Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Permasalahan kurikulum merupakan permasalahan yang kompleks dan
dinamis, hal ini di dorong oleh suatu tuntutan dan kebutuhan yang harus
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan untuk menghadapi persaingan
global. Selain itu dengan kemantapan manajemen kurikulum harus
diperhatikan dengan benar untuk menunjang pada peningkatan kemampuan
pembelajaran peserta didik yang diarahkan pada peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Kurikulum di Indonesia setelah Indonesia merdeka mengalami
beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1972, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013, namun belum dapat memberikan
dampak yang berarti bagi peningkatan mutu pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (PAI).
Kurikulum yang sifatnya dinamis akan mengalami perubahan dan
pengembangan mengikuti arus tantangan dan perkembangan zaman. Untuk
menghadapi tantangan tersebut kurikulum harus mampu membekali peserta
didik dengan berbagai kompetensi yang diperlukan untuk masa depan sesuai
perkembangan global. E Mulyasa (2014:64) mengatakan kompetensi yang
diperlukan antara lain: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir
jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu
permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang
berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki
minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap lingkungan.

1
2

Permasalahan lain yang dihadapi dalam kurikulum adalah adanya


kepentingan daerah atau keadaan masyarakat lingkungan pendidikan dalam
pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan
untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada
akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik.
Penyusunan kurikulum atas dasar acuan keadaan masyarakat tersebut adalah
“Kurikulum Muatan Lokal”
Kurikulum muatan lokal merupakan upaya agar penyelenggaraan
pendidikan di daerah dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu
pendidikan nasional, sehingga pengembangan dan implementasi kurikulum
muatan lokal mendukung dan melengkapi kurikulum saat ini. E. Mulyasa
(2006: 275) mengemukakan secara umum, bahwa muatan lokal bertujuan
untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup kepada
peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan
masyarakat sesuai dengan nilai yang berlaku di daerah masing-masing dan
mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Masuknya muatan lokal dalam kurikulum nasional tidak mengubah
esensi tujuan pendidikan nasional. Artinya, tujuan pendidikan nasional dan
tujuan kelembagaan pendidikan (tujuan institusional) tetap menjadi kerangka
acuan bagi pelaksana muatan lokal. Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Pemerintah RI
No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan :
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket
A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/ SMALB/Paket C/SMK/MAK,
atau bentuk lain yang sederajat dapat dilaksanakan melalui muatan dan atau
kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan
teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan.
Di lapangan ditemukan beberapa kendala guru dalam melaksanakan
kurikulum muatan lokal setelah beberapa kali perubahan kurikulum dalam
permasalahan yang hampir sama yaitu: (a) dalam pemahaman kebijakan, (b)
kendala materi atau kurangnya bekal pengetahuan dan keterampilan yang
3

dimiliki guru, (c) kendala dalam metodologi pelaksanaan, (d) kendala sarana,
(e) kendala evaluasi, dan (f) kendala kerjasama. Keseluruhan kendala tersebut
muncul disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (a) faktor guru itu sendiri, (b)
lingkungan, (c) peserta didik, (d) sarana prasarana sekolah.
Para guru dalam menghadapi kendala, secara individual, belajar
menguasai pengetahuan dan keterampilan sendiri, pencarian bahan sendiri,
peningkatan efektifitas sumber, perbaikan metode pembelajaran termasuk
peningkatan pemberian variasi tugas. Secara kolektif, secara bersama-sama
melakukan penambahan sarana sekolah, peningkatan pemberian metode
contoh langsung antar guru dalam pergaulan keseharian dan menyuruh anak
berlatih sopan santun di sekolah. Sedangkan pilihan berupa membudayakan
nilai religius dalam pengembangan kurikulum belum nampak.
Dalam konteks pendidikan agama yang lebih luas dikenal dengan
adanya materi khusus atau yang sering dikenal dengan istilah program
muatan lokal yang merupakan upaya atau terobosan program pendidikan yang
secara khusus disusun untuk peserta didik agar memiliki kompetensi yang
dibutuhkan masyarakat dewasa ini. Tentunya, menuntut lembaga pendidikan
berbasis Islam agar mampu mengembangkan kurikulum pendidikan Islam
baik melalui celah muatan lokalnya maupun dengan menambah waktu
belajar yang dikhususkan untuk materi-materi keIslaman, sesuai visi dan misi
lembaga pendidikan masing-masing. Hal ini sejalan menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No.23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa
pada dasarnya pelaksanaan kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan dasar
dan menengah seperti kurikulum muatan lokal berbasis agama dapat
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Dengan adannya perundang-undangan memberikan posisi yang kuat
terhadap kedudukan muatan lokal, diharapkan akan semakin meningkatkan
mutu pembelajaran peserta didik. Muatan lokal sangat berpengaruh positif
pada tinggi dan rendahnya hasil belajar peserta didik.
4

Rendahnya mutu akademik dan proses pembelajaran, merupakan


gambaran dari rendahnya mutu sistem pendidikan di Indonesia yang
berdasarkan data hasil survai the Political and Economics Risk Consultation,
yang dikutip oleh Suderadjat, H (2004:3) melaporkan bahwa “sistem
pendidikan di Indonesia berada pada peringkat ke-12 dari 12 negara yang
disurvey satu peringkat di bawah Vietnam”. Rendahnya mutu sistem
pendidikan di Indonesia menghasilkan SDM yang bermutu rendah seperti
yang digambarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Human
Development Index (HDI) yang dikutip oleh Suderadjat (2004:3)
menunjukkan bahwa “Indonesia menduduki peringkat ke-102 dari 106 negara
yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam”. Dari internet
www.undp.org/hdr2004 diperoleh data bahwa pada tahun 2005 : “mutu
pendidikan di negara Indonesia menduduki peringkat ke-110 dari 195 negara
yang ada di dunia”. Dari berbagai permasalahan yang muncul dalam sistem
Pendidikan Nasional terutama yang menyangkut mutu pendidikan baik yang
disebabkan oleh sistem pendidikan (sentralisasi) maupun yang diakibatkan
oleh manajemen dalam pendidikan. Suryosubroto, (2004:30) menyimpulkan
bidang-bidang garapan Manajemen Pendidikan di sekolah yaitu : “ 1)
Manajemen Kurikulum, 2) Manajemen Kesiswaan, 3) Manajemen Personalia,
4) Manajemen Sarana Pendidikan, 5) Manajemen Tatalaksana Sekolah, 6)
Manajemen Keuangan, 7) Pengorganisasian Sekolah, dan 8) Hubungan
sekolah dengan masyarakat”.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, antara lain melalui pengembangan kurikulum, berbagai pelatihan
dan meningkatkan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran,
perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan
mutu yang berarti dan merata. “Sebagian besar sekolah, terutama di daerah-
daerah masih menunjukkan kondisi yang memprihatinkan” (Depdiknas,
2004).
5

Salah satu upaya dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan


perubahan kurikulum. Kurikulum yang dilaksanakan di sekolah harus
dikelola dengan baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang
dirumuskan bersama-sama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah.
Dalam pendidikan formal, pelaksanaan pendidikan dibagi dan diatur dalam
tahapan pelaksanaan pendidikan. Setiap tingkat memiliki tujuan tersendiri
yang merupakan penjabaran dari tujuan umum nasional. Tujuan setiap tingkat
pendidikan merupakan tujuan lembaga pendidikan atau tujuan institusional.
“Untuk mencapai tujuan institusional diperlukan alat dan sarana pendidikan,
satu diantaranya adalah kurikulum untuk setiap lembaga pendidikan”.
(Sudjana, 1991:80).
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebagaimana pendapat Sukmadinata
(2003:21), bahwa “kurikulum mempunyai makna yang cukup luas, mencakup
pengalaman yang dilakukan siswa, yang dirancang, diarahkan, diberikan,
dibimbing, dan dipertanggung jawabkan oleh sekolah”. Selanjutnya
Sukmadinata (2003:20) mengemukakan bahwa “kurikulum mempunyai
kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan
segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan”. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu
pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang
peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Maka kurikulum sebagai alat
untuk mencapai tujuan harus mampu mengantarkan anak didik menjadi
manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil dan berbudi luhur, berilmu,
bermoral, tidak hanya sebagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada
murid semata-mata, melainkan sebagai aktivitas pendidikan yang
direncanakan untuk dialami, diterima, dan dilakukan.
Kurikulum sekolah merupakan instrumen strategis untuk
pengembangan kualitas sumber daya manusia baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Kurikulum juga memiliki koherensi yang amat dekat dengan
upaya pencapaian tujuan sekolah dan atau tujuan pendidikan, oleh karena itu
6

perubahan dan pembaharuan kurikulum harus mengikuti perkembangan,


menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menghadapi tantangan yang akan
datang serta menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan digulirkannya kebijakan otonomi daerah ada beberapa inovasi
penting berkaitan dengan kurikulum, di antaranya (1) manajemen kurikulum
desentralisasi, (2) kurikulum berbasis kompetensi, dan (3) pendidikan
kecakapan hidup dan berbasis luas. (Sukmadinata, 2003:28). Sebagai
implikasi dari kebijakan tersebut lahirlah kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) yang kemudian disempurnakan menjadi Kurikulun Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Dasar perlunya perubahan kurikulum menurut Muhadi (2002) dalam
Susilo (2007:18) bahwa “pada saat terjadi perkembangan dan perubahan
dalam kehidupan masyarkat, berbangsa dan bernegara yang perlu segera
ditanggapi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada
setiap jenjang dan satuan pendidikan”. Di mana peraturan perundang-
undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap pengembangan
kurikulum seperti pembaharuan dan diversifikasi kurikulum.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dikembangkan untuk
memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan,
pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan.
Adapun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditujukan untuk
menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam mengemban identitas
budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar
pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas
sosial serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Juga untuk
memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan
dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar
pendidikan universal sebagaimana dicetuskan oleh UNESCO.
KTSP merupakan salah satu alternatif kurikulum dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan secara umum. Dalam kaitan dengan pemberian
otonomi pendidikan yang luas kepada sekolah KTSP diharapkan dapat
mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai
7

kompetensi masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem


yang ada di sekolah.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan dilandasi oleh Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
2. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
3. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
4. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan.
5. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan 23.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 1, ayat 15 dijelaskan bahwa “Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan” adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP
dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasar
kepada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 36 ayat 1) dan 2)
sebagai berikut;
“Pengembangan kurikulum mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuam pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik”.

Pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan nasional,


hal tersebut dijelaskan dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
33 ayat 2 bahwa "kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
antara lain pendidikan agama", termasuk salah satunya pendidikan agama
Islam. Pendidikan agama Islam dilaksanakan untuk mengembangkan potensi
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
8

Menurut Daradjat (2001 : 172), “bahwa pendidikan agama adalah usaha


yang secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka
pembentukan manusia beragama”. Sedangkan lebih khusus pengertian
pendidikan agama Islam yang diungkapkan oleh Puskur Balitbang Depdiknas
(2001 : 8), sebagai berikut :
“Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan
berakhlak mulia dalam mmenjalankan ajaran agama Islam dari sumber
utamanya kitab suci Al-Qur'an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan latihan, serta penggunaan pengalaman”.

Dengan demikian Pendidikan Agama Islam adalah untuk memperkuat


keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Menurut
Azra (1999 : 57), bahwa "kedudukan pendidikan agama Islam di berbagai
tingkatan dalam sistem pendidikan nasional adalah untuk mewujudkan siswa
yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia".
Untuk itu, tugas kita semua termasuk kita sebagai pendidik untuk
seoptimal mungkin memperbaikinya. Disamping perbaikan untuk generasi
sekarang ini, yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan untuk generasi
mendatang. Allah berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-
orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
keturunan yang lemah”.  (QS. An-Nisa’: 9). Untuk itu kita siapkan anak-anak
kita, agar memiliki 6 kekuatan menurut Daradjat (2001 : 181); (1) quwattul
aqidah (keimanan), (2) quwwatul ilmi (ilmu pengetahuan dan teknologi), (3)
quwwatul iqtishodi (ekonomi), (4) quwwatul ijtima’i (persatuan dan
kesatuan), (5) quwwatul khuluqi (kekuatan moral), dan (6) quwwatul jismi
(kekuatan/ kesehatan jasmani).
Untuk memiliki 6 kekuatan di atas, sarana strategisnya adalah melalui
“Pendidikan dan Pengajaran”. Kita siapkan pendidikan dan pengajaran anak-
anak kita dengan sebaik-baiknya agar menjadi generasi qur’ani. Yaitu
generasi yang komitmen dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an dijadikannya sebagai
sumber (mashdar) segala perilakunya, pijakan (manhaj) hidupnya dan tempat
kembali (marji’) segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang
9

mendalam terhadap Al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus


mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kekuatan untuk
mengamalkannya secara total dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
kehidupan individual maupun kemasyarakatan.
Yang dimaksud dengan pendidikan agama dan fungsinya menurut
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan:
Pasal 1 menyatakan; a) Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, b) Pendidikan keagamaan
adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan
ajaran agamanya, c) Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan
Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
Adapun dalam Pasal 2 menyatakan; a) Pendidikan agama berfungsi
membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga
kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama, dan
b) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-
nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.

Dalam kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di tingkat


pendidikan menengah dirancang untuk mengantarkan siswa kepada
peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta pembentukan
akhlak yang mulia. Keimanan dan ketaqwaan serta kemuliaan akhlak
sebagaimana yang tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih
dahulu jika siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar
terhadap ajaran agama Islam, sehingga terinternalisasi dalam penghayatan
dan keasadaran untuk melaksanakannya dengan benar. Dengan demikian
kurikulum dan pembelajaran PAI yang dirancang seharusnya dapat
menghantarkan siswa kepada pengetahuan dn pemahaman yang utuh dan
seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam dengan
10

kemampuan pelaksanaan ajaran serta pengembangan nilai-nilai akahlakul


karimah.
Modalitas karakter dan jiwa yang dimiliki akan sangat mempengaruhi
pengambilan sikap dalam memecahkan setiap persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia. Pembentukan karakter bangsa yang baik, bertanggung
jawab, bervisi masa depan, kreatif dan inovatif, solidaritas tinggi, serta
mengedepankan persatuan dan kesatuan patut diaplikasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sementara itu, menurut Morris (2003) bahwa
“pendidikan seharusnya mencakup empat dimensi pengalaman, yaitu:
intelektual yang mengarah pada pencarian nilai-nilai kebenaran, estetis
kepada keindahan, moral kepada kebaikan dan spiritual kepada keutuhan”.
Landasan tersebut akan sangat penting bagi pembentukan keunggulan
manusia, hal ini sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan dan fungsi
pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah sebagai
berikut :
Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional,
bertanggungjawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk


membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan
mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya
bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan
authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi
Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping itu,
peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan
11

sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan


warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility), kemampuan,
keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan
karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Jangan
sampai yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi, kekerasan fisik yang
mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula
dengan masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada
tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum
berhasil diwujudkan.
Pendidikan merupakan langkah paling sistematik dan berjangka
panjang untuk menjadi media utama membangun karakter bangsa, yang
dilakukan secara simultan. Pendidikan merupakan media internalisasi nilai-
nilai kebangsaan yang paling strategis. Dimulai dari pendidikan di lingkungan
keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan
langkah-langkah yang sistematik yang muatan utamanya nilai-nilai luhur
kebangsaan. Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-
mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman
moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.
Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman
kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik
dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-
nilai yang buruk.
Dalam merencanakan kurikulum ini merupakan suatu hal yang sangat
penting diantaranya satuan pendidikan diharapkan memperhatikan tujuan atau
perubahan apa yang akan diharapkan tercapai dan upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan termasuk yang diselenggarakan oleh di tingkat Sekolah
Menengah Atas mesti dilakukan secara komprehensif yaitu mencakup
pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, terkait dengan aspek
moral, akhlak, budi pekerti, perilaku, pengetahuan, kesehatan, ketrampilan
dan seni.
12

Dalam KTSP posisi dan peran guru menjadi semakin kuat dan tugasnya
semakin berat. Hal ini terjadi karena banyak instrumen kurikulum yang
tadinya sudah ditentukan oleh pemerintah dan sekolah, sekarang diserahkan
kepada guru. Dalam keadaan seperti inilah, guru semakin dituntut untuk lebih
professional dan kreatif dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini guru harus
mampu mengambil tindakan terhadap berbagai permasalahan secara tepat
waktu dan tepat sasaran, semakin jelas bahwa posisi dan peran guru dalam
proses pendidikan menempati posisi sentral, sehingga menentukan mutu dan
keberhasilan proses pendidikan.
Di samping guru, kepala sekolah memiliki peranan yang sangat penting
dalam pengemgbangan kurikulum tingkat satuan pendidikan, terutama dalam
mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya
pendidikan yang tersedia. Kepala sekolah adalah pimpinan tertinggi yang
sangat berpengaruh dan menentukan kemajuan sekolah. Kepemimpinan
kepala sekolah merupakan suatu cara atau usaha kepala sekolah dalam
mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, memberdayakan
dan menggerakkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, komite sekolah, dewan
pendidikan, dan pihak lain yang terkait, untuk mencapai tujuan sekolah secara
optimal, efektif, dan efisien
Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti
(menjadi kenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian digunakan
secara aktual di tingkat satuan pendidikan yaitu kepala sekolah dan guru
sebagai pengelola pembelajaran di kelas. Dalam implementasi ini, tentu saja
harus diupayakan penanganan terhadap pengaruh faktor-faktor tertentu,
misalnya kesiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta
dukungan masyarakat.
Mulyasa. E (2011: 22-46), memberikan gambaran tentang kepala
sekolah yang berkualitas dan profesional untuk mencapai suatu kesuksesan di
tingkat satuan pendidikan, yaitu ada sepuluh kunci sukses kepemimpinan
kepala sekolah :
1) Memiliki dan memahami visi yang utuh tentang sekolahnya, 2)
Kepala sekolah dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus amanah
dan bertanggung jawab, 3) Sikap dan perilaku kepala sekolah harus
memberikan keteladanan pada bawahannya, 4) Kepala sekolah mampu
13

memberdayakan staf dan membuat mereka merasa nyaman, 5) Kepala


sekolah harus menjadi pendengar yang baik, agar mempunyai pengaruh
pada guru dan warga sekolah lainnya, 6) Kepala sekolah harus
memberikan layanan prima untuk menumbuhkan kepercayaan
konsumen, 7) Kepala sekolah harus mampu mengembangkan
kemampuan dan karir baik guru maupun tenaga administrasi, 8) Kepala
sekolah harus mampu memberdayakan sekolahnya, 9) Kepala sekolah
harus fokus kepada kemajuan peserta didik dengan segala fasilitasnya,
dan 10) Kepala sekolah harus pandai berteori dan dipraktekkan dalam
tindakan nyata.

Pada implementasi manajemen berbasis sekolah kepala sekolah selaku


manajer di lembaga pendidikan yang dipimpinnya perlu dukungan dari semua
pihak yang dipimpinnya dalam mengimplementasikan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dan yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu
pembelajarannya dan mampu meningkatakan mutu pendidikannya atau
meningkatkan mutu lulusannya. Mulyasa, E. (2011: 89) juga berpendapat
yaitu :
“Kepala sekolah profesional dalam paradigma baru pendidikan akan
memberikan dampak positif dan perubahan cukup mendasar dalam
pembaruan sistem pendidikan di sekolah, kepemimpinan kepala
sekolah yang kuat, pengelolaan tenaga pendidik yang efektif, budaya
mutu, teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis, kemandirian,
partisifasi warga sekolah dan masyarakat, keterbukaan (tranfaransi)
manajemen. Kemauan untuk berubah (psikolologis dan fisikis, evaluasi
dan perbaikan berkelanjutan, responsif dan antisipatif terhadap
kebutuhan akuntabilitas, dan substainabilitas”.

Sedangkan pandangan lain Mulyasa, E (2009:75) tentang guru yang


mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di
lapangan, sehingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat
terlaksana dengan baik dan tepat sasaran, karena guru harus mampu dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik atau siswanya, dalam hal ini
diperlukan kemampuan guru, yang meliputi:
“1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, 2) Pemahaman
terhadap peserta didik, 3) Pengembangan kurikulum/silabus, 4)
Perancangan pembelajaran, 5) Pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis, 6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran, 7)
Evaluasi hasil belajar, dan 8) Pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya”.
14

Selanjutnya juga Mulyasa, E (2008:37), mengatakan yang mendukung


keberhasilan seorang guru adalah karena seorang guru memiliki fungsi dan
peran, dibawah ini:
“Guru harus memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran
sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi
peserta didik. Untuk kepentingan tersebut dapat diidentifikasikan
sedikitnya 19 peran guru yakni: Guru sebagai pendidik, pengajar,
pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (inovator) model dan
teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas pembangkit pandangan,
pekerjaan rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator,
evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator”.

Walau kenyataannya masih banyak guru yang belum seutuhnya


memiliki fungsi dan peran seperti digambarkan oleh Mulyasa, E, diatas,
termasuk didalam kemampuan dan keterampilan dalam pengelolaan kelas
atau pengelolaan pembelajaran peserta didik, yang pada umumnya proses
pembelajarannya masih banyak yang konvensional, hal ini disebabkan oleh
Sumber Daya Manusianya, kurangnya kemauan guru untuk maju, kurangnya
sarana-prasarana, sistem yang tidak atau belum mendukung.
Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan peneliti pada SMK
Jabir Al Hayyan Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa manajemen
kurikulum muatan lokal belum dilaksanakan secara optimal, baik pada tataran
perencanaan, pelaksanaan maupun penilian, sehingga berdampak negatif
terhadap hasil belajar. Permasalahan ini perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut supaya ditemukan data yang kongkrit dan reliable sehingga dapat
Instrumental Input
ditentukan alternatif pemecahannya.
Kurikulum
PTK
Sanpras
Biaya
B. Rumusan dan Batasan Masalah

1. Rumusan Masalah
Raw Input Permasalahan manajemen
Proses kurikulum merupakan
Out permasalahan
put yang
Manajemen
kompleks
Siswa dan dinamis, hal ini di dorong oleh suatu tuntutan
kurikulum dan kebutuhan
Mutu Pembelajaran
Kurikulum Nasional Pendidikan Agama
yang harus dilakukan oleh penyelenggara
Kurikulum lokal pendidikan
Islamuntuk menghadapi

persaingan global, hal ini terjadi karena belum memahami secara umum

Environmental Input
Keluarga
Masyarakat
steakholder
15

tentang perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang dilakukan. Berbagai


upaya terus dilakukan melalui pelatihan kurkulum, baik IHT, maupun
Workshop, namun tidak memberi dampak yang berarti bagi peningkatan
hasil belajar PAI. Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat
digambarkan :
Instrumental Input
Kurikulum
PTK
Sapras
Biaya

Raw Input Proses Out put


Manajemen kurikulum
Kepala Sekolah Hasil Belajar
Kurikulum muatan lokal
Guru PAI Pendidikan Agama
Stakeholder Islam
Siswa

Environmental Input
Input
Keluarga
Masyarakat
steakholder

Gambar 1.1. Rumusan Masalah Penelitian

2. Batasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang dirumuskan maka penelitian ini
membatasi masalah berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian manajemen kurikulum lokal yang belum memberikan dampak
positif terhadap peningkatan hasil belajar pendidikan agama Islam di SMK
Jabir Al Hayyan Kabupaten Bandung Barat. Batasan masalah dalam
penelitian ini, dapat dilihat pada bagan berikut:
16

Instrumental Input
Kurikulum
PTK
Sanpras
Biaya

Raw Input Proses Out put


Manajemen kurikulum
Siswa Hasil Belajar
Kurikulum muatan lokal
Pendidikan Agama
Islam

Environmental Input
Input
Keluarga
Masyarakat
steakholder

Gambar 1.2. Batasan Masalah Penelitian

Permasalahan ini perlu diteliti karena sangat esensial (penting), krusial


(mendesak), meaningfull (berarti) dan aktual (hangat). Sehubungan dengan hal
tersebut, peneliti tertarik untuk mengambil judul tesis: Manajemen Kurikulum
Muatan Lokal Untuk Meningkatkan hasil Belajar Pendidikan Agama Islam
(Study Deskriptif Anaslistik di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten Bandung Barat)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
tentang manajemen kurikulum muatan lokal untuk meningkatkan hasil
belajar pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten
Bandung Barat.
.
17

b. Tujuan khusus
1) Untuk memperoleh gambaran tentang perencanaan manajemen
kurikulum muatan lokal untuk meningkatkan hasil belajar
pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten
Bandung Barat.
2) Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan manajemen
kurikulum muatan lokal untuk meningkatkan hasil belajar
pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten
Bandung Barat.
3) Untuk memperoleh gambaran mengenai penilaian manajemen
kurikulum muatan lokal untuk meningkatkan hasil belajar
pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten
Bandung Barat.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khazanah
keilmuan berkaitan dengan manajemen kurikulum muatan lokal untuk
meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al
Hayyan Kabupaten Bandung Barat, serta dapat dijadikan sebagai salah
satu bahan referensi bagi pihak yang ingin melakukan kajian lebih
lanjut.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Guru; Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
mengembangkan kurikulum muatan lokal dalam proses
pembelajaran agar dapat meningkatkan hasil belajar di SMK Jabir Al
Hayyan Kabupaten Bandung Barat .
2) Bagi Siswa; hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan
dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan mutu belajar siswa.
18

3) Bagi Dinas Pendidikan/Kemenag Kabupaten Bandung Barat; hasil


penelitian dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi penentu
kebijakan agar mensosialisasikan kurikulum muatan lokal yang
sesuai dengan pokok bahasan dalam upaya peningkatan dan
mengoptimalkan prestasi belajar, dan meningkatkan mutu
pembelajaran PAI di sekolah.

D. Asumsi dan Pertanyaan Penelitian


1. Asumsi Penelitian
Manajemen kurikulum Muatan lokal adalah suatu mata pelajaran
tambahan atau kulikuler yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi
daerah untuk melestarikan, mengembangkan serta mempertahankan
kembali nilai-nilai luhur bangsa indonesia yang banyak memiliki
keanekaragaman multikultural daerah. Hal ini sejalan dengan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No.24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa pada dasarnya
pelaksanaan kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah seperti kurikulum muatan lokal berbasis agama dapat
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan yang
bersangkutan. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.
Kurikulum muatan lokal suatu mata pelajaran tambahan atau kegiatan
kulikuler yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah untuk
melestarikan, mengembangkan serta mempertahankan kembali nilai-nilai
19

luhur bangsa indonesia yang banyak memiliki keanekaragaman


multikultural daerah, wajib dipelajari oleh peserta didik di daerah tersebut,
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah.
Berdasarkan kajian tersebut muatan lokal pada dasarnya dirancang
agar bahan kajian muatan lokal dapat memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki
wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya
dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan
nasional. kegiatan ini berupa kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas, potensi daerah, dan
prospek pengembangan daerah termasuk keunggulan daerah, yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran
yang ada.
Langkah-langkah dalam manajemen kurikulum muatan lokal
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaiain hal ini sejalan dengan
pendapat Borg dan Gall, (1983) dalam metode Research and
Development ada sepuluh langkah yang dilalui yaitu : 1) Pengkajian
dan pengumpulan informasi, 2) perencanaan, 3) pengembangan
pendahuluan bentuk produk,4) ujicoba pendahuluan dilapangan, 5)
penyempumaan produk berdasarkan data uji coba pendahuluan, 6) Uji
coba utama, 8) Uji coba lapangan secara riil 9) Penyempumaan produk
akhir, 10) diseminasi dan implementasi.
Perencanaan dalam manajemen kurikulum muatan lokal merupakan
suatu langkah perencanaan yang menyangkut berbagai sumber seperti
pengajar, metode, media, dana dan evaluasinya. Disamping itu juga perlu
memperhatikan kriterian pemilihan bahan atau materi muatan lokal.
Pelaksanaan dalam manajemen kurikulum muatan lokal merupakan
perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau merencanakan
metode/model yang akan dilakukan dalam pembelajaran, maka secara
garis besar dalam pelaksanaan manajemen kurikulum muatan lokal harus
20

adanya silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan penilaian sebagai


upaya untuk memperkirakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran.
Penilaian merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik atau serangkaian
kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang
proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan. Langkah-langkah ini di tempuh sebagai salah
satu usaha untuk meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Agama
Islam.
Mutu pembelajaran adalah prestasi yang dicapai oleh sekolah pada
setiap kurun waktu tertentu. Mutu pembelajaran berhubungan dengan
instrument input, raw input, dan environmental input yang secara
keseluruhan mempengaruhi mutu pembelajaran. Instrumen input adalah
kebijakan pengawasan, sarana/prasarana dan biaya. Raw input sekolah
berkaitan dengan proses pembelajaran, mencakup perencanaan,
pelaksanaan, penilaian dan hasil untuk melihat kualitas pembelajaran
untuk tercapainya tujuan, sedangkan environmental input adalah iklim dan
budaya sekolah.
2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan batasan masalah di atas, maka pertanyaan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana perencanaan manajemen kurikulum muatan lokal untuk
meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al
Hayyan Kabupaten Bandung Barat ?
b) Bagaimana pelaksanaan manajemen kurikulum muatan lokal untuk
meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al
Hayyan Kabupaten Bandung Barat ?
21

c) Bagaimana penilaian manajemen kurikulum muatan lokal untuk


meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al
Hayyan Kabupaten Bandung Barat ?
d) Apa faktor pendukung dan penghambat dalam manajemen
kurikulum muatan lokal untuk meningkatkan hasil belajar
pendidikan agama Islam di SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten
Bandung Barat?

E. Metodologi Penelitian
Ditinjau dari pendekatannya, Penelitian pada hakekatnya merupakan
suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan
kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Tujuan penelitian ini
adalah mencari cara dan pembuktian tentang pendidikan karakter siswa.
Desain atau paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan paradigma kualitatif. Dengan studi kasus yaitu penelitian yang
bertujuan untuk memahami siklus kehidupan atau bagian dari siklus
kehidupan individu, kelompok atau masyarakat tertentu (Sukmadinata,
2005:64) dalam Hanafiah “Studi kasus merupakan suatu penelitian yang
dilakukan terhadap suatuan, sistem. Kesatuan ini dapat berupa program,
kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu
atau ikatan tertentu”.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan satu studi kasus. Studi kasus
umumnya mempunyai gambaran yang rinci mengenai latar belakang, sifat
karakter yang khas dari kasus itu. Menurut Nasution, (1996:5) “dengan
metode kualitatif penelitian akan mengamati keadaan di lapangan, berinteraksi
dengan para responden, berusaha memahami bahasa mereka dan tafsiran
mereka tentang lingkungannya”. Untuk itu, peneliti perlu turun ke lapangan
dan berada di lingkungan mereka. Sejalan pula dengan ahli antara lain;
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan
atau memperoleh data yang diperlukan (Soehartono, 2009:9) mengemukakan
ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu
22

penelitian atau inkuiri naturalis atau ilmiah, etnografi, interaksionis simbootik,


perspektif ke dalam, etnometologi, fenomenologis, studi kasus, interpretative,
ekologis, dan deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang
yang perilakunya dapat diamati, namun tetap menemukan kasualitas secara
verstehen (Soewardi, 2002)
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah:
a) Wawancara
Dalam hal ini wawancara merupakan alat utama yang digunakan
pada teknik pengumpulan data yang paling penting pada penelitian studi
kasus, dikarenakan umumnya penelitian yang bersifat studi kasus
berhubungan dengan masalah yang ada sehingga diperlukan sesuatu
yang dapat mengungkapkan dan mempresentasikannya melewati ke
dalam pihak yang diamati dan pihak-pihak yang dapat memberikan
informasi-informasi penting. Dalam menjaring informasi dengan
wawancara ini dilakukan sesuai sebagaimana yang diungkapkan oleh S.
nasution (1992: 174) pendapatnya antara lain:
Dalam melakukan wawancara melalui tiga pendekatan 1) dalam
percakapan informal, yang mengandung unsur sprontanitas,
kesantaian, tanpa pola atau arah yang ditentukan sebelumnya; 2)
topik atau masalah yang dijadikan sebagai pedoman atau pegangan,
3) menggunakan daftar pertanyaan yang lebih rinci akan tetapi
bersifat terbuka yang telah dipersiapkan pertanyaan terlebih dahulu
dan akan diajukan menurut aturan dan rumusan yang terdapat di
dalamnya.

Bentuk wawancara yang dilakukan pada penelitian ini dengan


wawancara bebas (tidak berstruktur) yang memberikan keleluasaan
kepada responden untuk mengemukakan pendapat dan jawabannya,
sehingga diperoleh hasil yang lebih lengkap dan variatif. Informasi ini
juga didukung oleh sumber-sumber data yang lengkap dan variatif.
b) Observasi
Observasi digunakan untuk mengetahui kegiatan interaksi sosial
siswa dalam suasana PBM, upacara bendera dan kegiatan ekstrakulikuler
para siswa. Instrumen untuk observasi ini menggunakan lembaran
23

observasi dengan poin-poin seperti yang dikembangkan dalam panduan


lembaran observasi (berstruktur). Observasi secara langsung di lapangan
ini memberikan informasi tambahan tentang yang diteliti secara jelas dan
lengkap. Observasi terhadap suasana kelas dan lingkungan sekolah akan
membawa wawasan baru yang tidak dapat diungkapkan dengan alat
pengumpul data lainnya. Lincoln Guba (1989: 13) dalam moleong yang
dikemukakan bahwa: “Metodelogi penelitian kualitatif secara
metodologis menggunakan pengamatan dapat dioptimalkan kemampuan
peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar,
kebiasaan, dan sebagainya”
c) Studi Dokumentasi
Sebagai sumber data yang berkenaan dengan fokus penelitian yang
diperoleh dari guru BK dan dari kesiswaan. Dan sumber lainnya yang
ada keterkaitannya dengan masalah yang diteliti. Dokumen tersebut
berupa buku, laporan-laporan dari BK dan dari kesiswaan. Menurut Tuti
dalam Nawawi (2001: 95) mengatakan “teknik adalah cara
mengumpulkan data dengan katagorisasi dan klasifikasi bahan-bahan
tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian,baik dari sumber
dokumen maupun buku-buku, Koran, dan lain-lain”. Pengumpulan data
akan dilakukan langsung oleh peneliti dengan pertimbangan:
1) Peneliti sebagai alat peka yang dapat beraksi terhadap segala
stimulasi dari lingkungan yang diperkirakan dapat menunjang atau
tidak bagi penelitian.
2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan serta dapat mengumpulkan data.
3) Tiap situasi merupakan keseluruhannya dimana peneliti sebagai
instrumen dapat memahami situasi dan kondisi.
Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisa data yang
diperoleh, menafsirkannya, untuk menentukan arah pengamatan
selanjutnya.
24

1. Teknik Analisis Data


Moleong (2006: 280) mengemukakan: “Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data”. Sesuai dengan metode penelitian dan teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini, maka untuk
menganalisis data yang terkumpul dari lapangan, maka digunakan
teknik analisis deskriptif. Melalui teknik ini, akan digambarkan
seluruh data atau fakta yang diperoleh dengan mengembangkan
kategori-kategori yang relevan dengan tujuan penelitian terhadap
hasil analisis deskriptif dengan berpedoman kepada teori yang
sesuai.
Pelaksanaan analisis data dalam penelitian kualitatif belum
ada prosedur yang baru. Hal tersebut sudah jelas dan pasti
sedangkan dalam analisis data kuantitatif metodenya sudah
tersedia. Walaupun demikian, dalam penelitian ini peneliti akan
mengikuti langkah-langkah yang dianjurkan Nasution (1998: 129)
yaitu reduksi data, display data, dan pengambilan kesimpulan dan
verifikasi.
a. Reduksi data
Reduksi data merupakan langkah awal dalam
menganalisis data. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan
pemahaman terhadap data yang terkumpul. Reduksi data
dilakukan dengan cara membuat rangkuman (seperti hasil
observasi tentang peranan kepala sekolah) terhadap aspek-
aspek permasalahan yang diteliti, sehingga memudahkan
peneliti dalam melakukan langkah-langkah analisis
berikutnya. Reduksi data merupakan kegiatan merangkum
kembali catatan-catatan lapangan dengan memilih hal-hal
pokok yang difokuskan pada hal-hal penting yang
25

berhubungan dengan manajemen kurikulum muatan lokal


untuk meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam di
SMK Jabir Al Hayyan Kabupaten Bandung Barat.
b. Display data
Untuk mempermudah melihat hasil rangkuman, peneliti
berusaha membuat jaringan kerja, sebagaimana pendapat
Nasution (1988: 129) bahwa setelah melaksanakan reduksi
data dilakukan display data. Data yang banyak dan
bertumpuk tumpuk perlu diusahakan dengan membuat
bermacam-macam matrik.
c. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi
Data yang terangkum dalam bentuk display tersebut
dapat diambil suatu kesimpulan secara inferensial dengan
melihat perbedaan dan kesamaan pendapat sehingga
mempunyai makna. Menurut Nasution (1988: 130)
kesimpulan yang diambil itu mula-mula masih sensitif dan
kabur. Untuk menetapkan kesimpulan tersebut agar lebih atau
setidaknya mendekati maka kesimpulan itu diverifikasi
selama penelitian berlangsung. Kegiatan verifikasi
berlangsung sejalan dengan memberchek, triangulasi, dan
audit trail.
d. Triangulasi
Triangulasi adalah metode yang digunakan dalam
penelitian kualitatif untuk memeriksa dan menetapkan
validitas dengan menganalisa dari berbagai perspektif.
Validitas dalam penelitian kuantitatif dilihat berdasarkan
akurasi sebuah alat ukur yaitu instrumen. Validitas dalam
penelitian kualitatif mengacu pada apakah temuan penelitian
secara akurat mencerminkan situasi dan didukung oleh bukti.
Norman K. Denkin dikutip oleh Mudjia Rahardjo
(2012) mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau
26

kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji


fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan
perspektif yang berbeda. Menurutnya, triangulasi meliputi
empat hal, yaitu: (1) triangulasi metode, (2) triangulasi antar-
peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3)
triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi teori.
1. Triangulasi metode dilakukan dengan cara
membandingkan informasi atau data dengan cara yang
berbeda. Dalam penelitian kualitatif peneliti
menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei.
Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal
dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu,
peneliti bisa menggunakan metode wawancara dan
obervasi atau pengamatan untuk mengecek
kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa
menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek
kebenaran informasi tersebut. Triangulasi tahap ini
dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari
subjek atau informan penelitian diragukan
kebenarannya.
2. Triangulasi antar peneliti dilakukan dengan cara
menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan
dan analisis data. Teknik ini untuk memperkaya
khasanah pengetahuan mengenai informasi yang digali
dari subjek penelitian. Namun orang yang diajak
menggali data itu harus yang telah memiliki
pengalaman penelitian dan bebas dari konflik
kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan
melahirkan bias baru dari triangulasi.
3. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran
informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber
27

perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara


dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi
terlibat (participant obervation), dokumen tertulis,
arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau
tulisan pribadi dan gambar atau foto. Masing-masing
cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang
berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan
(insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang
diteliti.
4. Triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif
berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement.
Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan
perspektif teori yang televan untuk menghindari bias
individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang
dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat
meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti
mampu menggali pengetahuan teoretik secara
mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh.
e. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data harus dapat di
buktikan kebenarannya, sehingga data tersebut dapat di
pertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang dimaksud dengan
keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus
memenuhi:
1) Melihat kegiatan upacara penaikan bendera pada hari
senin
2) Tata tertib siswa pada saat pagi dan proses kegiatan
belajar mengajar
3) Menyediakan dasar agar hal ini dapat diterapkan.
Untuk menguji keabsahan data, penulis menggunakan
teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
28

keabsahan data sebagai pembanding terhadap data itu. Patton


(dalam Moleong, 2005: 330-331) mengemukakan bahwa
“triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan atau informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif”. Adapun cara yang digunakan dalam
triangulasi ini adalah:
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara.
2) Membandingkan apa yang dilakukan orang di depan
umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya
sepanjang waktu
4) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan.

Anda mungkin juga menyukai