Halaman
Kata Pengantar ............................................................................ i
Lembar Pengesahan ..................................................................... ii
Daftar isi ......................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................ 2
1.3.Tujuan Penelitian ............................................................ 2
1.4.Manfaat Penelitian .......................................................... 2
1
BAB 4 DISKUSI KASUS ........................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN .............................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 41
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis demam 2-7 hari, nyeri otot dan
atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diathesis hemoragik. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis
perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian.1
2.2. Etiologi
Demam berdarah dengue (DBD ) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh empat serotype virus dengue yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4 dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di banyak daerah di dunia. Nyamuk penular
disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Vektor adalah
hewan athropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit. Vektor DD dan
DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes
albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk
permukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di
tempat penampungan air/wadah yang berada di pemukiman dengan air yang
relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak
ditempat – tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas
bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas, dan sejenisnya di dalam
rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan; sedangkan
nyamuk Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di
luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya
terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di
tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut
mempunyai sifat anthrofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia,
disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan
darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap
3
darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DD/DBD di
wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang
infektif dalam satu periode waktu mengigit akan mampu menularkan virus kepada
lebih dari satu orang. 4,9
2.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 9
2.4. Patogenesis
Dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh salah satu
dari keempat serotype virus dengue. Infeksi oleh suatu serotype dapat
menghasilkan imunitas terhadap serotype yang sama, tetapi tidak untuk serotype
yang berbeda.
Nyamuk Aedes aegypti yang tidak terinfeksi oleh virus dengue
memperoleh virus tersebut ketika nyamuk tersebut menggigit orang yang
terinfeksi oleh virus dengue. Virus dengue berkembang di dalam tubuh nyamuk
selama 1-2 minggu dan akan mencapai kelenjar liur dari nyamuk hingga akhirnya
di transmisikan ketika nyamuk menggigit manusia. Hal ini dapat terjadi beberapa
kali sehari hingga nyamuk tersebut mati (1-4 minggu).
Setelah manusia tergigit oleh nyamuk yang terinfeksi virus dengue, virus
dengue akan bereplikasi di nodus limfe manusia selama 2-3 hari kemudian virus
tersebut akan meluas ke darah dan ke berbagai jaringan. Virus akan beredar di
sirkulasi darah selama 4-5 hari dan terjadilah fase demam, kemudian hilang dan
suhu tubuh kembali menjadi normal.
4
Patogenesis infeksi dengue berat atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
hingga kini masih belum jelas. Akan tetapi berdasarkan penelitian dikatakan
bahwa infeksi dengue dapat memberat hingga 15 kali pada infeksi berulang
dibandingkan dengan infeksi primer. Diduga berbagai mekanisme ikut berperan
dalam patogenesis infeksi dengue yang berat, termasuk Antibody-Dependent
Enhancement (ADE), sel T (T helper maupun T sitotoksik), peran monosit serta
makrofag, dan peran komplemen yang diaktivasi oleh kompleks imun virus.
Selain itu, perbedaan tingkat virulensi dari serotype yang berbeda diduga juga
berperan dalam patogenesis infeksi dengue berat.
Sejauh ini hipotesis yang paling dominan adalah keterlibatan ADE ketika
terjadi infeksi sekunder, di mana antibodi yang sudah dibentuk sebelumnya akan
mempercepat dan meningkatkan uptake dan replikasi virus di makrofag. Hipotesis
lainnya yaitu sel T, di mana diferensiasi T helper (Th1) akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5,
IL-6, dan IL-10. Mediator-mediator inflamasi yang dihasilkan tersebut akan
menyebabkan disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Monosit dan
makofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Namun
proses fagositosis ini akan meningkatkan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag. Selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3 dan C5a. C3 dan C5a yang terbentuk ini juga akan
menyebabkan kebocoran plasma.
Trombositopenia pada DHF terjadi karena dua hal, yaitu karena adanya
supresi pada sumsum tulang dan karena pemendekan usia trombosit. Pada
keadaan trombositpenia ini ditemukan juga peningkatan trombopoetin di dalam
darah sebagai usaha kompensasi tubuh akibat rendahnya jumlah trombosit. Selain
itu koagulopati yang terjadi disebabkan karena adanya interaksi antara virus
dengan dinding pembuluh darah sehingga terjadi disfungsi endotel yang
menyebabkan terjadinya kebocoran plasma. 7,8
5
2.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis untuk demam berdarah dengue yaitu :
Demam tinggi , timbul mendadak, kontinua, kadang bifasik.
Berlangsung antara 2-7 hari.
Muka kemerahan (facial flushing), anoreksi, mialgia, dan arthralgia.
Nyeri epigastrik, muntah, nyeri abdomen difus.
Kadang disertai sakit tenggorok.
Faring dan konjungtiva kemerahan.
Dapat disertai kejang demam.
Tersangka infeksi dengue apabila terdapat :
Demam < 7 hari.
Ruam
Rumple lead (+)
Nyeri kepala dan retroorbital.
Mialgia, arthralgia.
Leukopeni.
Kasus DBD lingkungan (+).
Menurut WHO (2012) demam dengue memiliki tiga fase yaitu:
1. Fase demam
Pada fase ini penderita akan mengalami demam tinggi secara mendadak
selama 2-7 hari yang sering dijumpai dengan wajah kemerahan, eritema kulit,
myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital, rasa sakit di seluruh tubuh, fotofobia, dan
sakit kepala serta gejala umum seperti anoreksia, mual dan muntah.
2. Fase kritis
Pada fase kritis terjadi penurunan suhu menjadi 37.5 - 38◦C atau kurang pada
hari ke 3-8 dari penyakit. Progresivitas leukopeni yang diikuti penurunan jumlah
platelet mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit merupakan tanda
awal terjadinya perubahan pada tekanan darah dan denyut nadi.
3. Fase penyembuhan
6
Setelah pasien bertahan 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi kompartemen
ekstravaskular bertahap terjadi selama 48-72 jam. Fase ini ditandai dengan
keadaan umum membaik, nafsu makan kembali normal, gejala gastrointestinal
membaik dan status hemodinamik stabil.
Tanda bahaya (warning sign) pada pasien yaitu dijumpai :
Pada fase afebris klinis tidak ada perbaikan atau memburuk.
Tidak mau minum
Muntah terus menerus.
Nyeri perut hebat.
Letargi dan/gelisah.
Perubahan perilaku.
Perdarahan (mimisan, muntah & BAB hitam, menstruasi berlebih, urin
berwarna hitam/hemoglobinuria atau hematuria).
Pusing.
Pucat (akral teraba dingin).
Diuresis berkurang dalam 4-6 jam 7
2.6. Diagnosis
2.6.1. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin , hematokrit,
jumlah trombsosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
7
plasma biru (LPB)>15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit >20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT dapat meningkat
Ureum/kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan igM dan igG terhadap dengue
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada
infeksi sekunder igG mulai terdeteksi hari ke 2.
Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
NS 1: Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai
hari kedelapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue. 7
8
2.6.2. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemotoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah. 7
9
a. Demam Dengue (DD) probable dengue.
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia
Artralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).
Leukopenia (leuko < 5000)
Trombosit <150.000
Hematokrit naik 5-10%
Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. 7
b. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Ptekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),
atau perdarahan dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut: peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar
sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
10
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, atau
hipoproteinemia
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah ditemukan kebocoran plasma pada DBD.
c. Sindrom Syok Dengue (SSD)
Seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
11
DBD III Gejala di atas ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (kulit (<100.000/µl), bukti ada
dingin dan lembab serta kebocoran plasma
gelisah)
DBD IV Syok berat disertai dengan Trombositopenia
tekanan darah dan nadi (<100.000/µl), bukti ada
tidak terukur kebocoran plasma
*DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
2.9. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue. Prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutukan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien berdasarkan kriteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi.
Praktis dalam pelaksanaannya.
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, yaitu:
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat
dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan insikasi rawat.
Seorang yang tersangka menderita DBD dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit bila:
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-200.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran konrol atau berobat jalan ke Poliklinik
12
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,Ht, dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit
Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb,Ht, meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.
13
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang
ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi
5ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi
3ml/kg/jam. Bila pemantauan keadaaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi
14
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi
maka pemberiaan cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
15
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:
perdarahan hidung/ epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tapon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematokezia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan,
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan
trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit sebaiknya diulang seiap 4-6 jam.
Pemberian hepain diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai HB kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
<100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
16
Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue maka hal yang
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh
karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap,
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium, dan klorida, serta uream
dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
17
tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-
1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam
waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan ( karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan
maka keadaan hipovolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berati perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan,
tetapi bila nilai hematrokit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka pada pasien diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang
sesuai kebutuhan.
Pengawasan dini kemungkinan terjadi renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan. Oleh karena itu
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid mula-mula dengan tetesan cepat 10-
20 ml/kgBB dan dievaluai 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
( maksimal 1-1,5 m/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila
18
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap
belum teratasi makan dapat diberikan inotropik/vasopresin. 7,9
2.10. Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier.
a. Pencegahan primer
Pencegahan ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit.
Survelains vektor
Untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva,
faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran
19
dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai untuk
memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksaan pengendalian vektor.
Pengendalian vektor
- Pengendalian cara kimiawi : menggunakan insektisida
- Pengendalian caca biologik : menggunakan kelompok hidup baik golongan
mikroorganisme hewan invertebrata atau vertebrata.
- Pengendalian lingkungan : memasang kawat kasa lubang pintu, lubang
jendela, dan ventilasi seluruh bagian rumah, hindari menggantung pakaian
pada tempat yang tidak terjangkau cahaya matahari.
Survelains kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan survelains aktif maupun
pasif. Tujuannya untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka
panjang.
Gerakan pemberantasan sarang nyamuk
- Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan
minimal sekali dalam seminggu.
- Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa.
- Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya
dapat menampung air hujan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti.
b. Pencegahan sekunder
1. Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita
2. Diagnosis
3. Diagnosis laboratorium
4. Pengobatan penderita DBD
5. Penyelidikan epidemiologi
c. Pencegahan tertier
20
Pencegahan ini untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan
melakukan reabilitasi.3 Upaya yang dapat dilakukan adalah:
- Transfusi darah
- Stratifikasi daerah rawan DBD
Endemis
Sporadis
Potensial
Bebas
2.11. Komplikasi
a. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati
DHF bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
thrombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh.
b. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok
diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah
benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting
dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis
diusahakan >1 ml/kgBB/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan
jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
21
c. Oedem paru
Oedem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedem
paru oleh karena pembesaran plasma masih terjadi. 7,8
2.12. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya
antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian
telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif
yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung
berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang,
terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan
intrakranial.3
22
BAB III
LAPORAN KASUS
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Sri Hartati
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Dusun III jl. Pembangunan Banadar setia, Percut Sei
Tuan, Deli Serdang.
ANAMNESA PENYAKIT
22
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Hal ini dialami os sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam bersifat tinggi dan tidak turun dengan obat
penurun panas, mual dijumpai, muntah tidak dijumpai,.
Mual dialami sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Batuk tidak dijumpai. Sesak tidak dijumpai. Os juga
mengeluhkan nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan
merasa pusing sejak 6 hari lalu. Os juga mengeluhkan ada
bintik-bintik kemerahan di seluruh tubuh. Riwayat
perdarahan spontan seperti mimisan tidak dijumpai, gusi
berdarah tidak dijumpai, lebam-lebam di tubuh tidak
dijumpai, namun bercak-bercak merah dijumpai pada
tangan dan kaki os sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. BAB dengan frekuensi 1x dalam sehari dengan
konsistensi keras, tinja berwarna kuning, BAB hitam tidak
dijumpai, BAB berdarah tidak dijumpai, BAB berlendir
tidak dijumpai. BAK dijumpai dengan volume ±1500cc/24
jam dengan urin berwarna seperti teh pekat. Riwayat darah
tinggi disangkal, riwayat sakit gula disangkal, riwayat
sakit kuning disangkal, riwayat sakit dada disangkal,
riwayat minum obat-obatan disangkal oleh os. Riwayat
bepergian ke tempat-tempat endemic disangkal oleh os
RPT : Tidak dijumpai
RPO : Tidak jelas
ANAMNESIS ORGAN
Lain-lain: (-)
23
Saluran Batuk: (-) Asma, bronkitis: (-)
Saluran urogenital Sakit Buang Air Kecil: (-) Buang air kecil tersendat: (-)
Lain-lain (-)
ANAMNESIS FAMILI :
24
Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama.
STATUS PRESENS
Temperatur : 37 °C
Keadaan Gizi :
= 131% BB : 75 kg
IMT : 24 kg/m2
PEMERIKSAAN FISIK
25
KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterus (-/-), pupil: isokor, ukuran: ±3
mm. Refleks cahaya direk (+/+) indirek (+/+), kesan normal
LEHER
multi nodular/diffuse
Pembesaran kelenjar limfa : (-), lokasi: (-), jumlah: (-), konsistensi: (-),
THORAX DEPAN
Inspeksi
Palpasi
26
Nyeri tekan : (-)
Perkusi
Paru
Peranjakan : ± 1 cm
Jantung
Auskultasi
Paru
Jantung
M1 > M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (-), tingkat (-),
THORAX BELAKANG
27
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : sf kanan=kiri
Perkusi : Sonor
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Palpasi
Hati :
Pembesaran : (-)
Permukaan : (-)
Pinggir : (-)
Limfa :
Ginjal :
28
Ballotement : (-), kiri/kanan, lain-lain: (-)
Perkusi
Auskultasi
PINGGANG
Lokasi : (-)
29
Tremor ujung jari : (-)
Sianosis : (-)
Kiri Kanan
RESUME
30
ANAMNESIS
KU : Febris
Telaah : Hal ini dialami pasien selama 5 hari SMRS. Febris dengan suhu tinggi
muncul mendadak dan disertai dengan menggigil. Nyeri retro orbital (+), artalgia
(+), ptechie (+) pada kedua ekstremitas superior dan inferior. Nausea (+). Malaise
(+). Riwayat hipertensi dan diabetes melitus (-)
STATUS PRESENS
PEMERIKSAAN FISIK
TD : 110/90 mmHg
HR : 81 x/i
RR : 26 x/i
T : 37 °c
KEPALA
ST : Tidak ada
31
Jantung : normal
Pemeriksaan Laboratorium:
PARAMETERS: NILAI NORMAL:
WBC : 6.93 (103/uL) 4.0 – 11.0
RBC : 6.39 (106/uL) 4.00 – 5.40
HGB : 16.6 (g/dL) 12 - 16
HCT : 50.5 (%) 36.0 – 48.0
MCV : 79.0 (fL) 80.0 – 97.0
MCH : 26.0 (pg) 27.0 – 33.7
MCHC : 32.9 (g/dL) 31.5 – 35.0
PLT : 2* (103/uL) 150 - 400
RDW-CV : 14.9 (%) 10.0 – 18.0
RDW-SD : 41.6 (fL) 35 - 47
DIAGNOSIS BANDING
32
1. DHF grade I
2. Chikungunya
3. Demam tifoid
4. Malaria
DIAGNOSIS SEMENTARA
DHF grade I
PENATALAKSANAAN
Diet : M2
Medikamentosa :
- IVFD fima Hes 30 gtt/i makro 1 fls saja
- IVFD RL 300cc guyur dalam 1 jam pertama, selanjutnya 180cc/jam
selama 4 jam berikutnya, selanjutnya 40 gtt/i makro
- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam/iv
- Domperidone 3x10 mg (ac)
- Follow up ketat
3.2. FOLLOW UP
33
Tanggal S O A P
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, H/L/R
TTB, BU (+) normal
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB : Hb 14,4
WBC 7460
PLT 8000
IgM, IgG anti dengue :
positif
34
Sclera ikterik
(-/)
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB
Hb / WBC / RBC / PLT
(16,6 / 6,43 /
6,34 / 2000)
Na / K / U
(145 / 4,4 / 110)
KGD AdR 143
03 Demam Sens : Compos Mentis DHF Tirah Baring
September TD : 140/110 mmHG Grade I Diet MB TKTP
2017 HR : 83 x/i IVFD RL 40 gtt/i
RR : 28 x/i Inj. Ranitidine 50
T : 36,0 C mg/12 jam/IV
Laxadine 3xCI
KEPALA Domperidon 3x1 mg
Mata : ac
Konjunctiva Folket / 2 jam
anemis (-/-)
Sclera ikterik
(-/)
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
35
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB
Hb / WBC / Ht / PLT
(14 / 8140 / 42,3 /
14000)
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB
BT 4 menit / PT 1107 /
INR 1,46 / APTT 1,2
05 Sens : Compos Mentis DHF Tirah Baring
September TD : 150/100 mmHG Grade I Diet MB TKTP
2017 HR : 84 x/i -Hipertensi IVFD RL 40 gtt/i
RR : 20 x/i grade I Inj. Ranitidine 50
T : 36,7 C mg/12 jam/IV
36
KEPALA Laxadine 3xCI
Mata : Domperidon 3x1 mg
Konjunctiva ac
anemis (-/-) Captopril 3x12,5 mg
Sclera ikterik Amlodipine 1x5 mg
(-/)
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB
Hb 13,6 / WBC 1072 /
PLT 94.000
THORAX
SP : Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
37
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
LAB
-
ABDOMEN
Soepel, simetris, Hepar
teraba 3 cm BAC, BU
(+) normal
EXTREMITAS
Edema
Superior (- | -)
Inferior (- | -)
38
BAB IV
DISKUSI KASUS
Teori Pasien
Definisi
Etiologi
Penyebab DBD adalah oleh virus dengue Pasien tidak memiliki riwayat
anggota genus Flavivirus. Spesies nyamuk penyakit yang sama dalam
tersebut mempunyai sifat anthrofilik, artinya keluarganya, dan tidak ada
lebih memilih menghisap darah manusia, dilingkungan sekitar tempat
disamping itu juga bersifat multiple feeding tinggal pasien yang mengalami
artinya untuk memenuhi kebutuhan darah penyakit yang sama. Riwayat
sampai kenyang dalam satu periode siklus bepergian ke daerah endemis DBD
37
gonotropik biasanya menghisap darah disangkal oleh pasien.
beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan
risiko penularan DD/DBD di wilayah
perumahan yang penduduknya lebih padat,
satu individu nyamuk yang infektif dalam
satu periode waktu mengigit akan mampu
menularkan virus kepada lebih dari satu
orang.
Manifestasi Klinis
38
Nyeri epigastrik, muntah, nyeri terdapat bintik – bintik merah pada
abdomen difus. kedua tangan dan kaki.
Kadang disertai sakit tenggorok.
Faring dan konjungtiva kemerahan.
Dapat disertai kejang demam.
Pemeriksaan Fisik
Protokol 2 :
39
Pasien yang tersangka DBD tanpa
perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan
infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini. Volume cairan kristaloid per hari
yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
Protokol 3 :
40
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48
jam kemudian.
Protokol 4 :
Protokol 5 :
41
42
BAB V
KESIMPULAN
43
DAFTAR PUSTAKA
1. A Sukohar., 2014. Demam Berdarah Dengue (DBD) Volume 2, Nomor 2,
Februari 2014. Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung :
2014
2. Candra, A., Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Semarang: Aspirator Vol. 2 No. 2. 2010
3. Wahyono. TRM. Dkk.,Buletin Epidemiologi Demam Berdarah Dengue.
Jakarta: Kemenkes.2010
4. Fitriani. Anita.,Prevalensi Demam Berdarah Dengue di Kota Medan
Berdasarkan Data di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011. Skripsi.
Medan: FKUSU. 2013
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI; 2005.
6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jendela Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI; 2010.
7. Suhendro, Leonard N, Khie C, Herdiman T.P., Demam Berdarah Dengue.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta. 2014.p:529-548.
8. World Health Organization. Dengue Guidlines for Diagnosis Treatment,
Prevention and Control. 2005
9. World Health Organization. Dengue Guidlines for Diagnosis Treatment,
Prevention and Control. 2009
44
45