darah Lengkap

Hitung jenis leukosit pada pneumonia viral seringkali normal ataupun

sedikit meningkat, dengan dominan limfosit, sedangkan pada pneumonia

bakterial hitung jenis leukosit mengalami peningkatan (> 20.000/mm3 )

dengan dominan neutrofil (Marcdante, 2014). Leukopenia (<5.000/mm3)

menunjukkan prognosis yang buruk. Efusi pleura merupakan cairan

eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000/mm 3 (Aryani,

2017). Biakan darah harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan

menentukan bakteri penyebab pneumonia. Pemeriksaan yang secara akurat

dapat membantu penegakan diagnosis pneumonia virus adalah

pemeriksaan biakan atau pemeriksaan antigen viral secara cepat pada

sediaan sekret respiratori atas, tetapi ini tidak dapat menyingkirkan

pneumonia bakterial. Pemeriksaan yang dilakukan dapat pula pemeriksaan

Laju Endap Darah (LED) ≥ 30, yang apabila meningkat maka curiga

adanya infeksi.6,9

 Pemeriksaan Radiografi

 Pemeriksaan kultur dan Pewarnaan gram sputum

 Kultur darah untuk mengetahui kuman penyebab pneumonia

 Pemeriksaan C-Reactive Protein

Secara umum, gambaran foto thorax pada bronkopneumonia dapat

berupa:
18

 Infiltrat intersisial: peningkatan corakan bronkovaskular,

hiperaerasi

 Infiltrat alveolar (konsolidasi paru dengan air bronchogram),

disebut sebagai pneumonia lobaris bila mengenai 1 lobus paru

 Berca-bercak infiltrat difus merata pada kedua lapang paru

(dapat meluas hingga daerah perifer paru) disertai dengan

peningkatan corakan peribronkial

 Penebalan peribronkial, infiltrat merata, dan hiperinflasi

cenderung terlihat pada pneumonia virus

 Infiltrat alveolar berupa konsolidasi sgmen/lobar,

bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin

disebabkan oleh bakteri

Pneumonia bakterial ditandai oleh adanya konsolidasi lobaris atau

pneumonia berbentuk bundar dengan disertai adanya efusi pleural pada

10-30% kasus (Gambar 2.4.). Gambaran radiologi pada pneumoni viral

adalah infiltrat bronkopneumonia yang berbentuk seperti garis yang

tumpang tindih (streaky) dan menyebar (difus) (Gambar 2.5.). Pneumonia

atipikal memperlihatkan tanda peningkatan gambaran interstitial atau

bronkopneumonia (Gambar 2.6.). Pemeriksaan rontgen dengan posisi

dekubitus atau pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk

memperkirakan ukuran efusi pleura dan apakah dapat digerakkan.

Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk mengevaluasi penyakit serius

seperti abses pleura, bronkiektasis, dan efusi yang ada.6


19

Gambar 2.4. Menunjukkan adanya konsolidasi


ruang udara, yang mana masih terdapat siluet
batas jantung kiri. Karena konsolidasi,
hemidiafragma kiri akan sedikit terangkat.6

Gambar 2.5. Menunjukkan peningkatan infiltrat


pada bilateral, perihiler, peribronchial. Foto ini
menunjukkan tipikal bronkopneumonia.6
20

Gambar 2.6. Menunjukkan gambaran difus dari


interstitial, termasuk garis Kerley. Jantung terlihat
normal, dan tidak ada infiltrat. Foto ini menunjukkan
Mycoplasma pneumoniae.6

Klasifikasi WHO menggunakan kriteria klinis berikut untuk

diagnosis pneumonia anak pada daerah dengan keterbatasan sarana:10

a. Bayi berusia < 2 bulan

 Pneumonia berat: napas cepat (≥ 60 kali/menit) atau retraksi yang berat

 Pneumonia sanga berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis,

demam/hipotermia, bradipnea, atau pola pernapasan irreguler

b. Anak berusia 2 bulan – 5 tahun

 Pneumonia ringan: napas cepat (≥ 50x/menit pada usia 2 bulan hingga 1

tahun, ≥ 40x/menit pada usia > 1-5 tahun)

 Pneumonia berat: retraksi

 Pneumonia sangat berat: tidak dapat makan/minum, kejang, letargis,

malnutrisi
21

2.8. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Pneumonia adalah bronkhiolitis, bronkhitis, TB

Paru dan asma. Bronkhiolitis adalah inflamasi bronkhiol pada bayi usia kurang

dari 2 tahun. Penyakit ini adalah penyakit seasonal yang ditandai dengan adanya

demam, pilek, batuk, dan mengi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan crackles dan

atau high pitched expiratory wheezing.4 Bronkhitis adalah peradangan pada

bronkhus disebabkan oleh infeksi saluran nafas yang ditandai dengan batuk

berdahak maupun tidak lebih dari 3 minggu. Asma adalah keadaan inflamasi

kronik dengan penyempitan saluran napas yang reversibel. Manifestasi klinis

asma adalah episode batuk atau wheezing berulang, hiperinflasi dada, tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam, ekspirasi memanjang dengan suara

wheezing yang dapat didengar.6

2.9 Tatalaksana

Terapi yang dibutuhkan adalah terapi suportif dan terapi spesifik yang

tergantung pada berat ringannya penyakit, komplikasi dan kuman penyebab

pneumonia. Usia, tingkat keparahan penyakit, komplikasi yang dapat ditemukan

pada pemeriksaan rontgen thorax, derajat distres respiratori, komplikasi, serta

progresifitas penyakit harus dipertimbangkan. Pemberian terapi antibiotik empiris

untuk berbagai kasus yang dapat diterapi.6 Terapi yang pertama pada pasien

pneumonina adalah oksigenasi, Oksigen tambahan harus dimulai untuk apa pun

pasien dengan saturasi oksigen <90%, atau seorang pasien dalam kesulitan

pernapasan dengan saturasi oksigen <95%. Untuk anak-anak yang sakit kritis,

masker non-rebreather harus digunakan. Kriteria untuk hipoksemia pada pasien

dengan pneumonia adalah <92%.11


22

Selanjutnya pasien pneumonia dapat diberikan terpai simptomatik yaitu

antipiretik. Pemberian awal dapat diberikan acetaminophen atau ibuprofen

berdasarkan berat badan. Selanjutnya adalah pemberian cairan intravena

berdaarkan berat badannya. Pada anak yang sedang demam dengan gangguan

pernapasan curiga adanya infeksi, keputusan untuk memberikan uji coba

bronkodilator dan kortikoseroid dapat dilakukan sekaligus untuk mendiagnosa

apakah pasien menderita asma atau pneumonia. American Academy of Pediatrics

merekomendasikan penggunaan albuterol atau salbutamol dan ipratropium.

Sistemik kortikosteroid harus dipertimbangkan pada anak dengan mengi yang

responsif terhadap terapi bronkodilator, bahkan pada pasien dengan dugaan CAP.

Sebernarnya terapi antimikroba tidak diperlukan secara rutin untuk anak-anak usia

prasekolah dengan CAP, karena patogen virus bertanggung jawab untuk sebagian

besar penyakit klinis. Karena, terapi antibiotik dapat memiliki banyak efek

samping termasuk diare dan reaksi alergi (anafilaksis, sindrom Stevens –

Johnson). Pengembangan resistensi antibiotik juga menjadi perhatian. Terapi

antibiotik empiris untuk anak-anak dengan diduga CAP pada awalnya dipandu

oleh tempat perawatan, yaitu rawat inap dan rawat jalan. 11


23

Gambar 2.7 Guideline Tatalaksana Pneumonia


Sumber: AAP Section on Emergency Medicine Committee on Quality Transformation Clinical Algorithm for
Emergency Department Evaluation and Management of Pediatric Community Acquired Pneumonia, 2017
24

Tabel 2.3 Kriteria Rawat inap pada pasien dengan pneumonia pediatri11

Untuk Bayi Untuk Anak

 Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis  Saturasi oksigen < 92%

 Frekuensi napas > 60x/menit  Frekunsi napas > 50x/menit

 Distres pernapasana, apnea  Distres pernapasan, Grunting

intermitten, atau grunting  Terdapat tanda dehidrasi

 Tidak mau minum atau menetek  Keluarga tidak dapat merawat

 Keluarga tidak bisa merawat dirumah

dirumah  Tidak respon terhadap antibiotik

 Tidak respon terhadap antibiotik oral

oral  Status imunokompromais

 Status imunokompromais

Amoksisilin merupakan antibiotik pilihan pertama untuk anak usia kurang

dari 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan

pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan mudah. Alternatif yang dapat

diberikan adalah co-amoksiclav, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.

Antibiotik golongan makrolid dapat diberikan pada anak usia > 5 tahun karena

M.pneumoniae sering terjadi pada anak usia > 5 tahun. Jika S.aureus dicurigai

menjadi penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi flucloxaccin dengan

amoksisilin. Antibiotik intravena seperti co-amoksiclav, ampisilin,,

kloramfenikol, ceftriaxone, cefotaxime, cefuroxime, dapat diberikan pada anak

yang tidak dapat menerima obat peroral karena muntah.4


25

Menurut WHO ada beberapa rekomendasi untuk terapi pneumonia pada anak-

anak, yaitu:10

1. Pneumonia dengan klinis takipnea, dengan atau tanpa adnaya retraksi dada,

diberi amoksisilin oral: 40mg/kgbb/dosis dua kali sehari (80mg/kgbb/hari)

selama lima hari. Di daerah dengan prevalensi HIV rendah, berikan

amoksisilin selama tiga hari. Anak-anak dengan pneumonia disertapi takipnea

dan dyspnea yang gagal pada pengobatan lini pertama dengan amoksisilin

harus memiliki opsi rujukan ke fasilitas di mana ada pengobatan lini kedua

yang sesuai.

2. Anak-anak usia 2–59 bulan dengan pneumonia disertai retraksi dada harus

dirawat inap dengan amoksisilin oral: setidaknya 40mg/kgbb/dosis dua kali

sehari selama lima hari.

3. Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan pneumonia berat harus diobati dengan

ampisilin parenteral (atau penisilin) dan gentamisin sebagai pengobatan

pertama.

 Ampisilin: 50 mg/kgbb, atau benzil penisilin: 50.000 unit per kgbb/IM

atau IV setiap 6 jam untuk setidaknya lima hari

 Gentamicin: 7,5 mg / kg IM / IV sekali sehari selama setidaknya lima hari

Ceftriaxone harus digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada anak-anak

dengan pneumonia berat jika gagal pada pengobatan pertama.

4. Ampisilin (atau penisilin bila ampisilin tidak tersedia) ditambah gentamisin

atau ceftriaxone direkomendasikan sebagai rejimen antibiotik lini pertama

untuk bayi yang terinfeksi dan terpajan HIV dan untuk anak-anak di bawah 5

tahun dengan pneumonia diserti adanya retraksi dada atau pneumonia berat.
26

Jika bayi tersebut tidak menanggapi pengobatan dengan ampisilin atau

penisilin ditambah gentamisin, ceftriaxone saja direkomendasikan untuk

digunakan sebagai pengobatan lini kedua.

5. Pengobatan kotrimoksazol empiris untuk suspek Pneumocystis jirovecii

(sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP) direkomendasikan

sebagai pengobatan tambahan untuk yang terinfeksi dan terpajan HIV bayi

berusia 2 bulan hingga 1 tahun dengan dada terbuka atau pneumonia berat.

Pengobatan cotrimoxazole empiris untuk Pneumocystis jirovecii pneumonia

(PCP) tidak dianjurkan untuk anak-anak yang terinfeksi dan terpajan HIV

berusia di atas 1 tahun dengan dada terbuka atau parah.

Fluoroquinolones, cefditoren dan dosis tinggi amoksisilin / asam klavulanat

adalah antimikroba yang paling tinggi memprediksi kemanjuran klinis dalam

pengobatan pneumonia. Resistensi antibiotik tertinggi ada pada golongan beta

laktam, yaitu sekitar 10-20%. Cefditoren adalah terapi oral terbaik untuk

sefalosporin generasi ketiga yang dapat menyamai efek pemberian intravena

pada sefotaksim dan ceftriaxone. Dalam meta-analisis dari enam uji klinis acak

termasuk 1.219 pasien dirawat di rumah sakit italia dengan sedang hingga berat

CAP, penulis menyimpulkan bahwa konversi dini ke oral pengobatan antibakteri

tampaknya sama efektifnya dengan pengobatan intravena dengan lebih sedikit

efek samping terkait obat dan rumah sakit yang lebih pendek tetap, dengan

demikian juga mengurangi biaya terkait. Beralih dari terapi antibiotik parenteral

ke oral mengurangi lama dan biaya rawat inap, dan risiko infeksi yang didapat di

rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup pasien juga. Cefditoren memiliki


27

keunggulan yiitu masih minimal resistensi untuk S. pneumoniae dan H.

Influenzae.12

Gambar 2.8 perbedaan spektrum sefalospoin pada S. Pneumoniae

Sumber: https://www.tandfonline.com/loi/yjoc20

Gambar 2.9 terapi Empiris Pneumonia pada pasien rawat jalan

Sumber: www.ebmedicine.net/pempissues/Peditric-Community-Acquired-Pneumonia
28

Gambar 2.10 terapi pneumonia bakteri pada rawat inap

Sumber: www.ebmedicine.net/pempissues/Peditric-Community-Acquired-Pneumonia
29

Tabel 2.4 Terapi Pneumonia sesuai Umur2,11

Katergori Patogen yang umum terjadi Pasien Rawat Pasien Rawat Inap (± 10-14 Pasien Intensive Care (± 10-14
Usia Jalan (± 7-10 hari) hari)
hai)
Neonatus ( < Streptococcus Group B, Sebaiknya tidak Ampisillin (IM/IV 50 mg/kgbb Ampisillin (IM/IV 50 mg/kgbb +
1 bulan) Escherichia coli,Klebsiela, dilakukan + cefotaxim atau aminoglikosid cefotaxim atau aminoglikosid
Listeria monocythogenes, perawatan (gentamisin 4-5 mg/kgBB/dosis (gentamisin 4-5 mg/kgBB/dosis
bakteri gram negatif lainnya, sebagai pasien atau amikasin 15 atau amikasin 15 mg/kgBB/dosis
Streptococcus pneumoniae, rawat jalan mg/kgBB/dosis secara intravena secara intravena setiap 12 jam) +
Haemophilus influenzae, setiap 12 jam) + preparat anti preparat anti staphylococcus apabila
Streptococcus pyogenes, staphylococcus apabila dicurigai adanya infeksi
Staphylococcus aureus. dicurigai adanya infeksi Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus
1-3 Bulan Respiratory syncytial virus, Tidak diarankan cefuroxim atau cefotaxim atau cefuroxim atau cefotaxim atau
(Pneumonia virus respiratorik lainnya untuk ceftriaxone + nafsilin atau ceftriaxone + nafsilin atau oxacillin
dengan (parainfluenza virus, melakukan oxacillin + preparat nafilin atau oxacillin
demam) influenza virus, rawat jalan pada
adenoviruses), S. Pnemoniae, perawatan awal
H. Influenzae (tipe b,
nontypeable)

1-3 bulan Chlamydia trachomatis, Eritromisin, Eritromisin, azitromisin, atau Eritromisin, azitromisin, atau
(Pneumonia Mycoplasma hominis, azitromisin, atau klarotromisin, dengan klarotromisin, dengan pemantauan
afebril) Ureaplasma urealyticum, klarotromisin, pemantauan ketat ketat + cefotaxim atau ceftriaxone +
sitomegalovirus dengan nafsilin atau oxacillin
pemantauan
ketat
3-12 bulan Streptococcus Group A, Amoxicillin, Ampicillin atau cefuroxim Cefuroxim atau ceftriaxone +
Respiratory syncytial virus, Eritromisin, eritromisin atau klaritromisin
virus respiratorik lainnya azitromisin, atau dengan pemntauan ketat
(parainfluenza virus, klarotromisin,
influenza virus, dengan
adenoviruses), S. Pnemoniae, pemantauan
H. Influenzae (tipe b, ketat
nontypeable), Chlamydia
trachomatis, Mycoplasma
pneumoniae
12-60 bulan Streptococcus Group A, virus Amoxicillin, Ampicillin atau cefuroxim Cefuroxim atau ceftriaxone +
(1-5 tahun) respiratorik lainnya Eritromisin, eritromisin atau klaritromisin
(parainfluenza virus, azitromisin, atau dengan pemntauan ketat
influenza virus, klarotromisin,
adenoviruses), S. Pnemoniae, dengan
H. Influenzae (tipe b, pemantauan
nontypeable), ketat
Chlamydophila pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, S.
Aureus
5-18 tahun virus respiratorik lainnya Eritromisin, Eritromisin, azitromisin, atau Cefuroxim atau ceftriaxone
(parainfluenza virus, azitromisin, atau klarotromisin, diiringi ditambah eritromisin atau
influenza virus, klarotromisin, pemantauan ketat dengan klaritromisin
adenoviruses), S. Pnemoniae, dengan ataupun tanpa ditambahkan
H. Influenzae (tipe b, pemantauan preparat cefuroxim atau
nontypeable), ketat ampisillin
Chlamydophila pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae
30

≥ 18 tahun virus respiratorik lainnya Eritromisin, Eritromisin, azitromisin, cefotaxime, ceftriaxone, atau
(parainfluenza virus, azitromisin, klarotromisin, levofloksasin ampisillin-sulbaktam +
influenza virus, klarotromisin, dengan pemantauan ketat klarotromisin, levofloksasin dengan
adenoviruses), S. Pnemoniae, levofloksasin ditambah cefotaxime, pemantauan ketat
H. Influenzae (tipe b, dengan ceftriaxone, atau ampisillin-
nontypeable), pemantauan sulbaktam
Chlamydophila pneumoniae, ketat
Mycoplasma pneumoniae,
Legionella pneumoniae
2.10 Komplikasi

Pneumonia bakterial menyebabkan cairan inflamasi terkumpul di ruang

pleura sehingga mengakibatkan empiema jika cairan bersifat purulen. Efusi dalam

jumlah banyak akan membatasi pernapasan dan harus dilakukan drainase. Dapat

juga menimbulkan jaringan parut pada saluran pernapasan dan parenkim paru

akan menyebabkan dilatasi bronkus dan menyebabkan bronkiektasis. Pneumonia

yang menyebabkan nekrosis dapat menghasilkan abses paru.6

2.11 Pencegahan

Vaksin dapat digunakan untuk mencegah pneumonia yang disebabkan

bakteri pneumococcal atau influenza. Vaksin tidak dapat mencegah semua infeksi.

Bagaimanapun, orang yang mendapatkan vaksin dan tetap terkena pneumonia

mempunyai tingkat infeksi ringan, tidak bertahan lama, dan komplikasi yang lebih

ringan.14

Vaksin Pneumococcal dapat diberikan untuk mencegah komplikasi yang

berat seperti bakteremia dan meningitis. Vaksin ini penting untuk anak dibawah

usia 5 tahun, dan anak lebih dari 5 tahun dengan penyakit jantung atau paru atau

kanker.14

Vaksin influenza diberikan setiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak

berusia 6 bulan – 18 tahun. Bayi 6 bulan hingga anak usia 5 tahun memiliki risiko

terjadinya komplikasi dari influenza.6


31

Haaemophilus influenzae type B (Hib) adalah tipe bakteria yang dapat

menyebabkan pneumonia. Vaksin Hib dapat diberikan untuk membantu

mencegah infeksi ini. Vaksin ini direkomendasikan untuk anak usia kurang dari 5

tahun.14

Global Action Plan for the Prevention and Control of Pneumonia and Diarrhoea

(GAPPD) menetapkan kerangka terintegrasi dari intervensi kunci yang terbukti efektif

melindungi anak-anak, mencegah penyakit, dan memperlakukan anak. yang sakit

pneumonia dan diare secara tepat. Cara yang dapat dilakukan untuk membuat anak bebas

penyakit adalah dengan cara memberikan ASI eksklusif, memberikan makanan

pendamping asi yang memadai disertai dengan pemberian asi eksklusif, dan memberikan

suplemen vitamin A. Upaya yang dapat dilakukan untuk membantu menghentikan

penularan penyakit yang membuat anak menjadi sakit adalah dengan cara melakukan

imunisasi, membersihkan lingkungan rumah, mengurasi polusi rumah tangga, dan

pencegahan HIV. Upaya untuk mengobati menyembuhkan anak yang sakit dengan cara

meningkatkan pencarian dan rujukan perawatan, menggunakan antibiotik yang tepat, dan

terapi oksigen.13

2.12 Prognosis

Anak akan sembuh dengan cepat dan sembuh sempurna, walaupun

kelainan radiologi dapat bertahan 6 – 8 minggu sebelum kembali ke normal. Pada

beberapa kasus, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat

berulang. Pada kasus seperti ini, patut dicurigai adanya penyakit lain yang

mendasari.6
32

BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : By. Attaya

Umur : 3bulan

BB : 4,4 kg

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jabung

Agama : Islam

MRS : 06 April 2020

Nama Ayah : Tn. I

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Nama Ibu : Ny. W

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan Swasta

1.2 Anamnesis

 Keluhan Utama : Sesak


33

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Sesak sejak tadi malam pukul 01.00, sesak dirasakan saat istirahat

maupun saat beraktivitas, sehingga pasien sulit tidur dan rewel. Nafas

terdengar grok-grok, sesak dirasakan bertambah berat saat batuk dan

bertambah parah 2 jam yang lalu. Sebelum sesak, pasien mengalami

demam, batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum MRS, batuk berdahak

sulit dikeluarkan, hilang timbul dengan frekuensi sering baik pada saat

pagi maupun malam hari, dahak dapat keluar 1-2 kali saja berwarna putih

kental, tidak ada darah. Kemudian demam sejak 7 hari sebelum MRS,

demam dirasakan naik turun, dirasakan tinggi baik pagi maupun malam

hari. Pasien hanya diberikan obat penurun panas yang didapat dari

puskesmas namun, setelah minum obat demam pasien turun dan

beberapa saat naik lagi. Tidak didapatkan gusi berdarah, maupun

mimisan. Tidak ada mual dan muntah. Tidak didapatkan nyeri perut,

nafsu minum menurun beberapa hari ini. BAB dan BAK seperti biasa.

 Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat batuk lama disangkal, keluhan seperti ini sebelumnya (-).

 Riwayat Alergi :

Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat, dan riwayat alergi makanan.

 Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga tidak mempunyai riwayat alergi obat, dan riwayat alergi

makanan maupun riwayat atopi lainya, Tidak ada riwayat batuk lama di

keluarga
34

 Riwayat Sosial :

Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan pengasuhnya. Ibu pasien mengaku

sering menitipkan anaknya ke pengasuh karena ibu pasien kerja sebagai

resepsionis di hotel, ayahnya juga berkerja sebagai Officeboy di hotel.

Pengasuh pasien mengaku merokok dan sering membawa pasien untuk

ngobrol di warung dekat rumah pasien.

Ayah perokok aktif ± 1-2 pack/hari. Dan sering berinteraksi dengan

anaknya

 Riwayat Tumbuh Kembang : Normal

 Riwayat Imunisasi : lengkap

 Riwayat Obstetri dan Ginekologi :

Prenatal : Rutin kontrol ke bidan setempat 1 bulan sekali pada trimester

pertama dan kedua dan sebulan 2x pada trimester ketiga.

Kelahiran : G1P1A0/Pervaginam oleh Bidan/UK 38-39mgg/3300 gr

Postnatal : Menangis spontan, anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), kejang (-),

gangguan minum (-), IMD (+).

 Riwayat Nutrisi : ASI + formula

1.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Tampak sesak

 Kesadaran : 456 (compos mentis)

 Vital Sign : RR : 52 x/menit

Nadi : 128 x/menit, kuat, Reguler


35

Tax : 38,5o C, SpO2 : 98% dengan O2 mask 5lpm

 Status Gizi: Antropometri:

• Usia (U) : 3 bulan

• Berat Badan (BB) : 4,4 kg

• Tinggi Badan (PB) : 60 cm

Interpretasi Status Gizi normal

Weight for Age : +0 <HAZ<+2 : normal

Height for Age : 0 <HAZ<+2 : normal

Weight for Height : 0 <HAZ<+2 : normal

 Pemeriksaan Head to Toe

Kepala: Bentuk dan ukuran: Normocephali,simetris

Rambut: rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata: mata cowong -/-, RC +/+ PBI 3mm/3mm Konjungtiva Anemis -/-,

sklera ikterik -/- , konjungtiva hiperemi -/-, kornea jernih

THT: Epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (-), dispneu (+), otorea (-),

rinorrhea (-), tonsil T2/T2, faring hiperemi (+)

Mulut : mukosa bibir basah, bibir sianosis (-), lidah kotor (-), mukosa

bukal merah, stomatitis (-).

Leher : Pembesaran KGB (-), Deviasi trachea (-), kelenjar thyrid dBN

Thoraks

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, retraksi Intercostal (+)

minimal, retraksi suprasternal (-), retraksi subcotal (-).

Palpasi : Nyeri tekan (-)


36

Perkusi: Sonor

Auskultasi : vesikuler
++ ,Rhonki basah kasar++ , Wheezing -- --
++++ ++++ - -

Jantung

Perkusi: Batas jantung normal

Auskultasi : S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Soefl, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat, nyeri

tekan

Perkusi : Timpani

Inguinal/Genitalia

Phimosis (-), dBN

Ekstremitas

Akral: hangat , kering, merah

+ +

+ +

CRT: < 3 detik, edema -/-

1.4 Pemeriksaan Penunjang

 Darah Lengkap

Hb : 10,5 g/dL

Leu : 28.700/uL (-/-/-/74/18/8)


37

Plt : 428.000/uL

 Foto Thorax : Pneumonia

1.5 Terapi

 O2 mask 5lpm

 D5 1/4 NS 14tpm mikro

 -PCT 3x 1/3

 - puyer batuk 4x1

 -inj.cefotaxim 3x100mg

 -inj. Gentamicin 2x20mg

 - nebul nacl /6jam


38

BAB IV

PEMBAHASAN

Bayi At, 3bulan dengan BB 4,4 kg PB 60cm. Datang dengan sesak memberat sejak

tadi malam pukul 01.00, sesak dirasakan saat istirahat maupun saat beraktivitas,

sehingga pasien sulit tidur dan rewel. Nafas terdengar grok-grok, sesak dirasakan

bertambah berat saat batuk dan bertambah parah 2 jam yang lalu. Sebelum

sesak, pasien mengalami demam, batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum MRS,

batuk berdahak sulit dikeluarkan, hilang timbul dengan frekuensi sering baik

pada saat pagi maupun malam hari, dahak dapat keluar 1-2 kali saja berwarna

putih kental, tidak ada darah. Kemudian demam sejak 7 hari sebelum MRS,

demam dirasakan naik turun, dirasakan tinggi baik pagi maupun malam hari.

Pasien hanya diberikan obat penurun panas yang didapat dari puskesmas

namun, setelah minum obat demam pasien turun dan beberapa saat naik lagi.

Tidak didapatkan gusi berdarah, maupun mimisan. Tidak ada mual dan muntah.

Tidak didapatkan nyeri perut, nafsu minum menurun beberapa hari ini. BAB dan

BAK seperti biasa. Berdasarkan anamnesis sudah memenuhi trias dari

penumonia yaitu demam, sesak dan batuk.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan temperatur 38,5 menandakan

febris, respiratory rate 52x/menit menandakan dyspneu, nadi 128x/menit, Pada


39

pemeriksaan kepala leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan thorax

terdapat suara vesikuler dekstra dan sinistra, retraksi intercostal minimal, rhonki

kasar pada paru dextra dan sinistra,. Pada abdomen didapatkan soefl, flat, bising

usus normal, perkusi timpani, turgor kembali cepat. Pada pemeriksaan

ekstremitas capillary refill time < 2 detik, akral hangat merah pada keempat

ekstremitas.

Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan leukositosis yaitu 28.700/uL dicurigai

adanya proses infeksi yang terjadi dan peningkatan neutrofil yang cukup

signifikan sebesar 74% menandakan adanya shift to the left untuk terjadinya

infeksi yang dicurigai karena bakteri, dan pemeriksaan foto thorax dengan kesan

Pneumonia. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sudah

sesuai dengan teori yaitu mengarah ke pneumonia.

Problem List

 Dyspneu

 Batuk, Nafsu makan minum menurun

 Febris (Tax: 38,5 oC)

 Retraksi subcostal minimal (+), T2/T2 Faring hiperemi (+)

 Rhonki basah kasar +/+ diseluruh lapang paru

 Leukositosis (28.700/uL) dan neutrofil meningkat, shift to the left (74%)

Diagnosis

Pneumonia

Planning Diagnosis
40

Planning Terapi

 O2 mask 5lpm

 D5 1/4 NS 14tpm mikro

 -PCT 3x 1/3

 - puyer batuk 4x1

 -inj.cefotaxim 3x100mg

 -inj. Gentamicin 2x20mg

 - nebul nacl /6jam

Monitoring

 Vital Sign, SpO2

 Keluhan pasien (dyspnea, retraksi, Rhonki kasar) dan Efek samping obat

 Leukositosis, neutrofil dan LED

Edukasi

 Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga pasien mengenai

penyakit yang diderita pasien yaitu pneumonia.

 Memberikan penjelasan tentang terapi yang diberikan, efek samping dari

obat yang diberikan, dan planning diagnosis yang akan dilakukan.

 Memberikan penjelasan kepada orang tua pasien untuk tetap memantau

nutrisi pasien

 Menjelaskan menghindari sebisa mungkin untuk anak terpapar polusi

udara, rokok atau faktor pencetus lainnya terjadinya pneumonia


41

 Menjelaskan kepada orang tua untuk rutin minum obat yang diberikan

dan kembali kontol ke dokter untuk follow up terapi rawat jalan

 Menjelaskan tentang komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosisnya.

1.6 Prognosis

Dubia ad Bonam untuk vitam, functionam, dan sanationam.


42

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaswandani, Nastiti, dr., Sp.A(K)., Menekan Pneumonia. IDAI. 2017 (Cited


10 Juli 2019). Available from: http://www.idai.or.id/artikel/ pengasuhan-
anak/menekan-pneumonia
2. Marcdante, Karen J, Kliegman, Robert K. et al. 2016. Pneumonia. Nelson
Essentials of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. Halaman: 398-404.
3. Rani S. Gereige, MD, MPH, Pablo Marcelo Laufer, MD. 2013. Pneumonia.
Editorial Board. Department of Medical Education, Miami Children’s
Hospital, Miami, FL. Division of Pediatric Infectious Diseases, Miami
Children’s Hospital, Miami, FL. Pediatrics in review journal Vol. 34 No.10.
(Cited 2 juli 2019). Available from:
http://pedsinreview.aappublications.org/pneumonia
4. Pudjiadi, Antonius H., Hegar, Badriul, Handryastuti, setyo, et al., 2009.
Pneumonia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI. Halaman: 250-255
5. Kurniawan, Rudiy, drg. M.Kes., Hardhana, Boga, S.Si. MM., Yudianto,
S.KM. M.Si., et al., 2018. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia
2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. (cited 11 July 2019). Available
from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018
6. Bennete M.J., Steele, Russel W., 2014. Pediatric Pneumonia. Medscape.
(Cited 30 Juni 2019). Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview
7. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L.,Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson, J.T. 2011. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age.
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. America. page:
617-630.
8. Said, Mardjanis. 2010. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi
pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakrta: IDAI. Halaman: 350-365.
9. Zar, Heather J., Andronnikou, Savvas, Nicol, Mark P., 2017. Advanced in the
diagnosis of pneumonia in children. British Medical Journal. (cited: 9 july
2019). Available from: https://www.bmj.com/content/358/bmj.j2739.
10. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia at health
facilities. 2014. Evidence summaries.
11. Cooper-Sood, Jonathan, MD., Wwallihan, Rebecca, MD., Naprawa, James,
MD., et al., 2019. Pediatric Community Acquired-Pneumonia: Diagnosis and
Management in theEmergency Departement. Emergency Medicine Journal.
April 2019, Volume 16 No. 4. (cited: 10 july 2019). Available from:
www.ebmedicine.net/pempissues/Peditric-Community-Acquired-Pneumonia
12. Granizo, Juan Jose, Aguilar, Lorenzo, Gimenez, Maria Jose. 2018. Revisiting
cefditoren for the treatment of community-acquired infections caused by
human-adapted respiratory pathogens in adults.Biomedical Central Journal.
43

Spain: Madrid. (cited: 15 juli 2019). Available from:


https://doi.org/10.1186/s40248-018-0152-5
13. Wulandari, Risa Ayu. 2018. Pengaruh Pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian pneumnia balita di jawa timur. Jurnal Berkala Epidemiologi
Universitas Airlangga. Volume 6 Nomor 3 (2018) 236-243. Surabaya:
UNAIR. (cited: 9 july 2019). Available from:
http://journal.unair.ac.id/index.php/JBE/
14. Klepikov, Igor. 2017. Acute Pneumonia in Children: The Price of Illusions
and Delusions. J Paediatr Care. 2017, 3:1. (cited: 11 juli 2019). Available
from:
https://www.researchgate.net/publication/315506974_Acute_Pneumonia_in_
Children_The_Price_of_Illusions_and_Delusions/link/59ed7ad8aca272cddde
065f0/
15. AAP Section on Emergency Medicine Committee on Quality
Transformation Clinical Algorithm for Emergency Department Evaluation
and Management of Pediatric Community Acquired Pneumonia, 2017.
America. (cited: 7 juli 2019). Available from: https://pedemmorsels.com/wp-
content/uploads/2017/02/AAP-Pneumonia-Algorithm-Final-Feb-17
16. El Syani, Fauziah, Budiyono, Raharjo, Mursid. 2015. Hubungan Faktor
Resiko Lingkungan terhadap kejadian penyakit pneumonia balita dengan
pendekatan analisis spasial di Kecamatan Semarang Utara. JURNAL
KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 3, Nomor 3, April 2015
(ISSN: 2356-3346). Semarang. (Cited: 22 juli 2019). Available from:
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm.

Anda mungkin juga menyukai